Penelitian social dan hokum tentang pentingnya Pendidikan kesehatan reproduksi terhadap siswa SMA. Di sini kami menyampaikan sebab akibat, dan dasar hukum yang membuat Pendidikan Kespro ini harus dilaksanakan di sekolah tingkat menengah.
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PENDIDIKAN SEKSUAL SISWA SMA
1. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
1
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PENDIDIKAN SEKSUAL DAN
KESEHATAN REPRODUKSI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
ATAS
Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Lembaga Kajian Hukum dan Sosial, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto 53125, Indonesia
Email: la.drina@yahoo.com – ebyjuliesonovia@gmail.com
PENDAHULUAN
Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi yang dulunya menjadi kebutuhan sekunder
dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini bergeser menjadi kebutuhan
primer.Seiring dengan masuk dan berkembangnya teknologi dan informasi di Indonesia,
dengan mudah segala macam informasi tersebut diakses oleh anak-anak hingga orang
dewasa.
Ragam informasi dan kemudahan mengakses informasi di satu sisi berdampak positif dan
membantu banyak pihak, terutama kalangan akademis dalam mengakses informasi
akademis.Namun harus diperhatikan pula, segala kemudahan ini jika tidak disikapi dengan
bijaksana dapat menghasilkan dampak negatif. Pelajar SMA yang merupakan remaja, dan
dalam masa perkembangannya memiliki ketertarikan yang lebih terhadap berbagai macam
informasi, dapat mengakses apa saja yang dapat memenuhi rasa keingintahuan mereka.
Sayangnya, banyak informasi yang mereka akses tidak sesuai dengan kebutuhan informasi
pada usia mereka, yang melahirkan semakin banyak keingintahuan baru dan pencarian tiada
henti atas informasi-informasi yang belum tentu mereka butuhkan, atau bahkan dapat
berdampak negatif bagi mereka, salah satunya informasi mengenai seksualitas.
Informasi demi informasi mengenai seksualitas yang tidak tepat dan dapat diakses secara
bebas untuk kemudian disebarluaskan lagi kepada teman-temannya, dapat berubah menjadi
suatu perilaku seksual didorong oleh rasa penasaran dan keingintahuan khas remaja.
Dengan bekal minim tentang pengetahuan seksual yang tepat, mereka mulai mengeksplor
segala infromasi yang mereka dapat dalam bentuk perilaku nyata, yang mana hal demikian
dapat berdampak buruk pada diri dan masa depan mereka apabila tidak disikapi secara
serius.
Bimbingan sejak dini dari orang tua sangat dibutuhkan dalam hal ini.Namun, beberapa orang
tua masih mentabukanberbicara mengenai seksualitas kepada anak-anak mereka. Beberapa
lagi, memiliki pengetahuan yang sama minimnya sehingga tidak dapat memberikan informasi
yang cukup kepada anak-anak mereka. Di sinilah peran sekolah sebagai institusi pendidikan
sangat diharapkan untuk dapat memberikan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan
reproduksi yang tepat bagi remaja.
Makalah ini akan membahas tentang remaja, perilaku seksual pada remaja, dampak-
dampak dari perilaku tersebut baik dari segi kesehatan, pendidikan dan nilai sosial pada
masyarakat untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan, bahwa pendidikan
seksualitas dan kesehatan reproduksi saat ini sudah menjadi sebuah urgensi yang
merupakan tanggung jawab bagi Negara melalui pemerintahannya untuk memperhatikan
dengan seksama mengenai urgensi tersebut.
2. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
2
PEMBAHASAN
Remaja dan Seksualitas Menurut Para Ahli
Remaja berasal dari kata latinadolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi
dewasa. Istilah ini mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental,
emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992)1.Pasa masa ini sebenarnya tidak mempunyai
tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa
atau tua.
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia.Masa ini
merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial (Notoatdmojo,
2007)2
.Perubahan biologis, psikologis dan sosial pada remaja memiliki tiga fase yang
berbeda-beda yaitu: 11-13 tahun sebagai masa remaja awal (Early adolescence), 14-16
tahun sebagai masa remaja pertengahan (Mild-late adolescence) dan 17-20 tahun sebagai
masa remaja dewasa (Youth Young adolescence) (Soetjiningsih, 2004)3
.
Secara psikologi, menurut psikolog G. Stanley Hall,“ adolescence is a time of storm and
stress “. Artinya, remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan jiwa”, yaitu
masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional pada
seseorang yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang
bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya (Seifert & Hoffnung, 1987)4
.
