Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Sejarah kaderisasi pii
1. BAB I
SEJARAH KADERISASI
PELAJAR ISLAM INDONESIA
Kaderisasi sebagai kebutuhan organisasi dan pembinaan ummat telah dirasakan sejak masa kelahiran Pelajar Islam Indonesia
(PII). Pada masa awal kelahiran kegiatan kaderisasi dilakukan dengan spontanitas dan terkesan seadanya. Seiring dengan
perkembangan organisasi maka bentuk kegiatan kaderisasi mengalami penyesuaian dan penyempurnaan yang berlangsung
terus menerus secara gradual. Secara kronologis perjalanan dan pasang surut kegiatan kaderisasi itu bisa kita kategorikan
dalam beberapa tahap.
A. TAHAP PERINTISAN (1952-1958)
Kegiatan kaderisasi pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1-10 Juni 1952 dengan nama Latihan Kader. Pelaksanaannya
belum dirancang secara konsepsional dengan menggunakan sistem dan metode yang baku. Penceramah dicari sesaat sebelum
jadwal ceramah dilangsungkan. Konsekuensinya materi cenderung disesuaikan dengan penceramah yang bersangkutan.
Prawoto Mangkusasmito dan Mohammad Roem sebagai pimpinan puncak Masyumi waktu itu berkesempatan men yampaikan
ceramah. Kehadiran dua tokoh ini membawa konsekuensi tersendiri dalam perkembangan dan warna peran Pelajar Islam
Indonesia (PII) di kemudian hari.
Walaupun dilaksanakan secara sederhana dengan tingkat persiapan yang kurang memadai, setidaknya Latihan Kader telah
meletakkan fondasi konsep kaderisasi PII. Latihan Kader ini menjadi acuan dan pendorong bagi penyelenggaraan kaderisasi
berikutnya. Secara periodik dalam setiap penyelenggaraan Latihan Kader yang dilangsungkan setelah itu, selalu dilaku kan
penyempurnaan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan tantangan yang dihadapi organisasi dan masyarakat.
B. TAHAP IDENTIFIKASI & PERUMUSAN (1958-1963)
Tahap ini diawali dengan penyelenggaraan Seminar Latihan Kepemimpinan tanggal 17-19 Oktober 1958. Perumusan dan
penyusunan sistem dan metode dilakukan oleh sebuah Tim Perumus yang terdiri dari Mukti Ali (mantan Menteri Agama),
Hariri Hadi (Pengurus Perguruan Islam Al-Azhar/mantan pejabat Bappenas) dan Zabidin Yacob (mantan pejabat Deperin).
Penyusunan sistem dan metode ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman mengikuti Youth Leaders Training dan Student Work
Camp. Hal ini terlihat dengan dipakainya metode Dynamic Group sebagai metode utama. Rumusan dari Tim Perumus itu
kemudian diseminarkan dan menghasilkan Sistem dan Metode Latihan Kepemimpinan. Selanjutnya rumusan ini disyahkan
pada Konbes V tanggal 28 Desember 1958 - 2 Januari 1959 di Madiun.
Berdasarkan pedoman di atas dilaksanakan program kaderisasi secara menyeluruh yang kemudian berkembang secara luas ke
setiap daerah. Salah satu perkembangan tersebut adalah pelaksanaan Leadership Training di Pesantren seperti di Gontor
(1959), Tebuireng (1959, 1961), Sukabumi (1960), Tasikmalaya (1961) dan Kotabaru, Pontianak (1961). Karena tingkat
kebutuhan masyarakat Pelajar di lingkungan Pesantren berbeda dengan tingkat kebutuhan masyarakat pelajar umum maka
konsep dan pelaksanaan Leadership Training di daerah-daerah pesantren ini kemudian berkembang menjadi Mental Training.
Melihat perkembangan di atas maka dilakukan upaya penyempurnaan sistem dan metode serta konsep kaderisasi secara agak
menyeluruh. Pada tahun 1961 diselenggarakan seminar yang menghasilkan Sistem dan Metode Mental Training dan sekaligus
dihasilkan pula Sistem dan Metode Perkampungan Kerja Pelajar (PKP) sebagai konsep pembinaan dan latihan kepemudaan.
Dalam kedua sistem tersebut terdapat penyempurnaan Dynamic Group. Disamping itu yang sangat penting adalah terjadinya
pengembangan orientasi dari perubahan mental (mental change) dan pengembangan mental (mental development) menjadi
pembentukan sikap mental (mental attitude) yang Islami.
