1. USULAN PENELITIAN
KEBERADAAN PERATURAN DAERAH DALAM PENGUATAN
PROGRAM PENANGGULANGAN TBC DI KABUPATEN TABANAN
OLEH :
NI WAYAN RESTUTI HANDAYANI
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2024
2. USULAN PENELITIAN
KEBERADAAN PERATURAN DAERAH DALAM PENGUATAN
PROGRAM PENANGGULANGAN TBC DI KABUPATEN TABANAN
OLEH :
NI WAYAN RESTUTI HANDAYANI
NIM.2282721013
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2024
3. KEBERADAAN PERATURAN DAERAH DALAM PENGUATAN
PROGRAM PENANGGULANGAN TBC DI KABUPATEN TABANAN
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Studi Magister Hukum Kesehatan,
Pascasarjana Universitas Udayana
OLEH :
NI WAYAN RESTUTI HANDAYANI
NIM. 2282721013
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2024
4. Lembar Persetujuan Pembimbing
USULAN PENELITIAN TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL ………20
Pembimbing I,
(Prof.dr. Pande Putu Januraga,
S.Ked.,M.Kes,DrPH)
NIP. 197901102003121001
Pembimbing II,
Dr. Ni Luh Gede Astariyani, SH,MH)
NIP.197603191999032002
Mengetahui
Koordinator Program Studi Magister Hukum Kesehatan
Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof.Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD.KGer, M.Kes, M.H
NIP. 195911041989032004
5. 1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 12
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 12
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................... 12
1.3.2 Tujuan Khusus........................................................................... 12
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................... 13
1.5 Batasan Penelitian ............................................................................... 14
1.6 Orisinalitas Penelitian ......................................................................... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA............................................................................ 17
2.1 Kajian Pustaka..................................................................................... 17
2.1.1 Teori Negara Hukum................................................................. 17
2.1.2 Teori Kepastian Hukum ............................................................ 19
2.1.3 Teori Sistem Hukum Perundang-undangan .............................. 20
2.1.4 Teori Penjenjangan Norma Hukum........................................... 24
2.1.5 Teori Sosial Enginering............................................................. 26
2.1.6 Teori Pembentukan Perundang-undangan ................................ 27
2.1.7 Konsep Pengaturan................................................................... 32
2.1.8 Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)............. 33
2.1.9 Filsafat Hukum.......................................................................... 34
2.1.10 Konsep Penyakit TBC............................................................. 38
2.2 Konsep Penelitian................................................................................ 46
2.2.1 Konsep Urgensi Penanggulangan TBC..................................... 46
2.2.2 Konsep Penanggulangan TBC .................................................. 47
2.3 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ...................................................... 50
2.4 Model Penelitian ................................................................................. 54
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 60
3.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 60
3.1.1 Rancangan Penelitian Normatif ................................................ 60
6. 3.1.2 Rancangan Penelitian Empiris .................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79
7. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan dasar pengakuan harkat dan martabat manusia. Tanpa
kesehatan, seseorang menjadi tidak setara secara kondisional. Tanpa kesehatan,
seseorang tidak dapat memiliki hak-hak lain. Orang yang sakit sebenarnya memiliki
hak hidup yang lebih sedikit, tidak dapat menemukan dan mempertahankan
pekerjaan yang layak, tidak dapat menikmati haknya untuk bersosialisasi,
berkumpul dan berekspresi, serta tidak dapat memperoleh pendidikan untuk masa
depannya. Singkatnya, seorang manusia tidak dapat menikmati hidup sepenuhnya
dan meraih kesejahteraannya, maka dari itu pentingnya kesehatan sebagai hak asasi
manusia dan syarat yang diperlukan untuk pemenuhan hak-hak lainnya diakui
secara internasional. Setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting
artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Hak atas kesehatan yang
dimiliki meliputi hak atas hidup dan pekerjaan yang sehat, hak atas pelayanan
kesehatan (Ardinata, 2020b)
8. 2
Pasal 25 pada Universal Declaration of Human Right menyatakan, “Setiap
orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam
Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain”
.(Majelis Umum PBB, 1948). Pada ruang nasional, Pasal 28 H ayat (1) UUD N RI
1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.(UUD Negara Republik Indonesia,
1945). Pemahaman tentang hak asasi manusia dinyatakan pada Pasal 9 UU Nomor
39 Tahun 1999 yaitu “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman,
damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat”. Landasan utama bahwa perlindungan HAM merupakan
kewajiban pemerintah adalah prinsip demokrasi bahwa sesungguhnya pemerintah
diberi amanah kekuasaan adalah untuk melindungi hak-hak warga negara. Terlebih
lagi dengan konsep negara kesejahteraan sebagai konsep negara modern telah
memberikan kekuasaan lebih besar pada pemerintah untuk bertindak. Kekuasaan
ini semata-mata adalah untuk memajukan dan mencapai pemenuhan hak asasi
manusia. Pemerintah tidak lagi hanya menjaga agar seseorang tidak melanggar atau
dilanggar haknya, namun harus mengupayakan pemenuhan hak-hak tersebut.
Demikian pula dengan hak atas kesehatan, merupakan kewajiban pemerintah untuk
memenuhinya.(Ardinata, 2020a)
9. 3
Kesehatan adalah hak asasi setiap warga negara. Dalam perspektif
pemenuhan hak warga negara atas kesehatan, pemerintah terikat tanggung jawab
untuk menjamin akses yang memadai bagi setiap warga negara atas pelayanan
kesehatan yang layak dan optimal.(Sitorus, 2018) Dalam perspektif Hukum
Administrasi Negara (HAN), pemerintah memiliki peran serta tanggung jawab
untuk melakukan kegiatan mengatur dan mengurus pemerintah, melakukan
pengaturan untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan
kesehatan sesuai dengan asas asas umum pemerintahan yang baik.(Munaf and
García Reyes, 2013)
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Urusan Pemerintahan
adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang
pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara
Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan
menyejahterakan masyarakat. Pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa
Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Selanjutnya pada pasal 9
ayat (3) menyebutkan bahwa Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah
10. 4
Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.Urusan Pemerintahan ini
terbagi atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan
Pemerintahan wajib adalah urusan pemerintah terkait pelayanan dasar salah satunya
adalah kesehatan.Terlihat disini urusan kesehatan bukan hanya urusan pemerintah
pusat namun juga pemerintah daerah. Pelayanan kesehatan baik yang sifatnya usaha
kesehatan masyarakat maupun perseorangan yang terjadi di sebuah kabupaten
merupakan tanggungjawab dari Pemerintah Daerah Kabupaten. (Mohamad, 2019)
Penyelenggaraan ini akan diterjemahkan berupa kebijakan strategis yang
menjadi pedoman dalam menyelenggarakan salah satunya seperti penanggulangan
penyakit menular. Penanggulangan TBC sebagai salah satu penyakit menular dapat
dilihat dari keseriusan sikap pelaksana dalam hal ini Bupati sebagai kepala daerah
hingga petugas-petugas medis yang berada di pelayanan kesehatan. Kejelasan
regulasi di sini menjadi poin penting dalam menerjemahkan kebijakan. Regulasi
yang jelas di Pemerintah daerah menjadi dasar arahan para implementor dan
menjadi dasar komunikasi para pemangku kepentingan dalam bekerja sama dalam
melaksanakan kebijakan (Mitra Adrian and Priyo Purnomo, 2020). Regulasi ini
juga merupakan dasar komunikasi dimana dilihat dari faktor komunikasi,
implementasi kebijakan pemerintah sangat dipengaruhi oleh adanya proses
komunikasi karena di dalam proses komunikasi ini akan terjalin sinkronisasi
seluruh pemangku kepentingan, pemerintah serta masyarakat dalam rangka
melaksanakan kebijakan pemerintah .(Situmorang, 2016),
(Mitra Adrian and Priyo
Purnomo, 2020)
11. 5
World Health Organization (WHO) telah merilis laporan
tentang tuberkulosis (TBC) skala global tahun 2021 termasuk di dalamnya laporan
tentang keadaan TBC di Indonesia dalam dokumen Global Tuberculosis
Report 2022. Pada tahun 2021 menjadikan TBC sebagai penyakit menular paling
mematikan pada urutan kedua (2) di dunia setelah Covid-19. Dan berada pada
urutan ke tiga belas (13) sebagai faktor penyebab utama kematian di seluruh dunia.
WHO melaporkan bahwa estimasi jumlah orang terdiagnosis TBC tahun 2021
secara global sebanyak 10,6 juta kasus atau naik sekitar 600.000 kasus dari tahun
2020 yang diperkirakan 10 juta kasus TBC. Kematian akibat TBC secara
keseluruhan juga terbilang sangat tinggi, setidaknya 1,6 juta orang mati akibat
TBC, angka ini naik dari tahun sebelumnya yakni sekitar 1,3 juta Indonesia sendiri
berada pada posisi keadua dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia setelah
India, diikuti oleh China, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh dan Republik
Demokratik Kongo secara berutan. Pada tahun 2020, Indonesia berada pada posisi
ketiga dengan beban jumlah kasus terbanyak, sehingga tahun 2021 jelas tidak lebih
baik. Kasus TBC di Indonesia diperkirakan sebanyak 969.000 kasus TBC (satu
orang setiap 33 detik). (Izwardy, 2019). Data di Kabupaten Tabanan sendiri
menyatakan bahwa salah satu yang masih menjadi prioritas masalah adalah belum
optimalnya pengelolaan penyakit menular salah satunya TBC. Case Detection Rate
(CDR) di Kabupaten Tabanan pada tahun 2020 masih dibawah target yaitu 18,5%
padahal target capaian untuk CDR adalah 44%.(Dinas Kesehatan Kabupaten
Tabanan, 2021). Laporan Program TBC di Kabupaten Tabanan pun mencatat belum
tercapainya target treatment coverage sejak 2020, Target TC yang ditargetkan
12. 6
adalah 90% jadi selama 4 tahun Kabupaten Tabanan belum dapat mencapai target
tersebut.
Table 1.1 Presentase Treatment Coverage TBC di Kabupaten Tabanan
Periode 2020-2023
Berdasarkan analisis cross antara Treatment Coverage dan Succses Rate
maka dapat dilihat
Treatment Coverage
>90% <90%
Treatment
Succes
Rate
>90%
<90% Tabanan TC <90
SR<90%
Gambar 1.1 Analisis Cros Treatmen Coverage dan Treatment Success Rate
Kabupaten Tabanan Tahun 2020-2023
Dapat dilihat bahwa pada analisa ini Tabanan selama 4 tahun belakangan
ini belum bisa mengubah kedudukan dari daerah merah yang berarti masih terjadi
kesenjangan capaian kinerja dan dapat diartikan pula Kabupaten Tabanan belum
dapat mencapai target kasus tuberkulosis yang ditemukan oleh program
Pengendalian Tuberkulosis. Dapat dikatakan pula Program Penanggulangan TBC
ini masih belum berhasil dan perlu dievaluasi kembali faktor-faktor yang bisa
13. 7
menguatkan Program penanggulangan TBC sehingga dapat mencapai target yang
ditetapkan.