Dalam perkembangan seksualitas, pada masa ini remaja juga mengalami perubahan sikap
dan tingkah laku, seperti mulai memperhatikan penampilan diri, mulai tertarik dengan lawan
jenis, berusaha menarik perhatian dan muncul perasaan cinta, yang kemudian akan timbul
dorongan seksual (Imran, 2000)5
. Dengan adanya perkembangan seksual, keingintahuan
remaja tentang seks menjadi lebih besar dan dorongan seksualpun meningkat (Hurlock,
1999)6
.
Dorongan seksual timbul karena adanya perkembangan hormon dalam tubuh
remaja.Dorongan seksual ini semakin meningkat jika faktor dari luar ikut pula menunjang.
VCD atau bacaan-bacaan porno kini telah dijual bebas dan seorang akan dengan sangat
mudah mendapatkannya. Selain itu, maraknya warung-warung internet semakin
memudahkan untuk mengakses gambar-gambar porno.Hal-hal inilah yang semakin memicu
timbulnya ke dalam hubungan seksual (Dianawati, 2003)7
.
Salah satu tahap perkembangan remaja adalah mereka mempunyai rasa ingin tahu yang
tinggi terhadap hal-hal baru dan menarik perhatian mereka.Perasaan ingin tahu yang terus
dijejali dengan informasi menarik namun sesat membuat mereka tergoda untuk mencoba hal
yang berkaitan dengan seks, akhirnya mau tidak mau merangsang mereka untuk memulai
masa yang disebut pubertas dini (Gunarsa, 2007)8
.
Seksualitas masa remaja diawali terjalinnya interaksi antar lawan jenis, yaitu berkencan.
Dalam berkencan dengan lawan jenis, selain mengekspresikan perasaan melalui hadiah
seperti cokelat dan bunga, ajakan kencan di luar rumah dan saling berkirim surat atau pesan
singkat via telepon genggam, akan ada dorongan seksual karena rasa ketertarikan terhadap
lawan jenisnya. Dalam hal ini, ada remaja yang melakukan secara terbuka mengadakan
percobaan dalam kehidupan seksual, misalnya, dalam berpacaran mereka mengekspesikan
perasaannya dalam bentuk perilaku yang melibatkan kontak secara fisik dengan
pasangannya, seperti berpelukan, berciuman hingga melakukan hubungan seksual
(Saifuddin, 1999)9
.
3. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
3
Perilaku Seksual Remaja
Angka statistik tentang perilaku seks pra nikah anak remaja dari tahun ke tahun semakin
meningkat.Era tahun 1970, penelitian mengenai perilaku seks pra nikah menunjukan angka
7-9%.Dekade tahun 1980, angka tersebut meningkat menjadi 12-15%.Pada tahun 1990
meningkat menjadi 20%. Di era tahun 2000 ini, ditemukan 26,35% remaja telah melakukan
hubungan seks pra nikah(yogya.bkkbn.go.id)10
.Berdasarkan hasil survey terakhir BKKBN
tahun 2013 jumlah seks bebas di kalangan remaja usia 10-14 tahun mencapai 4,38 persen,
sedangkan pada usia 14-19 seks mencapai 41,8 persen (kompasiana.com)11
.
Lebih detail, hasil penelitian Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di Indonesia pada bulan
Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah
menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital
stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan
(okezone.com)12
. Hasil yang juga cukup memprihatinkan dari Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI12) menyatakan bahwa hampir 80 persen responden
pernah berpegangan tangan, 48,2 persen remaja laki-laki dan 29,4 persen remaja
perempuan pernah berciuman, serta 29,5 persen remaja laki-laki dan 6,2 persen remaja
perempuan pernah saling merangsang (m.jurnas.com)13
.
Angka perilaku seksual remaja di atas tidak lepas dari banyak faktor yang antara lain usia
(memasuki masa remaja), usia menstruasi pertama pada remaj putri, agama, pacar,
memulai kencan di usia yang terlalu dini, pengalaman berpacaran/berkencan sebelumnya,
orang tua yang tidak terbuka dan mentabukan pembicaraan mengenai seks atau terlalu
membebaskan, lingkungan pergaulan, meniru saudara kandung (umumnya kakak),
ketidakhadiaran ayah, ketidakhadiran orang tua, dan kemudahan mengakses berbagai
informasi baik melalui internet dan media massa (Hyde,1990)14
.
Perilaku negatif remaja terutama hubungannya dengan penyimpangan seksualitas, pada
dasarnya bukan murni tindakan diri mereka sendiri, melainkan ada faktor pendukung atau
yang mempengaruhi dari luar. Faktor-faktor yang menjadi sumber penyimpangan tersebut
antara lain kualitas perkembangan diri remaja itu sendiri seperti, perkembanggan emosional
yang tidak sehat, mengalami hambatan dalam pergaulan sehat, kurang mendalami norma
agama, ketidak mampuan menggunakan waktu luang, kualitas keluarga yang tidak
mendukung anak untuk berlaku baik, bahkan tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua
dan pergeseran norma keluarga dalam mengembangkan norma positif. Disamping itu
keluarga tidak memberikan arahan seks yang baik, kualitas lingkungan yang kurang sehat,
seperti lingkungan masyarakat yang mengalami kesenjangan komunikasi antar tetangga,
dan minimnya kualitas informasi yang masuk pada remaja sebagai akibat globalisasi (Ghifari,
2003)15
.
