Makalah Bahasa Arab - At-Tawaabi' Lismil Marfuu'
ArsipKuliahTarbiyah.Blogspot.Com
by : Haristian Sahroni Putra
At-tawaabi’ secara bahasa adalah bentuk plural dari At-taabi’, yaitu isim faa’il dari taba’a-yatba’u yang berarti yang mengikuti. Sedangkan secara istilah tawaabi’ (lafadz yang mengikuti) adalah isim yang mengikuti i’rab lafadz sebelumnya secara mutlak.
At-tawabi terbagi menjadi empat macam, yaitu: na’tun (نَعْتٌ), ‘athfun (عَطْفٌ), taukiidun (تَوْكِيْدٌ), dan badlun (بَدْلٌ).
Na’tu (نَعْتٌ) secara bahasa berarti sifat. Jamaknya adalah nu’uutun (نَعُوتٌ), sedangkan sinonimnya adalah shifatun (صفة). Secara istilah na’at atau disebut juga shifat adalah isim yang mengikuti isim yang lain dengan fungsi untuk menjelaskan sifat dari isim sebelumnya. Na’at atau sifat wajib mengikuti mausufnya dalam empat hal, (1) i’rab, (2) mudzakkar dan muannats, (3) ma’rifat dan nakirah, dan (4) mufrad, mutsanna dan jama’.
Secara bahasa athaf berarti condong atau cenderung. Sedangkan secara istilah athaf adalah isim yang mengikuti isim lainnya dengan perantara huruf athaf. Adapun huruf-huruf athaf itu adalah: (1) وَ = dan (2) ف = maka (3) ثم = kemudian (4) أو = atau (5) أم = ataukah (6) حتى = sehingga (7) لكن = tetapi (8) لا = tidak (9) بل= melainkan. Ketika ma’thuf dihubungkan pada ma’thuf ‘alaih dengan huruf athaf maka i’rabnya mengikuti i’rabnya ma’thuf ‘alaih. Huruf athaf berfungsi bukan saja mangatafkan isim kepada isim, tetapi juga berlaku dalam mengathafkan fi’il kepada fi’il.
Badal secara bahasa berarti merubah atau mengganti. Sedangkan secara istilah badal adalah isim yang mengikuti isim lain dan berfungsi untuk menggantikan mubdal minhu (yang digantikannya). Badal terbagi menjadi empat macam, yaitu badal syai minasysyai atau badal kul minal kul, badal ba’dh minal kul, badal isytimal, dan badal ghalath.
Taukid secara bahasa adalah mengokohkan dan menguatkan. Taukid adalah isim yang mengikuti isim lain yang berfungsi untuk menguatkan arti (pengeras arti) dan menghilangkan keraguan si pendengar. Taukid itu mengikuti muakkad dalam lafazh, nashab, khafadh dan ma’rifatnya. Taukid terbagi kepada dua bagian, yaitu lafzhi dan ma’nawi. Taukid lafzhi, yaitu taukid yang lafazhnya diulangi sebanyak dua atau tiga kali, baik isim atau fi’il, atau taukid dengan mengulang lafazh muakkad atau lafazh lain. Sedangkan taukid ma’nawi, yaitu taukid dengan menggunakan lafazh tertentu, diantaranya: النَّفْسُ الْعَيْنُ كُلُّ أَجْمَعُ كِلَا كِلْتَ dan kata-kata yang mengikuti أَجْمَعُ, yaitu اكتمع ابتع ابصع.
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah l yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan
hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang
namanya populer dan berkibar di seluruh dunia, Nabi besar Muhammad n. Dengan
perjuangan beliaulah kita dapat berada dalam cahaya islam dan iman.
Selanjutnya pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga pemakalah sangat
mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam penulisan
makalah selanjutnya.
Akhirnya pemakalah berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat pada
para pemakala khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Oktober 2014
Penulis
i
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 2
D. Metode Penelitian 2
BAB II AT-TAWAABI’ LI ISMI AL-MARFUU’ 3
A. Definisi At-Tawaabi’ 3
B. Pembagiaan At-Tawaabi’ 4
1. An-Na’tu 4
2. Al-Athfu 9
3. Al-Badlu 13
4. At-Taukiid 16
BAB III PENUTUP 21
A. Kesimpulan 21
DAFTAR PUSTAKA 23
ii
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu nahwu adalah salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang terpenting.
