Buruh adalah tulang punggung sektor swasta, yang banyak memberikan sumbangsih terbesar dalam pergerakan roda ekonomi Indonesia. Buruh pada dasarnya adalah seorang manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuanya untuk mendapatkan imbalan baik itu upah (uang) ataupun penghargaan yang harus diberikan pemberi kerja, pengusaha, atau majikan. Buruh masih dianggap spele dan masih dianggap seperti budak pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Tonggak meningkatkan taraf hidup dengan sistem pengupahan minimum regional masih banyak yang belum diterapkan, termasuk disektor jasa ataupun pelayanan. Mereka digaji hanya berdasarkan suka-suka kantong tuanya.
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
1
ANALISA PERATURAN PEMERINTAH
YANG DITETAPKAN MENJADI UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESA
NOMOR 1 TAHUN 2005
PENANGGUHAN BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
“PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL”
“ANALISA PERPPU YANG DITETAPKAN MENJADI UNDANG-UNDANG”
Tugas ini disusun sebagai syarat penilaian pada pertemuan ke-VII perkuliahan
Perancangan Peraturan Perundang-Undangan.
DOSEN PENGAJAR :
Bpk. ACHMAD EDDI SUBIYANTO
Disusun Oleh : Abie Hassan Shadily
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
FAKULTAS HUKUM
2018
PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Universitas Esa Unggul
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
2
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………………... 1
Daftar Isi..........…………………………………………………………… 2
Pendahuluan……………………………………………………………… 3
1. Kata Pengantar…………………………………………………… 3
2. Abstrak............................................................................................ 4
A. Rumusan Masalah......................................................... 5
B. Tujuan Penulisan........................................................... 5
Bab. II
Pembahasan ..............
1. KEDUDUKAN DAN FUNGSI DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004 DALAM PENYELESAIAN PERMASALAHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
2. METODE PENYELESAIAN KONFLIK PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BERDASARKAN PERPPU NO. 1 TAHUN 2005 Jo. PENANGGUHAN UU NO. 2 TAHUN
2004 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
3. PRINSIP DAN AZAS UMUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Bab, III
Penutup ..................
A. KESIMPULAN............................................................................... 12
B. SARAN........................................................................................... 12
C. REFRENSI...................................................................................... 12
Daftar Pustaka............................................................................................. 13
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
3
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini agar dapat memenuhi syarat penilaian
kelulusan.
Tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih, kepada dosen pengajar yang
telah membimbing kami dengan sabar dalam proses penyampaian kegiatan belajar
mengajar di kampus yang kami banggakan. Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
meminta maaf semoga untuk kedepanya tidak terjadi lagi kesalahan yang kami
tidak sengaja.
Akhir kata kami berharap semoga tugas ini dapat diterima dan mendapaatkan
nilai yang memuaskan agar dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih
tinggi kedepanya. Sekian dari kami, selaku penulis dan penyusun tugas ini
semoga dapat diterima dan dapat dinilai sesuai dengan yang kami harapkan.
Wassalamualaikum warahmatullohi wabarakatuh.
Jakarta, 15 Oktober 2017
Abie Hassan Shadily
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
4
ANALISIS PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG YANG DITETAPKAN
MENJADI UNDANG-UNDANG
Perselisihan Hubungan Industrial - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
Abstrak
Buruh adalah tulang punggung sektor swasta, yang banyak memberikan sumbangsih
terbesar dalam pergerakan roda ekonomi Indonesia. Buruh pada dasarnya adalah seorang
manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuanya untuk mendapatkan imbalan baik
itu upah (uang) ataupun penghargaan yang harus diberikan pemberi kerja, pengusaha,
atau majikan. Buruh masih dianggap spele dan masih dianggap seperti budak pada zaman
penjajahan kolonial Belanda. Tonggak meningkatkan taraf hidup dengan sistem
pengupahan minimum regional masih banyak yang belum diterapkan, termasuk disektor
jasa ataupun pelayanan. Mereka digaji hanya berdasarkan suka-suka kantong tuanya.
