SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SDGs_TKK
1. Tata Kelola Kolaboratif
dalam Desain Kebijakan Publik
Studi Kasus Pelaksanaan SDGs di Indonesia
Oswar Mungkasa
Program Peningkatan Kapasitas Pemangku Kebijakan Inti dalam
Perencanaan Pembangunan Berbasis Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB)
Diklat LPEM FEB UI bekerjasama dengan SDGsHUB Universitas
Indonesia
Jakarta 5 Juli 2021
Foto: Kedeputian Gub DKI bidang TRLH
05/01/2023 0
4. LATAR BELAKANG
Era Kolaborasi
Old Public Administration New Public
Administration
Governtment Governance
Pemerintah tidak lagi mendominasi
pemerintah-swasta-masyarakat
Kolaborasi keniscayaan
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pengelolaan pemerintahan melibatkan
pemangku kepentingan non pemerintah
Berorientasi musyawarah dan konsensus
dalam pengambilan keputusan
Membuat/melaksanakan kebijakan publik
Foto: Internet
05/01/2023 3
5. Perjalanan Awal (1)
05/01/2023 4
• Sejak akhir dekade 80-an, istilah governance mulai digunakan menggantikan government gelombang
reformasidalambidangpemerintahan.
• Penggunaan istilah governance dengan makna baru mulai dipopulerkan Bank Dunia pada tahun 1989
melaluilaporanbertajuk“Sub-SaharanAfrica:FromCrisistoSustainableGrowth”(Pratikno,2007).
• Di lain pihak, The Commission on Global Governance memaknai governance sebagai upaya berbagai
pemangku kepentingan baik perorangan, lembaga pemerintah, masyarakat dan swasta mengelola urusan
Bersama
• Perubahan ini sebenarnya bertujuan untuk mendemokrasikan administrasi publik yang ditandai dengan
pergeseran paradigma Old Public Administration (OPA) berikut istilah government yang bermakna institusi
pemerintah ke paradigma baru yaitu NPM atau New Public Management dengan penggunaan istilah
governanceyangdimaknaiadanyaketerlibatankelompokkepentingandanmasyarakat.
6. Perjalanan Awal (2)
05/01/2023 5
• Paradigma old public administration (OPA) pengaruh politik, tersentralistik, terbatasnya peran administrator
dalampembuatankebijakandanmeletakkanefisiensisertarasionalitasmenjadinilaiutamaorganisasi.
• new public management (NPM) menekankan pada perubahan dalam bentuk relasi pemerintah dari birokrasi yang
tersentralistikkepadakolaborasiantarorganisasi.
• goverment dilihat sebagai “mereka”, seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu,
memberikanpelayanan,sementarasisadari“kita”adalahpenerimayangpasif.
• governance adalah “kita”, yang meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan yang “diperintah” karena kita
semuaadalahbagiandariprosesgovernance(Dewi,2012).
• Institusi governance meliputi tiga ranah yaitu negara atau pemerintah, swasta atau dunia usaha dan masyarakat
yangsalingberinteraksidan menjalankanfungsinyamasing-masing(Sedarmayanti,2003).
• Perubahan istilah government menjadi governance mengandung maksud perubahan peran pemerintah tidak lagi
memonopolidalampengelolaantatapemerintahan tetapibersamapemangkukepentingan non-pemerintah.
7. Perjalanan Awal (3)
05/01/2023 6
• Pasca NPM pada abak ke 19, mulai mengemuka istilah kolaborasi sebagai proses
kerjasama antarpemangku kepentingan yang tidak lagi terpaku pada organisasi rasional
dan hirarki.
• Secara epistemologi, kata kolaborasi berasal dari bahasa Inggris yaitu ‘co-labour’ yang
bermakna bekerja bersama (catatan.. umum terjadi sama-sama bekerja (Wanna,
2008).
