High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
Perdarahan, Trombosis, dan DIC
1. 1
Perdarahan, Trombosis, dan DIC
Pendahuluan
Trombosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh pembentukan trombus pada pembuluh darah
atau ruang jantung. Trombus ini akan menyumbat aliran darah sehingga dapat menyebabkan infark,
stroke, atau gagal multiorgan lainnya. Penyakit ini cenderung asimtomatik dan seringkali terjadi
misdiagnosis. Menurut CDC, sekitar 900.000 orang (1-2 dari 1000 orang) di US diperkirakan menderita
DVT/PE setiap tahunnya. Sebanyak 10-30% dari penderita DVT/PE juga akan mengalami rekurensi
dalam 10 tahun sejak kejadian pertama. Dari sekian banyak penderita DVT/PE, sekitar 10%-nya
meninggal dalam 1 bulan setelah diagnosis.(1)
Dari studi di enam negara Eropa diperkirakan terdapat
>460.000 kasus DVT, >295.000 kasus PE, dan >350.000 kasus lainnya terkait dengan VTE, dengan angka
kematian mencapai >370.000 kasus per tahun.(2)
Hemostasis Dasar
Segala gangguan pada endotel vaskular merupakan stimulus yang poten untuk membentuk formasi
clot. Formasi ini bertujuan untuk menjaga kontinuitas vaskuler, mencegah kehilangan darah, dan
memulai proses healing. Tubuh mencegah formasi clot berlebih agar tidak menjadi trombosis yang
patologis melalui berbagai mekanisme seperti antikoagulan, inhibitor faktor koagulasi, dan enzim
fibrinolitik. Sebagian besar kelainan pada hemostasis melibatkan satu atau beberapa faktor dalam
proses koagulasi.(3)
Pemahaman yang baik mengenai hemostasis dasar akan memudahkan kita
memahami berbagai penyakit atau kelainannya.
Hemostasis didefinisikan sebagai terminasi perdarahan melalui proses koagulasi kompleks, yang
terdiri dari vasokonstriksi, agregasi trombosit, dan sintesis trombin dan fibrin.(4)
Hemostasis terdiri
dari hemostasis primer, sekunder, dan tersier(5)
Pada hemostasis primer, ketika terjadi luka atau
trauma, pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi sehingga aliran darah akan melambat. Pada
keadaan ini trombosit menempel pada matriks subendotel dengan reseptor GPIa/IIa dan vWf
berikatan dengan kolagen dengan reseptor GPIb/XI-V. Interaksi ini menyebabkan trombosit teraktivasi
dan mengalami perubahan bentuk dengan pseudopodia. Faktor vW dan fibrinogen bekerja sebagai
ligan yang mempermudah pembentukan formasi trombus.(3)
Pada hemostasis sekunder terjadi interaksi antara faktor pembekuan dan antikoagulan, melalui jalur
ekstrinsik dan intrinsik. Berbagai interaksi tersebut dapat dilihat dalam Bagan 1.(6)
2. 2
Bagan 1 Kaskade Koagulasi
Pada fase inisiasi, koagulasi dipicu oleh Tissue Factor (TF), yang dengan faktor VIIa akan mengaktifkan
faktor IX dan X dan kemudian bersama faktor VIII dan V sebagai kofaktor akan menghasilkan sedikit
formasi trombin. Trombin ini yang akan mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pada fase amplifikasi,
sejumlah trombin yang berasal dari TF-bearing cell (seperti monosit) akan mengamplifikasi reaksi
koagulasi, mengaktifkan faktor V dan VIII, dan menghasilkan trombin dalam jumlah lebih banyak.
Trombin ini mengaktifkan faktor XI. Pada fase propagasi, pada permukaan trombosit yang sedang
aktif, faktor XIa mengaktifkan faktor IXa. Faktor IXa yang aktif ini, bersama IXa yang telah diaktifkan
TF-VIIa sebelumnya membentuk kompleks dengan faktor VIIIa. Faktor IXa dan VIIIa akan mengaktifkan
faktor X, menghasilkan protrombinase kompleks dengan faktor Va. Proses ini menghasilkan trombin
dalam jumlah jauh lebih banyak.(7)
Saat kaskade berlangsung tubuh secara fisiologis juga akan membentuk mekanisme antitrombosis
yang mencegah clotting berlebihan. Sel endotel akan memproduksi prostasiklin, NO, dan
ectoADPase/CD39 yang dapat menghambat ikatan agregasi trombosit.(8)
Sel endotel juga
memproduksi antikoagulan seperi heparan proteoglikan, antitrombin, TF pathway inhibitor (TFPI),
dan trombomodulin. Interaksi mekanisme antitrombosis dapat dilihat pada Bagan 2.
3. 3
Bagan 2 Mekanisme Antitrombosis
Antitrombin (AT) akan menetralkan trombin dan faktor koagulasi lainnya dan berlangsung di
permukaan vaskular, dimana glycosaminoglikan dan heparin sulfat mengkatalisasi proses tersebut.