Dampak Dari Perilaku Seksual Remaja
Perilaku seksual remaja saat ini memilki dampak yang cukup serius.Baik dari segi kesehatan
remaja itu sendiri, pendidikan, dan tatanan sosial masyarakat.Minimnya pengetahuan remaja
tidak hanya terbatas pada pengetahuan seksual dan kesehatan reproduksi, namun juga
dampak dari perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab.
Dampak yang paling umum terjadi dari minimnya pengetahuan seksual dan kesehatan
reproduksi adalah Infeksi Menular Seksual (IMS).Menurut Lestari (pada Hapsari, 2011), Di
Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah syphilis dan
gonorrhea. Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota
4. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
4
Bandung, yakni dengan prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%, chlamydia 34,5%,
dan syphilis 25,2%; Di kota Surabaya prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8%
dan gonorrhea 19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8%, syphilis 25,2%
dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian syphilis terus meningkat setiap tahun.
Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan pada tahun
2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005
meningkat menjadi 22,1%. Yang mengejutkan, kebanyakan penderita penyakit menular
seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular
dari ibunya.16
Lebih lanjut, dampak kesehatan lain setelah infeksi menular seksual adalah HIV/AIDS. Data
Kemenkes tahun 2010 menunjukkan bahwa hampir separuh (47,8%) kasus AIDS
berdasarkan usia juga diduduki oleh kelompok usia muda (20-29 tahun)17
. Hal ini
menunjukkan bahwa perilaku seks beresiko terjadi pada usia remaja. Sedangkan HIV/AIDS
sendiri diketahui memiliki dampak kesehatan jangka panjang karena sifat dari virus HIV
sendiri melemahkan system kekebalan tubuh, dan semakin lama seseoran mengidap virus
HIV, maka semakin menurun system kekebalan tubuhnya sehingga orang tersebut akan
sangat gampang tertular berbagai macam penyakit (spiritia.or.id)18
. Dan hingga kini, penyakit
ini belum ditemukan obatnya.
Selain itu, seks pada remaja juga berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan.Data
yang diperoleh dari SDKI 2012 (Survey Demografi Kesehatan Indonesia) menunjukkan, 48
dari 1.000 kehamilan di perkotaan terjadi pada kelompok remaja usia 15-19 tahun. Angka ini
meningkat dibandingkan temuan SDKI 2007 yang hanya 35 dari 1.000 kehamilan.
Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja bukanlah konsekuensi yang mudah bagi
remaja yang bersangkutan.Dari segi kesehatan, kehamilan remaja berdampak serius pada
organ reproduksi mereka, dan beresiko baik bagi ibu maupun janin yang
dikandungnya.Kematian ibu hamil dan melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun, lebih
besar 3-4 kali dari kematian ibu yang hamil dan melahirkan pada usia 20-35 tahun. Selain
itu, hamil pada usia remaja dapat mengakibatkan resiko komplikasi pada ibu dan bayi,
diantaranya terjadi pendarahan pada trimester pertama dan ketiga, anemia, preeklamsia,
eklamsia, abortus, partus prematurus, kematian perinatal, berat bayi lahir rendah (BBLR)
dan tindakan operatif obstetri (Soetjiningsih, 2004)19
.
Dari sisi psikologis, kehamilan remaja yang tidak direncanakan merupakan beban psikis
yang tidak ringan bagi mereka.Kehamilan ini dapat mengakibatkan depresi, penyesalah
berkepanjangan, rasa marah dan agresi (Kusmiran, 2012)20
. Beberapa kehamilan dini berakhir
dengan cara aborsi. Dari 1.000.000 kasus aborsi, 60 % dilakukan oleh wanita yang tidak
menikah, termasuk para remaja.70-80% merupakan aborsi yang tidak aman, yang menjadi
salah satu faktor penyebab kematian ibu, maupun komplikasi penyakit yang diderita ibu
setelah melakukan aborsi (Hawari, 2006)21
.Dan sisanya diharuskan
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka dengan menikah dini.Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 41,9% usia perkawinan pertama berada pada
kelompok usia 15-19 tahun, 33,6% berada pada kelompok usia 20-24 tahun.