Karena dengan ilmu tersebut seorang muslim akan memahami warisan Nabi
yang tidak ternilai harganya, tuntunan dan pedoman hidup di dunia dan
akhirat, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Dan juga untuk memahami aqwal
(petuah-petuah) ‘ulama yang terangkum dalam kitab klasik yang dikenal
dengan istilah “Kitab Kuning” atau “Kitab Gundul”.
Salah satu kajian urgen dalam ilmu nahwu adalah haalatu raf’i al-ism dan
dalam makalah ini insya Allah pemakalah akan memaparkan bagian dari
haalatu raf’i al-ism yang ketujuh, yaitu at-tawaabi’.
Dengan merujuk kepada referensi ulama bahasa Arab klasik maupun
kontemporer disertai dengan pembahasan yang sistematik, pemakalah
berharap karya ini bisa bermanfaat bagi para mahasiswa dan seluruh kaum
muslimin dalam memahami nash-nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) serta kitab
ulama yang berbahasa Arab.
B. Rumusan Masalah
Beranjak dari latar belakang di atas maka pemakalah membatasi
pembahasan yang terangkun dalam beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa definisi at-tawaabi’ secara bahasa dan istilah?
2. Bagaimana pembagian dalam at-tawaabi’?
3. Apa itu na’at, athaf, badal dan taukid serta seluk beluknya?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahu definisi at-tawaabi’.
2. Mengetahui pembagian dalam at-tawaabi’.
1
5. 3. Mengetahui seluk beluk yang berkaitan dengan na’at, athaf, badal dan
taukid.
D. Metode Penelitian
Penulisan makalah dilakukan dengan menggunakan metode pustaka
(library reserch), yaitu mencari dan mengumpulkan data-data ilmiyah yang
relevan dengan tema yang dibahas dengan mencari bahan dan sumber-sumber
melalui rujukan yang terpercaya.
2
6. BAB II
AT-TAWAABI’ LI ISMI AL-MARFUU’
A. Definisi At-Tawaabi’
At-tawaabi’ secara bahasa adalah bentuk plural dari At-taabi’, yaitu isim
faa’il dari taba’a-yatba’u yang berarti yang mengikuti. Sedangkan pengertian
taabi’ secara istilah banyak dijelaskan oleh Ulama Bahasa Arab. Berikut
diantara pengertian taabi’ dinukil dari beberapa sumber:
1. Dalam Mulakhos Qawa’idul Lughatil ‘Arabiyyah, Fu’ad Ni’mah
menjelaskan:
1
Tawabi’ adalah kalimat-kalimat yang ketentuan i’rabnya mengikuti i’rab
kalimat sebelumnya baik itu marfu’, manshub atau majrur.
2. Dalam Al-Muyassar fiI Iilmin Nahwi, Aceng Zakariya menjelaskan:
2
Tawabi’ adalah isim-isim yang ketentuan i’rabnya tergantung i’rab isim
yang lain. Jika isim yang lain marfu’, maka ia ikut marfu’. Demikian pula
dalam hal mansub dan majrurnya.3
Dari beberapa pengertian di atas, bisa diambil pengertian paling
sederhana yaitu, “Tawaabi’ (lafadz yang mengikuti) adalah isim yang
mengikuti i’rab lafadz sebelumnya secara mutlak.”4
B. Pembagian At-Tawabi’
1
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar Ats-
Tsaqaafat Al-Islamiyyah), hlm. 51.
2
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 112.
3
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 173.
4
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 625.
