Dokumen ini membahas latar belakang evaluasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan relevansi RPJMN 2010-2014 dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Papua Barat. Evaluasi dilakukan untuk menilai pencapaian sasaran dan kinerja pembangunan serta menganalisis kesesuaian prioritas antara RPJMD dan RPJMN.
2. KATA PENGANTAR
Pujian, syukur, dan terima kasih kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkat dan rahmatNya tulisan dengan judul LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA
PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT 2010 dapat diselesaikan dengan
baik. Kegiatan Evaluasi ini telah diikuti oleh Universitas Papua selama 2 tahun berturut-
turut yaitu 2008, 2009, dan tahun 2010 merupakan keikutsertaan Universitas Papua yang
ketiga. Pengalaman yang dimiliki dalam melaksanakan EKPD dan tersedianya data yang
memadai diharapkan akan diperoleh hasil yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Kegiatan EKPD tahun 2010 ini memiliki nuansa yang sedikit berbeda dengan kegiatan-
kegiatan EKPD tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena EKPD 2010 bertepatan
dengan peralihan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 ke
RPJM 2010 – 2014. Oleh karenanya, EKPD 2010 akan diarahkan mencakup dua
kegiatan yaitu, pertama, mengevaluasi pelaksanaan PRJM 2004-2009 di Provinsi Papua
Barat dengan analisis sebagaimana evaluasi tahun lalu. Hasil evaluasi EKPD akan
memberikan gambaran yang utuh mengenai pelaksanaan RPJMN di daerah, baik
pencapaian maupun permasalahan dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mencapai target-target yang telah
ditetapkan tersebut. Kedua,d alam RPJMN 2010 – 2014 yang telah mulai dilaksanakan,
terjadi perubahan yang cukup besar dengan RPJMN sebelumnya. Untuk itu perlu
dilakukan evaluasi ex-ante tentang relevansi untuk membandingkan dan menilai RPJMD
di masing-masing provinsi dengan RPJMN yang baru.
Dengan memiliki data keterkaitan antara RPJMD di provinsi dan RPJMN, maka akan
diperoleh gambaran/masukan bagi pemerintah dalam menyusun kegiatan di daerah.
Hasil evaluasi ini juga dapat bermanfaat bagi daerah untuk menyesuaikan dokumen
perencanaan daerah terhadap RPJMN apabila diperlukan.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Papua Barat ini dibuat sebagai salah satu
pertanggungjawaban Tim Narasumber Provinsi Papua Barat kepada Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) sebagai mitra kerja.
Terselesainya tulisan ini sudah barang tentu tidak terlepas dari kerjasama yang baik
antara BAPPENAS dan Tim Evaluasi Provinsi Papua Barat, oleh karenanya pada
kesempatan ini patut disampaikan terima kasih yang tulus kepada Tim BAPPENAS yang
i
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
3. telah berbagi pengalaman, meluangkan waktu dan tenaga yang dimiliki demi perbaikan
kerja Tim Evaluasi Provinsi Papua Barat.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sesama Tim Evaluasi Provinsi yang telah
memberikan banyak masukan dan berbagi pengalaman dalam diskusi yang telah
memperkaya wawasan dalam melaksanakan pekerjaan ini. Kepada Kepala BP3D
Provinsi Papua Barat, Kepala BPS Provinsi Papua Barat dan berbagai instansi di
lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat yang telah membantu Tim Evaluasi Provinsi
Papua Barat pada kesempatan ini kami juga menghaturkan banyak terima kasih atas
kerjasamanya.
Disadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, masukan yang berupa saran
yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan laporan EKPD di masa
yang akan datang.
Manokwari, Desember 2010
Universitas Negeri Papua
Rektor,
Ir. Yan Pieter Karafir, MEc
ii
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
4. DAFTAR ISI
Kata Pengantar .………………………………………………………………………………….. i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………… iii
Daftar Tabel ……………..……………………………………………………………………… v
Daftar Gambar…………………………………………………………………………………… . vi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………. ....... 1
B. Tujuan dan Sasaran ………………………………………………………………… 2
C. Keluaran……………………………………………………….………………………. 3
BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 ……………………….. 4
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI .............. 4
1. Indikator ………………………………………………………………………… 4
2. Analisis Pencapaian Indikator ………………………………………………. 4
3. Rekomendasi Kebijakan………………………………………………………… 6
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS .... 7
1. Indikator ……………………………………………………………………….… 7
2. Analisis Pencapaian Indikator ………………………………….…………… 7
3. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………..………………… 15
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT .............................. 16
1. Indikator ………………………………..………………………………………. 16
2. Analisis Pencapaian Indikator ……………..………………………………..... 17
3. Rekomendsi Kebijakan …………………………………………………………. 55
D. KESIMPULAN .................................................................................................. 62
BAB III. RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI
1. Pengantar …………………………………………………….. ............................. 66
2. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional . …………..……………… 67
3. Rekomendasi ……………………………………………… ............. …………….. 64
a. Rekomendasi terhadap RPJMD Provinsi …………………………………… ..... 87
b. Rekomendasi terhadap RPJMN ………………………………………… …….. 89
BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................... 90
1. Kesimpulan ............................ …….................................................................... 90
2. Rekomendasi ......... ………………………………………………………………… 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 94
LAMPIRAN ……………………………………………………………………………………. 96
iii
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
5. DAFTAR TABEL
Tabel 1 Opini LKPD Papua Barat Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK RI ................. 11
Tabel 2 Target Pendidikan SMP di Papua Barat Tahun 2005-2009 …………………. 17
Tabel 3 Angka Partisipasi Kasar menurut Kabupaten/Kota dan Jenjang Pendidikan
Tahun 2007-2008 ………………..……………………………………………….… 18
Tabel 4 Angka Partisipasi Murni menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat
Tahun 2007 dan 2008 ………………………………………..…………………….. 20
Tabel 5 Jumlah dan Persentase Siswa Putus Sekolah menurut jenjang pendidikan
Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008 ………………………………………….. 21
Tabel 6 .... Angka Melek Aksara dan rata-rata lama sekolah penduduk berumur 15 Tahun
atau lebih di Papua Barat Tahun 2007 dan 2008 .............................................. 23
Tabel 7 Persentase Fasilitas Perpustakaan Terhadap Jumlah SLTP/SLTA
Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008 ……………………………………….. 25
Tabel 8 Persentase Fasilitas Laboratorium Terhadap Jumlah SLTP dan SLTA
Di Provinsi Papua Barat 2006-2008 ………………………………………………. 25
Tabel 9 Persentase jalan nasional dan jalan provinsi di Papua Barat Tahun 2004-2009 40
Tabel 10 Produk Domestik Regional Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan
Usaha 2005-2009 (Juta Rupiah) …………………..…………………………...... 44
Tabel 11 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2007 dan 2008 ........ 50
iv
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
6. DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Angka Kriminilitas di Papua Barat ................................................................. 4
Gambar 2 Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional di Papua Barat .. 5
Gambar 3 Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional di Papua Barat .. 6
Gambar 4. Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan
yang dilaporkan............................................................................................... 8
Gambar 5. Gender Development Index Papua Barat ...................................................... 12
Gambar 6. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan
Gender di Papua Barat ................................................................................. 13
Gambar 7 Gender Empaowerment Measurement di Papua Barat ................................ 14
Gambar 8 Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi kasar SD dan SMP
di Provinsi Papua Barat 2004-2009 18
Gambar 9 Angka melek huruf Provinsi Papua Barat 2004-2009................................. 22
Gambar 10 Angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan persentase
Gizi buruk di Papua Barat Tahun 2004-2009................................................. 27
Gambar 11 Laju pertumbuhan penduduk dan total fertility rate di Papua Barat
Tahun 2004-2009........................................................................................... 28
Gambar 12 Contaceprive prevalence rate, pertumbuhan pendapatan per kapita
Dan akngka melek huruf di Papua Barat Tahun 2004-2009.......................... 29
Gambar 13 Persentase laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua Barat Tahun
2004-2009................................................................................................... .. 27
Gambar 14 Indikator Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Barat tahun 2004-2009.......... 32
Gambar 15 PDRB Per Kapita Berdasarkan Harga Belaku di Papua Barat
Tahun 2004-2009 ......................................................................................... 33
Gambar 16 Indikator Pendukung PDRB Per Kapita Papua Barat, 2004-2009............. ... 30
Gambar 17 Laju Inflasi di Provinsi Papua Barat Tahun 2004-2009. ................................ 35
Gambar 18 Perkembangan nilai Rencana dan Realisasi PMA di Papua Barat
Tahun 2004-2009. ........................................................................................ 36
Gambar 19 Perkembangan nilai realisasi PMA di Papua Barat Tahun 2004-2009 .......... 38
Gambar 20 Perkembangan Nilai Tukar Petani di Papua Barat 2006-2009...................... 43
Gambar 21 Persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan di Papua Barat ............. ... 45
Gambar 22 Jumlah Tindak Pidana Kelautan di Papua Barat ........................................... 47
Gambar 23 Luas Lahan Konservasi di Papua Barat ........................................................ 49
Gambar 24 Penduduk Miskin di Papua Barat ................................................................. 51
Gambar 25 Indikator Pendukung Kemiskinan di Papua Barat ......................................... 52
Gambar 26 Tingkat Penggangguran Terbuka di Papua Barat ......................................... 54
v
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
8. BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat
tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan, penetapan,
pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu
tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan
mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana
pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan tersebut dilaksanakan.
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (Bappenas)
berkewajiban untuk melakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana pelaksanan RPJMN
tersebut.
Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010–2014. Siklus
pembangunan jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama dengan
siklus pembangunan 5 tahun di daerah. Sehingga penetapan RPJMN 2010-2014 ini tidak
bersamaan waktunya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi. Hal ini menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD tidak selalu
mengacu pada prioritas-prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi
relevansi prioritas/program antara RPJMN dengan RPJMD Provinsi.
Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Yang pertama adalah
evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dan yang kedua penilaian keterkaitan
antara RPJMD dengan RPJMN 2010-2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi
ex-post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu
pada tiga agenda RPJMN 2004 - 2009 yaitu agenda Aman dan Damai; Adil dan
Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang
telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi
dan analisis indikator pencapaian. Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 1
9. relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan
keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu
juga mengidentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN
2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014 adalah 1) Reformasi
Birokrasi dan Tata Kelola, 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4) Penanggulangan
Kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim Investasi dan Iklim
Usaha, 8) Energi, 9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, 10) Daerah
Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik, 11) Kebudayaan, Kreativitas dan
Inovasi Teknologi dan 3 prioritas lainnya yaitu 1) Kesejahteraan Rakyat lainnya, 2)
Politik, Hukum, dan Keamanan lainnya, 3) Perekonomian lainnya.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan
pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di daerah. Selain itu, hasil
evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan
pembangunan daerah.
Pelaksanaan EKPD dilakukan secara eksternal untuk memperoleh masukan yang lebih
independen terhadap pelaksanaan RPJMN di daerah. Berdasarkan hal tersebut,
Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan kegiatan Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) yang bekerja sama dengan 33 Perguruan Tinggi
selaku evaluator eksternal dan dibantu oleh stakeholders daerah.
Pelaksanaan EKPD 2010 akan dilaksanakan dengan mengacu pada panduan yang
terdiri dari Pendahuluan, Kerangka Kerja Evaluasi, Pelaksanaan Evaluasi, Organisasi
dan Rencana Kerja EKPD 2010, Administrasi dan Keuangan serta Penutup.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan kegiatan ini adalah:
1. Untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat memberikan
kontribusi pada pembangunan di daerah;
2. Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan prioritas/program (outcome) dalam
RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi.
Sasaran yang diharapkan dari kegiatan ini meliputi:
1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di daerah;
2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi dengan
RPJMN 2010-2014.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 2
10. C. Hasil yang diharapkan
Hasil yang diharapkan dari EKPD 2010 adalah:
1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 untuk
setiap provinsi;
2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010 -
2014.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 3
11. BAB II. HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
1. Indikator
Indikator untuk menilai hasil pelaksanaan RPJMN 2004-2009 tentang pembangunan
Indonesia yang aman dan damai adalah a) indeks kriminalitas, b) persentase
penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan c) persentase penyelesaian kasus
kejahatan transnasional.
2. Analisis Pencapaian Indikator
Angka Kriminilitas
Angka kriminiltas di Papua Barat di wakili oleh angka kriminilitas pada Kepolisian
Resort Manokwari. Angka kriminilitas yang digunakan adalah seluruh kasus
kriminilitas yang diterima oleh Kepolisian resort Manokwari, baik kasus kriminilitas
yang diselesaikan secara kekeluargaan maupun yang diteruskan ke pengadilan.
Adapun jumlah kasus kriminilitas 5 tahun terakhir yaitu Tahun 2005 hingga Tahun
2009, seperti pada Gambar 1.
Gambar 1.
Angka Kriminilitas di Papua Barat
Angka Kriminilitas
300,00
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
2005 2006 2007 2008 2009
Angka Kriminilitas
Sumber: Kepolisian Resort Manokwari, 2010
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 4
12. Jumlah kasus kriminilitas di Papua Barat cenderung meningkat hingga tahun 2008
dan menurun pada tahun 2009. Provinsi Papua Barat merupakan provinsi termuda
di Indonesia sehingga pertumbuhan penduduk terutama migrasi penduduk dari luar
Papua Barat yang masuk Papua Barat cenderung meningkat sehingga tingkat
kriminilitas terus bertambah. Pada tahun 2009 angka kriminilitas cenderung
menurun karena Peraturan Daerah tentang larangan penjualan bebas minuman
keras dan pemasukan minuman keras ke Kabupaten Manokwari diefektifkan.
Kasus kriminilitas tertinggi adalah kasus penganiayaan (15,20%), kasus pencurian
(13,83), kasus narkotika dan obat-obatab terlarang (11,70%), kasus pelanggaran lalu
lintas (7,45%) dan kasus pembunuhan (5,32%).
Kasus penganiayaan, kasus pelanggaran lalu lintas dan kasus pembunuhan
sebagian sebagian besar disebabkan oleh pengaruh minuman keras/
Sebagian besar kasus penganiayaan terjadi karena pelaku dalam keadaan tidak
sadar oleh minuman keras.
Kasus Kejahatan Konvensional
Persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional dua tahun terakhir di Papua
Barat ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2
Persentase Penyelesaian Kasus kejahatan Konvensional di Papua Barat
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan
Konvensional
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
2008 2009
Sumber: Pengadilan Negeri Manokwari, 2010
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 5
13. Jumlah kasus kejahatan konvensional tahun 2008 adalah 92 kasus dan Tahun 2009
adalah 94 kasus. Seluruh kasus kejahatan konvensional tahun 2008 dan tahun
2009 diselesaikan pada tahun tersebut.
Kasus Kejahatan Transnasional
Kasus kejahatan transnasional adalah pengedaran narkotika dan obat-obat terlarang
(narkoba). Kasus narkoba pada Tahun 2008 sebanyak 11 kasus dan tahun 2009
sebanyak 2 kasus. Seluruh kasus narkoba dapat diselesaikan pada tahun tersebut
(Gambar 3).
Gambar 3
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional di Papua Barat
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan
Transnasional
100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
2008 2009
Sumber: Pengadilan Negeri Manokwari, 2010
3. Rekomendasi Kebijakan
a. Mengingat angka kriminilitas tertinggi di Papua Barat adalah kasus
penganiayaan karena minuman keras maka peraturan daerah yang melarang
memperdagangkan minuman keras perlu dipertegas. Pemerintah harus
mengambil tindakan tegas bagi pemasok dan pendistribusi minuman keras di
Papua barat.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 6
14. b. Mengingat Provinsi Papua Barat terdiri dari 9 kabupaten/kabupaten kota, dan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik antar kabupaten maka
sepatutnya Provinsi Papua Barat memiliki KAPOLDA, Kejaksaan Negeri Provinsi
dan Pengadilan Tinggi Provinsi.
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
1. Indikator
Indikator untuk menilai hasil evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 tentang
pembangunan Indonesia yang adil dan demokratis adalah Pelayanan Publik yang
meliputi indikator: a) persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan
dengan yang dilaporkan, b) persentase kabupaten kota yang memiliki peraturan
daerah pelayanan satu atap, c) persentase instansi (SKPD) provinsi yang memiliki
pelaporan wajar tanpa pengecualian (WTP); dan Indikator Demokrasi yang
meliputi a) Gender Development Index (GDI), b) Gender Enpowerment
Measurement (GEM), dan c) Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
2. Capaian Pelayanan Publik
Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani
Wacana pemberantasan korupsi belakangan ini menjadi bahasa populer yang
diperbincangkan oleh semua kalangan. Perbincangannya dimulai dari perbincangan
formal di tingkatan elit sampai obrolan santai di warung kopi. Hal ini wajar,
mengingat orang Indonesia adalah orang yang kenyang jeratan korupsi, dan
korupsi meliputi hampir seluruh ranah kehidupan orang Indonesia pada umumnya,
dan Papua Barat pada khususnya. Akibat yang ditimbulkan dari praktek korupsi
adalah hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik, dan ketimpangan
sosial. Kemudian, agar hal-hal ini tidak menghilangkan norma dan tatanan yang ada
maka oleh pemerintah agenda pemberantasan korupsi mau tidak mau harus
menjadi pilihan. Persentasi kasus korupsi yang tertangani di Papua Barat dapat
dilihat pada Gambar 4.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 7
15. Gambar 4.
Persentase Kasus Korupsi yang tertangani
dibandingkan dengan yang Dilaporkan di Papua barat
KASUS KORUPSI YANG TERTANGANI
100
80
60
40
20
0
2008 2009
% Kasus korupsi yang tertangani di bandingkan dengan yang
dilaporkan
Sumber: Pengadilan Negeri Kabupaten Manokwari (meliputi tiga kabupten: Kab. Manokwari, Kab.
Teluk Bintuni dan Kab. Teluk Wondama), 2010.
Berdasarkan data dan informasi tersebut diatas, tercatat bahwa periode 2004 hingga
2007 tidak ada kasus korupsi yang dilaporkan untuk selanjutnya diproses.
Fenomena ini secara tidak langsung memcerminkan masih kurangnya komitmen
pemerintah daerah (Papua Barat) memberantas praktek-praktek korupsi.
Korupsi merupakan potret yang menurunkan tingkat pelayanan publik. Praktek
korupsi marak terjadi dimana-mana dan dilakukan secara terang-terangan, namun
belum nampak ada upaya pencegahan dan pemberantasan dugaan-dugaan korupsi.
Jumlah dugaan kasus korupsi yang tidak dilaporkan ke pihak berwajib relatif
menyebabkan kasus-kasus tersebut juga tidak bisa terungkap. Masing lemahnya
pemberantasan kasus–kasus korupsi di provinsi Papua Barat tahun 2004 hingga
2007 lebih disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1). Indonesia memiliki
wilayah sangat luas dari Sabang sampai Merauke sehingga keadaan tersebut turut
mempengaruhi lemahnya kontrol pemerintah terhadap praktek-praktek korupsi di
daerah termasuk di Papua Barat. Aparat Pemerintah Pusat yang ada di daerah
seperti kejaksaan , kehakiman dan pihak kepolisian sebagai institusi penegak hukum
seolah-olah tidak berdaya menghadapi praktek korupsi yang marak terjadi dan
bahkan ada kesan institusi penegak hukum tersebut melindungi para pelaku agar
terhindar dari proses penyidikan dan penyelidikan.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 8
16. Praktek korupsi yang dilakukan di Papua Barat sangat sistemik secara internal
institusi, antara institusi, individu dan kelompok sehingga menjadi sangat sulit untuk
mengungkapkan berbagai sinyalemen tindak pidana korupsi tersebut. Dokumen-
dokumen publik seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menjadi buku
suci yang sulit di akses publik; 2). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
dibentuk oleh Undang-Undang cukup berhasil di tingkat pusat, namun belum efektif
bekerja di daerah karena hingga saat ini belum ada KPK di tingkat Daerah.