Pemberantasan penyakit TB Paru di Indonesia termasuk salah satu prioritas
nasional untuk program pengendalian penyakit karena juga berdampak luas
terhadap kualitas hidup dan ekonomi. Penanggulangan TBC adalah segala upaya
kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif tanpa mengabaikan
aspek kuratif dan rehabilitatif untuk melindungi kesehatan masyarakat,
menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan,
mencegah resistensi obat TBC, dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan
akibat TBC. Tuberkulosis menjadi salah satu dari lima penyebab utama beban
penyakit pada tahun 2017. (Teknologi, Agus and Bukittinggi, 2023)
Kondisi tersebut mengakibatkan pemerintah Indonesia menetapkan suatu
pedoman penanggulangan Tuberkulosis. Dalam penyelenggaraan penanganan
TBC pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021
tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Peraturan Presiden ini ditujukan untuk
memberikan acuan bagi kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi,
Pemerintah Daerah kabupaten kota, pemerintah desa, dan Pemangku Kepentingan
dalam melaksanakan Penanggulangan TBC. Peraturan Presiden ini mengatur
mengenai target dan strategi nasional Eliminasi TBC; pelaksanaan strategi nasional
Eliminasi TBC; tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
koordinasi percepatan Penanggulangan TBC; peran serta masyarakat;
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan pendanaan. Mengingat tuberkulosis
14. 8
merupakan penyakit menular yang berbahaya dan masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat sangat diperlukan pelaksanaan program penanggulangan
TBC secara terpadu, komprehensif dan berkesinambungan. Kesinambungan ini
dapat terlihat dari penerusan pelaksanaan regulasi yang telah diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Banyak sekali kebijakan strategis yang
secepatnya harus dilakukan oleh daerah dalam rangka pencapaian target nasional
TB tahun 2030. (Perpres 2021, 2021)
Kenyataan ini diperkuat lagi dengan pasal 22 ayat (2) huruf i Perpres No 67
tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC yang menegaskan bahwa salah satu
tanggung jawab pemerintah daerah adalah menyusun dan menetapkan kebijakan
dari gubernur dan bupati/wali kota untuk mendorong pasien TBC menjalankan
pengobatan sampai selesai. Peraturan daerah merupakan wujud kewenangan yang
diberikan kepada pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah serta menampung kondisi khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah menjadi salah
satu alat dalam melakukan transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan
masyarakat daerah. Atas dasar itu pembentukan peraturan dan terkoordinasi, secara
formal telah ditetapkan serangkaian proses yang harus dilalui dalam menyusun
peraturan daerah yaitu dimulai dengan proses perencanaan, proses penyusunan,
proses pembahasan, proses penetapan dan pengundangan.
Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi yang
mencakup makna membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving) serta
15. 9
pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Dimana Zelfwetgeving mencakup membuat
Perda sebagai dasar untuk mengatur rumah tangga sendiri (eigen huishouding).
Dalam pemerintahan desentralisasi yang berbasis pada otonomi yang luas itulah,
tuntutan untuk menghadirkan produk Perda yang responsif menjadi kebutuhan yang
tidak terelakkan. Sebab, agar kinerja penyelenggaraan otonomi daerah dapat
berlangsung secara baik maka diperlukan kapasitas responsif yang dua arah atau
timbal balik dari unsur pemerintahan daerah dengan masyarakatnya(Dayanto dan
Asma Karim, 2012).
Kapasitas responsif dari unsur pemerintahan daerah ditandai dengan adanya
DPRD dan Kepala Daerah yang akomodatif terhadap setiap aspirasi logis dari
masyarakat dalam keseluruhan proses pengambilan kebijakan daerah, sedangkan
kapasitas responsif dari masyarakat ditandai dengan kemampuannya untuk terlibat
dalam melakukan pengawasan ataupun memberikan input secara partisipatif dalam
keseluruhan proses pengambilan kebijakan tersebut, termasuk dalam hal kebijakan
membuat peraturan perundang- undangan sendiri (zelfwetgeving)(Dayanto dan
Asma Karim, 2012).
Kabupaten Tabanan juga merupakan salah satu Kabupaten yang
menyelenggarakan penanggulangan TBC. Penanggulanan TBC pada Kabupaten
Tabanan masih hanya berpatokan pada Peraturan dari Pemerintah Pusat. Hingga
saat ini substansi hukum yang digunakan patokan sebagai bentuk implementasi
Program adalah Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021. Pemerintah melalui
Perpres No 67 Tahun 2021 . Perpres sendiri sudah membuat lampiran yang secara
16. 10
detail telah membagi proses bisnis, kegiatan hingga target dan lembaga yang
ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan tertentu. Regulasi berupa Peraturan Daerah
merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah daerah terhadap usaha
dalam mencegah penularan TBC. Peraturan daerah pada dasarnya merupakan
peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih tinggi. Di Kabupaten Tabanan belum
ditemukan adanya Peraturan Daerah atau produk hukum daerah yang membahas
secara spesifik tentang Penanggulangan TBC. Ketidakadaan regulasi atau Peraturan
Daerah ini merupakan contoh keadaan kekosongan hukum. Akibat yang
ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan
yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di
masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum
(rechtsverwarring).
Jika dibandingkan dengan beberapa daerah lain, ada daerah yang telah
memiliki Peraturan daerah atau produk hukum daerah seperti Peraturan Gurbernur
terkait dengan Program Penanggulangan TBC. Salah satunya adalah pada Prvinsi
DI Yogyakarta. Daerah lain yang sudah memiliki Peraturan Daerah tentang
Penanggulangan TBC adalah Provinsi Lombok, pada Peraturan Bupati Lombok
Barat No 43 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan
Penanggulangan AIDS, Tuberkulosis dan Malaria Pemerintah Daerah Lombok
Barat telah membuat Rencana Aksi Penanggulangan yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan hingga level desa.
17. 11
Berdasarkan kenyataan tersebut penguatan program TBC di Kabupaten
Tabanan harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan Penanggulangan TBC.
Dengan demikian berdasarkan fakta dan teori yang ada penulis ingin menggali lebih
dalam melalui penelitian normatif dan kualitatif studi kasus tentang “Keberadaan
Peraturan Daerah Dalam Penguatan Program Penanggulangan TBC Di
Kabupaten Tabanan”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan menjadi objek
pembahasan :
1. Bagaimana kekosongan hukum dalam rangka penanggulangan TBC di
Kabupaten Tabanan?
2. Bagaimana bentuk peraturan atau pengaturan hukum yang diperlukan untuk
penguatan pelaksanaan Penanggulangan TBC di Kabupaten Tabanan
sehingga Program Penanggulangan dapat dilaksanakan secara maksimal?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini, terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai yaitu :
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengembangkan
pengetahuan dan melakukan pengkajian tentang pengaturan peraturan daerah di
Kabupaten Tabanan dalam penguatan program dalam hal ini Program
Penanggulangan TBC dan sebagai persyaratan di Program Studi Magister Hukum
Kesehatan.
18. 12
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki tujuan khusus yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana ada kekosongan hukum yang terjadi pada
Penanggulangan TBC di Kabupaten Tabanan.
2. Untuk mengkaji jenis pengaturan hukum yang diperlukan dalam
memaksimalkan pelaksanaan Penanggulangan TBC di Kabupaten Tabanan
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada banyak orang.
Berikut manfaat yang akan dicapai :
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan manambah khazanah ilmu pengetahuan tentang
tentang bentuk penguatan Program TBC di Pemerintah Daerah. Penelitian
ini diharapkan bisa merangsang peneliti lain untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis Kepada Penulis :
Penelitian ini memberikan manfaat kepada penulis untuk memberikan
kesempatan membuka wawasan tentang Teori Hukum, Pengaturan Hukum,
Manfaat Praktis Kepada Pemangku Kebijakan.
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah
dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk melakukan pengaturan
Peraturan Daerah, yaitu melakukan pembentukan Peraturan Daerah tentang
Program Penanggulangan TBC. Peraturan Daerah ini akan menjadi acuan
19. 13
yang jelas bagi pelaksana sehingga menjadi penguat dalam
menyelanggarakan upaya penanggulangan TBC.
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis ini terbatas pada pelaksanaan
Penanggulangan TBC di Kabupaten Tabanan mulai dari penggunaan regulasi,
perencanaan dan pelaksanaan Program Penanggulangan TBC hingga tahun 2024
sehingga dapat ditemukan apakah benar terjadi kekosongan hukum dalam
Pemrintah Daerah Kabupaten Tabanan, dan apakah keberadaan Peraturan Daerah
menjadi penting dan dapat menguatkan pelaksanaan Program serta bentuk produk
hukum daerah yang seperti apa yang diperlukan oleh baik Stake Holder, pelaksana
dan pemangku kepentingan lainnya.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Orisinalitas penelitian ini ditampilkan untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan penelitian yang telah dilakukan sehingga dapat terlihat perbandingan
serta orisinalitas pada penelitian ini.
Judul Penelitian Jenis
Peneliti
an
Nama
Penulis
Rumusan
Masalah
20. 14
1. IMPLEMENTASI
PROGRAM
PENANGGULANGAN TB
PARU DENGAN
STRATEGI DIRECTLY
OBSERVED TREATMENT
SHORTCOURSE DI
PUSKESMAS
PANYABUNGAN JAE
KABUPATEN
MANDAILING NATAL
Empiris Mawaddah
Marahmah
Rumusan
masalah pada
penelitian ini
yaitu untuk
melihat seperti
apa
Implementasi
Program
Penanggulangan
TB Paru dengan
strategi Directly
Observed
Treatment
Shortcourse di
Puskesmas
Panyabungan Jae
Kabupaten
Mandailing
Natal ?
2. ANALISIS
KEBIJAKANPROGRAM
PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS PADA
PUSKESMAS DI MUARA
ENIM
Empiris Faradillah “Bagaimana
implementasi
kebijakan
program
penanggulangan
tuberkulosis
pada Puskesmas
di Kabupaten
MuaraaEnim?”
Perbedaan penelitian tesis di atas dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah:
Kedua tesis tersebut diatas mrupakan jenis penelitian empiris yang mengkaji
tentang Implementasi Kebijakan Penanggulangan Tuberkulosis sedangkan penulis
disini mengkaji tentang bagaimana kekosongan hukum atau tidak adanya
keberadaan hukum daerah tentang Penanggulangan Program TBC.
21. 15
Persamaan penelitian di atas dengan peneliatian penulis adalah sama-sama
menggunakan Program penanggulangan TBC sebagai Program Pemerintah yang
diteliti.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
22. 16
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Negara Hukum
Teori Negara Hukum Indonesia merupakan negara hukum sesuai ketentuan
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Terdapat beberapa syarat yang perlu
dipenuhi supaya suatu negara merupakan negara hukum, yaitu hukum yang berlaku
harus terlebih dahulu diberlakukan, diumumkan agar terpenuhinya transparansi,
berlaku kepada seluruh masyarakat, jelas serta pasti. Berikut ciri-ciri suatu negara
hukum yaitu :
1. Ada pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di bidang sosial,
politik, ekonomi, hukum serta kebudayaan.
2. Ada peradilan bebas, serta tidak ada keberpihakan.
3. Legalitas dalam segala bentuknya.
Plato tentang negara hukum mengemukakan, “bahwa penyelenggara negara yang
baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya
dengan istilah nomoi.” Sedangkan menurut Aristoteles, “suatu negara yang baik
yaitu negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Teori
negara hukum digunakan dalam menjawab permasalahan pertama dan kedua pada
penelitian ini. Hal ini karena negara Indonesia merupakan negara hukum sehingga
segala sesuatu harus diatur berdasarkan hukum. Sebagai negara hukum harus dapat
memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu saat melaksanakan sebuah program
di suatu wilayah seperti di kabupaten diperlukan suatu norma hukum sebagai
bentuk kepastian hukum pemerintah.(I Gede Yusa et. al., 2016)
23. 17
Adriaan Bedner dari Universitas Leiden juga mengembangkan kerangka
kajian atau pendekatan bagi kajian tentang negara hukum. Adriaan Bedner dalam
tulisannya An Elementary Approach to the Rule of Law menyebutkan tiga elemen
yang harus diperhatikan dalam kajian terhadap negara hukum dengan
mengklasifikasikan negara hukum dalam tiga elemen antara lain:
1. Kategori pertama : Elemen procedural, yang terdiri dari : Pemerintahan dengan
hukum (rule by law), tindakan negara harus tunduk pada hukum, legalitas formal
(hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan bisa diprediksi
pokok perkaranya, serta diterapkan pada semua orang) demokrasi (persetujuan
menentukan atau mempengaruhi muatan dan tindakan hukum)
2. Kategori kedua: Elemen-elemen substantive yang terdiri : dari subordinasi semua
hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip fundamental dari keadilan.
Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan kelompok.
