Sirah Nabawiyah: Masa kenabian dan kerasulan sampai hijrah
1. AWAL KENABIAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN
ILMU AL
MAKALAH
SIRAH NABAWIYAH
Tentang
SAMPAI MENJELANG HIJRAH KE MADINAH
Disusun oleh:
Dia Mawarni : 20141820
Samrah : 20141873
Fitra Azila Wati : 20141976
Dosen Pembimbing:
Drs. H. SUHEFRI, M.Ag
AGAMA ISLAM (PAI) JURUSAN
AL-QURAN (STAI-PIQ) SUMATERA BARAT
2014 M/ 1435 H
2. 1
PEMBAHASAN
AWAL KENABIAN SAMPAI MENJELANG HIJRAH KE MADINAH
A. KENABIAN DAN KERASULAN MUHAMMAD SAW.
Tatkala usia beliau sudah mendekati 40 tahun dan perenungannya
terdahulu telah memperluas jurang pemikiran antara diri beluai dan kaumnya,
beliau mulai suka mengasingkan diri. Karenanya, beliau membawa roti yang
terbuat dari gandum dan bekal air menuju gua Hira' yang terletak di Jabal Nur,
yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang sejuk,
panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran dzira' al-Hadid (hasta
ukuran besi). Beliau tinggal di dalam gua tersebut bulan Ramadhan, memberi
makan orang-orang miskin yang mengunjunginya, menghabiskan waktunya
dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan
kekuasaan yang menciptakan sedemikian sempurna di balik itu. Beliau tidak
bisa tenang melihat kondisi kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan
syirik yang usang dan gambaran tentangnya yang demikian rapuh, akan tetapi
beliau tidak memiliki jalan yang terang, manhaj yang jelas ataupun jalan yang
harus dituju, yang berkenan dengan hatinya dan disetujuinya.1
Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang diambil oleh beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir (skenario)
Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya kontak dengan kesibukan-kesibukan
duniawi, goncangan kehidupan dan ambisi-ambisi kecil manusia
yang mengusik kehidupan menjadi sebagai suatu perubahan, untuk kemudian
mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya
sehingga siap mengemban amanah yang agung, merubah wajah bumi dan
meluruskan garis sejarah. 'Uzlah yang sudah diatur oleh Allah ini terjadi tiga
tahun sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Beliau mengambil jalan 'uzlah
ini selama sebulan dengan semangat hidup yang penuh kebebasan dan
merenungi keghaiban yang tersembunyi dibalik kehidupan tersebut hingga
1 Shofiyurrahman al-Mubarakfuriy, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad
saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV, hal. 81
3. tiba waktunya untuk berinteraksi dengan kehidupannya saat Allah
memperkenankannya.2
Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh tahun, tanda-tanda
nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya
sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Yahya bin
Bakir dari Ibrahim bin Tuhman dari Samak bin Harb dari Jabir bin Samrah
berkata, Rasulullah saw. bersabda:
إِنِّى لَأَعْرَفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَـبْلَ أَنْ أَب ـعَثَ إِنِّى لَأَعْرَفُ الآنَ
“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekkah memberi salam
kepadaku sebelum aku diutus, sesungguhnya sekarang aku benar-benar
mengetahuinya.”
Beliau juga tidak bermimpi kecuali sangat jelas sejelas fajar subuh yang
menyingsing. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Yahya bin
Bakir dari al-Laits dari ‘Aqil dari Ibn Syihab dari ‘Urwah bin az-Zubair dari
‘Aisyah Ummul Mukminin berkata:
أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه و سلم من الوحي الرؤيا الصالحة فى النوم
فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصبح، ثم حبب إليه الخلاء و كان يخلو
بغار حراء فيتحنث فيه وهو التعبد الليالى ذوات العدد قبل أن ينزع إلى أهله و يتزود
لذلك، ثم يرجع إلى خديجة فيتزود لمثلها حتى جاءه الحق و هو فى غار حراء
“Pertama diturunkan wahyu kepada Rasulullah saw. adalah melalui mimpi
yang benar, beliau melihat dalam mimpi tersebut dengan sangat jelas seperti
fajar subuh. Kemudian beliau suka menyendiri di Gua Hira’ untuk
bertahannuts atau beribadah beberapa malam, setelah itu beliau kembali
kepada keluarga mengambil bekal untuk kembali beribadah. Kemudian beliau
kembali kepada Khadijah untuk mengambil bekal seperti biasa sehingga
datang kepada beliau kebenaran (wahyu) sedangkan beliau berada di Gua
Hira’.”3
Ketika pengasingan diri (uzlah) di gua Hira’ memasuki tahun ketiga
tepatnya di bulan Ramadhan Allah mengangkatnya sebagai nabi dengan
2 Ibid
3 Muhammad as-Shuyaniy, As-Shohih min Ahadits as-Sirah an-Nabawiyah, (Riyadh:
2
Madar al-Wathan lin Nasyr, 2011) hal. 28
4. mengutus Jibril kepadanya yang membawa beberapa ayat al-Qur’an, yaitu
surat al-‘Alaq ayat 1-5.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Itulah wahyu pertama. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian
dikenal sebagai “Malam penuh keagungan” (Lailah al-Qadr), dan menurut
riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan (610). Peristiwa ini terjadi
pada hari Senin, tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan
tanggal 10 Agustus tahun 610 M.
