DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
Penerapan HACCP pada pengalengan rajungan di PT. PAN PUTRA SAMUDARA Rembang, Jawa Tengah
1. PENERAPAN HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) PADA
PENGALENGAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PT. PAN
PUTRA SAMUDRA REMBANG, JAWA TENGAH
PRAKTEK KERJA LAPANG
PROGRAM STUDI S-1 BUDIDAYA PERAIRAN
Oleh:
USWATUN KHASANAH
PROBOLINGGO – JAWA TIMUR
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015
2.
3. PENERAPAN HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) PADA
PENGALENGAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PT. PAN
PUTRA SAMUDRA REMBANG, JAWA TENGAH
Praktek Kerja Lapang sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan pada Program Studi S-1 Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga
Oleh:
USWATUN KHASANAH
NIM. 141211131242
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan,
Universitas Airlangga
Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh.,DEA. HIDAYATUL UDCHIYAH
NIP. 19520517 197803 2 001
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si
NIP. 19600912 198603 2 001
4. PENERAPAN HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) PADA
PENGALENGAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PT. PAN
PUTRA SAMUDRA REMBANG, JAWA TENGAH
Oleh :
USWATUN KHASANAH
NIM. 141211131242
Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh, kami berpendapat bahwa
Praktek Kerja Lapang (PKL) ini, baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan.
Telah diujikan pada
Tanggal 18 Juni 2015
KOMISI PENGUJI
Ketua : Dr. Gunanti Mahasri., Ir., M.Si
Anggota : Abdul Manan, S.Pi., M.Si
Eka Saputra, S.Pi., M.Si
Surabaya, 18 Juni 2015
Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga
Dekan,
Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA.
NIP. 19520517 197803 2 001
5. RINGKASAN
USWATUN KHASANAH. Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) pada Pengalengan Rajungan (Portunus pelagicus) di PT. Pan
Putra Samudra Rembang, Jawa Tengah. Dosen Pembimbing Dr. Gunanti
Mahasri, Ir., M.Si.
Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan Indonesia.
Rajungan umumnya diekspor dalam bentuk segar, beku ataupun kaleng. Terdapat
banyak perusahaan ekportir hasil pengolahan rajungan di Indonesia yang harus
bersaing dengan perusahaan pengolahan rajungan yang ada di luar negeri untuk
mendapatkan konsumen. Salah satu upaya Indonesia untuk meningkatkan daya
saing adalah melakukan pengawasan mutu dengan menerapkan manajemen mutu
berdasarkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).
Praktek Kerja Lapang ini dilaksanakan pada tanggal 12 Januari-13
Februari 2015 di PT. Pan Putra Samudra Desa Sumurtawang, Kecamatan Kragan,
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Tujuan Praktek Kerja Lapang ini
yaitu untuk mengetahui persyaratan dasar penerapan HACCP dan penerapan
HACCP pada pengalengan rajungan. Metode kerja yang digunakan dalam Praktek
Kerja Lapang ini yaitu metode deskriptif dengan pengambilan data meliputi data
primer dan sekunder. Teknik pengambilan data meliputi observasi, wawancara
dan partisipasi aktif. PT. Pan Putra Samudra merupakan salah satu perusahaan
eksportir rajungan kaleng yang telah menerapkan HACCP.
Sistem HACCP akan berjalan efektif dengan Good Manufacturing
Practice (GMP) dan Sanitation Standard Operating Prosedure (SSOP). Pokok
pembahasan penerapan GMP meliputi semua tahapan proses pengalengan
rajungan yaitu penerimaan bahan baku, sortasi, pencampuran daging,
pengalengan, seaming, pasteurisasi, pendinginan, pengepakan, penyimpanan dan
distribusi. Sedangkan penerapan SSOP yang dibahas diantaranya keamanan air
dan es, kebersihan permukaan yang kontak langsung dengan pangan, pencegahan
kontaminasi silang, fasilitas cuci tangan, sanitasi dan toilet, pelabelan dan
penyimpanan bahan kimia, pengendalian hama, dan penanganan limbah.
Penerapan HACCP di PT. Pan Putra Samudra sudah dijalankan dengan
baik berdasarkan 12 langkah penerapan HACCP yang meliputi pembentukan tim
HACCP, deskripsi produk, identifikasi penggunaan, penyusunan diagram alir
proses, pemeriksaan bagan alir proses, analisis bahaya, penetapan critical control
point (CCP), penetapan batas kritis, penentuan prosedur monitoring, tindakan
koreksi, tindakan verifikasi, dan penetapan dokumentasi dan pencatatan. Selain itu
selalu dilakukan pengawasan pada setiap tahapan proses yang menjadi critical
control point (CCP) yaitu tahap penerimaan bahan baku, metal detecting,
seaming, pasteurisasi dan penyimpanan, sehingga dapat dikendalikan dengan
cukup baik.
6. SUMMARY
USWATUN KHASANAH. Application of HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) in Canned Swimming Crab (Portunus pelagicus) in PT. Pan
Putra Samudra Rembang, Central Java. Academic Advisor Dr. Gunanti
Mahasri, Ir., M.Si.
Swimming crab is one of Indonesia’s fishery export commodities. The
swimming crab is generally export infresh, frozen or canned. There are many
exporter of swimming crab processing companies in Indonesia which should be
compete with foreign swimming crab processing companies to get customers. One
of Indonesia's efforts to increase the competitiveness is applying quality control
and management based on Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
concepts.
The Field Practice Project was held on 12th January until 13th February
2015 at PT. Pan Putra Samudra, Sumurtawang Village, Kragan District,
Rembang, Central Java. The purpose of this Field Practice Project was to get
information about the basic requirements of HACCP application and HACCP
application in canned swimming crab. The method which used is descriptive
method by data collection including primary and secondary data. Data collection
techniques include observation, interview and active participation. PT. Pan Putra
Samudra is one of canned swimming crab exporter companies which have
implemented the HACCP.
HACCP system can be implemented effectively if this system applied
along with Good Manufacturing Practice (GMP) and Sanitation Standard
Operating Procedure (SSOP). The application of GMP include the whole process
of canned swimming crab meat such as receiving raw materials, sorting, mixing,
canning, seaming, pasteurization, cooling, packing, storage and distribution.
While the application of SSOP were discussed, such as water and ice safety,
cleanliness of surfaces in direct contact with food, prevention cross
contaminations, hand washing facilities, sanitation and toilets, labeling and
storage chemicals, pest controls and waste handling.
The application of HACCP in PT. PanPutra Samudra hasbeen applied
well based on 12-stepsof HACCP application include the HACCP team
formation, describe product, identify intended use, construct flowdiagram, on-site
verification of flow diagram, identify hazard, establish critical control points
(CCP), establishcritical limits, establish monitoring system, establish corrective
actions, establish verification procedures, establish documentation and record
keeping. In addition, always do monitoring of every step process which has
critical control points (CCP) is receipt of raw materials, metal detecting, seaming,
pasteurization and storage, so it can be controlled well enough.
7. KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan Pratek Kerja Lapang tentang
Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada Pengalengan
Rajungan (Portunus pelagicus) di PT. Pan Putra Samudra Rembang, Jawa Tengah
ini dapat terselesaikan. Laporan ini disusun berdasarkan hasil Praktek Kerja
Lapang yang telah dilaksanakan di PT. Pan Putra Samudra, Desa Sumurtawang,
Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 12
Januari 2015 - 13 Februari 2015.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan laporan selanjutnya. Akhirnya penulis berharap semoga laporan
Praktek Kerja Lapang ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua
pihak.
Surabaya, 18 Juni 2015
Penulis
8. UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA. Selaku Dekan Fakultas Perikanan
dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.
2. Ibu Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si selaku dosen pembimbing Praktek Kerja
Lapang yang dengan sabar dan perhatian untuk membimbing penulis.
3. Bapak Abdul Manan, S.Pi.,M.Si selaku dosen penguji.
4. Bapak Eka Saputra, S.Pi.,M.Si selaku dosen penguji.
5. Bapak Agustono, Ir., M.Kes selaku coordinator Praktek Kerja Lapang.
6. Kedua orang tua tercinta Bapak Mahmud dan Ibu Mutmainnah serta adik
tersayang NailinNi’mah yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan.
7. Bapak Daromi selaku Manager Produksi PT. Pan Putra Samudra Rembang,
Jawa Tengah.
8. Semua karyawan PT. Pan Putra Samudra Rembang, Jawa Tengah yang telah
membantu selama PKL terutama Bapak Asrofi, Bapak Harsono, Ibu Nur,
Bapak Mukhlis, Bapak Ahmadi, Bapak Bowo, Bapak Roni, Bapak Edi,
Bapak Agung, Bapak Sigit, Bapak Dariana, Bapak Syamsul, dll.
9. Widi, Ery, Erni, Aida, Nanik, Dovan, Sa’di, mbak Firda dan Fatim yang telah
memberikan motivasi, bantuan, semangat dan menghibur.
10. Teman-teman FPK 2012 khususnya minat studi TIHP.
11. Semua pihak yang telah membantu selama kegiatan PKL dan penyusunan
laporan PKL ini.
9. DAFTAR ISI
RINGKASAN ......................................................................................................v
SUMMARY..........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR..........................................................................................vii
UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................ix
DAFTAR TABEL.................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................xiii
I PENDAHULUAN ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Tujuan..........................................................................................................3
1.3 Manfaat........................................................................................................3
II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................4
2.1 Rajungan (Portunus pelagicus)...................................................................4
2.1.1 Klasifikasi............................................................................................4
2.1.2 Morfologi............................................................................................4
2.1.3 Habitat.................................................................................................5
2.2 Perkembangan Pengalengan Rajungan di Indonesia ...................................6
2.3 Persyaratan Dasar Penerapan HACCP........................................................6
2.3.1 Good Manufacturing Practice (GMP)...............................................6
2.3.2 Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)...........................7
2.4 Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)...................8
III PELAKSANAAN ..........................................................................................14
3.1 Tempat dan Waktu......................................................................................14
3.2 Metode Kerja...............................................................................................14
3.3 Metode Pengumpulan Data.........................................................................14
3.2.1 Data Primer.........................................................................................14
3.3.2 Data Sekunder.....................................................................................16
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................17
4.1 Keadaan Umum Perusahaan ........................................................................17
4.1.1 Sejarah Berdirinya Perusahaan ...........................................................17
4.1.2 Lokasi dan Kondisi Geografi Perusahaan...........................................18
4.1.3 Struktur Organisasi..............................................................................18
4.1.4 Visi dan Misi Perusahaan....................................................................19
4.1.5 Ketenagakerjaan..................................................................................19
4.2 Sarana dan Prasarana...................................................................................21
4.2.1 Sarana.................................................................................................21
A. Sarana Utama Produksi..................................................................21
B. Sarana Pendukung Produksi...........................................................24
C. Peralatan Penunjang Produksi........................................................25
10. 4.2.2 Prasarana.............................................................................................26
4.3 Tata Letak Perusahaan.................................................................................26
4.3.1 Lokasi Perusahaan..............................................................................26
4.3.2 Skema Ruang Produksi.......................................................................27
4.4 Proses Pengalengan Rajungan di PT. Pan Putra Samudra...........................28
4.5 Persyaratan Kelayakan Dasar dalam Penerapan HACCP di PT. Pan Putra
Samudra.......................................................................................................29
4.5.1 Good Manufacturing Practices (GMP)..............................................30
4.5.2 Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)...........................41
4.6 Penerapan HACCP pada Pengalengan Rajungan.........................................47
4.6.1 Pembentukan Tim HACCP................................................................48
4.6.2 Deskripsi Produk................................................................................49
4.6.3 Identifikasi Penggunaan......................................................................51
4.6.4 Penyusunan Diagram Alir Proses.......................................................52
4.6.5 Pemeriksaan Bagan Alir Proses .........................................................52
4.6.6 Analisis Bahaya ..................................................................................54
4.6.7 Penetapan Critical Control Point (CCP) ...........................................54
4.6.8 Penetapan Batas Kritis (Critical Limit)..............................................57
4.6.9 Penentuan Prosedur Monitoring..........................................................58
4.6.10 Tindakan Koreksi.............................................................................60
4.6.11 Tindakan Verifikasi...........................................................................61
4.6.12 Penetapan Dokumenasi dan Pencatatan............................................62
V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................63
5.1 Kesimpulan...................................................................................................63
5.2 Saran............................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................64
LAMPIRAN .........................................................................................................68
11. DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Penentuan Signifikansi Bahaya .......................................................... 10
4.1 Tim HACCP PT. Pan Pura Samudra .................................................. 48
4.2 Deskripsi Produk................................................................................ 50
4.3 Penetapan CCP dengan Pohon Keputusan.......................................... 54
4.4 Batas Kritis Tiap Critical Control Point (CCP) ................................ 58
12. DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Rajungan............................................................................................. 5
2.2. Diagram Pohon Keputusan CCP....................................................... 11
4.1. Daging Rajungan Jumbo.................................................................... 32
4.2. Daging Rajungan dalam Kaleng........................................................ 35
4.3. Daging Rajungan Claw Meat dalam Plastic cup.............................. 35
4.4. Diagram Alir Proses.......................................................................... 53
13. DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Peta Lokasi Praktek Kerja Lapang ..................................................... 68
2. Layout Proses PT. Pan Putra Samudra ............................................... 69
3. Struktur Organisasi PT. Pan Putra Samudra....................................... 70
4. Form Hasil Pengujian Mikrobiologi Bahan Baku.............................. 71
5. Form Hasil Pengujian Cloramphenicol Bahan Baku......................... 72
6. Form Hasil Metal Detecting .............................................................. 73
7. Form Hasil Pengecekan Double Seam............................................... 74
8. Form Hasil Pengecekan Suhu Tank Pasteurisasi dan Pendinginan..... 75
9. Form Hasil Pengecekan Suhu Ruang Pengepakan............................. 76
10. Form Hasil Pengecekan Suhu Cold Storage...................................... 77
11. Form Hasil Pengujian Sensori Produk Akhir..................................... 78
12. Form Hasil Pengujian Mikrobiologi Produk Akhir............................ 79
13. Form Hasil Pengujian Cloramphenicol Produk Akhir....................... 80
14. Analisis Bahaya Pengalengan Rajungan di PT. Pan Putra Samudra.. 81
15. Sertifikat Kelayakan Pengolahan........................................................ 85
16. Sertifikat HACCP .............................................................................. 86
17. Sertifikat Air dan Es Proses ............................................................... 87
14. I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era perdagangan bebas menyebabkan produk perikanan Indonesia
menghadapi berbagai tantangan untuk meningkatkan daya saing, baik dalam mutu
produk maupun efisiensi dalam produksi (Rahmawaty dkk., 2013). Ramadhani
(2006) menambahkan bahwa dalam menghadapi persaingan dan menjaga
kepercayaan konsumen pada suatu produk, perusahaan harus selalu menjaga mutu
produk yang dihasilkan karena hanya produk bermutu yang akan berhasil
mempertahankan posisi di pasar global. Oleh karena itu diperlukan suatu system
pengendalian mutu yang baik bagi manajemen perusahaan sebagai usaha untuk
menghasilkan produk yang lebih bermutu.