• Selain itu, ketika terjadi pergeseran penyebutan government menjadi governance
mengemuka pula istilah collaborative governance (tata kelola kolaboratif).
9. Pemahaman Dasar (2)
05/01/2023 8
• Agranoff dan McGuire (2003) mengungkapkan bahwa para pihak berkolaborasi karena adanya elemen
kohesifitas yaitu (i) Saling Percaya, mempunyai tujuan bersama dan saling ketergantungan; (ii) Tujuan yang
sama; (iii) Perubahan Cara Pandang dan Komitmen, adanya kerangka berpikir, persepsi, dan cara bekerja
yang serupa; (iv) Kepemimpinan dan Kemampuan Memandu, mampu menerapkan prinsip arahan minimal
sebagaipenggantiperintahdankendali(Febrian, 2018)
• Peter (1998) menambahkan bahwa dalam kerjasama kolaboratif hubungan prinsipal-agen tidak berlaku
karena kerjasama yang terjadi adalah kerjasama antara prinsipal dengan prinsipal. Tidak ada hirarki dalam
kolaborasi.
• Eppel (2013), menyatakan terjadinya trasnformasi hubungan dari pengakuan keberadaaan bersama (co-
existence), kemudian melakukan komunikasi (communication), kerjasama (cooperation), koordinasi (co-
ordination)hinggasampaipadakolaborasi.SelengkapnyapadaGambar1.
11. Pemahaman Dasar (3)
05/01/2023 10
• Menurut Ansell dan Gash (2007), tata kelola kolaboratif adalah cara pengelolaan
pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan di luar pemerintah,
berorientasi pada konsensus, dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan
kolektif, yang memiliki tujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan dan program
publik. Penekanannya adalah pada pencapaian konsensus di antara para pemangku
kepentingan.
• Emerson, Nabatchi dan Balogh (2015) lebih jauh menggambarkan tata kelola kolaboratif
secara lebih fleksibel dengan memasukkan bentuk kolaborasi lintas pemerintahan,
kolaborasi informal, kolaborasi hibrid seperti kemitraan publik-swasta, dan kemitraan
swasta-komunitas.
• Tata kelola kolaboratif ini sebagai bentuk inovasi dan akuntabilitas pemerintah terhadap
masyarakat yang selama ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal
untuk mewakili kepentingan masyarakat (Jung, Mazmanian, Tang, 2009)
12. LATAR BELAKANG
Pentingnya Tata Kelola Kolaboratif
kompleksitas dan saling ketergantungan
antarinstitusi
Meningkatkan kualitas kebijakan
Sesuai kebutuhan masyarakat
Menjamin kelangsungan kebijakan
Meningkatkan kesetaraan dalam pelaksanaan
Mampu mengikis ego sektoral dan daerah
Mengurangi dan mencegah konflik
Fakta Penerapan
Praktik baku di Amerika dan negara lain
lembaga internasional seperti LSM (the
Nature Conservacy), Bank Dunia.
Agenda global Agenda 21, MDGs dan SDGs
Lingkungan, perumahan, keamanan,
pengelolaan air, pendidikan, konservasi, jalan
bebas hambatan.
Foto: Internet
05/01/2023 11
13. Manfaat Kolaborasi
05/01/2023 12
• Keterlibatan pemangku kepentingan non-pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan
publik diyakini dapat meningkatkan kualitas hasil pembangunan.
• Khrisna dan Lovell (1985) terdapat 4 (empat) alasan penting keterlibatan masyarakat
yang dapat meningkatkan keberhasilan program, yaitu (i) meningkatkan kualitas rencana; (ii)
sesuai kebutuhan masyarakat; (iii) menjamin kelangsungan rencana; (iv) meningkatkan
kesetaraan dalam pelaksanaan rencana (Zulkifli, 2017).