C. MASA KRISTALISASI (1963-1979)
Setelah dua tahun pelaksanaan kaderisasi dengan sistem dan metode di atas berlangsung, kebutuhan untuk menyempurnakan
sistem dan metode tersebut masih dirasakan. Maka secara berurutan diselenggarakan seminar PKP di Cipasir, Cicalengka,
April 1963 menghasilkan Sistem dan Metode PKP yang disempurnakan, seminar Mental Trainig di Rancaekek, Bandung, Juni
1963 menghasilkan sistem dan Metode Mental Training yang disempurnakan, dan Seminar Leadership Training di
Yogyakarta, Desember 1963 menghasilkan Sistem dan Metode Leadership Training yang disempurnakan serta Pedoman
Kader yang berisi; Dasar Pembentukan Kader, Pengertian, Fungsi dan Status, Kepribadian, Hak dan Kewajiban, serta Tingkat
dan Atribut Kader.
Hasil-hasil seminar di atas kemudian disyahkan menjadi konsep kaderisasi PII yang baru. Secara ringkas tinjauan masing -
masing jenis training tersebut terurai dalam pembahasan berikut:
1. Leadership Training
Jenis training ini menjadi induk program kaderisasi PII yang diarahkan pada upaya pembentukan kader yang
berkepribadian dinamik melalui jalan :
a. Menanamkan kesadaran peserta untuk memahami, menghayati, meyakini dan memperjungkan Islam sebagai
pedoman hidup (way of life).
b. Mengubah dan mengembangkan jiwa peserta ke arah jiwa yang penuh dinamika, sehingga memiliki sifat -sifat utama
(9 sifat) dan memiliki kecakapan untuk memimpin dan menggerakkan anggota untuk berjuang baik di dalam wadah
PII maupun di tengah masyarakat. Leadership Training dilaksanakan dalam dua jenjang yaitu tingkat dasar dan
tingkat lanjut.
2. Mental Training
Sebagaimana disebutkan diatas jelas bahwa sesungguhnya Mental Training adalah pengembangan Leadership Training
yang diselenggarakan di pesantren atau masyarakat yang taat melaksanakan ajaran Islam. Sehingga secara prinsip tidak
ada perbedaan yang esensial antara Mental Training dan Leadership Training. Yang membedakan hanyalah spesifikasi
tujuan Mentra yaitu : Menciptakan keharmonisan hidup di kalangan pelajar Islam untuk mencapai Izzul Islam wal
muslimin melalui usaha:
2. a. Menghapuskan jurang pemisah antara pelajar umum dan pelajar madrasah / pesantren.
b. Mengusahakan agar masing-masing saling mengisi kekurangannya.
c. Mengajak peserta untuk memperlajari dan mengerti ajaran Islam.
d. Menggembleng peserta dengan tempaan iman, Islam dan ihsan.
e. Membentuk pemimpin yang berjiwa kuat.
f. Memupuk, memelihara dan mengembangkan rasa cinta pelajar terhadap ajaran Islam dan ummat Islam.
Spesifikasi tujuan ini membawa konsekuensi pada penambahan materi ajaran Islam. Dalam pelaksanaan dan
pengembangan materi ini diarahkan untuk memberikan keseimbangan pengetahuan dan penghayatan agama terhadap
pelajar di sekolah umum dan memberikan pengalaman langsung hidup di lingkungan pesantren. Sehingga Mentra
kemudian lebih ditujukan untuk pelajar sekolah umum. Dengan demikian materi Mentra hampir sama dengan materi
Leadership Training, hanyalah kedalaman muatan yang membedakan.
Mentra dilaksanakan dalam jenjang Mentra Dasar dan Mentra Dakwah. Mentra Dasar lebih berorientasi pada pengenalan
wawasan ajaran Islam serta penghayatan tradisi masyarakat Islam. Sedang Mentra Dakwah berorientasi pada pendalaman
ajaran Islam dan praktek dakwah Islam. Namun demikian dalam pelaksanaannya tidak ada perbedaan yang jelas antara
dua jenjang Mentra tersebut. Sehingga dalam praktiknya sangat tergantung pada tingkat kebutuhan dan kesiapan masing-masing
wilayah.
3. Perkampungan Kerja Pelajar
PKP pada awalnya merupakan program pengabdian sosial dan kemasyaratan PII. Kemudian dikembangkan menjadi salah
satu jenis training untuk memikul beban kaderisasi. Oleh karenanya materi-materinya juga hampir mirip dengan materi
Leadership Training, namun model kegiatannya yang berbeda. Peserta diterjunkan ke masyarakat dengan dititipkan
kepada satu keluarga untuk tinggal bersama. Disamping itu juga harus menyusun kegiatan bersama untuk masyarakat
dengan memanfaatkan segala potensinya dan sekaligus berusaha mendorong dinamika masyaraka t ke arah terbentuknya
masyarakat Islami.
