telah lama dipahami bahwa perencanaan kota berdampak nyata terhadap kondisi kesehatan kota.. misal saja kegagalan sistem transportasi kota berdampak pada kemacetan yang berujung meningkatnya polusi udara. WHO telah meluncurkan program Kota Sehat sejak 40 tahun lalu dan Indonesia sejak 30 tahun lalu telah mengadopsi konsep Kota Sehat. namun perkembangannya belum seberhasil program Kota Sehat WHO di Eropa. Hasil telaahan ini memotret pembelajaran mancanegara sebagai masukan bagi penyempurnaan Kota Sehat Indonesia.
2. ii
“First life, then spaces, then buildings
the other way around never works.”
Jan Gehl
3. iii
Sapa dari penulis
Terima kasih sudah mengunduh, menyimpan, membaca,
mendistribusikan bahkan turut menyampaikan langsung isi makalah
panjang ini. Semoga bermanfaat dan memberi pencerahan bagi kita semua
demi
almamater,bangsa dannegara
Sedikit tentang Penulis
Lahir lebih dari 59 tahun yang lalu di Makassar
berlatar belakang pendidikan
perencanaan kota dan wilayah (S1, ITB dan S2, GSPIA University of Pittsburgh USA) dan
ekonomi publik (S3, UI).
bekerja sepanjang hampir 40 tahun
dimulai sejak mahasiswa sebagai konsultan berbagai perusahaan konsultan perencanaan kota dan wilayah,
dilanjutkan sebentar sebagai peneliti pada pusat penelitian,
selanjutnya menjadi pegawai sampai kepala cabang pembantu bank swasta nasional,
akhirnya memilih menjadi PNS
dengan karir awal pada lembaga perencanaan pembangunan nasional dan
sempat menjabat sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan (Bappenas),
berpindah sebentar ke kementerian teknis
sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran (Kementerian Perumahan Rakyat),
dan sempat meniti karir pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
sebagai Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
Saat ini penulis menjadi fungsional perencana utama (PAU) Kementerian PPN/Bappenas.
Selain juga bergabung dengan beberapa organisasi kemasyarakatan yaitu Housing and Urban Development
Institute (HUD Institute), Dana Mitra Lingkungan, Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), Hands
for Help
Portofolio penulis dapat dilihat pada
https://www.academia.edu/oswarmungkasa
https://www.researchgate.net/profile/Oswar-Mungkasa
email : oswar.mungkasa63@gmail.com
4. i
DAFTAR ISI
halaman
Daftar Isi ……………………………………………………………………………….. i
Daftar Tabel …………………………………………………………………………… ii
Daftar Gambar ………………………………………………………………………… iii
Daftar Singkatan ………………………………………………………………………. iv
BAB I Pendahuluan ………...……………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………….. 1
1.2 Konteks Indonesia ………………………………………………………. 2
1.3 Kontribusi Telaahan …………………………………………………….. 2
BAB II Konsep Dasar Kota Sehat ………..………………………………………….. 4
2.1 Pemahaman Dasar ………………………………………………………. 4
2.2 Sejarah Perkembangan …………………………………………………. 6
2.3 Karakter Kota Sehat …………………………………………………….. 7
2.4 Kota Sehat dan Perencanaan Kota ……………………………………… 7
2.4.1 Perkembangan Perencanaan Kota ……………………………….. 7
2.4.2 Perkembangan Kesehatan Masyarakat ………………………….. 9
2.4.3 Kaitan Implikasi Perencanaan Kota dan Kesehatan Masyarakat ... 10
2.4.4 Perencanaan Kota yang Sehat …………………………………… 13
2.4.5 Pendekatan Alternatif ……………………………………………. 14
2.5 Perencanaan Kota Sehat ………………………………………………... 19
2.5.1 Gambaran Umum Perencanaan Kota Sehat ……………………... 19
2.5.2 Pertimbangan Dasar Rencana Kota Sehat ……………………….. 19
2.5.3 Melfast (Irlandia) anfaat Rencana ………………………………... 20
2.5.4 Tantangan ………………………………………………………… 20
2.5.5 Struktur Rencana ………………………………………………… 20
2.6 Proses Penyusunan Rencana ……………………………………………. 21
2.7 Kaitan Kota Sehat dengan Target Pembangunan Berkelanjutan (TPB) … 24
BAB III Pembelajaran Mancanegara ………………………………………………… 27
3.1 Glasgow (Skotlandia) ………………………………………………………. 27
3.2 Belfast (Irlandia) ………………………………………………………… 27
3.3 Salzburg (Austria) ……………………………………………………….. 29
3.4 Vancouver (Kanada) …………………………………………………….. 30
3.5 Kota Sehat Kawasan Pasifik Barat ……………………………………… 32
3.6 Kota Sehat Republik Korea ……………………………………………… 33
BAB IV Kesimpulan …………………………………………………………………….. 34
6. iii
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1 Kaitan Kota Sehat dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan………….…. 24
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1 Penentu Utama Kesehatan …………………………………………………… 5
Gambar 2 Segi Tiga Kesehatan ………………………………………………...……… 5
Gambar 3 Proses Pengembangan Rencana Kota Sehat Glasgow (Irlandia) ……………. 8
Gambar 4 Visi, Fokus dan Tujuan Kota Vancouver …………………………………… 28
Gambar 5 Elemen Dasar Kota Sehat bagi Semua ………………………………………. 31
Gambar 6 Perangkat Kota bagi Keseharan dan Kesejahteraan ………………………….. 32
7. iv
Daftar Singkatan
ADB Asian Development Bank
BPS Badan Pusat Statistik
MDG Millenium Development Goals
NLGERN The Australian National Local Government Environmental Resource Network
PBB Persatuan Bangsa-Bangsa
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RTRWK Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
RTRWP Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RUU Rancangan Undang-Undang
SAD Seasonal Affective Disorder
SDGs Sustainability Development Goals
SP Sensus Penduduk
TBC Tuberculosis
TPB Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
USD United State Dollar
8. 1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Saat ini, lebih dari setengah penduduk dunia telah bertempat tinggal di kawasan perkotaan,
atau mencapai sekitar 4 Miliar jiwa. Keadaan yang relatif sama terjadi dengan penduduk perkotaan
Indonesia yang mencapai 56,7% (Badan Pusat Statistik/BPS, Sensus Penduduk/SP 2020).
Bahkan sekitar 1 miliar penduduk dunia berada di kawasan kumuh dengan kondisi
kekurangan air, sanitasi buruk, dan perilaku yang tidak sehat. Sementara Bank Pembangunan Asia
(Asian Development Bank) melaporkan, proporsi penduduk perkotaan Indonesia yang tinggal di
daerah kumuh, permukiman informal, atau perumahan tidak layak sebanyak 30,6% dari total
penduduk pada 2018. Proporsi ini meningkat 7,6 poin dari 23% pada 2010. Jumlah yang tidak
sedikit yang setidaknya mencapai 80 juta penduduk.
Sementara sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tingginya urbanisasi yang berujung
meningkatnya kekumuhan perkotaan dapat berdampak pada kondisi kesehatan kota yang buruk
yang diakibatkan oleh kurang air bersih, sanitasi buruk, lingkungan tidak memadai, kejahatan
meningkat, dan berjangkitnya penyakit baik menular maupun tidak menular (WHO, 2010).
Keadaan perkotaan yang memburuk sudah diantisipasi oleh World Health Organization
(WHO) atau lembaga kesehatan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui peluncuran Program
Kota Sehat WHO Eropa pada tahun 1986 untuk menyediakan arahan dalam menerapkan prinsip
strategi WHO yaitu Kesehatan untuk Semua dan Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan (Health
for All dan the Ottawa Charter for Health Promotion). Sejak itu, Kota Sehat berkembang menjadi
gerakan global dengan keterlibatan Eropa yang kuat (Edwards dan Tsouros, 2008).
Jaringan Kota Sehat WHO Eropa melibatkan pemerintah daerah dalam mengembangkan
kesehatan melalui proses komitmen politik, perubahan kelembagaan, pembangunan kapasitas,
berbasis perencanaan kemitraan dan kegiatan inovatif.
Kota Sehat mempromosikan kebijakan dan perencanaan yang terpadu dan sistematis
dengan penekanan khusus pada ketimpangan kesehatan dan kemiskinan perkotaan, kebutuhan
kelompok rentan, tata kelola partisipatif dan faktor penentu kesehatan terkait sosial, ekonomi dan
9. 2
lingkungan. Melalui Kota Sehat diupayakan memasukkan pertimbangan kesehatan dalam ekonomi
perkotaan, regenerasi dan upaya pembangunan.
Lebih dari 1.000 kota besar dan kecil dari lebih dari 30 negara di Wilayah Eropa terhubung
melalui jaringan nasional, regional, metropolitan dan tematik serta Jaringan Kota Sehat Eropa
(Edwards dan Tsouros, 2008).
1.2 Konteks Indonesia
Pemerintah Indonesia menyadari kondisi ini dan melakukan beberapa langkah antisipatif
dan penanggulangan Kawasan kumuh di Indonesia. Diantaranya melalui Program Kota Sehat
mengikuti program yang diluncurkan oleh WHO. Program Kota Sehat Indonesia diluncurkan pada
tahun 1996 pada peringatan Hari Kesehatan Dunia yang bertema Kota Sehat bagi Hidup Lebih
Baik (Healthy Cities for Better Life). Program ini dilaksanakan pada 6 (enam) kota Indonesia
dimulai pada tahun 1998.
Strategi awal Kota Sehat mencakup regulasi, promosi dan advokasi, penghargaan nasional
dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia. Terkait regulasi, pemerintah melalui kerjasama
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan meluncurkan Petunjuk Pelaksanaan Kota
Sehat. Secara jelas tercantum dalam petunjuk bahwa tujuan program Kota Sehat adalah mencapai
kota yang bersih, aman, nyaman, dan sehat (Kementerian Kesehatan, 2010).
Dari beragam hambatan dan kendala yang dihadapi terdapat satu hal yang sepertinya
terlewat dan kurang mendapat perhatian. Sebagaimana disampaikan oleh Palutturi (2013) yang
menyampaikan kesulitannya memperoleh dokumen kemajuan pelaksanaan program Kota Sehat
Indonesia yang dapat menjadi rujukan bagi evaluasi dan penyempurnaan program selanjutnya.
Dengan demikian, manajemen pengetahuan belum diterapkan bahkan sampai saat ini.
Sehingga data dan informasi terkait pembelajaran program Kota Sehat Indonesia belum cukup
memadai. Hal ini menjadi kendala dalam upaya penyempurnaan program ini.
1.3 Kontribusi Telaahan
Memperhatikan kendala kurangnya dokumen rujukan hasil pelaksanaan program Kota
Sehat Indonesia tersebut, maka hasil telaahan ini dimaksudkan sebagai upaya melengkapi sumber
rujukan bagi pelaksanaan Kota Sehat ke depan maupun upaya penyempurnaan program Kota Sehat
Indonesia.
10. 3
Hasil telaahan ini sendiri berupa rangkuman pembelajaran pelaksanaan program Kota
Sehat mancanegara dari berbagai dokumen, khususnya hasil uji coba Kota Sehat oleh WHO Eropa.
Beberapa hasil riset baik berupa tesis maupun disertasi turut menjadi rujukan pembeajaran.
11. 4
Bab II
Konsep Dasar Kota Sehat
2.1 Pemahaman Dasar
Kota yang sehat adalah kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat bagi penghuni untuk
bertempat tinggal. Hal ini dapat dicapai melalui pengaturan kegiatan terpadu yang disepakati
bersama oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Pengelolaan kota sehat mencakup berbagai
kegiatan untuk mewujudkannya, melalui pemberdayaan masyarakat, dan forum yang difasilitasi
oleh pemerintah kota (Mulasari, 2019).
Sementara definisi masyarakat sehat yang paling banyak diterima disampaikan oleh
Hancock dan Duhl untuk World Health Organization/WHO (1986) yaitu Kota Sehat adalah kota
yang terus-menerus menciptakan dan meningkatkan lingkungan fisik dan sosial tersebut dan
mengembangkan sumberdaya masyarakat yang memungkinkan masyarakat untuk saling
mendukung satu sama lain dalam melaksanakan semua fungsi kehidupan dan dalam
mengembangkan potensi maksimalnya (Hancock dan Duhl, 1988) Salah satu aspek yang paling
penting dari definisi ini adalah proses lebih penting daripada hasil.