Defisiensi atau gangguan fungsi AT akan menyebabkan predisposisi kejadian tromboemboli. Protein C
adalah glikoprotein plasma yang bersifat antikoagulan ketika diaktifkan oleh trombin. Protein C yang
aktif berfungsi menghambat faktor V dan VIII. Reaksi ini dipercepat dengan adanya kofaktor protein
S. Gangguan pada protein C atau S ini akan menyebabkan gangguan hiperkoagulasi.
TFPI menghambat jalur ekstrinsik yang dipicu oleh TF. TFPI akan menghambat TF/FVIIa/FXa sehingga
jalur tersebut hanya tergantung pada amplifikasi yang diaktifkan oleh trombin via faktor XI dan VIII.
TFPI dihasilkan dari sel endotel yang diaktifkan oleh heparin, dan dari trombosit.
Sel endotel akan mengaktivasi mekanisme fibrinolisis, yang merupakan hemostasis tersier. Proses
fibrinolisis terbagi menjadi 3 tahap, yaitu Plasminogen activator inhibitor (PAIs) menghambat
plasminogen aktivator; thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI) menghambat fibrinolisis; dan
α2-antiplasmin menghambat plasmin.(6)
Proses ini digambarkan lebih jelas pada Bagan 3.
4. 4
Bagan 3 Proses Fibrinolisis pada hemostasis tersier
Perdarahan
Gangguan perdarahan dapat berupa penyakit yang diturunkan atau didapat. Anamnesis pasien dan
riwayat keluarga merupakan kunci untuk mengetahui gejala kronik atau penyakit yang diturunkan.
Dari riwayat penyakit dapat diketahui apakah etiologi dari bleeding atau trombosis, dan apakah
tendensi bleeding atau trombosis disebabkan oleh kondisi medis lain.(6)
Kelainan hemostasis ini dibagi menjadi 2, yaitu gangguan hemostasis primer dan sekunder. Gangguan
hemostasis primer melibatkan pembuluh darah dan trombosit, sedangkan hemostasis sekunder
melibatkan faktor-faktor koagulasi.
Manifestasi Klinis
Dalam praktik dapat ditemukan pasien dengan perdarahan yang abnormal atau berlebihan, seperti
epistaksis, menorrhagia, prolonged bleeding pasca operasi, atau perdarahan postpartum. Gejala pada
kulit bisa tampak sebagai memar yang tak jelas penyebabnya, petekie, purpura, ekimosis, atau
telangiektasis. Pasien dengan kondisi kritis dapat mengalami perdarahan abnormal pasca pungsi vena,
perdarahan traktus gastrointestinal dan traktus genitourinarius. Pasien dapat pula datang tanpa
keluhan namun dengan tes laboratorium yang tidak disengaja menunjukkan risiko perdarahan.
Berdasarkan patogenesisnya, perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh gangguan pada trombosit,
gangguan kaskade koagulasi, atau defek pembuluh darah. Selengkapnya ditunjukkan dalam tabel
berikut:(9)
5. 5
Tabel 1 Penyebab Gangguan Perdarahan dilihat dari patogenesisnya
PLATELET DISORDER
Decreased
number of
platelets
(quantitative
disorder)
Produksi inadekuat (eg, in leukemias, aplastic anemia, dan myelodysplastic
syndromes)
Splenic sequestration (misal sirosis dengan kongesti splenomegali)
Peningkatan destruksi dan konsumsi trombosit (misalnya idiopathic
thrombocytopenic purpura, DIC, thrombotic thrombocytopenic purpura, hemolytic-
uremic syndrome, sepsis, dan HIV)
Drug-induced destruction (misalnya heparin, quinidine, sulfonamides, sulfonylureas,
rifampin, atau garam emas)
Increased
number of
platelets
(quantitative
disorder)
Trombositemia esensial (thrombosis lebih sering daripada bleeding)
Inadequate
platelet
function
(qualitative
disorder)
Von Willebrand's disease (VWF-mediated platelet adhesion yang inadekuat)
Drug-induced dysfunction (misalnya aspirin or NSAIDs)
Systemic disorders (uremia, myeloproliferative atau myelodysplastic syndromes,
multiple myeloma)
COAGULATION DISORDER
Acquired Defisiensi vitamin K
Penyakit liver
Antikoagulan dengan warfarin atau heparin
DIC
Hereditary Hemophilia A (factor VIII deficiency)
Hemophilia B (factor IX deficiency)
VASCULAR DISORDER
Acquired Vitamin C deficiency
Henoch-Schönlein purpura
Hereditary Connective tissue disorders (eg, Ehlers-Danlos syndrome, osteogenesis imperfecta,
Marfan syndrome)
Hereditary hemorrhagic telangiectasia
DIC = disseminated intravascular coagulation; VWF = von Willebrand's factor.
S
Dari sekian banyak di atas, yang paling sering ditemukan sebagai penyebab perdarahan adalah severe
trombositopenia, penggunaan antikoagulan berlebih, dan penyakit liver.