Kebaradaan KPK bukan terbatas tugasnya memberantas dan menuntas kasus-
kasus dugaan korupsi, tetapi dapat menjadi alat kontrol yang efektf terhadap
penyelenggaran pemerintahan di daerah. Masyarakat dapat menyampaikan laporan
dugaan korupsi langsung ke KPK tanpa melaluli instutusi penegak hukum lainnya;
3). Hambatan lainnya terkait dengan kewenangan untuk mengeluarkan surat
perintah pemeriksaan terhadap pejabat setingkat kepala daerah yang diatur oleh
Undang-Undang yaitu berada di tangan Presiden. Kasus-kasus dugaan korupsi yang
dilakukan oleh kepala daerah hingga kini masih berlarut-larut proses
penyelesaiannya karena disebabkan oleh hambatan legalitas
Selanjutnya, tahun 2008 hingga 2009 tercatat pula bahwa jumlah kasus korupsi yang
dilaporkan justru mampu diselesaikan secara keseluruhan. Artinya, pada periode
2008 hingga 2009 sejumlah kasus korupsi yang diagendakan hingga pada proses
pengadilan dapat diselesaikan secara hukum oleh institusi terkait (Pengadilan
Negeri). Praktek korupsi di daerah yang banyak menyeret petinggi daerah lebih
disebabkan oleh penyalagunaan wewenang sebagai akibat dari kekurangtahuan
para pejabat tentang perkembangan peraturan. Peraturan-peraturan yang dimaksud
diantaranya PP 29 Tahun 2000 tentang Jasa Konstruksi, Keppres 80 Tahun 2003
tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, serta Keppres 42 Tahun 2002
tentang Pedoman Pelaksanaan APBN/APBD
Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki PERDA Pelayanan Satu Atap
Pada dasarnya, inisiasi pembentukan peraturan pelayanan satu atap lebih diarahkan
oleh pemerintah pusat/daerah guna menghindari birokrasi yang berbelit-belit.
Hingga 2009, tercatat di Kementerian Dalam Negeri ada 14 provinsi dan 250
kabupaten/kota yang baru menerapkan sistem pelayanan terpadu (SPT). Meskipun
hingga 2009 belum tergolong dalam kelompok daerah yang sudah menerapkan
sistem pelayanan terpadu, Papua Barat telah berkomitmen mempelajari dan mulai
mengatur atau mendesain sistem pelayanan satu atap, yang diharapkan nantinya
dapat menjadi jaminan daya tarik investor. Upaya ini telah ditunjukkan dengan studi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 9
17. banding yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Papua Barat ke beberapa
wilayah di tanah air (Kabupaten Sidoarjo) yang telah sukses dengan sistem
pelayanan terpadu.
Beberapa hal yang menyebabkan mengapa sistem pelayanan satu atap di Papua
Barat hingga sekarang belum juga optimal di desain, yaitu : 1) sumberdaya manusia
bidang perencanaan dan pengembangan investasi di daerah masih sangat minim; 2)
butuh waktu untuk perubahan paradigma pimpinan di daerah dari dilayani menjadi
melayani; dan 3) belum terkolaborasinya data dan informasi tentang potensi yang
akurat/potensial di daerah.
Persentase Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
Salah satu upaya untuk mewujudkan good governance adalah dengan meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Tujuan umum
pelaporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi berkaitan dengan posisi
keuangan, kinerja dan arus kas entitas yang berguna bagi pengguna dalam
membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya. Secara
khusus, tujuan umum dari pelaporan keuangan di sektor publik adalah menyediakan
informasi yang berguna bagi proses pengambilan keputusan dan menunjukkan
akuntabilitas entitas mengenai sumberdaya yang dipercayakan.
Tujuan umum lainnya bagi pelaporan keuangan juga dapat memiliki peranan
prospektif dan prediktif, menyediakan informasi yang berguna dalam memprediksi
tingkat sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan operasi, dan risiko yang
menyertai serta ketidakpastiannya. Kemudian sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku, investigasi terhadap pertanggungjawaban keuangan di daerah oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI hanya pada Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) yang disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) di
daerah. Perkembangan hasil pemeriksaan terhadap LKPD Papua Barat tahun 2004
- 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 10
18. Tabel 1. Opini LKPD Papua Barat Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK RI
TAHUN OPINI
2004 WDP
2005 WDP
2006 TMP
2007 TMP
2008 TMP
2009 TMP
Sumber: BPK RI, 2009
Hasil pemeriksanaan BPK RI terhadap LKPD Papua Barat tahun 2004 hingga 2009,
cukup jelas memberikan informasi tentang masih lemahnya aspek pengelolaan
keungan di daerah yang pada akhirnya diberi opini tidak memberikan pendapat
(TMP). Aspek pengelolaan keuangan di daerah yang dimaksud disini bermula dari
perencanaan, penatausahaan, sampai pada aspek pelaporan dan
pertanggungjawaban. Masih lemahnya managemen pengelolaan keuangan di
daerah (Papua Barat) lebih di sebabkan oleh Pertama adalah masih lemahnya
sumber daya manusia pengelola keuangan di daerah. Sehebat apapun sistem dan
mekanisme yang dibangun, tetapi tidak didukung dengan SDM yang handal maka
sistem atau mekanisme tersebut tidak akan efektif. Harus diakui bahwa sampai saat
ini, ahli akuntansi sektor publik di Indonesia masih sangat amat sedikit, ketimbang
ahli akuntansi bisnis. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kita membaca hasil
audit BPK terhadap prestasi LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah). Kedua,
tumpang-tindih peraturan/ regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tentang
pengelolaan keuangan daerah, yang justru terkadang menjadi persoalan bagi
pemerintah daerah dalam penyusunan neraca. Yang lebih parah lagi tidak hanya
sebatas tumpang-tindih aturan, tetapi perubahan terhadap aturan tersebut juga
sering terjadi dengan durasi waktu yang relatif singkat.
3. Kinerja Indikator Demokrasi
Pada dasarnya hakekat pembangunan ditujukan untuk kesejahteraan seluruh
penduduk dengan tidak membedakan suku, agama, asal maupun jenis kelamin.
Meski demikian, pembangunan yang dilaksanakan disinyalir masih bermuatan
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Ditengarai, pembangunan yang
dilaksanakan di segala bidang lebih banyak menguntungkan laki-laki. Tentunya
untuk menjawab hal itu tidak mudah, perlu kajian mendalam terhadap keseluruhan
aspek pembangunan. Salah satu cara untuk mengetahui adanya diskriminasi antara
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 11
19. laki-laki dan perempuan, yaitu menilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) dengan
mempertimbangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Gender Development Index (GDI)
Dalam perkembangan bangsa, peran jender perlu diperhatikan tidak hanya dari
keberadaannya, tetapi juga kwalitas perannya. Pemberdayaan perempuan diarahkan
untuk mengembangkan dan memantapkan berbagai potensi yang ada pada dirinya
yang memungkinkan dirinya dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama
dengan laki-laki terhadap proses pembangunan. Pencapaian pembangunan gender
yang diukur dengan indeks pembangunan gender (IPG) di Papua Barat dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5
Gender Development Index Papua Barat
Gender Development Index
60,00
58,00
56,00
54,00
52,00
50,00
48,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Index
Sumber : BPS RI, 2009
Pencapaian pembangunan gender yang diukur dengan IPG selama kurun waktu
2004 - 2007 pada Gambar 5 di atas menunjukkan pencapaian pembangunan gender
terus mengalami peningkatan sejak tahun 2004. Pada tahun 2004 pencapaian
pembangunan gender mencapai 51,40 kemudian meningkat menjadi 56,80 pada
tahun 2007. Dengan demikian selama kurun waktu 2004-2007 kapabilitas dasar
perempuan terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2004 nilai IPG Papua Barat
terlihat terus bergerak naik hingga mencapai 56,80 pada tahun 2007. Namun
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 12
20. demikian, capaian IPG pada periode tersebut masih tergolong rendah, jika
dibandingkan prestasi IPG daerah lainnya di Indonesia.
Kemudian, pada periode 2008-2009 IPG Papua Barat juga terlihat terus meningkat
dari 57,36 pada tahun 2008 menjadi 57,80 pada tahun 2009. Artinya, meskipun
peningkatan tersebut masih relatif kecil namun peningkatan tersebut justru
memberikan indikasi bahwa komitmen pemerintah terhadap kesetaraan jender di
Papua Barat cukup baik dari sisi kuantitas.
Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Indeks Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia yang tercermin dalam nilai IPM Papua Barat sejak tahun
2004 hingga 2009 meningkat baik di tingkat kabupaten/kota di Papua Barat hingga
tingkat provinsi. Namun, demikian terlihat jelas bahwa peningkatan tersebut masih
belum mampu mengurangi kesenjangan gender. Hal ini dapat diketahui dari nilai IPG
yang lebih kecil dari nilai IPM, yang berarti masih terjadi ketaksetaraan gender yang
hampir ditemui di seluruh kabupaten/kota di Papua Barat. ketidasetaraan gender
tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia
dan Indeks Pembangunan Gender di Papua Barat
Gender Development Index dan Indeks
Pembangunan Manusia
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
GDI IPM
Sumber : BPS RI, 2009
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 13
21. Selanjutnya dalam konteks diatas, ketaksetaraan gender bukan hanya merujuk pada
persoalan persamaan status dan kedudukan saja tetapi bisa bermakna pada
persoalan persamaan peranan dalam hal partisipasi terhadap proses pengambilan
keputusan di bidang politik maupun penyelenggaraan pemerintahan; kehidupan
ekonomi dan sosial khususnya kontribusi perempuan dalam pendapatan rumah
tangga. Kemudlian, dari unsur-unsur persamaan peranan tersebut merupakan
komponen yang tercakup dalam penghitungan indeks pemberdayaan gender (IDG).