Isu menyangkut perburuhan di Indonesia seakan tidak pernah ada habisnya. Berbagai
kasus yang menyangkut kasus mengenai perburuhan hampir setiap saat menghiasi media
nasional kita. Fenomena terakhir adalah mengenai demo buruh yang berlangsung di
beberapa daerah seperti Bekasi, Serang, dan Cikampek. Berbagai aksi yang dilakukan
oleh kaum buruh tersebut bahkan membuat banyak warga mengalami kerugian karena
aksi-aksi tersebut dilakkan di ruang publik sehingga menggangu akses masyarakat pada
fasilitas publik dan menganggu ketenangan masyarakat dari aksi tersebut. Dengan
berbagai efek yang ditimbulkan dari aksi buruh itu. Masalah ini disebabkan oleh banyak
factor yaitu mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dan Upaya alternative untuk
menanggulanginya.
Penting bagi perusahaan untuk memperhatikan masalah hubungan industrial yang ada di
lingkungan organisasi perusahaan. Jika tidak diselesaikan segera, persoalan baru akan
muncul sehingga berdampak negatif terhadap perusahaan. Bukan mustahil, satu masalah
akan melahirkan masalah lain, dan makin lama makin rumit. Dikutip dari
HukumOnline.com, dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, ada baiknya
seorang pengusaha melakukan prosedur yang berlaku seperti melakukan proses bipartite.1
Dan jika gagal maka harus berlanjut ke instansi terkait atau ke Departement/ Dinas
Ketenagakerjaan (DEPNARKER) untuk melaksanakan proses mediasi. Apabila masih
tidak dapat terselesaikan, prosedur tersebut dapat dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI). Proses persidangan tersebut dapat memakan waktu paling lama 6 bulan,
dan upah yang di bayar perusahaan jika menempuh mekanisme itu paling banyak 5
sampai 6 bulan. Pengadilan dapat memutus pembayaran upah proses lebih besar jika
perusahaan melantarkan perselisihan hubungan industrial menyangkut Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).
PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) adalah peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa,
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang”. Peraturan ini dikeluarkan oleh pemerintah dan ditandatangani oleh Presiden
langsung pada saat kondisi yang mendesak atau genting di Indonesia, dan Undang-Undang yang
ada dan tidak memadai untuk mengambil tindakan. Mekanisme PERPPU bersifat
darurat/mendesak PERPPU harus diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
Badan Legislatif Negara yang berwenang untuk membentuk, merancang, dan mengesahkan
undang-undang dalam pembahasan pada masa persidangan berikutnya.
1
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial
(UU PHI) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
5
DPR hanya memiliki suara untuk menolak dan menerima PERPPU, dan jika sebuah PERPPU
ditolak, maka PERPPU itu tidak berlaku sejak ditolaknya, tetapi jika diterima maka PERPPU akan
menjadi Undang-Undang. Kedudukan PERPPU di Indonesia sering menimbulkan kontroversi,
baik dari segi pembentukanya maupun dari segi pelaksanaanya. Hal ini mengingat bahwa sistem
hukum di Indonesia lebih cenderung ke POSITIVISTIK2
, dimana dominasi teks tertulis dalam
peraturan lebih dominan. Sebagai pilihan lain, pendekatan hukum progresif diperlukan juga untuk
mengeluarkan positivisme dari kekuatan dirinya, dengan upaya yang komperehensif. Salah satu
titik kontroversinya terletak pada pernyataan istilah ”kegentingan memaksa” dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Terminologi ”kegentingan memaksa” dapat ditafsirkan beragam oleh
eksekutif, sehingga esensi dari ”kegentingan memaksa” dapat menimbulkan bias yang tidak jelas.