6. 6
Diagnosis Perdarahan
Gangguan perdarahan dapat dievaluasi dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, disertai
pemeriksaan laboratorium yang terintegrasi dengan tatalaksana yang diberikan. Pada beberapa
kasus, evaluasi merupakan bagian dari diagnosis dan tatalaksana penyakit.
Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit sebelumnya, apakah ada riwayat perdarahan
abnormal, lokasi perdarahan, jumlah dan durasi, serta pencetusnya. Anamnesis dilakukan sistematis
dan ditelaah sesuai dengan keluhan awal yang muncul (misal adanya epistaksis tanpa penyebab yang
jelas perlu ditanyakan keluhan sehubungan perdarahan lainnya seperti gusi mudah berdarah atau
sendi yang sering memar). Riwayat penyakit berat sebelumnya seperti infeksi berat, keganasan,
sirosis, HIV, SLE, riwayat perdarahan abnormal sebelumnya, serta riwayat perdarahan pada keluarga.
Riwayat penggunaan obat, terutama heparin, aspirin, warfarin, atau antikoagulan lainnya. Tanyakan
pula apakah pasien menggunakan obat herbal (yang dapat mengurangi metabolisme warfarin) dan
meningkatkan efek antikoagulan.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital untuk mencari apakah ada gangguan
hipovolemia atau takikardi, atau tanda infeksi. Pada kulit diperiksa apakah terdapat petekie, purpura,
telangiektasis, rektal touche (untuk perdarahan traktus GI). Dilakukan pula pemeriksaan jaringan yang
lebih dalam seperti nyeri pada gerakan, bengkak, hematoma, atau gejala perdarahan intrakranial.
Pemeriksaan lain yang dapat mengarahkan ke penyakit liver, yakni asites, splenomegali, dan kuning.
Perdarahan pada tempat yang superfisial seperti kulit dan mukosa kemungkinan gangguan pada fungsi
atau jumlah trombosit atau defek pada pembuluh darah. Perdarahan pada jaringan yang dalam
(seperti hemarthrosis, perdarahan retroperitoneal, hematoma otot) kemungkinan terdapat defek
sistem koagulasi. Perdarahan pada wanita hamil, atau yang baru saja melahirkan, pasien dengan syok
atau infeksi berat kemungkinan sudah terjadi DIC. Riwayat perdarahan pada keluarga dapat dicurigai
hemofilia, gangguan trombosit, penyakit von Willebrand, atau telangiektasis hemoragik herediter.
Pasien dengan penyakit liver kemungkinan terdapat gangguan koagulopati, splenomegali, atau
trombositopenia.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan diantaranya ditunjukkan dalam tabel berikut:(9)
Tabel 2 Pemeriksaan Laboratorium yang dianjurkan
Tes Tujuan
Fase inisiasi
Jumlah trombosit Quantifies platelet number
Agregasi trombosit Evaluates adequacy of platelet responsiveness to physiologic stimuli that activate
platelets (eg, collagen, ADP, arachidonic acid)
Detects abnormal patterns in hereditary or acquired platelet functional disorders
VWF antigen Measures total concentration of plasma VWF protein
VWF multimer
composition
Evaluates distribution of VWF multimers in plasma (eg, large multimers are
missing in type 2 variants of VWD)
Aglutinasi Ristocetin Screens for large multimers of VWF in plasma (often done as part of routine
laboratory evaluation for VWD—see Diagnosis)
7. 7
Ristocetin cofactor
activity
Quantifies large multimers of VWF in plasma (see Diagnosis)
Formation of fibrin
PT Screens for the factors in extrinsic and common pathways (factors VII, X, and V;
prothrombin; and fibrinogen)
PTT Screens for the factors in intrinsic and common pathways (prekallikrein; high
molecular weight kininogen; factors XII, XI, IX, VIII, X, and V; prothrombin; and
fibrinogen)
Specific functional
assays for coagulation
factors
Determines activity of the specific coagulant factor tested as a percentage of
normal
Thrombin time Evaluates the last step of coagulation (thrombin cleavage of fibrinogen to fibrin)
Is prolonged by heparin activation of antithrombin and in conditions resulting in
qualitative fibrinogen abnormalities or hypofibrinogenemia
Reptilase time If it is normal and thrombin time is prolonged, provides presumptive evidence
that a plasma sample contains heparin (eg, residual heparin after extracorporeal
bypass or in a sample drawn from an IV line kept open with heparin flushes)
because reptilase time is not affected by heparin activation of antithrombin
Fibrinogen level Quantifies plasma fibrinogen, which is increased in acute phase reactions and
decreased in severe liver disease and severe DIC
Fibrinolysis
Clot stability during 24-
h incubation in saline
and in 5M urea
Causes lysis of clots in saline if fibrinolytic activity is excessive or in 5M urea if
factor XIII is deficient
Should be done in patients with defective wound healing or frequent miscarriages
Plasminogen activity Quantifies plasma plasminogen, which is decreased in patients with congenital
early-onset venous thromboembolism (rare)
α2-Antiplasmin Quantifies plasma level of this fibrinolysis inhibitor, which is reduced in patients
with excessive bleeding due to increased fibrinolysis (rare)
Serum fibrinogen
andfibrin degradation
products
Screens for DIC
Increased levels when plasmin has acted on fibrinogen or fibrin in vivo (eg, in DIC)
Superseded by plasma D-dimer assay
Plasma D-dimer Is measured with a monoclonal antibody latex agglutination test or with an ELISA
If high, indicates that thrombin has been generated in vivo with resultant
deposition of fibrin, activation of the cross-linking enzyme factor XIII, and
secondary fibrinolysis
Has the practical advantage that it can be done on citrate-treated plasma and
thus, unlike the test for serum fibrin degradation products, does not require
blood clotting in a special tube to prepare serum free of residual fibrinogen
Is useful in the diagnosis of in vivo thrombosis (eg, deep venous thrombosis,
pulmonary embolism), especially the sensitive ELISA version
ADP =adenosine diphosphate; DIC = disseminated intravascular coagulation; ELISA = enzyme-linked
immunosorbent assay; VWD = von Willebrand's disease; VWF = von Willebrand's factor.