PKP dibagi menjadi dua jenjang yaitu PKP Dasar dan PKP Dakwah. Untuk tingkat dasar dipilihkan masyarakat yang
sudah baik pengalaman ajaran Islamnya. Dengan demikian peserta lebih banyak belajar dar i masyarakat tersebut.
Sebaliknya untuk tingkat Dakwah dipilihkan masyarakat yang masih awam sehingga peserta lebih banyak kesempatan
untuk berbakti dan berdakwah mendorong masyarakat agar mampu mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya.
Dengan dirumuskannya pedoman kaderisasi seperti di atas maka PII berlangsung program training dalam tiga jalur berupa
Leadership Training, Mental Training dan Perkampungan Kerja Pelajar. Dengan beragamnya model Training ini membuat
aktifitas kaderisasi semakin tinggi. Namun demikian semakin dirasakan adanya duplikasi antar model Training sehingga perlu
diselenggarakan evaluasi dan penyempurnaan konsep kaderisasi.
Kebutuhan akan penyempurnaan konsep kaderisasi menjadi sangat mendesak. Hal ini disebabkan oleh perkembangan serta
perubahan tantangan yang dihadapi PII berlangsung demikian cepat. Untuk maksud tersebut PB PII menyelenggarakan
Musyawarah Kader dan Coaching Instruktur (MUKACI) di Pekalongan, pada tanggal 20-27 Agustus 1967. Disamping untuk
penyempurnaan sistem dan metode, MUKACI juga berfungsi untuk mengantisipasi problem aktual yang dihadapi PII pada
saat itu. Dalam penyelenggaraan acara ini berhasil merumuskan Sistem dan Metode Training PII yang meliputi:
1. Pemantapan Strategi Training
Karena model training yang dilakukan terdiri dari tiga jenis maka masing-masing membutuhkan cara penanganan yang
agak berbeda. Untuk itu perlu pemantapan pada strategi penggarapan masing -masing jenis training terutama penggunaan
metode.
2. Kurikulum Training
Untuk merespon dan mengantisipasi perubahan dan tantangan yang dihadapi PII maka dipandang perlu menyempurnakan
materi-meteri training. Dengan demikian penyempurnaan kurikulum ini banyak pada penyempurnaan materi tersebut.
Diantaranya pada kurikulum Mentra lebih diarahkan untuk menjawab problem dan tantangan ajaran Islam berupa
keragaman pemahaman keagamaan akibat pengaruh Kebijakan Islam dan Kolonial Belanda dahulu. Keragaman itu
meyebabkan lemahnya persatuan ummat Islam yang ditandai dengan munculnya golongan -golongan, kekaburan
pemahaman tentang Islam dan munculnya aliran pemikiran dalam Islam. Untuk menjawab problem tersebut dirumuskan
materi untuk mendalami Al Qur’an sebagai sumber ajaran, sejarah pertumbuhan Islam dan sejarah munculnya corak dan
ragam aliran.
3. Hubungan Antar Jenis Training
Dengan adanya metode training yang berbeda maka perlu dirumuskan hubungan masing-masing jenis training tersebut.
Masing-masing mempunyai konsentrasi dan penekanan namun berada dalam satu sistem, sehingga masing -masing jenis
itu saling menunjang.
Namun masih ada yang tersisa dari Mukaci yaitu belum tuntasnya pembahasan dan perumusan tentang sistem dan metode
masing-masing jenis training, sehingga hanya merekomendasikan sistem dan metode yang sudah ada dan dipakai selama
ini. Dengan demikian Mukaci Pekalongan belum dapat menyempurnakan sistem dan metode kaderisasi.
Setelah pedoman kaderisasi hasil Mukaci diterapkan selama tujuh tahun lebih kekurangan itu semakin dirasakan. Untuk
itu bersamaan dengan Sidang Dewan Pleno Nasional (SDPN) tahun 1974 dilakukan p embahasan untuk upaya
penyempurnaan sistem dan metode kaderisasi. Pembahasan ini tidak tuntas hanya menghasilkan rekomendasi:
a. Penyelenggaraan training dasar dengan nama training kepribadian sebagai basis seluruh training PII.
b. Memakai kembali pedoman tentang sistem dan metode training hasil Mukaci Pekalongan.
3. c. Diharapkan PB PII untuk menyelenggarakan acara pertemuan Instruktur Nasional untuk melakukan penyempurnaan
konsep kaderisasi secara umum maupun konsep training secara khusus.
