Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang menjadi masalah kesehatan besar di Indonesia dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengendalian diabetes melitus meliputi program skrining, edukasi masyarakat, dan pengelolaan pasien secara terpadu dan berkelanjutan di fasilitas kesehatan primer.
4. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan
kadar glukosa darah (gula darah) melebihi normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau
lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl
(Misnadiarly, 2006, (Hestiana, 2017)). Diabetes tidak hanya menjadi penyebab kematian prematur
di seluruh duni, namun juga dapat menjadi penyebab utama kematian kebutaan, penyakit jantung,
gagal ginjal. Organisasi International Federation (IDF) memperkirakan sedikitnya terdapat 463 juta
orang padausia 20-79 tahun di dunia dengan penderita diabetes pada tahun 2019 (Kementerian
Kesehatan RI. 2020). Indonesia berada di peringkat ke 7 diantara 10 negara dengan jumlah kasus
diabetes terbanyak yaitu sebesar 10,7 juta. Indonesia dapat diperkirakan besar berkontribusi
terhadap prevalensi kasus diabetes di kawasan Asia tenggara, karena menjadi satu-satunya Negara di
Asia Tenggara pada daftar kasus tertinggi diabetes didunia (Kementerian Kesehatan RI. 2020).
Secara klinis terdapat dua tipe diabetes mellitus yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus
tipe 2. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan kasus terbanyak dengan prosentase 80-95% dari seluruh
kasus diabetes mellitus (Asman, Shinthania, & Marni, 2020)
Diabetes didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai penyakit
kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak
dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya (Kurniawati, Suryawati, & Arso,
2019). Tanda dan gejala DM (Diabetes Melitus) diantaranya yaitu: sering kencing (poliuri),
adanya rasa haus yang berlebihan (polidipsi), merasa sangat lapar (poliphagi), kelelahan yang
ekstrim, pandangan menjadi kabur, adanya luka atau memar yang proses penyembuhannya
lambat, penurunan berat badan yang cepat, kesemutan serta mati rasa pada tangan atau kaki
(Suminar, Sari, & Shalahuddin, 2019) Apabila tidak segera mendapatkan terapi, diabetes mellitus
akan menimbulkan komplikasi seperti jantung koroner, stroke, gangren atau luka kaki, gagal ginjal,
retinopatidiabetik, aterosklerosis, kesemutan, dan disfungsi ereksi.
5. Latar Belakang
Dalam hal ini Indonesia berkomitmen mencegah dan mengendalikan Diabetes melalui
pemberdayaan masyarakat. Sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pengendalian Penyakit
Tidak Menular (PTM), Pemerintah Indonesia telah membentuk Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) PTM, sebagai upaya terdepan pencegahan dan pengendalian PTM (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk
mengatasi permasalahan diabetes militus yaitu dengan pelaksanaan program pengendalian
diabetes mellitus yang ditekankan pada promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan
rehabilitatif. Demi meningkatkan cakupan skrining diabetes mellitus, pelayanan skrining masuk
kedalam salah satu program standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan yaitu indikator
pelayanan kesehatan pada usia 15- 59 tahun (Kurniawati, Suryawati, & Arso, 2019). Keterlibatan
masyarakat melalui upaya kesehatan berbsis masyarakat (UKBM) juga memiliki peran penting dalam
pengendalian diabetes mellitus atau yang lebih dikenal dengan pobsindu (Kementerian Kesehatan RI.
2020).
Pencegahan dan pengendalian diabetes mellitus di Indonesia perlu dilakukan agar
individu yang sehat tetap sehat, orang yang sudah memiliki faktor risiko dapat mengendalikan faktor
risiko agar tidak jatuh sakit diabetes, dan orang yang sudah menderit diabetes mellitus dapat
mengendalikan penyakitnya agar tidak terjadi komplikasi sampai kematian dini. Upaya pencegahan
dan pengendalian diabetes dilakukan beberapa cara dintaranya melalui edukasi, deteksi dini faktor
risiko PTM ,dan tatalaksana sesuai standar (Kementerian Kesehatan RI. 2020). Berdasarkan latar
belakang tersebut penulis bertujuan menjabarkan upaya pengendalian serta tantangan yang dihadapi
dalam penangann kasus diabetes mellitus.
6. Data Diabetes
Melitus di Indonesia
Data Diabetes Melitus
di Dunia
Data Diabetes Melitus di Indonesia
Prevalensi penderita DM di Jawa Timur sendiri mencapai 2,1%
data tersebut melebihi prevalensi nasional, pada tahun 2013-
2018 kecuali provinsi NTT terdapat 4 provinsi yang
peningkatan prevalensi DM yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta,
Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Beberapa provinsi
mengalami peningkatan sebesar 0,9% yaitu Kepulauan Riau,
DKI Jakarta, Banten, Gorontalo dan Papua Barat. NTT
terendah sebesar 0,9% diikuti dengan Maluku dan Papua.