• Keban (2007) dalam Mutiarin dan Arif (2014) manajemen kolaboratif mampu menjadikan
birokrasi berkinerja lebih baik dan institusinya mendapat manfaat seperti (i) terbentuknya
kemampuan yang lebih besar dalam mengatasi permasalahan yang kompleks; (ii)
tercapainya kemajuan yang lebih tinggi karena adanya pertukaran informasi, pengetahuan
dan technical know-how; (iii) berkurangnya dan terhindarinya konflik; (iv) tumbuhnya rasa
keadilan dan saling percaya; (v) terdorongnya upaya keberlanjutan pemecahan masalah
secara bersama; (vi) berkemampuan mengikis ego daerah dan sektoral.
14. Penerapan Tata Kelola Kolaboratif (1)
05/01/2023 13
• perencanaan kolaboratif sudah berhasil dilaksanakan di beberapa negara mengatasi
kasus lingkungan, keamanan, pengelolaan air yang melibatkan banyak pemangku
kepentingan, dan lintas daerah administratif (O'Flynn dan Wanna, 2008).
• Tata kelola kolaboratif telah menjadi praktik baku di Amerika Serikat penyediaan
perumahan rakyat, kesehatan masyarakat, pendidikan, konservasi lingkungan, air
bersih, dan jalan bebas hambatan.
• Sebagian besar proyek pengembangan ekonomi yang didukung lembaga international
seperti Bank Dunia dan PBB telah mensyaratkan keterlibatan pemerintah, LSM, dan
kelompok masyarakat dalam perencanaaan dan pelaksanaan kegiatan (Tang dan
Mazmanian, 2008).
15. Penerapan Tata Kelola Kolaboratif (2)
05/01/2023 14
• The Coral Triangle Center (CTC/Pusat Segitiga Karang),
merupakan kawasan keberagaman hayati laut antara Indonesia, Malaysia, Filipina,
Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon.
CTC diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dan the Nature Conservncy (LSM) pada
tahun 2010, yang berfokus membangun kolaborasi melindungi sumberdaya laut
pada Marine Protected Areas (Kawasan Perlindungan Laut/MPA).
CTC berhasil memasilitasi terbentuknya 60 forum pemangku kepentingan, dan
akhirnya berfungsi menjadi sumber pertukaran pengetahuan kolaborasi.
• East Africa Dairy Development Program (Kenya) yang memasilitasi kolaborasi petani dan
pengusaha (Ansell dan Gash, 2017).
16. Agenda Global
05/01/2023 15
• dokumen UN Conference on Environment and Development 1992 yang dikenal sebagai Agenda
21 mencantumkan ‘mendorong keterlibatan aktif organisasi non-pemerintah dan bisnis dalam
pelaksanaannya’.
• Dekade berikutnya, pada World Summit on Sustainable Development 2002 (dikenal juga sebagai
Johannesburg Summit on the Earth Summit), kebutuhan melibatkan pemangku kepentingan
non-pemerintah makin menguat menjadi kemitraan lintas pemangku kepentingan sebagai kunci
utama dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)/Tujuan Pembangunan
Milenium (Pattberg dan Widerberg, 2016).
• Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB (Sustainable Development
Goals/SDGs) berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang di dalamnya turut ditekankan tata cara
pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan, yaitu partisipasi, inklusivitas, tata
pemerintahan yang terbuka, serta kerjasama kemitraan multi–pihak No One Left Behind
17. LATAR BELAKANG
Bagaimana Indonesia?
RPJPN – RPJMN kemitraan dan partisipasi
masyarakat
Pemerintah daerah ada yang berhasil dan
banyak kurang optimal
SDGs Indonesia 4 platform partisipasi
(pemerintah dan parlemen - organisaasi
masyarakat dan media – pelaku usaha dan
filantropi – pakar dan akademisi)
Praktek unggulan
• Nasional Pokja AMPL/Pokja PKP/Pokja
PPAS dan Jejaring AMPL
• Daerah Desain Besar Isu Strategis
Jakarta dan Strategi Ketahanan Kota
Jakarta
Foto: Internet
05/01/2023 16
18. Kebijakan Pemerintah (1)
05/01/2023 17
• Arah Pembangunan Jangka Panjang Indonesia 2005-2025 yang diantaranya secara jelas
mengarahkan
(i) pentingnya organisasi masyarakat sebagai mitra pemerintah, sebagai bagian
penting dari upaya memperbesar kemandirian masyarakat dalam menyelesaikan
permasalahannya sendiri;
(ii) terakomodasinya aspirasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik
yang berhubungan dengan hajat hidupnya (RPJPN 2005-2025).