8. 8
Tata Laksana
Penatalaksanaan gangguan perdarahan dilakukan sesuai dengan kondisi medis yang ada (underlying
disease). Fresh Frozen Plasma (FFP) digunakan untuk perdarahan yang disebabkan gangguan
koagulopati yang belum diketahui penyebabnya, sebelum terapi definitif diberikan.
Trombosis
Definisi
Hemostasis merupakan proses fisiologis penting untuk mekanisme menghentikanperdarahan. Namun
koagulasi yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya trombus/trombosis. Trombosis adalah
“proses pembentukan trombus atau adanya trombus dalam pembuluh darah atau ruang jantung.”(5)
Trombosis dapat juga didefinisikan sebagai “hemostasis di tempat yang tidak semestinya”.(10)
Patogenesis
Patogenesis trombosis pada prinsipnya sama dengan hemostasis, yaitu melibatkan 3 faktor: pembuluh
darah, protein koagulasi, dan trombosit. Trombosis dapat terjadi baik dalam pembuluh arteri
(trombus putih) maupun vena (trombus merah). Namun terdapat perbedaan patogenesis antara
trombosis arteri dengan trombosis vena karena perbedaan dalam aliran darah, faktor risiko, dan peran
pembuluh darah itu sendiri, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2 di bawah ini.
Trombosis Vena
Venous Thromboembolism (VTE) terdiri dari deep vein thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism
(PE). DVT sering terjadi pada vena besar di kaki. Trombus yang lepas dapat ikut sirkulasi dan
menyumbat vena yang lebih kecil seperti di paru. Terdapat trias Virchow mengenai penyebab
trombosis vena, yaitu stasis vena, vascular endothelial injury, dan hiperkoaguabilitas darah.(7)
Stasis vena memudahkan pembentukan trombus karena kegagalan membersihkan faktor koagulan
dari lokasi injury, hipoksia lokal, dan mengaktivasi endotel. Endotel menghasilkan molekul selectin
yang membuat TF-bearing mikropartikel menempel, menginisiasi koagulasi, dan terjadi pembentukan
clot.(11)
Clot ini akan membesar menjadi trombus disebabkan karena gangguan fungsi vena yang lama,
kondisi hiperkoagulasi, gangguan antikoagulan endogen, dan gangguan sistem fibrinolisis. Sebagian
besar trombosis vena terdiri dari sel darah merah dan sejumlah besar fibrin. Oleh karena aktivasi
sistem koagulasi ini merupakan penyebab utama trombosis vena, maka terapi utama untuk mengatasi
VTE adalah dengan menggunakan terapi antikoagulan.
Trombosis Arteri
Ruptur plak aterosklerosis merupakan pemicu utama terjadinya trombosis arteri, yang membuat
sumbatan parsial atau total. Rupturnya plak menyebabkan terpaparnya lipid core yang mengandung
banyak TF dan fragmen kolagen. TF dan kolagen ini sangat trombogenik.(12)
Saat plak ruptur, trombosit akan berkumpul di lokasi tersebut, terjadi agregasi dan menyebabkan
trombus berkembang dengan cepat. Kaskade koagulasi terjadi di lokasi ini, terbentuk trombin yang
akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang aktif akan melakukan rekruitmen, adhesi, agregasi, dan
aktivasi trombosit lainnya.(13)
Atrial fibrilasi merupakan penyebab aritmia utama dan meningkatkan risiko stroke 4-5 kali lebih tinggi
pada semua usia.(14)
Pada AF dengan riwayat tromboemboli, sel endotel atrium menghasilkan faktor
vW dan TF lebih tinggi dibanding lokasi lain. Formasi trombus atrium kiri pada pasien dengan AF
9. 9
memenuhi trias Virchow. Pada AF, trombosis yang terjadi berupa venous-type clot sehingga terapi
efektifnya menggunakan antikoagulan.(15)
Walaupun patogensis trombosis vena dan arteri berbeda, secara umum faktor risikonya sam, yaitu
usia, obesitas, merokok, diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, dan sindrom metabolik.(6)
Selain
itu terdapat faktor risiko lain seperti operasi, kehamilan, penyakit jantung, penyakit neurologi,
keganasan riwayat VTE, imobilisasi, golongan darah, dan kontrasepsi oral.(5)
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis trombosis tergantung dari lokasi dan besarnya trombus. Misalnya trombosis pada
arteri di otak akan menyebabkan stroke iskemik. Trombosis pada koroner akan menyebabkan infark
miokard. Trombosis pada arteri perifer akan menyebabkan gangren atau nekrosis.