Data terbaru menurut Internasional Diabetes Federation (FDI)
tahun 2017 bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia
dengan jumlah diabetes sebanyak 10,3 juta jiwa dengan
rentang usia 20-79 tahun sebanyak 27,7 juta, apabila tidak di
tangani dengan baik. WHO mengetismasikan angka kejadian
diabetes di Indonesia melonjak drastis menjadi 21,3 juta jiwa
pada 2030 mendatang. Di perkirakan akan bertambah menjadi
35,6 juta pada tahun 2045.
• Negara di wilayah Arab dan Afrika Utara menempati
peringkat pertama dan kedia dengan prevalensi diabetes
dengan rentang usia 20-79 tahun sebesar 11,4%-12,2%.
• Peringkat ketiga ditempati oleh wilayah Asia Tenggara
dimana Indonesia memiliki prevalensi sebesar 11,3%.
• Berdasarkan jenis kelamin menurut FDI
memperkirakan di tahun 2019 permempuan sebesar
9%, sedangkan laki-laki 9,65%
• Prevalensi DM meningkat seiring penambahan umur
penduduk menjadi 19,3% atau 11,2 juta orang yang
berumur 65-79 tahun.
• Angka diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578
juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045
7. Tantangan Pengendalian DM
Penderita diabetes mellitus sangat penting untuk melakukan pengobatan secara
rutin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peningkatan kadar gula darah yang melebihi batas
normal dan peningkatan kadar gula tersebut dapat terjadi dalam waktu yang cepat sehingga perlu
dilakukan upaya penanganan yang tepat dan serius (Dewi Pratita, 2012). Pengobatan untuk
penyakit diabetes mellitus akan berlangsung seumur hidup. Hal ini memungkinan adanya titik
kejenuhan bagi penderita dalam proses pengobatan. Sehingga proses pengobatan diabetes
mellitus ini dapat menjadi sebuah tantangan pengendalian penyakit itu sendiri.
Menurut (Dewi Pratita, 2012), terdapat hubungan yang signifikan antara HLOC
dengan kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan pada penderita dibetes mellitus. Sehingga
keberhasilan pengobatan diabetes mellitus tergantung dari pasien itu sendiri dalam
mengendalikan kondisi penyakitnya dengan menjaga kadar gula darah (Pardede et al., 2017).
Pengendalian yang dapat dilakukan diantaranya seperti edukasi kepada pasien diabetes mellitus,
latihan jasmani dan juga penerapan terapi nutrisi medis (TNM) serta terpai farmakologi.
Sedangkan menurut (Kurniawati et al., 2019) tantangan terbesar dalam
pengendalian diabetes mellitus adalah pada proses skrining. Dimana penyakit diabetes mellitus
merupakan penyakit kronis yang tidak memunculkan gejala secara langsung. Hal ini sesuai
dengan teori gunung es yang mana berkemungkinan besar bahwa penyakit diabetes mellitus
akan diderita oleh banyak orang namun tidak semuanya mengetahui bahwa mereka berisiko
menderita diabetes mellitus.
Jadi dapat disimpulkan secara garis besar bahwa tantangan pengendalian
diabetes mellitus adalah proses pengobatan yang membutuhkan waktu seumur hidup
dan juga proses skrining yang kurang optimal. Namun tidak menutup kemungkinan
masih banyak lagi tantangan dalam proses pengendalian diabetes mellitus.
8. Upaya Preventif DM
Upaya preventif diabetes melitus merupakan
suatu upaya melakukan berbagai kegiatan pencegahan untuk
menghindari atau mencegah terjadinya masalah kesehatan
diabetes melitus. Upaya preventif yang efektif sangat
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya diabetes tipe 2. Adapun
kebijakan pengendalian diabetes melitus yang diterapkan oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Ariane, 2014),
meliputi:
1. Peningkatan upaya promotif dan preventif dengan
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.
2. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat melalui
penyelenggaraan Posbindu PTM.
3. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat melalui
penyelenggaraan Posbindu PTM.
4. Penguatan peran pemerintah khususnya pemerintah daerah
sesuai dengan kearifan lokal/karakteristik setempat dalam
semangat otonomi daerah.
5. Pendekatan berjenjang dari masyarakat hingga ke
pelayanan kesehatan tersier dengan rujuk balik (continuum
of care ) dengan pendekatan berdasar siklus kehidupan.
6. Dukungan ketersediaan infrastruktur pelayanan kesehatan
yang memadai dengan kendali mutu dengan tenaga
kesehatan yang profesional pada setiap tatanan.
Upaya penerapan langsung program/kegiatan
yang dapat diterapkan populasi dan di lingkungan tertentu
(sekolah, rumah, lingkungan kerja) yang berkontribusi kepada
Kesehatan masyarakat, serta pencegahan diabetes melitus
meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier,(PERKENI,
2019) sebagi berikut :
1. Pencegahan Primer : Ditujukan untuk kelompok beresiko.
Dapat dilakukan dengan penyuluhan tentang pola hidup
sehat melalui program penurunan BB, latihan fisik.
2. Pencegahan Sekunder : merupakan upaya mencegah
timbulnya komplikasi pada penderita DM. Meliputi
pengendalian kadar glukosa dan faktor resiko
penyulit/komplikasi, melakukan deteksi dini dan program
penyuluhan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam
menjalani program pengobatan.