Imam Ibnu al-Qoyyim menjelaskan bahwa permulaan wahyu yang
diturunkan Allah swt. kepada Muhammad Ibn Abdillah tersebut adalah
perintah supaya dia membaca dengan nama Tuhannya yang telah menjadikan
segala sesuatunya. Ini adalah awal kenabiannya belum menjadi awal
kerasulannya. Dia baru diperintahkan untuk membaca saja, belum lagi
diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang lain.4
Setelah beberapa lama wahyu terhenti (vakum), ada yang mengatakan
tiga tahu ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang lebih kuat
adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi bahwa masa terhentinya wahyu
tersebut selama enam bulan.5 Kemudian, Allah memuliakan beliau dengan
mengangkat menjadi rasul dengan diturunkannya al-Qur’an surat al-
Muddatstsir ayat 1-5:
، ، ، ،
4 Fatmawati, Sejarah Peradaban Islam, (Batusangkar: STAIN Batusangkat Press,
3
2010)Jilid I, hal. 30
5 Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthiy, Sirah Nabawiyah, terjemahan: Aunur Rafiq
Shalih Tamhid, (Jakarta: Rabbany Press, 2009) Cet. XV, hal. 60
5. “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!
dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan
dosa tinggalkanlah”
4
B. PERJUANGAN DAKWAH
1. Dakwah Secara Rahasia (Sirriyah)
Permulaan dakwah Rasulullah disampaikan kepada kerabat dekat
dan para tokoh masyarakat Quraisy seperti Abu Bakar as-Siddiq sebagai
sahabat beliau yang paling tulus. Orang yang pertama kali masuk Islam
adalah Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-
Siddiq, Utsman bin ‘Affan, az-Zubair bin al-‘Awwam, Sa’ad bin Abi
Waqqas, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Kemudian
diikuti oleh para tokoh Quraisy seperti ‘Ubaidah bin al-Jarrah, al-Arqam
bin Abu al-Arqam,6 dan lain-lain. Perjuangan dakwah ini dilakukan secara
rahasia (Sirriyah) yang berpusat di rumah al-Arqam bin Abu al-Arqam.
Dakwah yang bersifat individu ini berjalan selama lebih kurang tiga tahun,
kemudian turunlah perintah kepada Nabi saw., untuk menyampaikan
dakwah kepada kaumnya secara terang-terangan, dan menentang kebatilan
mereka serta menyerang berhala-berhala mereka.
2. Perintah shalat
Termasuk wahyu yang pertama diturunkan adalah perintah
mendirikan shalat. Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur Ibnu
Lahi’ah secara maushul dari Zaid bin Haritsah bahwa pada awal datangnya
wahyu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam didatangi oleh malaikat
Jibril, lantas mengajarkan beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala selesai
melakukannya, beliau mengambil seciduk air, lalu memercikkannya ke
kemaluan beliau.7 Namun perintah shalat di sini bukanlah perintah shalat
lima waktu, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah
diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari.