Bahkan terminologi ”kegentingan memaksa” tidak tertutup kemungkinan untuk ditafsirkan hanya
sebagai ”kepentingan penguasa” yang bersifat temporer untuk maksud dan tujuan tertentu.3
Dalam praktitk ketatanegaraan sampai saat ini, dari berbagai PERPPU yang pernah dikeluarkan
Presiden masih menimbulkan adanya penafsiran “kegentingan memaksa”, sebagai salah satu
keadaan yang mendesak yang harus diatur dengan peraturan yang setingkat dengan undang-
undang. Walaupun kegentingan memaksa menjadi pertimbangan dikeluarkanya sebuah PERPPU
alasanya bersifat subjektif, akan tetapi alasan-alasan yang menjadi pertimbangan presiden untuk
mengeluarkan sebuah PERPPU agar lebih didasarkan pada kondisi objektif bangsa dan Negara
yang tercermin dalam konsiderans “menimbang” dari PERPPU yang bersangkutan. Termasuk juga
memperbaiki sistem hukum serta memperbaiki mekanisme pembuatan, penetapan dan pencabutan
sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Hal ini sangat dibutuhkan
dalam rangka reformasi dan pembangunan hukum nasional kedepanya.
Kriteria “Kegentingan yang Memaksa” dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPPU) semestinya diatur dengan jelas dalam suatu peraturan perundang-
undangan, agar terwujud suatu mekanisme kontrol yang lebih baik dalam pembentukan Perpu.
Namun sampai saat ini, baik di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU No.12 Tahun 2011), maupun Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Perpres No.87 Tahun 2014), yang menyebutkan tentang
kewenangan Presiden menetapkan Perpu yang didasarkan pada hal ihwal Kegentingan yang
Memaksa, tidak memuat parameter yang jelas mengenai Kegentingan yang Memaksa tersebut.
Belum adanya satupun peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur kriteria
Kegentingan yang Memaksa yang menjadi dasar baik bagi Presiden menetapkan Perpu maupun
bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima/menolak pengajuan Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang penetapan Perpu, berdampak pada rentannya Presiden dan DPR memanfaatkan
Perpu sebagai alat kepentingan politik semata. Dominasi kepentingan politik terhadap kepentingan
publik akan membawa negara pada kekuasaan absolut (tirani) yang menjurus kepada penindasan.
Penindasan yang berlebihan terhadap hak dan kebebasan masyarakat berarti kekuasaan telah
terbentuk dalam pola despotisme4
yang pada akhirnya berakibat perpecahan dan tindakan brutal
masyarakat atau anarkisme sosial oleh akibat kesewenang-wenangan penguasa. 5
A. Rumusan Masalah
2
Paradigma positivistik (fakta sosial) menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar-benar nyata dan dapat diobservasi.
Dalam meneliti, peneliti dan obyek yang diteliti bersifat independen dan saling tidak berinteraksi.
3
Edy Faishlm Muttaqin, “Eksistensi Ilmu Hukum Tehadap Ilmu-Ilmu Lain Ditinjau Dari Filsafat Ilmu” dalam jurnal Ilmu Hukum,
No.1/I/2010, hlm. 1-14
4
Despotisme berasal dari kata dasar despot yang berarti penguasa tunggal yang berbuat sekehendak hati; kepala negara atau raja yang
menjalankan kekuasaan dengan sewenang-wenang. Despotisme berarti pemerintahan seorang despot; sistem pemerintahan dengan kekuasaan
tidak terbatas dan sewenang-wenang.
5
H.F. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari Orla, Orba, sampai Reformasi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
Hlm.433.
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
6
1. Penjelasan PERPPU No. 1 Tahun 2005 Penangguhan UU No. 2 Tahun 2004
2. Pengertian Hubungan Industrial dan Proses Penyelesaian Konflik
3. Prinsip Umum Ketenagakerjaan dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2004 tentang
Ketenagakerjaan
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan dari kedudukan PERPPU dan UU RI
2. Mengetahui latar belakang dikeluarkanya PERPPU No. 2 Tahun 2005
3. Mengetahui Jenis-Jenis, Fungsi, Dan Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial berdasarkan PERPPU No. 2 Tahun 2005
BAB II
Pembahasan
Hubungan industrial adalah suatu sistem atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
unsur karyawan, dan pemerintah yang diasarkan asas dan nilai dari Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal 1 ayat (22) tentang Ketenagakerjaan.