3. Pencegahan Tersier : Pencegahan tersier ditujukan pada
kelompok DM yang telah mengalami komplikasi dalam
upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta
meningkatkan kualitas hidup. Pencegahan tersier
memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan
terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah
sakit rujuka
9. Upaya Preventif DM
Berikut merupakan tabel pengendalian diabetes melitus secara terintegrasi dan komprehensif berdasarkan upaya pencegahan (Departemen
kesehatan RI., 2008)
10. Diabetes Mellitus ini juga dikenal sebagai mother of
disease yang merupakan induk/ibu dari penyakit-penyakit lain
seperti hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke,
gagal ginjal, dan kebutaan. Sebagian besar kasus diabetes melitus
merupakan penyandang diabetes tipe 2 yang 90% penyebabnya
adalah perubahan gaya hidup yang cenderung kurang aktifitas fisik,
diet tidak sehat dan tidak seimbang serta konsumsi tembakau
(merokok). Oleh karena itu, titik berat pengendalian Diabetes
Melitus adalah pengendalian faktor resiko melalui aspek preventif
dan promotif secara terintegrasi dan menyeluruh.
WHO telah merekomendasikan bahwa strategi yang
efektif yang perlu dilakukan dalam pengendalian diabetes mellitus
dilakukan secara terintegrasi dan menyeluruh, berbasis masyarakat
dengan kerjasama lintas program, lintas sektor dan swasta
(organisasi profesi dan organisasi masyarakat). Menyadari upaya
pengendalian Diabetes mellitus tidak dapat hanya dilakukan oleh
sektor kesehatan atau pemerintah saja, namun WHO untuk kawasan
Asia Tenggara / South East Asian Regional Office (SEARO) telah
mengembangkan SEANET-NCD sebagai jejaring regional dengan
memfasilitas negara anggota ASEAN dalam bentuk dukungan
teknik dan manajemen serta InfoBase yang diperlukan untuk
P2PTM.
Pada tingkat global, World Diabetes Foundation (WDF) dan
International Dubeles Federation (IDF) telah banyak berperan
melalui berbagai programnya dalam pengendalian Diabetes mellitus
dan Penyakit menular . Sebagai contoh, yaitu pada aksi bersama
yang telah dilakukan oleh WDF dan IDF pada peringatan Hari
Diabetes Sedunia atau World Diabetes Day (WDD) yang telah
diumumkan oleh Perserkatan Bangsa Bangna (PBB) pada tanggal 20
Desember 2006 dalam press release Nomor 61/225 PBB telah
mengeluarkan resolusi yang menghimbau kepada seluruh negara
didunia untuk memperingati Hari Diabetes Sedunia setiap tanggal 14
November yang dimulai pada tahun 2007. Peringatan tersebut
dimaksudkan untuk menarik perhatian masyarakat umum, para
diabetisi dan keluarganya, profesi kesehatan dan penentu kebijakan
untuk peduli terhadap masalah penyakit diabetes mellitus. Resolusi
tersebut merupakan resolusi yang pertama untuk penyakit tidak
menular dan dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa Hari Diabetes
Sedunia dilaksanakan setiap tanggal 14 November dengan tujuan
untuk mengobservasi kebijakan nasional tentang pencegahan,
pengobatan dan perawatan diabetes setiap tahun yang telah dimulai
pada tahun 2007.
Best Practise di
Indonesia
11. Intervensi gaya hidup, mengatasi diet dan olahraga,
mengurangi risiko berkembang dari gangguan toleransi glukosa
(IGT) menjadi diabetes sebesar 43% dan 58%, sedangkan obat
hipoglikemik oral, metformin, mengurangi risiko sebesar 31%.
Intervensi pencegahan tampaknya lebih efektif pada orang tua dan
orlistat telah terbukti menurunkan secara signifikan perkembangan
gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes. Temuan ini baru-baru
ini dikonfirmasi oleh Program Pencegahan Diabetes India (IDPP).
Baru-baru ini, data tindak lanjut dari Studi Pencegahan Diabetes
Finlandia (DPS) menunjukkan bahwa efek menguntungkan dari
intervensi gaya hidup dipertahankan selama beberapa tahun setelah
menghentikan intervensi aktif. Dengan menerapkan data ini pada
populasi Eropa, kita dapat mengharapkan pengurangan risiko
diabetes yang nyata dengan asumsi bahwa kita mampu menerapkan
pro- pencegahan diabetes yang efisien.
Program WDF dan IDF sebagian besar telah diadopsi
oleh organisasi yang berkecimpung di bidang diabetes di Indonesia,
misalnya Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI),
Persatuan Diabetisi Indonesia (PERSADIA), dan Perhimpunan
Edukator indonesia (PEDI).
Organias organisasi tersebut telah menjadi mitra Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) khususnya Subdit
Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik dalam program
pengendalian DM dan PM di Indonesia. Dengan demikian
pengembangan kemitraan dengan berbagai unsur di masyarakat dan
lintas sektor yang terkait dengan DM di setiap jenjang pemerintahan
adalah kegiatan yang sangat penting dikembangkan.
