Dokumen tersebut membahas tentang pernikahan, proses perceraian melalui talak dan gugat cerai, serta faktor-faktor yang dapat menyebabkan perceraian. Proses hukum perceraian meliputi pengajuan permohonan ke pengadilan agama, upaya perdamaian, persidangan, dan penetapan putusan perceraian.
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
MENIKAH DAN KELUARGA
1.
2. Latar
Pernikahan merupakan suatu proses awal terbentuknya sebuah keluarga dan juga
merupakan awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Kehidupan
sehari-hari manusia yang berlainan jenis kelaminya yang diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa laki-laki dan perempuan dikatakan perempuan secara alamiah mempunyai
daya tarik-menarik antara yang satu dengan yang lain untuk berbagai kasih sayang
dalam mewujudkan suatu kehidupan bersama atau dapat dikatakan ingin
membentuk ikatan lahir dan batin untuk mewujudkan suatu keluarga atau rumah
tangga yang bahagia, rukun dan kekal.
3. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, dapat diketahui bahwa suatu
rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan
“tujuan” perkawinan dimaksud adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dan arti dari
perkawinan menjadi lebih dalam, karena selain melibatkan kedua keluarga juga lebih
berarti untuk melanjutkan keturunan, keturunan merupakan hal penting dari
gagasan melaksanakan perkawinan.
Jenis-jenis penyelesaian yang diselesaikan di pengadilan yaitu ada berupa perceraian
yang terdiri atas cerai talak dan cerai gugat, serta juga menyangkut mengenai harta
gono-gini (harta bersama). Disamping atas pengajuan penyelesaian sengketa, perlu
juga mengetahui sebab serta akibat yang ditimbulkan oleh sengketa tersebut.
Disamping itu, juga ada beberapa mekanisme-mekanisme yang mesti di patuhi oleh
para pihak berperkara di pengadilan.
4. B. Pembahasan
1. Cerai Talak
a. Pengertian
Kata “talaq” mempunyai arti yang umum yaitu segala macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh Hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri.
Selain itu, “talaq” juga mempunyai arti yang khusus, yaitu “perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami”. .Yang dimaksud talak
dalam KHI Pasal 117, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya hubungan perkawinan.
b. Dasar Hukum Talak
Talak merupakan suatu yang disyariatkan dalam Islam berdasarkan nashnash yang terdapat dalam Alquran maupun
Alhadis. Adapun nash-nash di dalam Alquran dan Alhadis yang menjadi dasar hukum talak yaitu;
QS. an-Nisā ayat 20-21
QS. al-Baqarah ayat 229
QS. ath-Thalaq ayat 1-2
QS. ath-Thalaq ayat 6
5. BeBblakang
C. Hukum Talak
Adapun hukum menjatuhkan talak apabila dilihat dari kemaslahatan dan kemandhorotannya, maka hukum talak ada 5 (lima) yaitu:
• Wajib, talak yang dijatuhkan oleh hakam (penengah), karena perpecahan antara suami-istri tidak dapat diperbaiki lagi (shiqaq). Dan ini jika
hakam berpendapat bahwa talak merupakan jalan satu-satunya untuk menghentikan perpecahan antar keduanya. Hal ini berlaku pula pada
talak perempuan yang di-ila’ sesudah berlalu waktu menunggu selama empat bulan
• Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkah), atau si istri yang sudah keterlaluan dalam
melanggar perintah Allah atau si istri tidak menjaga kehormatan dirinya.
• Haram, talak yang dijatuhkan tanpa alasan yang kuat atau dengan niat untuk mempermainkan perkawinan, baik dilakukan oleh suami atau
istri, karena talak tersebut akan merugikan antara keduanya. Rasulullah saw. menyatakan bahwa talak ini merupakan dari perilaku yang
membahayakan kehidupan pribadi dan masyarakat karena talak berdampak kepada tatanan sosial yang harmonis, baik kepada anak-anak
maupun keluarga.
• Mubah (dibolehkan), ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri terhadap suami, suami menderita
mandharat lantaran tingkah laku istri, suami tidak mencapai tujuan perkawinan dari istri.
• Makruh, ini adalah hukum asal dari talak. Menurut para ulama, dikatakan bahwa “talak yang sah adalah talak yang diucapkan oleh suami yang
baligh dan berakal, jika suaminya gila atau mabuk sehingga tidak dalam keadaan sadar, talaknya sia-sia seperti talak yang diucapkan oleh
suami yang belum baligh.”
6. D. Alasan Terjadinya Perceraian
Tentang alasan-alasan perceraian tercantum pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu perceraian dapat terjadi karena alasan-
alasan sebagai berikut:
• Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
• Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
• Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
• Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membebankan pihak lain.
• Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
• Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. BeBblakang
E. Prosedur Perkara cerai Talak
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :
1. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7
Tahun 1989).
2. Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syari’ah :
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau
sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara
secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
8. Proses Penyelesaian Perkara:
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan agama/mahkamah syar’iyah.
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syari’ah untuk menghadiri persidangan.
3. a.Tahapan persidangan :
Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7
Tahun 1989). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA
No. 2 Tahun 2003). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab
menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan Permohonan rekonvensi
(gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg).
b. Putusan pengadilan agama/mahkamah syari’ah atas permohonan cerai talak sebagai berikut:
Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syari’ah tersebut.
Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syari’ah tersebut.
Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
Pengadilan agama/mahkamah syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak. Pengadilan agama/mahkamah syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon
untuk melaksanakan ikrar talak. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak
melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum
yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).
9. 2. Cerai Gugat
A. Pengertian
Cerai gugat ialah putusnya suatu ikatan perkawinan sebagai akibat adanya permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan agama, yang kemudian suami
(termohon) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Ahrum Hoerudin mendefenisikan cerai gugat secara luas ialah
suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat (istri) kepada pengadilan agama, agar tali perkawinan dirinya dengan suaminya diputuskan melalui suatu
putusan pengadilan agama, selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku. Cerai gugat dalam islam disebut dengan istilah khulu’ yang secara bahasa adalah
melepaskan atau menanggalkan. Hal hal tersebut karena suami dan istri ibarat pakaian dan bila terjadi khulu’ maka lepasnya ikatan pernikahan diantara
mereka.
B. Dasar Hukum Cerai Gugat
Landasan cerai gugat terdapat dalam Al-Qur’an, hadist, dan ijma’ ulama. Seperti yang terdapat dalam Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2):
229. yang artinya, Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-
hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.
Hal ini salah satu perlindungan terhadap wanita dalam islam karena dahulunya sebelum ayat ini turun umat islam maupun orang jahilliyah tidak
mempunyai Batasan bilangan talak yang tegas sehingga hal ini justru menganiaya wanita. Mereka ditinggalkan tanpa suami dan tidak boleh pula bersuami
lagi lalu turunlah ayat ini. Selanjutnya Allah menyuruh melepaskan wanita dengan baik dan tidak diperbolehkan mengambil barang-barang yang telah
diberikan kepada istrinya bila terjadi perceraian, baik berupa maskawin dan lainnya, tetapi bila dalam suatu perkawinan terdapat hal-hal yang menyebabkan
suami istri tidak dapat lagi melaksanakan ketentuan Allah, maka khulu’ boleh dilakukan dengan memberikan tebusan.
10. C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan cerai Gugat
Faktor yang menyebabkan terjadinya cerai gugat diantaranya:
• Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
• Krisis moral dan akhlak
• Perzinaan
• Pernikahan tanpa cinta
Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya cerai gugat antara lain adalah persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar dan persoalan prinsip hidup
yang berbeda. Perbedaan usia yang besar dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Perbedaan penekanan dan cara mendidik anak juga pengaruh dukungan dari
pihak luar seperti tetangga, sanak keluarga, sahabat, dan situasi masyarakat yang terkondisi.
11. D. Tata cara Mengajukan Cerai Gugat dan Proses Penyelesaian Perkara
Langkah-langkah harus dilakukan penggugat (istri) atau kuasanya dalam mengajukan cerai gugat diantaranya:
• Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
• Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah: Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat
• Gugatan tersebut memuat:
Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat;
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
• Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap
• Membayar biaya perkara
• Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
12. Proses Penyelesaian Perkaranya sebagai Berikut:
1. Pengguat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agam/Mahkamah Syari'ah.
2. Penggugat dan tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agam/Mahkamah Syari'ah untuk menghadiri persidangan.
3.a. Tahapan Persidangan:
• Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 Undang Undang
No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006);
• Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 1 tahun
2016);
• Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian
dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (Sebelum Pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a
HIR, 158 R.Bg.);
b. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah atas cerai gugat talak sebagai berikut:
• Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah tersebut.
• Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah tersebut.
• Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan permohonan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka Panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai
kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
13. 3. Harta Bersama/Harta Gono Gini
A.Defenisi
Dalam Hukum Islam, harta bersama suami istri pada dasarnya tidak dikenal, karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fikih. Hal ini sejalan
dengan asas pemilikan harta secara individual (pribadi). Atas dasar ini, suami wajib memberikan nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala
kelengkapannya untuk anak dari istrinya dari harta suami sendiri Harta Bersama dalam Islam lebih identik diqiyaskan dengan Syirkah abdan mufawwadhah
yang berarti perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, pengertian harta bersama sejalan dengan
pengertian harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 35 yaitu harta benda yang diperoleh suami istri selama berlangsungnya
perkawinan. Dalam pasal 85 KHI disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami istri, bahkan dalam pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta bersama dan istri karena perkawinan.