Sementara kata sehat dimaknai sebagai keadaan sejahtera jasmani, kesejahteraan mental
dan sosial dan tidak hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan. Kemanfaatan dari standar
kesehatan tertinggi yang dapat dicapai merupakan salah satu hak dasar dari setiap manusia, tanpa
membedakan ras, agama, keyakinan politik atau ekonomi dan kondisi sosial.
Kesehatan merupakan konsep yang rumit, yang tidak sekedar tanpa penyakit tetapi juga
menyangkut komponen lain seperti ketersediaan hunian, pekerjaan, layanan dan dukungan, dan
keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap keadaan kesehatan. Selain juga
mempertimbangkan kesehatan sebagai hak asasi manusia (WHO, 1997).
Sementara pada tahun 1986 Konperensi Internasional Pertama tentang Promosi Kesehatan
di Ottawa Kanada menyatakan bahwa peningkatan kesehatan membutuhkan perdamaian,
permukiman, pendidikan, makanan, pendapatan, sistim perekonomian stabil, sumberdaya
berkelanjutan, keadilan sosial dan kesetaraan (Ottawa Charter for Health Promotion, 1986)
Sehat merupakan hasil dari dampak banyak faktor yang memengaruhi kehidupan
perorangan, keluarga dan masyarakat dengan beragam cara dan melalui jalan berbeda. Witchead
12. 5
dan Dahlgren (1991) menggambarkan melalui gambar yang menunjukkan beberapa lapisan faktor
berpengaruh.
Lapis pertama adalah perilaku perorangan dan cara hidup yang dapat memengaruhi
kesehatan. Kemudian perorangan dipengaruhi pola pertemanan dan norma masyarakat. Lapisan
berikutnya adalah pengaruh sosial dan
masyarakat yang memberi dukungan ketika
dibutuhkan, tetapi bisa juga sebaliknya.
Lapisan ketiga adalah faktor struktural seperti
perumahan, pekerjaan, akses layanan dasar.
Terakhir adalah lapisan keadaan sosial
ekonomi, budaya dan lingkungan (lihat
Gambar) (WHO, 1997).
Gambar 1 Penentu Utama Kesehatan
Utama
Kesejahteraan
Pencegahan Penyakit
Perilaku dan gaya hidup
sehat serta pencegahan
layanan sosial dan kesehatan memadai
Pengetahuan tentang faktor berpengaruh
Komunitas dan harga diri
Kesehatan mental
Kesadaran Kesehatan
Perlindungan Sosial dan Kesehatan
Keselamatan Fisik
Makanan, rumah, kehangatan keselamatan
Gambar 2 Segi Tiga Kesehatan
Utama
13. 6
Kesehatan bukanlah kegiatan, bukan berlari, makan enak, tidak merokok atau tinggal di
permukiman mahal, tetapi merupakan keluaran (outcome) dari seluruh kegiatan tersebut. Manusia
sehat sesuai sumberdaya yang dimiliki dalam keseharian. Kesehatan merupakan hasil beragam
faktor ini digabung dengan kehidupan perorangan dan masyarakat (Pearce, 1995).
2.2 Sejarah Perkembangan1
Gagasan kota sehat dimunculkan pada konferensi Beyond Health Care di Toronto pada
tahun 1984. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa kota adalah tingkat pemerintahan yang paling
dekat dengan penduduk dan karena itu dapat memengaruhi faktor berpengaruh pada kesehatan.
Kota Sehat adalah pendekatan kesehatan masyarakat yang dibangun berdasar hasil kerja
Prof. T McKeown (1979), yang menemukan bahwa bertentangan dengan pendapat umum, faktor
utama peningkatan kesehatan di Inggris dan negara maju lainnya pada abad XIX dan XX adalah
bukan perawatan dan teknologi kesehatan yang canggih, tetapi perubahan sosial, ekonomi dan
lingkungan.
Gagasan ini kemudian mulai ditindaklanjuti dua tahun kemudian, dan WHO mendukung
proyek percontohan (awalnya terbatas pada tahun 1987 hingga 1992) untuk mengembangkan
model praktik yang baik pada kota Eropa dalam mempromosikan kesehatan dan kebijakan
kesehatan yang positif. Uji coba dilakukan terbatas pada 11 kota Eropa dengan berfokus pada
pengembangan struktur dan proses yang memungkinkan kolaborasi antarorganisasi. Hasilnya
menggembirakan terlihat dari beragamnya organisasi berpartisipasi mengembangkan konsep
Sehat buat Semua skala kota. Banyak kota berhasil mengembangkan pengembangan terpadu
kesehatan dalam proses perencanaan kota untuk pertama kalinya.
Selanjutnya pada tahap II (1993-1998), kegiatan berfokus pada pengembangan dan
pelaksanaan kebijakan kota terkait sehat buat semua dan penyusunan rencana kesehatan kota
terpadu yang mencantumkan target terhadap isu seperti kesetaraan dan pembangunan
berkelanjutan. Tercatat 60 kota terlibat dan 550 kota tergabung dalam jejaring Eropa.
Hasilnya berupa keberhasilan kota menangani kerumitan masalah kesehatan yang
memengaruhi kota. Kota berhasil mengembangkan model baru berkolaborasi dalam organisasi dan
antara organisasi dan masyarakat.
1
Disarikan dari World Health Organization (1997). City Planning for Health and Sustainable Development.
European Sustainable Development and Health Series 2.
14. 7
2.3 Karakter Kota Sehat2
Karakter Kota Sehat mencakup setidaknya
a. Lingkungan fisik termasuk perumahan yang bersih dan aman dengan kualitas lingkungan
tinggi
b. Ekosistem yang stabil saat ini dan berkelanjutan dalam jangka panjang
c. Komunitas saling mendukung dan noneksploitatif yang kuat
d. Tingkat partisipasi yang tinggi, dan kendali oleh warga atas keputusan yang memengaruhi
kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraannya
e. Pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, air, tempat tinggal, pendapatan, keamanan, dan
pekerjaan) bagi seluruh penduduk kota
f. Ekonomi yang beragam, vital, dan inovatif
g. Dorongan keterhubungan dengan masa lalu, dengan budaya dan warisan biologis
penduduk kota, dan dengan kelompok dan individu lain
h. Tingkat optimal dari layanan perawatan kesehatan dan penyakit masyarakat yang tepat,
dapat diakses oleh semua
i. Status kesehatan tinggi (tingkat kesehatan positif tinggi dan tingkat penyakit rendah)
(WHO, 1995).
2.4 Kota Sehat dan Perencanaan Kota3
2.4.1 Perkembangan Perencanaan Kota
Terdapat 2 (dua) alasan utama perencanaan kota yaitu (i) utopianism, idealism, symbolism
dan ungkapan kekuasaan; (ii) kebutuhan memperbaiki akibat bencana alam, bahaya kesehatan
manusia, dan kebutuhan penyebaran barang dan manusia (Duhl dan Sanchez, 1999).
Namun pada saat awal, perencanaan adalah proses murni untuk bertahan. Pemburu hidup
dari pemahaman tentang sumber daya yang tersedia. Dimana makanan? Dimana tempat
berlindung? Bagaimana kita melindungi diri kita sendiri terhadap bahaya? Jawabannya
menentukan apakah dapat bertahan atau alternatifnya adalah kematian. Selanjutnya ketika
makanan lebih mudah diperoleh, kriteria lokasi dipengaruhi oleh keamanan, lokasi pertanian dan
2
Dirangkum dari World Health Organization (1997). City Planning for Health and Sustainable Development.
European Sustainable Development and Health Series 2.
3
Disarikan dari Duhl, L. J. dan A. K. Sanchez (1999). Healthy Cities and The City Planning Process. A Background
Document on Links Between Health and Urban Planning, Copenhagen, Denmark, WHO Regional Office for Europe.
15. 8
kemudahan komunikasi. Kata utama adalah kendali, kendalikan lingkungan, sumberdaya dan
lainnya.
Saat awal komunitas terencana berfokus pada ruang, struktur dan proses yang memasilitasi
kegiatan utama komunitas. Keyakinan bahwa lingkungan menjaga segalanya menjadi pegangan
bahkan sampai sekarang, sebagaimana rencana disusun tanpa peduli dampaknya. Baru belakangan
komunitas menyadari dampaknya dan profesi perencana kota mulai marak
Perencana abad 19 pertengahan, berlatarbelakang pekerja kesehatan sekaligus perencana
kota berfokus pada perbaikan keadaan sanitasi dan kecantikan kota. Sasaran utamanya
keberfungsian dan kesehatan masyarakat (Hall, 1996). Model fungsional ini membagi kota
berdasar fungsi (zoning) dan terhubung melalui jaringan jalan. Contohnya adalah kota Barcelona,
Madrid dan Paris (Eropa). Para pionirnya adalah Ebenezer Howard, Patrick Geddes dan Lewis
Mumford.
Visi ketiga pelopor ini tidak hanya berfokus pada bentuk alternatif yang dibangun, tetapi
juga pada masyarakat yang bekerja sama secara sukarela, khususnya hidup dan bekerja pada
komunitas mandiri yang kecil. Gagasan para visioner sejarah ini menyesuaikan diri dengan zaman
modern untuk mempromosikan kesehatan untuk semua dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini
dibuktikan dengan keyakinan saat ini bahwa perencanaan kota tidak hanya merujuk pada bentuk
bangunan dan desain fisik, bahwa partisipasi seluruh masyarakat sangat penting dan, yang paling
penting, pandangan harus diambil dari keseluruhan dan bukan hanya bagian-bagiannya.
Pada akhirnya perencanaan kota mengalami perubahan besar dengan munculnya model
dan strategi baru yang befokus pada pendekatan terpadu dan khususnya keberlanjutan jangka
panjang. terdapat dua fitur utama sebagai bukti strategi baru yaitu (i) pengaturan zoning yang
membagi kawasan berdasar fungsinya seperti permukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran;
(ii) pertumbuhan kepadatan rendah yang menghasilkan akses kendaraan sekaligus memperluas
lahan terbangun (Center of Excellence for Sustainable Development, tanpa tahun). Ide ini disebut
new urbanism atau perencanaan neo-tradisional, yang menekankan lingkungan pejalan kaki
dengan kegiatan terjangkau dalam 5 menit, orientasi transportasi publik dan lahan campuran.
Menyusul kemudian beberapa ide baru seperti Peter Calthorpe (1995) yang menekankan
pentingnya perencanaan tercakup wilayah sekitar sehingga pusat kota tidak terisolasi tetapi
terhubung dengan wilayah sekitar. Selanjutnya William McDonough (tanpa tahun)
memperkenalkan pentingnya mengurangi dampak kegiatan manusia sambil menghasilkan
16. 9
rancangan yang seiring keberadaan lingkungannya. Kemudian strategi baru yaitu Circular
Metabolism, yang bertujuan memanfaatkan sumberdaya secara efisien pada lingkungan kecil dan
distribusi ekonomis sumberdaya secara efektif pada skala kota. Intinya model ini bergerak dari
model linear ke sirkular (Glasgow, tanpa tahun).