Anggota keluarga sangat berperan serta dalam
pemberian intervensi pada pasien DM tipe 2 dalam memberikan
dukungan emosional dan psikologis, membantu mengembangkan
pengetahuan, sikap dan perilaku penderita yang sehat, serta
mempromosikan manajemen diabetes secara mandiri. American
Diabetes Association (ADA) mengatakan bahwa perencanaan
pengelolaan diabetes harus dibicarakan sebagai terapetik individual
antara pasien dan keluarganya, dan pasien harus menerima perawatan
medis secara terkoordinasi dan integrasi dari tim kesehatan, sehingga
keluarga menyadari pentingnya keikutsertaan dalam perawatan
penderita DM agar kadar gula darah penderita dapat terkendali
dengan baik.
Best Practise di
Indonesia
12. Sebaiknya keluarga mempunyai pengetahuan tentang
apa saja faktor risiko yang dapat memengaruhi kadar gula darah
bisa naik (hiperglikemia) atau turun (hipoglikemia) diantaranya
yaitu cara pengendalian stres, infeksi, kaki diabetes, gangguan
ginjal, diabetes dengan kehamilan, diabetes dengan ibadah puasa,
diabetes yang menggunakan steroid, gangguan ginjal. Intervensi
pendidikan pada keluarga dapat memberikan dukungan emosional
dan psikologis membantu mempromosikan perilaku yang sehat.
Meningkatkan pengetahuan keluarga otomatis meningkatkan
pengetahuan pasien DM, karena itu agar berhasil pengelolaan
pengendalian kadar gula darah pasien DM tipe 2 maka melibatkan
anggota keluarga dalam setiap kontrol rutin di pelayanan kesehatan
mutlak diperlukan mengingat sebagian pasien DM tipe 2 adalah
orang lanjut usia yang sudah mengalami sebagian kemunduran
organ fisiologisnya seperti penglihatan, pendengaran dan memori.
Pengetahuan lain yang harus ditingkatkan baik pasien maupun
keluarga adalah seperti pengendalian penyebabnya, yang meliputi
pengendalian kenaikan berat badan bisa mengarah kepada
timbulnya obesitas, pengendalian timbulnya komplikasi penyakit
lain, serta perencanaan diit dan olah raga yang sesuai dengan
pedoman untuk penderita DM.
Tidak hanya pengetahuan saja yang perlu dimiliki
oleh keluarga namun juga aplikasi dari pengetahuan yaitu sikap yang
mereka miliki, misalnya mereka tahu bahwa penderita Diabetes
Melitus perlu mengendalikan pola makanannya, untuk itu mereka
juga mau mengontrol makanan yang dimakan si penderita Diabetes,
mengajak kontrol rutin ke sarana kesehatan, berolahraga sesuai
jadwal dan minum obat rutin serta menghilangkan stres, juga
diperlukan motivasi dan perilaku pasien yang baik Sehingga
kemungkinan kadar glukosa meninggi dapat terminimalisir dengan
baik dan komplikasi terhindarkan kualitas hidup pasien terjaga baik
serta mencegah DM baru pada anggota tersebut.
Adapun keterbatasan dan kelemahan yang ada antara lain;
• Tidak semua faktor yang memengaruhi terkendalinya kadar gula
darah diteliti.
• Faktor yang perlu diteliti lebih lanjut antara lain adalah motivasi,
perilaku, budaya dan faktor geografis. Penelitian ini menggunakan
desain cross sectional (potong lintang).
Best Practise di
Indonesia
13. Diabetes merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat utama di Uni Eropa. Peningkatan dramatis dalam kasus
baru diabetes tipe 2 telah berkembang menjadi perhatian kesehatan
masyarakat utama dari Uni Eropa (UE) yang mempengaruhi hampir
semua populasi di negara maju dan berkembang. Diabetes dan
gangguan toleransi glukosa semakin muncul di antara orang tua, dan
baru-baru ini juga pada orang yang lebih muda, dengan peningkatan
paling cepat pada kelompok usia di bawah 30-40 tahun. Sementara
lebih banyak orang yang terkena diabetes selama kehidupan kerja
mereka, diabetes menyebabkan beban ekonomi bagi pasien dan
masyarakat.
Dari meta-analisis besar baru-baru ini menunjukkan
bahwa lebih dari setengah orang Eropa akan menderita
hiperglikemia dan/atau diabetes selama hidup mereka. Hal ini
mengakibatkan tingkat komplikasi yang meningkat secara dramatis,
terutama komplikasi kardiovaskular, dan peningkatan biaya karena
perawatan medis jangka panjang dan intensif.
Beberapa penelitian telah menunjukkan secara
meyakinkan bahwa pencegahan diabetes tipe 2 dapat dilakukan.
Metode intervensi terbaik untuk mencegah diabetes masih belum jelas,
tetapi ada banyak bukti bahwa hingga 60% diabetes dapat dicegah atau
ditunda pada individu berisiko tinggi melalui modifikasi gaya hidup
dan/atau intervensi farmakologi. Intervensi gaya hidup, mengatasi diet
dan olahraga, mengurangi risiko berkembang dari gangguan toleransi
glukosa (IGT) menjadi diabetes sebesar 43% dan 58%, sedangkan obat
hipoglikemik oral, metformin, mengurangi risiko sebesar 31%.