Gambar 2 Gambaran Proses Patogenesis Trombosis Vena
Gambar 3 Proses Patogenesis Trombosis ArteriGambar 4 Gambaran Proses
Patogenesis Trombosis Vena
Gambar 1 Proses Patogenesis Trombosis Arteri
10. 10
Tata Laksana
Penatalaksanaan trombosis bertujuan untuk mencegah meluasnya trombus, mengurangi rekurensi,
mencegah terbentuknya emboli dan post-trombotik sindrom. Untuk itu diperlukan obat-obat
antitrombotik yang terbagi dalam 3 golongan:
Antikoagulan, merupakan obat dengan cara kerja menghambat pembekuan darah secara
langsung pada pembekuan darah sebagai antitrombin III, dan secara tidak langsung dengan
memutuskan rangkaian faktor pembekuan IX, X, VII dan II. Antikoagulan diindikasikan pada
DVT, infark miokard, angina pektoris tidak stabil, trombosis berulang, dan terapi profilaksis.
Kontraindikasinya berupa absolut, yaitu perdarahan aktif, perdarahan serebrospinal, riwayat
alergi heparin, trombositopenia terinduksi hormon, dan diatesis hemoragik. Kontraindikasi
relatif seperti ulkus peptikum, pasca operasi besar kurang dari 5 hari, dan trauma mayor yang
baru terjadi. Contoh obat ini adalah heparin dan warfarin.
Antiagregasi Trombosit, merupakan obat pilihan untuk pencegahan serangan iskemia oleh
trombus arterial. Indikasi diberikan antiagregasi trombosit yaitu untuk pencegahan serangan
iskemik akut. Contoh obat ini adalah aspirin dan klopidogrel.
Obat trombolitik, merupakan obat yang diberikan saat terjadinya emboli di arteri dan
mengurangi besarnya pembekuan darah pada DVT. Indikasi pemberiannya adalah infark
miokard, emboli paru, DVT, dan penyakit arteri oklusif kronis. Kontraindikasinya adalah
hipertensi berat, endokarditis, hamil trimestes pertama, gangguan fungsi hati, gangguan ginjal
dan usia tua dengan aterosklerosis.(16)
Saat ini antikoagulan yang berkembang pesat adalah direct factor Xa inhibitor (seperti rivaroxaban,
apixaban, edoxaban, betrixaban) dan direct thrombin inhibitor (seperti debigatran etexilate).
Gambaran target terapi dan mekanisme koagulasi yang dihambat dapat dilihat pada bagan 4 di bawah
ini.(7)
Bagan 4 Target Antikoagulan dalam penatalaksanaan trombosis
11. 11
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Definisi
Disseminated intravascular coagulation (DIC) adalah sindrom klinikopatologis yang dikarakteristikkan
dengan aktivasi koagulasi secara sistemik yang membentuk clot fibrin sehingga menyebabkan gagal
organ, disertai konsumsi trombosit dan faktor koagulasi sehingga menyebabkan perdarahan.(17)
DIC
terjadi pada 30-50% kasus sepsis dan diperkirakan terdapat 1% kasus dari seluruh kasus yang ada di
rumah sakit.(17,18)
Patogenesis
DIC bukanlah suatu diagnosis tersendiri, namun merupakan hasil dari underlying disease. Beberapa
penyakit yang dapat memicu timbulnya DIC dapat dilihat dalam tabel 3.(19)
Tabel 3 Proses atau Penyakit yang dapat memicu DIC
Kerusakan Jaringan
Trauma
Crush injury
Trauma CNS
Heat stroke
Luka bakar
Reaksi hemolitik transfusi
Acute transplant rejection
Obstetrik
Abruptio plasenta
Plasenta previa
Retained dead fetus syndrome
Amniotic fluid embolism
Uterine abortion
Toxemia of pregnancy
Neoplasia
Kanker
Leukemia
Kemoterapi kanker
Tumor lysis syndrome
Lain-lain
Syok
Cardiac arrest
Near drowning
Fat embolism
Aortic aneurysm
Giant hemangioma
Snake bites
Mikroorganisme
Gram positif bakteri
Gram negatif bakteri
Spiroceta
Ricketsia
Protozoa
Fungi
Virus
Proses atau penyakit-penyakit di atas dapat menginduksi terjadinya koagulasi sistemik, dengan
menginisiasi respons inflamasi sistemik atau lokal secara masif dengan mengeluarkan protease dan
berbagai sitokin sehingga merusak endotel vaskular.(20)
Kerusakan ini disertai vasodilatasi, loss of tight
junction antar endotel sehingga terjadi syok, terjadi aktivasi koagulasi dan pembentukan trombin
berlebihan. Hal ini menyebabkan terjadinya trombus lokal atau di tempat yang jauh, menjadikan
iskemia jaringan dan gagal organ multipel. Selain itu terjadi konsumsi trombosit dan faktor koagulasi
sehingga menyebabkan perdarahan.(21)