2.4.2 Perkembangan Kesehatan Masyarakat
Sejarah kesehatan masyarakat dapat dibagi dalam 4 (empat) tahapan, yaitu
a. Sanitasi tidak khusus (nonspecific sanitation). Bangsa Yunani berkeyakinan bahwa
lingkungan berperan penting dalam menentukan campuran cairan dalam tubuh manusia
sehingga manusia sebaiknya mencari lokasi yang tepat untuk bertempat tinggal. Sementara
Bangsa Roma menekankan perlunya memperbaiki lingkungan agar sesuai dengan
kebutuhan manusia. Belakangan muncul Teori Miasma yang menekankan pengaturan
masyarakat dalam rangka mengendalikan udara buruk khususnya menggunakan kekuasaan
pemerimtah untuk menjauhkan racun.
b. Sanitasi khusus (specific sanitation). Ideologi yang dianut adalah teori kuman (germ
theory) yang menyatakan bahwa terdapat agen khusus dari penyakit menular sehingga
sebaiknya berfokus pada membersihkan kotoran buruk. Sehingga kesehatan masyarakat
bergerak dari uapaya rekayasa menjadi upaya yang khusus berfokus pada perlawanan
terhadap elemen khusus lingkungan. Namun pada era ini, perencanaan kota dan kesehatan
masyarakat berjalan seiring.
c. Imunisasi khusus. Konsep utama bahwa manusia tidak dapat mengendalikan seluruh
patogen sehingga imunisasi menjadi langkah penting. Terjadi pergerakan dari sanitasi ke
imunisasi sehingga model sosial menjadi model medis.
d. Imunisasi tidak khusus. Praktisi kesehatan masyarakat mulai melihat melampaui imunisasi
khusus karena dua alasan, (i) data menunjukkan bahwa orang meninggal karena hal selain
penyakit menular, seperti pelecehan, bunuh diri dan tindakan kekerasan lainnya; dan (ii)
asal usul kesehatan masyarakat lebih selaras dengan ideologi tidak khusus, yang
menekankan keprihatinan masyarakat luas. Imunisasi tidak khusus berakar pada
pengamatan bahwa kelaparan membunuh dalam banyak cara sebelum kelaparan benar-
benar terjadi. Dengan banyaknya masalah kesehatan masyarakat, beberapa elemen harus
ditangani agar benar-benar dapat menyelesaikan masalah yang lebih besar.
17. 10
Saat ini terdapat paradigma baru kesehatan masyarakat yang menegaskan bahwa pendulum
kesehatan masyarakat bergerak kembali dari model medis ke model sosial. Model medis berfokus
pada perorangan dan tindakan berupa perawatan penyakit. Berbeda dengan model sosial yang
mempertimbangkan kesehatan sebagai keluaran dari status sosial ekonomi, budaya, keadaan
lingkungan, perumahan, pekerjaan dan pengaruh masyarakat.
Paradigma baru kesehatan masyarakat mempunyai 6 (enam) prinsip yang perlu menjadi
pertimbangan penyusunan kebijakan perkotaan dan pengembangan kota, yaitu (i) kesehatan bukan
hanya tentang keberadaan penyakit atau disabilitas; (ii) Masalah kesehatan didefinisikan pada
tingkat kebijakan; (iii) Kesehatan adalah masalah sosial; (iv) Peningkatan status kesehatan
membutuhkan fokus jangka panjang pada pengembangan kebijakan; (v) Peningkatan status
kesehatan memerlukan fokus utama pada perubahan kondisi dasar; (vi) Meningkatkan status
kesehatan membutuhkan pelibatan pemimpin alami dalam proses perubahan.
2.4.3 Kaitan dan Implikasi Perencanaan Kota dan Kesehatan Masyarakat
Lingkungan sosial dan fisik memegang peran utama dalam kesehatan masyarakat.
Sementara sebagian besar profesi perencanaan berfokus seputaran rancangan dan menghasilkan
lokasi yang tepat bagi masyarakat, sehingga profesi perencanaan dan kesehatan masyarakat secara
nyata terikat satu dengan yang lain. Perencanaan perkotaan dapat berperan sebagai bentuk
pencegahan utama dan penyumbang pada keluaran kesehatan melalui
a. Pengendalian penyakit. Implikasi pertama masalah kesehatan masyarakat terhadap
perencanaan kota berevolusi dari kebutuhan menjadi mengendalikan penyakit. Kondisi di
kota baru industri pada abad ke-19 adalah tercela. Layanan dasar seperti perumahan dan
keamanan yang memadai tidak ada. Pekerja industri hidup dalam kondisi penuh sesak
tanpa paparan sinar matahari atau ventilasi (Mumford, 1961). Di bawah kondisi seperti itu,
penyakit seperti tifus, kolera, demam kuning dan TBC tumbuh subur, menciptakan
kerugian besar baik dari segi manusia maupun ekonomi (Duhl, 1999).
Kebutuhan untuk mengendalikan penyakit pertama kali diwujudkan melalui upaya
pembaru sanitasi pada abad kesembilan belas. Tujuan mereka adalah mengembalikan udara
segar kota, air, ruang terbuka dan sinar matahari. Hal ini mendorong terbitnya Laporan
Chadwick tentang kondisi sanitasi penduduk yang bekerja di Inggris yang berdampak
sehingga terbit Undang-Undang Kesehatan Masyarakat 1848 (Chadwick, 1842 dalam
Duhl, 1999). Pertama kali dalam sejarah Inggris memiliki komitmen menjaga kesehatan
18. 11
penduduknya. Hal ini menjadi dasar pengendalian penyakit melalui inisiatif terkait
perencanaan kota seperti saluran pembuangan, pengumpulan sampah, pengendalian hewan
pengerat dan pemberantasan nyamuk.
b. Pencegahan penyakit. Ketika pengetahuan ilmiah menjadi lebih maju dan lebih
berpengaruh, fokusnya bergeser ke mengeksplorasi cara yang dapat mencegah penyakit.
Dalam hal perencanaan kota, ini berarti, misalnya, memastikan bahwa tempat tinggal
memiliki penerangan dan ventilasi yang memadai dan, baru-baru ini, meminimalkan
paparan racun seperti asbes dan timbal.
Gangguan afektif musiman (Seasonal affective disorder/SAD) adalah salah satu
contoh penyakit yang berimplikasi pada bangunan desain. Manusia modern berada
sepanjang hari dalam ruangan yang dapat mengganggu keluarnya hormon tertentu
sehingga rancang bangunan untuk memperbaiki akses ke sinar adalah salah satu cara
perencanaan kota menyumbang pencegahan penyakit seperti SAD (Aicher, 1998).
c. Pencegahan kecelakaan. Perencana kota telah lama memberi perhatian langkah yang
membantu mengurangi korban jiwa dan cedera karena kecelakaan. Kebijakan pengurangan
kecelakaan yang paling tradisional selaras dengan keprihatinan perencana termasuk isu
seperti kendali lalu lintas dan perencanaan, standar perkerasan, perencanaan lokasi stasiun
pemadam kebakaran dan standar untuk peralatan taman bermain. Dalam hal ini, perencana
adalah naif untuk berpikir bahwa kesalahan atas kecelakaan dapat ditimpakan pada
manusia saja. Pendekatan yang lebih efektif mengenali interaksi antara manusia dan
lingkungan, dan pentingnya lingkungan yang tidak menempatkan tuntutan yang tidak
masuk akal pada manusia dan memperhitungkan kesalahan manusia
d. Keselamatan. Keinginan untuk menciptakan tempat yang aman, telah lama menjadi
agenda para perencana kota. Salah satu cara membalikkan iklim ketakutan masyarakat
berada di ruang publik adalah meningkatkan desain, perencanaan dan pengelolaan kawasan
publik sehingga terlihat dapat diakses dan digunakan dengan baik oleh sebagian besar
masyarakat.
Kesehatan adalah masalah sosial dan politik. Sehingga meningkatkan kondisi kesehatan
kota di seluruh dunia, perlu dimulai dari masyarakat yang terlibat aktif dalam proses perubahan.
Terakhir, fokus utama harus mengubah kondisi dasar - lingkungan berisiko - untuk menciptakan
perbaikan berkelanjutan jangka panjang, Prinsip utama adalah mengungkap dan mengkaji potensi
19. 12
konsekuensi yang tidak diinginkan dari kebijakan perencanaan kota dan pengambilan keputusan.
Informasi ini penting untuk memahami bentuk intervensi yang diperlukan untuk menciptakan
perencanaan kota yang sehat.
a. Keselamatan. Keamanan masyarakat telah jauh meningkat melalui kode bangunan dan
kebijakan lainnya. Larangan penggunaan asbes sebagai bahan bangunan adalah contoh
terkini kontribusi perencanaan dalam menciptakan lingkungan yang aman. Pada saat yang
sama, elemen desain tertentu dan perencanaan dapat menjadikan kondisi keamanan yang
buruk bagi warga masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Menjadi penting
bagi perencana mempertimbangkan kebijakan perencanaan kota dalam konteks
keseluruhan masyarakat
b. Polusi. Perencanaan kota berkontribusi terhadap polusi udara, air, dan jenis lainnya dan
pada saat yang sama berperan dalam pencegahannya. Sebagian besar negara maju telah
bergantung pada mobil sebagai moda transportasi utama. Budaya "mobil-sentris" telah
berkembang, dan ini tidak dapat disangkal menjadi faktor utama pencemaran udara.
c. Perumahan. Desainer dan perencana harus sepenuhnya menyadari pentingnya lingkungan
perumahan. Perhatian terhadap konsekuensi sosial dan ekologi bagi seluruh komunitas
adalah kuncinya. Ketika mempertimbangkan desain rumah yang sehat, maka perlu
memberi perhatian pada keseimbangan antara kebutuhan individu, keluarga, dan
masyarakat dunia yang lebih besar.
Jenis tempat tinggal juga dikaitkan dengan perasaan kesepian dan keterasingan,
khususnya di kalangan orang tua dan wanita. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang
tinggal di apartemen bertingkat tinggi di pusat kota (Lindheim dan Syme, 1983).
d. Kekerasan. Masalah kesehatan yang telah kita diskusikan sejauh ini memiliki hubungan
langsung dan logis dengan perencanaan kota. Kekerasan sebagai implikasi kesehatan tidak
langsung dari perencanaan kota. Walaupun demikian, masalah kesehatan masyarakat ini
berakar pada pola pembangunan perkotaan. Lokasi toko senjata dapat berfungsi
mengurangi tingkat penjualannya.
e. Pemecahan (fragmentation). Kebijakan perencanaan kota telah menyebabkan peningkatan
rasa fragmentasi di masyarakat perkotaan. Literatur tentang hubungan sosial menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan hasil kesehatan yang positif di antara mereka yang memiliki
ikatan sosial yang kuat.
20. 13
Fragmentasi tidak hanya memengaruhi individu komunitas, tetapi juga memiliki
manifestasi ekonomi. Interaksi informal lebih mudah terjadi ketika tidak ada fragmentasi
sehingga penanganan isu dilakukan sendiri oleh masyarakat yang berarti pengeluaran
pemerintah daerah menjadi berkurang.
f. Ekologi. Hubungan antara lingkungan dan kesehatan bukanlah hal baru dalam bidang
kesehatan masyarakat. Banyak negara industri memiliki kebijakan untuk mengatur udara
dan air bersih selain pengendalian perumahan dan bahaya industri. Hal ini membuktikan
lebih lanjut tentang perlunya perencanaan kota yang sehat.
Akhirnya, perencana kota harus memahami dan menerima bahwa hasil rancangannya
memiliki konsekuensi, baik disengaja maupun tidak, yang berpotensi menyebabkan kesehatan
yang buruk dalam masyarakat
2.4.4 Perencanaan Kota yang Sehat
Thomas McKeown (1971) memberikan bukti tak terbantahkan tentang perlunya prinsip
perencanaan mempertimbangkan kesehatan. Dia menyelidiki berbagai ukuran yang digunakan dari
pertengahan 1800-an hingga saat ini yang menghasilkan peningkatan kesehatan umum dan tingkat
kematian yang lebih rendah, dan menyimpulkan bahwa kemajuan dalam sistem medis memiliki
dampak yang kurang signifikan pada umumnya terhadap peningkatan kesehatan daripada
perubahan struktur fisik dan sosial masyarakat (Duhl, 1999).
Dengan kata lain, rekayasa komunitas dalam konteks perkotaan memberikan kontribusi
besar terhadap peningkatan kesehatan sebelum pengenalan layanan medis yang telah menjadi
fokus kesehatan dan penyakit.
Penelitian McKeown memberikan dukungan yang luar biasa untuk gagasan desain fisik itu
memengaruhi perilaku. Oleh karena itu, perencana memiliki tanggung jawab yang besar untuk
memberikan kontribusi terhadap pengembangan pencegahan primer yang dimaksudkan untuk
menggagalkan penyebaran penyakit dan yang terkait kerugian manusia dan ekonomi.