Intervensi pencegahan tampaknya lebih efektif pada orang tua dan
orlistat telah terbukti menurunkan secara signifikan perkembangan
gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes. Temuan ini baru-baru ini
dikonfirmasi oleh Program Pencegahan Diabetes India (IDPP). Baru-
baru ini, data tindak lanjut dari Studi Pencegahan Diabetes Finlandia
(DPS) menunjukkan bahwa efek menguntungkan dari intervensi gaya
hidup dipertahankan selama beberapa tahun setelah menghentikan
intervensi aktif. Dengan menerapkan data ini pada populasi Eropa, kita
dapat mengharapkan pengurangan risiko diabetes yang nyata dengan
asumsi bahwa kita mampu menerapkan pro- pencegahan diabetes yang
efisien.
Best Practise di
Eropa
14. Uni Eropa.telah melakukan pengembangan dan
implementasi dari A European Guideline and training standards for
diabetes prevention (IMAGE) project yang diprakarsai oleh Teknis
Universitas Dresden. Dalam proyek IMAGE, terdiri empat tujuan
khusus yaitu sebagai berikut:
• Pengembangan pedoman Eropa
Untuk meningkatkan informasi dan pengetahuan tentang strategi
kesehatan masyarakat untuk mencegah DM tipe 2 dan penyakit
penyertanya
• Pengembangan kurikulum Eropa untuk pelatihan manajer
pencegahan
meningkatkan kemampuan profesional kesehatan untuk merespon
dengan cepat peningkatan drastis DM tipe 2 dan bebannya kepada
masyarakat.
• Pengembangan standar Eropa untuk jaminan kualitas
dalam pencegahan diabetes tipe 2
Tujuan untuk jaminan kualitas adalah untuk mengembangkan dan
menerapkan proses untuk sistem evaluasi berkelanjutan program
pencegahan primer di seluruh Eropa untuk diabetes tipe 2.
• Pengembangan portal pelatihan e-kesehatan Eropa untuk
manajer pencegahan
Untuk menerapkan program pencegahan diabetes primer berkualitas
tinggi secara nasional terdesentralisasi untuk meningkatkan
ketersediaan informasi kesehatan berbasis bukti untuk penyedia layanan
kesehatan teknik inovatif untuk program pendidikan yang memadai bagi
para profesional kesehatan diperlukan
Proyek IMAGE ini akan berlangsung selama tiga tahun,
yakni mulai pada bulan Juni tahun 2007 dan telah melibatkan 32
institusi dari 16 negara yang ikut berkecimpung. Proyek IMAGE dapat
membantu mengatasi masalah ini. Ini akan mengembangkan standar
intervensi dan standar kontrol kualitas untuk program pencegahan
primer untuk diabetes tipe 2 di Eropa, juga mempertimbangkan
kebutuhan anak-anak dan remaja yang berisiko tinggi untuk penyakit
ini. Ini akan relevan tidak hanya untuk diabetes tetapi juga untuk
sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular. Standar yang
ditetapkan juga akan membahas pencegahan penyakit kronis ini karena
patofisiologinya terkait erat. Implementasi hasil proyek akan
menawarkan panduan praktis yang unik untuk pencegahan diabetes
untuk pertama kalinya di Eropa dalam bidang kedokteran pencegahan
yang baru berkembang ini. Hal ini dapat dijadikan contoh untuk
manajemen gaya hidup untuk mencegah penyakit kronis lainnya juga.
Best Practise di
Eropa
15. Diabetes dan penyakit kronis terkait obesitas telah
mencapai proporsi epidemi di antara masyarakat adat di
Kanada. Badan Kesehatan Masyarakat Kanada baru-baru ini
melaporkan tingkat prevalensi diabetes sebesar 17,2% di antara orang-
orang First Nations yang cadangan, 10,3% di antara Negara-negara
Pertama yang tidak cadangan dan 7,3% di antara Métis. Perbedaan
antara angka-angka ini dan tingkat prevalensi 5% di antara orang
Kanada non-Pribumi menggambarkan ancaman khusus yang
ditimbulkan oleh morbiditas terkait obesitas bagi masyarakat adat di
Kanada.
Tingkat diabetes dan penyakit kronis terkait di
kalangan masyarakat adat secara luas dianggap terutama disebabkan
oleh faktor nonmedis. Faktor-faktor nonmedis ini termasuk
sedentization dan perubahan pola makan biaya tinggi dan ketersediaan
terbatas makanan sehat di banyak masyarakat terpencil serta hambatan
sosiostruktural, seperti tingginya tingkat kemiskinan, infrastruktur
yang buruk dan kesempatan kerja yang terbatas di banyak
masyarakat adat. Selain itu, banyak masyarakat adat menghadapi
tantangan tambahan dalam mengakses perawatan kesehatan yang
tepat, karena banyak yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil
yang tidak memiliki perawatan primer yang komprehensif dan sering
berada pada jarak yang sangat jauh dari perawatan khusus.