Mekanisme patogenesis DIC dapat dilihat pada Bagan 5 dan Bagan 6 di bawah ini.(22)
12. 12
Bagan 5 Mekanisme Disseminated Intravascular Coagulation
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis DIC sangat beragam, mulai dari perdarahan minimal seperti bercak biru pada tempat
suntikan, petekie, dan ekimosis, sampai perdarahan masif pada traktus gastrointestinal, paru, dan
sistem saraf pusat. Kondisi hiperkoagulasi pada DIC dapat menyebabkan oklusi pada mikrosirkulasi
dan menyebabkan gagal organ. Sedangkan pada pembuluh yang lebih besar dapat terjadi trombosis
dan emboli serebral. Akibat dari DIC ini menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi dari 30-80%
tergantung dari penyakit awalnya, keparahan DIC, dan usia pasien. Selengkapnya tanda dan gejala lain
DIC dapat dilihat pada tabel 4.(6)
Bagan 6 Pathway Patogenesis Disseminated Intravascular Coagulation
13. 13
Tabel 4 Manifestasi Klinis DIC pada beberapa sistem organ
Mikrovaskular trombosis
Neurologis Konvulsi, delirium, koma, multifokal kortikal infark
Pulmoner Hipoksemia, ARDS
Ginjal Oliguria, uremia, gagal ginjal
Gastrointestinal Ulkus mukosa, bowel infarction
Kulit Infark kulit, gangrene digital
Perdarahan
Neurologis Hemorrhagic infark, massive intracerebral bleeding
Pulmoner Pulmonary hemorrhage
Ginjal Hematuria
Gastrointestinal Mucous membrane and intestinal bleeding
Kulit Petechiae, purpura, epistaxis, generalized oozing from venipuncture sites and wounds
Diagnosis DIC
Tidak ada pemeriksaan khusus tertentu untuk dapat mendiagnosis atau mengeksklusi DIC secara pasti.
DIC adalah kondisi penyakit yang sangat dinamis. Namun pemeriksaan fisik dan laboratorium yang
relevan cukup dapat membantu mendiagnosis penyakit ini.(17)
Pemeriksaan lab yang dapat dilakukan
diantaranya aPTT, PT, D-Dimer, fibrinogen, dan TT. Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan pemeriksaan
fragmen protrombin 1+2, fibrinopeptida A, FDP, platelet factor-4, tes protamin dan repstilase.(23)
Selain ditemukannya manifestasi klinis seperti yang telah dijelaskan sebelumya, pada umumnya
pasien dengan DIC ditemukan pemanjangan PT dan atau aPTT, trombosit ≤ 100.000/µL3
atau terjadi
penurunan trombosit secara drastis; adanya schistosit (pecahan sel darah merah) pada blood smear,
dan peningkatan FDP. Namun tes yang paling sensitif untuk menunjukkan adanya DIC adalah FDP,
karena DIC jarang terjadi pada kadar FDP normal.(6)
Untuk mempermudah diagnosis, The ISTH Sub-Committee of the Scientific and Standardization
Committee (SSC) on DIC merekomendasikan sistem skor DIC, seperti tabel 5 di bawah ini.(21)
Semakin
tinggi skor, untuk setiap poin skoring DIC, akan meningkatkan mortalitas 1.25-1.29 kali lebih tinggi.(24)
Tabel 5 ISTH Diagnostic Scoring System for DIC
Risk assessment: Does the patient have an underlying disorder known to be associated with overt
DIC?
If yes: proceed
If no: do not use this algorithm
Order global coagulation tests (PT, platelet count, fibrinogen, fibrin related marker)
Score the test results
• Platelet count (>100 x 109
/l = 0; <100 x 109
/l = 1, <50 x 109
/l = 2)
• Elevated fibrin marker (e.g. D-dimer, fibrin degradation products) (no increase = 0, moderate
increase = 2, strong increase = 3)
• Prolonged PT (<3 s = 0; >3 but <6 s = 1; >6 s = 2)
• Fibrinogen level (>1 g/l = 0; <1 g/l = 1)
14. 14
Calculate score:
≥5 compatible with overt DIC: repeat score daily
<5 suggestive for non-overt DIC: repeat next 1–2 d
Diferensial Diagnosis
Penyakit liver kronik mempunyai keadaan yang mirip dengan DIC, seperti meningkatnya risiko
perdarahan, trombositopenia, berkurangnya sintesis faktor koagulasi dan meningkatnya FDP karena
berkurangnya hepatic clearance. Perbedaan mendasar dengan DIC adalah pada penyakit liver kronik
perubahan berbagai hasil lab tidak berlangsung dengan cepat. Selain itu terdapat perbedaan gejala,
yaitu pada penyakit liver didapatkan hipertensi portal atau hasil lab lain yang menunjukkan penyakit
tersebut.