WHO melalui Proyek Kota Sehat telah mengembangkan pemahaman tentang kesehatan
yang berhubungan dengan semua prinsip perencanaan kota yang sehat. Sekali lagi, prinsip ini
ditujukan untuk menyediakan kerangka kerja sebagai panduan dalam desain dan pengembangan
kota. Meskipun dimaksudkan sebagai pedoman umum, prinsip ini sangat penting untuk proses
penciptaan dan mempertahankan kota yang sehat, sebagai berikut.
21. 14
a. Keadilan untuk Semua. Semua orang harus memiliki hak dan kesempatan untuk
mewujudkan seluruh potensinya dalam kesehatan.
b. Promosi kesehatan. Rencana kesehatan kota harus bertujuan untuk mempromosikan
kesehatan dengan menggunakan prinsip yang diuraikan dalam Piagam Ottawa untuk
Promosi Kesehatan, yaitu membangun kebijakan publik yang sehat; menciptakan
lingkungan yang mendukung; memperkuat kegiatan masyarakat dan mengembangkan
keterampilan pribadi; serta reorientasi pelayanan kesehatan.
c. Kegiatan lintas sektor kesehatan tercipta dalam suasana keseharian dan dipengaruhi oleh
kegiatan dan keputusan sebagian besar kalangan masyarakat.
d. Partisipasi masyarakat. Masyarakat yang terinformasi, termotivasi dan berpartisipasi aktif
adalah elemen kunci untuk menetapkan prioritas, membuat dan melaksanakan keputusan.
e. Lingkungan yang mendukung. Sebuah rencana kesehatan kota harus membahas penciptaan
lingkungan fisik dan sosial yang mendukung. Ini termasuk masalah tentang ekologi dan
keberlanjutan serta jaringan sosial, transportasi, perumahan dan masalah lingkungan
lainnya.
Pertanggungjawaban keputusan oleh politisi, eksekutif senior dan manajer di semua
sektor berdampak pada kondisi yang memengaruhi kesehatan, dan tanggung jawab atas
keputusan tersebut harus dibuat secara eksplisit dan jelas dimengerti serta dalam bentuk
yang dapat diukur dan dinilai kemudian.
f. Hak damai. Perdamaian adalah prasyarat dasar untuk kesehatan dan pencapaian
perdamaian adalah tujuan yang dapat dibenarkan bagi mereka yang ingin mencapai kualitas
kesehatan maksimum bagi komunitas dan warga negara (WHO, 1997).
2.4.5 Pendekatan Alternatif
Disadari sepenuhnya bahwa tidak ada satu formula tunggal untuk mengembangkan kota
yang sehat. Oleh karena itu, proses perencanaan kota yang sehat pasti akan bervariasi dari satu
kota ke kota lainnya bahkan dari kelompok ke kelompok. Keragaman budaya, agama, dan gaya
hidup masyarakat, tidak menjadi kendala dalam perencanaan perkotaan yang sehat melainkan
sebagai peluang. Perencanaan kota harus didukung oleh gaya kepemimpinan yang dinamis dan
terbuka untuk berbagai konfigurasi. Misalnya, harus terbuka untuk kolaborasi dan tindakan dari
‘bawah ke atas’. Perencanaan kota yang sehat dengan demikian memberi ruang bagi warga sebagai
pemimpin dan kebutuhan kepemimpinan katalitis dari perencana. Perencana menjadi pemimpin
22. 15
publik yang efektif ketika berfungsi sebagai katalisator yang jangkaunnya melampaui batas
tradisional untuk terlibat, berdiskusi, dan menengahi di antara kelompok pemangku kepentingan
yang beragam (Luke, 1998)
a. Perencana sebagai pendidik: 10 Komitmen
Profesi kesehatan masyarakat telah menghabiskan banyak waktu untuk menegaskan
kembali cara yang lebih efektif untuk membuat dampak kesehatan masyarakat yang benar-
benar positif. Banyak penelitian dan pengalaman praktis terkait kesehatan masyarakat
berbasis masyarakat. Secara khusus, upaya ini telah mengembangkan parameter atau
“komitmen” untuk pendidik kesehatan masyarakat yang tertarik dalam mengatur dan
membangun. "Sepuluh komitmen pendidikan kesehatan masyarakat" Merry Minkler dapat
berfungsi sebagai alat yang berguna untuk mempromosikan perencanaan kota yang sehat.
Komitmen tersebut adalah sebagai berikut (Minkler, 1994)
i. Mulai dari keberadaan orang-orang: Jika kita mulai dengan masyarakat dan bukan
agenda organisasi, kami menegaskan komitmen dan keyakinan pada kemampuan
masyarakat untuk menilai kekuatan, kebutuhan dan tujuan masa depan.
ii. Mengenali dan membangun kekuatan komunitas: Jangan pernah mengabaikan
pentingnya mengidentifikasi dan membangun aset komunitas. Dalam perencanaan,
kesehatan masyarakat dan sosial bidang jasa, terlalu sering terjadi fokus pada
kebutuhan dan kekurangan masyarakat, yang melanggengkan hilangnya semangat
dan harapan dalam masyarakat.
iii. Hormatilah komunitas Anda – tetapi jangan menjadikannya suci: Apa yang
disarankan di sini adalah, di satu sisi kita memang perlu melanjutkan dan
memperdalam tradisi menghormati dan bekerja dalam kemitraan dengan masyarakat
Pada saat yang sama, berusaha menjunjung tinggi etika pribadi dan standar profesi.
Dengan kata lain, kita tidak boleh membiarkan kepercayaan buta pada masyarakat
mencegah kita melihat dan bertindak untuk keadilan sosial.
iv. Membina partisipasi masyarakat elite: Komitmen ini mencerminkan kedalaman
kepercayaan pada orang-orang dan pengakuan bahwa para profesional memiliki
keterbatasan yang sangat nyata terkait pengetahuan tentang yang sebenarnya terjadi
di tingkat masyarakat.
23. 16
v. Tertawa adalah obat yang manjur. Menghadapi penyakit sosial yang ada saat ini bisa
sangat menyakitkan dan pekerjaan yang sangat sulit. Beratnya masalah yang
ditangani seharusnya tidak menghalangi kita mengingat bahwa tertawa adalah obat
yang baik.
vi. Pendidikan kesehatan bersifat mendidik – tetapi juga bersifat politis:
Mempromosikan dan meningkatkan status kesehatan mengharuskan semua yang
terlibat untuk membingkai ulang masalah kesehatan dan solusinya dalam konteks
politik, ekonomi dan sosial.
vii. Jangan menolerir "isme" yang buruk: Dalam membingkai ulang masalah, distribusi
kesehatan dan kesempatan hidup disesuaikan berdasar konteks ras, kelas dan gender.
viii. Berpikir secara global, bertindak secara lokal: Dalam mempromosikan kesehatan
terdapat kerumitan dalam menyeimbangkan bekerja pada tingkat mikro dan makro.
Keseimbangan vital ini akan memastikan bahwa kebutuhan lokal terpenuhi tetapi
perubahan tingkat makro yang lebih luas itu juga akan dipertahankan. Selain itu, yang
lain menyarankan mengubah pernyataan ini untuk memastikan bahwa kita berpikir
secara global dan lokal bersama-sama dan kemudian bertindak sesuai.
ix. Menumbuhkan pemberdayaan individu dan masyarakat: Membangun banyak hal
yang sudah disebutkan, komitmen ini mendorong pemberdayaan pendidikan
kesehatan. Bukan memberikan kekuatan, melainkan menciptakan lingkungan yang
memungkinkan individu dan masyarakat dapat mengambil kekuatan yang
dibutuhkan untuk mengubah hidupnya.
x. Bekerja untuk keadilan sosial: Ini menekankan pengorganisasian dan advokasi
kesehatan masyarakat dan keadilan sosial pada tingkat yang luas untuk
mempromosikan perubahan sistematis.
b. Komunitas dan Sistim sebagai Perangkat Kesehatan
McKnight (1997) berpendapat bahwa profesional perlu melihat sistem dan masyarakat
sebagai alat untuk mencapai masyarakat yang sehat. Untuk memahami kedua perangkat
ini, analisis kritis dari desain, kapasitas dan penggunaan yang tepat diperlukan.
Sistem biasanya paling baik dicontohkan oleh bagan organisasi yang dihubungkan
oleh garis otoritas dan tanggung jawab. Ini membantu beberapa orang untuk mengelola
24. 17
pekerjaan banyak orang. Selain itu, memastikan output standar dan kualitas terkendali.
Sistem juga bergantung pada elemen sosial lainnya yaitu konsumen atau klien.
Istilah komunitas agak kabur, karena tidak memiliki parameter yang ditetapkan dan
orang dapat menjadi bagian dari satu atau beberapa komunitas, sehingga sulit untuk
menyediakan satu definisi jelas untuk komunitas. Namun, komunitas memang berbagi
fungsi umum tertentu.
Alexis de Tocqueville (1835), seorang negarawan dan penulis Prancis, adalah orang
pertama yang menganalisis dan mendeskripsikan masyarakat sebagai alat sosial.
Pengamatannya terhadap orang Amerika Utara pada awal abad ke-19 memberikan alasan
untuk menyimpulkan bahwa alat sosial ini, juga disebut sebagai asosiasi, menyediakan
sarana untuk pertemuan yang beranggotakan orang biasa yang memiliki kekuatan untuk
mengidentifikasi masalah, mendiskusikan solusi terbaik dan bertindak untuk
mengimplementasikan solusi tersebut. De Tocqueville juga mencatat melalui dukungan
dari banyak asosiasi, sebuah forum unik dari kekuatan warga negara diciptakan (Duhl,
1999).
c. Pemimpin Katalis.
Kepemimpinan katalis bukanlah perangkat yang berasal dari gaya tradisional ‘atas-bawah’;
lebih tepatnya, itu muncul dari semua lapisan masyarakat. Termasuk melibatkan pejabat
publik, individu dari swasta, lembaga nirlaba dan pendidikan, aktivis komunitas dan
relawan. Lukas (1998) menetapkan empat tugas spesifik dan saling terkait yang diyakini
bersama-sama dapat memiliki dampak katalitis dalam menangani masalah masyarakat dan
dapat mendorong pertumbuhan kota yang sehat. Keempat tugas tersebut adalah sebagai
berikut (i) Memokuskan perhatian dengan mengangkat isu ke publik dan agenda kebijakan;
(ii) melibatkan masyarakat dalam upaya tersebut dengan mengumpulkan beragam
individu, lembaga, dan kepentingan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut;
(iii) merangsang berbagai strategi dan pilihan tindakan; (iv) mempertahankan tindakan dan
momentum dengan mengelola keterhubungan melalui pelembagaan yang tepat dan berbagi
informasi dan umpan balik yang cepat.
Pemimpin katalis lebih bersifat artistik dan organik daripada mekanistis dan
berturutan. Keseluruhan tugas ini sangat penting bagi perencana kota.
25. 18
d. Penilaian Komunitas Sehat.
Penilaian menjadi suatu keniscayaan, namun penilaian harus dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat jika benar-benar untuk mempromosikan kesehatan.
Profesional kesehatan masyarakat dan perencana kota yang pekerjaannya digerakkan oleh
asesmen kesehatan komunitas harus memahami dan mempromosikan penggunaan asesmen
kesehatan komunitas, jika benar-benar tertarik untuk menciptakan kesehatan bagi semua.
Terdapat 2 (dua) sumber data komunitas yaitu (i) penelitian dan (ii) cerita.
Penelitian berdasar teori dan kaya dengan informasi, yang dilakukan oleh profesional atau
akademisi. Sementara cerita merupakan informasi bersama komunitas. Tentu saja
keduanya dapat saling melengkapi.
