SlideShare a Scribd company logo
1 of 40
Download to read offline
0
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
HUKUM KETENAGAKERJAAN
DAN PROBLEMATIKANYA
MODUL PEMBELAJARAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG KARNO
JAKARTA
1
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
BAB 1 PENDAHULUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
1. PENGANTAR
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan mengatur tentang segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah kerja.
Hukum ketenagakerjaan kalau dipelajari lebih jauh cakupannya cukup luas. Hukum
ketenagakerjaan bukan hanya mengatur hubungan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha dalam pelaksanaan hubungan kerja tetapi juga termasuk seorang yang
akan mencari kerja melalui proses yang benar ataupun lembaga-lembaga pelaksana
yang terkait, serta menyangkut pekerja yang purna atau selesai bekerja.
Hukum ketenagakerjaan adalah merupakan suatu peraturan-peraturan tertulis atau
tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama, dan sesudah
tenaga kerja berhubungan dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan dan
apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana termasuk lembaga-
lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga kerja.
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan, diantaranya: berdasarkan ketentuan UU NO 13
tahun 2003 tentang adalah sebagai berikut :
 Menurut Pasal 1 Ayat (1) UU No.13/2003 tentenag Ketenagakerjaan,
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
 Menurut A.N Molenaar: Hukum yang mengatur hubungan antara buruh
dengan buruh, buruh dengan pengusaha, pengusaha dengan penguasa,
penguasa dengan buruh.
 Menurut MG. Levenbach & S. Mook: Hukum yang berkenaan dengan
hubungan kerja, dimana pekerjaan dilakukan dibawah suatu pimpinan orang
lain, dan dengan keadaan kehidupan yang langsung bersangkut paut dengan
hubungan kerja itu.
 Menurut Neh Van Esveld: Hukum yang meliputi hubungan kerja baik
didalam hubungan kerja (pekerjaan itu dibawah pimpinan orang lain),
maupun diluar hubungan kerja (melakukan pekerjaan atas tanggung jawab
sendiri)
2
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
 Menurut Prof. Imam Soepomo, SH berpendapat bahwa Hukum
ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak, yang
berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah.
 Menurut Aloysius Uwiyono: Hukum tertulis/tidak tertulis yang mengatur
Hak & Kewajiban antara: Penerima Kerja, yang bekerja dibawah pimpinan
Pemberi Kerja, yang menerima hasil pekerjaan dari Penerima Kerja, dengan
Pemberi Kerja yang mempekerjakan Penerima Kerja yang berhak atas upah
dari Pemberi Kerja, dan Pemerintah yang mengatur hak / kewajiban
Penerima Kerja dan Pemberi Kerja, Yang berlaku secara sektoral, regional,
nasional, maupun internasional, baik yang terjadi sebelum, pada saat,
atau sesudah hubungan kerja, dan bersifat perdata, publik, dan pidana.
 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Perburuhan adalah yang bertalian
dengan urusan, pekerjaan dan keadaan kaum buruh.
Dengan demikian adalah sepadan makna kata perburuhan dengan kata
ketenagakerjaan, demikian pula dengan kata buruh atau pekerja adalah sama
hakekatnya orang yang bekerja dengan menerima upah bukan pemberi upah. Perlu
dicamkan semua itu sebenarnya hanyalah soal permufakatan (afspraak) belaka
artinya dapat bermufakat kata tersebut.
Tujuan dari dibentuknya hukum ketenagakerjaan adalah untuk :
 memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
 mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
 memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
 meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
 Selain itu, hukum ketenagakerjaan juga mengatur hubungan antara tenaga
kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hubungan kerja terdiri dari dua
macam yaitu hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) dan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT). Perjanjian kerja yang dibuat tersebut dapat dilakukan
secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku. Mengenai hubungan kerja tersebut diatur di Bab IX Pasal 50-66 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang dibentuk
antara pengusaha dan pekerja/buruh haruslah berlandaskan dan sesuai dengan
3
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
substansi dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan
hukum lainnya yang terkait.
Di dalam menjalankan aktivitas perusahaan, pengusaha mempunyai kewajiban untuk
memenuhi hak dari setiap pekerja. Hak pekerja tersebut diantaranya yaitu hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi atas dasar apapun, hak untuk
mengembangkan kompetensi kerja, hak untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya, hak untuk mendapatkan upah atau penghasilan yang sesuai dengan
harkat dan martabat manusia, hak untuk mendapatkan perlindungan, kesejahteraan,
kesehatan, dan keselamatan kerja.
Apabila pekerja merasa bahwa hak-haknya yang dilindungi dan diatur di dalam
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut merasa tidak terpenuhi
dan diabaikan oleh pengusaha maka hal tersebut akan dapat menyebabkan
perselisihan-perselisihan tertentu antara pengusaha dan pekerja. Jika perselisihan itu
terjadi, maka peraturan hukum di Indonesia telah mengaturnya di dalam UU No. 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Perselisihan
Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Setiap bentuk perselisihan tersebut
memiliki cara atau prosedur tersendiri untuk menyelesaikannya baik itu melalui
perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau diselesaikan di Pengadilan
Hubungan Industrial.
2. SEJARAH PERKEMBAGAN UU KETENAGAKERJAAN
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum masa
kemerdekaan. Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan
Pemerintah Indonesia, tapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan, hukum terkait ketenagakerjaan dikeluarkan oleh pemerintah.
Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia
mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu dimulai dari era penjajahan Belanda
yang memberlakukan hukum perbudaan, era orde lama, orde baru, dan masa
reformasi.
4
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
A. Zaman Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan ketenagakerjaan
yang diberlakukan. Empat hukum tersebut adalah perbudakan, perhambaan, kerja
rodi, dan Poenale Sanctie.
Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat Indonesia yang
menjadi budak tidak memiliki hak apapun, termasuk hak hidup. Beberapa aturan
yang dibuat terkait perbudakan pada masa ini antara lain adalah peraturan
pendaftaran budak, pajak atas kepemilikan budak, ataupun penggantian nama untuk
para budak.
Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan
dengan perbudakan, hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba, menurut hukum
ini, merupakan barang jaminan karena adanya utang yang belum bisa dilunasi.
Alhasil, selama utangnya belum lunas, seorang hamba bakal terus mengabdi kepada
majikan.
Setelah hukum perhambaan, muncul hukum rodi, yang dalam praktiknya juga tidak
jauh berbeda dengan perbudakan. Pada hukum rodi, masyarakat dipaksa untuk
bekerja demi kepentingan penguasa. Salah satu wujud kekejaman dari hukum rodi di
zaman penjajahan Belanda ini adalah pembangunan Jalan Daendels sejauh 1.000 km
yang menghubungkan antara Panarukan di Jawa Timur dengan Anyer di Banten.
Poenale Sanctie menjadi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang
berlaku setelah hukum rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya
Agrarische Wet alias Undang-Undang Agraria pada tahun 1970. Pada masa ini,
muncul banyak perusahaan perkebunan swasta berskala besar. Oleh karena itu,
hukum yang mengatur perburuhan berperan sentral.
Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie Straaf reglement alias
Peraturan Pidana Polisi. Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan
majikan, dan akhirnya dihapus pada tahun 1879. Keberadaannya digantikan oleh
Koeli Ordonantie (1880) yang kemudian dikenal dengan nama Poenale Sanctie.
Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan,
ancaman, atau pemerasan dalam hubungan perburuhan. Selain itu, perjanjian antara
buruh dan majikan harus dilakukan secara tertulis pada rentang waktu tertentu.
Ketika aturan ini dilanggar, bakal ada sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya,
baik majikan ataupun buruh.
B. Zaman Orde Lama
Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia
mengalami perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan
5
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
kepada para tenaga kerja. Sebagai buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis
antara lain adalah:
 UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja
 UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja
 UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
 UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat
Buruh dan Majikan
 UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
 UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98
mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
 Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh
C. Zaman Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan
dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut
dengan Hubungan Industrial Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai
dengan namanya, aturan ini dibuat dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan,
ada lembaga bipartit, tripartit, serta kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya
diambil dari pihak-pihak terkait.
Masa Pemerintahan Soeharto
1) Pada 5 Juni dikeluarkan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 yang
mensahkan Konvensi ILO No.87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Concerning Freedom of
Association and Protection of the Right to Organise) berlaku di Indonesia.
2) Meratifikasi K.ILO tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan
Bekerja/Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi
No. 138 tahun 1973) yang memberi perlindungan terhadap hak asasi anayang
anak dengan membuat batasan usia untuk diperbolehkan bekerja melalui UU
No. 20 Tahun 1999.
3) Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia Tahun 1998-
2003 yang salah satunya diwujudkan dengan pengundangan UU No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Peraturan Pemerintah
6
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Pengganti UU (Perppu) No. 1 tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
D. Masa Reformasi
Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami
perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun
yang singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden
Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004),
hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang
2004-2014.
Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden
Nomor 83 Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada
pula ratifikasi aturan ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan,
pada masa pemerintahan ini juga diluncurkan perpu yang mengatur tentang
pengadilan HAM.
Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan
perlindungan terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu
dilakukan dengan peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja.
Selain sebagai upaya perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai sarana untuk
memperbaiki iklim demokrasi saat itu.
Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan
dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah
peluncuran UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini
menjadi pengganti dari 15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.
Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya
aturan perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU
yang dibuat dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39
Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
3. PERATURAN-PERATURAN TERKAIT KETENAGAKERJAAN
Indonesia adalah negara hukum dan menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Oleh sebab itu, segala sesuatu harus didasarkan pada hukum tertulis. Sumber hukum
ketenagakerjaan saat ini (s/d tahun 2011) terdiri dari peraturan perundang-undangan
dan diluar peraturan perundang-undangan. Namun payung hukum utama bagi urusan
ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang
7
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal
20 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga menjadi payung hukum
utama. Berdasarkan pondasi tersebut, maka terbentuklah Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan)
yang menjadi dasar hukum utama dalam bidang ketenagakerjaan. Selain UUD 1945
dan UU Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum lain yang menjadi tonggak
pengaturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber hukum formil maupun sumber
hukum materiil.
Beberapa Peraturan Tentang Ketenagakerjaan, diantaranya:
 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
 Undang-Undang No. 39 Tahun 200 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
 Undang-Undang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention
No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi
ILO No. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan
Perdagangan)
 Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention
No.182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for Elimination of
the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No.182 Mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk Bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak)
 Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention
No. 111 concerning Discrimination in Respect of Employment and
Occupation (Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan
Jabatan)
Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 Pengesahan tentang ILO Convention
No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi
ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja)
 Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention
No. 105 concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO mengenai
Penghapusan Kerja Paksa)
 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Hari Tua.
 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Pensiun.
 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Kerja Dan Jaminan Kematian.
 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan
Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Penempatan Dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.
8
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
 Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing Serta Pelaksanaan Pendidikan Dan Pelatihan Tenaga Kerja
Pendamping.
 Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
 Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan
 Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja.
 Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan dan
Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia.
 Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi Pemulangan
Tenaga Kerja Indonesia.
 Peraturan Presiden No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
4. SISTEMETIKA UU KETENAGAKERJAAN
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdiri dari XVIII Bab
dan 193 Pasal, lihat Tabel 1.1.
Tabel 1.1 tentang Sistematika UU No. 13/2003
BAB TENTANG JUMLAH PASAL
I Ketentuan Umum Pasal 1
II Landasan, Azas, dan Tujuan Pasal 2-4
III Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama Pasal 5-6
IV Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi
Ketenagakerjaan
Pasal 7-8
V Pelatihan Kerja Pasal 9-30
VI Penempatan Tenaga Kerja Pasal 31-38
VII Perluasan Kesempatan Kerja Pasal 39-41
VIII Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 42-49
IX Hubungan Kerja Pasal 50-66
X Perlindungan, Pengupahan, dan
Kesejateraan
Pasal 67-101
Bagaian Kesatu - Perlindungan Pasal 67-87
Paragraf 1 – Penyandang Cacat Pasal 67
Paragraf 2 – Anak Pasal 68-75
Paragraf 3 – Perempuan Pasal 76
Paragrap 4 – Waktu Kerja Pasal 77-85
Paragraf 5 – Keselamtan dan Kesehatan Kerja Pasal 86-87
Bagian Kedua – Pengupahan Pasal 88-98
Bagian Ketiga - Kesejateraan Pasal 99-101
XI Hubungan Industrial Pasal 102-149
Bagian Kesatu – Umum Pasal 102-103
Bagian Kedua – Serikat Pekerja/Serikat
Buruh
Pasal 104
9
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Bagaian Ketiga – Organisasi Pengusaha Pasal 105
Bagian Keempat – Lembaga Kerja Sama
Bipartit
Pasal 106
Bagian Kelima – Kerja Sama Tripartit Pasal 107
Bagian Keenam – Peraturan Perusahaan Pasal 108-115
Bagian Ketujuh – Perjanjian Kerja
Bersama
Pasal 116-135
Bagian Kedelapan – Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
Pasal 136
Paragraf 1 – Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 136
Paragraf 2 – Mogok Kerja Pasal 137-145
Paragraf 3 – Penutupan Perusahaan (Lock
Out)
Pasal 146-149
BAB XII Pemutusan Hubungan Kerja Pasal 150-172
BAB XIII Pembinaan Pasal 173-175
BAB XIV Pengawasan Pasal 176-181
BAB XV Penyidikan Pasal 182
BAB XVI Ketentuan Pidana dan Sanksi
Administratif
Pasal 183
Bagian Pertama – Ketentuan Pidana Pasal 183-189
Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 190
BAB XVII Ketentuan Peralihan Pasal 191-193
BAB XVIII Ketentuan Penutup Pasal 192 -193.
 Beberapa ketentuan Pasal- pasal dalam UU No 13 tahun 2003 yaitu : Pasal
158, 159, 160, 170, 158 (1), 171, 158 (1), 186, 137, dan Pasal 138 (1) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak digunakan lagi sebagai
dasar hukum.
 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 12/PUU-I/2003
tanggal 28 Oktober 2004 tentang hak uji materil UU No 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD RI tahun 1945, Berita Negara No. 92
tahun 2004 tanggal 17 November tahun 2004, jo Surat Edaran MENTERI
Tenaga Kerja RI NO SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005.
 Kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 115/PPU-
VII/2003, ketetuan pada Pasal 129 ayat (1) dihapus karena bertentangan
dengan UUD 1945. Frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau ayat (2) terpenuhi, maka…” dalam Pasal 120 ayat (3)
dihapus, sehingga berbunyi, “Para serikat pekerja/serikat buruh membentuk
tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.”
Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut harus dimaknai “dalam hal di satu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah
10
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan
perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga
serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh
yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan.”
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor:19/PUU-IX/2011, tentang
pengujian Pasal 164 ayat (3), Frasa “perusahaan tutup” harus dimaknai bahwa
perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara
waktu. Artinya, PHK terhadap pekerja/buruh bisa dilakukan oleh pengusaha
apabila perusahaannya tutup secara permanen atau perusahaannya tutup tidak
untuk sementara waktu sehingga peristiwa perusahaan melakukan PHK