6 Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op. Cit., hal 93
7 Ibid., hal. 94-95
6. 5
3. Dakwah secara terang-terangan
Periode Mekkah, kebijakan dakwah yang dilakukan Nabi
Muhammad adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya, bukan
kenabiannya. Implikasinya, dakwah dengan strategi politik yang
memunculkan aspek-aspek keteladanannya dalam menyelesaikan berbagai
persoalan sosial (egalitarisme) lebih tepat dibandingkan dengan aspek
kenabiannya dengan melaksanakan tabligh.8
Tatkala turun perintah dakwah dari Allah subhanahu wa ta’ala
secara terang-terangan dan melawan kemusyrikan, sebagaimana yang
terdapat dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 94-95:
فَاصْ دَعْ بِم ا ت ـ ؤمَ رُ و أَعْ رِضْ عَ نِ ا لْمُ شْ رِك يْنَ . إِ نَّا كَفَيْـنَكَ الْمُسْتَـهْزِءِيْنَ (الحجر:
(٩٥-٩٤
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.
Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang
yang memperolok-olok (kamu).” (Q.S. al-Hijr: 94-95)
dan tatkala turun ayat:
( وَ أَنْذِرْ عَشِيْـرَتَكَ الأَقْـرَبِيْنَ (الشعراء: ٢١٤
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (Q.S. asy-
Syu’ara’: 214)
Rasulullah naik ke atas bukit Shafa, lalu menyeru kepada kabilah-kabilah
Quraisy. Kemudian tak berapa lama mereka pun berkumpul. Lalu
Beliau berkata, “Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku
beritahukan bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang
ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka
menjawab, “Ya, kamu tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran.”
Beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada
kalian akan azab yang amat pedih.” Abu Lahab menanggapi, “Celakalah
8 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal.
13
7. engkau sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan
kami?”
Maka ketika itu turun ayat: تَـبَّتْ يَدَآ أَبِي لهَبٍَ وَ تَبَّ “Celakalah
kedua tangan Abu Lahab” (Q.S. Al-Lahab: 1). Yakni benar-benar merugi
lagi gagal, amal perbuatan dan usahanya pun tersesat.9
Rasulullah melakukan dakwah Islam secara terang-terangan di
tempat-tempat berkumpul dan bertemunya kaum musyrikin. Beliau
membacakan Kitabullah dan menyampaikan ajakan yang selalu
disampaikan oleh para rasul terdahulu kepada kaum mereka, “Wahai
kaumku! Sembalah Allah. Kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya”. Dan
beliau juga memamerkan praktik ibadahnya kepada Allah, melakukannya
di halaman Ka’bah pada siang hari dan disaksikan oleh khalayak ramai.
Dakwah yang beliau lakukan tersebut mendapat sambutan baik dari
mereka sehingga banyak di antara mereka yang masuk ke dalam agama
Islam.
Manakala musim haji telah datang yang dilakukan Rasulullah
adalah membututi jama’ah-jama’ah yang datang hingga sampai ke tempat-tempat
mereka, di pasar ‘Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz. Beliau
mengajak mereka untuk menyembah Allah, sedangkan Abu Lahab selalu
membututi dan memotong setiap ajakan beliau dengan berbalik
mengatakan kepada mereka “Jangan kalian patuhi dia karena dia adalah
seorang pembawa agama baru lagi pendusta”. Dan kenyataannya, justru
dari musim itulah perihal Rasulullah menjadi pusat perhatian delegasi
Arab dan namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.
Seiring banyaknya orang yang membenarkan ajakan Beliau, seiring
dengan itu kebencian para pembesar Quraisy yang enggan menerima
dakwah Rasul juga semakin membara. Sehingga begitu banyak celaan,
cobaan, dan siksaan yang diterima oleh Nabi dan orang Islam saat itu. Di
9 Abdullah bin Muhammad al-Sheikh, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, (Bogor:
6
Pustaka Imam Syafi’I, 2003), hal. 568
8. antaranya Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya pernah diseret oleh
orang-orang Quraisy ke al-Abthah untuk disiksa. Bahkan kedua orang
tuanya ditikam oleh Abu Jahal dengan lembing hingga menjadi syahid. Di
antara kaum muslimin yang sangat berat siksaannya adalah Bilal, dia
adalah seorang budak Habsyi yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai
buah pertama dari kaum Habsyi. Selain itu, yang juga menerima siksaan
yang berat ialah Khabbab bin al-Arut. Siksa yang menimpa kaum
muslimin ketika itu tidak hanya dirasakan oleh kaum laki-laki, juga kaum
perempuan. Alkisah Labinah, seorang budak perempuan kepunyaan Bani
Mu’min yaitu Hay Bani ‘Addi bin Ka’b) masuk Islam, kemudian Labinah
dibeli oleh Abu Bakar as-Shiddiq dan memerdekakannya. 10
Orang-orang Quraisy pernah beberapa kali menemui Abu Thalib
untuk menghentikan dakwah rasul. Karena Abu Thalib adalah orang yang
sangat disegani karena kedudukannya di kalangan Arab ketika itu. Lalu
Abu Thalib menemui Rasulullah dan menyampaikan apa yang diancamkan
orang-orang Quraisy terhadap dirinya kepada Rasulullah. Rasulullah saw.
menjawab:
Artinya: “Wahai pamanku! Demi Allah, andaikata mereka meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar
aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan
meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku
binasa karenanya.”
