Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas serba-serbi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia.
2. Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia berasal dari undang-undang, peraturan, kebiasaan, putusan hukum, perjanjian, dan traktat.
3. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 menjadi payung hukum utama di bidang ketenagakerjaan saat ini.
1. RINGKASAN EKSEKUTIF
SERBA-SERBI HUKUM PERBURUHAN DAN KETENAGAKERJAAN DI
INDONESIA
TAHUN 2018
Keberadaan buruh dan tenaga kerja menjadi faktor yang krusial dalam dunia industri. Tanpa
buruh, pemilik usaha tidak bisa menjalankan bisnisnya dengan baik. Di sisi lain, buruh juga
tidak bisa bertindak seenak hatinya ketika melaksanakan kewajiban di tempat kerja. Oleh
karena itu, perlu ada hukum yang secara khusus mengatur hubungan antara pemilik usaha
dengan para buruh dan tenaga kerja.
Apalagi, Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum, semua aturan yang
menyangkut hak dan kewajiban warga negara harus memiliki hukum tertulis yang jelas.
Landasan utama hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak lain adalah
Undang-Undang Dasar 1945. Lewat UUD 1945, setiap warga negara berhak memperoleh
pekerjaan serta penghidupan yang layak. Oleh karena itu, hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia harus dipatuhi oleh semua warga negara.
SEJARAH PERKEMBANGAN UU KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
2. Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum masa
kemerdekaan. Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan Pemerintah
Indonesia, tapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan,
hukum terkait ketenagakerjaan dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam perjalanannya, hukum
perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu
dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan hukum perbudaan, era orde lama,
orde baru, dan masa reformasi.
Zaman Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang
diberlakukan. Empat hukum tersebut adalah perbudakan, perhambaan, kerja rodi,
dan Poenale Sanctie. Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat
Indonesia yang menjadi budak tidak memiliki hak apapun, termasuk hak hidup. Beberapa
aturan yang dibuat terkait perbudakan pada masa ini antara lain adalah peraturan pendaftaran
budak, pajak atas kepemilikan budak, ataupun penggantian nama untuk para budak.
Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan dengan
perbudakan, hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba, menurut hukum ini, merupakan
barang jaminan karena adanya utang yang belum bisa dilunasi. Alhasil, selama utangnya
belum lunas, seorang hamba bakal terus mengabdi kepada majikan. Setelah hukum
perhambaan, muncul hukum rodi, yang dalam praktiknya juga tidak jauh berbeda dengan
perbudakan. Pada hukum rodi, masyarakat dipaksa untuk bekerja demi kepentingan
penguasa. Salah satu wujud kekejaman dari hukum rodi di zaman penjajahan Belanda ini
adalah pembangunan Jalan Daendels sejauh 1.000 km yang menghubungkan antara
Panarukan di Jawa Timur dengan Anyer di Banten.
Poenale Sanctie menjadi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku
setelah hukum rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya Agrarische Wet alias
Undang-Undang Agraria pada tahun 1970. Pada masa ini, muncul banyak perusahaan
perkebunan swasta berskala besar. Oleh karena itu, hukum yang mengatur perburuhan
berperan sentral. Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie Straaf reglement
alias Peraturan Pidana Polisi. Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan majikan,
dan akhirnya dihapus pada tahun 1879. Keberadaannya digantikan oleh Koeli
Ordonantie (1880) yang kemudian dikenal dengan nama Poenale Sanctie.
3. Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan, ancaman, atau
pemerasan dalam hubungan perburuhan. Selain itu, perjanjian antara buruh dan majikan
harus dilakukan secara tertulis pada rentang waktu tertentu. Ketika aturan ini dilanggar, bakal
ada sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya, baik majikan ataupun buruh.
Orde Lama
Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami
perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan kepada para tenaga kerja.
Sebagai buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah :
1. UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja
2. UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja
3. UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
4. UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan
5. UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
6. UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai
Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
7. Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh
Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan tetap
menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan
Industrial Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini
dibuat dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta
kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait.
Masa Reformasi
Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami
perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang
singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman
Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.
4. Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83
Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi
aturan ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan
ini juga diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.
Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan
terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan
peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya
perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat
itu.
Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari
15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.
Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan
perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat
dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan
dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
SUMBER HUKUM PERBURUHAN DAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
5. Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya berasal 1 satu
peraturan. Ada 6 jenis sumber hukum yang diakui dan dijalankan. Enam sumber hukum
tersebut adalah :
Undang-undang
Undang-undang merupakan aturan yang ditetapkan oleh presiden dengan disetujui oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada pula Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) yang memiliki hukum setara dengan undang-undang. Berbeda
dengan undang-undang, penetapan perpu bisa dilakukan secara langsung oleh presiden tanpa
harus memperoleh persetujuan DPR. Namun, perpu harus diajukan pada persidangan DPR
berikutnya dalam rangka penetapan aturan tersebut menjadi undang-undang.
Peraturan lain
Peraturan lain merupakan aturan yang secara hukum posisinya berada di bawah undang-
undang. Ada beberapa jenis peraturan yang masuk dalam kategori ini, di antaranya adalah
Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta peraturan atau keputusan instansi.
Karena mencakup banyak pihak, tidak heran kalau peraturan lain yang menyangkut tentang
perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat banyak. Sebagai contoh di antaranya
adalah, Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, Permendag Nomor 50 Tahun 2010, Perpres
Nomor 12 tahun 2013, dan lain-lain.
Kebiasaan
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan berikutnya di Indonesia adalah kebiasaan.
Suatu kebiasaan dianggap sebagai hukum tak tertulis ketika menjadi hal yang telah dilakukan
berulang-ulang. Apalagi, banyak pihak yang menaati aturan tak tertulis dan menerimanya
tanpa ada keluhan.
Putusan hukum
Putusan hukum menjadi aturan hukum yang harus ditaati berikutnya. Hanya saja, putusan
hukum berlaku secara terbatas. Sebagai contoh, pada kasus putusan Mahkama Konstitusi
(MK) terhadap gugatan hukum pada isi UU Ketenagakerjaan. Sebagian gugatan diterima oleh
hakim, tapi putusan ini tidak mengubah isi undang-undang.
6. Perjanjian
Perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan karyawan juga menjadi salah satu bentuk
sumber hukum perburuhan dan ketenaga kerjaan. Hanya saja, secara umum perjanjian hanya
mengikat kepada pihak yang berkaitan secara langsung. Selain itu, isi dari perjanjian biasanya
boleh diketahui oleh pihak terkait. Apalagi, perjanjian ketenagakerjaan yang melibatkan
serikat pekerja dengan perkumpulan pengusaha.
Traktat
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang terakhir adalah
traktat, perjanjian yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa negara. Konvensi yang
merupakan perjanjian internasional oleh lembaga dunia menjadi salah satu jenis traktat,
misalnya konvensi ILO.
Hanya saja, di Indonesia, konvensi ILO tidak secara otomatis menjadi sumber hukum
perburuhan dan ketenagakerjaan. Agar aturan pada konvensi itu bisa diberlakukan di
Indonesia, pemerintah harus melakukan ratifikasi. Contoh ratifikasi yang pernah dilakukan
antara lain adalah, UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138
Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973.
UU KETENAGAKERJAAN TERBARU DI INDONESIA
7. Baca juga: inilah tahapan penyelesaian sengketa konstruksi pasca terbitnya undang undang
jasa kontruksi nomor 2 tahun 2017, Seperti yang telah disebutkan, undang-undang menjadi
aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan tertinggi di Indonesia. Di bawahnya, baru ada
peraturan lain yang dibuat dengan landasan undang-undang. Saat ini, terdapat 4 aturan
perundang-undangan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia,
yaitu:
UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-undang ini mengatur terkait perselisihan yang muncul dalam hubungan industrial.
Berdasarkan aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia ini, terdapat 4
jenis perselisihan yang bisa terjadi, yaitu :
1. Perselisihan hak
Perselisihan ini timbul disebabkan oleh tidak dipenuhinya hak yang merupakan akibat adanya
perbedaan pemahaman atau pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Perselisihan kepentingan
Perselisihan ini muncul dalam hubungan industrial karena tidak adanya kesepahaman
mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja pada perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kepahaman mengenai pemutusan hubungan
kerja oleh salah satu pihak. Dalam penyelesaian perselisihan itu, pihak-pihak yang terkait
bisa memilih berbagai metode, seperti perundingan bipartit, mediasi oleh pemerintah,
penyelesaian melalui konsiliasi, penyelesaian lewat arbitrase, ataupun pengadilan perselisihan
hubungan industrial (PHI).