Data di atas menunjukkan, kehamilan remaja dapat menyebabkan terganggunya
perencanaan masa depan remaja. Selain itu kehamilan remaja juga akan mengakibatkan
lahirnya anak yang tidak diinginkan, yang akan berdampak pada kasih sayang ibu pada anak
tersebut. Masa depan anak ini dapat mengalami hambatan karena kurangnya kualitas asuh
dari ibunya yang masih remaja dan belum siap menjadi ibu. Selain hal-hal tersebut, terdapat
pula perlakuan yang kurang adil di masyarakat atau institusi formal terhadap remaja
perempuan. Sering kali dalam kasus kehamilan remaja di luar nikah, yang menjadi korban
adalah remaja perempuan di mana ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Sedangkan remaja
laki-laki masih diperbolehkan melanjutkan sekolah (Manuaba, 1999)22
.
5. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
5
Pendidikan Seksual dan Kesehatan Reproduksi Di Sekolah Saat Ini
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI (2010),
menegaskan bahwa kondisi kesehatan reproduksi di Indonesia dewasa ini masih belum
seperti yang diharapkan, bila dibandingkan dengan keadaan di negara-negara ASEAN
lainnya. Indonesia masih tertinggal jauh dalam aspek kesehatan reproduksi, termasuk
kesehatan reproduksi remaja. hal demikian disebabkan karena kurangnya kesadaran terkait
pentingnya kesehatan reproduksi yang sebetulnya berdampak pada banyak segi. Terhadap
berbagai dampak yang sudah di kemukakan sebelumnya, aspek kesehatan reproduksi
belum menjadi perhatian yang serius dari negara. Fenomena sosial dan kesejahteraan
seperti seks bebas yang berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan hingga infeksi
menular seksual dan angka putus sekolah dipandang sebagai hal yang demikian parsial dan
tidak berhubungan. Padahal sangat boleh jadi bahwa rangkaian dari fenomena sosial yang
ada tersebut berawal dari permasalaan tentang kurangnya pengetauan akan kesehatan
reproduksi.
Pendidikan seksualitas, meskipun tidak diberikan dalam mata pelajaran khusus, namun telah
diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran Pendidikan jasmani, kesehatan, dan olah
raga (Penjaskesor), Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan Agama (Utomo,
Donald, & Hull, 2012)23
. Berdasarkan penelitian Pakasi dan Kartikawati (2013) di delapan kota
di Indonesia, di dalam mata pelajaran, mayoritas responden pernah mendapatkan materi
kesehatan reproduksi didalam mata pelajaran jenjang SMA (69,1%). Lebih detail, materi
kesehatan reproduksi terutama diberikan di mata pelajaran Biologi/IPA (72,7%), BK (72,7%),
Agama (72,7%), dan Penjaskesor (68%). Yang mana di dalamnya mengandung materi yang
disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Materi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual Yang di Dapatkan Responden
Siswa SMA di Sekolah
No Pendapat Frekuensi Presentasi
1 Perubahan fisik dan non fisik saat
pubertas
827 90,1
2 Organ reproduksi 825 90
3 Proses kehamilan 648 70,5
4 Alat kontrasepsi 410 44,7
5 Dorongan seks dan pengendaliannya 519 56,5
6 Kehamilan tidak diinginkan 585 63,7
7 Aborsi tidak aman 482 52,5
8 Kekerasan dalam pacaran 283 30,8
9 Infeksi Menular Seksual 694 75,6
10 HIV & AIDS 806 87,8
11 Lainnya 69 7,5
Total Responden Siswa: 918 orang (sumber: Pakasi dan Kartikawati, 2013)
Selain materi di atas, dalam konteks pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi
pemerintah juga memiliki beberapa program dalam pendampingan dan pelayanan informasi
kesehatan reproduksi bagi remaja, antara lainPusat Informasi dan Konsultasi Remaja (PIK-
R) dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan KeluargaBerencana, Peer Konselor dari
Dinas Kesehatan, dan Duta Stop AIDS. sedangkan dari lembaga non pemerintah, ada
6. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
6
program dari Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) seperti DAKU (Dunia
Remajaku Seru), Dance for Life, dan Hebat. DAKU dan Dance for life diimplementasikan di
Jakarta dan Lampung.DAKU dan Dance for Life yang diadakan di Jakarta memberikan
pendidikan kesehatan reproduksi dalam bentuk ekstra kurikuler dan kegiatan mandiri di luar
ekskul di sekolah, sedangkanDAKU di Lampung memberikan pendidikan melalui mata
pelajaran muatan lokal di tingkat SMA/sederajat.Program Hebat yang diimplementasikan di
Bandung juga memberikan pendidikan melalui mata pelajaran muatan lokal, namun untuk
tingkat SMP. PKBI di enam kotatelah memiliki sekolah dampingan (SMA dan SMK) yang
secara rutin memberikan pendidikan dan advokasi kesehatan reproduksi dan seksual24
.