Sementara metode survei dapat berupa (i) metode tanpa bertemu komunitas,
dengan asumsi bahwa kebutuhan dan masalah komunitas telah tercantum dalam laporan
statistik resmi; (ii) metode observasi yang membutuhkan kehadiran langsung di lokasi
komunitas untuk mengamati keadaan lapangan dan keseharian komunitas; (iii) metode
interaktif ketika peneliti dan komunitas berdiskusi langsung. Metode ini memungkinkan
beragam data dan informasi dapat diperoleh.
e. Mengembangkan dan mengelola koalisi
Keadaan kota semakin rumit, sehingga kapasitas profesional sudah tidak memungkinkan
untuk menghadapi permasalahan ini secara perorangan tetapi dibutuhkan gabungan
kapasitas, sumberdaya melalui pengembangan koalisi.
Kerangka kerja dasar bagi pengembangan koalisi dan kemitraan komunitas yang
efektif mencakup (i) memahami makna koalisi yaitu beragam kelompok bekerja bersama
untuk bekerjasama dan bersinergi. Menggunakan kerangka kerja sistim terbuka, Prestby
dan Wandersman (1985) mengenali 4 (empat) elemen agar kolaborasi dapat berfungsi
semestinya yaitu pengambilalihan sumberdaya, struktur organisasi, kegiatan dan
pencapaian.
Menurut Wandersman dkk. (1997) keberlangsungan koalisi bergantung pada
kemampuan kelompok menetapkan tujuan, menghubungkan antara kebutuhan perorangan
dan kelompok, menjalankan gaya kepemimpinan efektif dan proses pengambilan
keputusan.
26. 19
Kegiatan koalisi perlu dipastikan terlaksana. Dilengkapi dengan pengelolaan
kegiatan seperti keanggotaan, perekrutan dan pelatihan anggota baru, latihan
kepemimpinan dan resolusi konflik. Penggunaan konsep koalisi dan kemitraan sebagai
perangkat bagi perencana kota mempercepat perubahan sosial adalah hal baru dan menarik.
Namun diyakini cara ini akan terbukti bermanfaat dalam mewujudkan kota sehat.
f. Perencanaan siklus hidup
Untuk memastikan kesehatan buat semua, standar kesehatan harus mempertimbangkan
masyarakat paling rentan. Pendekatan ini sudah jamak dilakukan. Hal ini juga berlaku bagi
perencana kota yang perlu mempertimbangkan keragaman masyarakat baik dari sisi usia,
suku, jenis kelamin, pendapatan, dan lainnya. Istilah yang dipergunakan adalah siklus
hidup mulai dari lahir sampai lansia.
2.5 Perencanaan Kota Sehat
2.5.1 Gambaran Umum Rencana Kota Sehat
Pengembangan kota sehat tidak dapat berjalan dengan sendirinya tetapi dibutuhkan sebuah
Rencana Kota Sehat yang merupakan hasil kolaborasi seluruh pemangku kepentingan dan menjadi
arahan bagi pengembangan sebuah kota menuju terwujudnya kota yang sehat.
Rencana kota sehat secara khusus dijelaskan oleh WHO (1997) sebagai rangkuman
kegiatan utama pelaksanaan yang dipandang perlu dikembangkan dalam konteks pembangunan
kota sehat yang berkelanjutan, sekaligus juga dikaitkan dengan Agenda 21.
Rencana Kota Sehat menjadi kunci utama bagi pengembangan kesehatan masyarakat
sebuah kota, sekaligus menjadi aspek penting dari pengembangan kota secara keseluruhan.
Rencana ini juga sekaligus menunjukkan komitmen dan konsensus beragam pemangku
kepentingan dalam mewujudkan peningkatan kesehatan masyarakat pada tingkatan kota.
Rencana Kota Sehat bukan rencana perlindungan kesehatan tetapi merupakan gambaran
visi masyarakat sehat dan berkelanjutan dan cara mewujudkannya yang merupakan konsensus para
pemangku kepentingan dan dikembangkan secara kolaboratif (Queensland University of
Technology, 1995).
2.5.2 Pertimbangan Dasar Rencana Kota Sehat
Pertimbangan dasar perlunya rencana kota sehat adalah (i) dapat mendorong tantangan
kesehatan dan kualitas hidup menjadi agenda pengambilan keputusan pemerintah, otoritas
kesehatan dan organisasi terkait lainnya; (ii) aspek kesehatan terhubung dengan isu lingkungan;
27. 20
(iii) merasionalisasi sumber daya yang langka, termasuk waktu dan tenaga orang; (iv) menetapkan
dasar untuk memantau kemajuan inisiatif dan evaluasi kesuksesan; (v) mengembangkan dasar
penganggaran untuk pengembangan layanan dan program untuk kesehatan; (vi) menunjukkan
komitmen dari organisasi kota memberi peluang partisipasi masyarakat lebih besar dalam
pengambilan keputusan; dan (vii) dapat meningkatkan kualitas perjalanan hidup di kota, daerah
sekitar dan masyarakat dari waktu ke waktu (WHO, 1997).
2.5.3 Manfaat Rencana
Manfaat rencana kota sehat setidaknya mencakup (i) memungkinkan pemerintah daerah
untuk mengenali perannya dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat; (ii) membantu
komunikasi antara organisasi dan promosi kemitraan; (iii) meningkatkan kesadaran akan faktor
yang memengaruhi kesehatan dan implikasinya terhadap kebijakan dan pelaksanaannya; (iv)
memberikan kesempatan untuk menangkal ketidaksetaraan dalam kesehatan; (v) meningkatkan
profesionalitas dan keterampilan perencanaan; (vi) memasilitasi hubungan yang lebih dekat
dengan masyarakat dan pengguna layanan; dan (vii) menciptakan dasar layanan yang lebih
fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan.
2.5.4 Tantangan
Tantangan utama yang dihadapi adalah adanya kecenderungan para pemangku
kepentingan tidak mau beranjak dari zona nyaman. Selain bahwa tawaran konsep kota sehat
mungkin dipandang belum diterima secara umum. Selain kebutuhan waktu yang lama juga
biasanya ditentang oleh para pihak politisi yang ingin hasilnya segera terlihat.
Hal lainnya bahwa kekuasaan sangat berperan untuk menjamin rencana ini diterima dan
dilaksanakan. Kekuasaan dimaknai sebagai kapasitas atau kemampuan seseorang atau sekelompok
orang untuk memengaruhi pihak lain. Kekuasaan dapat bermanfaat sekaligus menjadi ancaman.
2.5.5 Struktur Rencana
Rencana kota sehat setidaknya mencakup (i) Gambaran status kesehatan penduduk kota
dengan segala keragamannya; (ii) Uraian faktor kunci yang mendukung dan membatasi kesehatan
penduduk; (iii) Penjelasan aspek kesehatan yang perlu ditingkatkan dan tujuan pencapaiannya; (iv)
Penetapan prioritas utama; (v) Rincian keseluruhan kerangka kerja perubahan; (vi) Rencana
pelaksanaan dalam kerangka waktu yang disepakati; (vii) Rangkuman contoh praktik baik; (viii)
Proses pemantauan dan evaluasi pencapaian
28. 21
2.6 Proses Penyususunan Rencana
Persyaratan utama agar proses penyusunan rencana ini berhasil adalah kolaborasi
antarlembaga dan pertisipasi masyarakat. Terkait partisipasi masyarakat, Brager dan Sprecht
sebagaimana dikutip dalam Sheffield (1993) menunjukkan terdapat setidaknya 7 (tujuh) tingkatan
partisipasi mulai dari yang terlemah sampai terkuat, sebagai berikut:
a. Tanpa partisipasi, masyarakat bahkan tidak memperoleh informasi sama sekali
b. Menerima informasi, pemerintah menyusun rencana dan mengundang masyarakat hanya
untuk kebutuhan agar informasinya tersampaikan
c. Konsultasi, pemerintah mencoba mempromosikan rencana. Berusaha untuk
mengembangkan dukungan untuk memasilitasi penerimaan
d. Saran, pemerintah menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan. Mempersiapkan
perubahan hanya jika benar-benar dibutukan
e. Perencanaan bersama, pemerintah menyampaikan rancangan rencana yang dapat direvisi
dan terbuka bagi perubahan dari masyarakat terdampak. Diharapkan perubahan tidak
banyak
f. Kewenangan didelegasikan, pemerintah mengenali dan menyampaikan masalah ke
masyarakat. Masyarakat diminta menyusun keputusan yang akan disertakan dalam rencana
g. Memegang kendali, pemerintah meminta masyarakat mengenali masalah dan menyusun
tujuan kunci. Pemerintah mengawal proses penyusunan rencana.
Sementara kerjasama pemerintah dan masyarakat sebagaimana dicontohkan oleh The
Australian National Local Government Environmental Resource Network (NLGERN) dikenal
dengan istilah CONSULTT, yaitu
a. Clarifying (klarifikasi), kondisi saat ini melalui wawancara pemain kunci, survei
sederhana, telaah literatur, dan memanfaatkan informasi yang diperoleh untuk menyiapkan
makalah diskusi sebagai bahan pertemuan
b. Opening up (membuka) isu pada semua pihak melalui distribusi makalah diskusi,
menghadiri pertemuan masyarakat, menyelenggarakan lokakarya bagi kelompok khusus
dan menyampaikan ide dihadapan forum publik
c. Negotiating agreement dengan pemangku kepentingan masyarakat sebelum menyepakati
komitmen. Hal ini untuk menghindari kesan masyarakat hanya menjadi tukang stempel
29. 22
d. Synthesizing (sintesa) sumbangan pemikiran menjadi strategi umum untuk mencapai
kesepakatan
e. Undertaking (menyelenggarakan) uji strategi baik berupa studi kelayakan atau uji coba,
sebelum proses memasuki penetapan keputusan
f. Learning (belajar) dari pelaksanaan dan melaporkan kembali ke masyarakat dan petugas
yang berwenang
g. enTrenching (mengakar) pada masyarakat dan struktur pemerintah
h. Taking (lakukan) berkeliling lagi, ulangi keseluruhan proses secara bertahap, sehingga
sistim tetap tanggap dan fleksibel (Australian National University, 1994)
Tahapan penyusunan rencana kota sehat setidaknya mencakup 7 (tujuh) tahapan yaitu
a. Visi, yang merupakan kesepakatan pemangku kepentingan melalui penyamaan pandangan
dilanjutkan dengan kesamaan komitmen terhadap perlunya rencana kota sehat dan visi
serta manfaat bagi semua pihak.
Beberapa kegiatan yang dapat membantu terwujudnya kesepakatan tentang visi,
diantaranya adalah (i) konsultasikan dokumen yang akan diedarkan ke organisasi dan
kelompok masyarakat; (ii) seminar publik untuk mengeksplorasi visi baru untuk kesehatan
kota; (iii) lokakarya visi berbasis komunitas baik bagi anggota masyarakat maupun
pemangku kepentingan lainnya; (iv) diskusi dengan media massa; (v) lokakarya
pembangunan untuk mengeksplorasi manfaat kerja kolaboratif; (vi) seminar mensintesis
rancangan rencana di kota yang sudah mendukung pendekatan ini.
b. Pengelolaan Kegiatan, struktur pengelolaan proyek diklarifikasi termasuk komposisi tim
proyek, peran dan tanggung jawab keduanya.
c. Pengumpulan Data, mencakup data kesehatan berikut faktor berpengaruh.
Setelah data dipublikasikan, dibutuhkan rangkaian konsultasi publik dengan pertimbangan
(i) memberi kesempatan masyarakat mendiskusikan dan memeriksa kebenaran data
khsusnya survei masyarakat; (ii) memberi kesempatan masyarakat mengenali isu
prioritasnya; (iii) menjaga agar masyarakat tetap peduli terhadap proses ini.
d. Penetapan Prioritas, analisis data yang berujung kesepakatan prioritas
e. Pengembangan Strategi, menyepakati tujuan, sasaran, strategi dan target terukur untuk
menangani prioritas yang telah disepakati sebelumnya. Sasaran merupakan komitmen
30. 23
menghasilkan keluaran tertentu dalam jangka waktu tertentu. Strategi adalah rencana
mencapai sasaran.