Penyakit lain yang mirip dengan DIC adalah penyakit mikroangiopati seperti thrombotic
thrombocytopenia purpura yang menunjukkan gejala akut dengan trombositopenia, fragmentasi sel
darah merah, dan gagal multiorgan. Namun pada TTP tidak terdapat konsumsi faktor koagulasi atau
hiperfibrinolisis.(6)
Tata Laksana
Tata laksana DIC harus mengutamakan terapi pada underlying disease. Mengobati DIC tanpa
memperhatikan kondisi medis awal lebih sering menyebabkan kegagalan. Pada banyak kasus DIC
dapat teratasi secara spontan dengan teratasinya penyakit awal, misal bila DIC dipicu oleh infeksi
berat/sepsis. Pasien dengan DIC berat memerlukan kontrol hemodinamik, bantuan napas, dan
mungkin membutuhkan prosedur invasif.
Karena penyebabnya beragam, terapi DIC berbeda pada tiap kasus, apakah saat itu diperlukan faktor
pembekuan atau heparin yang perlu diberikan. Berapa jumlah dosis, indikasi dan bagaimana heparin
diberikan pada pasien DIC masih banyak ditemukan kontroversi. Terapi lain DIC mencakup AT III
sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang bervariasi. Berikut adalah detail mengenai terapi DIC
saat ini, ditunjukkan dalam Tabel 6.(25)
Tabel 6 Rekomendasi Terapi DIC menurut ISTH
Plasma dan Platelet
Transfusion of platelets or plasma (components) in patients with DIC should not primarily be based
on laboratory results and should in general be reserved for patients that present with bleeding
(Grade C, Level IV).
In patients with DIC and bleeding or at high risk of bleeding (e.g. postoperative patients or patients
due to undergo an invasive procedure) and a platelet count of <50 · 109/l, transfusion of platelets
should be considered (Grade C, Level IV).
In non-bleeding patients with DIC, prophylactic platelet transfusion is not given unless it is perceived
that there is a high risk of bleeding (Grade C, Level IV).
In bleeding patients with DIC and prolonged PT and aPTT administration of FFP may be useful. It
should not however be instituted based on laboratory tests alone but should be considered in those
with active bleeding and in those requiring an invasive procedure. There is no evidence that infusion
of plasma stimulates the ongoing activation of coagulation (Grade C, Level IV).
15. 15
If transfusion of FFP is not possible in patients with bleeding because of fluid overload, consider using
factor concentrates such as prothrombin complex concentrate, recognising that these will only
partially correct the defect because they contain only selected factors, whereas in DIC there is a
global deficiency of coagulation factors (Grade C, Level IV).
Severe hypofibrinogenaemia (<1 g/l) that persists despite FFP replacement may be treated with
fibrinogen concentrate or cryoprecipitate (Grade C, Level IV).
Antikoagulan
In cases of DIC where thrombosis predominates, such as arterial or venous thromboembolism,
severe purpura ful- minans associated with acral ischemia or vascular skin infarction therapeutic
doses of heparin should be considered.
In these patients where there is perceived to be a co-existing high risk of bleeding there may be
benefits in using continuous infusion UFH due to its short half-life and reversibility. Weight adjusted
doses (e.g. 10 l/kg/h) may be used without the intention of prolonging the aPTT ratio to 1.5–2.5
times the control. Monitoring the aPTT in these cases may be complicated and clinical observation
for signs of bleeding is important (Grade C, Level IV).
In critically ill, non-bleeding patients with DIC, prophylaxis for venous thromboembolism with
prophylactic doses of heparin or low molecular weight heparin is recommended (Grade A, Level IB)
Anticoagulant factor concentrates
Consider treating patients with severe sepsis and DIC with recombinant human activated protein C
(continuous infusion, 24 lg/kg/h for 4 d) (Grade A, Level Ib).
Patients at high risk of bleeding should not be given recombinant human activated protein C. Current
manufacturers guidance advises against using this product in patients with platelet counts of <30 ·
109/l. In the event of invasive procedures, administration of recombinant human activated protein
C should be discontinued shortly before
the intervention (elimination half-life % 20 min) and may be resumed a few hours later, dependent
on the clinical situation (Grade C, Level IV).
In the absence of further prospective evidence from randomised controlled trials confirming a
beneficial effect of antithrombin concentrate on clinically relevant end- points in patients with DIC
and not receiving heparin, administration of antithrombin cannot be recommended (Grade A, Level
Ib).
Antifibrinolytic Treatment
In general, patients with DIC should not be treated with antifibrinolytic agents (Grade C, Level IV).
Patients with DIC that is characterized by a primary hyperfibrinolytic state and who present with
severe bleeding could be treated with lysine analogues, such as tranexamic acid (e.g. 1 g every 8 h)
(Grade C, Level IV).
16. 16
Daftar Pustaka
1. Center for Disease Control and Prevention. Deep vein thrombosis (DVT) / pulmonary embolism (PE) —
Blood clot forming in a vein [Internet]. 2015 [cited 2015 Mar 27]. Available from:
http://www.cdc.gov/ncbddd/dvt/data.html
2. Cohen AT, Agnelli G, Anderson FA, Arcelus JI, Bergqvist D, Brecht JG, et al. Venous thromboembolism
(VTE) in Europe. The number of VTE events and associated morbidity and mortality. Thromb Haemost
[Internet]. 2007 Oct [cited 2015 Feb 21];98(4):756–64. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17938798
3. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. McGraw-Hill Medical; 2011.
4. Hemostasis. (n.d.) Mosby’s Medical Dictionary, 8th edition. (2009). Retrieved March 22 2015 from
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/hemostasis.
5. Tambunan KL. Patogenesis trombosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006. p. 755–8.
6. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine
18E Vol 2 EB. McGraw Hill Professional; 2012.
7. Turpie AGG, Esmon C. Venous and arterial thrombosis--pathogenesis and the rationale for
anticoagulation. Thromb Haemost [Internet]. 2011 Apr [cited 2015 Mar 1];105(4):586–96. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21225099
8. Furie B, Furie BC. Mechanisms of thrombus formation. N Engl J Med. 2008;359:938–49.
9. Moake JL. Excessive bleeding [Internet]. Merck Manual Professional Edition. 2013 [cited 2015 Mar 26].
Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and_oncology/hemostasis/excessive_bleed
ing.html#v972083
10. Macfarlane RG. Haemostasis: Introduction. Brit Med Bull 33:183, 1977.
11. López JA, Kearon C, Lee AYY. Deep venous thrombosis. Hematology Am Soc Hematol Educ Program
[Internet]. 2004 Jan 1 [cited 2015 Feb 25];2004(1):439–56. Available from:
http://asheducationbook.hematologylibrary.org/content/2004/1/439.abstract
12. Davies MJ. Coronary disease: The pathophysiology of acute coronary syndromes. Heart [Internet].
2000 Mar 1 [cited 2015 Mar 26];83(3):361–6. Available from:
http://heart.bmj.com/content/83/3/361.short
13. Mackman N. Triggers, targets and treatments for thrombosis. Nature [Internet]. Nature Publishing
Group; 2008 Feb 21 [cited 2015 Feb 8];451(7181):914–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/nature06797
17. 17
14. Lip GYH, Boos CJ. Antithrombotic treatment in atrial fibrillation. Heart. BMJ Publishing Group Ltd and
British Cardiovascular Society; 2006;92(2):155–61.
15. Singer DE, Albers GW, Dalen JE, Fang MC, Go AS, Halperin JL, et al. Antithrombotic therapy in atrial
fibrillation: American College of Chest Physicians evidence-based clinical practice guidelines. CHEST J.
American College of Chest Physicians; 2008;133(6_suppl):546S – 592S.
16. Acang N. Pemakaian dan pemantauan obat-obatan antitrombosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 795.
17. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guidelines for the diagnosis and management of disseminated
intravascular coagulation. British Committee for Standards in Haematology. Br J Haematol.
2009;145(February):24–33.
18. Matsuda T. Clinical aspects of DIC--disseminated intravascular coagulation. Pol J Pharmacol.
1995;48(1):73–5.
19. Kitchens CS. Thrombocytopenia and thrombosis in disseminated intravascular coagulation (DIC).
Hematology Am Soc Hematol Educ Program [Internet]. 2009 Jan 1 [cited 2015 Mar 25];2009(1):240–6.
Available from: http://asheducationbook.hematologylibrary.org/content/2009/1/240.abstract
20. Taylor FB. Studies on the inflammatory-coagulant axis in the baboon response to E. coli: regulatory
roles of proteins C, S, C4bBP and of inhibitors of tissue factor. Prog Clin Biol Res [Internet]. 1994 Jan 1
[cited 2015 Mar 25];388:175–94. Available from: http://europepmc.org/abstract/med/7831358
21. Taylor FB, Toh C-H, Hoots WK, Wada H, Levi M. Towards definition, clinical and laboratory criteria, and
a scoring system for disseminated intravascular coagulation. Thromb HAEMOSTASIS-STUTTGART-. FK
SCHATTAUER VERLAGSGESELLSCHAFT MBH; 2001;86(5):1327–30.
22. Levi M, Ten Cate H. Disseminated intravascular coagulation. N Engl J Med. Mass Medical Soc;
1999;341(8):586–92.
23. Sukrisman L. Koagulasi intravaskular diseminata. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 767.
24. Bakhtiari K, Meijers JCM, de Jonge E, Levi M. Prospective validation of the International Society of
Thrombosis and Haemostasis scoring system for disseminated intravascular coagulation*. Crit Care
Med. LWW; 2004;32(12):2416–21.
25. Wada H, Thachil J, Di Nisio M, Mathew P, Kurosawa S, Gando S, et al. Guidance for diagnosis and
treatment of DIC from harmonization of the recommendations from three guidelines. J Thromb
Haemost [Internet]. 2013 Feb 4 [cited 2015 Mar 25]; Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23379279