• Dalam RPJMN 2010-2015 terkait Tujuan 16 TPB telah ditetapkan kebijakan
meningkatkan partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik.
19. Kebijakan Pemerintah (2)
05/01/2023 18
• Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan menekankan pentingnya pelaksanaan prinsip TPB yaitu no one is
left behind dan inclusiveness keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, melalui 4 (empat)
platform partisipasi meliputi Pemerintah dan Parlemen, Organisasi Kemasyarakatan dan Media,
Pelaku Usaha dan Filantropi serta Akademisi dan Pakar.
• Surat Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor Kep. 64/M.PPN/HK/04/2018 tentang
Pembentukan Tim Pelaksana, Kelompok Kerja, dan Tim Pakar Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan Tahun 2017–2019, dengan keanggotaan Tim Pelaksana 4 (empat) Pilar
Kelompok Kerja, dan Tim Pakar yang berasal dari unsur nonpemerintah ditetapkan secara
bergilir setiap 2 (dua) tahun dengan memperhatikan keterwakilan unsur non pemerintah.
20. LATAR BELAKANG
Studi Kasus Pelaksanaan SDGs
salah satu acuan dalam pembangunan
nasional dan daerah
Prinsip partisipatif dan inklusif
Cakupan Indonesia berdampak luas
Bappenas menjadi koordinator pelaksanaan
SDGs di Indonesia
Telah menghasilkan RAN dan Peta Jalan SDGs
Nasional dan 15 RAD Provinsi.
Foto: Kedeputian Gub DKI bidang TRLH
05/01/2023 19
21. ISU
Pelaksanaan Tata Kelola Kolaboratif
Indonesia belum optimal
Beberapa fakta
Pemerintah sangat dominan
Kolaborasi dimaknai sebagai formalitas
Bersifat elitis
Koherensi kebijakan belum tercapai
Forum pemangku kepentingan tidak
berfungsi
Resilient
Jakarta
Forum
DRR
Forum
Urban Farming
Forum
Energy
Forum
Spatial Planning
Forum
Gender Quity
Forum
Child Friendly
Forum
Green Building
Forum
W aste
Management
Forum
Foto: Kedeputian Gub DKI bidang TRLH
05/01/2023 20
22. Isu (1)
05/01/2023 21
• Prinsip ‘no left behind’, transparansi, akuntabel dan inklusif menjadi prinsip dasar TPB, cenderung
diterjemahkan hanya berupa keterlibatan pemangku kepentingan secara formal dan normatif dalam
pelaksanaan TPB, setidaknya dalam penyusunan Rencana Aksi.
• Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (2018) dan hasil Seminar
Nasional Masyarakat Sipil Indonesia untuk SDGs (2019) ditemukan kemitraan dan kolaborasi masih
belum terjalin maksimal, masih ada rasa saling curiga antara pemangku kepentingan, bahkan masyarakat
marjinal masih belum terlibat. Perlunya ada meaningful participation (partisipasi hakiki)
• Terangkum dari hasil studi mahasiswa berbagai perguruan tinggi sebagian besar pemerintah daerah
dipandang gagal dalam menerapkan tata kelola kolaboratif dengan berbagai alasan, (i) pemerintah
sangat dominan; (ii) berbeda pandangan dan kepentingan termasuk ego sektoral yang tidak dapat
dipertemukan; (iii) bersifat formalistis; (iv) tidak berhasil menyepakati konsensus; (v) tidak berani
melakukan terobosan; (vi) ketersediaan sumberdaya manusia tidak memadai; (vii) tidak terlihat adanya
komitmen; (viii) masyarakat kurang aktif; dan (ix) forum pemangku kepentingan kurang berfungsi.