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu bahan baku yang
mempunyai asam amino sebanyak 15 asam amino yang terdiri dari sembilan asam
amino esensial dan enam asam amino non esensial. Jumlah total asam amino
esensial daging rajungan segar adalah 6940 mg/100 g, sedangkan asam amino non
esensial sebesar 6020 mg/100 g (Lingga, 2011). Rajungan (Portunus pelagicus)
merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan Indonesia (Agustina, dkk.,
2014). Ismiwarti (2005) menambahkan bahwa rajungan umumnya diekspor dalam
bentuk segar, beku ataupun kaleng. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan
Perikanan (2011) yang dikutip Rochima dan Hidayati (2012) ekspor rajungan
sejak Januari-Agustus 2011 mencapai US$ 208,4 juta.
Terdapat banyak perusahan eksportir di bidang pengolahan rajungan di
Indonesia diantaranya PT. Windika Utama, PT. Pan Putra Samudra, PT. Kelola
15. Mina Laut dan PT. Bumi Menara Internusa (Yusuf, 2007). Perusahaan eksportir
hasil pengolahan rajungan di Indonesia harus bersaing baik dengan perusahaan
yang ada di Indonesia maupun perusahan yang ada di luar negeri untuk
mendapatkan konsumen. Salah satu upaya Indonesia untuk meningkatkan daya
saing adalah melakukan pengawasan mutu dengan menerapkan manajemen mutu
berdasarkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang
disesuaikan dengan kondisi pengolahan di Indonesia (Nuryani, 2006).
Menurut Ramadhani (2013) HACCP merupakan sistem yang dirancang
untuk mencegah terjadinya masalah kualitas produk pangan baik yang disebabkan
oleh faktor biologis, kimia maupun fisik. HACCP mengutamakan kepada
tindakan pencegahan dan identifikasi bahaya namun tidak mengandalkan kepada
pengujian produk akhir (Koswara, 2009).
PT. Pan Putra Samudra merupakan salah satu perusahaan eksportir produk
rajungan dalam kaleng di Indonesia yang bersertifikat HACCP. Penerapan
HACCP di perusahaan belum didukung sepenuhnya oleh karyawan, dimana masih
ada sebagian karyawan yang belum disiplin dalam melaksanakan Good
Manufacturing Practice (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure
(SSOP) yang merupakan persyaratan dasar penerapan HACCP.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diperlukan Praktek Kerja
Lapang untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dan mempelajari lebih luas
mengenai penerapan HACCP di lapangan. Sistem HACCP mampu memberi
jaminan kepada konsumen bahwa produk dalam keadaan aman, sehingga mampu
meningkatkan daya saing produk di pasaran (Ramadhani, 2013).
16. 1.2 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah :
1. Mengetahui Persyaratan Dasar penerapan HACCP di PT. Pan Putra Samudra
Rembang, Jawa Tengah.
2. Mengetahui penerapan HACCP pada pengalengan rajungan (Portunus
pelagicus) di PT. Pan Putra Samudra Rembang, Jawa Tengah.
1.3 Manfaat
Praktek kerja lapang ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan menambah wawasan mengenai penerapan HACCP pada proses
pengalengan rajungan serta memadukan teori yang diperoleh dengan kenyataan
yang ada di lapangan, sehingga dapat memahami dan mengatasi permasalahan
yang timbul di lapangan.
17. II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rajungan (Portunus pelagicus)
2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi rajungan menurut Suwignyo dalam Mirzads (2009) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus
2.1.2 Morfologi
Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang
sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar kearah samping dengan permukaan
yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapas
terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang mata sebanyak 9, 6, 5, atau 4 dan
antara mata terdapat empat buah duri besar. Rajungan mempunyai lima pasang
kaki jalan, sepasang kaki jalan pertama berukuran lebih besar daripada kaki jalan
yang lain, disebut capit yang berfungsi untuk memegang dan memasukkan
makanan kedalam mulut. Sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi
alat renang. Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang
(swimming crab) (Suwignyo, 1989 dalam Mirzads, 2009).
Rajungan memiliki perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina.
Rajungan jantan mempunyai tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang
18. daripada betina (Suwignyo, 1989 dalam Mirzads, 2009). Menurut Juwana (2000)
perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna biru dengan
bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar hijau kotor dengan bercak
putih kotor. Perbedaan morfologi rajungan jantan dan betina dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Rajungan
(a) Jantan(b)Betina
(Sumber; Svane and G. Hooper, 2004)
2.1.3 Habitat
Juwana (2000) mengatakan bahwa Portunus pelagicus hidup di daerah
pantai berpasir lumpur dan di perairan depan hutan mangrove. Portunus pelagicus
membenamkan diri di dalam pasir. Nybakken (1986) dalam Jafar (2011)
menambahkan bahwa rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke
perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah
mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria.
19. 2.2 Perkembangan Pengalengan Rajungan di Indonesia
Pengolahan rajungan di Indonesia secara umum dapat dibagi dalam dua
tahap yaitu proses pemasakan dan pemisahan daging dari cangkangnya yang
dilakukan di mini plant serta proses pengalengan yang dilakukan di processing
plant (Gunawan, 2000). Pengolahan rajungan skala mini plant terdiri dari
beberapa tahapan yaitu penerimaan rajungan mentah dari nelayan atau pedagang,
pencucian, perebusan, hingga pengupasan (Nugroho, 2012).
Proses pengalengan rajungan di processing plant menurut Akhmadi (2006)
meliputi penerimaan daging rajungan (receiving), pra-penyortiran, penyortiran,
pengecekan akhir (final checking), pencampuran (mixing), pemasukan dalam
kaleng, penimbangan, penutupan kaleng, pasteurisasi, pendinginan, pengepakan
dan penyimpanan dingin.
2.3 Persyaratan Dasar Penerapan HACCP
Persyaratan dasar bagi penerapan HACCP meliputi Good Manufacturing
Practice (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) (Thaheer,
2005).
2.3.1 Good Manufacturing Practice (GMP)
Good Manufacturing Practice (GMP) adalah persyaratan dasar yang harus
dipenuhi oleh suatu perusahaan untuk menghasilkan pangan yang bermutu dan
aman secara konsisten. Persyaratan dalam GMP mencakup persyaratan untuk
pekerja, bangunan dan fasilitas, peralatan, dan pengendalian proses. Persyaratan
untuk pekerja bertujuan untuk menghindarkan kontaminasi oleh pekerja,
khususnya kontaminasi bahaya mikrobiologi yang bisa berasal dari pekerja sendiri
20. dan praktik yang salah serta bahaya fisik yakni perhiasan, barang personal yang
mungkin dibawa oleh pekerja. Oleh karenanya persyaratan ini menetapkan
program kebersihan, kesehatan pekerja, pelatihan dan pendidikan tentang sanitasi
pada pekerja (Dewanti dan Hariyadi, 2013).
Persyaratan untuk bangunan dan fasilitas mencakup tata letak untuk
meminimalkan kontaminasi silang atau kontaminasi ulang, rancangan pabrik
misalnya bangunan anti tikus, persyaratan dinding, lantai, atap, pintu, ventilasi,
pecahayaan, gudang, fasilitas untuk karyawan (loker, seragam, sepatu, penutup
rambut, kamar mandi, toilet), dan sebagainya, program pembersihan dan sanitasi
bangunan serta pemeliharaan lingkungan.
Persyaratan untuk peralatan juga mencakup tata letak peralatan yang
meminimalkan kontaminasi, rancangan peralatan yang mudah dijangkau
(accessible) dan mudah dibersihkan (cleanable) serta persyaratan tentang bahan
peralatan yang diizinkan, dan persyaratan pembersihan serta sanitasi yang
diantaranya terdiri dari jenis pembersih dan/atau sanitaiser yang dapat digunakan.
Persyaratan tentang pengendalian proses mencakup prosedur penanganan bahan
baku, pemeliharaan, pengolahan, penyimpanan, pengendalian hama, penanganan
limbah, dan sebagainya (Dewanti dan Hariyadi, 2013).
2.3.2 Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) merupakan dokumen
untuk tiap aspek yang berisi kebijakan tentang tiap aspek, prosedur atau tahapan
yang diperlukan, rujukan yang digunakan, tindakan koreksi yang harus dilakukan
jika ada penyimpangan serta penanggung jawabnya (Dewanti dan Hariyadi,
21. 2013). Food and Drud Administration (FDA) mengusulkan delapan aspek atau
kunci SSOP yang harus dibuat prosedurnya yaitu keamanan air, kebersihan
permukaan yang kontak pangan, fasilitas sanitasi, pencegahan kontaminasi silang,
pencegahan adulterasi, pelabelan senyawa toksik, kesehatan pekerja dan
pengendalian hama (Thaheer, 2005).
2.4 Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah pendekatan
pencegahan untuk mengendalikan semua bahaya (biologi, kimia, fisik) yang
mungkin ada selama pengolahan pangan (Dewanti dan Hariyadi, 2013). Codex
(1997) mengembangkan 12 (dua belas) langkah dalam rencana HACCP yang
terdiri dari lima langkah awal persiapan dan diikuti dengan tujuh langkah
berikutnya yang merupakan prinsip HACCP (Koswara, 2009). Langkah tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan Tim HACCP
Langkah pertama dalam penyusunan HACCP adalah membentuk tim yang
terdiri dari beberapa anggota dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman
kerja yang berbeda (multi disiplin) (Koswara, 2009). Thaheer (2005) mengatakan
bahwa tim HACCP adalah kelompok orang di dalam perusahaan yang bertugas
untuk merancang, menerapkan, dan mengendalikan sistem HACCP.
2. Deskripsikan Produk
Langkah kedua dalam penyusunan rencana HACCP adalah
mendeskripsikan produk (Koswara, 2009). Deskripsi produk adalah informasi
lengkap mengenai produk yang berisi tentang komposisi, sifat fisik atau kimia,
22. metode pengolahan yang diterapkan, pengemasan, kondisi penyimpanan, daya
tahan, cara distribusi, cara penyajian dan persiapan konsumsinya (Thaheer, 2005).
3. Identifikasi Rencana Penggunaan
Pada tahap ini, tim HACCP mengidentifikasi cara penggunaan produk
oleh konsumen, cara penyajian serta kelompok konsumen yang mengkonsumsi
produk (Koswara, 2009).
4. Penyusunan Bagan Alir
Penyusunan diagram alir merupakan langkah dasar dari tahap analisa
bahaya (Ramadhani, 2013). Diagram alir disusun dengan tujuan untuk
menggambarkan keseluruhan proses produksi (Koswara, 2009). Diagram alir yang
dibuat harus mencakup semua tahapan di dalam operasional produksi (Thaheer,
2005).
5. Verifikasi Bagan Alir dilapangan
Diagram alir proses yang harus diverifikasi ditempat, dapat dilakukan
dengan cara mengamati aliran proses, kegiatan pengambilan sampel, wawancara,
mengamati operasi rutin/non rutin (Koswara, 2009).
6. Analisa Bahaya
Analisa bahaya meliputi kegiatan mengidentifikasikan bahaya dan
penetapan kategori resiko (Thaheer, 2005). Identifikasi bahaya dilakukan dengan
mendaftar semua bahaya potensial yang mungkin terjadi pada setiap tahap proses.
Penentuan signifikansi bahaya dilakukan dengan mempetimbangkan peluang
untuk setiap bahaya yang telah diidentifikasi dan tingkat keseriusannya.
Penentuan signifikansi bahaya dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tahap selanjutnya
23. setelah menganilisis bahaya adalah mengidentifikasi tindakan pencegahan yang
mugkin dapat mengendalikan setiap bahaya (Koswara, 2009).
