3. KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.
Kemudian dari pada itu, saya sadar bahwa dalam menyusun makalah ini banyak yang membantu terhadap usaha saya, mengingat hal itu dengan segala hormat
saya sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. …..
2. Dosen pengampu …..
3. Teman – teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah.
Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut saya hanya dapat berdo' a
dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi amal soleh di mata Allah SWT. Aamiin.
Dan dalam penyusunan makalah ini saya sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu saya mengharapkan kritikan positif, sehingga
bias diperbaiki seperlunya.
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan berakhirnya masa remaja, maka berakhir pulalah kegoncangan kegoncangan jiwa yang menyertai pertumbuhan
remaja itu. Yang berarti bahwa orang yang telah melewati usia remaja, mempunyai ketentraman jiwa, ketetapan hati dan
kepercayaan yang tegas, baik dalam bentuk positif, maupun negatif.Kendatipun demikian, dalam kenyataan hidup sehari-hari,
masih banyak orang yang merasakan kegoncangan jiwa pada usia dewasa. Bahkan perubahan-perubahan kepercayaan dan
keyakinan kadang-kadang masih terjadi saja. Keadaan dan kejadian-kejadian itu, sangat menarik perhatian ahli agama, sehingga
mereka berusaha terus-menerus mengajak orang untuk beriman kepada Allah dan berusaha memberikan pengertian-pengertian
tentang agama.
Menurut H. Carl Witherington, diperiode adolesen ini pemilihan terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas.
Sekarang mereka mulai berfikir tentang tanggung jawab social moral, ekonomis, dan keagamaan. Pada masa adolesen anak-
anak berusaha untuk mencapai suatu cita-cita yang abstrak. Diusia dewasa biasanya seseorang sudah memliki sifat kepribadian
yang stabil.
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,”
menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata
lain, orang dewasa berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu
sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama
yang dianutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekadar ikut-ikutan.
5. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Psikologi agama pada orang dewasa ?
Bagaimana karakteristik sikap keberagamaan pada orang dewasa?
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberagamaan pada orang dewasa?
Bagaimana kematangan beragamake pada orang dewasa?
Bagaimana Perkembangan beragama pada orang dewasa?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui psikologi agama pada orang dewasa
Untuk mengetahui karakteristik sikap dan aktor-faktor yang mempengaruhinya
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberagamaan pada orang dewasa
Untuk mengetahui kematangan beragama pada orang dewasa.
Untuk mengetahui Perkembangan beragama pada orang dewasa
6. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah (MBS)
Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah.
Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang
berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan
memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai
penggunaan sumber daya yang berdasarkan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) pada hakekatnya adalah penyerasian sumberdaya yang
dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai
dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada.
Candoli mendefinisikan MBS, sebagai suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa
saja yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya.
7. Sesuai dengan deskripsi di atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan
pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri dalam
mengembangkan dan melakukan inovasi dalam berbagai program untuk meningkatkan
mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak terlepas dari kerangka
tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholder), serta sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan kepada masyakat.
Artinya manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumberdaya yang
dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk
memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
8. B. Latar Belakang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari kinerja pendididkan di suatu Negara berdasarkan system pendidikan yang ada
sebelumnya. Diantara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui pengenalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak Negara lain seperti Kanada, Amerika, Australia, Inggris,
Perancis, Selandia Baru, dan Indonesia.
Sebelum berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum,
profesionalisme guru, metode pengajaran, dan system evaluasi, dan kesemuanya itu kurang memberikan hasil yang memuaskan. Bersamaan dengan berbagai upaya itu,
pada tehun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapannya di bidang industry dan
organisasi komersial. Keberhasilan aplikasi manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan di dunia pendidikan. Sejak saat itulah masyarakat
mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi
sekolah. Oleh
karena itu, diperlukan reformasi system secara structural dan gaya manajemen sekolah.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-
sekolah efektif. Ada gerakan sekolah mandiri, yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari
kantor pendidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan disekolah seperti pengembangan kurikulum berbasis sekolah, bimbingan siswa berbasis sekolah,
dan sebagainya. Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian melahirkan model-model MBS.
Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-negara maju yang terlebih dahulu menerapkannya. Perbedaan yang mencolok
ialah lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Bayangkan saja di banyak Negara gerakan reformasi pendidikan model MBS ini sudah
terjadi pada tahun 1970-an dan disusul banyak Negara pada tahun 1980-an, namun di Indonesia baru dimulai 30 tahun kemudian. Hal ini tidak terlepas dari system
otoriter selama orde baru. Semua diatur dari pusat, yaitu di Jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah, anggaran pendidikan, pengangkatan guru, metode
pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan di sekolah.
Selama bertahun-tahun upaya perbaikan pendidikan selalu dilaksanakan dengan cara tambal sulam, karena belum ada upaya yang maksimal dari birokrat
pendidikan di atas sana. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) muncul karena beberapa alasan. Pertama, terjadinya
ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan yang mengesampingkan bawahan. Kedua, kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik
bahkan cenderung menurun di banyak Negara. Ketiga, adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk merestrukturisasi pengelolaan
pendidikan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mana selama ini masih dirasa masih kurang, diantaranya
dengan membuat program progaram antara lain “aku anak sekolah” dan dana bantuan operasional. Program tersebut diharapkan mampu menjunjung kualitas maupun
kuantitas pendidikan di Indonesia, akantetapi karena pengelolaannya masih terpusat
9. dan kaku, program tersebut tidak dapat memberikan dampak positif. Dugaannya adalah masalah manajemen yang
belum sesuai. Hingga munculah suatu pemikiran atau gagasan baru dalam pengelolaan pendidikan yang memberi
kebijakan kepada masing masing sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan dari pemerintah.