24. KERANGKA BERPIKIR
05/01/2023 23
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian kualitatif –
deskriptif
Sumber data observasi,
wawancara tertulis, desk study
Responden pemerintah – mitra
non pemerintah – organisasi
masyarakat (29 responden)
Pernyataan belum memperoleh
tanggapan dari sekretariat Nasional
SDGs dan Sekretariat SDGs DKI
Jakarta
25. Tahapan Kolaborasi
05/01/2023 24
• Tahapan Tata Kelola Kolaboratif, yang terdiri dari 4 (empat) langkah yaitu
(i) Persiapan, berupa kegiatan pemetaan situasi, pemangku kepentingan dan isu
terkait;
(ii) Perencanaan, berupa kegiatan penyepakatan tujuan, target, kebijakan dan
strategi, peta jalan dan rencana kegiatan termasuk dukungan sumberdaya;
(iii) Pelaksanaan berupa pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi; dan
(iv) Pengembangan, berupa penyiapan perluasan dan replikasi kegiatan, termasuk
memastikan keberlanjutan.
26. Kriteria Keberhasilan Kolaborasi
05/01/2023 25
Ansell dan Gash (2007), menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) kriteria untuk
mewujudkan sebuah tata kelola kolaboratif; yaitu
(i) Kolaborasi diprakarsai oleh institusi pemerintah;
(ii) Peserta kolaborasi terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah;
(iii) Semua peserta turut dalam proses pengambilan keputusan;
(iv) Forum kolaborasi dibentuk secara resmi dan bertemu secara regular;
(v) Forum kolaborasi membuat keputusan secara konsensus;
(vi) Fokus kolaborasi adalah pada kebijakan dan pengelolaan publik.
27. Pemangku Kepentingan
05/01/2023 26
• Salah satu komponen penting dalam tata kelola kolaboratif adalah pemangku
kepentingan, yang dimaknai sebagai individu, kelompok organisasi baik laki-laki atau
perempuan yang memiliki kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (positif atau
negatif) oleh kegiatan pembangunan (Hertifah, 2003).
• Gonsalves dkk. (Iqbal, 2007) menambahkan tidak sekedar terpengaruh tetapi juga
ikut mempengaruhi (Arrozaaq, 2017).
• Salah satu langkah penting dalam pemilihan pemangku kepentingan adalah
melakukan pemetaan pemangku kepentingan dan aktivitasnya untuk mendapat
gambaran kekuatan dari para pemangku kepentingan, termasuk kemungkinan
pemangku kepentingan yang belum bergabung.
29. Dimensi Kesuksesan
05/01/2023 28
• Model Tata Kelola Kolaboratif yang paling dikenal adalah Model Ansell dan Gash yang
dapat dijadikan panduan dalam sebuah penelitian untuk melihat efektifitas proses
kolaborasi yang sedang berjalan. Model ini menggunakan 4 (empat) dimensi untuk
mengukur kesuksesan Tata Kelola Kolaboratif, yaitu
Pertama, Proses Kolaboratif sebagai inti Tata Kelola Kolaboratif, mencakup (i) dialog
tatap muka; (ii) membangun kepercayaan; (iii) komitmen terhadap proses; (iv) saling
memahami.
Kedua, terdapat 3 (tiga) dimensi lainnya yang memengaruhi yaitu (i) kondisi awal,
mencakup kesenjangan sumberdaya, ketersediaan insentif, dan beban masa lalu; (ii)
desain kelembagaan, mencakup keterbukaan, ketersediaan prosedur, dan
kewenangan; (iii) kepemimpinan fasilitatif, mencakup pemimpin fasilitatif, dan
pemimpin organik.