3
7. At-tawabi terbagi menjadi empat macam, yaitu: na’tun (), ‘athfun (),
taukiidun (), dan badlun (). Adapun penjelasan secara komprehensif sebagai
berikut:
1. An-Na’tu
a. Definisi
Na’tu () secara bahasa berarti sifat. Jamaknya adalah nu’uutun (),
sedangkan sinonimnya adalah shifatun ().5
Para ulama dan pakar bahasa Arabpun banyak yang
mendefinisikan na’at, diantaranya sebagai berikut:
1) Ibnu Malik
Na’at yaitu tabi’ yang menyempurnkan makna lafazh yang
diikutinya dengan menjelaskan salah satu diantara sifat-sifatnya,
atau dengan menjelaskan sebagian dari lafazh yang berta’alluq
kepadanya, sedangkan ia menjadi penyebabnya.6
2) Aceng Zakaria
7
Na’at atau disebut juga shifat adalah isim yang mengikuti isim
yang lain dengan fungsi untuk menjelaskan sifat dari isim
sebelumnya.8
3) Syamsul Ma’arif
Na’at adalah tabi’ yang menjelaskan matbu’nya.9
5
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997 M), hlm. 1436.
6
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 626.
7
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 113.
8
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 173.
9
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 88.
4
8. 4) Muhammad bin Muhammad bin Dawud bin Abu ‘Abdillah as-
Shanhaji
Na’at adalah kata yang disebut setelah isim untuk menjelaskan
sebagian keadaan isim tersebut atau keadaan isim lain yang
berhubungan dengannya.10
5) Fuad Ni’mah
11
b. Ketentuan Na’at
Na’at atau sifat wajib mengikuti mausufnya dalam empat hal
sebagaimana disebutkan oleh Aceng Zakaria,12
yaitu sebagai berikut:
1) Dalam i’rab, contoh:
2) Dalam mudzakkar dan muannats, contoh:
3) Dalam ma’rifat dan nakirah, contoh:
4) Dalam mufrad, mutsanna dan jama’, contoh:
––
c. Pembagiaan Na’at
Na’at terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
10
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 136.
11
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar Ats-
Tsaqaafat Al-Islamiyyah), hlm. 51
12
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 174-175.
5
9. 1) Na’at haqiqi, yaitu na’at yang menjelaskan salah satu sifat kata
yang diikutinya. Atau na’at yang menjelaskan salah satu sifat kata
yang diikutinya (man’utnya).13
Contoh:
Melihat definisi na’at diatas, na’at itu adakalanya menjelaskan
sebagian keadaan man’ut dan adakalanya menjelaskan keadaan
kata lain yang berhubungan dengan man’utnya, na’at haqiqi inilah
yang menjelaskan sebagian keadaan man’ut.14
Catatan:
Na’at haqiqi ini merafakan dhamir mustatar atau dhamir yang
tersimpan yang kembali kepada man’ut.
Na’at haqiqi harus mengikuti man’utnya empat hal dari 10 hal,
maksudnya satu dari (i’rab rafa, nashab dan khafdh), satu dari
(mufrad, tatsniyah dan jama’), satu dari (ma’rifat dan nakirah) dan
satu dari (mudzakkar dan muannats).
Contoh:
Khalid yang ahli sastra telah datang
Murid yang rajin telah datang
Pada contoh tersebut na’at menjelaskan keadaan man’ut (kata
menjelaskan dan menjelaskan ). Kedua na’at tersebut merafakan
dhamir yang tersimpan yang kembali pada man’ut, yaitu . Dhamir
tersebut mahal-nya rafa’ karena berkedudukan sebagai fa’il. Ada
juga yang berkedudukan sebagai naibul fa’il, misalnya kalau
na’atnya berupa isim maf’ul seperti .
Pada contoh , kata digolongkan na’at haqiqi karena na’at
tersebut menjelaskan sifatnya man’ut dan merafa’kan dhamir
13
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 137.
14
Ibid., hlm. 137-134.
6
10. mustatar yang kembali pada man’ut. Karena, termasuk na’at
haqiqi maka harus mengikuti man’utnya dalam empat hal dari
sepuluh hal. Oleh sebab itu maka karena kata (selaku man’ut)
i’rabnya rafa’, maka ikut rafa’, kata mufrad, maka ikut mufrad,
kata ma’rifat maka ikut ma’rifat, dan kata mudzakkar, maka ikut
mudzakkar.