3. Kategori ketiga: Mekanisme kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara
hukum) terdiri dari, lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas
menjadi trias'politica), lembaga-lembaga lain yang memiliki tanggung jawab
dalam menjaga dan melindungi elemen- elemen negara hukum(Astariyani, Dr.
Ni Luh Gede, 2023).
Norma hukum diatas pada akhirnya juga ditujukan untuk memastikan
perlindungan hukum hak asasi warga negara. Dalam hal ini, norma hukum yang
dibentuk adalah norma hukum yang digunakan untuk melaksanakan program
penanggulangan TBC sehingga kesehatan sebagai hak asasi warga dapat dijamin
oleh pemerintah.
24. 18
2.1.2 Teori Kepastian Hukum
Terdapat 2 (dua) unsur mengenai kepastian hukum, pertama mengenai
hukumnya itu sendiri (undang-undang), dalam arti hukum itu harus tegas dan tidak
boleh multi tafsir. Kemudian yang kedua tentang kekuasaan yang memberlakukan
hukum, artinya kekuasaan yang dimaksud tersebut tidak bisa dengan semena-mena
menerapkan hukum, sehingga harus tetap berpegang pada prinsip legalitas yang
diikuti dengan sebuah struktur kekuasaannya yang berdasarkan atas trias politica,
sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum.(E. Fernando M.Manulang,
2016)
Gustav Radbruch memberi kontribusi mendasar terhadap topik kepastian
hukum. Pada tesisnya yang telah diterima luas oleh komunitas ilmu hukum,
mengatakan cita hukum berorientasi pada 3 (tiga) tujuan atau nilai dasar, yaitu
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ada saatnya dalam kenyataannya
kepastian hukum berbenturan dengan kemanfaatan, atau keadilan berbenturan
dengan kepastian hukum, atau juga antara keadilan dengan kemanfaatan. Guna
mengantisipasi kondisi tersebut dalam menyelesaikan suatu perkara, Gustav
Radbruch memberikan jalan keluar melalui ajaran prioritas baku, dengan
memberikan patokan yakni prioritas pertama keadilan, kedua manfaat dan ketiga
kepastian hukum.(Muslih, 2013) Keadilan pada dasarnya mengacu pada adanya
keseimbangan hak dan kewajiban dalam hal terjadinya permasalahan di kemudian
hari.(Prof. Dr. Achmad Ali, SH., 2012)
Sebagaimana menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum berbicara
kepastian dari adanya peraturan itu sendiri. Kepastian hukum dimaknai sebagai
keadaan dimana telah pastinya hukum karena telah adanya kekuatan yang pasti bagi
25. 19
hukum yang bersangkutan, sehingga kepastian hukum yang hendak dituju adalah
kepastian hukum yang memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi setiap warga
negara.(M. Jefri Arlinandes Chandra, et. al., 2022) Teori kepastian hukum
digunakan untuk menjawab permasalahan pertama dan kedua pada penelitian ini.
Teori ini dimaksudkan untuk menunjukkan dan memberikan kepastian hukum
terhadap pengaturan Peraturan Daerah dalam rangka penguatan Program
Penanggulangan TBC di Kabupaten Tabanan.
2.1.3 Teori Sistem Hukum Perundang-undangan
Dalam prespektif pembentukan peraturan perundang-undangan, suatu sistem
hukum terdiri dari sub-sub sistem yaitu lembaga pembentuk (Law Making
Institutions), lembaga-lembaga pelaksana (Implementing Institutions), dan pihak y
ang akan terkena atau yang dituju oleh peraturan tersebut (Rule Occupants).
Sedangkan menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), sistem hukum
terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:
1. Materi hukum (tatanan hukum) yang di dalamnya terdiri dari:
a. perencanaan hukum;
b. pembentukan hukum;
c. penelitian hukum;
d. pengembangan hukum.
Untuk membentuk materi hukum harus diperhatikan politik hukum yang telah
ditetapkan, yang dapat berbeda dari waktu kewaktu karena adanya kepentingan
dan kebutuhan.
26. 20
2. Aparatur hukum, yaitu mereka yang memiliki tugas dan fungsi penyuluhan
hukum, penerapan hukum, penegakan hukum dan pelayanan hukum;
3. Sarana dan prasarana hukum yang meliputi hal-hal yang bersifat fisik
4. Budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat termasuk para
pejabatnya; dan
5. Pendidikan hukum.
Memandang hukum sebagai suatu sistem juga dikemukakan oleh Kess Schut
sebagaimana dikemukakan oleh J.J.H.Brugink yang menyatakan bahwa sistem
hukum terdiri dari tiga unsur yang saling berkaitan yakni unsur idiil, unsur
operasional dan unsur actual.11 Unsur idiil terdiri atas aturan-aturan, kaidah-
kaidah dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut dengan “sistem
hukum”. Unsur operasional terdiri dari keseluruhan organisasi dan lembaga-
lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Sedangkan unsur actual
adalah putusan-putusan dan perbuatan kongkrit yang berkaitan dengan sistem
makna dari hukum, baik dari pengembanan jabatan maupun dari warga
masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistim hukum tersebut. Dengan demikian
maka sistem hukum dapat dipahami mempunya arti sempit dan luas. Dalam arti
sempit mencakup unsur idiil, sedangkan dalam arti luas mencakup unsur idiil,
operasional dan aktual. Sistem hukum dalam arti sempit disebut pula dengan
sistem hukum positip, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan,
yurisprodensi, hukum adat dan hukum kebiasaan. Apabila sistem hukum idiil
tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis oleh pejabat yang berwenang di bidang
perundang-undangan maka disebut dengan sistem hukum perundang-undangan.
27. 21
Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan
dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan
dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menentukan bahwa peraturan
perundangundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian sebagai berikut
:
1) peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;
2) dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang ; dan
3) melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pengaturan secara normatif terkait dengan peraturan perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan
Perundang-undangan dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perumusan norma tersebut
menunjukkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan berorientasi
pada melakukan pelaksanaan dan terbagi atas proses pembentukan peraturan
perundang-undangan, metode pembentukan peraturan perundang-undangan teknik
penyusunan peraturan perundangundangan dan prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan. Pengertian peraturan perundang-undangan juga
dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang 66 Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun
28. 22
2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diuraikan bahwa yang
dimaksud dengan : peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini
adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh
Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat
daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.
Pengertian tersebut menujukkan bahwa yang diakui sebagai peraturan perundang-
undangan mencakup dan mengandung unsurunsur :
1. a. Peraturan yang bersifat mengikat secara umum ;
b. Dibentuk oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik tingkat pusat
maupun tingkat daerah ; serta
2. a. Keputusan yang bersifat mengikat secara umum ;
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat
maupun di daerah. (Astariyani, Dr. Ni Luh Gede, 2023).
Menurut HS Natabaya, yang dimaksud dengan sistem peraturan perundang-
undangan Indonesia adalah sebagai suatu rangkaian unsur–unsur hukum tertulis
yang saling terkait, pengaruh mempengaruhi, dan terpadu yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, yang terdiri dari atas; asas asas, pembentuk dan
pembentukannya, jenis, hierarki, fungsi pengundangan, penyebarluasan, penegakan
dan pengujiannya yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
29. 23
Dalam kaitannya dengan kekosongan norma di Kabupaten Tabanan, teori
sistem perundang-undangan ini dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat
Peraturan Daerah yang merupakan terjemahan kegiatan yang diamanatkan oleh
Pemerintah Pusat dalam melaksanakan sebuah program di Kabupaten.(Nurmawati,
2016)
2.1.4 Teori Penjenjangan Norma Hukum
Teori tata urutan norma hukum adalah teori yang dikemukakan oleh Hans
Kelsen, dimana menurutnya bahwa suatu norma hukum itu valid karena dibuat
dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dan norma
hukum yang lain itu menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut
pertama, dan menurutnya suatu tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang
dipersonifikasikan dalam bentuk Negara bukanlah sistem norma yang satu dan
lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar dan sederajat, melainkan suatu
tatanan urutan norma-norma dari tingkatantingkatan yang berbeda. Pembentukan
norma yang satu- yakni norma yang lebih rendah – ditentukan oleh norma yang
lebih tinggi lagi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi
lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri
oleh suatu norma dasar tertinggi, yang menjadi dasar tertinggi dari validitas
keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum. Dengan
demikian maka menurut Hans Kelsen dalam teorinya yang disebut dengan
“Stufenbau des Recht” atau hirarki hukum, bahwa norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki atau tata susunan, dimana sustu
norma yang lebih rendah berlaku,bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
30. 24
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut yaitu norma dasar (Grundnorm). Dalam sistem hukum
Indonesia dan dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
di Indonesia, maka UUD Tahun 1945 harus menjadi acuan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara termasuk pemerintahan desa dan dalam
mengatur kehidupan warga negaranya.
Peraturan perundang-undangan dalam hierarki ditentukan dalam Pasal 7 ayat
(1) UU No.12 Tahun 2011, yang menyebutkan bahwa : (1) Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah Provinsi;
f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari rumusan Pasal 7 ayat (1) tersebut tampak bahwa, Perda merupakan salah satu
jenis peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di bawah
Peraturan Presiden. Keberadaan Perda ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan yang ada di atasnya. Karena itu, dalam pembentukan Perda, sesuai
dengan teori Hans Kelsen, supaya mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang lain di atasnya, sehingga Perda tersebut memperoleh landasan legitimasi
yuridis, keabsahan dan keefektifan berlakunya. Aktualisasi teori penjenjangan
31. 25
norma hukum tersebut yaitu pada bagian ”Mengingat” Ranperda. Di situ
dicantumkan peraturan perundangundangan yang dijadikan landasan yuridis
(dasar hukum) pembentukan Ranperda, baik landasan yuridis formal maupun
landasan yuridis material. Peraturan perundang-undangan tersebut disusun secara
hirarkhis sesuai dengan jenis, tahun pengundangan, dan nomornya.
Berdasarkan Teori ini maka dapat dijadikan patokan bahwa ketika di
Kabupaten mengalami kekosongan norma pada peraturan perundang-undangan
diatasnya merupakan dasar pembentukan norma dibawahnya, dalam hal ini
Peraturan Presiden adalah dasar dibuatnya Peraturan Daerah terkait yaitu
Penanggulan TBC di Kabupaten Tabanan.(Nurmawati, 2016)
2.1.5 Teori Sosial Enginering
Teori tentang perubahan sosial dalam hubungannya dengan sektor hukum
merupakan salah satu teori besar dalam ilmu hukum. Hubungan antara perubahan
sosial dengan sektor hukum tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti
terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan sektor hukum, sementara
di pihak lain, perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu perubahan sosial.
Perubahan hukum yang dapat mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan
salah satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial,
atau sarana merekayasa masyarakat (social engineering). Jadi, hukum merupakan
sarana rekayasa masyarakat (a tool of social engineering), suatu istilah yang
pertama dicetuskan oleh ahli hukum Amerika yang terkenal yaitu Roscou
Pound.(Lathif, 2017)
32. 26
2.1.6 Teori Pembentukan Perundang-undangan
Menurut Nonet dan Selznick, tipe hukum yang responsif itu adalah hukum yang
siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Dengan
demikian, di dalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana
serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.
Dikemukakan oleh F.X. Adji Samekto, Ide dasar hukum responsif yang
dikemukakan oleh Nonet dan Selznick adalah menafsirkan dan mereformulasi
ketentuan-ketentuan hukum sesuai dengan fakta (to interpret and reformulated
rules in light of their actual consequences). Nonet dan Selznick selanjutnya juga
menyatakan: in the ideal of responsive law, law is fasBerangkan dari ilitator of
response of social needs and aspiration.
Berangkat dari pandangan Nonet dan Selznick, Mukhtie Fadjar10
mengemukakan bahwa tipe Hukum Responsif, berdasar pada sifat responsif yang
dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami
dan ditemukan tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Tipe Hukum Responsif
tidak membuang ide tentang keadilan formal, tetapi memperluasnya agar mencakup
keadilan substantif, dua ciri yang menonjol dari Tipe Hukum Responsif, yakni:
a) Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; dan
b) Pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum maupun
cara untuk mencapainya.