Rasulullah mengira pamannya Abu Thalib tidak lagi akan
membelanya. Dengan berlinang air mata beliau pergi meninggalkannya,
lalu pamannya memanggil beliau kembali dan berkata: “Pergilah wahai
keponakanku! Katakanlah apa yang kau suka, Demi Allah, sekali-kali aku
tidak akan pernah menyerahkanmu kepada siapapun.”
Rasulullah saw. terus berdakwah sedangkan kaum Quraisy telah
berputus asa terhadapnya dan terhadap Abu Thalib. Kemarahan mereka
turun kepada orang yang masuk Islam dari anggota suku mereka, yang
10 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009)
7
Cet. III, hal. 137
9. tidak ada yang bisa melindungi mereka. Setiap suku mulai menangkapi
anggota mereka yang masuk Islam dan menahan mereka. Mereka disiksa
dengan pukulan (cambuk), tidak diberi makan, tidak diberi minum, dan
dijemur saat terik matahari.11
8
4. Kaum muslimin Hijrah ke Habsyi
Pada awal tahun 615 M12 kaum muslimin hijrah ke Habsyi.
Penganiayaan dan intimidasi orang-orang Quraisy merupakan ujian yang
hebat bagi Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Salah satu
langkah antisipatif penyelamatan, Nabi Muhammad telah memerintahkan
untuk berhijrah ke Habasyah13 (Habsyi) yang waktu itu dipimpin oleh
Najasyi, seorang yang beragama Nasrani.14 Rombongan ini terdiri dari 12
orang laki-laki dan empat orang wanita, dikepalai oleh Utsman bin
Affan.15
Pada tahun yang sama, tepatnya di bulan Syawwal rombongan ini
kembali ke Makkah, karena berita dusta tentang peristiwa Gharaniq,
bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Ternyata berita tersebut
berbanding terbalik, sehingga setelah di Mekkah kaum Quraisy semakin
menjadi-jadi melakukan penyiksaan terhadap kaum muslimin. Oleh karena
itu, Rasulullah kembali memerintahkan kaum muslimin untuk kembali ke
Habasyah (Habsyi). Rombongan yang kedua ini terdiri dari 83 laki-laki
dan 18 atau 19 perempuan.16
11 Abul Hasan ‘Ali al-Hasany an-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw.,
(Jokjakarta: Mardhiyah Press, 2007) Cet. III, hal. 129
12 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 36
13 Ketika itu Rasulullah menyaksikan para sahabatnya menderita karena siksaan orang-orang
musyrik Makkah, berkatalah beliau kepada mereka: “Kalian lebih baik hijrah ke tanah
Habsyi, karena di sana rajanya terkenal adil dan bijaksana, tidak seorang pun ada yang teraniaya.
Negeri Habsyi adalah negeri yang aman. Berangkatlah ke sana sampai Allah memberi jalan keluar
dari penderitaan yang menimpa kalian selama ini. (Hasan Ibrahim Hasan: hal 162)
14 Ajid Thohir, Op. Cit. hal. 14
15 Shafiyurrahman, Op. Cit. hal. 122
16 Op. Cit., hal. 125
10. Pada penghujung tahun keenam kenabian, lebih tepatnya pada
bulan Dzulhijjah Hamzah bin Abdul Muththalib masuk Islam. Keislaman
Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan harga diri seseorang
yang tidak sudi keluarganya dihina, namun kemudian Allah membuatnya
cinta terhadap Islam. Dia kemudian menjadi orang yang berpegang teguh
pada al-Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum Muslimin.