Jadi, IDG merupakan ukuran komposit yang dapat digunakan untuk mengkaji sejauh
mana persamaan peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan serta
kontribusi dalam aspek ekonomi maupun sosial.
Berdasarkan ukuran IPM dan IPG, pembangunan manusia di Papua Barat telah
menunjukkan kemajuan. Meski kesenjangan gender masih terlihat, tetapi dari waktu
ke waktu kesenjangan tersebut memperlihatkan kecenderungan semakin menurun.
Demikian juga dengan Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment
Measurement) yang mencerminkan tingkat partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan terus menunjukkan perkembangan yang semakin
meningkat. Perkembangan GEM di Papua Barat dapat lihat pada Gambar 7.
Gambar 7
Gender Empowerment Measurement di Papua Barat
Gender Empowerement Measurement Papua
Barat, 20042009
60
50
40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Perkembangan GEM
Sumber : BPS RI, 2009
Pada tahun 2004 nilai GEM (Indeks Pemberdayaan Gender) mencapai 41,0
kemudian meningkat menjadi 55,50 pada tahun 2007. Hal ini berarti bahwa pada
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 14
22. tahun 2004 peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan baru
mencapai 41,0 persen dari peranan yang dijalankan oleh laki-laki dan meningkat
menjadi 55,50 persen pada tahun 2007 (lihat Gambar 7).
Kemudian tahun 2008 hingga 2009 terlihat jelas juga bahwa nilai GEM (Gender
Empowerment Measurement) terus mengalami peningkatan dari 55,89 menjadi
56,10. Artinya, peranan perempuan di Papua Barat dalam proses pengambilan
keputusan serta memberikan atau berkontribusi dalam aspek ekonomi maupun
sosial terus mengalami peningkatan.
Semakin menurunnya kesenjangan gender dan meningkatnya partisipasi perempuan
dalam pengambilan keputusan mengindikasikan bahwa, pembangunan berorientasi
gender yang dilaksanakan di Papua Barat sudah sesuai dengan harapan.
Meningkatnya peranan perempuan seperti yang ditunjukkan Gambar 7 tidak terlepas
dari meningkatnya pencapaian pembangunan gender. Secara teoritis bahwa
semakin tinggi pencapaian pembangunan gender akan berdampak pada
peningkatan peranan perempuan khususnya partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan keputusan.
4. Rekomendasi Kebijakan
Aspek Pelayan Publik
Pencapaian agenda pelayanan publik yang dipantau melalui persentase kasus
korupsi yang ditangani, kemudian jumlah kabupaten/kota di Papua Barat yang
memiliki PERDA pelayanan satu atap, dan persentase laporan keuangan pemerintah
daerah (LKPD) yang memiliki opini wajar tanpa pengecualian (WTP) ternyata belum
banyak memberikan perubahan yang signifikan berkaitan dengan agenda tersebut.
Oleh sebab itu, beberapa agenda yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah
(Papua Barat) untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik diantaranya, Perlu
dibentuk perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Daerah untuk
mengefektifkan tugas-tugas KPK di daerah. Selain itu, kewenangan pemeriksaaan
pejabat setingkat kepala daerah sebaiknya diserahkan kepada pejabat setingkat
Menteri atau KPK, kemudian, pembinaan secara intensif perlu terus dilakukan
berkenaan dengan tantangan tugas di era otonomi daerah dan semangat demokrasi
yang menuntut perubahan sikap, perilaku dan cara pandang dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawab sebagai aparatur di daerah. selanjutnya, memperbanyak
frekuensi pelatihan dan pendampingan bagi SDM aparatur di daerah. Terutama pada
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 15
23. bidang atau aspek perencanaan sampai pada penatausahaan dan pelaporan yang
selama ini selalu menjadi penghambat prestasi kerja aparatur daerah..
Capaian Demokrasi
Pencapaian kinerja demokrasi yang terpantaupula melalui indeks pembangunan
gender dan indeks pemberdayaan gender di Papua Barat, cukup memperlihatkan
prestasi yang meningkat setiap tahun. Namun, prestasi yang diraih tersebut ternyata
tidak merata. Artinya, masih terjadi ketimpangan dalam hal peran antar laki-laki dan
perempuan dalam pembangunan. Selanjutnya, agenda yang perlu diperhatikan dan
dilakukan oleh pemerintah daerah (Papua Barat) untuk dapat bisa meminimalisir
ketimpangan tersebut adalah perlu membuka ruang partisipasi bagi wanita dalam
pembangunan. Kemudian, ruang partisipasi tersebut dapat diakomodir melalui
affirmative action dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Selanjutnya, Porsi lebih
besar perlu diberikan kepada kaum perempuan dalam setiap perumusan kebijakan
pembangunan agar perempuan memiliki ruang partisipasi dengan tingkat legitimasi
kuat dalam berbagai aspek kehidupan di ranah publik. Selain itu, progam pendidikan
penyadaran tentang penyetaraan gender baik kaum lelaki maupun perempuan agar
terjai perubahan pola pikir, sikap, perilaku secara bertahap saling beradaptasi
C. MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
1. Indikator
Indikator yang digunakan untuk menilai hasil evaluasi RPJMN 2004-2009 tentan
agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah indikator pendidikan meliputi
indikator angka partisipasi murni (APM) SD/MI, angka partisipasi kasar (APK)
SD/MI, rata-rata nilai akhir SMP/MTS, angka melek aksara , rata-rata nilai akhir
SMA/SMK/MA, angka putus sekolah SD, angka putus sekolah SMP, angka putus
sekolah menengah, persentase jumlah guru yang mengajar SMP, persentase julah
guru yang layak mengajar sekolah menengah, sedangkan indikator kesehatan
meliputi umur harapan hidup (UHH), angka kematian bayi, persentase prevalensi
gizi buruk, prevalensi gisi kurang, persentase tenaga kesehatan per penduduk;
indikator keluarga berencana meliputi persentase penduduk ber KB, laju
pertumbuhan penduduk, total fertility rate (TFR): Indikator ekonomi makro meliputi
laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor terhadap PDRB, persentase output
manufacture terhadap PDRB, laju inflasi; Indikator Investasi meliputi nilai rencana
PMA yang disetujui, nilai realisasi investasi PMA, nilai rencana PMDN yang
disetujui, nilai realisasi investasi PMDN, realisasi penyerapan tenaga kerja PMA;
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 16
24. indikator infrakstruktur meliputi panjang jalan nasional dalam keadaan baik,
sedang dan rusak, panjang jalan provinsi dalam keadaan baik, sedang dan rusak;
indikator pertanian meliputi rata-rata nilai tukar petani per tahun, PDRB sektor
pertanian; indikator kehutanan meliputi persentase luas lahan rehabilitasi dalam
hutan terhadap lahan kritis; indikator kelautan meliputi jumlah tindak pidana
perikanan, luas lahan konservasi laut dan indikator kesejahteraan meliputi
persentase penduduk miskin dan tingkat pengangguran terbuka.
2. Analisis Pencapaian Indikator
Pendidikan
Berbagai upaya telah dilakukan bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf
pendidikan masyarakat Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008. Alat ukur yang
digunakan, salah satunya adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan
sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen (Tabel 2).
Tabel 2. Target Pendidikan SMP di Papua Barat Tahun 2005-2009
Tahun
Komponen
2005 2006 2007 2008 2009
Jlh Penduduk
12.975.988 12.969.815 12.890.341 13.326.562 13.419.559
usia SMP
Jumlah siswa 11.058.136 11.501.634 11.926.443 12.375.952 12.670.563
APK 85,22 88,68 92,52 95,00 98,00
APM 62,79 64,65 71,60 67,62 68,74
Sumber: DEPDIKNAS 2009
Prestasi Provinsi Papua Barat dalam pembangunan bidang pendidikan selama
pelaksanaan RPJMD 2004-2009 disajikan secara rinci dalam Gambar 8 dan capaian
yang berhasil diraih selama pelaksanaan RPJMD 2004-2009 diuraikan sebagai
berikut.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 17
25. Gambar 8
Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar SD dan SMP Provinsi Papua
Barat Periode 2004-2009
Indikator Pembangunan Pendidikan Provinsi Papua Barat
400
300
APM SMP
200 APK SMP
APK SD
100
APM SD
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Depdiknas, 2009
Gambar 8 menunjukan telah terjadi peningkatan APK sejak tahun 2008 pada
jenjang pendidikan SLTP dan SMU, kecuali pada jenjang SD. APK pada sekolah
dasar lebih tinggi, dari data tersedia pada tahun 2009 mencapai 117,50 namun ironis
dengan nilai Angka Partisipasi Murni (APM) yang lebih rendah. Hal ini berarti
sebenarnya lebih banyak anak di Provinsi Papua Barat bersekolah di SD, tidak tepat
umur. APK SD tahun 2009 mengalami peningkatan, yaitu 117,50 padahal pada
tahun 2008 mengalami penurunan (114,18) dibanding dengan tahun 2007, yaitu
116,05 persen. APK SD Kabupaten Sorong Selatan adalah tertinggi di antara
kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua Barat, yakni 123,91 persen. APK SD
terendah berada pada Kabupaten Manokwari sebesar 100,45 persen.