LAT
PKP
LBT
MENTRA
E. MASA KONSOLIDASI (1979-1985)
Dari rekomendasi SDPN tahun 1974 maka diselenggarakan Pekan Orientasi Instruktur Nasional (POIN) di Cibubur,
Jakarta, April 1979. Pengurus Besar PII membentuk Tim Perumus yang terdiri dari Mohammad Jauhari, Hazim Abdullah
Umar, Taufiq Dahlan dan Masyhuri Amin Muhri untuk mempersiapkan rumusan konsepsi kaderisasi yang disempurnakan.
Tim Perumus berhasil menyempurnakan dan sekaligus melakukan kajian-kajian teoritik tentang Sistem dan Metode
Training PII. Rumusan tersebut disepakati dalam POIN 1979 dengan garis besar keputusan:
1. Fungsi Training
Training mempunyai fungsi sebagai media kaderisasi formal yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kaderisasi informal berupa program-program PII lainnya. Sebagai media kaderisasi formal training menjadi tumpuan
utama untuk menghasilkan kader PII untuk kepentingan perjuangan organisasi dan ummat Islam.
2. Karakteristik Kader dan Orientasi Training
Kader yang akan dihasilkan melalui proses training akan mempunyai 12 sifat dan 8 kemampuan dan kesiapan.
Karakter kader yang demikian diharapkan mampu menjawab tantangan dan memecahkan problem PII dan ummat
Islam sehingga bisa menjaga misi dan eksistensi PII dalam rangka izzul Islam wal muslimin.
Tantangan dan problem PII dan ummat Islam dapat diklasifikasikan dalam 8 orientasi (kecenderungan) dan
selanjutnya akan menjadi orientasi training PII. Kedelapan orientasi tersebut adalah :
a. Problem Ideologi
b. Problem Kepemimpinan
c. Problem Pendidikan
d. Problem Sosial
e. Problem Keadministrasian (organisasi)
f. Problem Ke-PII-an
g. Problem Sikap dan Tingkah Laku
h. Problem Cara Berfikir
3. Penyempurnaan tujuan dan penjenjangan training
Dalam rangka mengemban fungsi kaderisasi formal, training difokuskan pada masalah Kepemimpinan yang ditopang
dengan pemahaman masalah sosial kemasyarakatan (dengan sample masyarakat desa) dan masalah pendidikan agama
Islam (dengan sample masalah khilafiyah baik aqidah maupun fiqih).
Atas dasar pemikiran di atas maka training dibagi dalam 3 jenis yaitu;
a. Leadership Training dengan fokus pada masalah kepemimpinan yang terdiri dari; tingkat dasar (Leadership
Basic Training) dan tingkat lanjut (Leadership Advanced Training).
b. Mental Training dengan fokus pada masalah pendidikan agama Islam sebagai bekal ruhiyah untuk menghadapi
tantangan ideologis.
c. Perkampungan Kerja Pelajar dengan fokus pada masalah sosial kemasyarakatan.
Tujuan masing-masing jenis training di atas adalah:
a. Leadership Basic Training
Terbentuknya kader PII yang menjawab tantangan dan problem organisasi PII tingkat lokal maupun regional dan
mampu memahami problem PII dan ummat Islam tingkat nasional.
b. Leadership Advanced Training
Terbentuknya kader PII yang menjawab tantangan dan problem organisasi PII dan ummat Islam tingkat regional
maupun nasional, dan mampu memahami problem kepemimpinan ummat Islam dalam dunia internasional.
c. Mental Training (Mentra)
Terbentuknya kader PII yang mampu menjawab problem ajaran Islam dan tantangan ajaran lainnya yang
dihadapi ummat Islam Indonesia untuk mendapatkan kerahmatan dari Allah Swt. dan perkembangan syiar Islam
d. Perkampungan Kerja Pelajar (PKP)
Terbentuknya kader PII yang mampu mengintegrasikan diri dan mempelopori masyarakat untuk menjawab
tantangan dan problem kemasyarakatan ke arah terwujudnya desa sejahtera yang diridhoi Allah Swt. (qaryah
thayyibah wa rabbun ghafur).
Semua jenis training tersebut idealnya ditempuh seluruhnya dengan mekanisme dan jenjang seperti tergambar dalam
bagan berikut:
4. 4. Pengembangan Metode dan Teknik Training
Untuk melengkapi pemahaman penggunaan metode Group Dynamic dilakukan kajian teoritik dan menyadur buku
Achieving in People; Some Aplication of Group Dynamic Theory, Darwin Cartwright, terbitan Reprinted from Human
Relation., Vol. IV, No. 4, 1951. Kemudian dirumuskan teori pengelolaan kelompok dan penerapannya dalam training
PII. Atas dasar itu maka penggunaan metode dalam training PII; Group Dynamic (GD), Informative Dyamic (ID) dan
Interview. Dari penggunaan metode di atas dalam pelaksanaan training digunakan teknik-teknik personal
intoduction, expectation, case study, clossing session dan written assignment.