Dalam tipe hukum responsif, pluralisme hukum diakui, tidak disetujuinya
33. 27
kecenderungan para positivis untuk mengubah setiap bentuk penataan sosial
menjadi suatu pelaksanaan otoritas negara. Salah satu dampak pluralisme hukum
adalah memperluas kesempatan dalam proses hukum untuk berpartisipasi dalam
pembuatan hukum. Dengan cara ini, arena hukum menjadi sebuah bentuk forum
politik tertentu. dan partisipasi hukum melibatkan dimensi politik. Dengan kata
lain, tindakan hukum menjadi kenderaan bagi sekelompok orang atau organisasi
untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan publik
Berdasarkan konsepsi tipe hukum responsif tersebut maka dikonseptualisasi
indikator karakter hukum responsif yang mana hal ini berhubungan dengan
konfigurasi politik dan sistem hukum pemerintahan suatu negara. Moh. Mahfud
MD mengatakan bahwa politik seringkali mengintervensi pembuatan dan
pelaksanaan hukum, sehingga tidak selalu menjamin kepastian hukum, penegakkan
hak-hak masyarakat atau penjamin keadilan. Konfigurasi politik demokratis akan
menciptakan hukum responsif, sedangkan konfigurasi politik otoriter akan
menciptakan produk hukum konservatif.
Lebih lanjut Moh. Mahfud MD memberikan eksplanasi bahwa produk hukum
yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat serta dilihat dari
fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif. Artinya
memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak
masyarakat yang dilayaninya (Marpaung, 2012).
Dengan demikian produk legislasi responsif dalam penelitian ini didasarkan
34. 28
pada indikator: proses pembuatan atau pembentukannya yang partisipatif dan
materi muatannya bersifat aspiratif. Indikator responsif ini sejalan dengan urgensi
partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diatur
dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menegaskan
bahwa masyarakat berhak memberikan pasukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara konsepsional,
partisipasi merupakan suatu konsep yang merujuk pada keikutsertaan seseorang
dalam berbagai aktivitas pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam proses
pembentukan Perda dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik, yang
menurut Huntington dan Nelson partisipasi politik adalah kegiatan warga
negara sipil (privat citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah. Mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda,
Jazim Hamidi, dkk, mendefenisikan partisipasi sebagai peran serta atau
keikutsertaan (mengawasi, mengontrol, dan mempengaruhi) masyarakat dalam
suatu kegiatan pembentukan Perda mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi
pelaksanaan Perda.
Berdasarkan indikator legislasi responsif di atas, maka proses pembentukan
Perda yang memenuhi karakter responsif ditandai dengan proses pembentukannya
yang partisipatif Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dirumuskan bahwa
Pembentukan Peraturan Perundang- undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pemba-
hasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
35. 29
Praktik partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembentukan Perda dapat
dicermati dalam proses penyusunan program legislasi daerah sebagai awal
Pembentukan Perda. Ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan
bahwa: “Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah
instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis”.
Dalam kaitannya denganpenyusunan rancangan Perda perlu dilakukan
penelitian atau pengkajian yang nantinya berujung pada laporan penelitian berupa
naskah akademik yang menjadi acuan dalam penyusunan materi muatan suatu
produk hukum. Isyarat perlunya penelitian atau pengkajian tersebut ditegaskan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana yang ditekankan
dalam Ketentuan Pasal 1 angka 11 mengenai naskah akademik sebagai laporan hasil
penelitian atau pengkajian. Konsepsi yang dikonstruk oleh ketentuan yang
mengandaikan adanya urgensi penelitian dan pengkajian yang nantinya berujung
pada rumusan naskah akademik sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2012 itu linier dengan dalam teori perancangan peraturan
perundang-undangan yang disebut sebagai The Three Pilars of quality of Legal
Product, jika divisualisasi seperti gambar di di bawah ini:.(Dayanto dan Asma
Karim, 2012)
Gambar 1. Teori Perancangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
The Three Pillars of Quality of Legal Product oleh Achmad Ruslan
36. 30
2.1.7 Konsep Pengaturan
Pengertian pengaturan dalam ilmu hukum berarti perundang-undangan yang
berbentuk tertulis, Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan
perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut sebagai hukum tertulis.
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat atau lingkungan
jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang
berlaku mengikat umum (aglemeen). Peraturan perundang-undangan bersifat
mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang.
Mengikat umum hanya menunjukan bahwa peristiwa perundang-undangan tidak
berlaku terahadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Maria Farida Indrati
Soeprapto menyatakan bahwa Istilah perundangundangan (legislation, wetgeving
atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda, yaitu:
1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk
peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
37. 31
2) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah.1 Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yang
menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat
secara umum”(Maria Farida Indrianti S, 2007)
Pengaturan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, mengacu pada
proses, cara, perbuatan mengatur. Pengaturan dalam ilmu hukum menunjuk pada
keberadaan dari peraturan perundang-undangan yang berbentuk tertulis. Istilah
peraturan perundang-undangan dan perundangundangan berasal dari kata undang-
undang yang artinya jenis atau bentuk peraturan yang dibuat oleh negara. Dalam
kaitannya dengan penelitian yang dibuat, batasan pengaturan mengacu pada belum
adanya aturan dalam hukum di daerah terutama di Kabupaten Tabanan yang
mengatur ataupun mendukung pelaksanaan Program TBC l, sehingga menjadi
penting untuk memberikan pengaturan tentang Peraturan Daerah tentang
Penanggulangan TBC di Kabupaten Tabanan. Konsep pengaturan sebagai dasar
pemikiran terhadap arah bahasan dalam menjawab rumusan maslah pertama dan
rumusan masalah kedua pada penelitian ini.
2.1.8 Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
Good governance menurut Word Bank adalah sebagai the way state is used
in managing economic and social resources for development and society.
Sementara United Nation Develpment Program mendefinisikan sebagai the
38. 32
exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s
affair at all leve 1s. Pelaksanaan pemerinatahan yang baik harus berpedoman
kepada asas umum penyelengga negara, yang terdiri atas :
a) Asas kepastian hukum;
b) Asas tertib penyelenggara negara;
c) Asas kepentingan umum;
d) Asas keterbukaan;
e) Asas proporsionalitas;
f) Asas profesionalitas;
g) Asas akuntabilitas;
h) Asas efisiensi;
i) Asas efektifitas
Dalam kaitannya dengan diharapkan dengan adanya asas hukum ini
pemerintah bisa mengambil langkah-langkah konkret sehingga pelaksanaan
program bisa dibuatkan regulasi berupa Peraturan Daerah. Sehingga pasti
secara hukum dapat menguatkan Program Pemerintah untuk dapat
melaksanakan pemerintahan dengan
dalam hal ini mendorong Kesehatan masyarakat melalui Program
Penanggulangan TBC.(Ermalena and Suardita, 2009)
2.1.9 Filsafat Hukum
Secara sederhana filsafat hukum bisa di katakan sebagai sebuah cabang
ilmu dari filsafat, yaitu filsafat tingkah laku yang mempelajari cabang filsafat.
Dengan kata lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
39. 33
filosofis. Utrech kemudian menyatakan bahwa filsafat hukum memberikan
jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar apakah hukum itu? Untuk apa
kita menaati hukum? Apakah keadilan menjadi parameter baik atau buruknya suatu
hukum? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang seringkali di ajukan dan di jawab oleh
ilmu hukum. Namun, banyak juga yang berpendapat bahwa jawaban ilmu hukum
tidak memuaskan, karena ilmu hukum adalah ilmu empiris yang hanya melihat
hukum sebagai suatu gejala saja. Disini filsafat hukum melihat hukum sebagai
suatu kaidah dalam arti ethisch waardeoordeel. Lebih lanjut, Soetika memaknai
filsafat hukum dengan mencari hakikat hukum, mencari hal yang tersembunyi
dalam hukum, menyelidiki kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai,
memberikan penjelasan terkait dengan nilai sampai kepada dasar-dasarnya, dan
berusahan untuk mencapai akar-akar dari hukum.Disisi lain, Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memaknai bahwa filsafat hukum sebagai
sebuah perenungan nilai dan juga meliputi penyelarasan nilai-nilai seperti
penyelarasan ketertiban dan ketentaraman antara kebendaan dan keakhlakan
atau juga antara konservatisme dan pembaruan.
Selanjutnya Gustav Radbruch memberikan tiga aspek pengertian tentang
filsafat hukum, yaitu aspek keadilan yang berupa persamaan hal untuk semua
orang di hadapan pengadilan, aspek kemanfaatan yang menentukan isi hukum,
sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang ingin di capai, selanjutnya
aspek kepastian hukumyang menjamin bahwa suatu hukum bisa berfungsi sebagai
peraturan yang harus di patuhi .Dari uraian diatas bisa di mengerti bahwa filsafat
hukum menganalisis asas-asas hukum dari suatu peraturan dan kemudian
40. 34
menjawan pertanyaan yang erat kaitannya denganpermasalahan hukum, baik
dalam aspek yuridis,normative ataupun empiris, hal ini bertujuan agar tujuan
hukum berupa perbaikan dan kedamaian kehidupan manusia bisa
tercapai.Pembahasan berikutnya yaitu obyek filsafat hukum yang mana adalah
hukum itu sendiri, selanjutnya obyek tersebut di analisis dengan komprehensif
terhadap aspek yang sangat fundamental. Pertanyaan-pertanyaan seperti, apa
hakikat hukum? Adalah pertanyaan yang berkaitan dengan filsafat hukum.
Bisa saja pertanyaan tersebut di jawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang
diberikan tidak memuaskan. Van Apeldoorn menyatakan bahwa hal ini karena
hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat
gejala-gejala hukum yang hanya bisa di amatii oleh panca indra manusia terkait
denganperbuatan atau kebiasaan yang seringkali di lakukan oleh manusia.
Sedangkan nilai di balik gejala hukum tersebut seringkali luput dari pengamatan
ilmu hukum. Sangat penting untuk mengetahui bahwa suatu Norma hukum tidak
termasuk dunia kenyataan (Sein), namun berada pada dunia lain (Sollen),
sehingga norma hukum bukan merupakan bagian dari jangkauan ilmu
hukum.10Melihat bagaimana peran filsafat hukum dalam kajian hukum yang
sangat diperlukan. Penting untuk mengklasifikasikan ruang lingkup filsafat
hukum tersebut secara spesifik, berikut uraian ruang lingkup filsafat hukum secara
komprehensif;a.Apa hukum itu ? sebagai tema pokok filsafat hukum b.Sifat dan
hakikat hukum c.Nilai-nilai dasar dalam .Ide yang dikenal dan mendasari
hukume.Sifat pengetahuan dalam hukumf.Maksud dan tujuan hukumg.Macam-
macam ilmu hukum dan filsafat hukumh.Dasar-dasar pemikiran hukum dan
41. 35
argumentasi yuridis dalam bagian yang logis. Mempelajari pula struktur dari
suatu sistem hukumi.Hukum yang benarj.Hubungan hukum dan keadilan,
hukumdan kekuasaan hukum da moralk. Perenungan dan perumusan nilai-nilai:
mencakup upaya penyerasian antara ketertiban dengan kententraman, antara
kebendaan dan keakhlakanm dan antara kelanggengan/konservatisme dengan
pembaruanl.Dasar mengikatnya hukum.Pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa
dijawab oleh ilmu hukum. Selanjutnya berkaitan dengan kedudukan filsafat
hukum, aristoteles menguraikannya sebagai berikut;a.Logika, ilmu ini dianggap
sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafatb.Filsafat teoritis. Dalam aspek ini,
melingkupi tiga macam ilmu, yakni
1.Fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam yang nyata
2.Matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam kuantitasnya
3.Metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segata sesuatu ilmu
metafisikac.Filsafat Praktis, dimana dalam aspek ini melingkup tiga jenis ilmu
1.Etika yang mengatur tentang kesusilaan dan kebahagiaan dalam kehidupan
individu
2.Ekonimo yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam keluarga
3.Politik yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam Negara.