kepada pekerja/buruh dengan alasan efisiensi sehingga merugikan hak
pekerja/buruh, tidak terjadi lagi.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 27/PUU-IX/2011, tentang
pengujian Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b. Frasa “perjanjian
kerja waktu tertentu” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam
perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan
hak-hak bagi bekerja yang obyek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi
pergantian perusahaan outsourcing. Dalam putusan ini Mahkamah
menentukan dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh
outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing
tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu”. Kedua, penerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing. Dengan menerapkan prinsip ini, ketika perusahaan pemberi
kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama dan
memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru,
maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan
berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak
kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam
kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali
perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena
bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 37/PUU-IX/2011 tentang
pengujian Pasal 155 ayat (2). Frasa “belum ditetapkan” harus dimaknai
sampai berkekuatan hukum tetap, sehingga untuk kasus perselisihan hak dan
PHK yang dimohonkan kasasi, pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya sampai keluar putusan yang berkekuatan
11
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
hukum tetap. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh
Pengadilan Hubungan Industrial, dan ada yang tidak dapat langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan yang tidak dapat langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu perselisihan hak dan PHK yang
dimohonkan kasasi.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 58/PUU-IX/2011 tentang
pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c. Pasal 169 ayat (1) huruf c harus
dimaknai pekerja/buruh tetap dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah
ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun
pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 100/PUU-X/2012,
Menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah upah dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang
harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan
pemberi kerja.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 67/PUU-XI/2013, tentang
pengujian Pasal 95 ayat (4). Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian; Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai; “pembayaran upah pekerja/buruh yang
terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan
kreditur separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang dan badan umum yang
dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya
didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang
dan badan umum yang dibentuk pemeirntah, kecuali tagihan dari kreditur
separatis”.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 7/PUU-XII/2014 tentang
pengujian Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4). Frasa “demi
hukum” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pekerja
dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan ke Pengadilan Negeri setempat
dengan syarat: (a) telah melaksanakan perundingan bipartit namun
perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu
pihak menolak untuk berunding, (b) telah dilakukan pemeriksaan oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Artinya, pekerja kontrak bisa menempuh upaya hukum ke
pengadilan untuk memperoleh penetapan status PKWTT atau sebagai pekerja
12
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
tetap dengan meminta pengesahan nota pemeriksaan ke Pengadilan Negeri
dengan catatan telah melaksanakan perundingan bipartit dan gagal atau salah
satu menolak, serta telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 72/PUU-XII/2015, tentang
pengujian Pasal 90 ayat (2). Frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan
ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan”
pada penjelasan Pasal 90 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. Artinya,
apabila masa penangguhan pelaksanaan upah minimum telah berakhir, maka
selain perusahaan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat
itu, perusahaan juga wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum
yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.
 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 13/PUU-XV/2017, tentang
pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f. Membatalkan frasa “kecuali telah diatur
dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja
bersama (PKB)” sehingga Pasal 153 ayat (1) huruf f berbunyi “Pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja atau
buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja
atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan.” Artinya, sesama pekerja boleh
menikah dalam satu perusahaan tanpa PHK termasuk memiliki hubungan
darah, atau ke depan tidak boleh ada lagi perusahaan, dengan dalih diatur
dalam PK, PP, PKB, mem-PHK pekerjanya karena alasan menikah atau
memiliki hubungan darah dalam satu perusahaan.
Selanjutnya, Undang-undang lainnya yang masih berhubungan dengan
ketenagakerjaan dalam arti selama bekerja adalah UU NO 3 tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Defenisi Jaminan sosial tenaga kerja menurut Pasal 1
(1) Undang-undang ini : Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan
bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian
dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan akibat peristiwa atau
keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, hari
tua dan meninggal dunia.
Undang-undang yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dalan arti sesudah
bekerja diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Pengertian menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (1) perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
pendapat antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat
pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan. Sebagai peraturan pelaksana dari
13
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Undang-undang terebut diatas diatur dalam Peraturan pemerintah (PP), Peraturan
Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) dan Keputusan menteri tenaga kerja.
14
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
BAB II HUBUNGAN KERJA
1. PENGERTIAN HUBUNGAN KERJA
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.1
Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah merupakan sesuatu yang abstrak,
sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkrit, nyata. Dengan adanya
perjanjian kerja, maka akan lahir perikatan. Dengan perkataan lain, perikatan yang
lahir karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja. Menurut
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, unsur-unsur hubungan kerja
terdiri dari adanya pekerjaan, adanya perintah dan adanya upah (Pasal 1 angka 15
UUK). Sedangkan hubungan bisnis adalah hubungan yang didasarkan pada
hubungan kemitraan atau hubungan keperdataan (bugerlijke maatschap, partnership
agreement).
Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi
setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah
dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja
dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja.
Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan
hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha.
Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan
pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang
memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah
disepakati.
Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja
adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari
perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai:
 Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan
kerja)
 Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak
dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)
1
Lihat Pasal 1 Angka 15 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
15
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
 Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus
merupakan hak dari si pekerja atas upah)
 Berakhirnya Hubungan Kerja
 Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan
Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja, diantaranya:
A. Adanya Pekerjaan
Adanya pekerjaan tertentu yang harus diselesaikan atau dilakukan oleh pekerja
adalah unsur dalam sebuah hubungan kerja. Dengan disepakatinya perjanjian kerja
oleh kedua belah pihak, maka pekerja terikat kewajiban untuk melakukan pekerjaan.
Pasal 1603 KUH Perdata mengaturnya sebagai berikut:
 “Buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut
kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang
harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau reglemen, maka hal
itu ditentukan oleh kebiasaan.”
 Pekerjaan tersebut wajib dikerjakan sendiri oleh pekerja. Pasal 1603a KUH
Perdata menyatakan: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya
dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannnya.”
 Atas tenaga, waktu, serta keahlian yang dikerahkan untuk pekerjaan itulah,
pekerja berhak mendapatkan upah.
B. Adanya Perintah
Unsur perintah dalam sebuah hubungan kerja artinya ada pihak yang memberi
perintah dan ada yang wajib melakukan perintah itu, yaitu pekerja. Unsur perintah
dapat dimaknai luas, misalnya berupa target kerja, instruksi, dan lain-lain. Kewajiban
pekerja untuk tunduk pada perintah perusahaan/ majikan ini antara lain diatur dalam
KUH Perdata Pasal 1603b:
“Buruh wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan aturan-aturan yang
dimaksudkan untuk perbaikan tata tertib perusahaan majikan yang diberikan oleh
atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan, perjanjian
atau reglemen, atau jika ini tidak ada, dalam batas-batas kebiasaan.”
Jika kita cermati kembali definisi perjanjian kerja dalam UU Ketenagakerjaan No 13
Tahun 2003, akan tampak adanya faktor “waktu” yang perlu dinyatakan dalam
perjanjian tersebut. Namun, apabila waktu/ lamanya hubungan kerja tidak disebutkan
dalam perjanjian atau peraturan undang-undang, maka yang berlaku adalah menurut
kebiasaan (KUH Perdata Pasal 1603e). Dan, jika masih tidak dapat ditetapkan, maka
hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu sampai dinyatakan
putus (KUH Perdata Pasal 1603g).
16
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Pasal 1603d
“Pada umumnya buruh wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang
dalam keadaan
yang sama seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang buruh yang
baik.”
KUH Perdata Pasal 1603g
“Jika lamanya hubungan kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau
reglemen, maupun dalam peraturan undang-undang atau menurut kebiasaan, maka
hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu. Jika hubungan
kerja diadakan untuk waktu yang tidak tentu atau sampai dinyatakan putus, tiap
pihak berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan hubungan kerja,
asal diindahkan ketentuan kedua pasal berikut.”
C. Adanya Upah
Definisi upah berdasarkan Pasal 1 angka 30 dalam UU Ketenagakerjaan ialah:
“hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja /buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha
atau pelaku industri guna memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan
usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap provinsi
berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Provinsi.
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum
diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak. Upah minimum
ditentukan oleh Gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi yang terdiri dari pihak pengusaha, pemerintah dan serikat
buruh/serikat pekerja ditambah perguruan tinggi dan pakar.
Upah yang diterima pekerja umumnya dalam bentuk uang. Akan tetapi, ada kalanya
perusahaan membayar sebagian dari upah dalam bentuk lain, dengan ketentuan
nilainya tidak boleh melebihi dari nilai upah yang seharusnya diterima.
Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah. Apabila
pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan, maka
pembayaran upah dilakukan di tempat kerja atau kantor perusahaan.
Ada beberapa kebijakan pemerintah yang perlu diperhatikan untuk menetapkan upah
untuk pekerja, antara lain kebijakan tentang UMP (Upah Minimum Provinsi),
tentang struktur dan skala pengupahan, dan lain sebaginya.
17
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
1. Komponen Upah Tenaga Kerja
a. Upah pokok
Suatu imbalan dasar yang telah dibayarkan kepada buruh menurut tingkat atau jenis
pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian.
b. Fasilitas
Kenikmatan dalam bentuk nyata / natur karena hal yang bersifat khusus atau untuk
meningkatkan kesejahteraan buruh. Contoh : fasilitas antar jemput, pemberian makan
secara Cuma-Cuma, sarana kantin.
c. Bonus
Pembayaran yang diterima buruh dari hasil keuntungan perusahaan atau karena
prestasi.
2. Macam-Macam Teori Upah Tenaga Kerja
Teori upah yang akan dibahas berikut ini menjelaskan tentang dasar-dasar pemberian
upah kepada pekerja, ada beberapa macam teori upah simak berikut ini.
a. Teori Upah Alami
Teori upah alami ( natural wage ) disebut juga dengan teori upah normal. Teori ini
dikemukan oleh seorang yang bernama David Ricardo, yang membagi upah menjadi
dua macam yaitu upah alami dan upah pasar. Apa perbedaan upah alami dengan
upah pasar ??
Upah Alami merupakan upah yang besarnya bergantung pada kekuatan permintaan
dan penawaran tenaga kerja dipasar, upah alami ini merupakan upah yang dipakai
sebagai acuan agar pekerja hidup layak.
Upah Pasar merujuk kepada upah yang sesungguhnya diterima pekerja. Bila upah
besar lebih tinggi dari upah alami maka kemakmuran akan meningkat,sehingga
angka perkawinan ikut juga meningkat. Angka perkawinan meningkat disebabkan
oleh mudahnya tenaga kerja mendapatkan biaya untuk menikah, selanjutnya angka
kelahiran pun akan meningkat.
Adapun untuk angka kematian justru manurun, karena meningkatnya kesehatan dan
kesejahteraan keluarga, peningkatan kelahiran menyebabkan jumlah tenaga menjadi
bertambah sehingga penawaran tenaga kerja pun akan bertambah. Peningkatan atau
penambahan penawaran tenaga kerja tersebut mengakibatkan tingkat upah pasar
menjadi turun mendekati atau bahkan dibawah upah alami.
Hal ini terjadi karena penawaran tenaga kerja lebih banyak dibanding permintaan
tenaga kerja, karena upah menurun, angka perkawinan pun berkurang dan angka
kelahiran juga menjadi berkurang. Dan sebaliknya angka kematian justru meningkat,
18
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
selanjutnya penawaran tenaga kerja menjadi berkurang sehingga berdampak pada
meningkatnya upah pasar.
b. Teori Upah Besi
Teori ini telah dikemukakan oleh seorang yang bernama Ferdinand Lasalle,
menurutnya upah yang diterima pekerja merupakan upah yang minimal sehingga
pengusaha dapat meraih laba yang sebesar-besarnya. Karena pekerja berada dalam
posisi yang lemah maka tidak dapat berbuat apa-apa dan terpaksa menerima upah
tersebut. Oleh karena itu upah disebut upah besi, selanjutnya untuk memperbaiki
kehidupan para pekerja disarnkan agar mendirikan koperasi-koperasi produksi
supaya terlepas dari cengkeraman upah besi.
c. Teori Upah Produktivitas Batas Kerja
Teori ini disebut juga “ Marginal Productivity Theory ”. terori yang dikemukakan
oleh seorang yang bernama Clark ini menyatakan bahwa tingkat upah memiliki
kecenderungan sama dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terakhir yang dibayar
yang disebut pekerja batas ( marginal worker ). Itu berarti upah yang diberikan
kepada pekerja tidak dapat melebihi tingkat produktivitas batas kerja dari pekerja.
d. Teori Upah Etika
Menurut teori ini, upah yang diberikan kepada pekerja seharusnya sepadan atau
seimbang dengan beban pekerjaan yang telah dilakukan pekerja dan mampu
membiayai pekerja sehingga hidup dengan layak.
e. Teori Upah Diskriminasi
Teori ini menyatakan bahwa upah yang telah diberikan kepada pada pekerja tidaklah
sama, tapi sengaja dibedakan ( diskriminasi ) bagi setiap pekerja, perbedaan upah
dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya seperti :
 Jenis Kelamin
 Ras ( Warna Kulit )
 Tingkat pendidikan
 Tingkat keterampilan
 Jenis pekerjaan
Pengaturan mengenai pengupahan ( Pasal 88-98 UU Ketenagakerjaan)
menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
19
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
pekerja/buruh. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam meliputi:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
D. Waktu Tertentu
Unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara
pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi bukan waktu
tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula
tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan
dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan
atau kebiasaan.
Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja
yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja
yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu.
Variabel waktu sangat penting dalam suatu hubungan kerja, misalnya, dalam hal
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, jenis perjanjian kerja dibuat
untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, jangka waktu; atau selesainya
suatu pekerjaan tertentu.
2. KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14
adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja
pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan
hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti beliau
menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan
majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu
yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda
“dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu
20
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
(majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang
lain (buruh).1
Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau
lisan; demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaiman
sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan.
Bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan
secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis,
yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang
hanya menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan
biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang
diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan
singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasl 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Per). Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal
52 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya pekerjaan yang dijanjkan;
4) Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa
yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja
menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja
tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya
pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang
cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan
hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka
26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu
21
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu
jiwanya atau waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Per adalah hal
tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar
pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban
para pihak.
Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan
merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru
dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah
pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian
dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai
orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang
diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat
obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak dipenuhi,
maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut
dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat
hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan
persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu
bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan
perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak
tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan
Jika Anda diterima kerja di suatu perusahaan, Anda pasti akan diberikan surat
perjanjian kerja/ kontrak kerja. Sebelum Anda menanda-tangani kontrak, baca dan
pelajari kontrak kerja Anda terlebih dahulu. Dalam kontrak kerja, kita dapat
mengetahui syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban bagi pekerja dan pemberi
kerja/pengusaha yang sesuai dengan Undang- undang ketenagakerjaan yang berlaku
di Indonesia, selain itu kita juga dapat mengetahui status kerja, apakah kita berstatus
karyawan tetap atau karyawan kontrak.
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang kurangnya harus memuat:
1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
22
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
3. jabatan atau jenis pekerjaan
4. tempat pekerjaan
5. besarnya upah dan cara pembayarannya
6. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh
7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak
dalam perjanjian kerja.
3. TENTANG PERJANJIAN KERJA
Perjanjian kerja merupakan suatu ikatan yang harus dipenuhi oleh pekerja/buruh dan
perusahaan tempatnya bekerja. Aturan-aturan mengenai perjanjian kerja yang telah
ditetapkan oleh pemerintah berfungsi untuk memberikan perlindungan pada kedua
belah pihak. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat terjaga, dan
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Secara hukum dan perundang-undangan, dikenal dua perjanjian kerja yaitu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT).
Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak
tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan
Jika Anda diterima kerja di suatu perusahaan, Anda pasti akan diberikan surat
perjanjian kerja/ kontrak kerja. Sebelum Anda menanda-tangani kontrak, baca dan
pelajari kontrak kerja Anda terlebih dahulu. Dalam kontrak kerja, kita dapat
mengetahui syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban bagi pekerja dan pemberi
kerja/pengusaha yang sesuai dengan Undang- undang ketenagakerjaan yang berlaku
di Indonesia, selain itu kita juga dapat mengetahui status kerja, apakah kita berstatus
karyawan tetap atau karyawan kontrak.
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang kurangnya harus memuat:
1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
3. jabatan atau jenis pekerjaan
23
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
4. tempat pekerjaan
5. besarnya upah dan cara pembayarannya
6. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh
7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak
dalam perjanjian kerja.
4. PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu sering juga disebut
sebagai pekerjak kontrak.
PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu
 pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
 pekerjaan yang bersifat musiman; atau
 pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
 dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker
(Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka
dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu
 dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan
bahasa asing dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama;
 tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian
kerja BATAL DEMI HUKUM (Pasal 58 UU No. 13/2003).
Berdasarkan ketentuan di atas, pekerjaan yang diatur pada PKWT adalah
pekerjaan yang bersifat tidak tetap atau menahun. Selain itu, pelaksanaan
pekerjaan bisa sangat tergantung pada musim atau cuaca, sehingga batasan waktu
kerjanya bisa dilonggarkan, namun dalam kurun waktu maksimal 3 (tiga) tahun.
24
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Di samping contoh yang telah disebutkan, beberapa pekerjaan yang
membutuhkan perjanjian kerja ini antara lain: event organizer, product launching,
penjualan atau distribusi produk yang tidak bersifat terus-menerus, dan pekerjaan
yang berhubungan dengan pertambangan.
Untuk lebih jelasnya, Kepmen tersebut mengaturnya dalam pasal-pasal terpisah
sebagai berikut:
Pasal 3
(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah
PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
Pasal 4
(1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya
tergantung pada musim atau cuaca.
Pasal 5
(1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau
target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
Pasal 8
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Pasal 10
(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu
dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan
dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh
satu ) hari dalam 1 (satu)bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian
lepas berubah menjadi PKWTT.
a. Berakhirnya PKWT
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 61 Ayat 1 menyatakan bahwa
perjanjian kerja berakhir apabila:
a. pekerja meninggal dunia;
25
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
b. Perpanjangan dan Pembaruan PKWT
Dikarenakan berbagai latar belakang, maka Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Pasal 59 Ayat 4 mengizinkan modifikasi PKWT dengan ketentuan sebagai berikut:
“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
Dalam hal perpanjangan PKWT karena pekerjaan tersebut belum selesai, maka
pengusaha harus memberitahukannya paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian
berakhir. Sementara untuk pembaruan PKWT, hanya dapat diadakan setelah
melebihi 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT yang sebelumnya. Namun begitu,
jika setelah dievaluasi perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dijabarkan pada kepmen, maka pekerjaan tersebut harus menggunakan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sementara jika ternyata situasi
menjadikan pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan tetap, maka perjanjiannya pun juga
harus diubah dengan perjanjian kerja bersama yang lebih dapat mengakomodir
kepentingan pengusaha dan karyawan.
c. Perbedaan Pekerja Outsourcing dengan PKWT
Outsourcing merupakan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Perusahaan pemberi
kerja memborongkan sebagian dari pekerjaan kepada perusahaan pemborong atau
perusahaan penyedia tenaga kerja melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja. Hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan
perusahaan pemborong pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja dapat dengan status
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini.
Baik pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan maupun pekerja dari
perusahaan pemborong outsourcing akan bekerja di lokasi kerja perusahaan tersebut.
Status hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu apakah pekerja yang
dipekerjakan langsung atau pekerja yang melalui outsourcing boleh saja dilakukan
sepanjang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang – Undang No. 13 tahun 2003.
26
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara Saudara -selaku pekerja/buruh-
dengan “perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam UU No. 13.2003 pasal 66 ayat 2
huruf b, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara pekerja
dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, adalah PKWT apabila pekerjaannya
memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang
dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak
Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam pasal 59 ayat 2
UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni:
1. pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalan satu
perusahaan, atau
2. pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan pasal 59 ayat 2 UU
No. 13/2003).
Dengan perkataan lain, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus-menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu namun bukan merupakan bagian dari suatu
proses produksi pada satu perusahaan, dalam arti hanya merupakan kegiatan jasa
penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan
pokok (core business) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 ayat (1) UU No.
13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan yang bersifat tetap, sehingga dapat
menjadi objek PKWT.
Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja dapat
dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk “perusahaan
outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK Register
Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT harus memuat prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja atau Transfer of Undertaking Protection Employment
(TUPE) yang mengamanatkan:
1. pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya
hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja-
nya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing.
2. masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuat
experience letter.
3. experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar
penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.
27
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
5. SANKSI WANPRESTASI DALAM PKWT
Dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan telah diatur bahwa apabila salah satu pihak
mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan
dalam PKWT, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti
rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Wanprestasi, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena
perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang
timbul perjanjian maupun perikatan yang timbul karena Undang karena Undang—
UndangUndang. Dalam suatu perjanjian dengan ketetapan waktu, Suatu ketetapan
waktu tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian ataulahirnya suatu perjanjian
ataulahirnya suatu perjanjian atau lahirnya suatu perjanjian atau perikatan,melainkan
hanya menangguhkan perikatan,melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya
ataupun menentukan lamapelaksanaannya ataupun menentukan lamapelaksanaannya
ataupun menentukan lama pelaksanaannya ataupun menentukan lama waktu
berlakunya suatu perikatan atau suatu waktu berlakunya suatu perikatan atau suatu
perjanjianperjanjianperjanjian perjanjian. Merujuk kepada perjanjian kerja, maka
Perjanjian kerja menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
mengenai perjanjian antara pekerja atau buruh dengan antara pekerja atau buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja membuat syarat-syarat kerja, hal dan
kewajiban para syarat kerja, hal dan kewajiban para pihak. Unsur perjanjian kerja
tersebut meliputi: pekerjaan, adanya upah , ada perintah, dan terbatas, karena tidak
ada hubungan kerja berlangsung terus menerus.
Apabila karyawan melakukan wanprestasi, biasanya pihak pengusaha akan
melakukan somasi terlebih dahulu. Kemudian, Pengusaha akan meminta
pemenuhuan terhadap perjanjian kerja, yang bisa berujung kepada penuntutan untuk
membayar ganti rugi. Besarnya ganti rugi dilihat dari sisa masa kontrak karyawan
yang ditambah dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan perusahaan selama
karyawan tersebut menjalani pendidikan.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang
menyatakan:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka
waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.”
28
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan tersebut dapat disimpulkan bahwa
perusahaan tidak dapat menuntut ganti rugi karena proyeknya merugi akibat
karyawannya yang mengundurkan diri, melainkan perusahaan hanya dapat menuntut
ganti rugi sebesar upah pekerja atau karyawan kontrak sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Ketentuan ini sangat beralasan dan masuk akal mengingat sifat pekerjaan dan
kegiatan yang diberikan kepada karyawan kontrak hanya terbatas pada pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun,
pekerjaan yang bersifat musiman, atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
6. PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT)
PKWTT merupakan perjanjian kerja yang tidak ditentukan waktunya dan bersifat
tetap. Berbeda dengan PKWT yang wajib dibuat secara tertulis dan didaftarkan di
insatansi ketenagakerjaan terkait, selain tertulis PKWTT dapat juga dibuat secara
lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait.
Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara
mereka (perusahaan dan karyawan) adalah klausul-klausul sebagaimana yang diatur
dalam UU Ketenagakerjaan- perusahaan dan karyawan dianggap menyetujui UU
Ketenagakerjaan sebagai sumber perikatan mereka.
Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat
pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. Surat pengangkatan itu
sekurang-kurangnya memuat keterangan:
1) Nama karyawan
2) Tanggal mulai bekerja
3) Jenis pekerjaan
4) Besarnya upah
Berbeda dengan kontrak PKWT yang dibatasi maksimal 3 (tiga) tahun, PKWTT
tidak memiliki batasan waktu. Pada PKWTT, perusahaan wajib memberikan
pembayaran jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sementara tidak
demikian dengan PKWT dikarenakan pekerja PKWT akan berhenti bekerja saat
perjanjian berakhir.
Di samping itu, PKWT juga tidak diperbolehkan menetapkan masa percobaan;
sedangkan PKWTT boleh mensyaratkan masa percobaan maksimal 3 (tiga) bulan.
29
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Terakhir, PKWT harus dibuat kontrak secara tertulis; sedangkan PKWTT dapat
dibuat secara lisan, namun harus membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh
yang bersangkutan. Berikut perbedaan isi surat PKWT dan PKWTT.
Pasal 60 UU Ketenagakerjaan:
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Selanjutnya menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah
menjadi PKWTT, apabila:
a. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
b. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
c. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka
PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
d. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan
lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat
PKWT tersebut;
e. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan
hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2),
angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.
Suatu PKWTT termasuk PKWT dapat berakhir, sesuai dengan Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 61 Ayat 1 menyatakan bahwa perjanjian
kerja berakhir apabila:
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
30
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
PKWTT tidak berakhir karena berakhirnya Perusahaan atau beralihnya hak atas
perusahaan karena penjualan, pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadinya
pengalihan perusahaan, misalnya, hak-hak Karyawan menjadi tanggung jawab
perusahaan baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan antara
pengurus Perusahaan yang lama dan yang baru- dan perjanjian itu tidak boleh
mengurangi hak-hak karyawan. Dalam hal perusahaan merupakan orang-
persoarangan dan meninggal dunia, ahli waris pengusaha tersebut dapat mengkhiri
perjanjian kerja setelah merundingkannya dengan karyawan. Dalam hal karyawan
yang meninggal dunia, ahli waris Karyawan itu berhak mendapatkan hak-haknya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
7. PERBEDAAN PKWT DAN PKWTT
Kontrak PKWT (Pasal 54) Surat Pengangkatan PKWTT
(Pasal 63)
nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat
pekerja/buruh;
jabatan atau jenis pekerjaan; tempat
pekerjaan;
besarnya upah dan cara pembayarannya;
syarat syarat kerja yang memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
mulai dan jangka waktu berlakunya
perjanjian kerja; tempat dan tanggal
perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan
para pihak dalam perjanjian kerja.
nama dan alamat pekerja/buruh;
tanggal mulai bekerja; jenis
pekerjaan; dan
besarnya upah.
8. HAK PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA
Hak Pekerja diatur pada Bab X UU Ketenagakerjaan tentang Perlindungan, Pengupahan, dan
Kesejateraan. Beberapa diantaranya, yaitu:
a. Hak Buruh/Pekerja
1. Hak Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun
penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
31
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja,
peraturan perusahaan,atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan
kesejahteraan, syaratsyarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan
pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.
2. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 UU Ketenagakerjaan).
3. Hak waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh (Pasal 79 UU Ketenagakerjaan).
4. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (1) UU
Ketengakerjaan);
5. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan Pasal 82 ayat (2) UU Ketengakerjaan);
6. Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja
(Pasal 83 UU Ketenagakerjaan).
7. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a.
keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 UU
Ketenagakerjaan).
b. Hak Pengusaha
1. berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrutpemagang sebagai
pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan (Pasal 22 ayat (2).
2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi
3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja
4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha
9. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA
Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja , yaitu suatu perjanjian antara
pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja
hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian
kerja adalah sebagai berikut :
d. Kewajiban Buruh/Pekerja
Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal
1603, 1603a, 1603b dan 1603c yang pada intinya adalah sebagai berikut:
1. Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah
tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun
demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.
32
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
2. Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk majikan/pengusaha;
dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang
diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya
dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi lebih jelas ruang
lingkup dari petunjuk tersebut.
3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan
perbuatan yang merugikan perusahaanbaik karena kesengajaan atau kelalaian,
maka sesuatu dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan
denda”.
e. Kewajiban Pengusaha
1. Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama
pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu.
Ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan ke
arah hukum publik dengan adanya campur tangan Pemerintah dalam
menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar pengusaha yang
dikenal dengan upah minimum, maupun pengaturan upah dalam Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1981Tentang Perlindungan Upah.
2. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja (Pasal 77 UU Ketenagakerjaan).
3. Kewajiban memberikan istrahat/cuti; pihak majikan/ pengusaha diwajibkan
untuk memberikan istrahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Cuti
tahunan lamanya 12(dua belas) hari kerja. Selain itu pekerja juga berhak atas
cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah bekerja terus-menerus selama 6
(enam) bulan pada suatu perusahaan(Pasal 79 ayat 2 UU Ketenagakerjaan).
4. Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya
(Pasal 80 UU Ketenagakerjaan).
5. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya
(Pasal 67 UU Ketenagakerjaan).
6. Kewajiban mengurus perawatan dan pengibatan; majikan/pengusaha wajib
mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal
dirumah majikan (Pasal 1602x KUHPerdata). Dalam perkembangan hukum
ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang
bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang
sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui perlindingan Jamsostek
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang
Jamsostek dan sekarang telah dirubah menjadi BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan UNDANG-UNDANG REPUBLIK
33
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL.
7. Kewajiban memberikan surat keterangan; kewajiban ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 1602a KUHPerdata yang menentukan bahwa
majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal
dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan
mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa
kerja). Surat keterangan itu juga diberikan meskipu inisiatif PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) datangnya dari pihak pekerja. Surat keterangan tersebut
sebagai bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru, sehingga dia
diperlakukan sesuai dengan pengalaman pekerjaannya.
8. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurang nya 10
(Sepuluh orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 (1) UU
Ketenagakerjaan.
9. Pengusaha Wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan
naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
10. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/serikat
buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan
setempat sekurang-kurangnya 7 (Tujuh) hari kerja (Pasal 148 UU Ketenaga
kerjaan).
11. Dalam Hal terjadi pemutusan Kerja pengusah di wajib kan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima (Pasal 156 (1) UU Ketenagakerjaan).
12. Dalam hal pekerja /buruh di tahan pihak yang berwajib karena di duga
melakukan tindak pidana bukan bukan atas pengaduan pengusaha,maka
pengusaha tidak wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja,buruh
yang menjadi tanggungannya. (Pasal 160 ayat (1) UU Ketenagakerjaan).
13. Pengusaha wajib membayar kepada pekerja ,buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja sebagaimana di maksud pada ayat (3)dan ayat (5),
uang penghargaan masa kerja 1(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (4).
14. Untuk Pengusaha di larang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana di maksud dalam pasal 89 (Pasal 90 UU Ketenagakerjaan).
15. Pengusaha Wajib MembayarUpah/pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 91 UU Ketenagakerjaan).
34
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
16. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan
(Pasal 87 UU Ketenagakerjaan).
17. Kewajiban Pengusaha lainnya bisa dilihat dalam pasal 33 ayat (2) UU
ketenagakerjaan terkait dengan penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
penempatan tenaga kerja di luar negeri.
f. Larangan Untuk Pengusahan
1) Dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), dikecualikan bagi anak yang
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun
untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. Tetapi harus
memenuhi persyaratan: izin tertulis dari orang tua atau wali; perjanjian kerja
antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3
(tiga) jam; dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
keselamatan dan kesehatan kerja; adanya hubungan kerja yang jelas; dan
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Pasal 69 UU
Ketenagakerjaan).
2) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(Pasal 76 ayat (1) UU Ketenagakerjaan).
3) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 (Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
4) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
10. PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA
Ada banyak isu yang berkaitan dengan perjanjian kerja, diantaranya:
a. Permasalahan berikutnya yang sering muncul terkait perjanjian kerja yaitu,
UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
dapat disimpangi. Oleh karena itu, walaupun ada yang dinamakan asas kebebasan
berkontrak, yang mana para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, akan
tetapi kebebasan tersebut tetap dibatasi. Dalam kebebasan berkontrak, orang pada
asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Mengenai
“tidak bertentangan dengan undang-undang”, ini merupakan salah satu syarat
sahnya perjanjian, yaitu sebab yang halal Sebab yang halal merupakan syarat
objektif, yang mana tidak terpenuhi syarat objektif mengakibatkan perjanjian batal
demi hukum.
35
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
Dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan telah diatur bahwa apabila salah satu
pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan dalam PKWT, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
dapat disimpangi. Oleh karena itu, walaupun ada yang dinamakan asas kebebasan
berkontrak, yang mana para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, akan
tetapi kebebasan tersebut tetap dibatasi. Dalam kebebasan berkontrak, orang pada
asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Mengenai “tidak bertentangan dengan undang-undang”, ini merupakan salah satu
syarat sahnya perjanjian, yaitu sebab yang halal. Sebab yang halal merupakan
syarat objektif, yang mana tidak terpenuhi syarat objektif mengakibatkan
perjanjian batal demi hukum.
b. Mengenai penahanan Ijasah
Pada beberapa perusahaan, ada kalanya lupa atau masih menahan ijazah
pekerjanya, padahal pekerja tersebut sudah tidak lagi bekerja diperusahaan itu.
Dalam Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur boleh tidaknya
perusahaan menahan surat-surat berharga milik karyawan, seperti misalnya ijazah.
Penahanan ijazah pekerja/karyawan oleh perusahaan, diperbolehkan, sepanjang
adanya kesepakatan antara pengusaha dan karyawan. Kesepakatan pengusaha dan
pekerja itu telah tertuang dalam perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, dan
masih adanya hubungan kerja antara pengusaha dan karyawan. Artinya sepanjang
karyawan tersebut masih bekerja diperusahaan tersebut, maka diperbolehkan
pengusaha menahan atau menyimpan ijazah pekerja tersebut.
Sedangkan apabila ijazah tetap ditahan dan tidak dikembalikan setelah kita tidak
bekerja diperusahaan tersebut, maka harus kita upayakan agar ijazah tersebut
dapat diambil. Namun, apabila memang pihak perusahaan tidak mau
mengembalikan ijazah kita, kita dapat menggugat perusahaan tersebut atas dasar
perbuatan melawan hukum atau melaporkan ke polisi dengan tuduhan
penggelapan.
Penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan
adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya di
mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu
terjadi secara sah. Maksudnya adalah penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi
karena pemiliknya menitipkan barang tersebut dengan sengaja pada pelaku. Atau
36
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
penguasaan barang terjadi karena adanya tugas yang diberikan misalnya pada
petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau
uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada
dasarnya adalah milik orang lain.
c. Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya
pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari
banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan
norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha
dalam menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran
tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama
(corebusiness) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness)
yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga
dalam praktiknya yang di-outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama
perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan yang
dioutsource mengakibatkan pekerja/buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis
pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi,bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh
undang-undang;
2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain/perusahaan penerima
pekerjaan (vendor) yang tidak berbadan hukum.
3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh outsourcing
sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja
langsung pada perusahaan Principal dan/atau tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
a. hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan vendor tidak dibuat dalam bentuk
Perjanjian Kerja secara tertulis, sehingga status pekerja/buruh menjadi tidak
jelas, apakah berdasarkan PKWT atau PKWTT, karena ketidakjelasan status
ini sewaktu-waktu pekerja/buruh dapat diberhentikan (di-PHK) tanpa uang
pesangon.
“akan tetapi dari sisi tenaga kerja, kondisi demikian sering menimbulkan persoalan,
khususnya masalah ketidakpastian hubungan kerja. Perusahaan outsourcing biasanya
membuat perjanjian kontrak dengan pekerja apabila ada perusahaan yang
membutuhkan tenaga kerja. Kontrak tersebut biasanya hanya berlaku selama
pekerjaan masih tersedia, dan apabila kontrak atas pekerjaan tersebut telah berakhir,
maka hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing juga berakhir.
Dalam kondisi demikian biasanya perusahaan outsourcing memberlakukan prinsip no
work no pay, yaitu pekerja tidak akan digaji selama tidak bekerja, sekalipun
hubungan kerja di antara mereka telah berlangsung bertahun-tahun”.
b. vendor membayar upah murah yang tidak sesuai dengan standar upah
minimum dan kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh;
37
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
c. tidak diterapkannya waktu kerja dan waktu istirahat bagi pekerja/buruh, serta
perhitungan upah kerja lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur;
d. pekerja/buruh outsourcing tidak diikutsertakan dalam program jamsostek yang
meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan
Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Pengusaha
juga tidak memberikan pelayanan peningkatan kesehatan bagi pekerja/buruh
dan keluarganya;
e. secara umum vendor tidak menerapkan norma Keselamatan dan Kesehatan
Kerja bagi pekerja/buruhnya;
f. sebagai pekerja kontrak, maka Pekerja/buruh outsourcing tidak ada job security
dan jaminan pengembangan karier, tidak ada jaminan kelangsungan kerja,
tidak memperoleh THR dan tidak diberikan pesangon setelah di PHK, serta
tidak terpenuhi hak-hak dasar lainnya sebelum, selama dan setelah
pekerja/buruh bekerja.
Kesenjangan antara das sollen (keharusan) dan das sain (kenyataan) dalam praktik
outsourcing ini disamping menimbulkan penderitaan bagi kaum pekerja/buruh juga
berdampak pada kemajuan produktivitas perusahaan, menurut Robert Owen (1771-
1858) rangkaian sikap pekerja/buruh dalam hubungan kerja sangat berpengaruh
terhadap produktivitas karena terkait dengan motivasi untuk meningkatkan prestasi
kerja. Pekerja/buruh akan bekerja lebih keras apabila mereka percaya bahwa
perusahaan memperhatikan kesejahteraan mereka, fenomena inilah yang disebut
sebagai Hawthorne effect.
Stigmatisasi atas praktik outsourcing selain berdampak pada rendahnya komitmen,
motivasi dan loyalitas pekerja/buruh terhadap perusahaan dan penurunan tingkat
produktifitas kerja, juga menimbulkan eskalasi perselisihan hubungan industrial yang
dapat menjurus pada aksi mogok kerja dan demontrasi. Padahal untuk menciptakan
hubungan kerja yang harmonis, segala bentuk gejala yang mengarah pada
perselisihan harus dihindari. Menurut Adrian Sutedi “tidak dapat dipungkiri bahwa
perkembangan dunia usaha sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi hubungan
industrial, utamanya peranan pihak-pihak yang berkepentingan dalam dunia usaha
tersebut (stake holders). Semakin baik hubungan industrial maka semakin baik
perkembangan dunia usaha”.
Jadi keharmonisan dalam hubungan industrial tergantung bagaimana para pihak
memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain sehingga pihak yang lain itu
mendapatkan hak-haknya.
38
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN.............................................................. 0
1. PENGANTAR ..................................................................................................................... 1
2. SEJARAH PERKEMBAGAN UU KETENAGAKERJAAN.......................................................... 3
A. Zaman Belanda............................................................................................................. 4
B. Zaman Orde Lama........................................................................................................ 4
C. Zaman Orde Baru......................................................................................................... 5
Masa Pemerintahan Soeharto....................................................................................... 5
D. Masa Reformasi............................................................................................................ 6
3. PERATURAN-PERATURAN TERKAIT KETENAGAKERJAAN................................................. 6
4. SISTEMETIKA UU KETENAGAKERJAAN ............................................................................. 8
BAB II HUBUNGAN KERJA....................................................................................................... 14
1. PENGERTIAN HUBUNGAN KERJA ................................................................................... 14
A. Adanya Pekerjaan................................................................................................... 15
B. Adanya Perintah..................................................................................................... 15
C. Adanya Upah.......................................................................................................... 16
1. Komponen Upah Tenaga Kerja.............................................................................. 17
a. Upah pokok........................................................................................................ 17
b. Fasilitas .............................................................................................................. 17
c. Bonus ................................................................................................................. 17
2. Macam-Macam Teori Upah Tenaga Kerja............................................................. 17
a. Teori Upah Alami .............................................................................................. 17
b. Teori Upah Besi ................................................................................................. 18
c. Teori Upah Produktivitas Batas Kerja ............................................................... 18
d. Teori Upah Etika................................................................................................ 18
e. Teori Upah Diskriminasi.................................................................................... 18
D. Waktu Tertentu ...................................................................................................... 19
2. KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA......................................................................... 19
3. TENTANG PERJANJIAN KERJA......................................................................................... 22
4. PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) ............................................................. 23
a. Berakhirnya PKWT............................................................................................ 24
b. Perpanjangan dan Pembaruan PKWT................................................................ 25
39
Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM
c. Perbedaan Pekerja Outsourcing dengan PKWT................................................. 25
5. SANKSI WANPRESTASI DALAM PKWT............................................................................ 27
6. PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT)................................................. 28
7. PERBEDAAN PKWT DAN PKWTT .................................................................................... 30
8. HAK PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA ............................................................... 30
a. Hak Buruh/Pekerja............................................................................................. 30
b. Hak Pengusaha................................................................................................... 31
9. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA.................................................... 31
d. Kewajiban Buruh/Pekerja .................................................................................. 31
e. Kewajiban Pengusaha ........................................................................................ 32
f. Larangan Untuk Pengusahan.............................................................................. 34
10. PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA............................................................ 34