2) Na’at sababi, yaitu na’at yang disebut setelahnya.15
Atau na’at
yang menjelaskan salah satu sifat dari kata yang mempunyai
hubungan dan pertalian dengan kata yang diikutinya (man’utnya).16
Contoh:
Dengan demikian na’at sababi ini tidak menjelaskan sifatnya
man’ut tetapi menjelaskan sifatnya kata lain yang berhubungan
dengan man’ut. Contoh:
Kata menjadi na’at dan kata menjadi man’ut.
Kata menjadi na’at dan menjadi man’ut.
Pada contoh tersebut na’atnya tidak menjelaskan keadaan man’ut,
tetapi menjelaskan kata lain yang berhubungan dengan man’ut.
15
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 175.
16
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 139
7
11. Pada contoh pertama, yang bagus bukan tetapi tulisannya. Pada
contoh kedua yang bagus bukan tetapi bacaannya.17
Catatan:
Na’at sababi ini merafa’kan isim zhahir yang memuat dhamir yang
kembali kepada man’ut. Pada contoh pertama, kata merupakan
isim zhahir yang dirafa’kan oleh kata (kata menjadi fa’ilnya ).
Kata memuat dhamir ha yang kembali kepada man’ut, yaitu
kembali kepada .
Na’at sababi yang merafa’kan isim zhahir yang memuat dhamir
yang kembali pada man’ut itu harus mengikuti man’utnya dalam
dua hal dari lima hal, maksudnya satu dari (i’rab rafa, nashab, dan
khafdh) dan satu dari (ma’rifat dan nakirah). Pada contoh pertama
misalnya, kata (selaku man’utnya) i’rabnya rafa’, maka ikut
rafa’, kata maka kata ikut ma’rifat.
Na’at sababi ini selalu dalam bentuk mufrad walaupun man’utnya
berbentuik tatsniyah atau jama’. Dan dalam hal mudzakar dan
muannats disesuaikan dengan isim zhahir yang dirafa’kan, dalam
contoh kedua misalnya tetap mufrad walaupun man’utnya
tatsniyah. Dan karena isim zhahir yang dirafa’kan (yaitu kata )
muannats, maka kata ikut muannats, walaupun man’utnya
mudzakkar.18
d. Faidah Na’at
17
Ibid., 140
18
Ibid., hlm. 140-141.
8
12. Na’at memiliki faidah yang sangat penting untuk diketahui,
sebagaimana Behaud Din Abdullah bin ‘Aqil, beliau menyebutkan
beberapa faidah na’at diantaranya sebagai berikut:19
1) Untuk takhsish (mengkhususkan)
Aku telah bersua dengan Zaid tukang jahit.
2) Untuk memuji
Aku telah bersua dengan Zaid yang dermawan.
)(
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Faatihah[1]: 1)
3) Untuk mencela
Aku telah bersua dengan Zaid yang fasik (pendurhaka).
)(
Hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan
yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
4) Untuk ungkapan belas kasihan
Aku telah bersua dengan Zaid yang miskin.
5) Untuk ta’kid (pengukuhan)
Kemarin yang lewat tidak akan kembali.
)(
19
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 626-627.
9
13. “Maka apabila sangkakala ditiupsekali tiup.” (QS. Al-Haaqqah:
13)
2. Al-Athfu
a. Definisi
Secara bahasa athaf berarti condong atau cenderung.
Para ulama dan pakar bahasa Arabpun banyak yang
mendefinisikan athaf, diantaranya sebagai berikut:
1) Ibnu Malik
Athaf adakalanya untuk menjelaskan atau untuk merentetkan;
Athaf bayan adalah tabi’ yang menyerupai sifat, dengan
melaluinya makna yang dimaksud dapat terungkapkan.20
2) Aceng Zakaria
21
Athaf adalah isim yang mengikuti isim lainnya dengan perantara
huruf athaf.22
3) Syamsul Ma’arif
Athaf adalah tabi’ dengan perantaraan huruf.23
4) Muhammad bin Muhammad bin Dawud bin Abu ‘Abdillah as-
Shanhaji
فففففففف
Athaf nasaq (al-Ma’thuf bil-harfi) adalah tabi’ yang mengikuti
matbu’ yang antara keduanya diselai-selai oleh salah satu dari
beberapa huruf ‘athaf.24
20
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 656.