Dalam rangka penajaman dan pendalaman pemahaman terhadap hasil POIN 1979 dan upaya tindak lanjutnya
kamudian diselenggarakan Coaching Intruktur Nasional (CIN) di Jakarta 1982 yang telah menghasilkan:
a. Keseragaman pemahaman dan pendalaman metode Group Dynamic.
b. Perumusan silabus training.
c. Perlunya penyempurnaan silabus training.
Rekomendasi tersebut didasarkan pada oenyusunan silabus saat ini belum dilakukan secara mendasar dan
komprehensif serta antis ipatif terhadap tuntutan perubahan, disebabkan keterbatasan persiapan dan waktu
pembahasan.
Selanjutnya diselenggarakan Latihan Teknik Dinamik Grup Nasional (LTDGN) untuk mempertajam pemahaman
tentang metode dan teknik. Latihan ini dilaksanakan pada akhir Desember 1982 sampai awal Januari 1983, bertempat
di Universitas Islam Asy-Syafi’iyah (UIA), Jatiwaringin Jakarta, yang menghasilkan:
a. Diperkenankan teknik-teknik baru dalam pelaksanaan Dinamik Grup seperti Personal Intoduction, Ice Breker
(pemeceah kebekuan), Pengalaman Berstruktur, Creative Thingking (berpikir kreatif), dan Sharing Ideas (bagi-bagi
gagasan).
b. Direkomendasikannya kemungkinan teknik-teknik tersebut dipakai dalam training sesuai dengan kebutuhan.
c. Direkomendasikannya penyusunan buku panduan training.
Sebagai upaya menindaklanjuti hasil CIN dan LTDGN serta untuk merespon perubahan kebutuhan training PII maka
diselenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional (MIN) di PP Darussalam, Tegineneng, Bandar Lampung 1985. Hal
yang dihasilkan dari MIN adalah sebagai berikut:
a. Tersusunnya buku panduan Leadership Basic Training (LBT) yang terdiri dari; materi, ruang lingkup
pembahasan, target dan indikator, waktu, metode, langkah-langkah, dan pengantar telaah kasul (Case Study).
b. Direkomendasikan kepada PB PII dan beberapa PW untuk membahas dan menyusun panduan Mentra, PKP dan
LAT dan Pendidikan Intruktur (PI) yang drafnya sudah dipersiapkan dalam MIN.
c. Direkomendasikannya pemakaian buku LBT dalan training konvensional PII.
Ketidaktuntasan pembahasan di MIN ini menimbulkan beberapa implikasi dalam pelaksanaan. Pada masing-masing
Pengurus Wilayah menyikapi secara berbeda. Ada yang beranggapan hanya panduan LBT yang sudah boleh
digunakan sementara panduan jenis training lainnya menggunakan hasil POIN 1979. Sementara ada Pengurus
Wilayah yang melaksanakan dengan menggunakan draf yang belum disepakati dalam MIN Lampung sebagai
pedoman training Mentra. PKP, dan LAT. Kondisi ini menciptakan polarisasi dan keragaman pelaksanaan training
di masing-masing Pengurus Wilyah.
F. MASA RESISTENSI (1985-1991)
Sikap PII terhadap penerapan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas membawa pengaruh yang serius terhadap pelaksanaan
training PII. Paradigma yang melatarbelakangi konsep dan sistem training yang dipakai PII selama ini didasarkan pada
asas legal-formal. Pergeseran pola gerakan dari asas legal-formal ke informal menyebabkan PII harus mencari alternatif
gerakan termasuk bidang kaderisasi. Kendala eksternal yang dialami PII menyulitkan pencapaian target dan tujuan
training. Upaya untuk menyesuaikan pola training sesuai dengan situasi eksternal dan tantangan organisasi kemudian
memunculkan rumusan sistem training alternatif.
PB PII merumuskan konsep pembinaan Sebelas Bintang Satu Matahari Plus Rembulan pada akhir tahun 1985. Lewat
paket ini kita mengenal bentuk pembinaan melalui:
1. Training Konvensional yang terdiri dari : LBT, Mentra, PKP dan LAT
2. Training Alternatif yang terdiri dari Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran I (BKK I) / Forum Pacu Study (Forpadi),
BKK II, BKK III, Studi Islam Awal Mula (SIAM) I, SIAM II, SIAM III, Latihan Hubungan Manusia (LHM) I, LHM
II)
3. Training Khusus yang terdiri dari Training Tingkat Dasar (TTD) dan Training Tingkat Lanjut (TTL) PII Wati serta
Latihan Brigade Tingkat Dasar (LBTD) dan Latihan Brigade Tingkat Lanjut (LBTL).