Namun dari program-program pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi di atas, jika
ditelisik lebih dalam, masih belum komprehensif, karena masih terpaku pada pendidikan
tentang fisik, dan lebih banyak berbicara tentang larangan-larangan untuk melakukan
hubungan seksual sebelum menikah, tanpa memperkuat pemahaman remaja tentang
psikologis mereka sendiri.
Padahal pendalaman tentang psikologis dan kebutuhan biologis remaja pada masa pubertas
juga sangat diperlukan, karena seperti yang sudah dibahas sebelumnya perubahan hormon
pada masa ini mengakibatkan banyak perubahan dalam diri remaja, tidak hanya secara fisik
namun juga psikologis.Dalam penelitiannya, Allen (2011) mengemukakan pendidikan
seksualitas banyak dikritik di beberapa negara karena gagal menyediakan pemahaman yang
komprehensif, tidak berdasarkan kebutuhan remaja, dan melupakan aspek ketimpangan
gender danketidakadilan sosial yang lebih luas25
.
Beberapa ahli dalam penelitiannya mengemukakan pendapat mengenai pendidikan seksual
yang ideal bagi remaja.Donovan (1998) menyatakan bahwa pendidikan seksualitas memiliki
tujuan utama untuk memberikan informasi kepada remaja untuk memberdayakan mereka
dalam membangun nilai dan keterampilan berelasi yang memampukan mereka membuat
keputusan yang bertanggung jawab untuk menjadi orang dewasa yang sehat secara
seksual26
.Ditambahkan dalam penelitian selanjutnya oleh Fine dan McClelland (2006),
bahwadalam pendidikan seksualitas perlu mendiskusikan hasrat seksual agar siswa dapat
membangun subyetivitasnya dan tanggung jawabnya sebagai makhluk seksual. Hal ini
berarti perlunya melihat remaja sebagai makhluk seksual daripada menegasikan seksualitas
mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas27
.Sedangkan IPPF (2010) menawarkan
konsep pendidikan seksualitas yang komprehensif berbasiskan hak yang ditujukan agar
remaja memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang mereka butuhkan
untuk menentukan dan menikmati seksualitas mereka baik secara fisik maupun psikis,
secara individual maupun dalam berelasi28
.
Legalitas Hak Kesehatan Reproduksi Remaja
Konstitusi Negara Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa
cita-cita serta tujuan nasional Negara Republik Indonesia salah satunya adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk
mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang
berkesinambungan dan merupakan suatu rangkaian pembangunan menyeluruh, terarah dan
terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan29
. Kemudian daripada itu
ditekankan lebih jauh di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang
menyatakan bahwa Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 194530
.
7. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
7
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 mengatur secara terpisah perihal kesehatan reproduksi
dan kesehatan remaja. Bab yang demikian ini belum menjadi muatan Undang-Undang
Kesehatan sebelumnya yakni Undang-Undang No 23 Taun 199231
. Kesehatan reproduksi
didalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tertuang pada Bagian Keenam tentang
Kesehatan Reproduksi dari Pasal 71 hingga Pasal 77. Pasal 71 ayat (1) menyatakan bahwa
Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,
fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Namun pasal berikutnya yakni
72 ayat (1) menyebutkan bahwa hak setiap orang untuk menjalani kehidupan reproduksi dan
kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dibatasi
hanya pada pasangan yang sah. Yang artinya adalah jaminan negara memberikan hak
kesehatan reproduksi sebatas pada pasangan yang sah atau dalam ikatan perkawinan.
Dapat dimengerti apabila melihat pertimbangan bahwa perkawinan menjadi titik legal untuk
melakukan hubungan seksual dan bereproduksi akan tetapi seperti menafikan kondisi
realitas sosial bahwa hubungan seksual hanya dilakukan oleh pasangan dalam ikatan
perkawinan. Hak setiap warga negara untuk hidup sehat tidak dapat direduksi oleh apapun.
Oleh karenanya kesehatan reproduksi sudah seharusnya menjadi hak setiap warga negara
tanpa kecuali apalagi sebetulnya lebih penting bagi pemerintah untuk mengkhawatirkan
masalah kesehatan reproduksi pada pasangan pranikah yang cenderung tidak bermain
aman dan minim pengetahuan. Intinya, bab kesehatan reproduksi pada Undang-Undang
Kesehatan dibatasi hanya pada pasangan yang sah.
Kemudian tentang kesehatan remaja pada Undang-Undang No 36 Tahun 2009 diatur
dalam dua pasal yakni Pasal 136 dan 137 yang mengarahkan bahwa upaya pemeliharaan
kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat
dan produktif, baik sosial maupun ekonomi. Pengaturan lebih lanjut teradap pasal ini
dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi32
. Peraturan pemerintah ini lebih detail membahas terkait kesehatan reproduksi
dan kesehatan remaja. Kesehatan reproduksi yang difokuskan pada titik kehamilan yakni
pra dan pasca kehamilan bagi pasangan sah. Sedangakan terkait bab kesehatan remaja
diatur tentang upaya mempersiapkan remaja sebagai generasi yang sehat secara sosial
serta ekonomi melalui beberapa metode yang salah satunya adalah edukasi melalui proses
pendidikan formal dan non-formal.