21
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 125.
22
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 176.
23
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 95.
24
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 147.
10
14. 5) Fuad Ni’mah
25
b. Huruf dan Contoh Athaf
Adapun huruf-huruf athaf itu adalah:
1) Dan, contoh:
2) Maka, contoh:
3) Kemudian, contoh:
4) Atau, contoh:
5) Ataukah, contoh:
6) Sehingga, contoh:
7) Tetapi, contoh:
25
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar Ats-
Tsaqaafat Al-Islamiyyah), hlm. 53.
11
15. 8) Tidak, contoh:
9) Melainkan, contoh:
c. Ketentuan Athaf
Apabila mengathafkan (menghubungkan) dengan huruf athaf pada
ma’thuf ‘alaih yang beri’rab rafa’ maka ma’thufnya dirafa’kan, jika
pada ma’thuf ‘alaih yang beri’rab nashab maka ma’thufnya
dinashabkan, jika pada ma’thuf ‘alaih yang beri’rab khafazh maka
ma’thuf ‘alaihnya dikhafadhkan dan jika ma’thuf ‘alaih yang beri’rab
jazm maka ma’thufnya dijazmkan. Misalnya kau katakan:
Dengan demikian, ketika ma’thuf dihubungkan pada ma’thuf ‘alaih
dengan huruf athaf maka i’rabnya mengikuti i’rabnya ma’thuf ‘alaih.26
Catatan:
Huruf athaf berfungsi bukan saja mangatafkan isim kepada isim, tetapi
juga berlaku dalam mengathafkan fi’il kepada fi’il. Contoh:
Lafadz adalah majzum karena didahului huruf jazm. sedangkan
lafazh menjadi majzum karena athaf kepada fi'il majzum sebelumnya
dengan huruf athaf.
26
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 148.
12
16. Demikian pula lafazh – – dst adalah manshub karena athaf kepada
yang manshub .27
Perbedaan antara dan adalah terletak pada kalimat setelahnya, kalau
setelahnya tidak berupa jumlah biasanya dibaca , sedangkan jika
setelahnya jumlah maka dibaca . Contoh:
(Farid fakir tetapi anaknya kaya, Hasan tidak tidur tetapi Husain)28
3. Al-Badlu
a. Definisi
Badal secara bahasa berarti merubah atau mengganti.29
Para ulama dan pakar bahasa Arabpun banyak yang
mendefinisikan badal, diantaranya sebagai berikut:
1) Ibnu Malik
Badal adalah tabi’ yang mempunyai maksud sama (dengan
mathbu’nya), tanpa memakai perantara.30
2) Aceng Zakaria
27
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 177-178.
28
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 95-96.
29
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997 M), hlm. 65.
30
Behaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011 M), hlm. 675
13
17. 31
Badal adalah isim yang mengikuti isim lain dan berfungsi untuk
menggantikan mubdal minhu (yang digantikannya).32
3) Syamsul Ma’arif
Badal adalah tabi’ yang menjadi sasaran dengan tanpa perantara.33
4) Muhammad bin Muhammad bin Dawud bin Abu ‘Abdillah as-
Shanhaji
Badal adalah tabi’ yang dimaksud dengan hukum tanpa ada
perantara ia dengan mathbu’nya.34
5) Fuad Ni’mah
35
b. Ketentuan Badal
Ketika kalimah isim digantikan oleh kalimah isim yang lain atau
kalimah fi’il digantikan oleh kalimah fi’il yang lain, maka badal harus
mengikuti mubdal minhu dalam semua i’rabnya.
I’rabnya badal itu mengikuti mubdal minhu. Apabila mubdal
minhunya rafa’ maka badalnya ikutnya rafa, apabila mubdal
minhunya nashab maka badalanya ikut nasab, dsb.36
c. Macam-Macam Badal
31
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 123.
32
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 180.
33
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 104.
34
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 157.
35
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar Ats-
Tsaqaafat Al-Islamiyyah), hlm. 56.