More Related Content

Similar to Modul_Hukum_Ketenagakerjaan_pdf.pdf

BUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdf
BUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdfBUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdf
BUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdfJohanBhagaskaraMarbu
 
7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...
7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...
7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...Teuku Alvin Putra Rezalino
 
HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...
HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...
HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...Muhammad Ramadhan
 
Hbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhan
Hbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhanHbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhan
Hbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhanAgungAgungPangestu
 
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, power point, executive summary
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany,  hapzi ali, power point, executive summaryTm 7, 4, hbl, wenna sustiany,  hapzi ali, power point, executive summary
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, power point, executive summaryWennaSustiany
 
7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...
7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...
7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...Novi Siti
 
Hbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buana
Hbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buanaHbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buana
Hbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buanaMeikaSihombimg
 
7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...
7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...
7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...Jihan Nabilah
 
HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptx
HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptxHUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptx
HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptxFellifelli
 
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7WennaSustiany
 
HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...
HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...
HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...sucimeidianapratiwi
 
Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...
Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...
Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...Dyana Anggraini
 
Sejarah, pengertian dan lingkup perburuhan
Sejarah, pengertian dan lingkup perburuhanSejarah, pengertian dan lingkup perburuhan
Sejarah, pengertian dan lingkup perburuhanRizki Gumilar
 
7, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 2019
7, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 20197, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 2019
7, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 2019DignaAdyaPratiwi
 
Presentasi Hukum Ketenagakerjaan
Presentasi Hukum KetenagakerjaanPresentasi Hukum Ketenagakerjaan
Presentasi Hukum KetenagakerjaanArif Gunawan
 
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...WennaSustiany
 
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...febrysaragih
 
presentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdf
presentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdfpresentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdf
presentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdfmanaf13
 
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...febrysaragih
 

Similar to Modul_Hukum_Ketenagakerjaan_pdf.pdf (20)

BUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdf
BUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdfBUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdf
BUKU_AJAR_HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pdf
 
7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...
7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...
7 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, hukum pemburuhan, universitas m...
 
HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...
HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...
HBL7. Muhammad Rizal Ramadhan hapzi ali, modul hbl, hukum perburuhan, Univers...
 
Hbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhan
Hbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhanHbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhan
Hbl7, agung pangestu, hapzi ali modul hbl, hukum perburuhan
 
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, power point, executive summary
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany,  hapzi ali, power point, executive summaryTm 7, 4, hbl, wenna sustiany,  hapzi ali, power point, executive summary
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, power point, executive summary
 
7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...
7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...
7. hbl,novi siti sholekah, prof.dr.hapzi ali, cma , hukum perburuhan. univers...
 
Hbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buana
Hbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buanaHbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buana
Hbl 7, mei ika, hapzi ali, hukum perburuhan, mercu buana
 
7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...
7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...
7.HBL,Jihan Nabilah Ekayono Putri, Hapzi Ali, Hukum Perburuhan ,Universitas M...
 
HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptx
HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptxHUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptx
HUKUM_KETENAGAKERJAAN.pptx
 
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, hapzi ali, excecutive summary tm 7
 
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaanHukum perburuhan dan ketenagakerjaan
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan
 
HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...
HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...
HBL 7, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM PERBURUHAN, UNIVERSITAS MERCU ...
 
Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...
Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...
Hbl 7, dyana anggraini, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana,...
 
Sejarah, pengertian dan lingkup perburuhan
Sejarah, pengertian dan lingkup perburuhanSejarah, pengertian dan lingkup perburuhan
Sejarah, pengertian dan lingkup perburuhan
 
7, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 2019
7, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 20197, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 2019
7, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 2019
 
Presentasi Hukum Ketenagakerjaan
Presentasi Hukum KetenagakerjaanPresentasi Hukum Ketenagakerjaan
Presentasi Hukum Ketenagakerjaan
 
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...
Tm 7, 4, hbl, wenna sustiany, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm, hukum pe...
 
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
 
presentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdf
presentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdfpresentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdf
presentasihukumketenagakerjaan-180914091355.pdf
 
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
HBL,FEBRY DIAN UTAMI SARAGIH,HAPZI ALI,HUKUM PERBURUHAN,UNIVERSITAS MERCU BUA...
 

More from EmirPasha1

Buku reformasi HKI robiah.pdf
Buku reformasi HKI robiah.pdfBuku reformasi HKI robiah.pdf
Buku reformasi HKI robiah.pdfEmirPasha1
 
CYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdf
CYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdfCYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdf
CYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdfEmirPasha1
 
CYBERCRIME & CYBERLAW.pdf
CYBERCRIME & CYBERLAW.pdfCYBERCRIME & CYBERLAW.pdf
CYBERCRIME & CYBERLAW.pdfEmirPasha1
 
Hukum Telematika Indonesia.pdf
Hukum Telematika Indonesia.pdfHukum Telematika Indonesia.pdf
Hukum Telematika Indonesia.pdfEmirPasha1
 
KERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdf
KERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdfKERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdf
KERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdfEmirPasha1
 
HUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdf
HUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdfHUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdf
HUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdfEmirPasha1
 

More from EmirPasha1 (7)

Buku reformasi HKI robiah.pdf
Buku reformasi HKI robiah.pdfBuku reformasi HKI robiah.pdf
Buku reformasi HKI robiah.pdf
 
CYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdf
CYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdfCYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdf
CYBERLAWdanREVOLUSIINDUSTRI4.0.pdf
 
CYBER_LAW.pdf
CYBER_LAW.pdfCYBER_LAW.pdf
CYBER_LAW.pdf
 
CYBERCRIME & CYBERLAW.pdf
CYBERCRIME & CYBERLAW.pdfCYBERCRIME & CYBERLAW.pdf
CYBERCRIME & CYBERLAW.pdf
 
Hukum Telematika Indonesia.pdf
Hukum Telematika Indonesia.pdfHukum Telematika Indonesia.pdf
Hukum Telematika Indonesia.pdf
 
KERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdf
KERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdfKERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdf
KERANGKA BUKU HUKUM TELEMATIKA.pdf
 
HUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdf
HUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdfHUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdf
HUKUM_TELEMATIKA_CYBER_CRIME_LAW.pdf
 