Di samping itu mulai disosialisasikan program pembinaan kader pasca training berupa Gerakan Usrah dan Gerakan Amal
Shaleh (GAS). Gerakan Usrah mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai diniyah.
Sedangkan GAS dititik beratkan pada upaya pembudayaan sikap hidup muslim sehari-hari.
Semula paket training alternatif disusun untuk mengantisipasi jika paket training konvensional tidak bisa dilaksanakan
karena kendala eksternal (legal-formal). Namun ternyata training konvensional tetap bisa dijalankan walaupun dengan
beberapa modifikasi, sementara secara bersamaan training alternatif juga dilaksanakan. Akibatnya berkembang dua jalur
training dalam kegiatan kaderisasi PII sehingga terjadi duplikasi dalam konsep kaderisasi.
G. MASA REKONSTRUKSI (1991-1996)
Kondisi informal PII dan kondisi kaderisasi sebagai akibat situasi eksternal tersebut mengharuskan kita untuk melakukan
evaluasi mendasar terhadap kegiatan kaderisasi. Konsep kaderisasi menurut POIN ‘79 dan MIN ‘85 belum menyertakan
“pola pembinaan” pasca training. Dengan demikian pembinaan kader pasca training diserahkan sepenuhnya kepada
5. masing-masing pengurus baik pengurus wilayah, daerah mapun komisariat. Masing-masing eselon kepengurusan tersebut
tidak memungkinkan menyusun program dan paket kegiatan continue dan baku. Sehingga kegiatan pembinaan kader
bersifat pragmatis dan sporadis tergantung dari tingkat aktivitas masing-masing eselon kepengurusan. Seiring dengan
menurunnya kondisi dan aktivitas kepengurus an maka kegiatan pembinaan kader makin tidak terkontrol. Kondisi ini
menyebabkan pola jalur dan jenjang training tidak sepenuhnya bisa dijalankan dengan baik. Banyak kader pasca Batra
yang menghilang dan tidak aktif.
Kegiatan training dan proses kaderisasi yang dialami PII semakin hari semakin merosot baik secara kuantitatif maupun
kulitatif. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan dapat mengancam eksistensi PII lebih lanjut. Maka sudah saatnya
dipikirkan bagaimana melakukan penyempurnaan secara komprehensif menyangkut aspek-aspek fundamental kaderisasi
PII melalui pendekatan kebutuhan objektif. Konsep ta`dib merupakan solusi terhadap masalah-masalah kaderisasi tersebut
yang telah direkomendir oleh Muktamar ke-19 di Garut, Desember 1992. Konsep ini dipersiapkan dalam lokakarya Tim
Kecil Pengurus Besar PII di Ponpes Pabelan pada bulan Ramadlan 1411/1991.
Menindaklanjuti rekomendasi Muktamar tersebut maka mulai dilakukan proses penyusunan konsep Ta`dib. Secara
berturut-turut dan intensif diproses melalui forum-forum khusus yang diadakan untuk kepentingan ini baik pada tingkat PB
maupun Forum Nasional. Proses penyusunan ini ternyata memakan waktu yang cukup lama. Di tingkat PB PII
dilaksanakan Sarasehan terbatas BPPT, Rapat Kerja BPPT dan Raker serta Rakor PB.
Untuk mengantisipasi kebutuhan pola pembinaan pasca training sekaligus menjadi faktor utama dalam mempertahankan
eksistensi PII yang tercermin dari kepengurusan yang semakin menurun maka PB PII segera membuat pola Ta’lim.
Sementara itu untuk membuat konsep pelatihan PB PII melakukan peninjauan terhadap training. Keduanya kemudian
dilaksanakan dalam bentuk Lokakarta, masing-masing Lokakarya Ta’lim dan Semiloka Pelatihan.
1. Lokakarya Ta’lim Nasional
Lokakarya diselenggarakan pada November 1993 di Islamic Center Bekasi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
melakukan sosialisasi dan pembahasan tentang konsep dan panduan Ta’lim. Penyelenggaraan acara berangkat dari
kebutuhan yang paling mendesak untuk segera merealisir pembinaan lewat jalur Ta`lim sebagai bagian dari konsep
Ta`dib. Lokakarya tersebut berlangsung kurang optimal karena tanpa didahului dengan perencanaan yang matang
sehingga pembahasan mengenai posisi dan konsepsi jalur Ta`lim dalam perspektif Ta`dib mengundang persepsi
yang berbeda antara PB PII dengan PW yang hadir. Akibatnya tidak didapatkan titik kesepakatan sehingga tindak
lanjut dari acara tersebut tidak seperti yang diharapkan.