.Filsafat poetika yang biasanya dikenal dengan filsafat estetika, dimana dalam
aspek ini meliputi kesenian dan sebagainya. Uraian filsafat Aristoteles
menunjukan bahwa filsafat hukum hadir sebagai sebuah perlawanan kepada
ketidakmampuan ilmu hukum dalam membentuk dan menegakkan kaidah dan
putusan hukum sebagai suatu sistem yang logis dan konseptual. Karenanya
42. 36
filsafat hukum adalah alternative yang dinilai sangat tepat agar mendapatkan
solusi yang tepat dalam menghadapi permasalah-permasalahan hukum(Suhli,
2022)
2.1.10 Konsep Penyakit TBC
Etiologi & Faktor Risiko
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh agen infeksius Mycobacterium
tuberculosis. Dinding bakteri ini tersusun atas asam mikolat yang memberikan M
tb kemampuan untuk menahan dekolorisasi menggunakan asam saat prosedur
pewarnaan, sehingga pada pewarnaan dengan Zielh-Neelsen, bakteri ini akan
tampak di bawah mikroskop sebagai warna merah berbentuk batang (basil), dan
akhirnya disebut sebagai golongan bakteri tahan asam (BTA). Bakteri ini juga
bersifat aerob yang berarti membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup, sehingga
pada pemeriksaan fisis dan pada foto polos toraks dapat ditemukan kelainan pada
apeks paru.
Meskipun TB dapat menyerang siapa saja, penularan TB melalui percik renik dapat
meningkat di beberapa kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang dapat
meningkatkan risiko terinfeksi TB meliputi daerah endemis TB, durasi dan
konsentrasi pajanan terhadap percik renik, yang meningkat pada pemukiman padat
dan kumuh, tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk atau tanpa ventilasi sama
sekali, tidak terkena sinar matahari, serta kebersihan yang buruk
Selain itu, kondisi penjamu yang meningkatkan kemungkinan menderita TB
meliputi kondisi yang mempengaruhi tingkat imunitas, seperti riwayat imunisasi
tidak lengkap, keadaan imunokompromais (menderita HIV, mendapatkan
43. 37
imunosupresan, keganasan, dan pasca transplantasi organ), dan malnutrisi. Faktor
usia juga berkontribusi, khususnya pada anak. Lebih banyak populasi bayi dan anak
usia di bawah 5 tahun (terutama <2tahun) yang menderita TB setelah terjadinya
infeksi, dibandingkan pada populasi remaja dan dewasa. Penderita dengan tingkat
infeksi lebih tinggi (ditandai dengan jumlah mikroba yang dikeluarkan melalui
percik renik atau pernapasan) juga meningkatkan kemungkinan orang lain tertular.
Riwayat kontak, yang juga dipengaruhi oleh durasi, frekuensi, jarak paparan
terhadap penderita TB merupakan faktor risiko infeksi TB yang kerap ditemukan
pada anak, yang biasanya mendapatkan penularan dari orang dewasa penderita TB
di sekitarnya. Faktor ini meningkatkan risiko sebesar 3.79 kali lebih mungkin untuk
terinfeksi, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapatkan paparan
terhadap penderita TB dewasa
Patogenesis Penularan tuberkulosis terjadi melalui percik renik (droplet) dari batuk,
berbicara, bersin, menyanyi, berteriak atau melalui udara (airborne) melalui
bernapas. Oleh karena partikel yang berukuran sangat kecil (1-5 mikron) mikroba
ini dapat bertahan di udara. Dari penelitian terbaru, dikatakan mekanisme
pernapasan merupakan mekanisme penularan yang signifikan, ditandai dengan
90% pengeluaran mikroba di udara melalui proses pernapasan mencakup inhalasi
dan ekshalasi sebesar 90%, sedangkan melalui batuk hanya sebesar 7%.7 Setelah
terjadinya paparan, infeksi hanya terjadi pada beberapa orang yang pada akhirnya
menderita TB, oleh karena kondisi imunokompeten. Sekitar setengah dari populasi
yang terpapar akan memiliki infeksi laten, dimana pasien tidak mengalami gejala,
namun ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologis, dimana 5% dari populasi
44. 38
ini akan pada akhirnya mengalami reaktivasi sehingga menderita TB. Tingkat
imunitas sangat berperan pada progresi penyakit. Mikroba yang dikeluarkan
melalui bernapas, berbicara, batuk, bersin dari penderita TB akan diinhalasi oleh
orang di sekitarnya, sehingga dapat masuk melalui mulut atau hidung, memasuki
saluran napas atas. Dengan bantuan sistem imun non spesifik, seharusnya M tb
dapat ditangkap pada lapisan mukus yang terletak sepanjang saluran napas sebelum
memasuki paru-paru yang kemudian dihancurkan, namun pada kasus lain, M tb
dapat menghindarinya sehingga mencapai bronkus dan alveoli. Setelah mencapai
alveoli, mikroba ini akan ditangkap oleh makrofag yang kemudian memasuki
proses fagositosis, dengan terjadinya fusi fagosom dan lisosom. Pada individu yang
imunokompeten, mekanisme ini sudah cukup untuk mencegah terjadinya penyakit
TB. Namun begitu, pada kasus lain, M tb akan memproduksi protein yang
mencegah proses fagositosis oleh makrofag, sehingga dapat terus berkembang biak
di dalam makrofag tersebut. Pada akhirnya, makrofag ini akan lisis, dan mikroba
membentuk lesi di alveoli. Lesi ini kemudian dinamakan sebagai fokus primer
Ghon, yang menandakan terjadinya tahapan tuberkulosis primer. Pada tahap
primer, mikroba dapat berkembang biak hingga menjadi kisaran seribu hingga
sepuluh ribu mikroba, jumlah yang cukup untuk memicu respon sistem imunitas
seluler (terutama sel presentasi antigen yang mempresentasikan mikroba kepada sel
T dan CD4) dalam kisaran waktu 2-12 minggu. Sel T dan CD4 menggambarkan
suseptibilitas individu terhadap TB, contohnya pada penderita HIV, yang memiliki
kadar CD4 rendah. Bila dilakukan tes tuberkulin, hasil akan positif oleh karena
hipersensitivitas tubuh terhadap tuberkuloprotein. Sel-sel imun adaptif yang
45. 39
mengerubungi fokus primer Ghon dengan upaya mengeradikasi dan membatasi
penyebaran fokus primer kemudian membentuk granuloma. Upaya ini dapat
berhasil, dimana proliferasi mikroba akan terhenti, dan mikroba akan mati,
menghasilkan nekrosis perkejuan (caseosa; seperti keju, karena warnanya yang
putih kekuningan). Selanjutnya dapat tercapai resolusi sempurna tanpa
meninggalkan luka atau sembuh dengan sisa fibrosis atau kalsifikasi, selama sistem
imunitas masih baik dan tidak terjadi penyakit dalam periode waktu yang panjang
(laten). Namun jika granuloma yang terbentuk cukup besar dan sistem imun tubuh
tidak dapat mempertahankannya, cairan perkejuan tadi dapat mengalir ke bronkus
mengeluarkan mikroba yang masih viabel ke parenkim paru sekitarnya atau paru
sebelahnya (khususnya pada apeks, oleh karena oksigenasi yang tinggi). Oleh
karena sistem imun yang sudah mengenali mikroba, sel T memori akan teraktivasi
dan mengeluarkan sitokin, sehingga membentuk nekrosis perkejuan yang lebih
banyak, meninggalkan rongga-rongga pada paru (kavitas). Kavitas yang terbentuk
atau fokus Ghon pada tahap primer memungkinkan mikroba untuk menyebar ke
saluran limfe lokal dan regional, menyebabkan inflamasi dari upaya sistem imun
adaptif untuk mengeradikasi mikroba, sehingga akan timbul peradangan dan
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis dan limfadenitis regional).
Bersama dengan fokus primer Ghon, fokus di kelenjar limfe regional akan
membentuk kompleks primer.1, 10-11 Mikroba juga dapat menyebar ke peredaran
darah, menyebabkan penyebaran limfogen dan hematogen. Penyebaran ke darah
akan menjadi penyakit TB sistemik milier, yang terjadi secara tersamar (sporadik
atau occult), dalam artian mikroba menyebar dalam darah dalam jumlah sedikit
46. 40
sehingga tidak timbul gejala apapun. Mikroba kemudian akan mencapai organ lain
dengan vaskularisasi yang baik, seperti kelenjar getah bening superfisialis, ginjal,
hati, tulang, otak, vertebra.
Hasil Anamnesis (Subjective):
Terduga TB didapatkan dari proses skrining sistematis menggunakan gejala dan
tanda TB atau skrining menggunakan pemeriksaan radiologis yang dilakukan
kepada pengunjung FKTP, kelompok beresiko maupun orang dengan keluhan
mengarah ke penyakit TB. Pasien TB Paru Dewasa adalah pasien TB berumur > 15
tahun dengan kelainan/ gangguan fungsi organ akibat infeksi mycobacterium
tuberculosis yang terjadi pada parenkim paru dan atau tracheobronchial tree.
Berdasarkan proses penegakan diagnosis yang dilakukan, pasien TB Paru dewasa
dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu:
a) Pasien TB Paru Terkonfirmasi, adalah seorang terduga TB Paru yang sudah
mendapatkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis positif dengan
ditemukannya Mtb dari sampel uji yang diperiksa, menggunakan metode
pemeriksaan bakteriologis yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI.
b) Pasien TB Paru Terdiagnosis Klinis, adalah pasien TB Paru dengan hasil
pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif Mtb, tetapi memiliki hasil sugestif TB
berdasarkan pemeriksaan penunjang dan evaluasi klinis yang dilakukan oleh
dokter.
Riwayat pengobatan TB sebelumnya dan Riwayat penyakit komorbid yang bisa
mempengaruhi pengobatan TB, misalnya DM, HIV, gangguan fungsi ginjal,
kehamilan, penyakit hati khronis, Riwayat alergi dan pemakaian obat rutin harus
47. 41
ditelusuri secara mendalam untuk memastikan pengobatan yang akan diberikan
maupun kemungkinan untuk rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan. Untuk
mempermudah pelaksanaan kegiatan investigasi kontak maka informasi mengenai
kontak serumah (orang yang tinggal serumah lebih dari 3 hari selama 3 bulan
terakhir) dan kontak erat (orang yang tinggal bersama dalam satu ruangan selama
lebih dari 8 jam dalam periode 3 bulan terakhir) harus digali dan dicatat. Manifestasi
klinis TB pada kehamilan umumnya sama dengan wanita yang tidak hamil yaitu
manifestasi umum dari TB paru. Semua wanita hamil harus diskrining anamnesis
untuk diagnosis TB. Apabila dari hasil anamnesis ibu hamil terduga menderita TB,
dilakukan kerjasama dengan program TB untuk jdih.kemkes.go.id penegakan
diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. Pada wanita hamil terduga TB perlu
dilakukan juga tes HIV.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective):
Pemeriksaan Fisik Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan
kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi
basah/suara napas melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum. Penimbangan berat badan dan pengukuran indeks masa tubuh
perlu dilakukan untuk mengetahui dosis OAT yang tepat untuk pasien TB yang
akan diobati.
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan utama penegakan diagnosis pasti pasien TB Paru dewasa adalah
pemeriksaan bakteriologis yaitu pemeriksaan TCM atau pemeriksaan BTA (bila
48. 42
pemeriksaan TCM tidak bisa dilakukan), dengan sampel uji dahak(sputum).