Dalam pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 tentnag Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa pengertian Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para perilaku dalam proses produksi barang dan jasa terdiri atas pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam melaksanakan hubungan industrial,
pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan pekerjaan, dan memberikan kesejahteraan
pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan (pasal 103 ayat (3) UU No. 13 Tahun
2003).
1. KEDUDUKAN DAN FUNGSI DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004 DALAM PENYELESAIAN PERMASALAHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Dalam pembahasan tentang jenis peraturan perundang-undangan telah diuraikan bahwa
Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Indonesia. Undang-
Undang adalah peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat, serta di setujui bersama
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, dan di sahkan langsung oleh Presiden. Undang-
Undang merupakan kelanjutan yang mengatur ketentuan-ketentuan yang di atur dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Selain itu dalam pasal 22 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan) dan
penjelasanya dinyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaka Presiden mempunyai
kewenangan untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) yang
merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan setingkat
dengan Undang-Undang.6
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, dalam “Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1969 tentang Penetapan Berbagai Peraturan Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-
Undang,” menjelaskan bahwa “Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar
1945 perlu produk-produk legislative baik yang berbentuk undang-undang maupun yang
berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang memuat materi yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, ditinjau kembali.” Peninjauan ini merupakan
untuk memenuhi tugas yang dibebankan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
6
Maria Farida Indrati ,S. dalam bukunya “Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, Dan Materi Buatan,”, halaman 216 (Fungsi Dari
Berbagai Jenis Peraturan Perundang-Undangan).
7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
7
Sementara No. XIX/ tap. MPRS/ 1966 jo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No. XXXIX/tap. MPRS/ 1968 kepada pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong.
Menurut Profesor Jimly Asshiddiqie, 2009:170, Dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, Ketetapan MPR merupakan jenis peraturan hukum tertinggi setelah UUD 1945, pada
pengertian ini Tap. MPR lebih tinggi dari Undang-Undang, namun seperti diketahui bahwa setelah
perubahan keempat UUD 1945, status hukum TAP MPR/MPRS yang bersifat mengatur (regeling)
dianggap tidak lagi mempunyai dasar konstitusional. Oleh karena itu, tidak ada lagi Ketetapan
MPR yang bersifat pengaturan (regeling) yang boleh dibuat oleh MPR dimasa mendatang.
Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi yaitu :
A. Fungsi Penciptaan Hukum
Penciptaan hukum (Rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku
umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu pemutusan hakim (yurisprudensi).
Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau Negara dan peraturan
perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang
yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung hukum dapat terbentuk melalui ajaran ajaran
hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.
B. Fungsi Pembaharuan Hukum
Peraturan perundang-undangan merupakan instrument yang efektif dalam pembaharuan
hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum
yurisprudensi. Telah dikemukakan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat
direncanakan. Sehingga, pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-
undangan tidak hanya melakukan fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan
(yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana
memperbaharui, yurisprudensi. hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap
peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-
undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda.
C. Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum
Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem
hukum) yaitu, Sistem hukum continental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama
(khususnya Islam), dan sistem hukum nasional. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat
ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali sistem
hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum terutama sistem hukum
yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
Pembangunan sistem hukum nasionak adalah dalam sangka mengintegrasikan berbagai sistem
hukum tersebut sehingga tersususn dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain.