Tabel 2.1. Penentuan Signifikansi Bahaya
Peluang
Terjadi
Tingkat Keparahan
L M H
L LL ML HL
M LM MM HM*
H LH MH* HH*
Sumber; Koswara, 2009
Keterangan: L= low, M= medium, H= high
(*) Umumnya dianggap signifikan dan akan dipertimbangkan dalam penetapan
CCP
7. Penentuan Titik Kendali Kritis atau CCP
Titik kendali kritis atau CCP adalah suatu tahap dimana pengendalian
dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau
dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima sehingga resiko dapat
diminimalkan. CCP dapat ditentukan dengan menggunakan Diagram Pohon
Keputusan CCP (CCP Decision Tree) (Koswara, 2009).
24. Gambar 2.2. Diagram Pohon Keputusan CCP(Sumber; BSN, 1998)
8. Penentuan Batas Kritis disetiap CCP
Budhiati (2004) mengatakan bahwa batas kritis adalah suatu kondisi
tertentu yang digunakan untuk mengontrol atau mengendalikan hazard dalam
CCP tertentu. Setiap CCP yang teridentifikasi maka harus ditentukan batas kritis
(Koswara, 2009). Thaheer (2005) menambahkan bahwa batas kritis menunjukkan
perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman dan menjamin bahwa suatu
CCP mengendalikan semua bahaya secara efektif. Batas kritis ditetapkan
berdasarkan asal bahan baku, peraturan pemerintah, petunjuk teknis, peraturan
25. negara importir, survey literature, uji coba dan saran tenaga ahli, yang harus
diketahui dan ditetapkan sebelum penerapan HACCP (Budhiati, 2004).
9. Penetapan Monitoring disetiap CCP
Prosedur monitoring adalah tahapan pengamatan atau pengukuran batas
kritis secara terencana untuk menghasilkan rekaman yang tepat dan ditujukan
untuk meyakinkan bahwa batas kritis tersebut mampu mempertahankan keamanan
produk. Tim HACCP menentapkan rangkaian prosedur pemantauan untuk setiap
batas kritis yang ditetapkan yang mencakup apa, siapa, dimana, kapan dan
bagaiman pemantauan tersebut dilakukan (Koswara, 2009).
10. Penetapan Tindakan Koreksi disetiap penyimpangan Batas Kritis
Tindakan koreksi adalah semua tindakan yang diambil jika hasil
pemantauan pada CCP menunjukkan penyimpangan batas kritis (kehilangan
kendali), karena jika kendali hilang maka produk menjadi tidak memenuhi syarat.
Terdapat dua level tindakan koreksi yaitu tindakan segera (Immediete Action) dan
tindakan pencegahan (Preventive Action). Tindakan segera (Immediete Action)
adalah penyesuaian proses agar menjadi terkontrol kembali dan menangani
produk yang dicurigai terkena dampak penyimpangan, sedangkan tindakan
pencegahan (Preventive Action) adalah pertanggung jawaban untuk tindakan
koreksi dan pencatatan tindakan koreksi (Koswara, 2009).
11. Penetapan Prosedur Verifikasi
Verifikasi adalah suatu evaluasi untuk menetapkan kesesuaian suatu
pelaksanan dengan rencana HACCP. Verifikasi memberi jaminan bahwa rencana
HACCP telah sesuai dengan kegiatan operasional sehari-hari dan akan
26. menghasilkan produk dengan mutu baik dan/atau aman untuk dikonsumsi
(Koswara, 2009). Budhiati (2004) mengatakan bahwa verifikasi dibedakan
menjadi dua yaitu verifikasi internal dan eksternal. Verifikasi internal adalah
evaluasi yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan sendiri, sedangkan
verifikasi eksternal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah yang
dilakukan secara wajib dan rutin.
12. Penetapan Proses Pencatatan dan Dokumentasi
Dokumen dan pencatatan adalah bukti tertulis bahwa suatu tindakan telah
dilakukan. Dokumen tersebut dapat digunakan untuk keperluan inspeksi dan
untuk mempelajari kerusakan yang mengakibatkan penyimpangan dan
menemukan tindakan koreksi yang sesuai. Jenis dokumen yang harus ada dalam
penyusunan rencana HACCP adalah (a) rencana HACCP dan semua materi
pendukungnya (b) dokumen pemantauan (c) dokumen tindakan koreksi dan (d)
dokumen verifikasi. Selesainya penyusunan sistem dokumentasi maka
penyusunan rencana HACCP telah selesai (Koswara, 2009).
27. III PELAKSANAAN
3.1 Tempat dan Waktu
Praktek Kerja Lapang ini telah dilaksanakan di PT. Pan Putra Samudra
(Plant Pandangan), Jl. Raya Rembang-Tuban KM 32 Desa Sumurtawang,
Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan
Praktek Kerja Lapang dilaksanakan mulai tanggal 12 Januari-13 Februari 2015.
3.2 Metode Kerja
Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah metode
deskriptif, yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu
objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2011).
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang diambil dalam Praktek Kerja Lapang ini berupa data primer dan
data sekunder yang diperoleh melalui beberapa metode dan cara pengamatan.
3.3.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber informan pertama
yaitu individu atau perseorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh
peneliti. Data primer ini dapat berupa catatan hasil wawancara, hasil observasi ke
28. lapangan secara langsung dalam bentuk catatan tentang situasi atau kejadian serta
data mengenai informan (Nazir,2011).
A. Metode Observasi
Metode observasi adalah proses pencatatan pola perilaku subyek, obyek,
atau kejadian yang sistematis tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan
individu yang diteliti (Sangadji dan Sopiah, 2010). Observasi pada Praktek Kerja
Lapang ini dilakukan terhadap berbagai kegiatan yang berhubungan dengan
penerapan HACCP pada pengalengan rajungan (Portunus pelagicus) meliputi
proses sanitasi, penerimaan bahan baku, proses pengalengan rajungan,
pengemasan dan penyimpanan hasil pengalengan.
B. Wawancara
Sangadji dan Sopiah (2010) mengemukakan bahwa wawancara merupakan
teknik pengumpulan data dalam metode survey yang menggunakan pertanyaan
secara lisan kepada subyek penelitian. Wawancara dilakukan dengan cara Tanya
jawab dengan pegawai yang ada di lokasi mengenai sejarah berdirinya
perusahaan, struktur organisasi, tenaga kerja, proses produksi, pemasaran,
permasalahan serta hambatan yang dihadapi dalam penerapan HACCP pada
proses pengalengan rajungan (Portunus pelagicus) di PT. Pan Putra Samudra
Rembang, Jawa Tengah.
C. Partisipasi Aktif
Partisipasi aktif adalah keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan yang
dilakukan secara langsung di lapangan (Nazir, 2011). Kegiatan partisipasi aktif
dilakukan dengan mengikuti secara langsung beberapa kegiatan yang dilakukan
29. dalam penerapan HACCP pada pengalengan rajungan (Portunus pelagicus)
meliputi proses sanitasi, penerimaan bahan baku, proses pengalengan,
pengemasan dan penyimpanan hasil pengalengan.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain tidak langsung
diperoleh dari peneliti dari subjek penelitiannya (Nazir, 2011). Data sekunder
yang diperoleh dari Praktek Kerja Lapang antara lain sejarah perusahaan, visi-
misi perusahaan, struktur organisasi dan ketenagakerjaan, tingkat pendidikan
karyawan, serta deskripsi produk di PT. Pan Putra Samudra Rembang, Jawa
Tengah.
30. IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Perusahaan
4.1.1 Sejarah Berdirinya Perusahaan
PT. Pan Putra Samudra pada awalnya bernama PT. Tonga Tiur Putra.
Nama PT. Pan Putra Samudra diresmikan pada bulan Mei 2014. Pertama didirikan
PT. Pan Putra Samudra bergerak di bidang usaha benur udang yang berlokasi di
Bandengan, Jepara-Jawa Tengah. Namun, usaha benur udang sulit berkembang
sehingga di awal tahun 1991 memperluas usahanya dengan memproduksi
chiriment yaitu teri nasi kering yang diekspor ke Jepang. PT. Pan Putra Samudra
membangun mini plant di wilayah Indonesia Barat dan Timur antara tahun 1991-
1994 dalam usaha menjalankan usaha baru tersebut. Sejak Januari 1991, PT. Pan
Putra Samudra memindahkan aktivitas produksinya ke daerah Pandangan,
Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang-Jawa Tengah. Canned Pasteurized
Crab Meat yang kemudian direncanakan diekspor ke Amerika melalui Bryd
International. PT. Pan Putra Samudra memulai ekspor Canned Crab Product pada
tanggal 20 Desember 1999 dengan melakukan seluruh produksi di Pandangan
Plant mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan produk
akhir.
PT. Pan Putra Samudra menerapkan metode baru yaitu memindahkan
proses pengolahan bahan baku ke mini plant pada Agustus 2002. Mini plant yang
dimiliki oleh PT. Pan Putra Samudra di Rembang, Lasem, Semarang, Tuban,
Surabaya, Madura dan Cirebon. Jumlah mini plant saat ini sekitar 30 dari daerah
Jawa maupun luar Jawa. Mini plant tersebut menjual daging rajungan rebus ke
31. plant sesuai dengan perjanjian harga. Pengolahan lebih lanjut dilakukan di plant
mulai dari penerimaan bahan baku, sortir, canning, seaming, pasteurisasi dan
distribusi.
4.1.2 Lokasi dan Kondisi Geografi Perusahaan
Perusahaan pengalengan rajungan di PT. Pan Putra Samudradibangun di
atas tanah seluas kurang lebih satu hektar. PT. Pan Putra Samudra mempunyai
beberapa bangunan yang meliputi ruang produksi dan ruang di luar unit produksi.
Peusahaan ini terletak di Jalan Raya Rembang-Tuban Km 32, Desa Sumurtawang,
Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Selatan : Jalan raya Pantura
Sebelah Timur : Perkampungan Sumurtawang
Sebelah Barat : Sungai
4.1.3 Struktur Organisasi
Perusahaan pengalengan rajungan PT. Pan putra Samudra dipimpin oleh
seorang general of director yang membawahi dua orang manager yaitu plant
manager dan field manager. Plant manager bertanggung jawab secara operasional
dalam menjalankan perusahaan dan membawahi machine and engineering
manager, production manager, quality assurance manager, kepala laboraturium,
finance, vehicles, accounting,ware house dan security. Sedangkan production
manager membawahi semua supervisor yang berhubungan dengan proses
32. produksi yaitu supervisor receiving, supervisor sorting, supervisor metal
detecting, supervisor canning, supervisor seaming, supervisor pasteurization,
supervisor cassing, supervisor sanitation, dan supervisor ice cruser. Field
manager membawahi semua area manager. Struktur organisasi PT. Pan Putra
Samudra dapat dilihat pada Lampiran 3.
4.1.4 Visi dan Misi Perusahaan
Visi dari PT. Pan Putra Samudra yaitu menjadi perusahaan seafood
terpadu dan terbaik di dunia Internasional yang menghasilkan produk yang aman
dan berkualitas. Sedangkan Misi dari PT. Pan Putra Samudra adalah memproduksi
produk seafood yang mengikuti standar aturan keamanan pangan (Food Safety
Regulatuion) baik Nasional maupun Internasional yang dilakukan oleh
sumberdaya manusia dan manajemen yang professional untuk memenuhi
kepuasan pelanggan.
4.1.5 Ketenagakerjaan
Tenaga kerja di PT. Pan Putra Samudra terdiri dari beberapa divisi yaitu
administrasi perkantoran, keamanan, pergudangan, sanitasi, receiving, sorting,
canning, seaming, pasteurisasi, packing, stock, laboraturium dan transportasi
dengan jumlah 250 orang. Tenaga kerja banyak berasal dari penduduk sekitar
dengan rata-rata usia antara 19-45 tahun. Pendidikan pekerja sebagian besar
lulusan dari SMP namun juga terdapat pekerja dengan pendidikan SD, SMA, D3
dan S1. Karyawan di PT. Pan Putra Samudra terbagi menjadi tiga yaitu karyawan
33. tetap, karyawan harian lepas dan karyawan borongan. Untuk pembagiannya dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Tenaga kerja tetap adalah tenaga kerja yang secara teratur memeperoleh hak-
hak seperti upah dan cuti, meskipun tidak bekerja karena sesuatu hal yang
tidak melanggar ketentuan, kedudukannya cukup kuat dalam hukum dimana
pengusaha tidak dapat memutuskan hubungan kerja semaunya.
2) Tenaga kerja tidak tetap adalah tenaga kerja yang tidak memiliki hak dan
kewajiban secara teratur dan akan kehilangan hak-hak tertentu apabila mereka
tidak bekerja.
3) Tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang menjalankan suatu pekerjaan
tertentu atas perjanjian dan ketentuan yang jelas mengenai waktu dan harga
pekerjaan. Pada saat pekerjaan tersebut selesai, maka putuslah hubungan kerja
antara tenaga kerja dan pemberi kerja.
Hari kerja karyawan di PT. Pan Putra Samudra adalah Senin-Minggu. Jam
kerja dimulai dari pukul 08.00 WIB - 16.00 WIB (untuk karyawan receiving
dimulai pukul 07.30 WIB) sedangkan untuk bagian kantor hari kerja adalah
Senin-Sabtu dengan jam kerja sama yaitu pukul 08.00 WIB - 16.00 WIB. Waktu
istirahat selama satu jam yaitu pukul 12.00 WIB - 13.00 WIB. Jam kerja tidak
selalu sesuai dengan yang sudah ditentukan terkadang disesuaikan dengan jumlah
bahan baku yang diproduksi. Jika produksi banyak maka jam kerja bertambah
atau lembur. Apabila bahan baku sedikit maka jam kerja berkurang, sehingga
karyawan dapat pulang lebih awal. PT. Pan Putra Samudra memberikan uang
34. lembur dan uang konsumsi untuk karyawan yang lembur melebihi jam kerja yang
seharusnya.