Apabila pemeriksaan TCM tidak tersedia di layanan primer, maka dilakukan
rujukan sediaan dahak ke fasilitas layanan primer lain yang memiliki alat TCM.
b) Pemeriksaan penunjang bisa dilakukan di fasilitas kesehatan primer sebagai
baseline sebelum memulai pengobatan dan diputuskan berdasar rencana
pengobatan yang dipilih, antara lain pemeriksaan darah rutin, gula darah.
c) Pemeriksaan penunjang yang memerlukan rujukan:
(1) Bila diagnosis awal menggunakan pemeriksaan mikroskopis Bakteri Tahan
Asam (BTA) maka dilakukan rujukan untuk pemeriksaan TCM untuk mengetahui
resistensi terhadap Rifampisin. Rujukan dilakukan sesuai alur yang ditetapkan
Dinas Kesehatan setempat.
(2) Bila hasil pemeriksaan bakteriologis negatif, bisa dilakukan rujukan
pemeriksaan radiologi ke fasilitas rujukan tingkat lanjut untuk penegakan TB paru
dewasa yang terdiagnosis klinis
(3) Tes HIV untuk pasien TB paru dewasa yang menjalani pengobatan,
Pemeriksaan penunjang lain apabila dari hasil anamnesis ditemukan adanya
kelainan/ komplikasi/ penyakit penyerta yang memerlukan perhatian.
Penegakan Diagnosis (Assessment):
Diagnosis Pasti TB Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, hasil pemeriksaan bakteriologis dan hasil pemeriksaan penunjang. Dokter
melakukan evaluasi klinis secara menyeluruh untuk mengambil keputusan
terapetik, Penulisan diagnosis pasti TB adalah berdasarkan urutan:
a) Letak anatomis penyakit: Paru atau Ekstra Paru
49. 43
b) Riwayat pengobatan TB: Baru atau Pengobatan ulang
c) Status HIV: Positif, Negatif atau tidak diketahui
d) Status resistansi OAT: Sensitif atau Resistan Obat.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan): a) Prinsip Pengobatan TB:
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi
prinsip:
(1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
(2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
(3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
(4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2)
tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk
mencegah kekambuhan. (5) Dilakukan pemeriksaan bakteriologis follow up pada
akhir tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Konsep Urgensi Penanggulangan TBC
Indonesia menghadapi beban ganda penyakit karena meningkatnya penyakit
tidak menular dan masih tingginya insiden penyakit menular. Malnutrisi masih
menjadi masalah kesehatan utama. Terdapat sekitar 30,8% (7 juta) anak di bawah
usia lima tahun mengalami kerdil (stunting) (Kementerian PPN/Bappenas Republik
Indonesia, 2020). Sementara itu, masalah kelebihan berat badan dan obesitas pada
50. 44
orang dewasa meningkat hingga lima kali lipat lebih tinggi daripada target RPJMN
2019 dalam kurun waktu 3 tahun (2016-2019)). Angka kematian ibu di Indonesia
sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup merupakan angka kematian ibu yang
tertinggi di Asia Tenggara Tuberkulosis menjadi salah satu dari lima penyebab
utama beban penyakit pada tahun 2017. Selain itu, diabetes mellitus (DM) yang
juga merupakan faktor risiko Tuberkulosis menjadi penyumbang beban penyakit
ke-3 terbesar . Dampak total kerugian ekonomis akibat penyakit TBC dan TB MDR
adalah sekitar 136,7 milyar per tahun. Orang yang menderita TBC dan TB MDR,
diperkirakan akan kehilangan pendapatan sebesar 38% dan 70%.
Mengakhiri epidemi TBC menjadi salah satu target penting dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang harus dicapai
bersama dengan tujuan- tujuan lainnya oleh suatu negara untuk dapat sejahtera dan
setara. Pentingnya TBC untuk dieliminasi juga karena:
● TBC merupakan penyakit menular. Arus globalisasi transportasi dan
migrasi penduduk antar negara membuat TBC menjadi ancaman serius
● Pengobatan TBC tidak mudah dan murah
● TBC yang tidak ditangani hingga tuntas menyebabkan resistansi obat
● TBC menular dengan mudah, yakni melalui udara yang berpotensi
menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan tempat
umum lainnya.(I Kadek Mulyawan,SKM, 2022)
Negara-negara dengan jumlah penderita TBC yang besar, seperti di Ethiopia,
Indonesia, dan Kazakhstan, pasien yang kehilangan pekerjaan sebesar 26% pada
51. 45
kasus TB dan 53% pada TB MDR. Beban terbesar dari kerugian TBC adalah
kehilangan waktu produktif karena kecacatan dan kematian dini.(Kemenkes RI,
2020)
Berdasarkan kenyataan tersebut dapat kita lihat kerugian negara dan ancaman
Kesehatan yang terjadi apabila TBC ini tidak ditanggulangi dengan baik. Keadaan
ini menimbulkan urgensinya penanganan TBC. Oleh karena itu kerjasama lintas
sector serta penguatan pemerintah mulai dari pusat hingga daerah harus
dilaksanakan demi pengurangan insiden TBC di Indonesia(Kemkes.go.id, 2022)
2.2.2 Konsep Penanggulangan TBC
Penanggulangan TBC adalah segala upaya kesehatan yang mengutamakan
aspek promotif dan preventif tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif
untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan
atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat TBC, dan
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat TBC.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden ini mengatur mengenai:
a. target dan strategi nasional Eliminasi TBC;
b. pelaksanaan strategi nasional Eliminasi TBC
c.tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
d. koordinasi percepatan Penanggulangan TBC;
e. peran serta masyarakat;
f. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan
g. pendanaan
52. 46
Penyusunan dokumen Strategi Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024
menggunakan kerangka perencanaan berpusat pada masyarakat/people-centred
planning framework (PCF) yang direkomendasikan oleh WHO (WHO, 2019d).
Kerangka PCF terdiri tiga komponen utama, yaitu:
• layanan kesehatan yang berkesinambungan (along continuum of care);
• perencanaan berdasarkan tiga tipe data (three types of data) yaitu (i) data
epidemiologi, (ii) karakteristik masyarakat yang terkena dampak, dan (iii) bukti
tentang sistem pelayanan kesehatan terkait pengendalian Tuberkulosis; dan
• tiga tahap perencanaan (three planning steps), yang meliputi:
(1) penentuan prioritas masalah,
(2) analisis akar masalah, dan
(3) optimasi intervensi yang strategis.
Dalam kerangka PCF, layanan kesehatan yang berkesinambungan disusun secara
sistematis dengan memperhatikan tingkat kerentanan masyarakat terhadap
timbulnya gejala TBC yang mencakup
(1) orang dengan gejala tuberkulosis yang belum mengakses sistem kesehatan,
(2) orang dengan gejala tuberkulosis yang melakukan pencarian pengobatan namun
tidak terdiagnosis atau tidak terlaporkan; dan
(3) orang yang terlaporkan sebagai penderita tuberkulosis namun pengobatannya
tidak sukses atau tidak lengkap.
Selanjutnya, data-data terkait epidemiologi, populasi dan sistem kesehatan
dikonsolidasi dan disajikan dalam kerangka layanan tuberkulosis yang
berkesinambungan menurut tiga tingkat kerentanaan masyarakat seperti di atas.
Setelah pengelompokan ini, proses perencanaan dimulai dengan tahap pertama,
yaitu menentukan prioritas masalah (problem prioritization)terkait tuberkulosis
dengan skala 1-5 (tidak prioritas – sangat prioritas). Setelah menetapkan prioritas
masalah, dilakukan identifikasi dan analisis akar masalah penyebab masalah
53. 47
prioritas (root cause analysis), dan selanjutnya menentukan intervensi-intervensi
yang optimasi intervensi (strategic intervention optimization) untuk menyelesaikan
akar masalah. Intervensi yang telah dipilih kemudian dilakukan optimasi dengan
metode modeling Dalam era desentralisasi bidang kesehatan, pemerintah
kabupaten/kota memegarng peran besar untuk memberikan dukungan politik bagi
penanggulangan tuberkulosis di wilayahnya. Dimasukannya penanggulangan
tuberkulosis kedalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan
memerlukan langkah-langkah operasionalisasi di tingkat kabupaten/kota. Untuk
dapat mendorong peran pemerintah daerah pada proses perencanaan dan
pembiayaan, perlu adanya dokumen rencana aksi penanggulangan tuberkulosis
yang komprehensif di tingkat kabupaten/kota. Koordinasi, konsolidasi serta
penyebarluasan informasi tentang kebijakan penanggulangan tuberkulosis kepada
pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota perlu dilakukan. Kebijakan dan
regulasi di tingkat kabupaten/kota perlu menyasar aspek sumber daya manusia, agar
sumber daya manusia yang terkait dengan layanan serta program tuberkulosis dapat
ditempatkan minimal 5 tahun pada tugas pokok dan fungsinya. Pedoman strategis
untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam pengendalian tuberkulosis
perlu untuk disusun agar proses pengembangan kebijakan penanggulan
tuberkulosis dapat dilakukan secara sistematis. Kebijakan tersebut perlu
diformalisasi dalam bentuk peraturan-peraturan di daerah termasuk ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kabupaten/kota.
(Kemenkes RI, 2020)
54. 48
Pada pasal 5 ayat (2) Perpres No 67 Tahun 2021 Pemerintah menyebutkan Strategi
nasional Eliminasi TB terdiri atas
● Penguatan komitmen dan kepemimpinan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupatenlkota;
● Peningkatan akses layanan TBC yang bermutu dan berpihak pada
pasien;
● Intensifikasi upaya kesehatan dalam rangka Penanggulangan TBC;
● Peningkatan penelitian, pengembangan, dan inovasi di bidang
Penanggulangan TBC;
● Peningkatan peran serta komunitas, Pemangku Kepentingan, dan
multisektor lainnya dalam Penanggulangan TBC; dan
● Penguatan manajemen program.
2.3 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian spesifik mengenai penguatan hukum dalam sebuah program masih
sedikit ditemukan. Beberapa peneliti yaitu Aldridge,dkk tahun 2021 pada jurnal
The Tuberculosis Drug Accelerator at year 10: what have we learned?. Nature
medicine, 27(8), 1333-1337, penulis menyimpulkan bahwa kolaborasi multi
sektoral dalam melakukan penanggulangan TBC sangat diperlukan karena
keuntungan model ini akan lebih besar memberikan keuntungan dalam
penanggulangan TBC.Komunitas global akan lebih baik untuk menetapkan struktur
organisasi dan hukum dan membangun budaya untuk kolaborasi sebagai bentuk
kerjasama dalam penanggulangan TBC. Secara tidak langsung pada jurnal ini
menegaskan bahwa dalam penanggulangan TBC memang diperlukan campur
tangan hukum sehingga dapat dibangun sebuah kolaborasi yang akan memberikan
keuntungan dalam pelaksanaan program. Arifin mengemukakan bahwa Urgensi
Peraturan Daerah dalam upaya mewujudkan prinsip-prinsip otonomi daerah
adalah Peraturan Daerah memiliki beberapa fungsi, Pertama, sebagai instrumen
kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan
55. 49
sebagaimana amanat UUD RI Tahun 1945dan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah. Kedua sebagai penampung kekhususan dan keragaman
daerah, serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah. Namun, pengaturannya
tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yangg
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, berfungsi sebagai alat
pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah. Keempat, sebagai
peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jadi dengan adanya Peraturan Daerah maka peraturan pelaksanaan dari perundang-
undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Perpres No 67 Tahun 2021 tentang
penanggulangan TBC dapat diterjemahkan sesuai dengan karakteristik daerah.
Lathif, N. mengemukakan Teori Hukum Sebagai Sarana Alat Untuk
memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat. PALAR (Pakuan Law
Review), 3(1). Menurut teori hukum, hukum memegang peranan penting dalam
masyarakat bahkan memiliki fungsi ganda bagi masyarakat untuk mencapai
keadilan, kepastian hukum, ketertiban, kemanfaatan dan tujuan hukum lainnya..
