Rekonstruksionisme adalah aliran pendidikan yang ingin merombak sistem pendidikan lama dan membangun sistem baru yang sesuai dengan zaman. Aliran ini menekankan pentingnya kurikulum dan peserta didik yang aktif dalam proses pembelajaran. Tujuannya adalah mencetak sumber daya manusia yang memiliki keterampilan dan karakter yang baik.
2. A. Landasan Ontologis
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa
inggris Reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam filsafat
pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran
perennialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan terhadap
modernisasi.
Rekonstrkusionisme di pelopori oleh George Count dan Harold
Rugg pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru,
masyrakat yang pantas dan adil.tokoh- tokoh aliran
rekonstruksionisme yaitu Caroline pratt, George count, dan Harold
rug.
3. Pandangan Rekonstruksionisme dalam
Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme dianggap cocok untuk
dunia pendidikan yang lebih baik karena aliran ini bepikir
bagaimana kita mampu menciptakan Sumber Daya Manusia
yang sanggup berasaing di era modernisasi yang tidak hanya
cerdas dalam bidang pengetahuan tetapi memiliki
keterampilan dan sikap yang baik. Selain itu aliran ini
menekankan bahwa peserta didik sebagai sasaran utama
dalam pendidikan. Peserta didik dituntut untuk lebih aktif
dalam mengemukakan pendapatnya dan pemikirannya
dalam pemecahan suatu masalah
4. B. Landasan Epistimologis
Beberapa komponen pendidikan yang harus di benahi sesuai dengan aliran
Rekonstruksionisme seperti pada sektor :
Kurikulum
Kurikulum yang sesuai dengan aliran ini harus berorientasi pada kebutuhan-
kebutuhan masa depan. Kurikulum banyak berisi kedalam masalah-masalah sosial,
ekonomi, dan politik yang dihadapi manusia yang di dalamnya termasuk masalah-masalah
sosial, ekonomi, politik dan pemantapan dibidang ilmu pengetahuan alam. Struktur
organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses
penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah. Jadi peserta didik juga dilatih
untuk dapat memecahkan suatu masalah. Peserta didik tidak hanya abelajar terpaku pada
buku pelajaran tetapi juga belajar fenomena sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Pendidik
Disini pendidik harus mampu membantu siswa untuk meyadari masalah-
masalah yang ada disekitarnya dan mampu menstimulus mereke untuk tertarik
memecahkan masalah tersebut. Guru juga harus terampil dalam membantu peserta didik
untuk mampu menghadapi kontroversi dan perubahan-perubahan yang terjadi. Guru
berusaha membantu siswa dalam menentukan minat dan kebutuhannya. Sesuai dengan
minat masing-masing siswa baik individu maupun kelompok dalam pemecahan suatu
masalah.
5. Peserta didik
Untuk menimbulkan jiwa sosial pada peserta didik, kita harus
menanamkan pendidikan karakter dan moral sejak dini. Seperti sistem
pendidikan di Jepang,disana anak SD sejak dini sudah diajarkan hidup mandiri
dan saling melayani satu sama lain. Contohnya para murid disana setiap habis
makan siang selalu bergantian mencuci peralatan makan temannya. Hal ini ini
dimaksudkan agar mereka merasa tidak adanya kesenjangan sosial. Jadi
meskipun dari anak seorang keluarga terpandang pun harus tetap mau mencuci
peralatan makan temannya sehingga tidak adanya harus tinggi hati akibat status
sosialnya.
Sarana dan prasarana
Ini merupakan faktor yang tak kalah penting dalam penunjang
pembelajaran. Sarana dan prasarana harus memadai sehingga suasana belajar
lebih kondusif. Seperti : kealayakan gedung sekolah. kelengkapan buku-buku
pelajaran, papan tulis yang memadai, akses jalan yang bagus, kelengkapan meja
dan kursi belajar dan sebagainya.
6. C. Landasan Aksiologis
Melalui aliran ini pendidikan diharapkan mampu mencetak out
put yang tidak hanya menguasai bidang kognitif saja tetapi juga
mempunyai keterampilan psikomotorik yang baik serta
mengimplementasi dalam sikap yang baik. Karena pendidikan
juga bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang
penting untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan
nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan harus diintegrasikan
secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan
tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi
kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal
ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa
kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini
ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa
sesuai situasi dan kondisi.