36
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 157-158.
14
18. Badal terbagi menjadi empat macam, yaitu badal syai minasysyai atau
badal kul minal kul, badal ba’dh minal kul, badal isytimal, dan badal
ghalath.
Misalnya seseorang hendak mengatakan,
Dia hendak mengatakan tapi keliru mengatakan , lalu kata dia ganti
dengan .37
1) Badal kul minal kul, yaitu badal yang mencakup sesuatu yang
lainnya. Atau badal yang cocok dan sesuai dengan mubdal
minhunya dalam hal makna. Contoh:
Zaid, yakni saudara laki-lakimu telah berdiri
Ibuku, yakni Bu Khadijah telah datang
Kata menjadi badal dari mubdal minhu dan kata menjadi badal
dari mubdal minhu . Kata digolongkan badal syai minasysyai
karena maknanya sama dengan mubdal minhunya. Kalau
dicermati, Zaid = saudaramu dan saudaramu = Zaid. Dua kata
tersebut tidak berbeda orang.
Demikian juga kata , kata ini juga digolongkan badal syai
minasysyai karena maknanya sama dengan mubdal minhunya,
karena yang dimaksud Ibuku adalah Bu Khadijah.38
2) Badal Ba’dh minal kul, yaitu badal sesuatu yang mencakup
sesuatu yang lain. Atau badal yang merupakan bagian dari mubdal
minhu. Contoh:
Kacanya sudah pecah, yakni setengahnya
37
Ibid., hlm. 158.
38
Ibid., hlm. 158-159.
15
19. Kata i’rabnya marfu’ karena menjadi fa’il. I’rab marfu’nya
ditandai dhammah karena isim mufrad. Kata i’rabnya ikut marfu’
karena menjadi badal dari kata . Adapun ha yang ada pada kata
adalah dhamir yang kembali pada kata . Kata itu dinamakan
badal ba’dh minal kul karena merupakan bagian dari mubdal
minhunya.
Pahami baik-baik! Sepertiga itukan bagian dari roti.39
3) Badal Isytimal, yaitu badal sesuatu mencakup sesuatu yang
lainnya. Atau badal yang termuat dalam mubdal minhu, dengan
syarat badal tersebut bukan juz (bagian) dari mubdal minhunya.
Contoh:
Zaid bermanfaat bagiku, yakni ilmunya
Kata itu digolongkan badal isytimal karena termuat dalam
mubdal minhunya. Artinya, Zaid memuat ilmu. Ilmu itu bukan juz
(bagian), tetapi ilmu termuat pada diri Zaid.40
4) Badal ghalath, adalah badal yang salah penyebutan. Dimana
seseorang terlanjur menyebutkan sesuatu yang salah lalu diikuti
lagi dengan penyebutan yang sebenarnya. Atau badal yang
digunakan untuk menggantikan mubdal minhu yang keliru.
Contoh:
Zaid telah datang, yakni kuda
Pada contoh diatas, sesorang hendak mengatakan (kuda telah
datang), tapi dia keliru mengucapkan (Zaid telah datang),
39
Ibid., hlm. 159-160.
40
Ibid., hlm. 160-161.
16
20. kemudian dia mengatakan untuk menggantikan yang keliru
ucap, sehingga menjadi .41
Catatan:
Untuk memudahkan mencari badal, perhatikanlah ciri-ciri dibawah ini:
a. Badal biasanya diartikan “yaitu”
b. Badal biasanya dijumpai setelah:
1) Nama orang, contoh:
2) Isim isyarat, contoh:
3) Pembagian, contoh:
42
4. AT-Taukiidu
a. Definisi
Taukid secara bahasa adalah mengokohkan dan menguatkan.43
Para ulama dan pakar bahasa Arabpun banyak yang
mendefinisikan taukiid, diantaranya sebagai berikut:
1) Aceng Zakaria
44
41
Ibid., hlm. 161.
42
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 181-182.
43
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997 M), hlm.
44
Aceng Zakaria, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan Islam,
1417 H), hlm. 119.
17
21. Taukid adalah isim yang mengikuti isim lain yang berfungsi untuk
menguatkan arti (pengeras arti) dan menghilangkan keraguan si
pendengar.45
2) Syamsul Ma’arif
Taukid adalah tabi’ yang menguatkan mathbu’nya.