Kondisi kerja dan isolasi yang penuh tekanan menghambat retensi petugas
kesehatan di daerah terpencil.
Penelitian intervensi yang berfokus pada diabetes di
komunitas Pribumi tampaknya menjadi prioritas rendah bagi penyandang
dana dan pembuat kebijakan Kanada. Para peneliti melaporkan hasil tinjauan
sistematis intervensi yang berfokus pada peningkatan skrining, pengobatan,
pencegahan dan pengelolaan diabetes tipe 2 dan penyakit kronis terkait
obesitas di masyarakat adat di Kanada antara 2008 dan 2014, dengan tujuan
mengidentifikasi praktik terbaik saat ini. Tinjauan ini dilakukan sebagai
komponen awal dari sebuah penelitian yang didanai oleh Canadian Institutes
of Health Research untuk menginformasikan desain dan pengiriman dan
pengujian intervensi multisite yang akan dilaksanakan di beberapa komunitas
adat di kanada. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk mengembangkan
model perawatan diabetes yang efektif yang terintegrasi dengan dan
memperluas upaya pencegahan dan pengobatan diabetes yang ada di
komunitas ini dengan mendukung upaya mereka sendiri menuju peningkatan
dalam pemberian perawatan dan dalam pemrograman masyarakat.
Best Practise di
Canada
16. Para peneliti mengidentifikasi 17 publikasi, terdiri dari
13 intervensi yang dievaluasi. Dari mereka, 7 adalah program berbasis
sekolah yang berfokus pada anak-anak, 5 berfokus pada orang dewasa,
dan 1 mencakup orang dewasa dan anak-anak. Sebagian besar
intervensi ditujukan untuk mendorong perubahan perilaku, terutama
perubahan pola makan, tetapi tidak banyak membantu mengatasi
konteks mendasar dari marginalisasi sistemik dan kolonialisme yang
dialami di banyak komunitas Pribumi. Intervensi yang berfokus pada
peningkatan kebugaran lebih efektif daripada yang ditujukan pada
perubahan pola makan. Secara keseluruhan, para peneliti menemukan
berbagai keberhasilan di antara intervensi ini. Mereka yang mencapai
keberhasilan terbatas melaporkan bahwa masalah sosial yang
kompleks dan kemiskinan menghadirkan tantangan bagi pekerjaan
intervensi yang efektif di komunitas-komunitas ini.
Best Practise di
Canada
17. Argumen yang meyakinkan Pemerintah Australia untuk
memiliki program pencegahan diabetes muncul dari dampak pada
populasi pekerja dari meningkatnya prevalensi penyakit kronis yang
dapat dicegah. Pada saat itu, hanya setengah dari kasus diabetes yang
terdiagnosis dan seperempat penduduk Australia berisiko tinggi
terkena diabetes. Selama 2004 hingga 2006, pekerjaan dilakukan oleh
Dewan Pemerintah Australia (COAG) pada agenda reformasi ekonomi
baru untuk memastikan kemakmuran Australia di pasar global. COAG
kemudian mengumumkan tahap pertama reformasi sumber daya
manusia yang mencakup fokus khusus pada diabetes.
Pada tahun 2006, sebagai bagian dari pekerjaan yang
dilakukan untuk COAG, GGT DPP diidentifikasi sebagai satu-satunya
intervensi pencegahan diabetes berbasis bukti di Australia. Bukti
gabungan yang diperoleh dari prevalensi diabetes, analisis ekonomi,
bukti ilmiah tentang efektivitas pencegahan diabetes dari uji coba
terkontrol secara acak, dan hasil DPP GGT memperkuat kasus untuk
kebijakan nasional tentang pencegahan diabetes.
Best Practise di
Australia A. Peningkatan dari uji coba evaluatif: implementasi program pencegahan
diabetes skala besar
Pengetahuan tentang efektivitas intervensi, akseptabilitas,
penyerapan, jangkauan, biaya dan cara kerjanya dalam subkelompok
populasi yang berbeda dan melalui mekanisme mana, sangat penting untuk
penelitian, praktik, dan kebijakan kesehatan masyarakat. Evaluasi
semacam ini dapat menentukan intensitas, kesetiaan, dan keberlanjutan
program dalam jangka panjang.
Finlandia adalah negara pertama yang melakukan intervensi
pencegahan diabetes skala besar (DEHKO 2000-2010). Sebuah program
risiko tinggi berbasis komunitas dalam perawatan primer dan pekerjaan
untuk mencegah Diabetes Mellitu Tipe 2 yang disebut Program
Pencegahan Diabetes Nasional di Finlandia: FIN-D2D dikembangkan. Ini
mencapai rata-rata penurunan berat badan 1kg yang mewakili 16%
pengurangan risiko Diabetes Mellitus Tipe 2.