Tiga hari setelah keislaman Hamzah bin Abdul Muththtalib pada
tahun keenam kenabian, Umar bin al-khaththab juga masuk Islam. Nabi
saw. memang telah berdoa kepada Allah agar dia masuk Islam
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan
menshahihkannya dari Ibnu umar dan hadits yang dikeluarkan oleh at-
Thabrani dari Ibnu Mas’ud dan Anas r.a. bahwasannya Nabi saw.
bersabda:
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِ سْلاَمَ بِأَحَبِّ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ :بِعُمَرَ بْنِ الخَْطَّابِ أَوْ بِأَبِيْ جَهْلٍ بْنِ
هِشَامٍ
Artinya: “Ya Allah, muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua
orang yang lebih engkau cintai, Umar bin al-Khaththab atau
Jahal bin Hisyam.”
9
5. Pemboikotan menyeluruh
Perjanjian zhalim dan melampaui batas
Segala cara sudah ditempuh dan tidak membuahkan hasil,
kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi Bani
Hasyim dan Bani Muththalib bersikeras akan menjaga Nabi saw. dan
membelanya apapun resikonya. Oleh karena itu, mereka berkumpul
bermusyawarah di lembah Mahshib kediaman Bani Kinanah, mereka
bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak
berjual beli, tidak bergaul, dan tidak memasuki rumah-rumah mereka
maupun berbicara dengan mereka sampai mereka menyerahkan Rasulullah
saw. untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut di atas
sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “Bahwa
mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim
11. dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali mereka
menyerahkannya (Rasulullah) untuk dibunuh.”17 Perjanjian ini merupakan
perjanjian yang zhalim dan melampaui batas.
Pemboikotan semakin menjadi-jadi, sehingga bahan makanan dan
persediaan pun habis, sementara orang-orang musyrik tidak membiarkan
bahan makan masuk ke Mekkah kecuali mereka borong semuanya.
Sehingga selama lebih kurang tiga tahun kaum muslimin menderita
kekurangan bahan pangan di celah bukit milik Abu Thalib.
Tindakan ini membuat kondisi Bani Hasyim dan Bani Muththalib
semakin tertekan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan
dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi
yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik celah bukit
10
tersebut.
Pembatalan perjanjian
Pada bulan Muharram tahun ke-10 kenabian terjadi pembatalan
terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan
karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, di antara
mereka ada yang pro dan ada pula yang kontra, maka pihak yang kontra
ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut. Mereka
adalah Hisyam bin Amr dari Suku Bani Amr bin Lu’ay, Zuheir bin Abi
Umayyah al-Makhzumiy, al-Muth’im bin Adi, Abul Bukhturi bin Hisyam,
dan Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad.
Mereka menuntut agar shahifah perjanjian itu dibatalkan dan
dirobek. Kala itu Abu Jahal tidak menerima tindakan mereka dan tidak
akan membatalkan perjanjian tersebut. Di samping itu, hakikatnya
shahifah perjanjian tersebut sudah dimakan rayap-rayap yang dikirim oleh
Allah sebagaimana yang diwahyukan kepada Rasulullah.
Abu Thalib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan
kepada mereka tentang apa yang diberitahukan oleh keponakannya. Dia
menyatakan, “Ini untuk membuktikan apakah dia berbohong sehingga
17 Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op. Cit., hal 152
12. kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya.
Demikian sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan
pemutusan rahim dan kezaliman terhadap kami.”18
Setelah terjadi perundingan antara Abu Thalib dan Abu Jahal, al-
Muth’im berdiri untuk merobek shahifah tersebut. Ternyata shahifah
tersebut telah dimakan rayap, kecuali tulisan yang ada nama Allah.
11
6. Hijrah ke Tha’if
Pada bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian atau tepatnya pada
penghujung bulan Mei atau awal Juni tahun 619 M Rasulullah pergi
menuju kota Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Makkah.19
Dengan harapan semoga Allah memberikan petunjuk kepada penduduknya
untuk memeluk agama Islam. Pada kenyataannya penduduk Tha’if justru
menolak beliau dengan penolakan yang lebih buruk. Mereka menuntut
beberapa mukjizat tertentu darinya seperti mereka meminta agar beliau
dapat membelah bulan menjadi dua, lalu beliau memohonkan kepada
Allah agar memperlihatkan kepada mereka. Namun, mereka tetap pada
kekafirannya.