Seyogyanya strategi tersebut memenuhi beberapa hal berikut, yaitu (i) dapat dipahami
secara menyeluruh. Mungkin beberapa tambahan waktu diperlukan untuk menjelajahi
konteks seputar masalah seperti kebijakan saat ini, sikap pemain kunci dan faktor sosial;
(ii) pemahaman yang jelas tentang karakteristik sasaran kelompok intervensi strategis,
termasuk masalah usia, jenis kelamin, budaya dan sikap dan keyakinan mereka tentang
masalah ini; (iii) Penelitian harus dilakukan terhadap strategi saat ini untuk menghindari
duplikasi; (iv) Strategi dapat dicapai tetapi tidak dengan mengorbankan strategi yang
dipandang menantang dengan memilih strategi yang jauh lebih mudah; (v) Strategi harus
memberikan pencapaian jangka pendek sehingga baik pemerintah daerah maupun
masyarakat dapat melihat kemanjurannya; (vi) Strategi mungkin termasuk memformalkan
proses yang sudah ada. (vii) Target sebaiknya dapat dicapai, spesifik dan terukur, dalam
jangka waktu tertentu, dan mendapat dukungan dari pemangku kepentingan.
Program adalah rencana kerja dari target yang mencakup (i) parameter tugas; (ii)
rencana kegiatan; (iii) pelaksana; (iv) sumberdaya; (v) kerangka waktu; (vi) kriteria
pemantauan dan evaluasi
f. Merancang Rencana Kota Sehat, ketika rencana telah dirancang, dilakukan umpan balik
ke dalam proses kembali untuk memastikan kebutuhan dan harapan masyarakat telah
terpenuhi
g. Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi, kemajuan dipantau, pencapaian ditelaah dan
masukan disampaikan terhadap kemajuan untuk memastikan strategi terlaksana. Telaahan
sebaiknya mencakup (i) penilaian pencapaian terhadap visi dan tujuan rencana; (ii)
menggambarkan keadaan kesehatan terkait nasioanl; (iii) menentukan pencapaian target
dan pelaksanaan strategi; (iv) diskusi kesuksesan dan kegagalan; (v) menguji perlunya
target dinilai kembali (WHO, 1997).
Pada dasarnya memang banyak ragam tahapan penyusunan rencana kota sehat seperti yang
diperkenalkan oleh WHO Kantor Regional Eropa (2008) sebagai Proses Perencanaan Tiga Tahap
(A three-stage planning process), yaitu
a. Tahap Pertama: Membangun komitmen dan persiapan berupa membangun komitmen
dengan pemangku kepentingan kunci, membentuk kelompok kepemimpinan, menyepakati
31. 24
visi, mengumpulkan informasi, mengenali peluang dan kendala dan menentykan tujuan
dan sasaran.
b. Tahap Kedua: menyiapkan rencana, mencakup mengenali dan menentukan prioritas
diantara beragam pilihan kebijakan rencana, program, pengembangan infrastruktur dan
komunikasi baik pada Kawasan terbangun dan lingkungan sosial
c. Tahap Ketiga: melaksanakan rencana dan mengukur keberhasilan, mencakup
melaksanakan kegiatan dan intervensi, evaluasi kemajuan kerja dan berbagi pengalaman
dan pembelajaran, serta telaah dan pengkinian rencana
2.7 Kaitan Kota Sehat dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Sebagai kelanjutan Millenium Development Goals (MDGs), diluncurkan Sustainable
Development Goals (SDGs)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) pada September 2015,
sebuah kesepakatan pemimpin dunia yang mencakup 17 tujuan, 169 target dan 231 indikator.
Kota Sehat yang dinisiasi oleh WHO juga merujuk pada TPB/SDGs tersebut. Semisal
penentu klasik kesehatan merujuk target kemiskinan (TPB 1), makanan (TPB 2), dan air (TPB 6)
termasuk juga ketidaksetaraan (TPB 10) atau baru-baru ini berpikir tentang kesehatan bumi seperti
iklim dan ekosistim (TPB 13-15), sementara tata kelola yang semakin dikenali sebagai kunci
mencapai kesehatan (TPB 16) (Moore dkk. 2016 dalam De Leeuw dan Simos ed., 2017).
Sementara Kota Sehat senyatanya terhubung dengan TPB 11, yaitu ‘Mewujudkan kota dan
permukiman inklusif, aman, berketahanan, dan berkelanjutan’. Walaupun demikian, promosi
kesehatan merujuk pada target lain. Selengkapnya pada Tabel berikut.
Tabel 1 Kaitan Kota Sehat dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB)
Kota Sehat
Tujuan 2
mengakhiri
kelaparan,
mencapai
ketahanan
pangan,
memperbaiki
nutrisi dan mempromosikan
pertanian yang berkelanjutan
Kota yang sehat dapat memastikan akses ke makanan yang
aman, bergizi dan cukup dengan mengadopsi langkah
kebijakan inovatif daripada memperbaiki lingkungan makanan
melalui: (1) peningkatan akses ke pilihan sehat (misalnya pasar
hijau); (2) memberdayakan masyarakat dengan informasi yang
jelas untuk membuat pilihan yang lebih sehat (misal pelabelan
kalori, pelabelan grafis); (3) membatasi atau disinsentif
ketersediaan makanan dan minuman yang tidak sehat (misal
kebijakan zonasi ekonomi) dan (4) membantu mengakhiri
malnutrisi dengan pengiriman makanan padat gizi untuk orang
miskin
32. 25
Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB)
Kota Sehat
Tujuan 6
Menjamin
Ketersediaan
serta
Pengelolaan
Air Bersih
dan Sanitasi
yang Berkelanjutan untuk
Semua
Urbanisasi menjanjikan efisiensi, infrastruktur yang lebih baik,
dan teknologi. Pendekatan kota sehat menjamin upaya ini
meningkatkan akses terhadap air minum yang aman dan
sanitasi yang lebih baik untuk masyarakat luas, serta
pembuangan limbah yang tepat, manajemen polusi dan
kebersihan yang baik. Permukiman formal dan informal
memerlukan perhatian untuk standar sanitasi yang memadai
Tujuan 11
TPB adalah
menjadikan
kota dan
pemukiman
inklusif,
aman,
tangguh dan berkelanjutan
Pendekatan kota yang sehat melihat perumahan dan sanitasi
yang lebih baik, berkurang kepadatan penduduk dan perbaikan
daerah kumuh sebagai prioritas kesehatan masyarakat.
Perumahan dan sanitasi dibawah standar meningkatkan risiko
TB dan penyakit yang ditularkan melalui udara lainnya,
memungkinkan malaria, demam kuning, dan sekarang Zika
berkembang biak, terutama ketika ada genangan air. Kota yang
sehat juga mendorong perencanaan kota yang lebih baik
memprioritaskan peningkatan akses ke sistim transportasi yang
aman, ruang hijau publik, dan tanggap darurat terhadap
bencana alam, yang bersama-sama mengurangi kematian lalu
lintas jalan, meningkatkan kualitas udara, mempromosikan
aktivitas fisik dan menyelamatkan nyawa dari bencana
Tujuan 12
Konsumsi
dan Produksi
yang
Bertanggung
Jawab
Pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan yang
merugikan lingkungan juga merugikan kesehatan, baik melalui
pencemar udara, persediaan air tercemar atau kehilangan
makanan. Oleh karena itu, kota yang sehat adalah kota yang
berkelanjutan. Mereka mendorong perusahaan transnasional,
dan mendukung individu, untuk mengadopsi praktik
berkelanjutan untuk kesehatan planet ini dan manusianya
Tujuan 13
Penanganan
perubahan
iklim
Pendekatan kota yang sehat mengakui bahwa peristiwa cuaca
ekstrim dapat berdampak nyata pada kesehatan, melalui
gangguan rantai pasokan makanan, penyebaran air tercemar
penyakit, menyebabkan migrasi, dan mengakibatkan cedera
fisik. Kota yang sehat bertujuan untuk mengurangi emisi
karbon, sehingga meningkatkan kualitas udara dan
mempromosikan aktivitas fisik (misalnya mengganti mobil
dengan berjalan kaki dan bersepeda) secara bersamaan.
Dengan jumlah penduduk yang besar, termasuk penduduk
miskin, sekarang terkonsentrasi di kota-kota, pendekatan kota
yang sehat adalah jalur utama menuju mitigasi perubahan iklim
Kota kesehatan itu damai dan inklusif. Mereka membantu
menghilangkan kekerasan dengan menyediakan tempat yang
aman bagi orang untuk hidup, bekerja dan bermain. Mereka
juga merintis tata kelola lintas sektoral yang efektif, transparan,
dan akuntabel untuk memajukan kesehatan, mencapai cakupan
33. 26
Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB)
Kota Sehat
Tujuan 16
Perdamaian,
keadilan dan
kelembagaan
yang tangguh
kesehatan universal, dan memajukan target lainnya. Kota yang
sehat, sebagai tempat alami untuk memulai atau memulai
aktivisme sosial pro-kesehatan atau mendapatkan momentum,
juga membantu menjamin akses keadilan untuk semua,
termasuk yang terpinggirkan dan terlantar.
Sumber: de Leeuw dan Simos, 2017.
34. 27
Bab III
Pembelajaran Mancanegara
3.1 Glasgow (Skotlandia)
Glasgow sebuah kota berpenduduk 750 ribu jiwa menyusun rencana kota sehat dengan
proses sirkular, dimulai dari Tim Pengarah dan disetujui oleh Tim Pengarah. Proses penyusunan
dimulai begitu diperoleh komitmen dari Tim Pengarah untuk memperoleh akses ke pimpinan
instnasi.
Pimpinan Tim Rencana menyelenggarakan rangkaian pertemuan untuk merancang ulasan
hasil kerja instansi. Tiap instansi menyediakan ulasan hasil kerjanya dan keterkaitan dengan
gambaran besar kesehatan. Rancangan dokumennya dihasilkan setelah setahun termasuk
wawancara perseorangan.
Setelah konsultasi intensif, Tim Pengarah Kota Sehat, Otoritas Lokal, dan Otoritas
Kesehatan menyetujui rancangan. Selanjutnya rancangan disebarkan untuk memperoleh
tanggapan dari seluruh dinas terkait. Dibutuhkan waktu 3 (tiga) tahun menyelesaikan rancangan
ini, dan hanya bisa dilakukan karena struktur kolaborasi yang kuat dan komitmen petinggi kota.
Peluncuran dokumen bukan akhir proses tetapi awal tugas mengembangkan partisipasi
masyarakat yang lebih luas dan menyusun rencana. Setelah rencana diterima dan diluncurkan,
strategi pemantauan, telaah dan pengembangan disiapkan untuk memantau target strategis dan
mengedepankan kolaborasi. Proses penyusunan rencana selengkapnya pada Gambar berikut.