B. Dasar Hukum
Al-Qur‟an Dalam Al-Qur‟an dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqh harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya secara rinci, namun
terdapat beberapa ketentuan hukum positif Indonesia yang mengatur secara tegas mengenai harta bersama, yaitu:
• Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1),
• Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119
• Kompilasi Hukum Islam Pasal 85
14. C. Macam-Macam Wujud Harta Bersama
Harta bersama dalam UU Perkawinan menurut subekti, didasarkan pada hukum adat. Dalam hukum adat, harta perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan
dalam 4 (empat) golongan, sebagai berikut:
• Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibah dari kerabat (famili) masing-masing dan dibawa kedalam perkawinan.
• Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
• Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama.
• Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.
D. Proses Pembagian Harta Bersama
Harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan itu sudah terputus. Hubungan perkawinan itu dapat terputus karena
kematian, perceraian, dan juga putusan pengadilan. UU Perkawinan Pasal 37 mengatakan "Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut
hukumnya masing masing". Yang dimaksud dengan hukum masing-masing ditegaskan dalam penjelasan pasal 37 ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum-
hukum lainnya. Dalam Pasal 37 UU Perkawinan tidak menegaskan berapa bagian masing-masing antar suami atau istri, baik cerai mati maupun cerai hidup, tetapi
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 dan 97 mengatur tentang pembagian syirkah ini baik cerai hidup maupun cerai mati, yaitu masing-masing mendapat
separuh dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian kawin. Selengkapnya Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi, "Apabila terjadi cerai
mati maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya
hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama". Sedangkan Pasal 97
Kompilasi Hukum Islam menyatakan, “Janda atau duda yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian kawin”. Dari kedua pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama atau syirkah akan dibagi sama banyak atau seperdua bagian antara
suami dan istri, hal ini dapat dilakukan langsung atau dengan bantuan pengadilan.
15. Gugatan harta bersama bisa diajukan bersamaan dengan permohonan/gugatan perceraian dan bisa
juga setelah perceraian berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam sengketa harta bersama selama
ini diajukan ke pengadilan agama kebanyakan kumulatif. Gugatan harta bersama diajukan
bersamaan dengan permohonan/gugatan perceraian. Hal ini dibolehkan sebagaimana disebutkan
dalam pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berikut: "Gugatan soal penguasaan
anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama sama dengan
gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap".
16. Penutup/Kesimpulan
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Cerai Talak adalah Perceraian yang diajukan oleh suami yang memutus hubungan perkawinan. Adapun ikrar talak dilaksanakan di depan Hakim melalui
sidang di Pengadilan Agama.
3. Cerai Gugat adalah putusnya suatu ikatan perkawinan sebagai akibat adanya permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan agama, yang kemudian
suami (termohon) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud.
4. Ada beberapa alasan perceraian, diantaranya adalah Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membebankan pihak lain. Salah satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
17. 4. Dalam hukum Islam, harta bersama suami istri pada dasarnya tidak di atur secara khusus dalam kitab fiqih. Namun, harta bersama dalam Islam lebih
identik diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadhah yang berarti perkongsian tenaga dan perkongsian yang tak terbatas. Menurut Pasal 35 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta bersama di definisikan sebagai "harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama".
5. Dasar hukum harta bersama didasarkan pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 119 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam.
6. Pembagian harta bersama hanya dapat terjadi apabila hubungan perkawinan itu sudah terputus. Hubungan perkawinan itu dapat putus karena kematian,
perceraian, dan juga putusan pengadilan. Dalam Pasal 37 UU Perkawinan mengatakan bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Pada Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang pembagian harta bersama, baik cerai hidup maupun
cerai mati , yaitu masing-masing mendapat separuh dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian kawin.
8. Pada dasarnya hukum Islam tidak menjelaskan mengenai harta bersama secara rinci. Namun didasarkan pada KHI yang merupakan acuan bagi hakim
pengadilan agama untuk memutuskan perkara bagi yang beragama Islam. Gugatan harta bersama bisa diajukan bersamaan dengan permohonan/gugatan
perceraian dan bisa juga setelah perceraian berkekuatan hukum tetap. Hal ini diatur dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Dalam
sengketa harta bersama selama ini diajukan ke pengadilan agama kebanyakan kumulatif.
9. Adapun Mekanisme Cerai Talak dan Cerai Gugat di pengadilan terdiri atas beberapa prosedur yang telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku saat
ini dan diselesaikan melalui pengadilan.