Tabel 3. Angka Partisipasi Kasar menurut Kabupaten/Kota dan Jenjang
Pendidikan Tahun 2007-2008
Jenjang Pendidikan
Kabupaten/Kota
SD SLTP SMU
Fakfak 114,18 72,59 91,12
Kaimana 112,18 56,19 72,81
Teluk Wondama 117,16 58,25 45,18
Teluk Bintuni 104,78 62,07 40,69
Manokwari 100,45 61,19 83,84
Sorong Selatan 123,91 54,95 86,10
Sorong 119,13 71,84 22,14
Raja Ampat 122,85 24,55 47,49
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 18
26. Kota Sorong 104,58 103,24 90,71
Papua Barat (2007) 116,05 70,10 60,78
Papua Barat (2008) 114,18 72,59 91,12
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008
APK SLTP Papua Barat tahun 2007 sebesar 70,10 persen mengalami peningkatan
menjadi 72,59 persen dibandingkan dengan tahun 2008. Pada tahun 2009, APK
SLTP meningkat mencapai 80,70 persen yang berarti banyaknya penduduk Papua
Barat yang sedang bersekolah di SLTP di antara penduduk berumur 13-15 tahun
hanya sebesar 80,70 persen. Kabupaten Raja Ampat merupakan daerah dengan
APK terendah yaitu sebesar 24,55 persen. Diduga rendahnya APK SLTP di
sebabkan karena tidak semua kecamatan memiliki SLTP, sehingga diperkirakan
penduduk usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut bersekolah ke Kota
Sorong.
Disamping itu pada kenyataannya banyak orang tua yang tinggal di perkotaan
menginginkan anaknya yang sudah mampu membaca, menulis segera dapat masuk
SD, walaupun umur sekolah belum memenuhi syarat. Sedangkan yang berada di
pedesaan terhambat di jenjang SD karena keterbatasan dalam membaca, menulis
dan berhitung, sehingga pada usia lebih dari dua belas tahun masih duduk di bangku
SD. Secara umum, APK di jenjang SD lebih besar daripada SMP. Hasil penelitian
Erari (2009), menyatakan angka putus sekolah di daerah pedesaan Papua Barat
lebih besar, mengakibatkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) pedesaan yang selalu
lebih kecil dari APS perkotaan, untuk jenjang SD dan SMP. Sehingga dapat
disimpulkan akses dan pemerataan pemerolehan pendidikan di perkotaan lebih
besar dari pedesaan.
Angka Partisipasi Murni mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu yang
dibagi kedalam umur jenjang kelompok pendidikan yaitu SD (7-12 tahun), SMP (13-
15 tahun) dan SMA (16-18 tahun). Pada saat ini pemerintah telah melaksanakan
program wajib belajar 9 tahun yaitu mulai SD sampai SMP (7-15 tahun).
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 19
27. Tabel 4. Angka Partisipasi Murni menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua
Barat Tahun 2007 dan 2008
Angka Partisipasi Murni
Kabupaten/Kota SD SLTP SMU
2007 2008 2007 2008 2007 2008
Kaimana 96,13 95,01 58,00 52,99 59,88 51,75
Wondama 87,03 86,98 28,92 31,63 24,66 32,85
Teluk Bintuni 86,26 84,91 45,33 41,32 23,03 14,25
Manokwari 83,99 87,32 45,26 48,69 36,92 45,44
Sorong Selatan 97,14 96,95 49,82 49,62 60,25 55,78
Sorong 91,80 94,68 43,24 53,86 22,73 18,46
Raja Ampat 88,10 89,23 15,22 15,77 6,25 23,82
Kota Sorong 91,12 92,77 72,37 77,53 68,84 64,38
Provinsi Papua Barat 89,97 90,71 52,32 48,92 44,80 43,61
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2007 dan 2008
Selama periode 2004-2009 menampilkan Angka Partisipasi Murni SD di Provinsi
Papua Barat pada tahun 2004 adalah 85,95 persen dan mengalami peningkatan
yang signifikan setiap tahun, pada tahun 2009 mencapai 91,25 persen. APM ini
mempunyai makna diantara 100 orang yang berumur 7-12 tahun, 92 orang
diantaranya sedang menjalani pendidikan SD dan berumur 7-12 tahun. Hal ini juga
menunjukkan efektifnya program peningkatan akses dan pemerataan SD melalui
nilai APM. Data lengkap dari Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat untuk tahun
2007-2008 disajikan pada Tabel 4.
Untuk jenjang pendidikan SMP tahun 2008, kota Sorong menempati urutan teratas
dengan APM tertinggi yaitu 77,53 persen, sedangkan urutan terbawah adalah
Kabupaten Raja Ampat (15,77 persen). APM SMP Provinsi Papua Barat mengalami
penurunan menjadi 48,92 persen di tahun 2008 setelah pada tahun sebelumnya
sebesar 52,32 persen. Tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 62 persen.
Rata-rata nilai akhir tingkat SMP, cukup rendah yaitu 3,89 sejak 2005-2007. namun
ada peningkatan yang signifikan pada tahun 2008, yaitu 6,37 Bila dibandingkan
dengan rata-rata nasional, sangat jauh dari harapan karena sejak tahun 2005, nilai
tidak menembus angka empat. Nilai rata-rata nasional, menembus lebih dari nilai
enam. Rata-rata nilai akhir Sekolah Menengah, sejak tahun 2005, ada peningkatan.
Tahun 2007 rata-rata nilai menembus angka enam, berarti ada peningkatan mutu
pendidikan sekolah menengah yang cukup berarti di Provinsi Papua Barat. Angka
putus sekolah mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 20
28. lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu dan sering pula
digunakan sebagai indikator berhasil atau tidaknya pembangunan di bidang
pendidikan.
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Siswa Putus Sekolah Menurut Jenjang
Pendidikan Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008
SD SLTP SLTA
Tahun Siswa Siswa Siswa
Jumlah Jumlah Jumlah
putus % putus % putus %
siswa siswa siswa
sekolah sekolah sekolah
2006 5.292 99.518 5,32 78 21.749 0,36 1.990 21.737 9,15
2007 5.254 103.272 5,09 873 24.268 3,60 906 23.813 3,80
2008 3.815 109.246 3,49 463 26.658 1,74 760 27.114 2,80
2009 - - - - - 7,95 - - -
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan angka putus sekolah
mengalami penurunan. Pada jenjang pendidikan SD, baik secara absolut maupun
persentase siswa yang putus sekolah mengalami penurunan. Pada awal persentase
siswa putus sekolah di tahun 2006 sebesar 5,32 persen, kemudian pada tahun 2008
persentase siswa putus sekolah menjadi 3,49 persen. Sejalan dengan penurunan
persentase siswa putus sekolah, secara absolut jumlah siswa yang putus sekolah
juga mengalami penurunan.
Pada jenjang pendidikan SLTP pada tahun 2007 justru siswa putus sekolah
mengalami peningkatan. Semula di tahun 2006 jumlah siswa putus sekolah hanya
berjumlah 78 siswa (0,36 persen), kemudian jumlah siswa putus sekolah meningkat
secara signifikan di tahun 2007 menjadi 873 siswa (3,60 persen). Jumlah siswa
putus sekolah kembali mengalami penurunan menjadi 463 siswa (1,74 persen) pada
tahun 2008. Data tahun 2009 yang di peroleh dari kantor BPS Papua Barat,
menunjukkan ada kenaikan yang sangat berarti menjadi 7,95.
Seperti halnya dengan angka putus sekolah SD, pada jenjang pendidikan SLTA
jumlah siswa maupun persentase siswa putus sekolah mengalami penurunan. Pada
tahun 2006, jumlah siswa putus sekolah sebesar 1990 siswa (9,15 persen) dan
mengalami penurunan 58,47 persen pada tahun 2007 menjadi 3,80 persen.
Kemudian diikuti pada tahun 2008, jumlah siswa putus sekolah hanya 760 siswa
(2,80 persen). Penyebab utama putus sekolah di Provinsi Papua Barat, karena
kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak, kondisi ekonomi
orang tua yang tidak mampu dan keadaan geografis yang kurang menguntungkan.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 21
29. Disamping itu angka putus sekolah justru lebih tinggi di daerah pedesaan, daripada
di perkotaan. Untuk jenjang SD/SMP, angka putus sekolah lebih kecil di jenjang SD.
Angka melek aksara 15 tahun, merupakan salah satu indikator penting dalam
mengukur tingkat pendidikan. Angka melek aksara mengindikasi kemampuan
penduduk untuk membaca dan menulis. Dilihat dari perbaikan angka melek aksara,
Provinsi Papua Barat telah menunjukan perbaikan yang berarti. Angka melek huruf
Provinsi Papua Barat secara rinci disajikan dalam Gambar 9.
Gambar 9.
Angka Melek Huruf Provinsi Papua Barat Periode 2004-2009
Angka Melek Huruf Provinsi Papua Barat
94
92
90
88
86
84
82
80
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Melek Huruf (%)
Sumber : BPS RI, 2009
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 22
30. Tabel 6. Angka Melek Aksara dan Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk
Berumur 15 Tahun atau lebih di Papua Barat Menurut
abupaten/Kota Tahun 2007 Dan 2008.
Rata-rata lama
Angka Melek Huruf
Kabupaten/Kota sekolah
2007 2008 2007 2008
Kab. Fakfak 97,17 97,17 8,93 8,93
Kab. Kaimana 95,48 95,48 7,10 7,10
KabTeluk Wondama 81,02 82,85 5,99 6,39
Kab. Teluk Bintuni 80,84 82,67 6,44 6,85
Kab. Manokwari 83,54 85,37 7,19 7,59
Kab. Sorong Selatan 87,90 88,07 7,90 7,90
Kab. Sorong 91,39 91,39 8,00 8,00
Kab. Raja Ampat 89,93 92,69 7,00 7,00
Kota. Sorong 99,10 99,10 10,10 10,52
Prov.Papua Barat 90,32 92,15 7,65 7,67
Sumber: BPS Papua Barat, 2007 dan 2008
Angka melek aksara Provinsi Papua Barat tahun 2009 adalah sebesar 92,24 persen,
mengalami peningkatan, dibandingkan selama periode 2004-2008. Pada tahun 2004
angka melek aksara hanya 85,10 persen, tahun 2005 ada peningkatan menjadi
85,40 persen, tahun 2006 juga mengalami peningkatan mencapai 88,50 persen,
tahun 2007 yaitu 90,32 persen, tahun 2008 meningkat menjadi 92,15 persen dan
pada tahun 2009 menjadi 92,24 persen. Semakin tinggi angka melek aksara maka
kenaikan persentase angka melek aksara ini akan cenderung semakin lambat.