4. Perselisihan antara serikat pekerja
Perselisihan ini terjadi pada dua serikat pekerja atau lebih yang berada dalam 1
perusahaan. Perselisihan itu bisa terjadi karena tidak adanya kesesuaian pemahaman terkait
keanggotaan, pelaksanaan hak, serta kewajiban keserikatpekerjaan.
8. UU Nomor 18 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Tahun 2017
Undang-undang ini mengatur terkait penempatan, perlindungan, serta persyaratan para tenaga
kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri. Keberadaannya menggantikan UU No 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar
Negeri.
Di dalamnya, diatur secara rinci tahapan yang harus dilalui ketika seorang warga negara ingin
mengajukan diri menjadi seorang TKI. Selain itu, diatur pula terkait perusahaan jasa tenaga
kerja Indonesia (PJTKI).
Selain itu, UU ini juga memberi perlindungan tidak hanya pada TKI, tapi juga anggota
keluarga. Hal ini sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja
UU Nomor 21 Tahun 2000 memberikan kesempatan bagi para buruh untuk mendirikan
organisasi buruh secara mandiri. Tidak heran kalau saat ini banyak bermunculan serikat
buruh yang memiliki visi serta misinya masing-masing. Bahkan, dalam satu perusahaan, bisa
muncul serikat buruh lebih dari 1 organisasi. Hal ini sangat memungkinkan karena menurut
aturan ini, buruh bisa mendirikan organisasi dengan anggota minimal 10 orang.
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan landasan dasar dari aturan
hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia. UU ini memiliki total sebanyak 193
pasal dan memiliki cakupan hukum yang luas. Undang-undang ini juga mengatur tentang
status hubungan industrial pada setiap jenis usaha. Mulai dari usaha kecil, menengah, hingga
usaha besar.
Undang-undang ini pun mengatur tentang hubungan kerja yang berlangsung antara buruh
dengan perusahaan, termasuk di antaranya adalah perlindungan, hak , serta kewajiban
masing-masing pekerja dan pengusaha. Secara khusus, problem yang kerap menjadi sorotan
dari UU Ketenagakerjaan ini adalah terkait kebijakan outsourcing, pemberian upah murah,
serta PHK yang terjadi seenaknya.
9. MENGKRITISI HUKUM PERBURUHAN DAN KETENAGAKERJAAN DI
INDONESIA
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat kompleks. Apalagi, aturan ini
dibuat untuk mengatur seluruh warga negara dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya
lebih dari 200 juta jiwa. Tidak heran kalau aturan ini pun memiliki banyak kekurangan.
Karena itu, para buruh dalam setiap perayaan May Day yang jatuh pada tanggal 1 Mei,
menyuarakan pendapatnya agar pemerintah melakukan revisi hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia. Permintaan revisi itu tidak hanya terkait UU Ketenagakerjaan,
tapi juga UU terkait lain.
Baca juga: pengusaha tetap wajib membayar upah tertangguh Keberadaan aturan hukum
ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya merugikan bagi para buruh. Kerugian tidak kalah
besar juga diperoleh para pengusaha. Oleh karena itu, permintaan revisi serupa juga
diungkapkan oleh para pengusaha, baik pengusaha lokal ataupun pengusaha luar negeri yang
menanamkan modalnya di Indonesia.
Setidaknya, ada 5 poin yang menjadi kritik untuk aturan hukum ketenagakerjaan di
Indonesia, yaitu :
1. PHK karyawan
Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa perusahaan bisa memecat karyawan
ketika melakukan kesalahan berat. Hanya saja, undang-undang ini tidak menyebutkan secara
10. jelas kriteria yang termasuk dalam kesalahan berat tersebut. Alhasil, buruh menjadi pihak
yang dirugikan akibat aturan ini.
2. Karyawan outsourcing
Alih daya tenaga kerja (outsourcing) menjadi sumber permasalahan yang banyak dikritik dari
UU Ketenagakerjaan. Pada praktiknya, banyak perusahaan yang menggunakan
karyawan outsourcing untuk memenuhi kebutuhan tenaga pada kegiatan utama. Namun, para
pengusaha kerap beralasan bahwa UU ini tidak menyebutkan secara jelas penafsiran dari
kegiatan utama.