Pemikiran inilah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
BPPN dan Bank Dunia dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif
sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah,
partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional. Sedangkan Depdikbud dalam , mengemukakan
MBS adalah suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai
bagi para peserta didik. Mulyasa mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah adalah pradigma baru pendidikan,
yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan
nasional.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah
kebijakan pemerintah yang diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan mengoptimalkan pendidikan
di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing dan keikutsertaan masyarakat dalam
mewujudkan tujuan pendidikan.
10. C. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) ada tiga katakteristik yang harus dikedepankan dari yang lain
dari manajemen, diantaranya adalah:
Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yang berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yang
didesentralisasikan pada stakeholder sekolah.
Domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup
kurikulum,kepegawai, keuangan, sarana-prasarana dan penerimaan siswa baru.
Walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, namun diregulasikan
yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.
Adapun Saud menyatakan beberapa karakteristik dasar diantaranya yaitu, pemberian otonomi yang luas kepada sekolah,
partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, serta
adanya teamwork yang tinggi dan profesional. Pada tataran ini, apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat
sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
dimana sekolah itu berada.
11. D. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemeratan pendidikan. Peningkatan
efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan
sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang
dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.5
Menurut Kustini Hardi, ada tiga tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS)
yaitu:
1. Mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah dalam aspek
manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu sekolah.
2. Mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah dalam pelaksanaan
pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan setempat.
3. Mengembangkan peran serta masyarakat yang lebih aktif dalam masalah umum persekolahan dari sekolah
untuk membantu peningkatan mutu sekolah.
12. Kementerian Pendidikan Nasional mendeskripsikan bahwa tujuan pelaksanaan MBS adalah meningkatkan
mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia, meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam peyelenggaran pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama, meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat
dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, serta meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah tetang mutu
pendidikan yang akan dicapai.
Secara umum dapat diinterpretasikan bahwa dalam penyelenggaraan MBS setidaknya ada empat aspek
penting yang harus dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) dan relevansi, keadilan, efektivitas dan
efisiensi, serta akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) dan
relevasi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada hasil (output
dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu dan relevansi ini sebagai satu
kesatuan substansi, artinya sebagai hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan dengan berbagai kebutuhan
dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada manfaat dari apa yang
diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (dampak), termasuk jumlah
ranah pendidikan yang tidak diujikan.
13. E. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Kajian yang dirumuskan oleh BPPN dan Bank Dunia merumuskan beberapa faktor yang berkaitan dengan manajemen berbasis
sekolah (MBS) dintaranya adalah:
1. Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam
menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sisitem pendidikan profesional. Oleh karena itu pelaksanaannya harus disertai
seperangkat kebijakan, serta monitoring dan tuntutan pertangungjawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, untuk menjamin bahwa
sekolah selain memiliki otonomi juga mempunyai kebijakan melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarkat
sekolah. Dengan demikian, sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa
monopoli dan tanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan
terhadap peserta didik.
2. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas
nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu, dan
pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tersebut, sekolah tidak diperbolehkan untuk belajar sendiri dengan mengabaikan kebijakan
dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Agar prioritas-prioritas pemerintah dilakukan oleh sekolah dan semua aktivitas ditujukan untuk memberikan pelayanan
kepada peserta didik sehingga dapat belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman tentang pelaksanaan
MBS. Pedoman-pedoman tersebut, terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevalusi dengan
baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam rangka yang disetujui pemerintah, dan
anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
3. Peranan Orang Tua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih
produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang
tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyaraka dan hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pembuatan berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, serta mengawasi dan membantu sekolah
dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sekolah tersebut
mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah perlu
merumuskan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
14. 4. Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Manajemen berbasis sekolah (MBS) menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam
mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan gesekan pranata yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi
persayaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi harus memiliki kedua sifat tersebut yaitu profesional dan manjerial. Mereka
harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa keputusan penting yang dibuat
oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan
prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus:
a) Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah;
b) Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;
c) Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan
kejadian di masa depan berdasarkan situasi sekarang;
d) Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah;
e) Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan sebagai peluang, serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
Pemahaman terhadap sifat profesional dan manjerial tersebut sangat penting agar peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan serta supervisi dan
monitoring yang direnacanakan sekolah betul-betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.
5. Pengembangan Profesi
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) pemerintah harus manjamin bahwa semua unsur penting tentang kependidikan (sumber manusia) menerima
pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu
dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan untuk MBS. Selain itu, penting
untuk dicatat sebaik-baiknya sekolah dan masyarakat perlu dilibatkan dalam proses MBS sedini mungkin. Mereka tidak perlu hanya menunggu, tetapi melibatkan
diri dalam diskusi-diskusi tentang MBS dan berinisiatif untuk menyelenggarakan tentang aspek-aspek yang terkait.
15. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh
sekolah dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam
proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah.
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari kinerja pendididkan di suatu Negara
berdasarkan system pendidikan yang ada sebelumnya. Diantara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi
dilakukan melalui pengenalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak Negara lain seperti Kanada,
Amerika, Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru, dan Indonesia karakteristik MBS yaitu, pemberian otonomi
yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah
yang demokratis dan profesional, serta adanya teamwork yang tinggi dan profesional.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemeratan pendidikan.
Faktor yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) dintaranya adalah:
a. Kewajiban Sekolah
b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
c. Peranan Orang Tua dan Masyarakat