Artikel ini membahas tentang pendapat penulis terhadap kenaikan harga BBM di Indonesia. Penulis menjelaskan bahwa banyak masyarakat, terutama masyarakat miskin dan pekerja, menolak kenaikan harga BBM karena akan membebani ekonomi mereka. Namun pemerintah tetap menerapkan kenaikan harga BBM meskipun mayoritas rakyat menolak kebijakan tersebut.
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
DEMOKRASI BBM
1. 121
Artikel 44
“PERSPEKTIF TENTANG DEMOKRASI & KENAIKAN BBM BERSUBSIDI”
Nuraiyan
SMAN 9 Tunas Bangsa Banda Aceh
Hai para sahabat semuanya, para generasi-generasi penerus bangsa yang
berkualitas nantinya. Bagaimana pendapat para sahabat tentang kenaikan Bahan
Bakar Minyak (BBM) di Negeri Indonesia kita ini? Saya sendiri miris mendengar
ketika BBM sudah resmi dinaikkan dari Rp 6.500.00,- menjadi Rp 8.500.00,-. Dulu
ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), harga bensin
Rp 4.500.00,-, dan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang sudah tidak lagi
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) menaikkan BBM Rp 2.000.00,-
sehingga menjadi Rp 6.500.00,-. Saya melihat tidak begitu banyak yang komplain akan
kenaikan BBM saat itu. Mungkin karena harganya tidak terlalu tinggi. Dan ketika
Bapak Joko Widodo sudah dilantik menjadi Presiden, beliau menaikkan BBM sebesar
Rp 2.000.00,- hingga menjadi Rp 8.500.00,- Nominal yang sangat tinggi di mata para
masyarakat miskin dan awam. Mengapa saya katakan miskin dan awam? Bagi
masyarakat miskin sudah jelas tidak terlalu sanggup memenuhi kebutuhannya dalam
berkendaraan. Apalagi bagi tukang becak, bensin menjadi subjek utama untuk proses
pekerjaan mereka. Apa kata mereka? Apa kata orang-orang lain yang rejekinya
terbatas!?
Dan bagi orang awam, mereka berkomentar dengan cara spontan, yang
mengandung kata-kata tidak bermoral. Karena terbatasnya pengetahuan dan
informasi yang mereka miliki, maka terbataslah rasa pengertian yang mereka
tampilkan.
Ketika saya melewati jln. T. Umar Setui, Banda Aceh pada hari Selasa
(18/11/2014) kemarin, saya melihat warga-warga Banda Aceh yang dikawani oleh
rombongan Polisi dengan berjalan kaki, dengan spontannya mereka mengeluarkan
rasa keluh mereka, mereka berdemonstrasi di sepanjang jalan Banda Aceh. Ternyata
ketika saya menganalisis, banyak sekali masyarakat yang tidak setuju akan kenaikan
BBM saat ini. Karena bukan hanya tukang becak yang memerlukan banyak bensin,
bagi siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, dan pekerja-pekerja lainnya juga
membutuhkan bensin yang banyak ketika jarak rumah dengan tempat pendidikan dan
pekerjaan mereka jauh.
Saya pernah menonton acara Kick Andy di stasiun Metro TV, saya mendengar
pembicaraan Rhenald Kasali, seorang penulis buku yang sudah terkenal di Indonesia.
Beliau menyampaikan bahwa, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM adalah
untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Untuk memperbarui Sumber Daya Manusia
(SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia. Alasan pemerintah akan
menaikkan harga BBM supaya masyarakat Indonesia bisa lebih irit dan hemat, dan
para geng motor tidak menggunakan kendaraan dengan berlebihan atau over, serta
bisa berkurangnya polusi, sehingga angka kemiskinan di Indonesia berkurang dan
2. 122
pada akhirnya tidak ada lagi rakyat Indonesia yang miskin. Juga angka-angka
kematian karena kecelakaan juga berkurang.
Menurut analisa saya, itu suatu tujuan yang baik. Tetapi saya setuju akan
komentar dari Dewan Pembina Partai Demokrat, Dede Yusuf, menilai, “Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak kreatif dalam mencari sumber-sumber pemasukan
negara guna memenuhi janji-janji politiknya saat kampanye pada Pilpres 2014.
Seharusnya, kata dia, Pemerintah mencari dulu berbagai alternatif lain sebelum
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Pemerintah seolah mentok
habis ide mencari cara memenuhi janji-janji politik, akibatnya cari jalan pintas
menaikkan harga BBM. Ini jelas tergesa-gesa, pepatah Sunda mengatakan, 'ulah
gagabah kudu asak jeujeuhan', artinya dalam membuat keputusan harus dengan
pertimbangan matang, tidak tergesa-gesa" kata politisi Partai Demokrat, Dede Yusuf,
di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/11/2014). Jika pemerintah kreatif,
menurut dia, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk menggenjot pendapatan
negara. Pendapatan itu nantinya bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur,
kesehatan, dan pendidikan seperti yang diinginkan pemerintah. "Misalnya, dengan
cara menaikkan cukai rokok, nilainya hampir setara dengan efisiensi subsidi BBM,
selain menyehatkan keuangan negara, juga menyehatkan masyarakat," ujar mantan
Wakil Gubernur Jawa Barat ini. Menurut Ketua Komisi IX DPR ini, ketergesaan
pemerintah dapat dilihat jelas dari belum siapnya langkah-langkah antisipasi
terhadap gejolak sosial dampak akibat kebijakan tersebut. Tiga kartu Jokowi, yakni
Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera, menurut
Dede, belum cukup. "Bahkan, (kartu itu) simpang siur sumber pendanaan serta
penerapannya," ujar Dede. Langkah terburu-buru pemerintah, lanjut dia, tampak juga
dalam pemilihan waktu pengumuman yang berbarengan dengan negosiasi penetapan
upah minimum buruh di berbagai wilayah Indonesia. Dede meyakini, hal tersebut
akan mempengaruhi besaran nilai Komponen Hidup Layak (KHL) yang sedang
dinegosiasikan buruh dengan pemerintah daerah serta pengusaha. "Harga BBM yang
naik sebesar Rp 2.000.00,- ini otomatis akan melemahkan daya beli buruh, secara
otomatis pula akan menempatkan buruh yang selama ini rentan miskin menjadi
golongan miskin. Dengan demikian, menambah jumlah masyarakat miskin," ucap dia.
Dede menerangkan, pihaknya telah memanggil perwakilan buruh yang tergabung
dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) belum lama ini guna
mendengarkan penolakan kaum buruh terhadap kenaikan harga BBM. "Mereka
keberatan dengan kenaikan harga BBM, bahkan mereka ancam akan lakukan mogok
nasional di semua sektor," katanya.” (Penulis: Ihsanuddin, Editor: Fidel Ali Permana)
JAKARTA, KOMPAS.com.
Jika dikembalikan pada mekanisme hakiki demokrasi yang menjadikan suara
mayoritas rakyat sebagai pijakan untuk menjalankan kebijakan penguasa, sejatinya
membuat sikap Penguasa tunduk menuruti suara mayoritas rakyat yang menolak
BBM Naik. Namun apa yang dilakukan Penguasa negeri ini, justru sebaliknya, mereka
tetap ngotot dengan kehendaknya sendiri.
Apa yang dilakukan para Penguasa hari ini adalah bukti ‘konsistensi”
demokrasi, dimana “konsistensi” demokrasi adalah sikapnya yang akan senantiasa