3) Muhammad bin Muhammad bin Dawud bin Abu ‘Abdillah as-
Shanhaji
Taukid itu mengikuti muakkad dalam rafa’, nashab, khafadh, dan
ma’rifatnya.46
4) Fuad Ni’mah
47
b. Ketentuan Taukiid
Taukid itu mengikuti muakkad dalam lafazh, nashab, khafadh dan
ma’rifatnya.48
c. Pembagian Taukid
Taukid terbagi kepada dua bagian, yaitu lafzhi dan ma’nawi. Adapun
penjelasnnya sbb:49
1) Taukid lafzhi, yaitu taukid yang lafazhnya diulangi sebanyak dua
atau tiga kali, baik isim atau fi’il, atau taukid dengan mengulang
lafazh muakkad atau lafazh lain, contoh:
45
Aceng Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M), hlm. 178.
46
Syamsul Ma’arif, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan Jelas,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M), hlm. 99.
47
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan Kitab
Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M), hlm. 152
48
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar Ats-
Tsaqaafat Al-Islamiyyah), hlm. 45.
49
Ibid., hlm. 152-156.
18
22. Contoh yang mengulang lafazhnya:
Sulaiman, Sulaiman telah datang
Ahmad sedang puasa, Ahmad sedang puasa
Contoh yang mengulang lafazh lain:
Khalil sudah datang, sudah datang
2) Taukid ma’nawi, yaitu taukid dengan menggunakan lafazh tertentu,
diantaranya: dan kata-kata yang mengikuti , yaitu .
Zaid telah berdiri
Bakr telah dating sendiri
Fatimah telah pergi sendiri
Pada contoh pertama dan kedua, kata dan kata dinamakan
muakkad, kata dan dinamakan taukid. Kata dan i’rabnya rafa’
karena menjadi fa’il. I’rab rafanya ditandai dhammah karena isim
mufrad. Kata dan i’rabnya juga ikut rafa’ karena menaukidi kata
yang i’rabnya rafa’ dan menaukidi kata bakrun yang i’rabnya
juga rafa’. I’rab rafanya kata dan ditandai dengan dhammah
dikarenakan isim mufrad. Sedangkan ha () yang terdapat pada
kedua taukid tersebut adalah dhamir yang kembali pada muakkad.
Semua kaum telah datang
Semua kaum telah dating
Kata pada contoh diatas i’rabnya marfu’ karena men-taukidi kata
yang i’rabnya marfu’. I’rab marfu’nya ditandai wawu karena
jama’ mudzakkar salim.
19
23. Murid-murid di sekolahku bahagia semuanya, semuanya,
semuanya.
Kata pada contoh diatas semuanya mengalami i’rab rafa’ karena
men-taukidi kata yang i’rabnya rafa’, secara berurutan dari kanan
menjadi taukid pertama, kedua, ketiga, dan keempat. I’rab
rafa’nya ditandai dengan wawu karena jama’ mudzakkar salim.
Catatan:
Kata dan didatangkan untuk menghilangkan kemungkinan yang
tidak diinginkan. Misalnya ketika dikatakan dan maka
dimungkinkan yang berdiri bukan Zaid, yang datang bukan Bakr,
melainkan wakilnya, pembantunya atau yang lain. Tapi, setelah
didatangkan kata dan sebagai taukid, kemungkinan tersebut
menjadi tiada, yang berdiri adalah Zaid sendiri dan yang datang
adalah Bakar sendiri bukan wakilnya, pembantunya atau yang
lainnya.
Kata dan yang menjadi taukid itu boleh dijarkan dengan huruf
dengan huruf ba tambahan. Contoh: , artinya sama dengan .
Kata adalah untuk menunjukkan keseluruhan. Pada kalimat
dan masih dimungkinkan yang datang sebagian kaum dan yang
bahagian sebagian murid. Namun setelah ditaukidi dengan dan
menjadi dan kemungkinan tersebut menjadi tiada. Yang
20
24. datang bukan sebagian, yang bahagia bukan sebagian tapi
semuanya.