Modul_Hukum_Ketenagakerjaan_pdf.pdf

  • 1. 0 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN PROBLEMATIKANYA MODUL PEMBELAJARAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG KARNO JAKARTA
  • 2. 1 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM BAB 1 PENDAHULUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN 1. PENGANTAR Hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan mengatur tentang segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah kerja. Hukum ketenagakerjaan kalau dipelajari lebih jauh cakupannya cukup luas. Hukum ketenagakerjaan bukan hanya mengatur hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam pelaksanaan hubungan kerja tetapi juga termasuk seorang yang akan mencari kerja melalui proses yang benar ataupun lembaga-lembaga pelaksana yang terkait, serta menyangkut pekerja yang purna atau selesai bekerja. Hukum ketenagakerjaan adalah merupakan suatu peraturan-peraturan tertulis atau tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama, dan sesudah tenaga kerja berhubungan dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan dan apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana termasuk lembaga- lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga kerja. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan, diantaranya: berdasarkan ketentuan UU NO 13 tahun 2003 tentang adalah sebagai berikut :  Menurut Pasal 1 Ayat (1) UU No.13/2003 tentenag Ketenagakerjaan, Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.  Menurut A.N Molenaar: Hukum yang mengatur hubungan antara buruh dengan buruh, buruh dengan pengusaha, pengusaha dengan penguasa, penguasa dengan buruh.  Menurut MG. Levenbach & S. Mook: Hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan dilakukan dibawah suatu pimpinan orang lain, dan dengan keadaan kehidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.  Menurut Neh Van Esveld: Hukum yang meliputi hubungan kerja baik didalam hubungan kerja (pekerjaan itu dibawah pimpinan orang lain), maupun diluar hubungan kerja (melakukan pekerjaan atas tanggung jawab sendiri)
  • 3. 2 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM  Menurut Prof. Imam Soepomo, SH berpendapat bahwa Hukum ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.  Menurut Aloysius Uwiyono: Hukum tertulis/tidak tertulis yang mengatur Hak & Kewajiban antara: Penerima Kerja, yang bekerja dibawah pimpinan Pemberi Kerja, yang menerima hasil pekerjaan dari Penerima Kerja, dengan Pemberi Kerja yang mempekerjakan Penerima Kerja yang berhak atas upah dari Pemberi Kerja, dan Pemerintah yang mengatur hak / kewajiban Penerima Kerja dan Pemberi Kerja, Yang berlaku secara sektoral, regional, nasional, maupun internasional, baik yang terjadi sebelum, pada saat, atau sesudah hubungan kerja, dan bersifat perdata, publik, dan pidana.  Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Perburuhan adalah yang bertalian dengan urusan, pekerjaan dan keadaan kaum buruh. Dengan demikian adalah sepadan makna kata perburuhan dengan kata ketenagakerjaan, demikian pula dengan kata buruh atau pekerja adalah sama hakekatnya orang yang bekerja dengan menerima upah bukan pemberi upah. Perlu dicamkan semua itu sebenarnya hanyalah soal permufakatan (afspraak) belaka artinya dapat bermufakat kata tersebut. Tujuan dari dibentuknya hukum ketenagakerjaan adalah untuk :  memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;  mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;  memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan  meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya  Selain itu, hukum ketenagakerjaan juga mengatur hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hubungan kerja terdiri dari dua macam yaitu hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian kerja yang dibuat tersebut dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Mengenai hubungan kerja tersebut diatur di Bab IX Pasal 50-66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang dibentuk antara pengusaha dan pekerja/buruh haruslah berlandaskan dan sesuai dengan
  • 4. 3 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM substansi dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan hukum lainnya yang terkait. Di dalam menjalankan aktivitas perusahaan, pengusaha mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak dari setiap pekerja. Hak pekerja tersebut diantaranya yaitu hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi atas dasar apapun, hak untuk mengembangkan kompetensi kerja, hak untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, hak untuk mendapatkan upah atau penghasilan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, hak untuk mendapatkan perlindungan, kesejahteraan, kesehatan, dan keselamatan kerja. Apabila pekerja merasa bahwa hak-haknya yang dilindungi dan diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut merasa tidak terpenuhi dan diabaikan oleh pengusaha maka hal tersebut akan dapat menyebabkan perselisihan-perselisihan tertentu antara pengusaha dan pekerja. Jika perselisihan itu terjadi, maka peraturan hukum di Indonesia telah mengaturnya di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Setiap bentuk perselisihan tersebut memiliki cara atau prosedur tersendiri untuk menyelesaikannya baik itu melalui perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial. 2. SEJARAH PERKEMBAGAN UU KETENAGAKERJAAN Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum masa kemerdekaan. Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan Pemerintah Indonesia, tapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, hukum terkait ketenagakerjaan dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan hukum perbudaan, era orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
  • 5. 4 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM A. Zaman Belanda Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang diberlakukan. Empat hukum tersebut adalah perbudakan, perhambaan, kerja rodi, dan Poenale Sanctie. Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat Indonesia yang menjadi budak tidak memiliki hak apapun, termasuk hak hidup. Beberapa aturan yang dibuat terkait perbudakan pada masa ini antara lain adalah peraturan pendaftaran budak, pajak atas kepemilikan budak, ataupun penggantian nama untuk para budak. Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan dengan perbudakan, hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba, menurut hukum ini, merupakan barang jaminan karena adanya utang yang belum bisa dilunasi. Alhasil, selama utangnya belum lunas, seorang hamba bakal terus mengabdi kepada majikan. Setelah hukum perhambaan, muncul hukum rodi, yang dalam praktiknya juga tidak jauh berbeda dengan perbudakan. Pada hukum rodi, masyarakat dipaksa untuk bekerja demi kepentingan penguasa. Salah satu wujud kekejaman dari hukum rodi di zaman penjajahan Belanda ini adalah pembangunan Jalan Daendels sejauh 1.000 km yang menghubungkan antara Panarukan di Jawa Timur dengan Anyer di Banten. Poenale Sanctie menjadi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku setelah hukum rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya Agrarische Wet alias Undang-Undang Agraria pada tahun 1970. Pada masa ini, muncul banyak perusahaan perkebunan swasta berskala besar. Oleh karena itu, hukum yang mengatur perburuhan berperan sentral. Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie Straaf reglement alias Peraturan Pidana Polisi. Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan majikan, dan akhirnya dihapus pada tahun 1879. Keberadaannya digantikan oleh Koeli Ordonantie (1880) yang kemudian dikenal dengan nama Poenale Sanctie. Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan, ancaman, atau pemerasan dalam hubungan perburuhan. Selain itu, perjanjian antara buruh dan majikan harus dilakukan secara tertulis pada rentang waktu tertentu. Ketika aturan ini dilanggar, bakal ada sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya, baik majikan ataupun buruh. B. Zaman Orde Lama Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan
  • 6. 5 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM kepada para tenaga kerja. Sebagai buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:  UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja  UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja  UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan  UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan  UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial  UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama  Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh C. Zaman Orde Baru Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini dibuat dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait. Masa Pemerintahan Soeharto 1) Pada 5 Juni dikeluarkan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 yang mensahkan Konvensi ILO No.87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Concerning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise) berlaku di Indonesia. 2) Meratifikasi K.ILO tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja/Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi No. 138 tahun 1973) yang memberi perlindungan terhadap hak asasi anayang anak dengan membuat batasan usia untuk diperbolehkan bekerja melalui UU No. 20 Tahun 1999. 3) Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia Tahun 1998- 2003 yang salah satunya diwujudkan dengan pengundangan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Peraturan Pemerintah
  • 7. 6 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Pengganti UU (Perppu) No. 1 tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. D. Masa Reformasi Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014. Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi aturan ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan ini juga diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM. Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu. Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari 15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada. Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 3. PERATURAN-PERATURAN TERKAIT KETENAGAKERJAAN Indonesia adalah negara hukum dan menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Oleh sebab itu, segala sesuatu harus didasarkan pada hukum tertulis. Sumber hukum ketenagakerjaan saat ini (s/d tahun 2011) terdiri dari peraturan perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan. Namun payung hukum utama bagi urusan ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang
  • 8. 7 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga menjadi payung hukum utama. Berdasarkan pondasi tersebut, maka terbentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menjadi dasar hukum utama dalam bidang ketenagakerjaan. Selain UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum lain yang menjadi tonggak pengaturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber hukum formil maupun sumber hukum materiil. Beberapa Peraturan Tentang Ketenagakerjaan, diantaranya:  Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial  Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh  Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial  Undang-Undang No. 39 Tahun 200 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri  Undang-Undang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan)  Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No.182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)  Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan) Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 Pengesahan tentang ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja)  Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa)  Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua.  Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun.  Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kerja Dan Jaminan Kematian.  Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.
  • 9. 8 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM  Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Serta Pelaksanaan Pendidikan Dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.  Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.  Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan  Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja.  Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia.  Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia.  Peraturan Presiden No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. 4. SISTEMETIKA UU KETENAGAKERJAAN Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdiri dari XVIII Bab dan 193 Pasal, lihat Tabel 1.1. Tabel 1.1 tentang Sistematika UU No. 13/2003 BAB TENTANG JUMLAH PASAL I Ketentuan Umum Pasal 1 II Landasan, Azas, dan Tujuan Pasal 2-4 III Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama Pasal 5-6 IV Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan Pasal 7-8 V Pelatihan Kerja Pasal 9-30 VI Penempatan Tenaga Kerja Pasal 31-38 VII Perluasan Kesempatan Kerja Pasal 39-41 VIII Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 42-49 IX Hubungan Kerja Pasal 50-66 X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejateraan Pasal 67-101 Bagaian Kesatu - Perlindungan Pasal 67-87 Paragraf 1 – Penyandang Cacat Pasal 67 Paragraf 2 – Anak Pasal 68-75 Paragraf 3 – Perempuan Pasal 76 Paragrap 4 – Waktu Kerja Pasal 77-85 Paragraf 5 – Keselamtan dan Kesehatan Kerja Pasal 86-87 Bagian Kedua – Pengupahan Pasal 88-98 Bagian Ketiga - Kesejateraan Pasal 99-101 XI Hubungan Industrial Pasal 102-149 Bagian Kesatu – Umum Pasal 102-103 Bagian Kedua – Serikat Pekerja/Serikat Buruh Pasal 104
  • 10. 9 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Bagaian Ketiga – Organisasi Pengusaha Pasal 105 Bagian Keempat – Lembaga Kerja Sama Bipartit Pasal 106 Bagian Kelima – Kerja Sama Tripartit Pasal 107 Bagian Keenam – Peraturan Perusahaan Pasal 108-115 Bagian Ketujuh – Perjanjian Kerja Bersama Pasal 116-135 Bagian Kedelapan – Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 136 Paragraf 1 – Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 136 Paragraf 2 – Mogok Kerja Pasal 137-145 Paragraf 3 – Penutupan Perusahaan (Lock Out) Pasal 146-149 BAB XII Pemutusan Hubungan Kerja Pasal 150-172 BAB XIII Pembinaan Pasal 173-175 BAB XIV Pengawasan Pasal 176-181 BAB XV Penyidikan Pasal 182 BAB XVI Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif Pasal 183 Bagian Pertama – Ketentuan Pidana Pasal 183-189 Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 190 BAB XVII Ketentuan Peralihan Pasal 191-193 BAB XVIII Ketentuan Penutup Pasal 192 -193.  Beberapa ketentuan Pasal- pasal dalam UU No 13 tahun 2003 yaitu : Pasal 158, 159, 160, 170, 158 (1), 171, 158 (1), 186, 137, dan Pasal 138 (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak digunakan lagi sebagai dasar hukum.  Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 tentang hak uji materil UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD RI tahun 1945, Berita Negara No. 92 tahun 2004 tanggal 17 November tahun 2004, jo Surat Edaran MENTERI Tenaga Kerja RI NO SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005.  Kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 115/PPU- VII/2003, ketetuan pada Pasal 129 ayat (1) dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945. Frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) terpenuhi, maka…” dalam Pasal 120 ayat (3) dihapus, sehingga berbunyi, “Para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.” Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut harus dimaknai “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah
  • 11. 10 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan.”  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor:19/PUU-IX/2011, tentang pengujian Pasal 164 ayat (3), Frasa “perusahaan tutup” harus dimaknai bahwa perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Artinya, PHK terhadap pekerja/buruh bisa dilakukan oleh pengusaha apabila perusahaannya tutup secara permanen atau perusahaannya tutup tidak untuk sementara waktu sehingga peristiwa perusahaan melakukan PHK kepada pekerja/buruh dengan alasan efisiensi sehingga merugikan hak pekerja/buruh, tidak terjadi lagi.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 27/PUU-IX/2011, tentang pengujian Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b. Frasa “perjanjian kerja waktu tertentu” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi bekerja yang obyek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing. Dalam putusan ini Mahkamah menentukan dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, penerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Dengan menerapkan prinsip ini, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 37/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 155 ayat (2). Frasa “belum ditetapkan” harus dimaknai sampai berkekuatan hukum tetap, sehingga untuk kasus perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi, pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sampai keluar putusan yang berkekuatan
  • 12. 11 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM hukum tetap. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial, dan ada yang tidak dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan yang tidak dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 58/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c. Pasal 169 ayat (1) huruf c harus dimaknai pekerja/buruh tetap dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 100/PUU-X/2012, Menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 67/PUU-XI/2013, tentang pengujian Pasal 95 ayat (4). Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai; “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemeirntah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 7/PUU-XII/2014 tentang pengujian Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4). Frasa “demi hukum” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pekerja dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan ke Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: (a) telah melaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding, (b) telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang- undangan. Artinya, pekerja kontrak bisa menempuh upaya hukum ke pengadilan untuk memperoleh penetapan status PKWTT atau sebagai pekerja
  • 13. 12 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM tetap dengan meminta pengesahan nota pemeriksaan ke Pengadilan Negeri dengan catatan telah melaksanakan perundingan bipartit dan gagal atau salah satu menolak, serta telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 72/PUU-XII/2015, tentang pengujian Pasal 90 ayat (2). Frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” pada penjelasan Pasal 90 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, apabila masa penangguhan pelaksanaan upah minimum telah berakhir, maka selain perusahaan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu, perusahaan juga wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.  Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 13/PUU-XV/2017, tentang pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f. Membatalkan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB)” sehingga Pasal 153 ayat (1) huruf f berbunyi “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan.” Artinya, sesama pekerja boleh menikah dalam satu perusahaan tanpa PHK termasuk memiliki hubungan darah, atau ke depan tidak boleh ada lagi perusahaan, dengan dalih diatur dalam PK, PP, PKB, mem-PHK pekerjanya karena alasan menikah atau memiliki hubungan darah dalam satu perusahaan. Selanjutnya, Undang-undang lainnya yang masih berhubungan dengan ketenagakerjaan dalam arti selama bekerja adalah UU NO 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Defenisi Jaminan sosial tenaga kerja menurut Pasal 1 (1) Undang-undang ini : Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, hari tua dan meninggal dunia. Undang-undang yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dalan arti sesudah bekerja diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pengertian menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (1) perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan pendapat antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan. Sebagai peraturan pelaksana dari
  • 14. 13 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Undang-undang terebut diatas diatur dalam Peraturan pemerintah (PP), Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) dan Keputusan menteri tenaga kerja.