31. Praktik Unggulan
05/01/2023 30
• Forum pemangku kepentingan Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan (Pokja AMPL), Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja
PKP) yang kemudian keduanya melebur menjadi Kelompok Kerja Permukiman
Perumahan Air Minum dan Sanitasi (Pokja PPAS), dan Jejaring Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan. Keduanya secara bersama-sama menjadi salah satu elemen
yang dipandang cukup berhasil meningkatkan kinerja pembangunan air dan sanitasi
melalui kolaborasi para pemangku kepentingan.
• Konsep Desain Besar Isu Strategis Jakarta dan Strategi ketahanan Kota Jakarta
dipandang cukup berhasil dalam menerapkan tata kelola kolaboratif dalam proses
penyusunannya. Kunci sukses adalah keberhasilan menerapkan skema kolaborasi dalam
mengatasi fenomena ‘working in silos’ atau bekerja sendiri-sendiri (Mungkasa, 2020).
32. PEMBELAJARAN
Dimensi Kondisi Awal
Pemangku kepentingan belum
sepenuhnya mendukung kolaborasi
terutama akibat perbedaan kepentingan,
belum tercapai kesepahaman, dan
komunikasi publik belum lancar.
birorasi masih belum sepenuhnya
menerima ide kolaborasi, fenomena
‘working in silos’ masih kental sehingga
ketersediaan data/informasi masih kurang
terbuka
Kesenjangan sumber daya terjadi
walaupun tidak selamanya menjadi
kendala.
05/01/2023 31
Model TKK Ansell-Gash
33. 05/01/2023 32
Dimensi Desain Kelembagaan
Dukungan regulasi termasuk SOP dan
resolusi konflik, kapasitas dan kompetensi
memadai dari para pemangku
kepentingan, dukungan sumberdaya dari
kemitraan pemangku kepentingan.
Dukungan keberadaan forum pemangku
kepentingan berikut fungsi
kesekretariatan yang menjangkau seluruh
komponen pemangku kepentingan.
Keberlanjutan kolaborasi perlu didukung
basis data, strategi komunikasi, dan
keluaran inovatif.
Dimensi Kepemimpinan Fasilitatif
Kepemimpinan yang kuat, egaliter, pro
aktif, fleksibel, inisiatif, fasilitatif, inovatif
dan mempunyai jejaring luas serta bukan
pemimpin ex officio Pernyataan belum
memperoleh tanggapan dari sekretariat
Nasional SDGs dan Sekretariat SDGs DKI
Jakarta
kemampuan melakukan kaderisasi dan
menemukan kampiun
mendampingi dan hadir dalam kegiatan
kolaborasi.
PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
34. 05/01/2023 33
Dimensi Dampak
Keluaran berupa kebijakan publik mencakup
peta jalan dan rencana kerja berdasar
konsensus para pemangku kepentingan.
Kebijakan terinternalisasi dalam dokumen
pembangunan pemerintah, dan terlaksana
dalam jangka pendek untuk meningkatkan
legitimasi kolaborasi.
Peningkatan kualitas pemantauan dan
evaluasi melalui kolaborasi jejaring
pemangku kepentingan
membaiknya koordinasi, sinergi, keterpaduan
kegiatan/program
tata kelola kolaboratif menjadi arus utama
Dimensi Proses Kolaboratif
Pertemuan tatap muka berkala dalam
forum pemangku kepentingan untuk
menjalin komitmen dan saling percaya
antara pemangku kepentingan.
kemampuan melakukan kaderisasi dan
menemukan kampiun
Bentuk komitmen dituangkan dalam
kesepakatan visi, misi, tujuan dan target
kolaborasi
Pengaturan forum pemangku
kepentingan berdasar kesepakatan dan
dibuat fleksibel
PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
35. Kesimpulan
05/01/2023 34
• Keberhasilan penerapan tata kelola kolaboratif banyak dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut
(i) Pertemuan tatap muka secara teratur dengan agenda yang terukur membantu
mempertahankan ‘chemistry’ (sambung rasa) diantara pemangku kepentingan.