Kata ini umumnya tidak bisa dijadikan taukid kecuali bila
disebutkan setelah kata . Oleh karena itulah ketiga kata tersebut
dinamakan tawabi’u ajma’ah.
21
25. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
At-tawaabi’ secara bahasa adalah bentuk plural dari At-taabi’, yaitu isim
faa’il dari taba’a-yatba’u yang berarti yang mengikuti. Sedangkan secara
istilah tawaabi’ (lafadz yang mengikuti) adalah isim yang mengikuti i’rab
lafadz sebelumnya secara mutlak.
At-tawabi terbagi menjadi empat macam, yaitu: na’tun (), ‘athfun (),
taukiidun (), dan badlun ().
Na’tu () secara bahasa berarti sifat. Jamaknya adalah nu’uutun ( ),
sedangkan sinonimnya adalah shifatun (). Secara istilah na’at atau disebut
juga shifat adalah isim yang mengikuti isim yang lain dengan fungsi untuk
menjelaskan sifat dari isim sebelumnya. Na’at atau sifat wajib mengikuti
mausufnya dalam empat hal, (1) i’rab, (2) mudzakkar dan muannats, (3)
ma’rifat dan nakirah, dan (4) mufrad, mutsanna dan jama’.
Secara bahasa athaf berarti condong atau cenderung. Sedangkan secara
istilah athaf adalah isim yang mengikuti isim lainnya dengan perantara huruf
athaf. Adapun huruf-huruf athaf itu adalah: (1) = dan (2) = maka (3) =
kemudian (4) = atau (5) = ataukah (6) = sehingga (7) = tetapi (8) = tidak
(9) = melainkan. Ketika ma’thuf dihubungkan pada ma’thuf ‘alaih dengan
huruf athaf maka i’rabnya mengikuti i’rabnya ma’thuf ‘alaih. Huruf athaf
berfungsi bukan saja mangatafkan isim kepada isim, tetapi juga berlaku dalam
mengathafkan fi’il kepada fi’il.
Badal secara bahasa berarti merubah atau mengganti. Sedangkan secara
istilah badal adalah isim yang mengikuti isim lain dan berfungsi untuk
menggantikan mubdal minhu (yang digantikannya). Badal terbagi menjadi
22
26. empat macam, yaitu badal syai minasysyai atau badal kul minal kul, badal
ba’dh minal kul, badal isytimal, dan badal ghalath.
Taukid secara bahasa adalah mengokohkan dan menguatkan. Taukid
adalah isim yang mengikuti isim lain yang berfungsi untuk menguatkan arti
(pengeras arti) dan menghilangkan keraguan si pendengar. Taukid itu
mengikuti muakkad dalam lafazh, nashab, khafadh dan ma’rifatnya. Taukid
terbagi kepada dua bagian, yaitu lafzhi dan ma’nawi. Taukid lafzhi, yaitu
taukid yang lafazhnya diulangi sebanyak dua atau tiga kali, baik isim atau fi’il,
atau taukid dengan mengulang lafazh muakkad atau lafazh lain. Sedangkan
taukid ma’nawi, yaitu taukid dengan menggunakan lafazh tertentu,
diantaranya: dan kata-kata yang mengikuti , yaitu .
23
27. DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Fuad, Mulakhkhash Qawaa’id Al-Lughat Al-Arabbiyah, (Beirut: Daar
Ats-Tsaqaafat Al-Islamiyyah).
Zakaria, Aceng, Al-Muyyassar fii ‘Ilmi An-Nahwi, (Garut: Pesantern Persatuan
Islam, 1417 H).
, Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam, (Garut: Ibn Azka Press, 2004
M).
Abdullah, Behaud Din Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqi Jilid 2,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011 M).
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997 M).
Ma’arif, Syamsul, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktik Ringkas dan
Jelas, (Bandung: Nuansa Aulia, 2013 M).
Misbahussurur, Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu Terjemah Berikut Penjelasan
Kitab Al-Ajurumiyyah, (Cilacap: Ihya Media, 2009 M).
24