3.2 Belfast (Irlandia)
Secara umum, tujuan, sasaran dan keluaran Rencana Kota Sehat Belfast terlihat jelas
menyampaikan pesan kolaborasi suatu keniscayaan. Adapun tujuan, sasaran dan keluaran Rencana
Kota Sehat sebagai berikut.
a. Tujuan, menghasilkan visi kesehatan masyarakat kota dan mengembangkan kebijakan dan
strategi terpadu
b. Sasaran (kolaborasi) adalah
Menyusun profil kesehatan kota, kuantitatif dan kualitatif, yang menggambarkan
kesehatan penduduk dan keadaan lingkungannya
35. 28
c. Memungkinkan masyarakat kota berpartisipasi dan memengaruhi proses penetapan
keputusan tentang kesehatan dan penyediaan layanan kesehatan publik
d. Keluaran (outcomes) umum, adalah
Acuan bersama bagi seluruh instansi
Meningkatkan koordinasi dan sinergi yang lebih baik dihasilkan dari proses
yang akan memperkuat setiap program
Rancangan dipresentasikan pada
Tim Pengarah, lalu meminta
tanggapan ke dinas terkait
Rencana Kota Sehat diluncurkan
Rancangan dipresentasikan pada Komite Kebijakan,
Otoritas Kesehatan, Dewan Kota untuk persetujuan
Rancangan diselesaikan dan
dipresentasikan pada Tim
Pengarah untuk persetujuan
Pemantauan, evaluasi dan pengembangan konsultasi
masyarakat terhadap rencana dan pengembangan
struktur rencana masyarakat dan layanan terpadu
Dukungan dan
pengembangan menuju
versi berikut dari rencana
Siklus perencanaan berikut
Gambar 2
Proses Pengembangan Rencana Kota
Sehat Glasgow
Proses dimulai
Konsultasi Tim Proyek dan Komite
Pengarah tentang proses penyusunan
rencana kota sehat
Kepala Dinas, Otoritas Lokal, Otoritas
Kesehatan, dan Dewan Kota memilih
perwakilan instansi setempat
Pertemuan awal dengan perwakilan instansi. Diskusi
pemikiran dasar, model kesehatan sosiopolitis, kondisi
kesehatan kota dan proses penyusunan rencana
Perwakilan menyiapkan Laporan (B)
menggambarkan acuan keluaran kesehatan
dalam dokumen perencanaan instansinya
Rancangan final didistribusikan
untuk konsultasi
Rancangan final diproduksi, disatukan
dengan komentar dan diskusi bersama
perwakilan instansi
Wawancara tahap kedua dengan perwakilan instansi
untuk menegaskan rencana instansi terkait
kesehatan dan target keluaran kesehatan yang
menjadi bagian rancangan final
Komentar dan Perubahan
Rancangan rencana dibagikan
ke seluruh instansi untuk
konsultasi
Rancangan rencana dipresentasikan pada Tim Pengarah
untuk diskusi dan persetujuan. Mengingatkan Tim
Pengarah untuk mendukung dan mempromosikannya di
daerah pemilihannya
Tim Rencana Kota Sehat menyusun
rencana berdasar laporan, dokumen kerja,
wawancara dan data kota
Wawancara perorangan dengan perwakilan
instansi terkait kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman bagi masa depan pekerjaannya.
Ini memungkinkan tim rencana kota mendapat
gambaran nyata
Pertemuan ketiga. Menyimak
rancangan dan menyelidiki
peluang bekerja lintas instansi
untuk memperbaiki keluaran
kesehatan kota
Perwakilan mengambil tanggungjawab menyusun
rancangan Laporan (A) tentang pandangan,
dukungan dan disusun oleh instansi terkait
Pertemuan kedua menyelidiki tentang
bagaimana seluruh layanan berpengaruh
terhadap kesehatan penduduk
Seluruh pertemuan dikelola
dan dilaporkan oleh Tim
Proyek: seluruh wawancara
dilaksanakan oleh Tim Proyek.
Perlu perhatian terhadap
keperluan Tim Proyek
menyusun ulasan yang bagus
tentang layanan kota
Dari dua pertemuan terdahulu, tim rencana kota
sehat menghasilkan rancangan dokumen
menggambarkan penyediaan layanan 4kota dan
kaitannya dengan keluaran kesehatan
Sumber: WHO, 1997.
36. 29
e. Keluaran tertentu, yaitu
kebijakan terpadu yang terlihat pada siklus perencanaan masa depan
peningkatan koordinasi antara penyedia layanan yang sesuai kebutuhan
masyarakat
keterlibatan masyarakat dalam perencanaan masa depan dan pengembangan
kebijakan dan layanan setempat
memperkuat partisipasi masyarakat
komunitas etnis minoritas terlibat penilaian kebutuhan dan menyusun rencana
tindak
Pengembangan bentuk kemitraan baru
Peningkatan kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan
Pembuktian kolaborasi antara instansi pemerintah yang mendukung
keberlangsungan hidup jangka panjang masyarakat
Pembuktian bahwa kelompok sosial terpinggirkan terlibat dalam perencanaan
kebijakan dan program
Pembuktian bahwa instansi mengembangkan kebijakan dan program
berkelanjutan bekerjasama dengan masyarakat
Pembuktian peningkatan kapasitas masyarakat
3.3 Salzburg (Austria)
Salzburg menjadi salah satu contoh karena pengalaman kota ini menunjukkan warganya
yang luar biasa teknik partisipasinya, dan menganjurkan transportasi pejalan kaki. Sebagian besar
pertumbuhan yang dialami oleh kota Salzburg telah terjadi selama beberapa dekade terakhir, dan
sebagian besar memang demikian dipandang oleh warga sebagai jelek, tidak berbentuk dan tidak
manusiawi.
Di puncak pertumbuhan kota, ditambah dengan ancaman pembangunan jalan raya baru,
warga membentuk kelompok advokasi "kota tua." Individu dari kelompok ini akhirnya terpilih
untuk posisi di Dewan Kota dan hari ini telah mengubah proses partisipasi warga di Salzburg.
Dari transisi ini, Salzburg telah mewujudkan empat reformasi besar, yaitu (i) rencana sabuk
hijau di sekitar kota dan penghapusan kebijakan masa lalu yang menyisihkan cadangan 70% tanah
kota untuk konstruksi baru; (ii) kelompok warga memprakarsai proyek untuk merenovasi pusat
kota bersejarah; (iii) reformasi arsitektur besar-besaran; (iv) sebuah kebijakan lalu lintas yang baru
37. 30
untuk seluruh kota telah disusun, memberikan prioritas pertama untuk pejalan kaki, kedua untuk
pengendara sepeda, ketiga untuk angkutan umum dan terakhir mobil.
Contoh kasus ketika pada tahun 1982 kota Salzburg mulai menerapkan jalur pejalan kaki
zona yang telah dijanjikan selama lebih dari 15 tahun. Karena konflik kepentingan, tidak ada
penyelesaian dapat dicapai untuk memulai proyek, tetapi melalui metode eksperimental
pemerintah kota Salzburg bekerja langsung dengan warga untuk melakukan proses perencanaan,
rencana zona pejalan kaki dibuat dan disetujui hanya dalam enam bulan.
Selain itu, dua tahun setelah selesainya rencana tersebut, 80% populasi menyetujui
pembangunan, 10% ragu-ragu dan 10% lainnya ingin melihat pendekatan yang lebih liberal.
Dalam kasus Salzburg, perencanaan perkotaan yang sehat tidak hanya menghasilkan efek
kesehatan manusia yang positif, tetapi juga efek ekonomi yang positif (Crowhurst dan Lennard,
1987).
3.4 Vancouver (Kanada)4
Visi Kota Sehat untuk Semua Vancouver adalah sebuah kota tempat bersama-sama
menciptakan dan terus meningkatkan kondisi yang memungkinkan kita semua menikmati tingkat
kesehatan dan kesejahteraan setinggi mungkin.
Kerangka kerja mencakup
pernyataan visi yang jelas dan 3 (tiga)
fokus yaitu masyarakat sehat-pelayanan
dasar; masyarakat sehat-keterkaitan budi
daya; lingkungan sehat-jaminan
kelayakan hidup. Termasuk 12 tujuan
selama 10 tahun.
Sejumlah prinsip dan asumsi
panduan membentuk pengembangan
fase pertama dari Strategi Kota Sehat dan
akan terus menjadi pedoman bekerja saat
bergerak maju. Di bawah ini adalah
4
Disarikan dari City of Vancouver. A Healthy City for All. Vancouver’s Healthy City Strategy 2014-2045. Phase 1.
38. 31
ringkasan dari prinsip dan asumsi tersebut yang meliputi:
a. Pemahaman yang luas dan menyeluruh tentang kesehatan dan kesejahteraan:
b. Pemenuhan hak dasar dan kebebasan. Hak-hak dasar dan kebebasan dijamin di bawah
Piagam Hak dan Kebebasan, ,
c. Kesehatan dan kesejahteraan untuk semua bersifat universal untuk semua warga negara dan
terfokus pada populasi tertentu yang paling rentan terhadap ketidakadilan kesehatan.
d. Pencegahan dan berorientasi ke hulu. Prioritas ke pencegahan kesehatan yang buruk bukan
intervensi krisis.
e. Kesehatan dan kesejahteraan adalah urusan semua orang. Kesehatan dan kesejahteraan
Vancouver harus melibatkan masyarakat luas, swasta, dan semua penduduk, termasuk yang
paling terdampak.
f. Lingkungan ekologi yang sehat. Semua
orang berhak untuk hidup dalam
lingkungan sehat, dengan kesadaran akan
polutan dan kontaminan yang dapat
menyebabkan kerusakan.
g. Kebutuhan inovasi. Dibutuhkan inovasi
sosial dan cara berpikir dan bertindak
berbeda yang secara nyata membuat
kemajuan terhadap penanganan masalah
yang rumit.
h. Mengaktifkan dampak kolektif. Upaya
dipadukan di seluruh institusi kota dan
mitranya
i. Fokus investasi dan tindakan berdasarkan bukti.
j. Memantau, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan. Menilai kemajuan, membuat perubahan
berdasarkan evaluasi, dan mengkomunikasikan hasilnya.
k. Kepemimpinan. Kota akan terus berlanjut menunjukkan kepemimpinan dalam kesehatan dan
kesejahteraan,
39. 32
Bicara Kota Sehat untuk Semua, proses keterlibatan publik yang luas, dan inisiatif lainnya
dilakukan dalam kemitraan dengan organisasi Vancouver Coastal Health (Kesehatan Pesisir
Vancouver) dan pemangku kepentingan lainnya. Penduduk diminta mengajukan ide terbaik dan
paling berani untuk mewujudkan kota yang sehat untuk semua. Prosesnya menjangkau lebih dari
10.000 orang yang menggunakan berbagai format, termasuk platform daring, percakapan Twitter,
situs web kota, lokakarya langsung, dan lab gagasan, dan dialog dengan berbagai kelompok. Salah
satu hasilnya adalah Strategi Kota Sehat Vancouver (lihat Gambar berikut)
Berdasar hasil analisis WHO, ditemukan 4 (empat) persyaratan agar pelaksanaan strategi
jangka panjang kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat dapat
terlaksana baik dan efektif, yaitu (i)
komitmen politik tingkat tinggi yang
menjadikan kesehatan, kesetaraan dan
pembangunan berkelanjutan menjadi
nilai inti dalam visi dan kebijakan kota;
(ii) berbagi visi, pemahaman dan
komitmen terkait pendekatan
kesehatan masyarakat yang sistimatik
dan terpadu; (iii) proses dan struktur
organisasi untuk mengoordinasikan,
mengelola dan mendukung perubahan
dan memasilitasi kegiatan dan keterlibatan aktif masyarakat; (iv) peluang bermitra dan berjejaring
dengan kelompok masyarakat dan lembaga berbadan hukum maupun tidak.
3.5 Kota Sehat Kawasan Pasific Barat WHO5
Belajar dari berbagai kota di Kawasan Oceania, WHO menyimpulkan terdapat 8 (delapan)
faktor kunci Kota Sehat, yaitu
a. Pemberdayaan perorangan dan komunitas. Pemberdayaan perorangan merujuk pada
kemampuan perorangan untuk mengambil keputusan dan mengendalikan hidupnya.
Pemberdayaan komunitas, yang merupakan tujuan penting dalam kegiatan kesehatan
5
Dikutip dari de Leeuw dkk. (2017). Healthy Cities, Urbanisastion and Healthy Island: Oceania dalam de Leeuw dan
Simos (2017). Healthy Cities. The Theory, Policy and Practice of Value-Based Urban Planning. Springer.
40. 33
masyarakat, melibatkan perorangan untuk memperoleh pengaruh lebih besar dan kendali
terhadap penentu kesehatan dan kualitas hidup komunitas.
b. Keterlibatan seluruh sektor, mengarah pada meningkatnya kepedulian dampak kesehatan
dari kebijakan dan praktik institusi berbagai sektor dan memasilitasi kebijakan dan praktik
kesehatan masyarakat.
c. Keberlanjutan lingkungan, dimaknai sebagai memenuhi kebutuhan tanpa merusak
kapasitas lingkungan untuk mendukung kehidupan dalam jangka panjang
d. Efisiensi energi, adalah metoda utama yang memungkinkan kota mencapai keberlanjutan
lingkungan, mempertimbangkan energi dari sumber tidak terbarukan yang tidak
berkelanjutan. Manfaat kota efisien energi dari kebijakan yang mendorong komunitas dan
industri mempertahankan standar hidup dengan intensitas energi rendah.
e. Sistim kesehatan berbasis kesetaraan, termasuk akses universal terhadap layanan
perawatan kesehatan, informasi dan kualitas perawatan lebih baik
f. Mengurangi kemiskinan perkotaan ekstrim. Hal ini berarti menjamin bahwa tidak satupun
yang hidup pada kawasan sangat miskin mempunyai akses terbatas pada kebutuhan dasar
(makanan, pakaian, rumah, pendidikan dan perawatan kesehatan). Kemiskinan parah
dimaknai sebagai masyarakat yang hidup hanya dengan kurang dari USD 1 per hari.
g. Ungkapan keragaman budaya dan nilai spiritual. Masyarakat bebas memperoleh hak
dasarnya dan untuk mengungkapkan budaayanya seperti juga nilai spiritual.
h. Penegakan keamanan dan keselamatan. Kebijakan keamanan, persiapan darurat dan
keselamatan tempat kerja dan komunitas disusun dan ditegakkan pad semua tingkatan,
khususnya pada kota, komunitas dan rumah tangga.