7. Tahun kesedihan
a. Abu Thalib Wafat
Abu Thalib wafat pada bulan Rajab tahun 10 kenabian, 6 bulan
setelah keluar dari syi’bnya. Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat,
Rasulullah saw. mengunjunginya, sementara di waktu yang sama di
sisinya sudah berada Abu Jahal. Beliau saw. bertutur kepada
pamannya, “Wahai pamandaku! Ucapkanlah Laa ilaaha illallah,
kalimat yang akan aku jadikan hujjah untuk membelamu kelak di
hadapan Allah.”
Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah memotong,
“Wahai Abu Thalib! Sudah bencikah engkau terhadap agam Abdul
Muththalib?”
18 Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op. Cit, hal. 156
19 Op. Cit., hal. 178
13. Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga kalimat
terakhir yang diucapkannya kepada mereka adalah “Aku masih tetap
dalam agam Abdul Muththalib.”
Nabi saw. berkata, “Sungguh aku akan memintakan ampunan
untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya”, tetapi kemudian
turunlah ayat:
Artinya: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah
kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
(at-Taubah:113)
Demikian pula turun ayat:
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi”
Dalam Shahih al-Bukhari dari al-Abbas bin Abdul Muththalib,
dia berkata kepada Nabi saw., “Apa balasan yang engkau berikan
kepada pamanmu atas jasanya kepadamu, sesungguhnya dahulu dialah
yang melindungimu dan berkorban untukmu?” beliau bersabda, “Dia
berada di neraka yang paling ringan, andaikata bukan karenaku
niscaya dia sudah berada di neraka yang paling bawah.”
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasannya dia mendengar Nabi
saw. bersabda: “Semoga saja syafa’atku bermanfaat baginya pada
Hari Kiamat, lalu dia ditempatkan di neraka paling ringan yang
(ketinggiannya) mencapai dua mata kaki (saja).”
12
14. 13
b. Wafatnya Khadijah r.a
Setelah dua bulan atau tiga bulan setelah wafatnya Abu Thalib,
Ummul Mukminin, Khadijah al-Kubra r.a. pun wafat. Tepatnya pada
bulan Ramadhan tahun ke 10 kenabian dalam usia 65 tahun sedangkan
Rasulullah saw. ketika itu berusia 50 tahun.
Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling besar
bagi Rasulullah saw. Selama seperempat abad hidup bersamanya, dia
senantiasa menghibur beliau di saat beliau cemas, memberikan
dorongan di saat-saat kritis, menyokong penyampaian risalah-nya,
mendampingi beliau dalam rintangan jihad yang amat pahit dan selalu
membela beliau baik dengan jiwa maupun dengan hartanya.
Dua peristiwa sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang
relatif berdekatan, sehingga perasaan sedih dan pilu menyayat-nyayat
hati Rasulullah saw. Kemudian cobaan terus datang secara beruntun
pula dari kaumnya. Sepeninggalan Abu Thalib mereka secara terang-terangan
menyiksa dan menyakiti beliau.
C. ISRA’ MI’RAJ
Isra’ yaitu Rasulullah diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsho yaitu Baitul Maqdis setelah menyebarkan Islam di Mekkah kepada
orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilahnya.20 Mi’raj yaitu perjalanan
Rasulullah dari Baitul Maqdis naik ke langit ke tujuh.
Malam itu Beliau dimi’rajkan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia.
Di sana beliau melihat Adam, bapak manusia. Kemudian beliau dimi’rajkan
ke langit kedua, di sana beliau melihat Nabi Yahya alaihissalam dan Isa
alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketiga, di sana beliau
melihat nabi Yusuf alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit
keempat, di sana beliau melihat Nabi Idris alaihissalam. Kemudian beliau
dimi’rajkan ke langit kelima, di sana beliau melihat Nabi Harun alaihissalam.
20 Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-
Araby, 1990) Cet. III, hal. 47
15. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit keenam, di sana beliau melihat Nabi
Musa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketujuh, di sana
beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim alaihissalam. Kemudian beliau naik ke
Sidratul Muntaha, lalu al-Bait al-Ma’mur dinaikkan untuknya. Kemudian
beliau dimi’rajkan lagi menuju Allah yang Maha Agung lagi Mahaperkasa.
Kemudian Dia mewahyukan kepada hamba-Nya mewajibkan 50 waktu shalat.