D. Fungsi Kepastian Hukum
Kepastian Hukum (Rechtszekerheid Legal Cetainty) merupakan asas penting dalam
tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendaying uityoering). Telah menjadi
pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum
yang lebih tingi dan pada hukum kebiasaan, hukum adat atau hukum yurisprudensi. Namun perlu
diketahui kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakan pada
bentuknya yang tertulis (genschreven written).7
7
Google Scholar, Peraturan Perundang-Undangan
8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
8
2. METODE PENYELESAIAN KONFLIK PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BERDASARKAN PERPPU NO. 1 TAHUN 2005 Jo. PENANGGUHAN UU NO. 2 TAHUN
2004 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Perselisihan hubungan industrial timbul apabila terjadi pendapat yang menimbulkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja
karena adanya perselisihan permuusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja
karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan dll. Perselishan antar serikat pekerja dalam
satu perusahaan yang dapat terjadi karena perbedaan dalam melaksanakan dan menafsirkan
undang-undang. perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pada
umumnya, setiap perselisihan yang disebutkan di atas dapat diserahkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Namun, sebelum mengangkat kasus ke Pengadilan, terdapat beberapa langkah awal atau
solusi alternatif yang harus dilakukan terlebih dahulu, melalui: negosiasi bipartit, mediasi,
konsiliasi. Metode lain untuk penyelesaian perselisihan adalah melalui arbitrase yang
keputusannya bersifat final dan mengikat. Apabila terjadi perselisihan hubungan industrial, maka
perusaahan wajib menyelesaikanya, dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, ada
baiknya seorang pengusaha melakukan prosedur yang berlaku seperti melakukan proses bipartite.8
Dan jika gagal maka harus berlanjut ke instansi terkait atau ke Departement/ Dinas
Ketenagakerjaan (DEPNARKER) untuk melaksanakan proses mediasi. Apabila masih tidak dapat
terselesaikan, prosedur tersebut dapat dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Proses persidangan tersebut dapat memakan waktu paling lama 6 bulan, dan upah yang di bayar
perusahaan jika menempuh mekanisme itu paling banyak 5 sampai 6 bulan. Pengadilan dapat
memutus pembayaran upah proses lebih besar jika perusahaan melantarkan perselisihan hubungan
industrial menyangkut Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Penyelesaian konflik antar buruh dengan majikan berdasarkan UU RI nomor 2 Tahun 2004
tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah :
a. Bahwa perusahaan wajib mewujudkan hubungan industrial secara optimal yang
harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan butir-butir dan nilai Pancasila.
b. Bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial membutuhkan
sebuah institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan tersebut yang cepat, tepat, adil
dan murah.
c. Bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Perselisihan Perburuhan jo.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di
sektor swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c perlu
ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaisan Perselisihan Hubungan
Industrial.
Terhadap hal tersebut yang telah disebutkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa perselisihan hubungan industrial ini
dimungkinan untuk dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan
penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat
dilakukan dengan :
A. Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit, yaitu perundingan dua pihak antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dan buruh atau serikat buruh. Bila dalam
perundingan bipartit telah mencapai kesepakatan, maka para pihak wajib membuat
8
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial
(UU PHI) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
9
perjanjian bersama yang kemudian didfatarkan pada pengadilan hubungan industrial
setempat, namun apabila perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka salah satu pihak
harus mendaftarkan diri kepada pejabat Dinas Tenaga Kerja setempat yang kemudian
para pihak yang berselisih akan ditawarkan untuk menyelsaikan perselisihan tersebut
melalui jalan mediasi, konsiliasi atan arbitrase.
B. Penyelesaian Melalui Mediasi, yaitu penyelesaian melalui musyawaray yang tengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral dari pihak Depnaker, yang antara lain mengenai
perselisihan hak, kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu
perusahaan. Dalam mediasi bilamana para pihak sepakat maka akan dibuat perjanjian
bersama, yang kemudian akan didaftarkan di pengadilan hubungan industrial, dan apabila
para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran maka pihak yang menolak dapat
mengajukan tuntutan kepada pihak yang lain melalui pengadilan yang sama.
C. Penyelesaian Melalui Konsiliasi, yaitu penyelesaian dengan cara musyawarah yang
ditengahi oleh seorang konsiliator, (yang dalam ketentuan undang-undang PIHK adalah
pegawai perantara swasta bukan dari DEPNAKER sebagaimana mediasi) dalam
menyelesaikan perselisihan kepentingan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan
perselisihan antar serikat buru dalam satu perusahaan. Dalam hal terjadi kesepakatan
maka akan dituangkan ke dalam perjanjian bersama dan akan didafarkan ke pengadilan
terkait, namun bila tidak ada kata sepakat maka akan diberi anjuran yang boleh diterima
ataupun ditolak dan terhadap penolakan dari pihak ataupun salah satu pihak maka dapat
diajukan tuntutan kepada pihak lain melalui pengadilan hubungan industrial.