Pendidikan Reproduksi dalam Kurikulum Pendidikan Formal
Kurikulum pendidikan formal yang belum mengakomodir pendidikan kesehatan reproduksi
menjadi pertanyaan bagi keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan generasi yang
sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 36
Tahun 2009). Pendidikan kesehatan reproduksi melalui sektor pendidikan formal
sebenarnya merupakan amanat daripada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan melalui Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi. Pasal 12 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 mengamanatkan
pemberian materi kesehatan reproduksi melalui proses pendidikan formal di dalam kurikulum
sekolah. Sementara hingga saat ini materi terkait kesehatan reproduksi masih menjadi
perdebatan.
Beberapa pihak memandang bawa materi terkait kesehatan reproduksi merupakan isu yang
sensitif dan tabu. Memberikan materi tentang kesehatan reproduksi sama halnya memberi
petunjuk untuk melakukan sex bebas dikalangan remaja. Pola berpikir yang demikianlah
yang mengkonstruksikan remaja sebagai objek ketimbang memandang mereka sebagai
subjek yang mulai aktif secara seksual. Label tabu terkait kesehatan reproduksi tidak
menciptakan solusi apapun. Pilihannya adalah remaja mendapatkan sumber informasi
8. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
8
kesehatan reproduksi yang tepat melalui otoritas terpercaya atau sumber-sumber lain yang
malah akan semakin menjerumuskan remaja kedalam kegiatan seksual beresiko.
Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, terdapat 63 juta remaja di Indonesia.
Menurut Bappenas Kehamilan pada remaja terjadi karena terbatasnya akses informasi yang
benar, lemahnya pendidikan seks (di sekolah dan keluarga), dan layanan kesehatan
reproduksi (2010).
Pada lain sisi bagi sekolah-sekolah yang sudah menerapkan kesehatan reproduksi pada
kurikulumnya sebatas menyisipkan materi terkait pada matapelajaran tertentu seperti Biologi
dan Penjaskesor. Materi kesehatan reproduksi tidaklah berdiri sendiri dikarenakan kurikulum
yang ada di sekolah sudah ditetapkan secara limitatif oleh pemerinta pusat. Dengan
demikian bagi sekolah yang hendak memberikan materi tentang kesehatan reproduksi harus
menyisipkan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada. Kondisi tersebut berdampak pada
satu sisi materi yang diberikan kurang komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan di
sisi lain akan mengurangi porsi materi induk. Kapabilitas pengajar juga diragukan dapat
memberikan materi secara tepat. Pemberian materi kesehatan reproduksi juga semestinya
dilakukan oleh pengajar yang memahami materi kesehatan dan psikologi remaja. Dengan
demikian diharapkan dapat memberikan bimbingan yang tepat terkait kesehatan yang sesuai
dengan kebutuhan remaja. Kebutuan akan tenaga pengajar yang mumpuni dan alat peraga
pendidikan sebagai pendukung proses belajar mengajar dikelas tidak akan terpenuhi selama
materi pendidikan kesehatan reproduksi tidak berdiri sendiri. Pos anggaran bagi
pengadaaan alat peraga pendidikan dan peningkatan mutu pengajar tidak akan dialokasikan
hanya untuk materi yang sebatas sub dari mata pelajaran lain.
Berbagai kebijakan yang sudah pernah dijalankan dapat menjadi gambaran bagaimana
aspek kesehatan reproduksi yang berdampak luas dalam hal ini dikonstruksikan oleh
pengambil kebijakan. Beberapa riset menemukan bawa usaha pencegahan dan
penanggulangan yang dilakukan hanya sebatas upaya preventif dengan metode yang tidak
efektif. Remaja sebagai generasi yang rawan pada tahapan psikologi tidak dipandang
sebagai subjek melainkan sebagai objek kebijakan. Upaya edukasi yang diberikan pada
remaja melalui pendidikan formal maupun non-formal lebih menekankan pada aspek agama
dan moralitas yang sarat akan larangan. Upaya demikian dinilai tidak efektif karena
melarang tanpa memahami kondisi dan kebutuan remaja sama sekali tidak memberi solusi.
Remaja sebagai suatu tahap perkembangan individu harus dipandang sebagai subjek
psikologis dan sosial yang lebih membutukan arahan serta bimbingan untuk berlaith
bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Sementara pemberian edukasi yang bersifat
“melarang” hanya akan membuat remaja merasa tidak diberikan kepercayaan atas dirinya
sendiri. Lebih jauh perlu dipahami secara psikologi, masa remaja adalah saat dimana rasa
ingin tahu yang besar terlebih pada hal-hal yang dilarang.