(ii) kepemimpinan yang proaktif, apresiatif, komunikatif, egaliter, mampu mengembangkan
dan memanfaatkan jejaring serta memperluas jenis kegiatan yang menimbulkan rasa
hormat dari pemangku kepentingan.
(iii) Pemaduan sumberdaya diantara pemangku kepentingan baik sumberdaya manusia, data
dan informasi, pengetahuan, keuangan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas
proses kolaborasi.
(iv) Komunikasi yang lancar membantu aliran informasi, mendorong keterbukaan, dan
meningkatkan saling percaya.
(v) ketersediaan sumberdaya manusia khususnya keberadaan sekretariat dan tenaga
profesional pendukung meningkatkan kualitas produk kebijakan
36. Hambatan
05/01/2023 35
• hambatan utama dalam upaya kolaborasi yang berupa
upaya yang relatif lebih banyak, dan lebih lama serta
pemangku kepentingan khususnya pemangku kepentingan pemerintah masih
banyak yang kesulitan keluar dari kebiasaan lama atau bertahan pada zona nyaman;
pergantian personil banyak terjadi dalam waktu singkat.
• Beberapa hal yang dipandang perlu dilakukan untuk melengkapi proses kolaborasi
selama ini diantaranya
perluasan cakupan substansi dan pelibatan lebih beragam pemangku kepentingan
termasuk kelompok marjinal;
penguatan aspek pemantauan dan evaluasi
37. Penguatan
Tahapan
Pengenalan pembentukan tim kecil,
pemetaan pemangku kepentingan dan
sumberdaya; pemetaan isu strategis awal;
pengembangan kemitraan awal; agenda.
Pemaduan penyamaan pandangan,
pemahaman, pembentukan pokja,
pengembangan SOP, pemetaan isu strategis
bersama, komitmen (visi, misi, tujuan dan
target), advokasi ke pimpinan.
Pengembangan konsensus peta jalan dan
rencana aksi dan penanggungjawab kegiatan.
Pemantapan pemantauan, evaluasi, dan
peningkatan kualitas
Dimensi
Pengembangan dimensi baru pengetahuan
mencakup komunikasi, basis data dan
pengetahuan.
05/01/2023 36
Model TKK SDGs
38. LANGKAH STRATEGIS
• Pemetaan dan pemilihan pemangku
kepentingan. Keberagaman dan
kelengkapan ragam pemangku
kepentingan yang terlibat akan
menentukan kualitas keluaran
kolaborasi.
• Pembentukan forum pemangku
kepentingan sebagai wadah kolaborasi.
• Kemitraan antarpemangku Kepentingan
untuk memadukan sumberdaya agar
lebih efektif dan efisien.
Foto: Kedeputian Gub DKI bidang TRLH
Pemangku
Kepentingan
Komitmen konsensus Keluaran
05/01/2023 37
39. Foto: Internet
05/01/2023 38
LANGKAH STRATEGIS
• Pengembangan strategi komunikasi. Komunikasi
intensif menjaga proses kolaborasi tetap terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan
• Pengelolaan pengetahuan. Data, informasi,
pengetahuan dan inovasi ditunjang komunikasi yang
baik dapat merupakan insentif proses kolaborasi.
• Kepemimpinan fasilitatif. Tidak mudah menemukan
tetapi setidaknya kriteria ini perlu menjadi
pertimbangan.
• Peningkatan kapasitas berupa pelatihan,
pembelajaran, pengelolaan pengetahuan, saling
berbagi, serta kemitraan.
• Dimensi model TKK menjadi kriteria pengelompokan
kesiapan daerah dalam pelaksanaan SDGs