4.2 Sarana dan Prasarana
4.2.1 Sarana
Sarana merupakan peralatan yang harus tersedia saat berlangsungnya suatu
kegiatan proses pengalengan rajungan. Sarana yang dimiliki PT. Pan Putra
Samudra antara lain:
A. Sarana utama produksi
Sarana utama produksi yang digunakan dalam pengalengan daging
rajungan di PT. Pan Putra Samudra sebagai berikut:
a. Cold storage
Cold storage sebanyak enam buah yang berfungsi sebagai tempat untuk
menyimpan bahan baku dan produk akhir yang terdiri dari cold storage 1
digunakan untuk menyimpan bahan baku, cold storage 2, 3, dan 4 untuk
penyimpanan sementara produk akhir yang siap untuk diekspor. Cold storage 5
untuk penyimpanan produk akhir yang diriject dan cold storage 6 untuk
penyimpanan produk yang belum dikemas dalam master carton.
b. Tempat penampung air (tandon)
Tempat penampung air (tandon) sebanyak dua unit yang berfungsi untuk
menampung air untuk keperluan produksi.
c. Tank
Tank terbuat dari stainless steel yang berukuran 420 x 70 x 70 cm. PT. Pan
Putra Samudra mempunyai enam buah tank yang terdiri dari tiga buah hot tank
35. yang digunakan untuk proses pemanasan pada saat pasteurisasi dan tiga buah cold
tank yang digunakan untuk mendinginkan produk yang telah dipasteurisasi.
Kapasitas masing-masing tank adalah 10 basket stainless steel atau sekitar 800-
1000 kaleng.
d. Mesin penutup kaleng (seamer)
Mesin penutup kaleng (seamer) dengan merk “Varin Food Machinery Co.,
LTD) sebanyak empat unit yang terdiri dari dua mesin untuk menutup kaleng yang
berukuran 401x301 mm dan dua mesin untuk menutup kemasan plastic cup.
Mesin seamer tersebut bekerja secara semi otomatis yang digerakkan oleh listrik
dengan bantuan petugas khusus dibagian penutup kaleng.
e. Mesin pengkodean
Mesin pengkodean yang digunakan di PT. Pan Putra Samudra adalah jenis
inkjet printing sebanyak satu unit dengan merk “Domino”. Bagian mesin yaitu
message set up, line set up, dan printer set up. Message set up berfungsi mengatur
penampilan dan posisi dari message pada permukaan produk. Line set up befungsi
memasukkan parameter dari production line (conveyor) ke printer untuk
menyamakan kerja printer dan conveyor. Printer set up berfungsi mengatur
internal clock (jam dan tanggal). Cara kerja mesin pengkodean adalah
berdasarkan prinsip fisika dari suatu cairan yang berada dalam tekanan,
ultrasonic, vibration, dan gaya elektromagnetik. Kode yang terdapat setelah
kaleng dilewatkan dalam mesin pengkodean tanggal produksi, nomor basket, kode
buyer, kode perusahaan dan jenis daging.
36. f. Shrink
Shrink adalah mesin untuk menyegel penuh kemasan plastic cup dengan
brand buyer. Shrink merupakan mesin rakitan dari pihak perusahaan.
g. Ice crusher
Ice crusher merupakan alat yang digunakan untuk menghancurkan es
balok menjadi es curah.PT. Pan Putra Samudra mempunyai satu unit ice crusher.
Ice crusher merupakan mesin rakitan yang terdiri dari dua bagian utama yaitu roll
penggiling dan motor penggerak.
h. Boiler
Boiler yang digunakan menggunakan bahan bakar solar dengan dynamo
sebagai penggerak. Boiler menghasilkan uap panas yang digunakan sebagai
sumber panas pada proses pasteurisasi. Boiler yang dimiliki PT. Pan Putra
Samudra sebanyak dua unit dengan merk “Maxitherm” dan “Omnical”, namun
yang digunakan pada proses pasteurisasi hanya satu boiler.
i. Timbangan
Timbangan yang digunakan merupakan timbangan digital sebanyak dua
jenis yang terdiri dari timbangan digital berkapasitas 300 kg di bagian penerimaan
bahan baku untuk menimbang daging rajungan yang diterima dari mini plant dan
timbangan digital berkapasitas 10 kg di bagian sortir dan canning.
37. B. Sarana pendukung produksi
a. Ruang kantor administrasi
Ruang kantor administrasi letaknya terpisah dari unit produksi dan
merupakan tempat aktivitas para karyawan, staf dan manager perusahaan untuk
administrasi kantor.
b. Gudang
Gudang yang ada merupakan gudang kering. PT. Pan Putra Samudra
mempunyai dua gudang yang terdiri dari gudang kaleng yang digunakan untuk
penyimpanan kaleng, tutup kaleng, karton dan gudang yang digunakan untuk
penyimpanan bahan kimia berupa sabun, chlorine dan pelumas.
c. Laboraturium
PT. Pan Putra Samudra menyediakan laboraturium dengan fasilitas
pengujian dan kualifikasi tenaga kerja atau analisis yang memadai untuk
mengadakan pengujian organoleptik, mikrobiologi dan chloramphenicol pada
bahan baku dan produk akhir.
d. Tenaga Listrik
Sumber utama listrik di PT. Pan Putra Samudra berasal dari PLN dengan
daya 350 kVA. PT. Pan Putra Samudra memiliki dua genset sebagai pengganti
sumber listrik jika listrik dari PLN mati dengan daya masing-masing yaitu 350
kVA dan 500 kVA, tetapi hanya satu genset yang digunakan ketika listrik dari
PLN mati. Kebutuhan listrik di PT. Pan Putra Samudra digunakan untuk
penggunaan mesinproduksi, lampu penerangan dan kebutuhan administrasi
lainnya.
38. e. Sumber Air dan Saluran Air
Sumber air merupakan bagian yang penting dalam proses pengalengan
rajungan karena kualitas dan jumlah air yang dibutuhkan untuk proses
mempengaruhi produk. Sumber air di PT. Pan Putra Samudra terdiri dari bak
penampung air bersih dan sumur atau air tanah. Air dalam bak penampung air
bersih diperoleh dari air yang dibeli dari daerah Lasem. Air tersebut digunakan
untuk air proses dan sanitasi, sedangkan air dalam sumur digunakan untuk air
toilet. Saluran air yang ada di PT. Pan Putra Samudra terdiri dari saluran air
menuju ruang proses produksi, tank pasteurisasi, dan toilet.
f. Saluran Pembuangan Air
Saluran pembuangan air merupakan salah satu sarana yang penting pada
proses pengalengan rajungan di PT. Pan Putra Samudra karena berfungsi untuk
membuang air sanitasi dan sisa air produksi. Saluran pembuangan air di PT. Pan
Putra Samudra dibagi menjadi dua bagian yaitu saluran pembuangan air dari
ruang receiving dan sanitasi menuju sungai yang berada di sebelah timur pabrik
dan saluran pembuangan air dari ruang proses menuju laut yang berada di
belakang pabrik.
C. Peralatan penunjang produksi
Proses produksi pengalengan rajungan membutuhkan beberapa peralatan
untuk menunjang kegiatan produksi. PT. Pan Putra Samudra mempunyai beberapa
peralatan yang digunakan dalam produksi pengalengan rajungan yaitu keranjang
yang terdiri dari keranjang plastik dan stainless steel, lori, meja stainless steel,
39. toples plastik, nampan plastik, ember, blong, pisau satinless steel, pinset,
kompresor, water spray, thermocouple, control panel, dan pallet plastik.
4.2.2 Prasarana
Prasarana merupakan fasilitas yang menunjang dan melengkapi sarana.
Prasarana yang dimiliki PT. Pan Putra Samudra meliputi:
a) Transportasi
Prasarana transportasi di PT. Pan Putra Samudra menggunakan mobil box
untuk mengangkut bahan baku, mobil untuk mengantar karyawan yang rumahnya
jauh dari perusahaan ketika pulang lembur, mobil untuk transportasi manager dan
motor untuk transportasi supervisor.
b) Komunikasi
Alat komunikasi yang digunakan di PT. Pan Putra Samudra yaitu dengan
menggunakan telepon untuk memperlancar kegiatan produksi dan pemasaran,
handphone yang digunakan oleh seluruh pegawai untuk memperlancar penjagaan
keamanan dan faximale yang ada pada kantor untuk kegiatan administrasi surat
menyurat.
4.3 Tata Letak Perusahaan
4.3.1 Lokasi Perusahaan
Nurdiansyah (2010) mengatakan bahwa lokasi suatu perusahaan
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi jalur keluar dan masuk
barang yang mendukung produksi serta kegiatan lainnya. PT. Pan Putra Samudra
mempunyai lokasi yang cukup strategis karena berada di jalur pantura sehingga
40. dapat mempermudah pengiriman bahan baku dan melakukan pendistribusian
produk. Mudah dalam menyerap tenaga kerja karena lokasi perusahaan yang
cukup dekat pemukiman penduduk. Selain itu fasilitas publik seperti komunikasi
dapat dijangkau dengan mudah. Terdapat fasilitas penyediaan listrik dari PLN dan
dekat dengan PDAM yang berasal dari daerah Lasem yang digunakan untuk
proses pengalengan rajungan. Lokasi perusahaan yang dekat dengan sungai
mempermudah pembuangan limbah cair yang telah ditreatment terlebih dahulu.
4.3.2 Skema Ruang Produksi
Skema ruang produksi pengalengan rajungan PT. Pan Putra Samudra
secara garis besar dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu:
1. Ruang penerimaan bahan baku
2. Ruang sanitasi
3. Ruang untuk proses sortasi, canning sampai dengan proses seaming
4. Ruang untuk proses coding
5. Ruang untuk proses pasteurisasi
6. Gudang penyimpanan es
7. Ruang untuk proses pengepakan dan penyimpanan produk
Skema ruang produksi pengalengan rajungan PT. Pan Putra Samudra dapat
dilihat pada Lampiran 2.
41. 4.4 Proses Pengalengan Rajungan di PT. Pan Putra Samudra
Proses pengalengan rajungan di PT. Pan Putra Samudra terdiri dari
beberapa tahapan proses. Produksi diawali dengan tahap penerimaan bahan baku.
Bahan baku yang diterima berupa daging rajungan rebus yang dikemas dalam
wadah toples, plastik maupun mika. Setiap satu wadah berisi jenis daging
rajungan yang sama. Tahapan penerimaan bahan baku dilakukan penimbangan
daging rajungan yang diterima dari supplier, pemisahan daging rajungan
berdasarkan jenis dan pengecekan oraganoleptik meliputi warna, tekstur, bau dan
rasa. Setelah dilakukan pengecekan organoleptik, bahan baku diproses ke tahap
sortasi.
Tahap sortasi daging rajungan dibedakan menjadi tiga bagian yaitu sortasi
daging jumbo, claw meat dan blacklight. Sortasi daging jumbo untuk sortasi jenis
daging jumbo, sortasi claw meat untuk sortasi jenis daging rajungan claw meat
sedangkan blackligth untuk sortasi jenis daging rajungan special dan flower.
Tujuan tahap sortasi adalah untuk mendapatkan daging rajungan dengan jenis,
ukuran dan mutu yang seragam.
Tahapan selanjutnya adalah proses pengalengan (canning). Ada berbagai
proses yang dilakukan pada tahap canning. Proses pertama yaitu bahan baku harus
melewati metal detector yang berfungsi untuk mendeteksi keberadaan
fragmentlogam di dalam daging. Jika daging dinyatakan tidak mengandung
fragment logam maka dilanjutkan ke tahap pencampuran (mixing). Pencampuran
daging dilakukan berdasarkan permintaan buyer. Daging rajungan yang telah
dicampur selanjutnya dimasukkan ke dalam kaleng atau plastic cup yang
42. sebelumnya telah dibersihkan dan diberi kode serta ditambahkan Sodium Acid
Pyrophosphate (SAPP). Proses terakhir pada tahap canning adalah penimbangan.
Tahapan setelah proses canning adalah proses seaming yaitu penutupan
kaleng atau plastic cup. Proses seaming dilakukan dengan menggunakan mesin
seamer semi otomatis. Kaleng atau plastic cup yang telah ditutup selanjutnya
dibawa ke ruang pasteurisasi untuk dipasteurisasi. Pasteurisasi dilakukan untuk
membunuh mikroorganisme patogen untuk memperpanjang masa simpan
rajungan kaleng atau plastic cup. Proses berikutnya setelah pasteurisasi adalah
proses pendinginan. Rahardjo (2010) mengatakan bahwa pasteurisasi tidak
mematikan semua mikroorganisme, tetapi hanya yang bersifat patogen dan tidak
membentuk spora. Oleh karena itu, proses pasteurisasi sering diikuti dengan
proses lain seperti pendinginan.
Produk yang telah melalui proses pasteurisasi dan pendinginan selanjutnya
dikemas ke dalam Master Carton (MC). Proses terakhir adalah penyimpanan
produk di dalam cold storage dengan suhu 0 °C - 3,3 °C. Hal ini sesuai dengan
SNI 6929.3:2010 bahwa penyimpanan daging rajungan kaleng pada penyimpanan
suhu dingindengan tetap menjaga suhu produk 0 °C - 5 °C.