“Law as an instrument of social planning” adalah teori yang dikemukakan oleh
Roscoe Pound yang mengartikan bahwa hukum adalah instrumen pembaharuan
sosial. Istilah ini dikatakan berperan dalam mengubah nilai-nilai sosial. Mengenai
pendukung atau penopang suatu teori hukum yang dapat membentuk masyarakat
(hukum sebagai alat pembentukan sosial). Suatu teori efektivitas dan validitas
hukum. Elcaputera, A. (2022). Urgensi Harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah:
Sebuah Analisis Tantangan dan Strategi Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Indonesia dalam Rangka Penguatan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu
56. 50
Hukum, 11(1), 121-136. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji Urgensi Harmonisasi
Rancangan Peraturan Daerah dengan menganalisis Tantangan dan Strategi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Dalam Rangka Penguatan
Otonomi Daerah. Hasil pembahasan menunjukan betapa pentingnya proses
harmonisasi peraturan daerah, agar menghindari overlapping berbagai regulasi
lainnya sehingga nantinya peraturan daerah taat akan asas pembentukan peraturan
daerah. Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki
keterkaitan yang sangat erat, dengan demikian kajian tentang kebijakan pemerintah
semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini . kebutuhan
tersebut semakin dirasakan beriringan dengan semakin meluasnya peranan
pemerintah memasuki bidang kehidupan manusia,dan semakin kompleksnya
persoalan-persoalan ekonomi, sosial dan politik. Disamping itu peraturan hukum
juga mempunyai peran untuk membantu dalam usaha menemukan alternatif
kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Apabila pembangunan itu
merupakan suatu kegiatan untuk melakukan perubahan-perubahan didalam
masyarakat, maka dapat dipahami bahwa peranan pemerintah sebagai lembaga
eksekutif menjadi lebih menonjol. Melalui peraturan hukum, pemerintah dapat
melaksanakan kebijakan pembangunan didalam tindakan nyata. Dengan demikian
maka melalui kebijakan publik ini akan dilakukan penyesuaian bagi penerapan
hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah agar sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat yang sekaligus dapat menumbuhkan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum. Kebijakan publik berperan sebagai pengaturan masyarakat yang
57. 51
pada umumnya menekankan pada proses dengan tetap memerlukan hukum untuk
keabsahan dari kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Tanti Dian Ruhama, Andri Setya Nugraha (2021) Peran Pemerintah Daerah
dalam Pelaksanaan Agenda Pembangunan Hukum pada RPJMN 2020-2024
(Bidang Sistem Peradilan Pidana dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, Sistem
Peradilan Pidana Anak, dan Bantuan Hukum). Bappenas Working paper,84-105.
Artike ini membahas tentang Pembangunan hukum pada dasarnya tidak hanya
menjadi peran dan kewenangan pemerintah pusat dan lembaga yudikatif saja, tetapi
juga perlu dukungan dari pemerintah daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah.
Pemerintah daerah memiliki sejumlah kewenangan untuk melaksanakan agenda
pembangunan hukum sesuai dengan kebutuhan daerah. Sehingga dari beberapa
penelitian ini terlihat bahwa keberadan Peraturan Daerah, pengaturan Peraturan
Daerah serta harmonisasi peraturan daerah penting diperhatikan untuk menjamin
kelangsungan sebuah program terutama program Kesehatan.
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menggali mulai dari
Undang-undang hingga peraturan untuk mengetahui adanya kekosongan hukum
dalam rangka Program Penanggulangan TBC. Penelitian ini kemudian dilanjutkan
sebagai penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Konsep penelitian
kualitatif studi kasus didasarkan atas tiga buah terori yaitu Teori Negara Hukum
oleh Brian Z Tamanaha, Teori Sistem Hukum oleh M.Friedman Lawrence dan
Teori Sosial Enginering. Teori Negara Hukum oleh Brian Tamanaha menyatakan
pemisahan konsep The Rule of Law kedalam dua kategori dasar yaitu formal dan
58. 52
substantif, yang masing-masing memiliki tiga cabang atau format yang berbeda.
Brian Tamanaha membagi konsep ‘rule of law’ dalam dua kategori, “formal and
substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of
law”dalam arti substantif. Tamanaha langsung secara tegas menyatakan bahwa apa
yang dimaksud dengan Rule of Law itu adalah “suatu kondisi di mana para pejabat
pemerintah dan warga negara terikat dan tunduk kepada hukum”. Dia tidak
memberikan definisi yang panjang yang mencakup beberapa aspek penting dari
berjalannya suatu pemerintahan. Dia hanya memberikan definisi yang sangat
singkat tentang Rule of Law sebagai suatu keadaan atau kondisi di mana para
pejabat pemerintahan dan warga negaranya patuh dan terikat oleh hukum.
Tamanaha memberikan beberapa keadaan yang menjadi konsekuensi dari
definisinya tersebut. Kondisi yang paling utama dari definisi Rule of Law versi
Tamanaha adalah adanya suatu sistem hukum di suatu negara. Konsep negara
hukum atau “Rule of Law” itu sendiri mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
1. Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya difungsikan
sebagai“instrument of government action”. Hukum hanya dipahami dan
difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan
prediktabilitasnya sangat tinggi, serta sangat disukai oleh para penguasa
sendiri, baik yang menguasai modal maupun yang menguasai proses-proses
pengambilan keputusan politik. Jadi bila dikaitkan dengan Program
Penanggulangan TBC jelas bahwa kegiatan ini mestinya memiliki rule of law
atau secara konkret adalah produk hukum khusus di daerah Tabanan yang
59. 53
dapat berfungsi sebagai alat Pemerintahan dalam melaksanakan aksi dalam
hal ini Program Penanggulangan TBC.
2. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip
prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh bersifat retroaktif,
(ii) bersifat umum dalam artiberlaku untuk semua orang, (iii) jelas (clear),
(iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang ‘formal
legality’ itu, diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.
Formal Legality memastikan Pemerintah membuat produk hukum untuk
Penanggulangan TBC. Produk hukum ini harus dipastikan, stabil, berlaku
untuk semua orang orang, jelas sehingga orang yang terlibat dapat
memprediksikan apa saja yang akan dilakukan
3. Democracy and Legality, demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum
yang menjamin kepastian, tetapi menurut Brian Tamanaha sebagai “a
procedural mode of legitimation” demokrasi juga mengandung
keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality”.
4. Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”.
5. Rights of Dignity and/or Justice
6. Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community
Jadi bila dilihat disini pada Teori Negara Hukum Bian Tamahana ini sangat
menekankan bahwa dalam suatu negara tunduk terhadap suatu hukum, diamana
60. 54
hukum ini akan menjadi pegangan dalam pelaksanaan sebuah program pemerintah.
Hukum ini juga dimaksudkan untuk menjaga hak asasi manusia, kesejahteraan serta
preservasi masayarakat dengan adil. Tentu saja salah satu hak asasi manusia yang
perlu dijaga adalah hak tentang Kesehatan.
Teori lainnya adalah Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M.Friedman, Dimana
dikatakan bekerjanya suatu hukum ditentukan oleh
1. Struktur hukum (legal structure) merupakan kelembagaan yang diciptakan
oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk
melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap
penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2. Substansi (legal substancy) adalah output dari sistem hukum, yang berupa
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak
yang mengatur maupun yang diatur.
3. Budaya (legal cultur) yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Friedman disebut sebagai
kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum
seluruh warga Masyarakat.
Jadi dalam menyelenggarakan sebuah hukum maka struktur hukum yaitu
kelembagaan penyelenggara hukum , kemudian substansi hukum dalam hal ini
produk hukum daerah, dan budaya Masyarakat yang mempengaruhi bekerjanya
61. 55
hukum. Jadi produk daerah berupa Peraturan Daerah harus ada sebagai substansi
hukum saat akan melakukan penyelenggaraan hukum. Kerangka kerja Friedman
dimulai dengan pembahasan mengenai mata rantai pertama dalam sebab akibat dari
dampak: Pesan hukum dalam hal ini substansi hukum harus dapat dikomunikasikan
kepada khalayak sebelum respon perilaku apapun dapat terjadi. Jadi hal yang harus
dipersiapkan pertama sebelum terjadinya perubahan perilaku pada masayarakat
adalah kejelasan substansi hukum.
Oleh karena itulah dua teori ini beririsan dan menjadi landasan teori dimana
Indonesia sebagai negara hukum yang menjamin terpenuhinya hak asasi manusia
salah satunya Kesehatan harus tunduk dalam suatu hukum, dan hukum memiliki
sistem hukum yang salah satunya adalah substansi hukum yang akan diselenggarakan
oleh struktur hukum yaitu lembaga-lembaga hukum dan juga dipengaruhi oleh
budaya hukum suatu daerah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam hal ini
Penanggulangan TBC. Hukum yang ditetapkan nantinya diharapkan bisa sarana
rekayasa Masyarakat sehingga Program penanggulangan TBC dapat dilakukan
dengan maksimal.
Kinerja Pemerintah Kabupaten Tabanan pada RPJMD terlihat belum mencapai
target Kabupaten yang telah ditetapkan, sehingga dalam pelaksanaan perlu
dilakukan penguatan Program Penanggulangan TBC yang memang merupakan
tanggung jawab Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan, apalagi
kita mengetahui bahwa TBC merupakan salah satu indikator prioritas mutu di
puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30
62. 56
Tahun 2022 Tentang Indikator Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan Tempat Praktik
Mandiri Dokter Dan Dokter Gigi, Klinik, Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah Sakit,
Laboratorium Kesehatan, Dan Unit Transfusi Darah dan Presiden Indonesia sendiri
juga telah mengeluarkan Prepres tentang TBC yang secara mendetail telah
menjelaskan strategi bisnis yang harus dilakukan demi mencapai tujuan yaitu bebas
TBC 2030. Berdasarkan fenomena dan data yang kita lihat bentuk penguatan yang
dapat kita usahakan adalah adanya substantif hukum berupa peraturan daerah yang
merupakan hasil dari landasan undang-undang,peraturan berkolaborasi dengan kultur
hukum Masyarakat baik berupa opini Masyarakat maupun pemberdayaan
masyarakat serta merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai kepala daerah.
Berikut adalah bagan tentang rancangan penelitian.
63. 57
KEBERADAAN
PERATURAN
DAERAH U/
PENANGGULANGA
N TBC
LANDASAN TEORI
1. TEORI
NEGARA HUKUM
PARTISIPASI
MULTISEKTOR
1. Opini
TANGGUNG
JAWAB
PEMERINTAH
PENGUATAN
Strategi Nasional
1. penguatan komitmen dan
kepemimpinan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupatenlkota
2. peningkatan akses layanan
TBC yang bermutu dan berpihak
pada pasien
3. intensifikasi upaya
kesehatan dalam rangka
Penanggulangan TBC;
4. peningkatan penelitian,
pengembangan, dan inovasi di
bidang Penanggulangan TBC
5. peningkatan peran serta
komunitas, Pemangku Kepentingan,
dan multisektor lainnya dalam
Penanggulangan TBC
6. penguatan manajemen
program
Kondisi saat ini :
● TBC penyakit menular
dan mematikan
● TBC merupakan
indikator prioritas mutu
● Capaian kinerja pada
Kabupaten Tabanan belum
mencapai target
● Penanggulangan TBC
belum dilakukaan oleh
seluruh kepentingan
● Belum ada regulasi
khusus pada daerah
64. 58
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Metode penelitian secara sederhana merupakan suatu tata cara dalam
melakukan penelitian. Secara umum penelitian bisa diartikan sebagai kegiatan yang
tujuannya untuk mengemukakan, menguji atau mengembangkan sebuah
pengetahuan. Setiap melakukan penelitian, termasuk penelitian hukum pastinya
wajib untuk mempergunakan metode penelitian dalam membuat pembahasan
terhadap suatu masalah, sehingga dengan metode penelitian ini akan bisa
mengungkapkan kebenaran secara metodologis, sistematis, dan konsisten, termasuk
untuk memperoleh bahan hukum pada penelitiannya.