18. B. Implementasi program pencegahan diabetes skala besar di
Australia
COAG pada tahun 2007 setuju untuk menetapkan
pendekatan nasional untuk pencegahan diabetes mellitus tipe 2 pada
individu berisiko tinggi dan Pemerintah Australia mendanai $ 217 juta
dari 2007 hingga 2011 dengan sejumlah elemen termasuk:
• Mengembangkan alat Penilaian Risiko Diabetes Mellitus Tipe
2 Australia (AusDRISK)
• Menetapkan standar nasional untuk perubahan perilaku gaya
hidup intensif berbasis bukti (program modifikasi gaya hidup)
• Memperkenalkan item medicare baru untuk penilaian risiko
diabetes mellitus tipe 2 pada usia 40 hingga 49 tahun
• Mendanai intervensi perubahan perilaku gaya hidup intensif
(program modifikasi gaya hidup) untuk kelompok usia 40
hingga 49 tahun melalui kontrak dengan badan puncak untuk
Praktik Umum (Pengobatan Keluarga).
Best Practise di
Australia C. Mengambil Tindakan pada program Diabetes
Dari 2007 hingga 2011, life adalah intervensi gaya
hidup berbasis kelompok di seluruh negara bagian Victoria yang
menargetkan 25.000 warga Victoria berusia di atas 50 tahun yang
berisiko tinggi terkena diabetes mellitus tipe 2. 'life' terdiri dari
protokol komponen yang telah ditentukan sebelumnya termasuk
intervensi yang ditentukan secara ketat berdasarkan GGT DPP,
termasuk model HAPA untuk perubahan perilaku, pelatihan dan
manual fasilitator standar, dan manual peserta untuk mencatat kadar
lipid, tekanan darah, dan glukosa darah ditambah tujuan dan hasil
individual mereka. Pembayaran kepada fasilitator dikaitkan dengan
data yang dikembalikan untuk digunakan untuk peningkatan kualitas
dan evaluasi berkelanjutan. Teori perubahan perilaku HAPA
digunakan untuk mendorong peserta mengidentifikasi faktor-faktor
penentu utama pembentukan niat dan membuat perubahan gaya hidup
yang terkait dengan pola makan sehat dan gaya hidup aktif; dengan
demikian, mengurangi risiko diabetes mellitus tipe 2 dan CVD tersebut
19. D. Lima gol DPS Finlandia dipertahankan
Peserta adalah individu berusia 50 tahun atau lebih
dengan skor AusDRisk >12 atau, berusia 18 tahun, penduduk asli
Australia dengan skor AusDRisk >12, berusia 18 tahun atau lebih
dengan kondisi risiko tinggi yang didiagnosis sebelumnya seperti
diabetes gestasional atau CVD terkait aterosklerosis.
'Life' memberikan kesempatan untuk mengevaluasi
efektivitas program pencegahan skala besar tersebut, dan yang
terpenting efektivitas biaya melalui Melbourne Diabetes Prevention
Study (MDPS) yang merupakan RCT yang mengevaluasi kemanjuran
dan efektivitas 'Life!' dengan memantau hasil klinis dan perilaku
peserta sebelum dan sesudah intervensi. Peserta secara acak
dialokasikan untuk menerima intervensi atau menerima perawatan
biasa selama periode waktu yang sama. Penilaian ekonomi 'Life!' juga
dimasukkan dalam MDPS untuk menentukan 'nilai-untuk-
uangnya'. MDPS juga telah memberikan kesempatan untuk
mengevaluasi pelaksanaan program pencegahan diabetes berbasis
bukti di dunia nyata
Best Practise di
Australia E. Pelajaran dari scaling up
Program drift' adalah penyimpangan dari protokol yang
mengakibatkan pengurangan efek. 'Voltage drop' menunjukkan
berkurangnya manfaat dari program pencegahan diabetes ketika
mereka beralih dari uji coba kemanjuran ke dunia nyata. Di bagian ini,
pelajaran yang didapat dari cara yang sulit di Australia dicatat untuk
kepentingan mereka yang merancang program pencegahan diabetes
nasional. Pengalaman Australia menunjukkan bahwa efek dan manfaat
dapat ditingkatkan. Apa yang hilang adalah pengukuran kinerja yang
berkelanjutan dalam mencapai lima tujuan DPS Finlandia, dan
pengurangan kolesterol dan tekanan darah. Ini adalah prediktor yang
diketahui dari hasil klinis. Teknik audit klinis seperti siklus
'Rencanakan-Lakukan-Studi-Tindakan' harus diterapkan pada semua
aspek penyampaian program.