Berdasarkan data dari Kabupaten/Kota 2007 dan 2008, beberapa Kabupaten
mengalami peningkatan persentase angka melek aksara yaitu Teluk Wondama,
Teluk Bintuni, Sorong Selatan, dan Raja Ampat. Bagaimanapun juga kemampuan
dasar pertama kali yang dimiliki seseorang untuk dapat menambah dan mengasah
ilmu pengetahuan adalah dengan membaca dan menulis. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerataan pembangunan pendidikan sudah mulai dilakukan pemerintah
sampai di tingkat Kabupaten. Meskipun demikian, jika dilihat dari tingkat rata-rata
lama sekolah di Provinsi Papua Barat, belum terjadi peningkatan yang signifikan
(7,65 tahun 2007 menjadi 7,67 tahun 2008), artinya rata-rata penduduk Provinsi
Papua Barat menempuh pendidikan hanya sampai kelas 2 SMP.
Persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya untuk tingkat SMP, pada
tahun 2004-2009, ada peningkatan yang cukup berarti mencapai lebih dari 70
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 23
31. persen. Dalam kaitannya dengan kualifikasi guru, tampak lebih banyak guru yang
belum layak mengajar pada jenjang SMP, walaupun ada peningkatan, karena yang
diharapkan 90 persen guru layak mengajar. Hal ini perlu menjadi perhatian
pemerintah provinsi Papua Barat. Pada saat ini program peningkatan guru SMP
belum efektif karena capaiannya hanya tidak lebih dari 75 persen. Pada jenjang
SMP untuk Provinsi Papua Barat, mutu pendidik sekitar 58 persen guru dengan
kualifikasi S1 atau S2. Guru SMP dengan golongan paling rendah golongan III ada
87 persen, Sedangkan yang mempunyai masa kerja lebih dari sepuluh tahun hanya
64 persen. Pendidikan guru SMP perlu mendapat perhatian serius, mengingat
tuntutan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tentang persyaratan guru yang
diatur dalam Bab IV PP.19/2005 tentang standarisasi Nasional Pendidikan, bahwa
guru harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D IV)
atau sarjana/strata I.
Persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya untuk tingkat SMA, sejak
tahun 2006 -2007 ada 81,0 persen dan meningkat menjadi 91,63 persen pada tahun
2009. Mutu Tenaga Kependidikan, berdasarkan hasil penelitian Erary (2009), pada
jenjang SD, semua sekolah di Provinsi Papua Barat belum mempunyai tenaga
kependidikan, seperti tata usaha dan bendahara. Pekerjaan administrasi dan
keuangan dirangkap oleh guru yang ditunjuk. Pada jenjang SMP di tahun 2009, rata-
rata satu sekolah mempunyai dua sampai tiga tenaga kependidikan, dimana 63
persen berpendidikan SMTA, 33 persen berpendidikan S1, sisanya Diploma. Dilihat
dari masa kerja dan golongan, terdapat sekitar 88 persen mempunyai masa kerja
lebih dari 10 tahun dan 47 persen bergolongan III.
Fasilitas Pendidikan, keberhasilan dalam kegiatan pendidikan tidak semata-mata
hanya pola transfer ilmu pengetahuan satu arah yang dilakukan oleh seorang guru
dengan hanya menerangkan mata pelajaran dan menuliskannya di papan tulis. Era
moderen saat ini sekolah-sekolah mulai menata diri dengan melengkapi fasilitas
sekolah dengan perpustakaan dan laboratorium- laboratorium . Perpustaan adalah
gudang ilmu yang dalamnya tersimpan buku-buku yang bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan para siswa.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 24
32. Tabel 7 Persentase Fasilitas Perpustakaan Terhadap Jumlah Sekolah SLTP
SLTA Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008
Tahun SLTP SLTA
Sekolah Perpustakaa % Sekolah Perpustakaan %
2006 132 42 31,82 63 30 47,62
2007 128 49 38,28 67 36 53,37
2008 133 54 40,6 71 37 52,11
Meskipun mengalami perkembangan jumlah, fasilitas perpustakaan untuk jenjang
pendidikan SLTP hanya dimiliki oleh kurang dari setengah total sekolah yang ada.
Pada awalnya jumlah perpustakaan pada tahun 2006 hanya berjumlah 42 buah
(31,82 persen), tetapi pada tahun 2007 terjadi penambahan fasilitas perpustakaan
menjadi 49 buah (38,28 persen). Pada tahun 2008 fasilitas perpustakaan kembali
bertambah menjadi 54 buah (40,60 persen).
Secara proporsional fasilitas perpustakaan di jenjang pendidikan SLTA dapat
dikatakan lebih baik dari pada di SLTP. Pada tahun 2006 jumlah perpustakaan di
tingkat SLTA hanya 47,62 persen. Meningkat jumlahnya pada tahun 2007 menjadi
53,73 persen, pada tahun 2008 mengalami penurunan dalam persentase menjadi
52,11 persen. Hal ini disebabkan terjadi penambahan jumlah SLTA menjadi 71 buah
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 67 buah. Penambahan
jumlah SLTA, tidak diikuti dengan penambahan perpustakaan. Walaupun jumlah
fasilitas perpustakaan tersedia tetapi belum diketahui apakah fasilitas tersebut
memadai dari sisi tempat, jumlah buku, jumlah judul buku dan kualitas buku yang
dikoleksi.
Tabel 8. Persentase Fasilitas Laboratorium Terhadap Jumlah Sekolah SLTP
dan SLTA di Provinsi Papua Barat 2006-2008
SLTP SLTA
Tahun
Sekolah Laboratorium % Sekolah laboratorium %
2006 132 68 51,52 63 57 90,48
2007 128 21 16,41 67 82 122,39
2008 133 30 22,56 71 91 128,17
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Fasilitas lain yang juga penting adalah laboratorium, dapat dipakai untuk praktikum
dan penelitian. Untuk menambah kemampuan berbahasa diperlukan laboratorium
bahasa. Sedangkan untuk menambah kemampuan pengoperasian komputer dengan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 25
33. software tertentu dan internet diperlukan fasilitas komputer yang memadai.
Berdasarkan data dari Tabel 8, nampak suatu keadaan yang memprihatinkan dari
sisi kondisi fasilitas laboratorium yang dimiliki sekolah-sekolah. Fasilitas tersedia dari
tahun 2006-2008 jumlahnya semakin menurun. Semula dari 132 sekolah dengan 68
diantaranya memiliki laboratorium , namun pada tahun 2007 jumlahnya berkurang
hingga tinggal 21 buah laboratoriumatau 16,41 persen. Pada tahun 2008, jumlah
fasilitas laboratorium mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan tahun
2007 menjadi 22,56 persen.
Keadaan yang berbeda terjadi pada jumlah fasilitas laboratorium di jenjang
pendidikan SLTA, jumlah laboratorium di SLTA mengalami peningkatan menjadi 91
unit (128,17 persen) setelah sebelumnya di tahun 2006 dan 2007 masing-masing
berjumlah 57 unit dan 82 unit atau sebesar 90,48 persen dan 122,39 persen.
Proporsi laboratorium yang mencapai lebih dari 100 persen diduga karena terdapat
sekolah yang memiliki fasilitas laboratorium lebih dari satu buah. Namun tidak
menutup kemungkinan masih terdapat sekolah yang belum memiliki laboratorium.
Dari beberapa ulasan di atas, dapat dilihat bahwa pendidikan di Povinsi Papua Barat
masih harus ditingkatkan. Berbagai macam faktor yang mengakibatkan rendahnya
pendidikan penduduk Papua Barat harus segera diatasi, karena melalui
pendidikanlah kemajuan peradaban masyarakat dapat ditingkatkan. Program
penyuluhan pendidikan perlu di aktifkan, penyebaran guru berkualitas yang bersedia
menetap di daerah terpencil, peningkatan mutu pendidikan beserta para
pendidiknya. Bahkan pemerintah daerah perlu merespon kebijakan otonomi khusus
bidang pendidikan dengan membuat peraturan daerah bidang pendidikan, yang
mengikat semua , agar anak usia sekolah wajib duduk dibangku sekolah. Kasus–
kasus pemalangan sekolah jangan terjadi lagi, pemerintah daerah menjamin proses
belajar mengajar tidak terganggu oleh masalah tuntutan tanah ulayat yang di atasnya
berdiri gedung sekolah dan sarana pendidikan lain.
Kesehatan
Perkembangan angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan persentase gizi
buruk di Provinsi Papua Barat Tahun 2004-2009 ditampilkan pada Gambar 10.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 26
34. Gambar 10.
Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup dan Persentase Gizi Buruk
di Papua Barat Tahun 2004-2008
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Kematian Bayi per 1000 kelahiran hidup % Gizi Buruk
Sumber: Bappenas Ri, 2007
Berdasarkan data pada Gambar 10 di atas, pada tahun 2007 terjadi peningkatan
angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat menjadi 36 bayi per 1000 kelahiran
hidup. Peningkatan angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat pada tahun 2007
diduga oleh terjadinya peningkatan persentase bayi dengan gizi buruk di daerah ini.
Pada tahun 2007 persentase bayi dengan gizi buruk meningkat menjadi 6.80 persen.
Tahun 2008 menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan penurunan
persentase angka kematian bayi dari 36 menjadi 31.60 bayi per 1000 kelahiran
hidup. Turunnya angka kematian bayi ini diduga disebabkan semakin fokusnya
pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan baik kepada Ibu maupun bayi
melalui program-program seperti posyandu, dan lain-lain. Peningkatan program
perbaikan gizi balita dan Ibu hamil menjadi salah satu program yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam hal ini pada instansi terkait. Sangat disayangkan bahwa
data mengenai persentase bayi dengan gizi buruk tidak tersedia untuk tahun 2008
dan 2009, sehingga keterkaitan antara kedua indikator ini tidak dapat dibahas lebih
mendalam.