Dengan kata lain lokakarya tidak menghasilkan rekomendasi bagaimana penerapan konsep Ta’lim dan panduan
kegiatan Ta’lim di wilayah-wilayah. Masing-masing Pengurus Wilayah mempunyai alternatif sendiri tentang pola
Ta’lim yang kemudian dalam proses pemecahan masalah pembinaan menjadi sangat beragam. Hal itu tidak
mengurangi semangat awal untuk terus melakukan upaya pembinaan dengan paket Ta’lim. Secara de fakto Ta’lim
berjalan dengan sendirinya walaupun beberapa wilayah ada pula yang kesulitan dan sama sekali tidak berjalan
kegiatan Ta’lim.
2. Semiloka Training
Semiloka (Seminar dan Lokakarya) dilaksanakannya menjelang Muktamar ke-20 pada 21-23 Januari 1995 di Jakarta
kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan konsep training sekaligus untuk mencari
masukan bagi penyempurnaan konsep training dalam merumuskan konsep kaderisasi PII perspektif Ta`dib.
Terhitung sejak MIN di Lampung 1985 PII secara nasional belum sempat lagi melakukan kajian secara komprehensip
terhadap konsep dan pola kaderisasi. Untuk itu Semiloka diadakan, dalam rangka melakukan tinjauan terhadap semua
perangkat training PII mulai dari MUKACI (Musyawarah Kader dan Coaching Instruktur ) di Pekalongan 1967,
POIN (Pekan Orientasi Instruktur Nasional) ‘79, dan MIN (Musyawarah Instruktur Nasional ) di Lampung 1985.
Evaluasi selama lebih kurang 12 tahun itu konsep kaderisasi PII khususnya training baru dapat diagendakan.
Memang terasa cukup berat untuk melakukan tinjauan dengan maksud evaluasi dan penyusunan ulang tentang konsep
kaderisasi PII yang utuh, kendatipun usaha tersebut tidak dilakukan secara detail, namun tinjauan makro dicoba
dilakukan dengan segala konsekuensi-konsekuensinya, antara lain aspek pendalaman historis dan filosofis masih
sangat terasa kurang. Sekali lagi karena ini faktor kebutuhan maka evaluasi itu merupakan suatu keharusan.
Berangkat dari kesadaran bahwa evaluasi yang sifatnya komprehensif dan makro itu maka PB PII melalui Tim
semiloka melakukan kegiatan pendahuluan sebelum pelaksanaan Semiloka. Tim melakukan diskusi reguler sebanyak
tiga kali, dengan mengundang nara sumber antara lain : Utomo Dananjaya, Hasyim Umar, dan Usep Fathudin. Dari
diskusi Tim tersebut diharapkan Semiloka dapat menghasilkan target yang optimal.
Seminar yang bertema “Pelatihan dan Pengembangan SDM” dalam upaya mengakomodasi berbagai pemikiran yang
perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebutuhan pembinaan dan pengembangan SDM, dalam hal ini
kaderisasi PII dalam menyusun Ta`dib. Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui seminar tersebut antara lain:
a. Mengidentifikasi dan merumuskan tantangan serta peluang pendidikan dan pelatihan dalam pengembangan SDM
yang berkaitan denagn organisasi Pelajar Islam dan kelembagaan ummat Islam secara umum.
b. Menghimpun pemikiran sekitar model-model alternatif pelatihan dan pola pengembangan SDM dalam rangka
pembinaan masyarakat pelajar.
c. Menyusun pola dan strategi pelatihan sebagai bahan penyempurnaan Sistem dan Metode Pelatihan PII.
Setelah seminar dilanjutkan dengan Lokakarya dengan tiga agenda utama yaitu:
a. Rekonstruksi orientasi pelatihan PII.
b. Alternatif sistem pelatihan PII.
c. Pengembangan materi pelatihan PII.
6. Lokakarya dihadiri oleh 13 PW, menandakan bahwa sebagian besar PW sangat memerlukan tentang perlunya
rekonstruksi pola kaderisasi PII mengingat kondisi kaderisasi selama ini berjalan apa adanya, sementara PII sudah
mulai akan berhadapan dengan berbagai masalah baru yang lebih kompleks. Beberapa masalah mendasar dalam
pedoman training sempat dibahas dan dievaluasi serta diperoleh rekomendasi bagi penyempurnaan konsep training.