20. KESIMPULAN
Diabetes didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai
penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau ketika
tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes tidak
hanya menjadi penyebab kematian prematur di seluruh dunia, namun juga dapat menjadi
penyebab utama kematian kebutaan, penyakit jantung, gagal ginjal. Tanda dan gejala DM
(Diabetes Melitus) diantaranya yaitu: sering kencing (poliuri), adanya rasa haus yang
berlebihan (polidipsi), merasa sangat lapar (poliphagi), kelelahan yang ekstrim, pandangan
menjadi kabur, adanya luka atau memar yang proses penyembuhannya lambat, penurunan
berat badan yang cepat, kesemutan serta mati rasa pada tangan atau kaki. Negara di wilayah
Arab dan Afrika Utara menempati peringkat pertama dan kedua dengan prevalensi diabetes
dengan rentang usia 20-79 tahun sebesar 11,4%-12,2%. Peringkat ketiga ditempati oleh
wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia memiliki prevalensi sebesar 11,3%. Tantangan
terbesar dalam pengendalian diabetes mellitus adalah pada proses skrining. Penyakit kronis
yang tidak memunculkan gejala secara langsung, menyebabkan penyakit diabetes mellitus
akan diderita oleh banyak orang namun tidak semuanya mengetahui bahwa mereka berisiko
menderita diabetes mellitus. Strategi yang efektif yang perlu dilakukan dalam pengendalian
diabetes mellitus dilakukan secara terintegrasi dan menyeluruh, berbasis masyarakat dengan
kerjasama lintas program, lintas sektor dan swasta (organisasi profesi dan organisasi
masyarakat). Program WDF dan IDF merupakan program yang sebagian besar telah diadopsi
oleh organisasi yang berkecimpung di bidang diabetes di Indonesia. Selain itu, keterlibatan
anggota keluarga sangat berperan serta dalam pemberian intervensi pada pasien DM terutama
tipe2 untuk terus memberikan dukungan emosional dan psikologis pada pasien yang terkena
penyakit diabetes milletus.
21. CREDITS: This presentation template was created
by Slidesgo, including icons by Flaticon, and
infographics & images by Freepik.
Thanks!
22. DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018, November). Retrieved Oktober 2021, from Indonesia Tangani Diabetes Melalului
Pemberdayaan Masyaraka :https://www.kemkes.go.id/article/view/18112700001/indonesia-tangani-diabetes-melalui-
pemberdayaan-masyarakat.html
Kementerian Kesehatan RI. INFODATIN Tetap produktif, Cegah, dan Atasi Diabetes Melitus. 2020.
Asman, A., Shinthania, D., & Marni, L. (2020). Perawatan Diabetes Melitus Di Komunitas. Jurnal Kesehatan Medika Saintika, 11.
Hestiana, D. W. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Dalam Pengelolaan Diet Pada Pasien Rawat Jalan
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Kota Semarang. Jurnal of Health Education, 2.
Kurniawati, N., Suryawati, C., & Arso, S. P. (2019). Evaluasi Program Pengendalian Diabetes Melitus Pada Usia Produktif Di
Puskesas Sapuran Tahun 2019. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7.
Suminar, G. R., Sari, C. W., & Shalahuddin, I. (2019). Penceahan Primer dan Perilaku Sehat PadaSetiap Anggota Keluarga yang
Tidak Menderita Diabetes Melitus di Dalam Keluarga dengan Diabetes Melitus. HolistikJurnal Kesehatan, 13.
IDF. (2019). IDF Diabetes Atlas, 9th edn. Brussels, Belgium. In Atlas de la Diabetes de la FID.
Kam, A., Efendi, Y., P., Decroli, G., P., Rahmadi, A., 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Kemeneterian RI. (2018). Laporan Provinsi Kepulauan Riau Riskesdas 2018. Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan 2019.
Kementerian Kesehatan RI, 2020. Infodatin Diabetes Melitus. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Dunbar, JA (2017). Pencegahan diabetes di Australia: 10 tahun hasil dan pengalaman. Jurnal diabetes & metabolisme,41(3), 160-167.
Schwarz, P. E., Gruhl, U., Bornstein, S. R., Landgraf, R., Hall, M., & Tuomilehto, J. (2007). The European Perspective on Diabetes
Prevention: development and Implementation of A European Guideline and training standards for diabetes prevention
(IMAGE). Diabetes and Vascular Disease Research, 4(4), 353-357.
23. Dewi Pratita, N. (2012). Hubungan Dukungan Pasangan Dan Health Locus of Control Dengan Kepatuhan Dalam Menjalani Proses
Pengobatan Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 1(1), 86–96.
Kurniawati, N., Suryawati, C., & Arso, S. P. (2019). Evaluasi Program Pengendalian Diabetes Melitus pada Usia Produktif di
Puskes Sapuran Tahun 2019. Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM UNDIP, 7(4), 2356–3346.
http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm%0AEVALUASI
Pardede, T. E., Rosdiana, D., & Christianto, E. (2017). Gambaran Pengendalian Diabetes Melitus Berdasarkan Parameter Indeks
Massa Tubuh dan Tekanan Darah di Poli Rawat Jalan Penyakit Dalam RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2(1), 1-10.
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0167273817305726%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/s41467-017-
017721%0Ahttp://www.ing.unitn.it/~luttero/laboratoriomateriali/RietveldRefinements.pdf%0Ahttp://www.intecho
en.com/books /spectroscopic-analyses-developments-an
Ariane, C. P. (2014) ‘EPIDEMIOLOGI dan KEBIJAKAN PENGENDALIAN DIABETES MELITUS DI INDONESIA’,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen kesehatan RI. (2008) Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. Available at:
file:///D:/ebook/dsa664.pdf.
Pemerintah Indonesia (2009) ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan’, 2(5), p. 255.
Available at: ???
PERKENI (2019) ‘Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia.’, PB PERKENI.