Keluarga Berencana
Persentase pertumbuhan penduduk di Papua Barat Tahun 2004-2009 ditampilkan
pada Gambar 11.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 27
35. Gambar 11.
Laju Pertumbuhan Penduduk dan Total Fertility Rate di Papua Barat
Tahun 2004-2009
PERSENTASE PERTUMBUHAN PENDUDUK
8,00
6,00
4,00
2,00
‐
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% Pertumbuhan Penduduk % Total Fertility Rate
Sumber: BPS ( 2010), SKDI (2007), BKKBN.go.id
Berdasarkan data pada Gambar 11 terlihat bahwa persentase pertumbuhan
penduduk selama kurun waktu 2004-2009 terus mengalami penurunan di Provinsi
Papua Barat. Penurunan persentase pertumbuhan penduduk secara signifikan
terjadi yaitu dari 6.80 persen (pada tahun 2005) menjadi 4.55 (pada tahun 2006) dan
4.07 (pada tahun 2007) menjadi 1.96 (pada tahun 2008).
Di sisi yang lain, persentase Total Fertilily Rate (TFR) juga mengalami penurunan,
akan tetapi penurunan persentase TFR tidak terjadi secara signifikan selama tahun
2005 sampai tahun 2007. Walaupun data persentase TFR tidak tersedia untuk tahun
2004, 2008, dan 2009, diduga perubahan nilai persentase TFR tidak akan terjadi
secara signifikan. Oleh karena itu penurunan persentase laju pertumbuhan
penduduk di Provinsi Papua Barat diduga lebih disebabkan oleh laju migrasi
penduduk ke dalam provinsi ini. Tingginya laju imigrasi ke daerah ini, terutama pada
awal tahun 2000-an, disebabkan oleh karena status daerah ini sebagai provinsi baru.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 28
36. Gambar 12.
Contraceptive Prevalence Rate, Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita dan
Angka Melek Huruf di Papua Barat Tahun 2004-2009
Persentase Contraceptive Prevalence Rate
100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
‐
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% Contraceptive Prevalence Rate % Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
% Angka Melek Aksara
Sumber: BPS (2010), BKKBN.org.id
Berdasarkan data pada Gambar 12, terlihat bahwa persentase contraceptive
prevalence rate (CPR) menurun pada tahun 2005 dan tahun 2006. Persentase
contraceptive prevalence rate (CPR) pada tahun 2005 turun menjadi 44.18 dari tahun
2004 sebesar 46.41. Sedangkan persentase CPR tahun 2006 kembali turun menjadi
41.94. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan penurunan persentase CPR
selama tahun 2005 dan 2006 adalah faktor pendapatan perkapita penduduk. Laju
perkembangan pendapatan perkapita penduduk Provinsi Papua Barat selama tahun
2005, 2006, dan 2007 menunjukkan penurunan. Oleh karena itu diduga bahwa
apabila untuk menjadi peserta Keluarga Berencana (KB) dibutuhkan biaya, maka
penurunan pendapatan berakibat pada penurunan daya beli masyarakat. Data
persentase laju pertumbuhan pendapatan perkapita di Provinsi Papua Barat
menunjukkan bahwa persentase laju pertumbuhan pendapatan perkapita menurun
menjadi 3.75 dari laju pertumbuhan 5.25 pada tahun 2005. Persentase laju
pertumbuhan ini terus menurun hingga tahun 2008.
Namun persentase CPR menunjukkan perkembangan yang baik dengan
meningkatnya CPR pada tahun 2007 dan 2008. Peningkatan ini diduga disebabkan
oleh semakin gencarnya sosialisasinya program KB di daerah ini semakin gencar.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 29
37. Gencarnya sosialisasi ini didukung oleh semakin meningkatnya persentase angka
melek huruf di Provinsi Papua Barat. Peningkatan persentase angka melek huruf
meningkatkan kemampuan masyarakat menerima diseminasi informasi mengenai
program keluarga berencana.
Capaian Ekonomi Makro
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang terintegrasi antarsektor dengan
baik akan mampu memberikan pedoman bagi arah pembangunan daerah. Karena
pencapaian hasil pembangunan daerah merupakan isu utama bagi masyarakat.
Perubahan keadaan yang lebih baik, karena adanya pembangunan daerah akan
meningkatkan apresiasi masyarakat pada pemerintah daerah, yang selanjutnya akan
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah.
Dari sisi pembangunan ekonomi makro daerah, terdapat empat indikator yang sering
dijadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan di daerah, yaitu: pertumbuhan
ekonomi (economic growth), pendapatan perkapita, inflasi (inflation), dan investasi.
Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat Tahun 2004-2009
Pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan indikator utama perekonomian di Provinsi
Papua Barat, karena kemampuannya dalam memberikan implikasi pada kinerja
perekonomian makro yang lain di Papua Barat. Atau dapat dikatakan bahwa,
pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktivitas perekonomian suatu
daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dapat menunjukkan
semakin berkembangnya aktivitas perekonomian baik aktivitas produksi, konsumsi,
investasi maupun perdagangan di Provinsi Papua Barat yang kemudian berdampak
pada penyerapan pasar tenaga kerja, iklim investasi, hingga mengurangi angka
kemiskinan. Kinerja pertumbuhan ekonomi sektoral Provinsi Papua Barat periode
2004-2009 dapat dilihat pada Gambar 13.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 30
38. Gambar 13.
Persentase Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Papua Barat
Tahun 2004- 2009
Laju Pertumbuhan Ekonomi
8
7
6
5
4
3
2
1
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Pertumbuhan Ekonomi ( % )
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2010
Terlihat jelas pada Gambar 13, bahwa prestasi pertumbuhan ekonomi yang diraih
oleh Papua Barat tahun 2004 sebesar 7,39 persen, ternyata tidak bisa
dipertahankan karena terlihat jelas bahwa pertumbuhan tersebut justru melambat
hingga tahun 2006 yang hanya mencapai 4,55 persen. Melambatnya pertumbuhan
ekonomi Papua Barat pada periode 2004-2006 dikarenakan status wilayah Provinsi
Papua Barat masih berstatus definitif, sehingga agenda pembangunan daerahpun
belum fokus. Artinya, belum ada agenda prioritas pembangunan di daerah yang
harus menjadi fokus pemerintah Provinsi Papua Barat. Kemudian, pada periode
tersebut (2004-2006) pemerintah daerah definitive masih lebih banyak melakukan
identifikasi sumberdaya daerah yang dilakukan dalam bentuk road show.
Selanjutnya, hasil road show tersebutlah yang diharapkan nantinya digunakan
sebagai agenda pembangunan daerah.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 31
39. Gambar 14
Indikator Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat, 2004-2011
Laju Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% Pertumbuhan Ekonomi % Manufaktur % Ekspor
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2009
Setelah tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Papua Barat terlihat jelas mulai
menunjukkan peningkatan sebesar 6,95 persen pada tahun 2007 dan tahun 2008
menjadi 7,33 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Papua Barat yang terjadi
pada tahun 2007 hingga 2008 (lihat gambar 14) lebih disebabkan karena
meningkatnya kegiatan di sektor industri manufaktur (sektor sekunder) yang naik
sebesar 13,13 persen. Meningkatnya peran sektor industri manufaktur belakangan
ini di Papua Barat, memberikan gambaran bahwa telah terjadi pergeseran struktur
ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan sektor tersier. Artinya, kinerja
sektor primer yang selama ini mendominasi peta perekonomian di Papua Barat
justru mulai bergeser dan diganti posisinya oleh sektor sekunder dan sektor tersier.
Pergeseran tersebut lebih disebabkan karena pendapatan yang diperoleh dari sektor
primer tidak banyak merubah status ekonomi masyarakat, sehingga alternatif pilihan
yang dianggap potensial yaitu sektor sekunder dan tersier.
Tahun 2009, kinerja pertumbuhan ekonomi di Papua Barat justru melambat menjadi
6,26 persen atau bergeser sekitar 1,07 persen dari tahun 2008. Melambatnya
pertumbuhan ekonomi Papua Barat pada periode 2009, lebih disebabkan oleh
karena kinerja ekspor yang menurun 4 (empat) tahun terakhir. Terutama kegiatan
ekspor luar negeri untuk komoditi-komoditi vital yang selama ini menjadi primadona
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 32
40. daerah justru mulai melambat. Tentunya hal ini disebabkan karena semakin ketatnya
regulasi yang diterapkan, guna pemanfaatan lingkungan hidup secara berkelanjutan.
Pendapatan Per Kapita
Pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator ekonomi yang dapat
digunakan untuk membandingkan tingkat kemakmuran suatu daerah dengan daerah
lainnya. Pendapatan per kapita diperoleh dengan membagi besaran nilai PDRB atas
dasar harga konstan dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Oleh
karena itu, besaran pendapatan per kapita sangatlah bergantung pada besaran
PDRB yang terbentuk dan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan atau periode
pengamatan. Perkembangan PDRB per kapita Papua Barat Tahun 2004 hingga
2009 dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15.