4.5 Persyaratan Kelayakan Dasar dalam Penerapan HACCP di PT. Pan
Putra Samudra
Persyaratan dasar dalam penerapan HACCP meliputi Good Manufacturing
Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP).
43. 4.5.1 Good Manufacturing Practices (GMP)
Sarwono (2007) mengatakan bahwa GMP merupakan rencana produksi
yang baik. GMP dilakukan mulai dari penerimaan sampai dengan produk
didistribusikan kepada konsumen. Hal ini bertujuan untuk menjaga keamanan
konsumen jika membeli dan/atau mengkonsumsi pangan. Prosedur Good
Manufacturing Practices (GMP) atau bagaimana cara berproduksi yang baik yang
diterapkan di PT. Pan Putra Samudra adapun:
a. Penerimaan Bahan Baku (Receiving Raw Material)
Proses penerimaan bahan baku dilakukan penimbangan daging
menggunakan timbangan digital dengan kapasitas 300 kg untuk mengetahui
kesesuaian berat bahan baku dengan surat jalan yang diterima dari mini plant.
Surat jalan yang diterima dari mini plant berisi keterangan antara lain nama/asal
mini plant, tanggal produksi, tanggal pengiriman, jenis daging bahan baku dan
berat/jumlah tiap jenis daging. Bahan baku yang diterima ditangani secara hati-
hati, cepat, cermat, dan bersih. Proses penerimaan bahan baku juga dilakukan uji
organoleptik.
Perusahaan memiliki standar yang sudah sesuai dengan standar dari BSN
(2010b) dalam pengujian organoleptik. Persyaratan bahan baku daging rajungan
menurut BSN (2010b) yaitu secara organoleptik bahan baku harus mempunyai
karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut: kenampakan utuh,
bersih dancemerlang; bau segar, spesifik rajungan; tekstur padat dan kompak.
Persyaratan secara umum bahan baku tidakboleh berasal dari perairan yang
tercemar oleh pencemaran kimia, biologi dan fisika.
44. Selain pengujian organoleptik perusahaan juga melakukan uji
mikrobiologi dan uji kimia (kandungan chloramphenicol) yang dilakukan oleh
analis laboraturium perusahaan. Standar yang digunakan untuk uji mikrobiologi
bahan baku daging rajungan di PT. Pan Putra Samudra adalah Aerob Plate Count
(APC) maksimal 105 cfu/gr. Hasil pengujian mikrobiologi bahan baku dicatat
dalam form khusus dari perusahaan. Contoh form hasil pengujian mikrobiologi
bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan untuk uji kimiabahan
baku mengandung chloramphenicol maksimal 0,150 ppb, standar ini lebih kecil
dibandingkan standar dari Food and Drugs Administration (FDA) yaitu 0,200
ppb. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam pengujian. Hasil
pengujian kandungan chloramphenicol tersebut dicatat dalam form khusus dari
perusahaan. Contoh form hasil pengujian kandungan chloramphenicol dapat
dilihat pada Lampiran 5. Proses penerimaan bahan baku juga dilakukan
pengecekan suhu pusat daging rajungan dengan thermocouple, standar suhu pusat
daging yang ditetapkan perusahaan yaitu 0 oC - 3,3 oC.
b. Sortasi
Dilakukan pengecekan sensori oleh quality controlpada proses
sortasi.Penyortiran daging rajungan dilakukan dengan menggunakan pinset yang
terbuat dari bahan stainless stell. Setiap meja sortasi disediakan bak yang berisi
air dan larutan QT-50 2,2 % untuk mencuci tangan. Proses sortasi dilakukan
dengan cepat dan cermat untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Selama
proses sortasi karyawan tidak diperbolehkan bicara, makan atau minum.
45. Bahan baku diberi es baik sebelum, selama dan setelah proses sortir untuk
mempertahankan suhu daging yaitu maksimal 5 oC. Hal ini sesuai dengan
pengolahan daging rajungan pasteurisasi dalam kaleng menurut SNI 6929.3:2010
yaitu suhu daging rajungan pada tahap sortasi dipertahankan pada suhu 0oC - 5oC.
Pemberian es dilakukan dengan cara meletakkan es di bawah nampan sortir
dengan tujuan agar es tidak kontak langsung dengan produk dan membasahi
produk. Daging rajungan yang mengantri untuk disortasi disimpan dalam chill
storage dengan suhu 0 oC - 3,3 oC. Contoh daging rajungan sebelum dan setelah
disortasi dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Daging Rajungan Jumbo
(A) Sebelum disotasi (B) Setelah disortasi
c. Pencampuran (Mixing)
Daging rajungan yang akan diproses ke dalam tahapan mixing harus
melewati metal detector untuk mendeteksi keberadaan fragmen logam. Hasil
pengecekan keberadaan logam dicatat dalam form khusus dari perusahaan. Contoh
form hasil pendeteksian logam dapat dilihat pada Lampiran 6. Proses
pencampuran dilakukan di atas nampan dimana di bagian bawah wadah terdapat
es curah yang diletakkan di atas meja proses yang ditutupi plastik. Hal ini
bertujuan untuk menjaga suhu daging rajungan.
46. Daging dipisahkan menurut jenisnya kemudian dicampur dengan jenis
daging yang sama dari berbagai mini plant untuk menyamakan jenis, ukuran dan
menyeragamkan kondisi daging agar diperoleh mutu daging yang seragam. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Akhmadi (2006) bahwa proses mixing merupakan
pencampuran dari berbagai pemasok untuk mendapatkan kualitas daging yang
baik. Pencampuran daging disesuaikan dengan permintaan buyer dimana hasil
pencampuran tersebut dijadikan jenis daging dalam brand yang diminta oleh
buyer. Quality control mencatat jam mixing dan asal daging (mini plant).
d. Pengalengan (Canning)
Proses pengalengan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pengkodean kaleng
atau plastic cup, pengisian dalam kaleng atau plastic cup dan
penimbangan.Kaleng atau plastic cupyang akan diberi kode disortir dan
dibersihkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengkodean. Penyortiran kaleng
atau plastic cup dilakukan di dalam gudang kering oleh bagian pergudangan.
Penyortiran kaleng atau plastic cup dilakukan dengan memisahkan kaleng atau
plastic cup yang rusak atau penyok dengan kaleng atau plastic cup yang baik atau
sempurna. Kaleng atau plastic cup yang baik atau sempurna dimasukkan ke dalam
keranjang kemudian dibawa ke ruang pengkodean dengan menggunakan lori.
Kaleng dibersihkan dari kotoran atau benda asing dengan menggunakan
kompresor. Kemudian bagian bawah kaleng atau plastic cup diberi kode dengan
mesin inkjet printing. Kode pada kaleng atau plastic cup disesuaikan dengan jenis
brand buyer. Kode tersebut menyebutkan informasi tentang kode Negara, kode
plant, jenis daging, kode mixing, kode basket pasteurisasi dan kode tahun.
47. Pemeriksaan hasil pengkodean dilakukan oleh operator mesin, jika terjadi
kesalahan dalam pengkodean maka dilakukan penghapusan kode dengan
menggunakan cleaner.
Kaleng atau plastic cup yang telah diberi kode ditimbang terlebih dahulu
menggunakan timbangan digital berkapasitas 10 kg sebelum dilakukan pengisian.
Timbangan yang digunakan dikalibrasi setiap sebelum dan pada saat digunakan
yaitu setiap penimbangan 80 kaleng serta setelah digunakan. Pengisian daging
rajungan ke dalam kaleng atau plastic cup dilakukan secara manual. Pengisian
disesuaikan dengan jenis daging yang diminta oleh buyer. Pengisian dilakukan
dengan cepat agar daging rajungan tidak mengalami kemunduran mutu dan
dilakukan dengan cermat agar jenis dan ukuran daging yang dimasukkan sesuai
dengan ketentuan. Bagian bawah kaleng atau plastic cup diberi es curah yang
disusun rapi pada setiap meja pada saat proses pengisian daging rajungan untuk
tetap menjaga suhu produk.
Pengisian daging colossal dan jumbo dalam kaleng atau plastic cup
disusun rapi dari atas hingga bawah dengan jumlah yang tidak melebihi ketentuan.
Misalnya daging colossal maksimal 45 pcs/lb dan jumbo maksimal 110 pcs/lb.
Setiap kemasan kaleng atau plastic cup diberi Sodium Acid Pyrophosphate
(SAPP) bubuk dengan cara mengisi daging rajungan setengah bagian kemasan
kemudian ditambahkan SAPP sebanyak 1 - 1,4 gram dan diisi daging rajungan
lagi sampai penuh. Tujuan penambahan SAPP adalah untuk mempertahankan
warna daging rajungan dan mengurangi kehilangan cairan pada daging. Akhmadi
48. (2006) mengatakan bahwa fungsi SAPP adalah sebagai pencegah terbentuknya
warna biru (blueing).
Dilakukan penimbangan akhir setelah pengisian daging selesai agar tidak
terjadi kekurangan maupun kelebihan isi dalam kemasan kaleng atau plastic cup.
Apabila hasil timbangan lebih berat dari berat yang sudah ditentukan yaitu 454-
456 gram/lb maka dilakukan pengurangan daging dan apabila berat kurang maka
dilakukan penambahan daging. Contoh daging rajungan dalam kemasan kaleng
dan plastic cup dapat dilihat pada gambar 4.2 dan 4.3.
Gambar 4.2. Daging Rajungan dalam Kaleng
(A) Special (B) Cocktail (C) Jumbo
Gambar 4.3. Daging Rajungan Claw Meat dalam Plastic Cup
e. Penutupan kaleng atau plastic cup (Seaming)
Karyawan bagian seaming melakukan persiapan mesin dan pengujian hasil
double seam sebelum melakukan penutupan kaleng atau cup plasctic. Tahap
persiapan mesin yang dilakukan adalah pembersihan mesin dari sisa daging yang
menempel dan pemberian bahan pelumas pada bagian roll mesin dimana pelumas
yang dipakai bersifat food grade. Thaheer (2005) mengatakan bahwa pelumas,
49. pembersih dan bahan dasar peralatan secara keseluruhan harus memiliki
klasifikasi food grade. Jika diketahui terjadi kerusakan pada mesin seamer maka
dilakukan perbaikan. Pengujian double seam perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya penyimpangan selama proses seaming atau kebocoran pada produk
akibat seaming.
Pengujian hasil double seam dilakukan setiap dua jam atau setiap
penutupan 400 kaleng atau plastic cup. Pengujian tersebutmeliputi tinggi kaleng,
countersink (kedalaman tutup kaleng), flange length (bibir kaleng), seam
thickness (ketebalan seam), seam width (lebar seam), body hook (kait badan),
cover hook (kait depan), free winkle (kerutan kaleng) dan overlap. Setiap
parameter tersebut dicek menggunakan alat khusus seperti digital caliper yaitu
alat untuk mengukur tinggi kaleng,micrometer sekrup yaitu alat untuk mengukur
seam thickness, seam width, body hook, cover hook dan deal indicator yaitu alat
untuk mengukur counter sink. Hasil pengecekan double seam dicatat dalam form
khusus dari perusahaan. Contoh form hasil pengecekan penutupan kaleng dapat
dilihat pada Lampiran 7. Penutupan kaleng atau plastic cup dilakukan dengan
hati-hati dan teliti. Kaleng atau plastic cup yang akan diseaming diletakkan di atas
basket yang dasarnya diberi es curah. Hal ini bertujuan untuk menjaga suhu
produk dalam kaleng atau plastic cup agar tidak mengalami kemunduran mutu.
f. Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah pemanasan untuk memperpanjang umur simpan bahan
pangan dengan suhu di bawah 100 oC yang bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme seperti bakteri, kapang dan jamur serta menginaktivasi enzim
50. yang terdapat dalam pangan itu sendiri (Sukasih dkk., 2009). Pasteurisasi di PT.
Pan Putra Samudra dilakukan di dalam hot pasteurisasidengan menggunakan suhu
187 oF - 189 oF (86 oC - 87 oC) selama 140 menit untuk kaleng 16 oz, sedangkan
pasteurisasi plastic cup 8 oz menggunakan suhu 183 oF - 185 oF selama 145 menit
dan plastic cup 16 oz menggunakan suhu 183 oF - 185 oF selama 155 menit. Tank
pasteurisasi dibersihkan dari kotoran sebelum proses pasteurisasi dilakukan,
kemudian diisi air bersih. Dilakukan pemanasan air dalam tank dengan suhu
sesuai dengan suhu pasteurisasi yang telah ditetapkan selama 30 menit.
Proses pasteurisasi dilakukan dengan cara memasukkan keranjang yang
berisi kaleng atau plastic cup hasil penutupan (seaming) ke dalam tank
pasteurisasi yang telah berisi air bersih, kemudian ditutup dengan penutupnya.
Proses pasteurisasi dilakukan dalam tiga buah tank pasteurisasi dengan kapasitas
10 keranjang stainless steel setiap tank. Selama proses pasteurisasi dilakukan
pengukuran suhu tank pasteurisasi setiap lima menit untuk mengetahui
penyimpangan suhu pada saat proses pasteurisasi berlangsung.