3. Inkonsistensi
UU ini juga memiliki inkonsistensi pada pasal-pasalnya. Hal ini diungkapkan oleh Prof.
Aloysius Uwiyono dari Universitas Indonesia seperti dikutip dari Hukum Online. Salah satu
inkonsistensi pada UU ini adalah terkait perjanjian kerja waktu tertentu atau KKWT.
UU ini menyebutkan bahwa KKWT merupakan perjanjian yang dilakukan pada jangka waktu
tertentu. Namun, pada pasal lain, mengungkapkan bahwa perjanjian kerja pada pekerjaan
yang bersifat tetap, tidak boleh memakai aturan perjanjian kerja waktu tertentu.
Secara khusus, inkonsistensi ini menjadi menjadi permasalahan pada UU Ketenagakerjaan
yang merugikan para pengusaha. Kritik terhadap undang-undang ini dari kalangan pengusaha
pernah dilontarkan oleh Direktur Utama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia,
Masahiro Nonami.
Dalam wawancaranya dengan Tempo, Nonami mengungkapkan bahwa tuntutan upah layak,
penolakan PHK, ataupun permintaan tunjangan sosial dari kalangan buruh sudah menjadi hal
yang biasa, khususnya di negara berkembang. Hal seperti ini pernah terjadi di Jepang pada
kurun 1970-an.
Menurut Nonami, permasalahan seperti itu tidak akan dihadapi pemerintah kalau UU
Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia memiliki aturan yang jelas. Selama ini, ujar
Nonami, aturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia dianggapnya tidak jelas.
Alhasil, terjadi multitafsir dalam penerapannya di lapangan.
11. 4. Pengadilan PHI
Selama ini, pengadilan yang mengurusi perselisihan dalam hubungan industrial bersifat
yudikatif. Hal ini dianggap tidak tepat, karena seharusnya lembaga tersebut secara khusus
menangani permasalahan hubungan industrial. Alih-alih lembaga yudikatif, pengadilan PHI
lebih cocok adalah lembaga eksekutif.
Tidak hanya itu, pengadilan PHI juga harus menyediakan layanan pencarian keadilan yang
ramah bagi para buruh. Apalagi, saat ini dalam praktiknya, pertikaian antara buruh melawan
pengusahan di pengadilan PHI berakhir dengan kemenangan pengusaha. Mayoritas karena
masalah finansial dari para buruh.
5. Pengadilan PHI sebagai sarana buruh mencari keadilan
Dosen hukum ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Unair, Hadi Subhan mengatakan
pengadilan PHI tidak memberi perlindungan kepada para buruh. Padahal, sejatinya
keberadaan pengadilan PHI merupakan sarana para buruh dalam mencari keadilan.
Oleh karena itu, pengadilan PHI seharusnya diberlakukan seperti PTUN. Di situ, rakyat bisa
menggugat pejabat negara, namun tidak berlaku sebaliknya. Kalau hal ini diberlakukan, maka
buruh bisa menggugat perusahaan, tapi perusahaan tak bisa menuntut buruh.
SOLUSI PERMASALAHAN HUKUM PERBURUHAN DAN KETENAGAKERJAAN
DI INDONESIA
12. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Prof. Dr. Lukman Hakim mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir,
konflik antara pengusaha dengan para buruh mengalami peningkatan. Menariknya, sumber
permasalahan dari konflik tersebut tidak lain adalah UU Ketenagakerjaan.
Seiring dengan peningkatan perselisihan tersebut, pihak-pihak yang tengah berselisih, baik
pengusaha ataupun para buruh harus mempersiapkan diri dengan baik. Salah satunya adalah
dengan menggunakan tenaga pengacara khusus hukum perburuhan dan ketenagakerjaan.
Untuk solusi terbaik, Anda bisa menggunakan layanan pendampingan hukum yang
disediakan BP Lawyers. BP Lawyers memiliki pengalaman dalam menangani beragam
masalah dalam lingkup hubungan industrial. Para pengacara yang bergabung di BP Lawyers
terbukti telah memenangkan beberapa kasus perselisihan hubungan industrial.
SUMBER
Adminbpl. 2018. https://bplawyers.co.id/2018/06/05/serba-serbi-hukum-perburuhan-dan-
ketenagakerjaan-di-indonesia/. (Kamis, 18 April 2019. Jam 10.30)