  • 15. 14 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM BAB II HUBUNGAN KERJA 1. PENGERTIAN HUBUNGAN KERJA Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.1 Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkrit, nyata. Dengan adanya perjanjian kerja, maka akan lahir perikatan. Dengan perkataan lain, perikatan yang lahir karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja. Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, unsur-unsur hubungan kerja terdiri dari adanya pekerjaan, adanya perintah dan adanya upah (Pasal 1 angka 15 UUK). Sedangkan hubungan bisnis adalah hubungan yang didasarkan pada hubungan kemitraan atau hubungan keperdataan (bugerlijke maatschap, partnership agreement). Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai:  Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja)  Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut) 1 Lihat Pasal 1 Angka 15 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
  • 16. 15 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM  Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah)  Berakhirnya Hubungan Kerja  Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja, diantaranya: A. Adanya Pekerjaan Adanya pekerjaan tertentu yang harus diselesaikan atau dilakukan oleh pekerja adalah unsur dalam sebuah hubungan kerja. Dengan disepakatinya perjanjian kerja oleh kedua belah pihak, maka pekerja terikat kewajiban untuk melakukan pekerjaan. Pasal 1603 KUH Perdata mengaturnya sebagai berikut:  “Buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau reglemen, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan.”  Pekerjaan tersebut wajib dikerjakan sendiri oleh pekerja. Pasal 1603a KUH Perdata menyatakan: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannnya.”  Atas tenaga, waktu, serta keahlian yang dikerahkan untuk pekerjaan itulah, pekerja berhak mendapatkan upah. B. Adanya Perintah Unsur perintah dalam sebuah hubungan kerja artinya ada pihak yang memberi perintah dan ada yang wajib melakukan perintah itu, yaitu pekerja. Unsur perintah dapat dimaknai luas, misalnya berupa target kerja, instruksi, dan lain-lain. Kewajiban pekerja untuk tunduk pada perintah perusahaan/ majikan ini antara lain diatur dalam KUH Perdata Pasal 1603b: “Buruh wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk perbaikan tata tertib perusahaan majikan yang diberikan oleh atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan, perjanjian atau reglemen, atau jika ini tidak ada, dalam batas-batas kebiasaan.” Jika kita cermati kembali definisi perjanjian kerja dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, akan tampak adanya faktor “waktu” yang perlu dinyatakan dalam perjanjian tersebut. Namun, apabila waktu/ lamanya hubungan kerja tidak disebutkan dalam perjanjian atau peraturan undang-undang, maka yang berlaku adalah menurut kebiasaan (KUH Perdata Pasal 1603e). Dan, jika masih tidak dapat ditetapkan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu sampai dinyatakan putus (KUH Perdata Pasal 1603g).
  • 17. 16 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Pasal 1603d “Pada umumnya buruh wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang buruh yang baik.” KUH Perdata Pasal 1603g “Jika lamanya hubungan kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau reglemen, maupun dalam peraturan undang-undang atau menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu. Jika hubungan kerja diadakan untuk waktu yang tidak tentu atau sampai dinyatakan putus, tiap pihak berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan hubungan kerja, asal diindahkan ketentuan kedua pasal berikut.” C. Adanya Upah Definisi upah berdasarkan Pasal 1 angka 30 dalam UU Ketenagakerjaan ialah: “hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja /buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.” Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri guna memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap provinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Provinsi. Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak. Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi yang terdiri dari pihak pengusaha, pemerintah dan serikat buruh/serikat pekerja ditambah perguruan tinggi dan pakar. Upah yang diterima pekerja umumnya dalam bentuk uang. Akan tetapi, ada kalanya perusahaan membayar sebagian dari upah dalam bentuk lain, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi dari nilai upah yang seharusnya diterima. Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah. Apabila pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat kerja atau kantor perusahaan. Ada beberapa kebijakan pemerintah yang perlu diperhatikan untuk menetapkan upah untuk pekerja, antara lain kebijakan tentang UMP (Upah Minimum Provinsi), tentang struktur dan skala pengupahan, dan lain sebaginya.
  • 18. 17 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM 1. Komponen Upah Tenaga Kerja a. Upah pokok Suatu imbalan dasar yang telah dibayarkan kepada buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. b. Fasilitas Kenikmatan dalam bentuk nyata / natur karena hal yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Contoh : fasilitas antar jemput, pemberian makan secara Cuma-Cuma, sarana kantin. c. Bonus Pembayaran yang diterima buruh dari hasil keuntungan perusahaan atau karena prestasi. 2. Macam-Macam Teori Upah Tenaga Kerja Teori upah yang akan dibahas berikut ini menjelaskan tentang dasar-dasar pemberian upah kepada pekerja, ada beberapa macam teori upah simak berikut ini. a. Teori Upah Alami Teori upah alami ( natural wage ) disebut juga dengan teori upah normal. Teori ini dikemukan oleh seorang yang bernama David Ricardo, yang membagi upah menjadi dua macam yaitu upah alami dan upah pasar. Apa perbedaan upah alami dengan upah pasar ?? Upah Alami merupakan upah yang besarnya bergantung pada kekuatan permintaan dan penawaran tenaga kerja dipasar, upah alami ini merupakan upah yang dipakai sebagai acuan agar pekerja hidup layak. Upah Pasar merujuk kepada upah yang sesungguhnya diterima pekerja. Bila upah besar lebih tinggi dari upah alami maka kemakmuran akan meningkat,sehingga angka perkawinan ikut juga meningkat. Angka perkawinan meningkat disebabkan oleh mudahnya tenaga kerja mendapatkan biaya untuk menikah, selanjutnya angka kelahiran pun akan meningkat. Adapun untuk angka kematian justru manurun, karena meningkatnya kesehatan dan kesejahteraan keluarga, peningkatan kelahiran menyebabkan jumlah tenaga menjadi bertambah sehingga penawaran tenaga kerja pun akan bertambah. Peningkatan atau penambahan penawaran tenaga kerja tersebut mengakibatkan tingkat upah pasar menjadi turun mendekati atau bahkan dibawah upah alami. Hal ini terjadi karena penawaran tenaga kerja lebih banyak dibanding permintaan tenaga kerja, karena upah menurun, angka perkawinan pun berkurang dan angka kelahiran juga menjadi berkurang. Dan sebaliknya angka kematian justru meningkat,
  • 19. 18 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM selanjutnya penawaran tenaga kerja menjadi berkurang sehingga berdampak pada meningkatnya upah pasar. b. Teori Upah Besi Teori ini telah dikemukakan oleh seorang yang bernama Ferdinand Lasalle, menurutnya upah yang diterima pekerja merupakan upah yang minimal sehingga pengusaha dapat meraih laba yang sebesar-besarnya. Karena pekerja berada dalam posisi yang lemah maka tidak dapat berbuat apa-apa dan terpaksa menerima upah tersebut. Oleh karena itu upah disebut upah besi, selanjutnya untuk memperbaiki kehidupan para pekerja disarnkan agar mendirikan koperasi-koperasi produksi supaya terlepas dari cengkeraman upah besi. c. Teori Upah Produktivitas Batas Kerja Teori ini disebut juga “ Marginal Productivity Theory ”. terori yang dikemukakan oleh seorang yang bernama Clark ini menyatakan bahwa tingkat upah memiliki kecenderungan sama dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terakhir yang dibayar yang disebut pekerja batas ( marginal worker ). Itu berarti upah yang diberikan kepada pekerja tidak dapat melebihi tingkat produktivitas batas kerja dari pekerja. d. Teori Upah Etika Menurut teori ini, upah yang diberikan kepada pekerja seharusnya sepadan atau seimbang dengan beban pekerjaan yang telah dilakukan pekerja dan mampu membiayai pekerja sehingga hidup dengan layak. e. Teori Upah Diskriminasi Teori ini menyatakan bahwa upah yang telah diberikan kepada pada pekerja tidaklah sama, tapi sengaja dibedakan ( diskriminasi ) bagi setiap pekerja, perbedaan upah dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya seperti :  Jenis Kelamin  Ras ( Warna Kulit )  Tingkat pendidikan  Tingkat keterampilan  Jenis pekerjaan Pengaturan mengenai pengupahan ( Pasal 88-98 UU Ketenagakerjaan) menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
  • 20. 19 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM pekerja/buruh. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam meliputi: a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan. D. Waktu Tertentu Unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan. Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu. Variabel waktu sangat penting dalam suatu hubungan kerja, misalnya, dalam hal mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, jenis perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, jangka waktu; atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. 2. KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan. Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu
  • 21. 20 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).1 Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan; demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaiman sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasl 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Per). Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar: 1) Kesepakatan kedua belah pihak; 2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3) Adanya pekerjaan yang dijanjkan; 4) Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu
  • 22. 21 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Per adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim. Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan Jika Anda diterima kerja di suatu perusahaan, Anda pasti akan diberikan surat perjanjian kerja/ kontrak kerja. Sebelum Anda menanda-tangani kontrak, baca dan pelajari kontrak kerja Anda terlebih dahulu. Dalam kontrak kerja, kita dapat mengetahui syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban bagi pekerja dan pemberi kerja/pengusaha yang sesuai dengan Undang- undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, selain itu kita juga dapat mengetahui status kerja, apakah kita berstatus karyawan tetap atau karyawan kontrak. Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat: 1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha 2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
  • 23. 22 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM 3. jabatan atau jenis pekerjaan 4. tempat pekerjaan 5. besarnya upah dan cara pembayarannya 6. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh 7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja 8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. 3. TENTANG PERJANJIAN KERJA Perjanjian kerja merupakan suatu ikatan yang harus dipenuhi oleh pekerja/buruh dan perusahaan tempatnya bekerja. Aturan-aturan mengenai perjanjian kerja yang telah ditetapkan oleh pemerintah berfungsi untuk memberikan perlindungan pada kedua belah pihak. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat terjaga, dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Secara hukum dan perundang-undangan, dikenal dua perjanjian kerja yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan Jika Anda diterima kerja di suatu perusahaan, Anda pasti akan diberikan surat perjanjian kerja/ kontrak kerja. Sebelum Anda menanda-tangani kontrak, baca dan pelajari kontrak kerja Anda terlebih dahulu. Dalam kontrak kerja, kita dapat mengetahui syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban bagi pekerja dan pemberi kerja/pengusaha yang sesuai dengan Undang- undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, selain itu kita juga dapat mengetahui status kerja, apakah kita berstatus karyawan tetap atau karyawan kontrak. Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat: 1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha 2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh 3. jabatan atau jenis pekerjaan
  • 24. 23 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM 4. tempat pekerjaan 5. besarnya upah dan cara pembayarannya 6. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh 7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja 8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. 4. PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu sering juga disebut sebagai pekerjak kontrak. PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:  didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tertentu  pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya  pekerjaan yang bersifat musiman; atau  pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.  dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker (Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu  dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama;  tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian kerja BATAL DEMI HUKUM (Pasal 58 UU No. 13/2003). Berdasarkan ketentuan di atas, pekerjaan yang diatur pada PKWT adalah pekerjaan yang bersifat tidak tetap atau menahun. Selain itu, pelaksanaan pekerjaan bisa sangat tergantung pada musim atau cuaca, sehingga batasan waktu kerjanya bisa dilonggarkan, namun dalam kurun waktu maksimal 3 (tiga) tahun.
  • 25. 24 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Di samping contoh yang telah disebutkan, beberapa pekerjaan yang membutuhkan perjanjian kerja ini antara lain: event organizer, product launching, penjualan atau distribusi produk yang tidak bersifat terus-menerus, dan pekerjaan yang berhubungan dengan pertambangan. Untuk lebih jelasnya, Kepmen tersebut mengaturnya dalam pasal-pasal terpisah sebagai berikut: Pasal 3 (1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. Pasal 4 (1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca. Pasal 5 (1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman. Pasal 8 (1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Pasal 10 (1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas. (2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari dalam 1 (satu)bulan. (3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. a. Berakhirnya PKWT Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 61 Ayat 1 menyatakan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila: a. pekerja meninggal dunia;
  • 26. 25 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. b. Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Dikarenakan berbagai latar belakang, maka Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 59 Ayat 4 mengizinkan modifikasi PKWT dengan ketentuan sebagai berikut: “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.” Dalam hal perpanjangan PKWT karena pekerjaan tersebut belum selesai, maka pengusaha harus memberitahukannya paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian berakhir. Sementara untuk pembaruan PKWT, hanya dapat diadakan setelah melebihi 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT yang sebelumnya. Namun begitu, jika setelah dievaluasi perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dijabarkan pada kepmen, maka pekerjaan tersebut harus menggunakan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sementara jika ternyata situasi menjadikan pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan tetap, maka perjanjiannya pun juga harus diubah dengan perjanjian kerja bersama yang lebih dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan karyawan. c. Perbedaan Pekerja Outsourcing dengan PKWT Outsourcing merupakan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Perusahaan pemberi kerja memborongkan sebagian dari pekerjaan kepada perusahaan pemborong atau perusahaan penyedia tenaga kerja melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja. Hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja dapat dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini. Baik pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan maupun pekerja dari perusahaan pemborong outsourcing akan bekerja di lokasi kerja perusahaan tersebut. Status hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu apakah pekerja yang dipekerjakan langsung atau pekerja yang melalui outsourcing boleh saja dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang – Undang No. 13 tahun 2003.
  • 27. 26 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara Saudara -selaku pekerja/buruh- dengan “perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam UU No. 13.2003 pasal 66 ayat 2 huruf b, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, adalah PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam pasal 59 ayat 2 UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni: 1. pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalan satu perusahaan, atau 2. pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan pasal 59 ayat 2 UU No. 13/2003). Dengan perkataan lain, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu namun bukan merupakan bagian dari suatu proses produksi pada satu perusahaan, dalam arti hanya merupakan kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan pokok (core business) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan yang bersifat tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT. Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja dapat dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk “perusahaan outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK Register Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT harus memuat prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja atau Transfer of Undertaking Protection Employment (TUPE) yang mengamanatkan: 1. pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja- nya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing. 2. masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuat experience letter. 3. experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.
  • 28. 27 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM 5. SANKSI WANPRESTASI DALAM PKWT Dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan telah diatur bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Wanprestasi, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul perjanjian maupun perikatan yang timbul karena Undang karena Undang— UndangUndang. Dalam suatu perjanjian dengan ketetapan waktu, Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian ataulahirnya suatu perjanjian ataulahirnya suatu perjanjian atau lahirnya suatu perjanjian atau perikatan,melainkan hanya menangguhkan perikatan,melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya ataupun menentukan lamapelaksanaannya ataupun menentukan lamapelaksanaannya ataupun menentukan lama pelaksanaannya ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perikatan atau suatu waktu berlakunya suatu perikatan atau suatu perjanjianperjanjianperjanjian perjanjian. Merujuk kepada perjanjian kerja, maka Perjanjian kerja menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai perjanjian antara pekerja atau buruh dengan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja membuat syarat-syarat kerja, hal dan kewajiban para syarat kerja, hal dan kewajiban para pihak. Unsur perjanjian kerja tersebut meliputi: pekerjaan, adanya upah , ada perintah, dan terbatas, karena tidak ada hubungan kerja berlangsung terus menerus. Apabila karyawan melakukan wanprestasi, biasanya pihak pengusaha akan melakukan somasi terlebih dahulu. Kemudian, Pengusaha akan meminta pemenuhuan terhadap perjanjian kerja, yang bisa berujung kepada penuntutan untuk membayar ganti rugi. Besarnya ganti rugi dilihat dari sisa masa kontrak karyawan yang ditambah dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan perusahaan selama karyawan tersebut menjalani pendidikan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan: “Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
  • 29. 28 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan tidak dapat menuntut ganti rugi karena proyeknya merugi akibat karyawannya yang mengundurkan diri, melainkan perusahaan hanya dapat menuntut ganti rugi sebesar upah pekerja atau karyawan kontrak sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Ketentuan ini sangat beralasan dan masuk akal mengingat sifat pekerjaan dan kegiatan yang diberikan kepada karyawan kontrak hanya terbatas pada pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 6. PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT) PKWTT merupakan perjanjian kerja yang tidak ditentukan waktunya dan bersifat tetap. Berbeda dengan PKWT yang wajib dibuat secara tertulis dan didaftarkan di insatansi ketenagakerjaan terkait, selain tertulis PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (perusahaan dan karyawan) adalah klausul-klausul sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan- perusahaan dan karyawan dianggap menyetujui UU Ketenagakerjaan sebagai sumber perikatan mereka. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. Surat pengangkatan itu sekurang-kurangnya memuat keterangan: 1) Nama karyawan 2) Tanggal mulai bekerja 3) Jenis pekerjaan 4) Besarnya upah Berbeda dengan kontrak PKWT yang dibatasi maksimal 3 (tiga) tahun, PKWTT tidak memiliki batasan waktu. Pada PKWTT, perusahaan wajib memberikan pembayaran jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sementara tidak demikian dengan PKWT dikarenakan pekerja PKWT akan berhenti bekerja saat perjanjian berakhir. Di samping itu, PKWT juga tidak diperbolehkan menetapkan masa percobaan; sedangkan PKWTT boleh mensyaratkan masa percobaan maksimal 3 (tiga) bulan.