Hasil pengukuran suhu tersebut dicatat dalam form khusus dari
perusahaan. Contoh form pengecekan suhu tank pateurisasi dapat dilihat pada
Lampiran 8. Selain melakukan pengukuran suhu hot tank juga dilakukan
pengukuran suhu pusat daging setiap lima menit. Pengukuran suhu pusat daging
dilakukan dengan cara menyiapkan empat kaleng atau plastic cup yang diberi
lubang pada bagian tengah kemasan dan dipasang dengan jarum yang
dihubungkan dengan thermocouple dimana suhu daging terkontrol oleh komputer
setiap menit.
51. g. Pendinginan
Proses pendinginan dilakukan segera setelah produk dipasteurisasi.
Sebelum proses pendinginan dilakukan, persiapan yang harus dilakukan adalah
pembersihan tank pendinginan dari kotoran kemudian pengisian air dan es curah.
Selain itu juga dilakukan pemberian chlorine 3 - 5 ppm untuk meminimalkan
mikroba yang ada dalam tank pendinginantersebut. PT. Pan Putra Samudra
menggunakan tiga buah tank untuk proses pendinginan produknya. Proses
pendinginan dilakukan dengan suhu 32 oF - 38 oF selama 120 menit. Pada tank
pendinginan juga dialiri gas yang berasal dari kompresor untuk meratakan suhu.
Proses pendinginan berfungsi untuk membunuh bakteri thermofilik yang
belum mati (Akhmadi, 2006). Adawyah (2008) menambahkan bahwa bakteri
yang masih bertahan hidup akan mati dengan proses pendinginan. Selain itu pada
proses pendinginan juga dilakukan pemantauan suhu air setiap lima menit dengan
menggunakan termometer kemudian hasil pemantauan tersebut dicatat dalam form
khusus dari perusahaan. Contoh form pengecekan suhu tank pendinginan dapat
dilihat pada Lampiran 8.
h. Pengepakan (Packing)
Pengepakan dilakukan setelah produk dikeluarkan dari cold tank. Proses
pengepakan dilakukan dengan cepat dan hati-hati di dalam ruangan pada suhu
maksimal 20 oC. Suhu ruangan tersebut dicek setiap satu jam oleh karyawan
bagian pengepakan dan dicatat dalam form khusus dari perusahaan. Contoh form
pengecekan suhu ruang pengepakan dapat dilihat pada Lampiran 9. Produk
dikemas dalam Master Carton (MC) yang sudah diberi kode. Kode tersebut harus
52. berurutan sesuai dengan jenis daging dan brand buyer. Satu master carton diisi
dengan enam atau 12 kaleng atau plastic cup sesuai dengan ketetapan dari buyer.
Setelah produk dimasukkan ke dalam MC kemudian ditutup dengan lakban dan
MC tersebut diberi label atau stiker yang memberi informasi tentang jenis produk,
kode produksi dan brand.
i. Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan dalam cold storage dengan suhu 0 oC - 3,3 oC.
Penyimpanan produk menggunakan sistem FIFO (First In First Out) yaitu sistem
dimana produk yang masuk pertama akan pertama keluar. Hal ini memudahkan
pembongkaran ketika proses distribusi. BSN (2010c) mengatakan bahwa penataan
produk rajungan kaleng dalam ruang penyimpanan diatur sehingga memudahkan
pembongkaran.
Penyusunan produk dalam cold storage dilakukan dengan cara menumpuk
master carton dengan jenis produk dan brand yang sama seperti menumpuk batu
bata dan diberi jarak antara dinding dengan master carton agar terjadi pemerataan
suhu dan memperlancar sirkulasi udara dingin selama penyimpanan. Suhu di
dalam cold storage tersebut dicek setiap satu jam oleh petugas penyimpanan dan
dicatat dalam form khusus dari perusahaan. Contoh form hasil pengecekan suhu
cold storage dapat dilihat pada Lampiran 10.
j. Distribusi
Proses distribusi dilakukan jika ada permintaan dari buyer. Jumlah produk
di dalam cold storage yang akan diekspor dicek oleh supervisor stuffing sebelum
dilakukan proses distribusi. Selain itu dilakukan pengujian sensori, mikrobiologi,
53. dan chloramphenicol oleh analis laboraturium terhadap produk sebelum diekspor
dan dicatat hasilnya dalam form khusus dari perusahaan. Contoh form pengujian
sensori, mikrobiologi dan chloramphenicol produk dapat dilihat masing-masing
pada Lampiran 11, 12 dan 13. Pengujian tersebut dilakukan untuk mengajukan
sertifikat ekspor.
Distribusi dilakukan dengan menggunakan kontainer berefrigerasi yang
berukuran 20 feet (2200 MC) atau 40 feet (3225 MC). Sebelum memasukkan
produk ke dalam kontainer, supervirsor stuffing (pengangkutan) melakukan
pengecekan terhadap kondisi kontainer dengan melihat tahun pembuatan
kontainer dan monitor penunjuk suhu dalam kontainer. Produk dapat dimasukkan
ke dalam kontainer setelah kondisi kontainerdinyatakan baik. Produk di dalam
kontainer disusun berdasarkan jenis produk (colossal, jumbo, dan lain-lain) dan
nomor urut master carton yang sesuai dengan rancangan penyusunan produk di
dalam kontainer yang dibuat oleh supervisor stuffing.
Penataan master carton dalam kontainer menggunakan metode 7 - 6 yaitu
peletakan tujuh master carton pada dasar kontainer kemudian diletakkan enam
master carton di atasnya atau metode 11-10 yaitu peletakan 11 master carton
pada dasar kontainer kemudian diletakkan 10 master carton di atasnya. Metode
penyusunan 11-10 digunakan untuk produk plastic cup yang berukuran 16 oz
sedangkan metode penyusunan 7-6 digunakan untuk produk kaleng 16 oz maupun
produk plastic cup 8 oz. Suhu kontainer selama proses pengangkutan
dipertahankan pada suhu 0oC.
54. 4.5.2 Sanitation Standard Operating Prosedure (SSOP)
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) adalah salah satu
persyaratan kelayakan dasar yang bertujuan untuk melakukan pengawasan
terhadap kondisi sanitasi lingkungan agar prosedur yang dihasilkan aman
berkaitan dengan semua sarana pengolahan, sarana kebersihan, personil dan
lingkungan di Unit Pengolah Ikan (Susianawati, 2006). Sarwono (2007)
menambahkan bahwa Sanitation Standard Operating Procedure mencakup aspek
penting yang disyaratkan dalammemproduksi pangan mulai dari lokasi industri,
lingkungan, bangunan, bahanbangunan, fasilitas, peralatan, karyawan produksi,
penerimaan bahan danpengecekan kebersihan lingkungan perusahaan. Sanitation
Standard Operating Prosedure (SSOP) atau prosedur operasi standar sanitasi
yang diterapkan di PT. Pan Putra Samudra sebagai berikut:
a. Keamanan Air dan Es
Air yang digunakan dalam proses produksi pengalengan rajungan di PT.
Pan Putra Samudra adalah air yang berasal dari air tanah yang telah dilakukan
treatment dengan reserve osmosis (RO) dan air PDAM dari daerah Lasem yang
telah teruji aman untuk digunakan. Penggunaan air telah memenuhi persyaratan,
baik air yang digunakan untuk proses produksi, cuci tangan, cuci kaki, peralatan,
lantai dan sebagainya. Darwis (2012) mengatakan bahwa air yang kontak
langsung dengan pangan atau peralatan dan digunakan dalam proses produksi
harus aman dan bersumber dari air bersih atau telah mengalami perlakuan terlebih
dahulu (treatment).
55. Es yang digunakan untuk proses produksi pengalengan rajungan di PT.
Pan Putra Samudra dibeli dari pabrik es yang berada di sekitar daerah Rembang.
Es tersebut terbuat dari air bersih dan telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan. Hariadi (1994) mengatakan bahwa es harus terbuat dari air bersih. Es
berbentuk balok dan sebelum digunakan dihancurkan terlebih dahulu dengan
mesin penghancur es. Pemeriksaan terhadap kualitas air dan es dilakukan oleh
Dinas Perikanan dan Dinas Kesehatan Semarang setiap enam bulan. Sedangkan
pengujian kualitas air dan es oleh perusahaan dilakukan setiap satu bulan.
b. Kebersihan Permukaan yang Kontak Langsung dengan Pangan
Peralatan yang digunakan pada proses produksidi PT. Pan Putra Samudra
seperti meja kerja, toples, keranjang, nampan dan pisau merupakan peralatan yang
halus, tahan air dan anti karat. Sanitasi peralatan dilakukan sebelum dan setelah
proses oleh karyawan sanitasi.Sanitasi meja kerja dilakukan dengan cara
menyemprot meja menggunakan air yang dicampurchlorine 100 ppm. Thaheer
(2005) mengatakan bahwa penggunaan chlorine untuk permukaan yang kontak
langsung dengan pangan adalah 100-200 ppm.
Peralatan toples, keranjang, nampan dan pisau dicuci menggunakan air
tawar, kemudian dicuci dengan larutan bloom sebagai pengganti detergen dan
terakhir dicuci menggunakan campuran air dan larutan QT-50 sebanyak 2,2 %.
Tujuan dari pencucian peralatan adalah untuk mengilangkan kotoran, daging
rajungan yang menempel dan menghilangkan bakteri.
56. c. Pencegahan Kontaminasi Silang
Sarwono (2007) mengatakan bahwa tata letak ruang produksi berhubungan
erat dengan kontaminasi silang terhadap pangan. Ruang produksi di PT. Pan Putra
Samudra diberi sekat untuk setiap ruang proses seperti ruang penerimaan bahan
baku, sortasi, canning, seaming, pasteurisasi, pengepakan dan penyimpanan
sehingga dapat meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dan tidak
menggangu kelancaran serta aktivitas karyawan.
Ramadhani (2013) mengatakan bahwa kontaminasi yang paling potensial
bersumber dari karyawan. Oleh karena itu, karyawan diharuskan menggunakan
perlengkapan kerja yaitu pakaian kerja, masker, sarung tangan, penutup kepala
dan alas kaki karyawan setiap memasuki ruang proses. Pakaian kerja yang dipakai
karyawan terdiri dari tiga jenis warna yaitu biru, orange dan ungu.
Pakaian kerja warna biru dipakai pada hari Senin, Selasa, Jum’at dan
Sabtu dan warna orange dipakai pada hari hari Rabu dan Kamis. Pakaian kerja
warna ungu merupakan pakaian yang hanya dimiliki dan dipakai oleh karyawan
sanitasi. Pakaian pekerja harus dicuci sendiri oleh karyawan setiap hari.
Sedangkan pakaian kerja supervisor, quality control, quality assurance dan
manager berwarna putih dan PT. Pan Putra Samudra menyediakan fasilitas
laundry untuk mencuci pakaian tersebut.
Masker dan penutup kepala yang dipakai karyawan terbuat dari bahan
yang bisa digunakan berulang kali sehingga karyawan tidak perlu mengganti
setiap hari tetapi hanya dicuci setiap hari. Sedangkan sarung tangan karyawan
diberikan oleh petugas sanitasi setiap hari kepada karyawan sebelum memasuki
57. ruang produksi. Apabila sarung tangan kotor, harus diganti dan karyawan
meminta sarung tangan baru kepada petugas sanitasi. Selain itu, petugas sanitasi
mengecek kelengkapan dan kebersihan pakaian karyawan sebelum memasuki
ruang produksi. Setiap seminggu sekali dilakukan pengecekan terhadap kuku oleh
petugas sanitasi terhadap karyawan.
Karyawan juga dilarang menggunakan kosmetik karena pada kosmetik
terdapat bahan kimia yang dapat mengkontaminasi produk dan untuk
mengantisipasinya karyawan harus mencuci muka terlebih dahulu sebelum
memasuki ruang produksi. Alas kaki karyawan juga harus dicuci dengan sabun
sebelum memasuki ruang produksi dan harus melewati footbath yang berisi air
dengan chlorine 200 ppm.
Ketika karyawan keluar dari ruang produksi atau ke toilet, karyawan harus
melepas pakaian kerja, masker, penutup kepala dan sarung tangan. Karyawan
harus mencuci tangan sebelum dan setelah ke toilet, kemudian karyawan memakai
perlengkapan kerjanya kembali dan memasuki ruang proses melalui footbath yang
berisi air dengan chlorine 200 ppm.
d. Fasilitas cuci tangan, sanitasi dan toilet
Fasilitas cuci tangan di PT. Pan Putra Samudra ditempatkan di tempat
yang mudah dijangkau seperti di sebelah pintu masuk ruang produksi, di dalam
ruang produksi dan di sebelah toilet. Fasilitas cuci tangan dilengkapi dengan
sabun cair untuk cuci tangan tetapi tidak terdapat pengering atau blower dan lap
tangan. Sedangkan fasilitasfootbath ditempatkan sebelum memasuki ruang
58. produksi, sebelum memasuki ruang pasteurisasi dan sebelum memasuki ruang
pengepakan.
Toilet berjumlah enam buah yang terbagi menjadi tiga toilet pria dan tiga
toilet wanita. Toilet terletak di luar ruang produksitetapi tidak dilengkapi dengan
sabun dan lap tangan. Toilet selalu dijaga kebersihannya oleh petugas sanitasi,
diberi tempat sampah di sepanjang toilet dan sebelum masuk toilet terdapat bak
untuk cuci alas kaki dan tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun cair.
Karyawan yang keluar dari toilet diwajibkan untuk cuci tangan dan cuci alas kaki.
Jumlah toilet yang ada belum mencukupi untuk jumlah karyawan yang
mencapai 250 orang. Seharusnya jumlah toilet disesuaikan dengan jumlah
karyawan yaitu sebanyak 12 toilet. Winarno dan Surono (2002) mengatakan
bahwa jumlah toilet yang dianjurkan untuk 100 orang karyawan adalah lima toilet.