D. Penyelesaian Melalui Arbitrase, yaitu tahap penyelesaian perselisihan di luar pengadilan
hubungan industrial atas perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh
dalam suatu perusahaan yang dapat ditempuh melalui kesepakatan tertulis yang berisi
bahwa para pihak sepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada para arbiter.
Keputusan berselisih dan para arbiter tersebut dipilih sendiri oleh para pihak yang
berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh menteri.
E. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu penyelesaian perselisihan
melalui pengadilan yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri berdasarkan hukum
acara perdata. Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan tingkat pertama dan
terakhir terkait perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh, namun tidak
terhadap perselisihan hak dan pemutusan hubungan keja karena masih diperbolehkan
upaya hukum etingkat kasasi bagi para pihak yang tidak puas atas keputusan PHI, serta
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung bilamana terdapat bukti-bukti baru yang
ditemukan oleh salah satu pihak yang berselisih.9
3. PRINSIP DAN AZAS UMUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Dalam Bab I PERPPU No. 1 Tahun 2005 menjelaskan bahwasanya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang diundangkan
pada tanggal 14 Januari 2004 merupakan salah satu tonggak perubahan yang mendasar dari suatu
proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Undang-Undang ini disusun
dengan tujuan untuk mewujudkan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat
tepat, adil, dan murah. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini diatur keberadaan
berbagai kelembagaan penyelesaian perselisihan bubungan industrial, yang salah satunya adalah
9
Info Hukum, kasus hubungan industrial, http://annanisaisnaniahsaadah.blogspot.com/2017/10/kasus-perselisihanantara-pekerja-buruh.html
10. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
10
pengadilan khusus hubungan Industrial yang berada pada peradilan umum, yang selama ini tidak
dikenal dalam sistem penyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia. Oleh karenanya sistem
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 akan menggantikan sistem penyelesaian
hubungan industrial yang telah dikenal di Indonesia sejak tabun 1957 yaitu dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, maka perlu persiapan yang matang. Persiapan tersebut meliputi sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya. Apabila Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 diberlakukan pada waktu yang telah ditentukan, sementara belum
ada kesiapan dari institusi yang menangani penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka
akan berdampak terganggunya suasana hubungan industrial yang dapat berdampak negatif bagi
upaya pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena di satu pihak lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
belum dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya, namun di pihak lain
ketentuan hukum yang selama ini dipakai sebagai dasar dalam menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, dicabut dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004. Sebagai akibatnya Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) tidak mempunyai kewenangan lagi
untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dimaksud.10
Pasal demi pasal dari PERPPU tersebut telah ditetapkan dan disahkan serta di tanda
tangani langsung oleh mantan presiden Republik Indonesia,
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.
Latar belakang dikeluarkanya peraturan ini dikarenakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1857
sudah tidak memadai lagi dan sudah tidak dapat menampung kebutuhan masyarakat dan
mengakomodir kondisi yang berkembang.
Pada umumnya prinsip Prinsip hukum kerja adalah : “serangkaian peraturan yang mengatur segala
kejadian yang berkaitan dengan bekerjanya seseorang pada orang lain dengan menerima upah”.
Prinsip Kerja Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia Hukum perburuhan/ketenagakerjaan
barulah dapat dimengerti setelah membaca atau mempelajari semua aturan perburuhan. Dalam
kepustakaan hukum selama ini selalu menyebutkan dengan istilah hukum perburuhan. Mengingat
istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang sangat luas dan untuk menghindari adanya
kesalahan persepsi terhadap penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan
perkembangan hubungan industrial, penulis berpendapat bahwa istilah hukum ketenagakerjaan
lebih tepat dibandingkan dengan istilah hukum perburuhan.11
1. Hukum Ketenagakerjaan dipergunakan sebagai pengganti istilah Hukum Perburuhan dalam ruang
lingkup dan cakupan serta pengerian yang sama dengan hukum perburuhan dan berkaitan dengan
keadaan bekerjanya buruh/pekerja pada suatu perusahaan. Serangkaian peraturan/sumber hukum
yang berisi peraturan yang berkaitan dengan hukum kerja adalah :
Era tahun 2000-an ada 3 peraturan sebagai sumber hukum kerja : UU No.21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/serikat buruh. Lalu UU no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Lalu UU no. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Terakhir
UU no.24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial.