Kemudian Beliau kembali hingga melewati Nabi Musa alaihissalam. Musa
lalu bertanya kepada beliau, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Beliau
menjawab, ’50 waktu shalat’. Dia berkata, ‘Umatmu pasti tidak sanggup
melakukan itu, kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk
umatmu.’ Lalu Jibril membawa beliau kembali naik ke hadapan Allah. Lalu
Allah menguranginya menjadi 10 waktu shalat. Kemudian ketika melewati
Nabi Musa, dan beliau memberitahukan hal tersebut kepadanya. Dia berkata,
‘Kembalilah lagi kepada Rabbmu dan mintalah keringanan!’ Beliau terus
mondar-mandir antara Nabi Musa dan Allah hingga akhirnya Allah
menjadikannya 5 waktu shalat.21
14
D. BAI’AT AL-‘AQABAH
1. Bai’at al-‘Aqabah I
Pada musim haji sesudah perang Bu’ats, berangkatlah
serombongan orang-orang Khazraj menuju Makkah untuk berhaji.
Sesampainya di Makkah mereka ditemui Rasulullah di ‘Aqabah dan pada
saat itu pula mereka mendengar dakwah beliau lalu menerimanya. Ketika
tiba musim haji tahun berikutnya, datanglah ke Makkah dua belas orang
penduduk Yatsrib untuk menemui Rasulullah di ‘Aqabah. Kemudian pada
malam harinya mereka melakukan bai’at tanda setia kepada beliau yang
disebut dengan Bai’at an-Nisa’ atau Bai’at al-Aqabah al-Ula.22
21 Shafiyurrahman, Op. Cit., hal. 197-198
22 Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., hal. 175-176
16. 15
2. Bai’at al-‘Aqabah II
Pada tahun 622 M terjadi sumpah setia kedua (Bai’at al-‘Aqabah
al-Tsaniyah) yang berisikan pernyataan bahwa mereka tidak hanya
menerima Muhammad sebagai nabssi dan menjauhi perbuatan dosa, akan
tetapi juga sanggup berperang membela Tuhan dan rasul-Nya.23 Selain
itu, mereka mengharapkan Nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, karena
mereka sangat membutuhkan seseorang yang akan menjadi pemimpin
mereka dan menyelesaikan sengketa antara suku Aus dan suku Khazraj
yang telah terjadi bertahun-tahun.
PENUTUP
Muhammad saw. Diangkat menjadi nabi dengan diturunkan surat al-Alaq
ayat 1-5, sedangkan diangkat menjadi Rasul dengan diturunkan surat al-
Muddatstsir ayat 1-5. Permulaan dakwah Rasulullah melakukan secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian dilakukan secara terang-terangan dengan turunnya surat al-
Hijr ayat 94-95 dan surat as-Syu’ara’ ayat 214. Perjuangan dakwah selama
periode Mekkah selama lebih kurang 13 tahun.
Dakwah periode Mekkah menghadapi tantangan yang amat berat bagi
Rasulullah dan kaum muslimin. Sehingga beliau memerintahkan kaum muslimin
untuk hijrah ke daerah di luar Mekkah seperti Habsyi dan Tha’if. Namun, tidak
mengurangi penderitaan Rasulullah dan kaum muslimin, bahkan semakin
menjadi-jadi. Sehingga pada tahun ke 13 kenabian, Rasulullah memerintahkan
kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah (Yatsrib).
Pembaca yang budiman, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan serta kekhilafan. Penulis sangat
berharap kepada pembaca untuk memberikan kritikan dan masukan yang
mendukung makalah ini. Penulis juga menyarankan kepada pembaca untuk
kembali membaca dan mengoreksi ke buku-buku ulama tentang sirah Nabawiyah.
23 Maidir Harun dan Firdaus, Op. Cit., hal. 28
17. 16
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Buthiy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah, terjemahan: Aunur
Rafiq Shalih Tamhid, (Jakarta: Rabbany Press, 2009) Cet. XV
Al-Mubarakfuriy, Shofiyurrahman, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung
Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir,
(Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV
Al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8,
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003)
An-Nadwi, Abul Hasan ‘Ali al-Hasany, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw.,
(Jokjakarta: Mardhiyah Press, 2007) Cet. III
As-Shuyaniy, Muhammad, As-Shohih min Ahadits as-Sirah an-Nabawiyah,
(Riyadh: Madar al-Wathan lin Nasyr, 2011)
Fatmawati, Sejarah Peradaban Islam, (Batusangkar: STAIN Batusangkat Press,
2010)Jilid I
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
2009) Cet. III
Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab
al-Araby, 1990) Cet. III
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1999
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak
Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004)