Sehingga perlu diadakan pembangunan toilet tambahandi PT. Pan Putra Samudra
untuk menghindari terjadinya antrian karyawan di toilet yang akan menghambat
proses produksi.
e. Pelabelan dan Penyimpanan Bahan Kimia
Bahan kimia, pembersih dan sanitaizer disimpan terpisah dari ruang
pengolahan di PT. Pan Putra Samudra sehingga tidak mengakibatkan terjadinya
kontaminasi dengan produk. Bahan kimia diberi label sesuai dengan merek
masing-masing dan disimpan dengan baik di dalam ruangan khusus. Nurdiansyah
(2010) mengatakan bahwa pemberian label pada bahan-bahan kimia penting
untuk dilakukan guna mencegah kesalahan dan memonitor penggunaan. Bahan
59. pembersih dan sanitaizer disimpan dalam ruang sanitasi dan diberi label, untuk
cara penggunaan ditempel di ruang sanitasi.
f. Pengendalian Hama
Hama yang biasa terdapat dalam industri pangan dan memerlukan
pengendalian adalah binatang pengerat seperti tikus, serta beberapa macam
serangga seperti nyamuk, kecoa, semut, lalat dan lebah (Thaheer, 2005). PT. Pan
Putra Samudra menggunakan alat yang berbeda untuk mengendalikan binatang
pengerat dan serangga di dalam dan di luar ruang produksi. Pengendalian
serangga di luar ruang produksi dengan memasang insect killer pada pintu masuk
dan di dekat ruang penerimaan bahan baku, sedangkan di dalam bangunan
dipasang Fliestop Stationpada pintu masuk ruang produksi, sisi pintu area
receiving dan sisi pintu ruang pasteurisasi.
Pengendalian tikus di dalam dan di luar bangunan juga menggunakan
metode yang berbeda. Pengendalian tikus di luar bangunan menggunakan metode
pengumpanan. Umpan yang dipasang adalah jenis racun kronis anticoagulant
berbentuk batangan yang ditempatkan pada wadah khusus yaitu Rodent Bait
Station (RBS). RBS yang terpasang di luar bangunan sebanyak 20 titik, dimana
jarak antara titik satu dengan titik lain adalah 15 meter. Pengendalian tikus di area
dalam bangunan adalah dengan menggunakan Pest Glue Trap (PGT) yang
ditempatkan di sepanjang dinding dengan jarak antara 10-15 meter dan sebanyak
14 titik. Pengendalian hama di dalam bangunan juga dengan melakukan
penyemprotan atau fogging pada malam hari setiap satu bulan sekali.
60. g. Penanganan Limbah
Limbah yang dihasilkan dari proses pengalengan rajungan di PT. Pan
Putra Samudra meliputi limbah cair dan padat. Limbah cair berasal dari air yang
digunakan selama proses produksi dan berasal dari lelehan es yang digunakan
selama rantai dingin. Penanganan limbah cair di dalam ruang produksi yaitu
dengan cara membuat selokan kecil yang diatasnya terdapat celah-celah kecil
sehingga limbah yang masuk hanya limbah cair. Selokan kecil di dalam ruang
produksi juga dapat mencegah genangan air sehingga kontaminasi silang akibat
percikan air di lantai dapat diatasi.
Marriot and Gravani (2006) mengatakan bahwa dalam limbah cair masih
terdapat banyak zat organik yang dapat menyebabkan mikroorganisme tumbuh
subur dan jika dialirkan langsung ke perairan maka dapat meningkatkan unsur
hara di perairan, sehingga terjadi blooming mikroorganisme yang dapat
menurunkan kadar oksigen terlarut (BOD) dan meyebabkan ikan mati. PT. Pan
Putra Samudra sudah melakukan treatment terhadap limbah cair yang dihasilkan
sebelum dialirkan ke sungai. Sedangkan limbah padat yang dihasilkan berupa sisa
shell, inner carton, master carton, plastik, mika dan kaleng yang sudah tidak
terpakai. Penanganan limbah padat yang dilakukanoleh PT. Pan Putra Samudra
adalah dengan menjual limbah tersebut.
4.6 Penerapan HACCP pada Pengalengan Rajungan
Penerapan prinsip-prinsip HACCP pada PT. Pan Putra Samudra terdiri
dari tugas-tugas sebagai berikut:
61. 4.6.1 Pembentukan Tim HACCP
Tim HACCP pada PT. Pan Putra Samudra terdiri multidisplin seperti
manager produksi, quality assurance, kepala laboraturium, supervisor sanitasi,
dan supervisor bagian produksi yaitu supervisorsortir dan canning. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Dewanti dan Hariyadi (2013) bahwa tim HACCP terdiri dari
anggota dengan latar belakang pendidikan dan/atau keahlian yang berbeda (multi
disiplin).
Quality Assurance (QA) termasuk dalam ketua tim HACCP, hal ini
dikarenakan QA bertugas untuk mereview apakah HACCP yang diterapkan pada
perusahaan sudah sesuai dengan apa yang direncanakan. Anggota tim HACCP
PT. Pan Putra Samudra dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.1. Tim HACCP PT. Pan Putra Samudra
No. Nama Pendidikan Jabatan
Pendidikan Non Formal
1.
Daryana STIPER Pertanian-
Semarang
Manager QA
dan
Koordinator
HACCP
HACCP dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan
2.
Ariefudin
Sigit
Universitas Gadjah
Mada-Yogyakarta
Asisten QA -
3.
Daromi APRIKA-JEPARA Manager
Produksi
HACCP dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan
4.
Agung
Hendi P.
STM Analisis-
Semarang
Kepala
Laboraturium
Sertifikat kepala
laboraturium dari
departemen perikanan dan
sertifikat HACCP dari
Kementerian Kelautan dan
Perikanan
5.
Muklis A. UMS-Surakarta Supervisor
Sortir dan
Canning
-
6.
Edi SMA-Rembang Supervisor
Sanitasi
-
7.
Nur
Hidayat
SMA-Rembang Manager
Mesin
-
62. 8.
Ahmadi SMA-Rembang Supervisor
Seaming
-
9.
Roni SMA-Rembang Supervisor
Pasteurisasi
-
10.
Syaiful SMA-Rembang Kepala
Pergundangan
-
11.
Gunawan APRIKA-Jepara Manager
Lapangan
-
Sumber; PT. Pan Putra Samudra
4.6.2 Deskripsi Produk
Langkah selanjutnya dalam penerapan HACCP adalah deskripsi produk.
Codex (1997) mengatakan bahwa deskripsi produk menjelaskan tentang
karakteristik produk, struktur kimia/fisik, perlakuan pengolahan, pengemasan,
umur simpan, cara penyimpanan dan metode pendistribusian. Krisnawati (2002)
mengatakan bahwa deskripsi produk yang jelas dapat mengontrol penanganan
produk akhir dengan baik sehingga menghasilkan produk yang aman dikonsumsi.
Deskripsi produk yang diproduksi oleh PT. Pan Putra Samudra dapat dilihat pada
Tabel 4.2.
63. Tabel 4.2. Deskripsi Produk
1 Nama Produk Daging Rajungan Pasteurisasi
2 Bahan Baku Rajungan (Portunus pelagicus)
3 Asal Bahan Baku Daging rajungan berasal dari supplier dan mini
plant, yang ditangkap dari Pulau Jawa, Laut
Sumatera dan Laut Bangka Belitung.
4 Penerimaan Bahan Baku Daging rajungan yang berasal dari supplier atau
mini plant yang diangkut oleh truk, didalam bak
fiber dengan ditambahkan es curah, suhu
disarankan lebih rendah dari 4,4oC/40oF. Bahan
baku langsung diproses atau disimpan pada
suhu dingin (0o -3,3oC/32o -38o F)
5 Produk Akhir Pasteurized Crab meat (Pasteurisasi Daging
Rajungan).
6 Bahan Tambahan
Makanan
SAPP (Sodium Acid Pyrophosphate)
7 Alur Proses Penerimaan, pengecekan mutu atau
penyimpanan dingin, pensortiran, pensortiran
akhir, pendeteksi metal, penerimaan SAPP,
penerimaan kaleng dan tutup, plastic cup dan
tutup, pencampuran, pengisian, penimbangan,
penutupan, pasteurisasi, pendinginan,
pengemasan dan pelabelan, penyimpanan
dingin, pemuatan dan pengkapalan
8 Jenis kemasan a. Kaleng
Bahan : tin plate
Ukuran : 401x301
b. Plastic cup
Bahan : R35C-01 (Polypropylene Random
Copolymer)
Ukuran : 307x300 (8 oz), 401x308 (16 oz)
c. Master Carton dan Inner Carton
Material : corrugated carton box/Karton
Dimension : 410mmx305mmx87mm
Gramature : 200 K/150/200K
Wax coated outside/Pelapis lilin melapisi bagian
luar
9 Saran Penyimpanan Disimpan di ruangan pendingin pada suhu 0oC-
3,3oC (32oF - 38oF)
10 Masa Kadaluarsa 18 bulan pada kondisi dingin
11 Label/Spesifikasi Nama dan jenis produk, kode produksi, berat
bersih, dan ukuran kaleng atau plastic cup,
kandungan isi kaleng atau plastic cup, saran
penyimpanan, negara asal, nama distributor dan
daftar bahan tambahan
12 Penggunaan Siap saji
64. Produk yang dihasilkan adalah produk yang
dapat menyebabkan alergi pada orang tertentu
(orang yang alergi terhadap crustacean), karena
produk berasal dari bahan baku yang tergolong
allergen yaitu rajungan (Portunus pelagicus)
13 Pesan Pencegahan
Kesalahan Penanganan
Produk ini adalah dalam kaleng dan plastic cup
dan biasanya pembeli merasa produk tersebut
stabil dan mereka mungkin tidak
menyimpannya dalam refrigerasi dan ini
merupakan kesalahan penanganan.
Semua packaging (kaleng, plastic cup, master
carton, inner) terdapat tulisan “Keep
Refrigerated” (simpan dalam suhu refrigerasi)
untuk mencegah kesalahan penanganan yang
mengakibatkan bahaya yang bisa timbul
14 Konsumen Masyarakat umum
Sumber; PT. Pan Putra Samudra
4.6.3 Identifikasi Penggunaan
Produk rajungan kaleng pada PT. Pan Putra Samudra mempunyai segmen
pasar untuk masyarakat umum. Produk rajungan kaleng ini merupakan produk
siap saji (ready to eat) tanpa harus diolah lagi. Produk rajungan kaleng dapat
menyebabkan alergi pada orang tertentu karena berasal dari bahan baku yang
tergolong allergen yaitu rajungan. Konsumen diminta untuk menyimpan produk
tersebut pada suhu 0oC-3,3oC pada saran penggunaanya. Kesalahan penanganan
terhadap produk tersebut yang mungkin dilakukan konsumen adalah tidak
menyimpannya dalam refrigerator karena merasa produk tersebut stabil dalam
kemasan kaleng atau plastic cup. BSN (1998) menjelaskan bahwa identifikasi
penggunaan harus didasarkan pada kegunaan yang diharapkan dari produk oleh
konsumen.
65. 4.6.4 Penyusunan Diagram Alir Proses
Penyusunan diagram alir dilakukan oleh tim HACCP. Diagram alir
menggambarkan seluruh rangkaian langkah proses yang terjadi sejak penerimaan
bahan baku sampai produk akhir didistribusikan. Sarwono (2007) mengatakan
bahwa penyusunan diagram alir penting untuk menentukan tahapan operasional
yang akan dikendalikan. Diagram alir proses pengalengan rajungan dapat dilihat
pada Gambar 4.7.
4.6.5 Pemeriksaan Bagan Alir Proses
Diagram alir yang telah disusun diverifikasi oleh tim HACCP dengan
turun langsung ke lapangan. Apabila ditemukan adanya kekurangan maka
diagram alir yang telah disusun diperbaiki sesuai dengan kondisi lapangan
(Dewanti dan Hariyadi, 2013). Tahapan ini sangat penting untuk mencegah bagan
alir proses yang telah ditetapkan tidak sesuai dengan bagan alir proses yang ada di
lapangan karena dapat membuat manual HACCP yang telah dibuat tidak dapat
dilaksanakan dengan benar. Seluruh proses pengalengan rajungan yang ada di PT.
Pan Putra Samudra sudah sesuai dengan diagram alir proses sebagaimana tertera
dalam HACCP plan.