PDRB Per Kapita Berdasarkan Harga Berlaku di Papua Barat
Tahun 2004-2009
PDRB Per Kapita
25.000.000,00
20.000.000,00
15.000.000,00
10.000.000,00
5.000.000,00
0,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pendapatan Per Kapita
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2010
Terlihat jelas pada Gambar 15, diatas bahwa, pendapatan per kapita yang diprediksi
melalui PDRB per kapita berdasarkan harga berlaku terus mengalami peningkatan 5
tahun terakhir (2004-2009). Rata-rata peningkatan PDRB per kapita Papua Barat
lima tahun terakhir yaitu sebesar 13,94 persen. Kemudian, meningkatnya PDRB per
kapita di wilayah Papua Barat lebih disebabkan oleh karena peningkatan pada total
PDRB Papua Barat yang dihasilkan dari 9 (Sembilan) sektor pada periode
pengamatan (2004-2009). Selanjutnya, perkembangan PDRB per kapita dengan
PDRB sektoral dapat dilihat pada Gambar 16.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 33
41. Gambar 16
Indikator Pendukung PDRB Per Kapita Papua Barat, 2004-2009
PDRB Per Kapita
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
PDRB Per Kapita (juta‐Rp) PDRB (milyar‐Rp)
Sumber: Papua Barat Dalam Angka (BPS Papua Barat), 2009
Prestasi PDRB per kapita yang diraih oleh Papua Barat tentunya tidak secara
langsung dapat mencerminkan aspek kesejahteraan masyarakat di wilayah Papua
Barat. Mengapa demikian? Karena pendekatan PDRB per kapita hanya melihat rata-
rata pendapatan masyarakat secara keseluruhan, dan belum tentu dapat
mencerminkan pendapatan riil masyarakat. Karena fakta dan data dari penelitian-
penelitian terdahulu sudah banyak memberikan informasi, bahwa kepemilikan
terhadap faktor-faktor produksi di masyarakat yang dicirikan oleh aktivitas ekonomi
dan konsentrasi industri di Papua Barat masih cukup timpang, maka besarnya
pendapatan per kapita tahun 2009 sebesar Rp19.560.000,- belum sepenuhnya
memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan di
Provinsi Papua Barat.
Perkembangan Inflasi
Tujuan penyusunan inflasi Provinsi Papua Barat tentunya adalah untuk memperoleh
indikator yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan
harga. Tujuan tersebut penting dicapai karena indikator tersebut dapat dipakai
sebagai informasi dasar untuk pengambilan keputusan baik di tingkat ekonomi mikro
atau makro, baik fiskal maupun moneter. Perkembangan laju inflasi di Provinsi
Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 17.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 34
42. Gambar 17.
Laju inflasi di Provinsi Papua Barat Tahun 2004-2009
LAJU INFLASI
25
20
15
10
5
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% Laju Inflasi
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2010 dan Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
BPK Perwakilan Papua Barat
Dalam kurun waktu 2004-2009, tingkat inflasi di Provinsi Papua Barat mengalami
pasang surut yang tidak terlalu menggembirakan jika dibandingkan dengan daerah
lain di Tanah Air. Dalam kurun waktu tersebut rata-rata laju inflasi di Papua Barat
mencapai 13,69 persen. Tercatat pada periode pengamatan, bahwa kenaikan inflasi
tahun 2008 adalah yang tertinggi yaitu sebesar 20,04 persen. Meskipun pemerintah
mampu menekan laju inflasi tahun berikutnya (tahun 2009) hingga mencapai 5.07
persen. Selanjutnya dilihat dari kelompok pengeluaran, rata-rata kontributor terbesar
inflasi tahun 2008 adalah kelompok sektor bangunan, diikuti berturut-turut oleh
sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan, dan sektor
pertanian.
Penyebab inflasi di Provinsi Papua Barat terjadi dari dua sisi yaitu dari sisi
permintaan (demand pull inflation), dan dari sisi penawaran (cost push inflation). Sisi
permintaan agregat, inflasi di Papua Barat lebih diakibatkan oleh adanya ekspansi
jumlah uang beredar di masyarakat yang meningkat (terutama menjelang moment-
moment akbar di daerah), meningkatnya pengeluaran konsumsi, meningkatnya
pengeluaran investasi, dan meningkatnya pengeluaran pemerintah sebagai renspon
terhadap euforia pemekaran wilayah yang belakangan menjadi primadona di daerah.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 35
43. Dari sisi penawaran agregat, inflasi di Papua Barat diakibatkan oleh terbatasnya
kapasitas produksi, naiknya bahan baku impor, naiknya harga produk impor,
kenaikan tingkat upah, kelangkaan faktor produksi (teknologi), terhambatnya
distribusi barang, bias harga akibat kebijakan pemerintah (administered price and
income policy) seperti upah minimum, kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil serta
rigiditas struktural yang cukup populer di daerah. Kemudian, yang perlu diperhatikan
juga bahwa, Papua Barat sebagai wilayah dengan perekonomian terbuka (floating
exchange rate) akan sangat rentan terhadap inflasi yang berasal dari perdagangan
antar pulau.
Perkembangan Investasi
Sebagai salah satu provinsi target investor, Papua Barat tentunya juga telah
melakukan beberapa upaya di antaranya tetap menjaga kestabilan pertumbuhan
ekonomi yang menjadi barometer perekonomian daerah. Selain upaya menjaga
kestabilan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Daerah Papua Barat juga telah
melakukan berbagai upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Tercatat hingga tahun 2009, perkembangan investasi di Papua Barat sedikit
mengalami keterlambatan jika dibandingkan dengan perkembangan investasi tahun
2005. Perkembangan rencana dan realisasi investasi (PMDN) di Papua Barat dapat
dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18.
Perkembangan Nilai Rencana dan Realisasi PDMN di Papua Barat
Tahun 2005-2009 (Rp. Milyar)
RENCANA DAN REALISASI PMDN
180 169,79 169,79
160
140
120
100
80
60
40 9,12 10,13
7,62
20 3,04 0,95 0,95 0,97 0,98
0
2005 2006 2007 2008 2009
Realisasi PMDN Rencana PMDN
Sumber: Biro Perekonomian dan Investasi Papua Barat, 2010
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 36
44. Gambar 18 menunjukkan bahwa nilai rencana investasi dalam negeri (PMDN) cukup
meningkat tajam pada tahun 2006 hingga 2007. Namun apresiasi nilai rencana
investasi justru berbanding terbalik dengan nilai realisasi dari PMDN pada periode
tersebut. Artinya, meski nilai rencana PMDN meningkat hingga mencapai Rp169,79
milyar namun nilai realisasi justru menurun menjadi Rp0,95 milyar, jika dibandingkan
dengan nilai realisasi PMDN yang diperoleh pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp3,04
milyar dengan jumlah proyek 65 unit. Secara substansial terdapat dua aspek yang
paling mendasar dan oleh beberapa stakeholders di daerah dianggap sebagai faktor
penyebab melambatnya kegiatan iklim investasi di Papua Barat adalah faktor
kewilayaan (geografis) dan faktor adat serta struktur sosial yang beragam
dikalangan masyarakat.
Tahun 2008, nilai rencana investasi (PMDN) menurun cukup drastis dari Rp169,79
milyar (2007) menjadi Rp7,62 milyar pada tahun 2008, namun tercatat bahwa nilai
realisasi investasi justru meningkat menjadi Rp0,97 milyar. Artinya, telah terjadi
peningkatan dari nilai realisasi investasi PMDN di Papua Barat sebesar Rp0,02
milyar. Prestasi yang sama juga terjadi pada tahun 2009, yang mana nilai realisasi
PMDN juga meningkat menjadi Rp0,98 milyar atau naik sebesar Rp0,01 milyar.
Meningkatnya, nilai realisasi investasi lebih disebabkan oleh karena terjadi
peningkatan nilai rencana investasi yang kemudian dioptimalkan oleh pemerintah
daerah. Selain itu, meskipun masih relatif lambat jika dibandingkan dengan kinerja
investasi daerah lain di Indonesia, prestasi ini justru tidak terlepas dari komitmen
pemerintah daerah Papua Barat terhadap perkembangan investasi yang telah
dituangkan sebagai bidang prioritas dalam RPJMD 2006-2011.
Selanjutnya, bagaimana dengan investasi asing yang masuk lewat PMA
(penanaman modal asing)? Berbeda dengan perkembangan PMDN, PMA justru
tampil cukup menggembirakan. Tercatat nilai realisasi PMA tahun 2005 sebesar US$
0,78 juta dengan jumlah proyek 28 unit, naik pada tahun 2009 menjadi US$ 0,98 juta
dengan jumlah proyek sebanyak 49 unit. Investasi asing yang masuk melalui PMA
paling dominan di Provinsi Papua Barat adalah pada bidang pertambangan,
kehutanan, kemudian diikuti industri perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Selanjutnya, nilai realisasi PMA di Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Gambar
19.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 37
45. Gambar 19.
Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Papua Barat
Tahun 2004-2009 (US$ Ribu)
NILAI RENCANA DAN REALISASI PMA
1,80
1,60
1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
‐
2005 2006 2007 2008 2009
Realisasi PMA Rencana PMA
Sumber: Biro Perekonomian dan Investasi Papua Barat, 2010
Baik PMDN maupun PMA di Papua Barat memiliki pola yang sama. Artinya,
investasi asing yang masuk lewat PMA dan investasi domestik (PMDN) mempunyai
ekspektasi yang sama. Justru yang menarik adalah bahwa PMDN meskipun
perkembangan terkesan lambat, namun masih terus berlanjut. Dan yang lebih
manarik lagi adalah bahwa kehadiran PMDN pada tahun 2009 mampu menciptakan
lapangan kerja bagi 496.907 pencari kerja, dibandingkan tahun 2005 yang hanya
mampu menciptakan lapangan kerja bagi 20.151 pencari kerja.
Pengembangan investasi PMDN dan PMA di Papua Barat terbilang unik. Meski kaya
SDA terutama kekayaan tambang, investasi di Papua Barat menghadapi sejumlah
tantangan. Tantang atau lebih disebut sebagai persoalan mendasar yang masih
menjadi faktor penghambat melambatnya kinerja investasi di Papua Barat adalah
sebagai berikut :
Θ Kawasan pengembangan dan pusat-pusat pertumbuhan baru berhasil
diidentifikasi namun RTRW nya belum dilakukan.
Θ Potensi komoditi di setiap kawasan pengembangan baru berhasil diidentifikasi,
namun identifikasi kelayakan ekonomi maupun finansialnya belum diketahui..
Θ Rendahnya kepastian hukum.
Θ Lemahnya insentif investasi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 38