Sumber hukum tertulis yang merupakan ciri khas hukum kerja : peraturan perusahaan ;
peraturan yang dibuat pengusaha tentang syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Perjanjian
kerja ; perjanjian antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak. Perjanjian kerja bersama; perjanjian hasil perundingan satu atau
10
Bab I “UMUM”, Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
11
https://www.notarisdanppat.com/prinsip-kerja-hukum-ketenagakerjaan-di-indonesia/
11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
11
beberapa serikat pekerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang memuat syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban para pihak.12
Secara yuridis hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah bebas, seseorang tidak boleh
diperbudak, diperulur maupun diperhambakan, karena memang tidak sesuai dengan pancasila dan
UUD 1945, namun secara sosiologis pekerja/buruh tidkalah bebas, karena bermodal tenaganya
saja kadangkala seorang pekerja terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun
hubungan itu memberatkan pekerja sendiri, lebih-lebih lapangan kerja sekarang tidak sebanding
dengna banyaknya tenaga kerja yang membutuhkan, ada juga bpjs ketenaga kerjaan Pemerintah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk turut serta melindungi pihak yang lemah
pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha, guna menempatkan pada kedudukan yang layak sesuai
harkat martabat manusia. Pada hakikatnya hukum kerja dengan semua peraturan perundang-
udnangan bertujuan melaksanakan keadilan sosial dengan memberikan perlindungan kepada buruh
terhadap kekuasaan pengusaha, dengan sifat pertauran yang memaksa dan memberikan sanksi
tegas kepada pengusaha yang melanggar. Dengan sifatnya yang memaksa ikut campur pemerintah,
membuat hukum kerja menjadi hukum publik dan privat sekaligus.
Begitu juga dengan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya dalam
melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menjalankan pkerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Adapun pemerintah dalam hubungan
industrial mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pengusaha berhak menolak pekerja untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya
perundingan dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengusaha wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pekerja dan/atau serikat pekerja, serta instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja
sebelum penutupan perusahaan dilaksanakan. Pemberitahuan tertulis tersebut memuat sekurang-
kurangnya:
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan;
alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan;
ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan.13
Namun, pengusaha tidak boleh menutup perusahaan sebagai tindakan balasan akibat dari tuntutan
normatif dari pekerja dan/atau serikat pekerja. Setidaknya 7 hari sebelum penutupan perusahaan,
pengusaha harus memberitahukan instansi ketenagakerjaan setempat dan para pekerja dan/atau
serikat pekerja berkenaan dengan durasi, waktu dan alasan untuk penutupan perusahaan.
12
“Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukanya”, bab. IV “Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang/PERPPU” halaman 79-80 cetakan ke-dua. Maria Farida Indrati S. penerbit Kanisius tahun 2006
13
UU KETENAGAKERJAAN NO. 13 TAHUN 2003, PASAL 146-149
12. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
12
BAB III
Penutup
A. KESIMPULAN
Perselisihan hubungan industrial timbul apabila terjadi pendapat yang menimbulkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya
perselisihan permuusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja karena adanya
perselisihan mengenai hak, kepentingan dll. Perselishan antar serikat pekerja dalam satu
perusahaan yang dapat terjadi karena perbedaan dalam melaksanakan dan menafsirkan undang-
undang. perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pada umumnya,
setiap perselisihan yang disebutkan di atas dapat diserahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Namun, sebelum mengangkat kasus ke Pengadilan, terdapat beberapa langkah awal atau solusi
alternatif yang harus dilakukan terlebih dahulu, melalui: negosiasi bipartit, mediasi, konsiliasi.
Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sangat diharapkan masyarakat dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi di zaman sekarang. Undang-Undang tersebut dapat mnjadi
jalur alternative dan titik terakhir dalam penyelesaian sengketa perburuhan antara pekerja dengan
pengusaha di dalam perusahaan di pengadilan sebagai kekuatan yang mengikat dan tetap serta
menjadi tolak ukur dan landasaran masyarkat dalam menerapkan hukum di Indonesia. Kekuatan
akta mediasi, konsiliasi, dan putusan arbitrase memang pada dasarnya memiliki kekuatan hukum
tetap dan mengikat, sehingga dalam proses atau pelaksanaanya dapaat menjamin terlaksananya
akta perdamaian.
B. SARAN
Sebagai akhir dari makalah ini, penulis ingin mencantumkan saran semoga kesejahteraan
buruh dapat diperhatikan berdasarkan dari ketetapan dan Undang-Undangan yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah, sebagai factor penunjang dan pendorong ekonomi Negara.
Banyaknya kesenjangan yang timbul di masyrakat antara golongan pekerja dengan pengusaha
diharapkan tidak menjadi suatu permasalahan dengan terbitnya produk hukum Undang-Undang
yang mengatur tentang proses dan metode penyelesaian perselisihan antara buruh/peker/serikat
pekerja dengan pengusaha.
C. REFRENSI
Ilmu Perundang-Undangan, Maria Farida Indrarti. S, Jenis, Fungsi Dan Materi Muatan, jilid I dikembangkan
Prof. Dr. A. Hamid S. Attaimimi, SH. Penerbit KANISIUS tahun 2017.
Ilmu Perundang-Undangan, Maria Farida Indrarti. S, Proses Dan Teknik Pembuatanya, jilid II dikembangkan
Prof. Dr. A. Hamid S. Attaimimi, SH. Penerbit KANISIUS tahun 2017.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 13 TAHUN 2003, PASAL 146-149
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) NO. 1 TAHUN 2005 jo.
UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukanya”, bab. IV “Proses Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang/PERPPU” halaman 79-80 cetakan ke-dua. Maria Farida Indrati S.
penerbit Kanisius tahun 2006
Bab I “UMUM”, Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2005
tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
13. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
13
https://www.notarisdanppat.com/prinsip-kerja-hukum-ketenagakerjaan-di-indonesia/
Info Hukum, kasus hubungan industrial, http://annanisaisnaniahsaadah.blogspot.com/2017/10/kasus-
perselisihanantara-pekerja-buruh.html
Google Scholar, Peraturan Perundang-Undangan
1 Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PHI) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Bab I “UMUM”, Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2005 tentang
Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
https://www.notarisdanppat.com/prinsip-kerja-hukum-ketenagakerjaan-di-indonesia/
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) NO. 1 TAHUN 2005 jo.
UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukanya”, bab. IV “Proses Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang/PERPPU” halaman 79-80 cetakan ke-dua. Maria Farida Indrati S.
penerbit Kanisius tahun 2006
Ilmu Perundang-Undangan, Maria Farida Indrarti. S, Jenis, Fungsi Dan Materi Muatan, jilid I dikembangkan
Prof. Dr. A. Hamid S. Attaimimi, SH. Penerbit KANISIUS tahun 2017.
Ilmu Perundang-Undangan, Maria Farida Indrarti. S, Proses Dan Teknik Pembuatanya, jilid II dikembangkan
Prof. Dr. A. Hamid S. Attaimimi, SH. Penerbit KANISIUS tahun 2017.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 13 TAHUN 2003, PASAL 146-149
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) NO. 1 TAHUN 2005 jo.
UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
http://etheses.uin-malang.ac.id/240/9/11220014%20Bab%204.pdf
https://betterwork.org/in-labourguide/?page_id=2863
Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukanya”, bab. IV “Proses Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang/PERPPU” halaman 79-80 cetakan ke-dua. Maria Farida Indrati S.
penerbit Kanisius tahun 2006
Dr. Susanti Adi Nugroho, S.H., M.H., “Penyelesaian Sengketa ARBITRASI dan Penerapan Hukumnya”,
KHarisma Putra Utama, 2005