66. Gambar 4.4. Diagram Alir Proses (Sumber; PT. Pan Putra Samudra)
7. Penerimaan
SAPP
5. Pendeteksian Logam
Fe : 2 mm, Non Fe : 2.5mm
SS : 3.5 mm
8. Penerimaan kaleng
dan tutup,plastic cup
dan tutup2. Pengecekan Mutu
4. Penyortiran Akhir
3. Penyortiran
6. Pencampuran
12. Pasteurisasi
Kaleng: 1870
F – 1890
F 140menit, Plastic cup: 8 oz 183 o
F – 185 o
F 145
menit, 16 oz 155 menit
13. Pendinginan
320
F – 380
F, 120 menit
menit
14. Pengemasan dan Pelabelan
Penyimpanan dalam
Gudang Kering
Penyaringan
Penyimpanan
dalam Gudang
Kering
Penyortiran dan
Pembersihan
Pengkodean
11. Penutupan Kaleng
Kaleng : OL min 1,1 mm
Plastic cup : OL min 0,76mm
16. Pemuatan dan Pengkapalan
320
F – 380
F
15. Penyimpanan Dingin
320
F – 380
F
SAPP Cair /
Bubuk
1-1,4 g/lb (16 oz)
Penyimpanan Dingin
320
F – 38 o
F
Diluar spec,
benda asing,
over shell
Analisa Produk
Basi, residu
CAP di atas
batas kritis
Dikerjakan
lagi
Rijek
Ok
Tidak
9. Pengisian
10. Penimbangan
16 oz: 454 g, 8oz: 227 g
Rilis Produk
Penerimaan Bahan Baku
67. 4.6.6 Analisis Bahaya
Sarwono (2007) mengatakan bahwa bahaya adalah faktor biologis, kimia
atau fisik di dalam makanan yang dapat merugikan kesehatan konsumen. Analisis
bahaya dilakukan pada tiap tahapan proses pengalengan rajungan. Analisis bahaya
pada proses pengalengan rajungan dilakukan untuk mengetahui terlebih dahulu
faktor penyebab bahaya dan bahaya potensial yang ditimbulkan, kemudian
mengkategorikan bahaya tersebut apakah termasuk biologi, kimia atau fisik dan
menetapkan resiko atau signifikansi bahaya yang teridentifikasi serta menetapkan
tindakan pencegahan. Analisis bahaya pada proses pengalengan rajungan di PT.
Pan Putra Samudra terdapat padaLampiran 14
4.6.7 Penetapan Critical Control Point (CCP)
Penetapan Critical Control Point pada setiap tahapan proses pengalengan
rajungan di PT. Pan Putra Samudra menggunakan pohon keputusan atau descision
tree. CCP ditetapkan pada setiap tahapan proses mulai dari penerimaan bahan
baku hingga penyimpanan produk akhir. Penetapan CCP pada proses pengalengan
rajungan di PT. Pan Putra Samudra dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Penetapan CCP dengan Pohon Keputusan
Tahapan Proses Bahaya Potensial
Nyata
P1*
(Y/T)
P2*
(Y/T)
P3*
(Y/T)
P4*
(Y/T)
CCP
1. Penerimaan
bahan baku
chloramphenicol Ya Ya - - CCP
2. Sortasi Shell dan benda
asing
Ya Tidak Ya Ya Bukan
CCP
3. Metal
Detecting
Fragmen logam Ya Ya - - CCP
4. Seaming Bakteri patogen Ya Ya - - CCP
5. Pasteurisasi Pertumbuhan
bakteri patogen
Ya Ya - - CCP
68. 6. Pendinginan Pertumbuhan
bakteri patogen
Ya Ya - - Bukan
CCP
7. Pengepakan Pertumbuhan
bakteri patogen
Ya Tidak Tidak - Bukan
CCP
8. Penyimpanan Pertumbuhan
bakteri patogen
Ya Tidak Ya Tidak CCP
Keterangan: *
P1= Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau tahap berikutnya
terhadap bahaya yang teridentifikasi?
*
P2: Apakah tahap ini dirancang khusus untuk menghilangkan atau
mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya hingga tingkatan yang dapat
diterima?
*
P3: Dapatkah kontaminasi bahaya terjadi melebihi tingkatan yang dapat
diterima atau dapat meningkat hingga tingkatan yang tidak dapat diterima?
*
P4: Apakah tahap berikutnya dapat menghilangkan bahaya atau
mengurangi keberadaannya hingga tingkatan yang dapat diterima
Berdasarkan hasil identifikasi CCP didapatkan lima tahapan proses yang
ditetapkan sebagai CCP yaitu:
1) Penerimaan bahan baku
Proses penerimaan bahan baku merupakan CCP pertama, dimana potensi
bahaya yang paling nyata adalah kontaminasi bahan antibiotik chloramphenicol.
Residu chloramphenicol pada daging rajungan tidak dapat dihilangkan pada
tahapan proses selanjutnya dan hanya dapat dilakukan tindakan pencegahan. Oleh
karena itu pada tahap penerimaan bahan baku dilakukan pengujian kandungan
chloramphenicol. Apabila daging rajungan sudah terdeteksi mengandung
chloramphenicol yang melebihi standar yang ditetapkan perusahaan, maka
dikhawatirkan pada produk akhir nanti terdeteksi kandungan chloramphenicol
yang lebih tinggi.
2) Metal detecting
Bahaya potensial nyata yang dapat terjadi pada tahap metal
detectingadalah adanya kandungan logam (fragment logam) pada daging karena
kontaminasi logam selama proses. Bahaya kandungan logam yang dimaksud
69. adalah steples, peniti, jarum, atau karat pada peralatan seperti pisau yang kontak
langsung dengan produk. Kandungan logam tidak dapat dihilangkan pada tahapan
proses selanjutnya dan hanya dapat dilakukan pencegahan. Oleh karena itu
diperlukan metal detector yang berfungsi untuk mendeteksi kandungan logam
yang mungkin ada di dalam produk. Kandungan logam yang mungkin terdeteksi
antara lain Fe, Ss, dan Cu. Jika logam tersebut masuk ke dalam tubuh dapat
menggangu kesehatan. Keakuratan mesin metal detector sangat mempengaruhi
deteksi logam pada daging, sehingga mesin harus selalu dikalibrasi sebelum dan
setelah digunakan.
3) Seaming
Bahaya yang terjadi pada tahapan ini adalah kontaminasi bakteri patogen
yang disebabkan oleh kebocoran kaleng karena penutupan kaleng yang kurang
sempurna. Proses seaming ditetapkan sebagai CCP karena tidak ada tahapan
proses selanjutnya yang dapat memperbaiki kebocoran kaleng tetapi hanya dapat
dicegah dengan melakukan pengawasan pada proses tersebut.
4) Pasteurisasi
Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap pasteurisasi adalah pertumbuhan
bakteri patogen tahan panas dan pemasakan yang berlebihan (over cooking). Jika
suhu dan lamanya pasteurisasi tidak sesuai standar maka berpotensi besar
terhadap pertumbuhan bakteri patogen dalam produk yang dapat membahayakan
konsumen jika mengkonsumsi produk tersebut, sehingga diperlukan pengontrolan
suhu dan waktu selama proses pasteurisasi berlangsung. Pengaturan suhu dan
lamanya pasteurisasi yang sesuai dengan standar dapat menghambat pertumbuhan
70. atau membunuh bakteri patogen pada produk. Selain itu juga dapat mengurangi
resiko kerusakan produk baik dari segi fisik (tekstur dan warna) maupun dari segi
kimia (kandungan gizi produk).
5) Penyimpanan
Potensi bahaya pada tahapan penyimpanan adalah pertumbuhan bakteri
patogen yang disebabkan karena kurangnya pengontrolan suhu. Selain itu juga
dapat disebabkan oleh fluktuasi suhu yang terjadi di dalam cold storage. Jika
terjadi pertumbuhan bakteri patogen pada produk maka akan mengurangi bahkan
merusak mutu produk tersebut. Oleh karena itu petugas stock atau penyimpanan
perlu melakukan pengontrolan suhu cold storage.
4.6.8 Penetapan Batas Kritis (Critical Limit)
Batas kritis merupakan batas toleransi yang harus dipenuhi pada setiap
penetapan CCP untuk mengendalikan bahaya secara efektif. Batas ini tidak boleh
terlampaui karena sudah merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat
dikontrol serta menjamin kemanan produk yang dihasilkan (Sarwono, 2007).
Dewanti dan Hariyadi (2010) menambahkan bahwa batas kritis memisahkan
antara hal aman dengan tidak aman. Batas kritis yang ditetapkan oleh PT. Pan
Putra Samudra dapat dilihat pada Tabel 4.4. Batas kritis tersebut mengacu pada
standar yang ditetapkan oleh perusahaan dan standar yang ditetapkan oleh buyer.
71. Tabel 4.4. Batas Kritis Tiap Critical Control Point (CCP)
No. Tahapan Proses Batas Kritis
1. Penerimaan Bahan Baku Chloramphenicol: 0,150 ppb
2. Metal Detecting Fe : Minimal 2mm
Non Fe : Minimal 2,5 mm
Ss : Minimal 3,5 mm
3. Seaming Overlap : Minimal 1,10 mm
Kerutan kaleng (tightness) : 70-100%
4. Pasteurisasi Kaleng : suhu 187oF – 189oF selama 140
menit
Plastic cup : suhu 183oF -185oF selama 145
menit
5. Penyimpanan Suhu 0oC -3,3oC
4.6.9 Penentuan Prosedur Monitoring
Badan Standarisasi Nasional (1998) menjelaskan bahwa monitoring
merupakan pengamatan terjadwal dari CCP yang dibandingkan terhadap batas
kritisnya (Dewanti dan Hariyadi, 2013) menambahkan bahwa prosedur
pemantauan mencakup apa yang akan dipantau, siapa yang melakukan
pemantauan, kapan dilakukan pemantauan, dan bagaimana melakukan
pemantauan. Prosedur monitoring terhadap CCP pada proses pengalengan
rajungan di PT. Pan Putra Samudra yaitu sebagai berikut:
1. Penerimaan Bahan Baku
Apa : Chloramphenicol
Siapa : Analis laboraturium
Kapan : Setiap bahan baku masuk untuk setiap supplier
Bagaimana : Pengujian chloramphenicol dengan metode ELISA rida
Screen
2. Metal Detecting
Apa : Fragmen logam
72. Siapa : Petugas metal detecting
Kapan : Setelah dilakukan final checking
Bagaimana : Pengecekan menggunakan mesin metal detector
3. Seaming
Apa : Double seam, kondisi kaleng setelah ditutup
Siapa : Supervisorseaming
Kapan : Sebelum proses seaming dan setiap penutupan 400 kaleng
atau plastic cup
Bagaimana : Melakukan pengecekan mesin seamer
4. Pasteurisasi
Apa : Suhu dan waktu pasteurisasi
Siapa : Supervisor Pasteurisasi
Kapan : Setiap lima menit
Bagaimana : Melakukan monitoring suhu dengan computer
5. Penyimpanan
Apa : Suhu cold storage
Siapa : Petugas pengukuran suhu
Kapan : Setiap satu jam sekali
Bagaimana : Dilakukan monitoring terhadap suhu cold storage
4.6.10 Tindakan Koreksi
Dewanti dan Hariyadi (2013) mengatakan bahwa jika tindakan monitoring
gagal maka tindakan koreksi berfungsi untuk menjamin produk pangan yang
73. dihasilkan aman. Tindakan koreksi yang dilakukan oleh PT. Pan Putra Samudra
yaitu sebagai berikut:
1. Penerimaan bahan baku
Jika bahan baku mengandung chloramphenicol melebihi standar yang
ditetapkan oleh perusahaan yaitu 0,150 ppb maka bahan baku akan dikembalikan
ke supplier atau mini plant.
2. Metal detecting
Daging rajungan yang terdeksi mengandung fragmen logam dipisahkan
dan dibongkar. Kemudian dilakukan pengambilan logam tersebut dan dicatat asal
dari daging rajungan tersebut. Jika metal detector gagal mendeteksi keberadaan
fragmen logam maka dilakukan kalibrasi atau perbaikan terhadap alat tersebut
dengan cara pengecekan sensitifitas alat sehingga fragmen logam yang melewati
alat tersebut dapat terdeteksi keberadaannya.
3. Seaming
Apabila ditemukan keadaan kaleng atau plastic cup diluar ukuran standar
atau penutupan yang tidak sempurna maka proses seaming dihentikan sementara
dan dilakukan pengecekan terhadap mesin seamer. Selain itu kaleng atau plastic
cup yang tidak sempurna penutupannya dipisahkan. Daging rajungan yang berada
dalam kemasan tersebut dikeluarkan dan dikemas kembali.
4. Pasteurisasi
Jika suhu air tidak sesuai dengan standar maka dilakukan penyesuaian
suhu dengan standar yang telah ditetapkan.
74. 5. Penyimpanan
Jika terjadi kenaikan suhu pada cold storage maka dilakukan pengaturan
suhu sesuai dengan batas yang sudah ditetapkan yaitu 0oC-3,3oC.
4.6.11 Tindakan Verifikasi
Verifikasi dalam rencana HACCP adalah kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin bahwa rencana HACCP dapat mengendalikan keamanan pangan secara
efektif (Dewanti dan Hariyadi, 2013). Prosedur verifikasi meliputi verifikasi
internal dan eksternal. Verifikasi internal berupa tindakan peninjauan ulang yang
dilakukan oleh pihak perusahaan sedangkan verifikasi eksternal biasanya
dilakukan oleh lembaga sertifikasi.
Verifikasi internal di PT. Pan Putra Samudra dilakukan oleh tim HACCP
untuk memastikan bahwa proses telah sesuai dengan HACCP plan sedangkan
verifikasi eksternal dilakukan satu tahun sekali yang dilakukan dengan
mengajukan surat ke dinas terkait untuk mendapatkan sertifikasi. Prosedur
verifikasi yang diterapkan di PT Pan Putra Samudra yaitu sebagai berikut:
1. Penerimaan bahan baku
a. Pengecekan catatan jumlah dan asal daging rajungan
b. Pengecekan hasil uji kandungan chloramphenicol daging rajungan
2. Metal detecting
Pengecekan lembar monitoring metal detecting setiap hari
3. Pasteurisasi
a. Pengecekan catatan suhu pusat daging, suhu pasteurisasi dan waktu
pasteurisasi setiap hari