Kesepakatan yang diperoleh dari Lokakarya tersebut adalah menindaklanjuti beberapa hal yang menyangkut upaya
penataan sistem dan pola kaderisasi PII yaitu dengan melakukan kajian lanjutan tentang Profil Pelatihan PII, Silabus
dan kurikulum, rekonstruksi pelatihan PII dan merumuskan pokok-pokok pikiran terhadap konsep Ta’dib. Hasil dari
Lokakarya ini kemudian dibawa ke Muktamar ke-20 namun karena keterbatasan waktu dan prioritas pembahasan
tidak sempat diagendakan secara khusus.
Dalam situasi semacam ini PB PII hasil Muktamar ke-20 kemudian memprioritaskan penyeles aian dan
penyempurnaan konsep Ta`dib. Untuk keperluan tersebut dibentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Ta`dib.
Secara spesifik badan ini diberikan mandat untuk melengkapi, mengembangkan, menata -ulang konsep Ta`dib
sehingga menghasilkan pola pembinaan atau konsep kaderisasi PII secara komprehensif, sistematis, tetapi sekaligus
aplicable.
Selama kurun waktu transisi PB PII melakukan rekonstruksi konsep kaderisasi, pelaksanaan training di wilayah-wilayah
tetap berjalan namun dengan pedoman yang berbeda-beda. Perbedaan itu makin banyak karena kondisi yang
berbeda di setiap wilayah. Sehingga boleh dikatakan pelaksanaan training tidak mempunyai standar yang baku secara
nasional. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi kaderisasi PII secara keseluruhan. Untu k itu kebutuhan
terhadap pembakuan pedoman kaderisasi menjadi sangat mendesak untuk segera dilakukan.
PORTANAS
Untuk membahas Ta’dib lebih lanjut diadakan Pekan Orientasi Ta’dib Nasional (PORTANAS) pada 1-4 Maret 1997 di
Semarang, Jawa Tengah. Forum ini dimaksudkan untuk sosialisasi awal Ta’dib sekaligus pembahasan untuk menghimpun
masukan bagi penyempurnaan konsep Ta’dib.
Dalam Portanas ini telah diajukan kerangka sistem kaderisasi PII yang baru (lihat bagan sistem dalam Bab IV) sebagai
penyempurnaan sistem yang dihasilkan di POIN 1979. Disamping itu juga diajukan draf Pedoman dan Silabus Training
dan Ta’lim, sedangkan konsep Kursus dan panduan-panduannya belum bisa diajukan karena belum bisa diselesaikan.
Karena belum lengkapnya konsep yang diajukan pembahasan menjadi tidak optimal, dan disepakati akan dibahas kembali
sebelum disahkan sebagai sistem kaderisasi PII yang baru.
LOKAKARYA INSTRUKTUR NASIONAL (LIN 98)
Muktamar Nasional PII ke-21 mengamanatkan PB PII periode 1998-2000 untuk mengadakan forum pembahasan final
konsep Ta’dib sebagai sistem kaderisasi PII yang baru. Paling lambat empat bulan setelah terbentuknya kepengurusan PB
PII periode 1998-2000 forum tersebut harus sudah dilaksanakan. Karena itu PB PII periode tersebut menjadikan
penyempurnaan dan penyelesaian konsep Ta’dib sebagai prioritas programnya.
Dan pada 20-26 November 1998 diadakanlah Lokakarya Instruktur Nasional (LIN) di Pandaan, Jawa Timur. LIN 98 ini
diikuti oleh para Instruktur PII se-tanah air sebagai forum yang diamanatkan oleh Muknas ke-21. Dan alhamdulillah
forum tersebut berhasil membahas dan merumuskan penyempurnaan konsep Ta’dib sebagai sistem kaderisasi PII yang
baru.
Adapun hal-hal yang dapat dirumuskan dalam forum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Buku Induk Kaderisasi PII yang berisi; Sejarah Kaderisasi PII, Konsepsi Dasar Ta’dib, Orientasi Ta’dib, Sistem
Ta’dib, Pedoman Manajemen dan Administrasi Ta’dib.
2. Pedoman Training dan Panduan-Panduan Training (Batra, Intra, dan Advantra).
3. Pedoman Ta’lim dan Panduan-Panduan Ta’lim (Awwal, Wustho, dan ‘Ali).
4. Pedoman Kursus.
5. Panduan-Panduan Kursus Pra-Batra.
6. Panduan Kursus Pasca Batra (Latihan Manjemen Dasar).
7. Panduan-Panduan Kursus Pasca Intra (Latihan Manajemen Strategis, Pendidikan Mu’alim, Pendidikan Pemandu
Kursus, dan Perkampungan Kerja Pelajar).
8. Panduan Kursus Pasca Advantra (Pendidikan Instruktur).
9. Pola Kaderisasi Brigade PII.
10. Pola Kaderisasi PII Wati.