Jenis penelitian yang digunakan pada tesis ini adalah dengan jenis penelitian
hukum normative dan empiris menggunakan metode kualitastif studi kasus.
3.1.1 Rancangan Penelitian Normatif
Pada penelitian normatif, yang menjadi objek penelitiannya ialah norma
hukum. Metode normatif ini digunakan oleh karena obyek penelitian ini adalah
norma hukum yang berkaitan denga Penanggulangan TBC di Kabupaten Tabanan.
Kekosongan norma dalam hal ini kekosongan Peraturan daerah tentang
Penanggulangan TBC merupakan ranah penelitian normatif yang meneliti aspek
intern dari norma.
A. Teknik Pengumpulan data.
65. 59
Pada penelitian normatif pengumpulan bahan hukum diperlukan untuk kedalaman
analisis hukum dan argumentasi dari keadaan norma yang diteliti. Bahan hukum
penelitian hukum normatif ada dua yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
A.1 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah semua aturan tertulis yang ditegakkan oleh negara,
semua itu bisa ditemukan dalam putusan pengadilang yang telah berkekuatan
hukum tetap, Undang-undang, yang ditetapkan parlemen, Keputusan dan peraturan
eksekutif, putusan hukum agen-agen admnistratif.
Dalam rangka pengumpulan bahan hukum primer, maka dilakukan terlebih dahulu
identifikasi dan sistematisasi. Sistimatisasi bahan hukum primer akan dilakukan
dengan :
1. Pengumpulan berpatokan pada hirarki peraturan perundang-undangan dengan
dimulai mencari norma pada tingkatan Konstitusi, Perjanjian Internasional yang
sudah diratifikasi, Undang-undang, Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Daerah dalam hal ini Peraturan
Daerah di Kabupaten Tabanan dan lain-lain yang berkaitan dengan isu
Penanggulangan TBC. Pencarian seperti ini sering disebut pencarian dengan sistem
bola salju.
2. Memastikan bahwa seluruh peraturan tadi masih berlaku dan menjadi hukum
positif
3. Selain mengumpulkan peraturan perundang-undangan tentang Penanggulangan
TBC juga mengumpulkan perundang-undangan yang berhubungan seperti Undang-
66. 60
undang Kesehatan, peraturan pelaksana tentang Penyakit menular, Undang-undang
tentang Peraturan Daerah.
A.2 Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat digolongkan berupa buku-buku yang berisikan
tentang landasan teoritis dari mulai dari segi hukum, teori, jurnal-jurnal yang
berisikan artikel-artikel yang berhubungan dengan Keberadaan Peraturan Daerah
Dalam Penguatan Program Penanggulangan TBC.
B. Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan hukum terkumpul, selanjutnya akan dilakukan analisis untuk
mendapatkan argumentasi akhir yang berupa jawaban dari permasalahan penelitian.
Penulis pada penelitian ini akan menggunakan teknik deskriptif yaitu hasil
penelitian ini akan dipaparkan tentang bagaimana kekosongan peraturan daerah
dalam Program Penanggulangan TBC. Penulis akan memaparkan kondisi hukum
Undang-undang hingga peraturan pelaksana di daerah terkait dengan
Penanggulangan TBC.
C. Penyajian Analisis Data
Analisis data tersebut akan disajikan secara narasi memaparkan tentang
keadaan hukum baik berdasarkan bahan hukum primer dan sekunder sehingga
tergambar dimana letak kekosongan hukum tentang Program Penanggulangan
TBC.
67. 61
3.1.2 Rancangan Penelitian Empiris
Pada empiris penulis melakukan penelitian dengan metode kualitatif studi
kasus dimana studi kasus adalah suatu inkuri empiris yang menyelidiki fenomena
di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan
konteks tak nampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti diperlukan. Studi
kasus ini akan dapat menjelaskan bagaimana penyelenggaraan sebuah program
pemerintahan termasuk bagaimana hal-hal yang mendukukung program
pemerintah.
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Tabanan dengan waktu pengumpulan
data dimulai dari April-Mei 2024. Lokasi wawancara dan Focus Group Discussion
(FGD) dilakukan pada dua buah puskesmas untuk mewakili jenis puskesmas yaitu
puskesmas pedesaan dan puskesmas perkotaan yaitu Puskesmas Penebel I sebagai
wakil Puskesmas kategori pedesaan dan Puskesmas Tabanan III sebagai wakil
Puskesmas Perkotaan, Dinas Kesehatan Tabanan serta rumah informan.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang didapatkan melalui
diskusi terarah (Focus Grup Discussion) dan wawancara mendalam terhadap
informan yang terpilih. FGD dan Wawancara mendalam dipilih karena penelitian
ini membutuhkan persepsi dari pelaksana, stake holder dan masyarakat tentang
68. 62
keberadaan Peraturan Daerah dalam penyelenggaraan Program Penanggulangan
TBC.
Sumber Data
Pada penelitian ini sumber data diperoleh dari informan. Informan penelitian
adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang pengalaman,
situasi, dan kondisi latar belakang penelitian. Pemilihan informan pada penelitian
ini menggunakan purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi yang telah
ditetapkan peneliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu:
1. Orang yang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan Program TBC yaitu
Pemegang Program TBC, Dokter yang melakukan skrining, testing dan
treatment baik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan, Kepala Puskesmas, Wasor TBC, Kepala
Bidang P2M, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan.
2. Masyarakat yang berperan dalam Program Penanggulangan TBC yaitu
Perangkat Desa, Kader TBC.
3. Pemangku kebijakan lain yang berhubungan langsung dengan sasaran TB
seperti Kepala Sekolah, Kepala Lapas .
4. Pemangku kebijakan yang berperan penting dalam penyusunan Peraturan
Daerah seperti Sekretaris Daerah.
Penelitian ini menggunakan 3 kelompok diskusi dan 4 infoman untuk wawancara
mendalam. Kelompok diskusi tersebut terdiri atas :
69. 63
1. Kelompok diskusi pelaksana langsung yaitu pelaksana langsung Program
Penanggulangan TBC di puskesmas baik dari puskesmas itu sendiri serta pemangku
kepentingan terkait. Kelompok diskusi pelaksana fasilitas Tingkat pertama di
pedesaan ini terdiri atas Kepala Puskesmas, Koordinator Program TBC, Dokter
Pelaksana Layanan, Kader TB di wilayah setempat, Perangkat Desa, Kepala
Sekolah. Kelompok diskusi pelaksana lainnya adalah kelompok diskusi pelaksana
di fasilitas Tingkat pertama di perkotaan terdiri dari Kepala Puskesmas,
Koordinator Program TBC, Dokter Pelaksana Layanan, Kepala Lapas atau yang
mewakili, Perangkat Desa, Kepala Sekolah.
2. Kelompok Diskusi Pelaksana pada Fasilitas KesehatanTingkat Lanjutan yaitu di
RS yang terdiri dari Dokter Spesialis Paru, Dokter Spesialis Anak, Dokter Spesialis
Radiologi, Dokter Spesialis Patologi Klinik, Farmasi. Selain melalui diskusi data
juga diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam pada 4 informan yang
terdiri dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, Kepala Bidang
Penanggulangan Penyakit Menular, Pemerhati TBC dari PPTI cabang Tabanan, dan
Sekretaris Daerah Kabupaten Tabanan.
Kelompok Diskusi ini terdiri dari 18 informan atau sampai data dinyatakan
mencapai titik jenuh sehingga peneliti menghentikan pencarian atau melakukan
penambahan informan.
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian empiris, penulis menggunakan penelitian kualitatif studi kasus.
Studi kasus adalah metode penelitian dimana peneliti mengeksplor atau menggali
70. 64
suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau seorang atau beberapa individu
secara mendalam. Kasus-kasus tersebut dibatasi oleh ruang dan waktu kegiatannya.
Peneliti mengumpulkan data secara mendalam dengan menggunakan berbagai
macam cara pengumpulan data dalam periode waktu tertentu. Metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif ini adalah dengan
diskusi terarah (FGD) dan wawancara mendalam (indepth interview). Kelompok
diskusi terarah (FGD) akan dipandu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan mulai dari
yang umum ke yang bersifat khusus. Pada kelompok diskusi terutama pada
pelaksana baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan
tingkat lanjutan peneliti ingin mendapatkan pelaksanaan penanggulangan TBC di
wilayah baik perkotaan maupun pedesaan, kesesuaian program yang dilaksanakan
dengan yang diamanatkan oleh Prepres sebagai payung hukum pelaksanaan
Penanggulangan TBC, koordinasi lintas sektor dalam melaksanakan program,
komitmen pemangku kepentingan lainnya dalam melakukan Penanggulangan TBC,
kendala dan harapan para pelaksana baik dari fasilitas kesehatan dan dari
Masyarakat serta pemangku kepentingan tentang pelaksanaan Penanggulangan
TBC, pendapat pelaksana baik dari profesi kesehatan, pemangku kepentingan serta
Masyarakat tentang pentingnya keberadaan peraturan daerah dalam menguatkan
pelaksanaan Program Penanggulangan TBC. Wawancara mendalam dilakukan
dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara bertatap muka.
Dalam pelaksanaan wawancara, peneliti mengacu pada pedoman wawancara.
Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dimulai dari pertanyaan yang bersifat umum
barulah mengarah kepada pertanyaan yang bersifat khusus sesuai dengan pedoman
71. 65
wawancara yang dipersiapkan dan dikembangkan sesuai dengan pernyataan yang
dilontarkan informan. Hal-hal yang ingin digali oleh peneliti terkait
Aspek yang digali dari
wawancara
Deskripsi/penjelasan Sumber data/informan
a. Pengetahuan dan
persepsi mengenai
Peraturan di bidang
penanggulangan
TBC
Jenis-jenis Peraturan
yang ada yang mengatur
tentang
penanggulangan TBC
terutama Perpres No 67
Tahun 2021. Persepsi
seluruh informan
tentang Prespres
tersebut
Semua Informan
b. Persepsi mengenai
kebutuhan adanya
Perda Mengenai
Program Pelayanan
TBC
Pendapat dari informan
tentang kebutuhan dan
pentingnya adanya
Perda dalam
menguatkan Program
Penanggulangan TBC
diKabupaten Tabanan
Seluruh informan
72. 66
c. Pengetahuan dan
persepsi mengenai
partisipasi
multisektor
Pengetahuan tentang
hal-hal yang dikerjakan
oleh masing-masing
lintas sektor sesuai
dengan kemampuan dan
fungsinya dalam
Program
Penanggulangan TBC
di Kabupaten Tabanan
Seluruh informan
d. Pengalaman
melaksanakan
Program TBC
Program yang telah
dilaksanakan selama ini
dalam menjalankan
Program
Penanggulangan TBC
di Tabanan
Seluruh informan
e. Tanggung Jawab
pemerintah daerah
dalam pelaksanaan
program TBC
Tanggung jawab
Pemerintah Daerah
yang telah dicantumkan
dalam Permenkes dan
Perpres dalam rangka
Program Penanggungan
TBC
Seluruh Informan
73. 67
f. Persepsi mengenai
Faktor penyebab
belum adanya
Perda mengenai
Program TBC
Pendapat dari stake
holder tentang hal-hal
yang menjadi penyebab
belum adanya Perda
mengenai Program
TBC
Kepala Puskesmas,
Kabid Penanggulangan
Penyakit Menular,
Kadis, Sekda.
g. Dampak tidak
adanya perda
mengenai program
TBC terhadap
pelaksanaannya di
masyarakat
Pendapat dari seluruh
stake holder dan
pelaksana serta
pemangku kepentingan
lainnyaa tentang
dampak tidak adanya
Perda dalam
pelaksanaan Program
Penanggulangan TBC
di Masyarakat mulai
dari skrining, testing
dan Pengobatan.
Seluruh informan
h. Peluang/Rencana
pembentukan
Perda mengenai
program TBC di
Kab Tabanan
Peluang, tahapan
penyusunan,
perencanaan strategi
mengenai Program
TBC
Kadinkes Tabanan,
Sekda Tabanan