3.6 Kota Sehat Republik Korea.
Kota di Korea secara konsisten mengembangkan kemitraan, dengan fokus yang beragam.
Kolaborasi pemerintah-akademik telah melibatkan tenaga akademik sejak awal pendataan, analisis
profil kesehatan, serta perencanaan dan evaluasi terkait sejumlah Kota Sehat.
Fokus komunitas yang kuat adalah karakteristik lain dari kemitraan publik-swasta Guro-
gu di Seoul, yang misalnya menekankan proyek dipimpin masyarakat, warga masyarakat
bertanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program tanpa campur
tangan dari pejabat kota, sehingga melibatkan dan menyatukan warga dan mengembangkan
jaringan sosial yang erat.
41. 34
Bab IV
Kesimpulan dan Agenda Strategis
4.1 Kesimpulan
Perencanaan kota selama ini masih jarang yang secara khusus mempertimbangkan aspek
kesehatan sebagai prinsip dasar perencanaan. Perencanaan kota masih banyak ditentukan oleh
aspek fisik seperti infrastruktur maupun lingkungan. Baru belakangan ini kemudian perencana
kota menyadari bahwa hasil rancangannya memiliki konsekuensi, baik disengaja maupun tidak,
yang berpotensi menyebabkan kesehatan yang buruk dalam masyarakat. Hal ini yang mendorong
kemudian sejak tahun 1970an, WHO memperkenalkan konsep Kota Sehat sebagai upaya
menjadikan kesehatan sebagai bagian dari arus utama perencanaan kota.
WHO melakukan uji coba Kota Sehat pada beberapa kota di Eropa, yang pembelajarannya
menjadi sangat bermanfaat dalam mewarnai ragam cara perencanaan Kota Sehat secara khusus
dan perencanaan kota secara umum.
Konsep Kota Sehat terkait dengan Agenda Pembangunan Global seperti Agenda 21, dan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Dengan demikian,
pengembangan Kota Sehat juga dapat merupakan bagian dari upaya pencapaian agenda global
tersebut.
Berbeda dengan konsep pengembangan kota lainnya, kolaborasi pemangku kepentingan
menjadi suatu keniscayaan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauan dan evaluasi
Kota Sehat. Aspek kesehatan yang menjadi fokus utama Kota Sehat merupakan bagian dari
keseharian masyarakat sehingga keterlibatan masyarakat menjadi kunci utama keberhasilan Kota
Sehat.
Selain itu, berdasar pembelajaran uji coba Kota Sehat di mancanegara, selengkapnya faktor
yang memengaruhi keberhasilan mewujudkan Kota Sehat adalah:
a. Dukungan politik.
b. Kepemimpinan
c. Kerjasama lintas intitusi pemerintah
d. Kolaborasi pemangku kepentingan baik pemerintah maupun non pemerintah
e. Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan
f. Ketersediaan Rencana Kota Sehat yang disusun secara kolaboratif
42. 35
g. Pemberdayaan pemangku kepentingan
h. Pemanfaatan kearifan lokal
Konsep Kota Sehat telah cukup lama diterapkan di Indonesia tapi memang gaungnya
kurang terdengar. Salah satu penyebabnya adalah konsep ini tidak menjadi arus utama dalam
proses perencanaan pembangunan maupun proses perencanaan kota. Pengembangan Kota Sehat
di Indonesia masih terkesan sporadik.
4.2 Rekomendasi Strategis
Beberapa rekomendasi strategis dalam menerapkan konsep Kota Sehat di Indonesia,
sebagai berikut
a. Momentum pandemi Covid-19 sebenarnya dapat menjadi pintu masuk bagi upaya
pengarusutamaan kesehatan dalam pengelolaan kota melalui penerapan konsep Kota Sehat.
Untuk itu, upaya advokasi kepada pengambil keputusan baik di lembaga legislatif maupun
eksekutif dapat dilakukan secara berkala. Termasuk juga upaya sosialisasi di kalangan
profesional dan pegawai pemerintah.
b. Upaya pengarusutamaan konsep kota sehat dapat didukung melalui internalisasi konsep
Kota Sehat kedalam dokumen perencanaan pembangunan baik nasional (RPJPN-RPJMN)
maupun daerah (RPJPD-RPJMD). Saat ini merupakan waktu yang tepat dengan
mempertimbangkan adanya pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara serentak
tahun 2024, dan akan diikuti segera dengan penyusunan dokumen RPJPN/D dan
RPJMN/D. Selain itu, konsep Kota Sehat juga pada saat yang bersamaan dapat dimasukkan
dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkotaan yang sedang dalam pembahasan.
c. Selanjutnya internalisasi juga dapat dilakukan melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi/Kota/Kabupaten (RTRWP/K) dengan menambahkan item terkait kesehatan
masyarakat.
d. Keberadaan wadah pemangku kepentingan menjadi sangat bermanfaat untuk menjaga
momentum kolaborasi diantara pemangku kepentingan. Wadah ini walaupun sebaiknya
dipimpin oleh pemerintah namun tidak mengurangi pentingnya mempertahankan sifat
egaliter, fleksibel dan terbuka dari wadah kolaborasi ini. Pada program Kota Sehat
Indonesia, wadahnya diberi nama Forum Kota Sehat. Untuk menjaga konsistensi
kemanfaatan Forum Kota Sehat, sebaiknya disepakati peta jalan, berikut agenda
43. 36
strategisnya. Dengan demikian, keberadaan forum lebih bermanfaat dan bukan sekedar
pelengkap.
e. Uji coba terbatas pada beberapa provinsi maupun kabupaten/kota dapat dilakukan untuk
menghasilkan gambaran Kota Sehat yang sesuai konteks Indonesia. Uji coba ini juga
sekaligus dapat menghasilkan quick wins untuk menarik perhatian pengambil keputusan.
Sebagaimana motto ‘seeing is believing’ (lebih mudah dipercaya jika telah terlihat
hasilnya).
f. Dokumentasi hasil pelaksanaan Kota Sehat di Indonesia selama ini perlu dikumpulkan dan
ditelaah sebagai bahan pembelajaran pemangku kepentingan terkait.
g. Seyogyanya disiapkan peta jalan penerapan Kota Sehat di Indonesia oleh pihak terkait
secara kolaboratif, dalam hal ini dinisiasi oleh Forum Kota Sehat Indonesia.
44. 37
Daftar Rujukan
Aicher, J. (1998). Designing healthy cities: prescriptions, principles and practice. Malabar,
Florida, Krieger Publishing Company.
Australian National University (1994). Towards local sustainable development: a toolkit of
strategies. Canberra, National Local Government Environmental Resource Network
Belfast Healthy City Project (1996). Belfast city health plan strategy document. Belfast,
Calthorpe, P. (1995). A new metropolitan strategy. Diakses pada April 1999 melalui
http://www.transact.org/nov95/anew.htm
Center of Excellence for Sustainable Development (tanpa tahun). Introduction.
http://www.sustainable.doe.gov/landuse/luintro.htm diakses pada April 1999.
Chadwick, E. (1842). Report on the sanitary condition of the labouring population of Great
Britain. Edinburgh, Edinburgh University Press, 1842.
City of Vancouver (2021). A Healthy City for All. Vancouver’s Healthy City Strategy 2014-2045.
Phase 1.
Corburn, Jason (2009). Toward the Healthy City. People, Places and the Politics of Urban
Planning. Cambridge, Massachusetts, The MIT Press.
Crowhurst, Rennard, S.H. dan Lennard, H.L. (1987). Livable cities. Southampton, NY, Gondolier
Press.
De Leeuw, Evelyn dan Jean Simos ed. (2017). Healthy Cities. The Theory, Policy, and Practice of
Value-Based Urban Planning. New York, Springer.
Duhl, L. J. dan A. K. Sanchez (1999). Healthy Cities and The City Planning Process. A
Background Document on Links Between Health and Urban Planning, Copenhagen,
Denmark, WHO Regional Office for Europe.
Edwards, Peggy dan Agis D. Tsouros (2008). A Healthy City is an Active City: A Physical Activity
Planning Guide. Copenhagen, WHO Regional Office for Europe.
Glasgow, C. (tanpa tahun). Local action – global solution, a strategy for a sustainable city. Diakses
pada April 1999 melalui http://www.archinet.co.uk/andromeda/top.html
Hall, P. (1996). Cities of tomorrow. Malden, MA, and Oxford, Blackwell Publishers.
Kementerian Kesehatan (2010). Kemajuan Program Kota/Kabupaten Sehat. Jakarta.
Lindheim, R. dan Syme, L. (1983). Environments, people and health. Annual review of public
health, 4: 335–359.
Luke, J. (1998). Catalytic leadership: strategies for an interconnected world. San Francisco,
Jossey-Bass Publishers.
45. 38
McKeown, Thomas (1979). The Role of Medicine: Dream, Mirage or Nemesis?. Princeton, New
Jersey. Princeton University Press
McDonough and Partners. Firm principals. Diakses pada April 1999 melalui
http://www.mcdonough.com/principals.html
Minkler, M. (1994). Ten commitments for community health education. Health education
research, 9: 527–534.
Mulasari SA. (2019). Membangun Kota Sehat (Healthy City) Menuju Indonesia Sehat
Berkemajuan. Jurnal Pemberdayaan; 2(2):187-94. Diakses pada tanggal 1 April melalui
https://doi.org/10.12928/jp.v2i2.419
Mumford, L. (1961). The city in history. its origins, its transformations and its prospects. New
York, Harcourt, Brace and World Inc.
Ottawa Charter for Health Promotion (1986). Health promotion, 1(4): iii-v.
Palutturi, Sukri (2013). Healthy Cities Implementation in Indonesia: Challenges and Determinants
of Successful partnership development at local government level. Dissertation. Griffith
School of Environment. Science, Environment, Engineering and Technology. Griffith
University
Pearce, D. Sustainable development: the political and institutional challenge. In: Kirkby, J. et al.,
ed. Sustainable development: the Earthscan reader. London, Earthscan Publications, hal.
287–90.
Queensland University of Technology (1995). Municipal public health planning: a resource guide.
Queensland, Healthy Cities and Shires Project.
Sheffield (1993). Community development and health: the way forward in Sheffield. Sheffield,
Healthy Sheffield, 1993.
Sherrief, Nigel (2008). Review of Brighton and Hove Healthy City Programme (Phase IV).
Technical Report. Diakses melalui https://www.researchgate.net/publication/301215223
pada tanggal 30 Maret 2023.
Wanderman, A. dkk. (1997). Understanding coalitions and how they operate: an ‘open systems’
organizational framework dalam Minkler, M. ed. Community organizing and community building
for health. New Brunswick, Rutgers University Press, hal 261–277
Whitehead, M. dan Dahlgren, G. (1991). What can be done about inequalities in health? The
lancet, 338: 1059–1063.
World Health Organization (1994). Constitution of the World Health Organization. Geneva, WHO
basic documents. 40th ed.
World Health Organization (1995). Building A Healthy City: A Practitioners Guide. A Step-By-
Step Approach to Implementing Healthy City Projects in Low-Income Countries. GHeneva,
World Health Organization (1997). City Planning for Health and Sustainable Development.
European Sustainable Development and Health Series 2.