  • 30. 29 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Terakhir, PKWT harus dibuat kontrak secara tertulis; sedangkan PKWTT dapat dibuat secara lisan, namun harus membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Berikut perbedaan isi surat PKWT dan PKWTT. Pasal 60 UU Ketenagakerjaan: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. (2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Selanjutnya menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila: a. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja; b. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja; c. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan; d. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut; e. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT. Suatu PKWTT termasuk PKWT dapat berakhir, sesuai dengan Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 61 Ayat 1 menyatakan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila: a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
  • 31. 30 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. PKWTT tidak berakhir karena berakhirnya Perusahaan atau beralihnya hak atas perusahaan karena penjualan, pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadinya pengalihan perusahaan, misalnya, hak-hak Karyawan menjadi tanggung jawab perusahaan baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan antara pengurus Perusahaan yang lama dan yang baru- dan perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak karyawan. Dalam hal perusahaan merupakan orang- persoarangan dan meninggal dunia, ahli waris pengusaha tersebut dapat mengkhiri perjanjian kerja setelah merundingkannya dengan karyawan. Dalam hal karyawan yang meninggal dunia, ahli waris Karyawan itu berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 7. PERBEDAAN PKWT DAN PKWTT Kontrak PKWT (Pasal 54) Surat Pengangkatan PKWTT (Pasal 63) nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; jabatan atau jenis pekerjaan; tempat pekerjaan; besarnya upah dan cara pembayarannya; syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. nama dan alamat pekerja/buruh; tanggal mulai bekerja; jenis pekerjaan; dan besarnya upah. 8. HAK PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA Hak Pekerja diatur pada Bab X UU Ketenagakerjaan tentang Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejateraan. Beberapa diantaranya, yaitu: a. Hak Buruh/Pekerja 1. Hak Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
  • 32. 31 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan,atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syaratsyarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. 2. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 UU Ketenagakerjaan). 3. Hak waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh (Pasal 79 UU Ketenagakerjaan). 4. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (1) UU Ketengakerjaan); 5. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan Pasal 82 ayat (2) UU Ketengakerjaan); 6. Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83 UU Ketenagakerjaan). 7. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 UU Ketenagakerjaan). b. Hak Pengusaha 1. berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrutpemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan (Pasal 22 ayat (2). 2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi 3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja 4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha 9. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja , yaitu suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian kerja adalah sebagai berikut : d. Kewajiban Buruh/Pekerja Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b dan 1603c yang pada intinya adalah sebagai berikut: 1. Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.
  • 33. 32 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM 2. Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut. 3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaanbaik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda”. e. Kewajiban Pengusaha 1. Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. Ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik dengan adanya campur tangan Pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar pengusaha yang dikenal dengan upah minimum, maupun pengaturan upah dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981Tentang Perlindungan Upah. 2. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja (Pasal 77 UU Ketenagakerjaan). 3. Kewajiban memberikan istrahat/cuti; pihak majikan/ pengusaha diwajibkan untuk memberikan istrahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Cuti tahunan lamanya 12(dua belas) hari kerja. Selain itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah bekerja terus-menerus selama 6 (enam) bulan pada suatu perusahaan(Pasal 79 ayat 2 UU Ketenagakerjaan). 4. Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan). 5. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya (Pasal 67 UU Ketenagakerjaan). 6. Kewajiban mengurus perawatan dan pengibatan; majikan/pengusaha wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal 1602x KUHPerdata). Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui perlindingan Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek dan sekarang telah dirubah menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan UNDANG-UNDANG REPUBLIK
  • 34. 33 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL. 7. Kewajiban memberikan surat keterangan; kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602a KUHPerdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja). Surat keterangan itu juga diberikan meskipu inisiatif PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) datangnya dari pihak pekerja. Surat keterangan tersebut sebagai bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru, sehingga dia diperlakukan sesuai dengan pengalaman pekerjaannya. 8. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurang nya 10 (Sepuluh orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 (1) UU Ketenagakerjaan. 9. Pengusaha Wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. 10. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (Tujuh) hari kerja (Pasal 148 UU Ketenaga kerjaan). 11. Dalam Hal terjadi pemutusan Kerja pengusah di wajib kan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 (1) UU Ketenagakerjaan). 12. Dalam hal pekerja /buruh di tahan pihak yang berwajib karena di duga melakukan tindak pidana bukan bukan atas pengaduan pengusaha,maka pengusaha tidak wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja,buruh yang menjadi tanggungannya. (Pasal 160 ayat (1) UU Ketenagakerjaan). 13. Pengusaha wajib membayar kepada pekerja ,buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana di maksud pada ayat (3)dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (4). 14. Untuk Pengusaha di larang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana di maksud dalam pasal 89 (Pasal 90 UU Ketenagakerjaan). 15. Pengusaha Wajib MembayarUpah/pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 91 UU Ketenagakerjaan).
  • 35. 34 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM 16. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan (Pasal 87 UU Ketenagakerjaan). 17. Kewajiban Pengusaha lainnya bisa dilihat dalam pasal 33 ayat (2) UU ketenagakerjaan terkait dengan penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan penempatan tenaga kerja di luar negeri. f. Larangan Untuk Pengusahan 1) Dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. Tetapi harus memenuhi persyaratan: izin tertulis dari orang tua atau wali; perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; keselamatan dan kesehatan kerja; adanya hubungan kerja yang jelas; dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Pasal 69 UU Ketenagakerjaan). 2) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (Pasal 76 ayat (1) UU Ketenagakerjaan). 3) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 (Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. 4) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. 10. PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA Ada banyak isu yang berkaitan dengan perjanjian kerja, diantaranya: a. Permasalahan berikutnya yang sering muncul terkait perjanjian kerja yaitu, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa Pasal 62 UU Ketenagakerjaan dapat disimpangi. Oleh karena itu, walaupun ada yang dinamakan asas kebebasan berkontrak, yang mana para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, akan tetapi kebebasan tersebut tetap dibatasi. Dalam kebebasan berkontrak, orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Mengenai “tidak bertentangan dengan undang-undang”, ini merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu sebab yang halal Sebab yang halal merupakan syarat objektif, yang mana tidak terpenuhi syarat objektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum.
  • 36. 35 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM Dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan telah diatur bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa Pasal 62 UU Ketenagakerjaan dapat disimpangi. Oleh karena itu, walaupun ada yang dinamakan asas kebebasan berkontrak, yang mana para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, akan tetapi kebebasan tersebut tetap dibatasi. Dalam kebebasan berkontrak, orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Mengenai “tidak bertentangan dengan undang-undang”, ini merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu sebab yang halal. Sebab yang halal merupakan syarat objektif, yang mana tidak terpenuhi syarat objektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. b. Mengenai penahanan Ijasah Pada beberapa perusahaan, ada kalanya lupa atau masih menahan ijazah pekerjanya, padahal pekerja tersebut sudah tidak lagi bekerja diperusahaan itu. Dalam Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur boleh tidaknya perusahaan menahan surat-surat berharga milik karyawan, seperti misalnya ijazah. Penahanan ijazah pekerja/karyawan oleh perusahaan, diperbolehkan, sepanjang adanya kesepakatan antara pengusaha dan karyawan. Kesepakatan pengusaha dan pekerja itu telah tertuang dalam perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, dan masih adanya hubungan kerja antara pengusaha dan karyawan. Artinya sepanjang karyawan tersebut masih bekerja diperusahaan tersebut, maka diperbolehkan pengusaha menahan atau menyimpan ijazah pekerja tersebut. Sedangkan apabila ijazah tetap ditahan dan tidak dikembalikan setelah kita tidak bekerja diperusahaan tersebut, maka harus kita upayakan agar ijazah tersebut dapat diambil. Namun, apabila memang pihak perusahaan tidak mau mengembalikan ijazah kita, kita dapat menggugat perusahaan tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum atau melaporkan ke polisi dengan tuduhan penggelapan. Penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Maksudnya adalah penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut dengan sengaja pada pelaku. Atau
  • 37. 36 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM penguasaan barang terjadi karena adanya tugas yang diberikan misalnya pada petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain. c. Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (corebusiness) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam praktiknya yang di-outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan yang dioutsource mengakibatkan pekerja/buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang; 2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain/perusahaan penerima pekerjaan (vendor) yang tidak berbadan hukum. 3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh outsourcing sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja langsung pada perusahaan Principal dan/atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. a. hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan vendor tidak dibuat dalam bentuk Perjanjian Kerja secara tertulis, sehingga status pekerja/buruh menjadi tidak jelas, apakah berdasarkan PKWT atau PKWTT, karena ketidakjelasan status ini sewaktu-waktu pekerja/buruh dapat diberhentikan (di-PHK) tanpa uang pesangon. “akan tetapi dari sisi tenaga kerja, kondisi demikian sering menimbulkan persoalan, khususnya masalah ketidakpastian hubungan kerja. Perusahaan outsourcing biasanya membuat perjanjian kontrak dengan pekerja apabila ada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Kontrak tersebut biasanya hanya berlaku selama pekerjaan masih tersedia, dan apabila kontrak atas pekerjaan tersebut telah berakhir, maka hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing juga berakhir. Dalam kondisi demikian biasanya perusahaan outsourcing memberlakukan prinsip no work no pay, yaitu pekerja tidak akan digaji selama tidak bekerja, sekalipun hubungan kerja di antara mereka telah berlangsung bertahun-tahun”. b. vendor membayar upah murah yang tidak sesuai dengan standar upah minimum dan kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh;
  • 38. 37 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM c. tidak diterapkannya waktu kerja dan waktu istirahat bagi pekerja/buruh, serta perhitungan upah kerja lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur; d. pekerja/buruh outsourcing tidak diikutsertakan dalam program jamsostek yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Pengusaha juga tidak memberikan pelayanan peningkatan kesehatan bagi pekerja/buruh dan keluarganya; e. secara umum vendor tidak menerapkan norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi pekerja/buruhnya; f. sebagai pekerja kontrak, maka Pekerja/buruh outsourcing tidak ada job security dan jaminan pengembangan karier, tidak ada jaminan kelangsungan kerja, tidak memperoleh THR dan tidak diberikan pesangon setelah di PHK, serta tidak terpenuhi hak-hak dasar lainnya sebelum, selama dan setelah pekerja/buruh bekerja. Kesenjangan antara das sollen (keharusan) dan das sain (kenyataan) dalam praktik outsourcing ini disamping menimbulkan penderitaan bagi kaum pekerja/buruh juga berdampak pada kemajuan produktivitas perusahaan, menurut Robert Owen (1771- 1858) rangkaian sikap pekerja/buruh dalam hubungan kerja sangat berpengaruh terhadap produktivitas karena terkait dengan motivasi untuk meningkatkan prestasi kerja. Pekerja/buruh akan bekerja lebih keras apabila mereka percaya bahwa perusahaan memperhatikan kesejahteraan mereka, fenomena inilah yang disebut sebagai Hawthorne effect. Stigmatisasi atas praktik outsourcing selain berdampak pada rendahnya komitmen, motivasi dan loyalitas pekerja/buruh terhadap perusahaan dan penurunan tingkat produktifitas kerja, juga menimbulkan eskalasi perselisihan hubungan industrial yang dapat menjurus pada aksi mogok kerja dan demontrasi. Padahal untuk menciptakan hubungan kerja yang harmonis, segala bentuk gejala yang mengarah pada perselisihan harus dihindari. Menurut Adrian Sutedi “tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dunia usaha sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi hubungan industrial, utamanya peranan pihak-pihak yang berkepentingan dalam dunia usaha tersebut (stake holders). Semakin baik hubungan industrial maka semakin baik perkembangan dunia usaha”. Jadi keharmonisan dalam hubungan industrial tergantung bagaimana para pihak memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain sehingga pihak yang lain itu mendapatkan hak-haknya.
  • 39. 38 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN.............................................................. 0 1. PENGANTAR ..................................................................................................................... 1 2. SEJARAH PERKEMBAGAN UU KETENAGAKERJAAN.......................................................... 3 A. Zaman Belanda............................................................................................................. 4 B. Zaman Orde Lama........................................................................................................ 4 C. Zaman Orde Baru......................................................................................................... 5 Masa Pemerintahan Soeharto....................................................................................... 5 D. Masa Reformasi............................................................................................................ 6 3. PERATURAN-PERATURAN TERKAIT KETENAGAKERJAAN................................................. 6 4. SISTEMETIKA UU KETENAGAKERJAAN ............................................................................. 8 BAB II HUBUNGAN KERJA....................................................................................................... 14 1. PENGERTIAN HUBUNGAN KERJA ................................................................................... 14 A. Adanya Pekerjaan................................................................................................... 15 B. Adanya Perintah..................................................................................................... 15 C. Adanya Upah.......................................................................................................... 16 1. Komponen Upah Tenaga Kerja.............................................................................. 17 a. Upah pokok........................................................................................................ 17 b. Fasilitas .............................................................................................................. 17 c. Bonus ................................................................................................................. 17 2. Macam-Macam Teori Upah Tenaga Kerja............................................................. 17 a. Teori Upah Alami .............................................................................................. 17 b. Teori Upah Besi ................................................................................................. 18 c. Teori Upah Produktivitas Batas Kerja ............................................................... 18 d. Teori Upah Etika................................................................................................ 18 e. Teori Upah Diskriminasi.................................................................................... 18 D. Waktu Tertentu ...................................................................................................... 19 2. KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA......................................................................... 19 3. TENTANG PERJANJIAN KERJA......................................................................................... 22 4. PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) ............................................................. 23 a. Berakhirnya PKWT............................................................................................ 24 b. Perpanjangan dan Pembaruan PKWT................................................................ 25
  • 40. 39 Modul Hukum Ketenagakerjaan Russel Butarbutar., SH.,ST.,MH.,MM c. Perbedaan Pekerja Outsourcing dengan PKWT................................................. 25 5. SANKSI WANPRESTASI DALAM PKWT............................................................................ 27 6. PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT)................................................. 28 7. PERBEDAAN PKWT DAN PKWTT .................................................................................... 30 8. HAK PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA ............................................................... 30 a. Hak Buruh/Pekerja............................................................................................. 30 b. Hak Pengusaha................................................................................................... 31 9. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA.................................................... 31 d. Kewajiban Buruh/Pekerja .................................................................................. 31 e. Kewajiban Pengusaha ........................................................................................ 32 f. Larangan Untuk Pengusahan.............................................................................. 34 10. PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA............................................................ 34