Undang-Undang Perkawinan sebagai Penyebab Pernikaan Dini
Pernikaan dini sebagai akibat daripada kehamilan yang tidak diinginkan maupun sebagai
kultur suatu masyarakat sama-sama menyumbang jumlah keluarga prematur tidak sejatera.
Keluarga prematur adalah keluarga yang belum siap secara kematangan psikologi, sosial
maupun ekonomi. Keluarga prematur yang tidak sejatera akan melahirkan generasi kurang
gizi dan kualitas hidup rendah. Pernikaan dini sebagai suatu fenomena sosial bukanlah
tindakan ilegal karena regulasi terkait perkawinan sendiri membolehkan batas usia kawin
yang sangat rendah bagi warganegara. Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur tentang batas usia menikah bagi pria adalah 19 tahun dan wanita 16
tahun33
. Usia yang demikian muda secara psikologis belum dapat dikatakan matang untuk
membina suatu rumah tangga yang produktif serta sejahtera secara sosial maupun ekonomi.
Apabila kematangan psikologi dan sosial belum terpenui maka keluarga tersebut hanya akan
melahirkan generasi-generasi dengan kualitas hidup yang rendah. Sedangkan patut
dipahami bawa keluarga dalam perspektif ilmu sosial adalah basis utama dari suatu
9. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
9
masyarakat. Masyarakat yang didalamnya terdapat banyak keluarga-kelaurga tidak sejatera
maka akan menciptakan masyarakat yang tidak sejahtera.
Undang-Undang Perkawinan disamping menetapkan batas usia kawin yang sangat rendah
juga memberi peluang pengecualian. Yakni ketentuan batas usia tersebut dapat disimpangi
dan dimintakan Dispensasi Kawin apabila terdapat kondisi-kondisi seperti yang ditentukan
undang-undang. Oleh sebab itu perkawinan dengan usia yang sangat muda bahkan
dibawah 16 tahun sangat banyak terjadi semata-mata karena negara memberi peluang
untuk itu. Menjadi mungkin bahwa batas usia yang demikian rendah adalah merupakan
pertimbangan pada masa dibentuknya undang-undang tersebut. Akan tetapi pada masa kini
sudah jauh berbeda dan terdapat beberapa ketentuan lain yang dapat saling berbenturan.
Usia 16 tahun dalam perspektif Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan
Anak adalah usia yang digolongkan sebagai Anak34
. Bukan tidak mungkin apabila dikatakan
bawa negara melalui undang-undang perkawinan melegalisasi perkawinan yang dilakukan
oleh anak. Apabila kemudian pemerintah menyadari bahwa keluarga adalah basis utama
dalam unsur masyarakat yang sangat menentukan kondisi masyarakat maka pemerintah
sudah seharusnya membuat ataupun memperbaiki aturan-aturan yang ada. Segala
pertimbangan yang terdapat pada undang-undang perkawinan dirasa telah usang dan
selama 40 tahun ketinggalan zaman.
SIMPULAN
Terkait hak atas kesehatan reproduksi sebagai bagian daripada pembangunan kesehatan,
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin perlindungan kesehatan bagi tiap warga negara.
Kebijakan pemerintah dalam bentuk perundang-undangan yakni Undang-Undang No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksananya dalam Peraturan Pemerintah
No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pemerintah bertanggungjawab penuh
dalam hal kesehatan warganegaranya dan bertanggungjawab teradap akses dan layanan
kesehatan reproduksi dan kesehatan remaja.
Edukasi terntang kesehatan reproduksi bagi kalangan remaja sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 dilaksanakan melalui lembaga pendidikan formal
dan non-formal. Pendidikan formal yakni sekolah sebagai lingkungan yang paling dekat
dengan remaja seharusnya menjadi sarana efektif untuk memberi arahan serta pemahaman
yang tepat terkait masalahkesehatan reproduksi. Akan tetapi amanat undang-undang belum
sepenunya terlaksana. Pendidikan kesehatan reproduksi belum menjadi prioritas bagi
pemerintah meskipun sudah demikian buruk dampak yang diakibatkannya. Hal demikian
tercermin dari tidak seriusnya pemerintah dalam merespon kebutuan dan urgensi pendidikan
kesehatan reproduksi bagi remaja.
Pernikaan dini sebagai salah satu dampak dari kegiatan seksual beresiko di sisi lain dengan
mudah dilakukan sebab aturan terkait batas umur menikah masih sangat rendah. Dengan
kondisi demikian negara patut dipersalahkan terhadap banyaknya pernikahan dini beserta
akibat yang timbul daripadanya. Terlebih lagi dengan peluang dispensasi kawin yang ada
pada undang-undang perkawinan sama halnya dengan mengatakan negara melegalisasi
perkawinan bagi anak-anak.
10. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Hurlock, E.B. (1992). Developmental Psycology : A Life Span Approach, fifth edition.
McGraw Hill.
2. Notoatmodjo, Soekidjo (2007). Ilmu Perilaku dan Sikap. Jakarta: Rinera Cipta
3. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Jakarta:
Sagung Seto.
4. Seifert, K.L. &Hoffnung, R.J. 1987. Child and Adolescent Development. Houghton
Mifflin Co. Boston.
5. Imran, I. 2000. Modul 2 Perkembangan Seksualitas Remaja. Jakarta: PKBI, IPPF,
BKKBN, UNFPA.
6. E.B.Hurlock, (1990). Psikologi Perkembangan Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
7. Dianawati, A. (2003). Pendidikan Seks untuk Remaja. Jakarta: Kawan Pustaka.
8. Gunarsa, S. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
9. Saifuddin, A.F, & Hidayana, I.M. (1999). Seksualitas Remaja. Jakarta: Sinar Harapan.
10. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Menangani
Personalan Remaja. (internet), 2009 [diakses 22 Januari 2015]. Dapat diakses di:
http://yogya.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=158&ContentTypeId=0x0100
3DCABABC04B7084595DA364423DE7897
11. Kompasiana, Pacaran, Antara Realitas dan Ketabuan. (internet), 2014 [diakses 22
Januari 2015]. Dapat diakses di:
http://m.kompasiana.com/post/read/697256/1/pacaran-antara-realitas-sosial-dan-
ketabuan.html
12. Okezone News, TiapTahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat. (internet). 2010
[diakses 22 Januari 2015]. Dapat diakses di:
http://news.okezone.com/read/2010/12/04/338/400182/tiap-tahun-remaja-seks-pra-
nikah-meningkat
13. Jurnas.com, Hubungan Seksual Pranikah Remaja Meningkat. (internet), 2014 [diakses
22 Januari 2015]. Dapat diakses di: http://m.jurnas.com/news/137555/Hubungan-
Seksual-Pranikah-Remaja-Meningkat-2014/1/Sosial-Budaya/Kesehatan/
14. Hyde, Janet Shibley. 1990. Understanding Human Sexuality (4th
ed). New York:
McGraw-Hill.inc.
15. Ghifari, Al Abu. 2003. Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern. Bandung: Mujahid
Press.
16. Hapsari, Rama Windy,Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Remaja SMA Terhadap
Infeksi Menular Seksual. (internet) 2011, [diakses 24 Januari 2015]. Dapat diakses di:
https://superbidanhapsari.wordpress.com/2011/01/22/gambaran-pengetahuan-dan-
sikap-remaja-sma-terhadap-infeksi-menular-seksual/
17. Badan Penelitiandan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun
2010, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. (internet) 2010, [diakses 24
Januari 2015]. Tersedia di:
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/TabelRiskesdas2010.pdf.
18. YayasanSpiritia, Dasar AIDS. (internet), 2009 [diakses tanggal 24 Januari 2015].
Dapat diakses di: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1001
19. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta:
Sagung Seto.
20. Hawari, H.D. 2006. Aborsi Dimensi Psikoreligi. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.
21. Kusmiran, E, 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.
22. Manuaba., I.B.G., 1999. Memahami Kesehatan Reroduksi Wanita. Jakarta: Penerbit
Arcan.
11. Leyla Adrianti Hermina, Eby Julies Onovia
Tanggung jawab Negara Dalam Pendidikan Seks & Kespro Pada Siswa SMA
Seminar Nasional 2015
11
23. Utomo I, McDonald P, Hull T. Improving Reproductive Health Education in the
Indonesian National Curriculum. Gender and Reproductive Health Study Policy Brief
No. 2. Canberra: Australian National University; 2012
24. Pakasi, Diana Teresa, dan Kartikawati, Reni. Antara Kebutuhan danTabu: Pendidikan
Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja di SMA. Makara Seri Kesehatan,
2013, 17(2): 79-87.
25. Allen L. Young People and Sexuality Education:Rethinking Key Debates. New York:
Palgrave MacMillan, 2011
26. Donovan P. School-based sexuality education: the issues and challenges. Family
Planning Perspectives 1998; 30, 4: 188-193.
27. Fine M, McClelland SI. Sexuality education and desire: still missing after all these
years. Harvard Educational review 2006; 76, 3: 297-337.
28. IPPF Framework For Sexuality Education. London:IPPF, 2010
29. Undang-Undang Dasar 1945
30. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
31. Undang-Undang No 23 Taun 1992
32. Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014
33. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan