SlideShare a Scribd company logo
1 of 55
BAB I 
PENDAHULUAN 
1 
1.1 Latar Belakang 
Indonesia memiliki tiga perempat wilayah berupa laut (5,8 juta km2) dan 
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari ikan laut 
seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 % dari total potensi ikan laut dunia. 
Artinya jika kita dapat mengendalikan tingkat penangkapan ikan laut lebih kecil 
dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha perikanan tangkap semestinya dapat 
berlangsung secara (Dahuri, 2004). Salah satu potensi laut yang perlu 
dikembangkan yakni ikan tuna. 
Ikan tuna merupakan salah satu komoditi perikanan Indonesia yang 
banyak diminati oleh konsumen luar negeri karena rasanya yang lezat dan bergizi 
tinggi. . Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging, lemak 
antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral 
kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, 
riboflavin dan niasin). Ikan tuna di Indonesia yang paling banyak di ekspor salah 
satunya tuna loin beku (Wicaksono, 2009). Loin tuna adalah potongan ¼ 
memanjang ikan tuna, terdiri atas sisi kiri atas, sisi kiri bawah, sisi kanan atas dan 
sisi kanan bawah, tidak termasuk kepala, tulang tengah dan ekor ikan. 
Keunggulan teknik loin adalah tidak membutuhkan waktu yang lama untuk proses 
pembuatannya, berbeda dengan teknik steak yang membutuhkan waktu lama 
dalam proses dikarenakan pemotongan bentuk daging ikan tuna menjadi kecil 
(Junianto, 2003). 
Negara-negara importir tuna loin diantaranya adalah Jepang, USA, 
Australia, dan beberapa negara Eropa, telah mensyaratkan agar negara-negara 
yang mengekspor produknya telah menerapkan program manajemen mutu 
berdasarkan konsep HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) 
karena akan memberikan jaminan mutu bahwa produk yang dihasilkan aman 
(safe) untuk dikonsumsi, layak mutunya dalam arti higienis, dan tidak merugikan 
secara ekonomi bagi konsumen (junianto, 2003)
HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu 
sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses 
yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidak amanan 
pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). HACCP menekankan 
pentingnya mutu keamanan pangan, untuk itu dalam penerapannya HACCP wajib 
diterapkan pada perusahaan pengolahan perikanan terutama pada seluruh mata 
rantai proses pengolahan produk tuna loin beku dengan mengidentifikasi CCP 
mulai dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Muhandri dan Kadarisman 
2006). 
CV. Cahaya Mandiri Gorontalo adalah perusahaan yang bergerak dalam 
bidang pengolahan tuna loin beku yang menerapkan konsep HACCP pada setiap 
proses pengolahan tuna loin, dengan tujuan untuk menjaga keamanan produk yang 
dihasilkan. Hal ini dilakukan karena CV. Cahaya Mandiri merupakan cabang 
pabrik pengolahan tuna loin dari PT. Era Mandiri yang bertempat di Jakarta, yang 
sudah melakukan ekspor kebeberapa negara (Amerika, Kanada, Jepang, Malaysia, 
Singapura) sehingga pengiriman produk oleh CV. Cahaya Mandiri ke PT. Era 
Mandiri wajib menerapkan konsep HACCP disetiap proses pengolahan tuna loin. 
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merasa perlu untuk melihat 
secara langsung bagaimana penerapan HACCP di CV. Cahaya Mandiri Gorontalo 
pada setiap tahapan proses pengolahan tuna loin dan adakah tindakan pencegahan 
yang dilakukan oleh CV. Cahaya Mandiri Gorontalo untuk mencegah CCP 
apabila pada salah satu tahapan produksi teridentifikasi CCP. 
2 
1.2 Tujuan 
Tujuan pelaksanaan praktek kerja lapangan (PKL) ini adalah 
1. Mengetahui penerapan HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point ) 
pada produk tuna loin beku di CV. Cahaya Mandiri Gorontalo 
2. Mengetahui tahapan proses yang teridentifikasi CCP. 
1.3 Manfaat 
1. Menambah wawasan sebagai mahasiswa teknologi hasil perikanan. 
2. Memberikan informasi tentang penerapan HACCP pada proses 
pembekuan ikan tuna yang baik dan tepat.
BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA 
3 
2.1 Klasifikasi Ikan Tuna 
Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu. 
mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah 
dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip 
punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil. 
Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap 
pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang 
berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 
1996). 
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan 
lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g 
daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna 
mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan 
vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) (Murniyati dan Sunarman, 2000). 
Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat dilihat dalam Tabel 1. 
Tabel 1 Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g 
daging. 
Species Protein Lemak Karbohidrat Abu 
Bluefin 28,30 g 1,40 g 0,10 g 1,50 g 
Southern Bluefin 23,60 g 9,30 g 0,10 g 1,40 g 
Yellow Fin 22,20 g 2,10 g 0,10 g 1,40 g 
Skipjack 25,80 g 2,00 g 0,40 g 1,40 g 
Marlin 25,40 g 3,00 g 0,10 g 1,40 g 
Mackerel 19,80 g 16,50 g 0,10 g 1,10 g 
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000) 
Pada CV. Cahaya Mandiri tuna yang digunakan sebagai bahan baku 
pembuatan loin terdiri dari dua jenis yaitu tuna mata besar dan madidihang.
2.1.1 Karakteristik Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) 
T. obesus termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang yakni 
mencapai 33-35 cm. Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan 
yang hidup seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip 
punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip 
dubur berwarna kuning muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning 
terang, dan hitam pada ujungnya. Panjang cagak maksimum lebih dari 200 cm, 
pada umumnya 180 cm. Ukuran layak tangkap pada ikan dimulai pada saat ikan 
telah dewasa mencapai ukuran tertentu (Junianto, 2003). Menurut Magfiroh 
(2000), bahwa ukuran di Laut Banda untuk ikan jantan 146,1 cm dan betina 
133,5 cm, di Western Indian Ocean untuk jantan 86,85 cm dan betina 88,08 cm. 
Gaspersz 1997 dalam Dahyar (2009), menyatakan bahwa T.obesus 
mempunyai ciri-ciri luar sebagai berikut : 
a. Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor. 
b. Setelah dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna yang lain. 
c. Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata. 
d. Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4 - 1/3 kali fork length (FL). 
e. Sirip dada lebih panjang dari T. albacores dan selalu melewati belakang 
sebuah garis di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip 
anal. 
f. Mempunyai 7-10 garis yang berwarna putih dan tidak terputus-putus, 
menyilang tegak lurus pada sisi-sisi bagian bawah, jauh lebih sedikit 
dibandingkan dengan tuna sirip kuning. 
Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk T.obesus, secara 
horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan 
Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan Barat 
Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan 
tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan 
Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik 
(Gaspersz, 1997 dalam Dahyar 2009) 
4
Menurut Ditjen Perikanan (1990), bahwa klasifikasi T. obesus adalah 
5 
sebagai berikut: 
Kingdom : Animalia 
Sub Kingdom : Metazoa 
Phylum : Chordata 
Sub phylum : Vertebrata 
Class : Pisces 
Sub Class : Teleostei 
Ordo : Percomorphi 
Sub ordo : Scombroidae 
Family : Scombridae 
Genus : Thunnus 
Species : Thunnus obesus 
Bentuk tubuh dari T. obesus secara utuh dapat dilihat pada Gambar 1. 
Gambar 1. Tuna mata besar 
Sumber : (Ditjen Perikanan, 1990). 
2.1.2 Karakteristik Tuna Madidihang (Thunnus albacores) 
T. albacores merupakan ikan pengembara samudera, yakni mengarungi 
samudera dengan bergerombol dan perenang cepat karena bentuk tubuhnya yang 
dinamis. T. albacores memiliki ciri-ciri yaitu bentuk badan yang memanjang, 
bulat seperti cerutu, tapisan insang 26-34 pada busur insang pertama, memiliki 
dua cuping/lidah di antara kedua sirip perutnya, jari-jari keras sirip punggung 
pertama 13-14, dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti 8-10 jari 
sirip tambahan. Kemudian sirip dubur berjari-jari lemah 14-15, lalu 7-10 jari-jari 
sirip tambahan.
Untuk jenis-jenis dewasa, sirip punggung kedua dan dubur tumbuh sangat 
panjang, sirip dada cukup panjang. Badan bersisik kecil-kecil, korselet (jalur sisik 
khusus yang mengelilingi badan di daerah sekitar sirip dada) bersisik agak besar 
tetapi tidak nyata. Termasuk ikan buas, predator, karnivor, dapat mencapai 195 
cm, umumnya 50-150 cm, hidup bergerombol kecil (Ditjen Perikanan, 1990). 
Warna tubuh T. albacores bagian atas berpadu antara hitam dan keabu-abuan, 
kuning perak pada bagian bawah, sirip-sirip punggung, perut. Sirip 
tambahan kuning cerah berpinggiran gelap. Pada perut terdapat kurang lebih 20 
garis putus-putus warna putih pucat melintang (Ditjen Perikanan,1990). 
Setiap jenis ikan tuna mempunyai kebiasaan/kesukaan pada suhu air laut 
yang berbeda-beda, sehingga untuk menentukan daerah penangkapan tuna harus 
disesuaikan dengan suhu air sesuai dengan jenis ikan tuna yang akan ditangkap, 
sedangkan T. albacores menyukai suhu perairan yang hangat seperti laut tropis 
(Gaspersz,1997 dalam Dahyar 2009) 
Menurut Ditjen Perikanan (1990), T. albacores dapat diklasifikasikan 
6 
sebagai berikut : 
Kingdom : Animalia 
Filum : Chordata 
Kelas : Pisces 
Ordo : Percomorphi 
Famili : Scombridae 
Genus : Thunnus 
Spesies : Thunnus albacores 
Adapun bentuk tubuh dari T. albacores dapat dilihat pada Gambar 2. 
Gambar 2. Thunnus albacores, 
Sumber : (Ditjen Perikanan, 1990).
7 
2.2 Mutu Ikan Tuna (Thunnus sp.) 
Mutu merupakan totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang 
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang dipersyaratkan. Mutu sering 
diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan terhadap 
persyaratan atau kebutuhan yang diberikan oleh pelanggan (Soen’an, 2004). 
Menurut Nasution (2004), mutu adalah sesuatu yang memenuhi atau sama dengan 
persyaratan (Conformance To Recuirements). Komoditas ikan yang sedikit saja 
dari persyaratan, maka dapat dikatakan tidak berkualitas dan dapat ditolak oleh 
perusahaan yang menjadi tujuan distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah 
sesuai dengan keinginan pelanggan, dan kebutuhan sebuah perusahaan. 
Ikan tuna dalam perdagangannya dikelompokkan menurut standar atau 
mutu daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan 
D. Pengujian tingkatan mutu ikan dilakukan dengan cara menusukkan coring 
tube yaitu suatu alat berbentuk batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube 
dimasukkan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri, 
sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. 
Mutu dengan grade A (terbaik) diekspor ke Jepang, grade B dan C 
biasanya diekspor ke Amerika dan Uni Eropa, sedangkan grade C dan D 
dipasarkan lokal. Ciri-ciri untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut 
(Fadly diacu dalam Cahya, 2010): 
1. Grade A 
Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut: 
a. Warna daging untuk tuna madidihang adalah merah seperti darah segar dan 
untuk tuna mata besar dagingnya berwarna merah tua seperti bunga mawar, 
serta tidak ada pelangi. 
b. Mata bersih, terang, dan menonjol. 
c. Kulit normal, warna bersih, dan cerah. 
d. Tekstur daging untuk madidihang tuna keras, kenyal, dan elastis dan untuk 
Tuna Mata besar dagingnya lembut, kenyal dan elastis. 
e. Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh.
8 
2. Grade B 
Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut: 
a) Warna daging merah, terdapat pelangi otot daging agak elastis, jaringan 
daging tidak pecah. 
b) Mata bersih, terang dan menonjol. 
c) Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir. 
d) Tidak ada kerusakan fisik. 
3. Grade C 
Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut: 
a) Warna daging kurang merah dan ada pelangi. 
b) Kulit normal dan berlendir. 
c) Otot daging kurang elastis. 
d) Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau 
dada. 
4. Grade D 
Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut: 
a) Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar. 
b) Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi. 
c) Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah. 
d) Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan, seperti daging ikan yang sudah sobek, 
mata ikan yang hilang, dan kulit terkelupas. 
2.3 Tuna Loin Beku 
Tuna loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku 
tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan penerimaan, penyiangan atau 
tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi 
mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, 
pelabelan dan penyimpanan (BSN 2006). Penanganan dan pengolahan ikan tuna 
loin menurut SNI 01-4104.3-2006 adalah sebagai berikut:
9 
1. Penerimaan 
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk 
mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, 
cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C. 
2. Penyiangan atau tanpa penyiangan 
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan 
cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat 
dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya 
dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C. 
3. Pencucian 
Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir 
secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk 
maksimal 4,40 C. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan 
darah yang menempel di tubuh ikan sehingga bebas dari kontaminasi bakteri 
pathogen (SNI, 2006). 
4. Pembuatan Loin 
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian 
secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan 
saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,40 C. Pembuatan loin ini 
bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan 
dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen (SNI, 2006). 
5. Pengulitan dan perapihan 
Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga 
bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta 
tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,40 C (SNI, 2006). 
6. Sortasi Mutu 
Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, 
duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, 
cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C (SNI, 2006). 
7. Pembungkusan (Wrapping) 
Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual 
vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara
cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 
4,4°C (SNI, 2006). 
8. Pembekuan 
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku 
(freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal - 
180C dalam waktu maksimal 4 jam (SNI, 2006). 
9. Penimbangan 
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah 
dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap 
mempertahankan suhu pusat produk maksimal -180C. Tujuan dari penimbangan 
ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah 
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen (SNI, 2006). 
10. Pengepakan 
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan 
plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter 
sehingga melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi 
dan penyimpanan serta sesuai dengan label(SNI, 2006). 
11. Pengemasan 
Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, 
pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya 
kontaminasi dari luar terhadap produk. 
12. Pelabelan dan pemberian kode 
Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi 
tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan 
disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama dan alamat lengkap unit 
pengolahan secara lengkap; bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan 
tersebut; tanggal, bulan dan tahun produksi; dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. 
13. Penyimpanan 
Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu 
maksimal -250C dengan penyimpangan suhu maksimal ± 20C. Penataan produk dalam 
gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat 
merata dan memudahkan pembongkaran. 
10
11 
2.4 Histamin 
Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino 
histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase (Sumner et a,. 2004). Amina 
biogenik adalah komponen biologi aktif yang secara normal diproduksi melalui 
proses dekarboksilasi dari asam amino dan ada dalam berbagai makanan seperti 
ikan, produk dari ikan, daging merah, keju, dan makanan fermentasi. Keberadaan 
amina biogenik dalam makanan ini merupakan indikator makanan itu sudah busuk 
(Keer et al, 2002). 
Histidin yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan 
terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi 
kandungan histidin. Kandungan histidin dalam daging ikan tuna segar berkisar 
dari 745 sampai 1460 mg%. Ikan-ikan berdaging putih kandungan histidin rendah 
dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg% setelah dibiarkan 
48 jam pada suhu 250 C (Keer et al, 2002). 
Histamin terbentuk karena adanya kesalahan selama proses penanganan 
dan pengolahan. Jika pada saat penangkapan tidak ditangani dengan tepat maka 
histidin yang terkandung pada ikan jenis scombroid tersebut dapat diubah menjadi 
senyawa toksik yang disebut dengan histamin (Dalgaard et al, 2008). Penanganan 
adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada tuna. 
Histamin umumnya terbentuk pada temperatur tinggi (>200 C). Pendinginan dan 
pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat 
penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin. 
Pembentukan histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan 
aktivitas bakteri. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas enzim selama 
proses autolisis lebih rendah dibandingkan dengan histamin yang dihasilkan oleh 
aktivitas bakteri selama proses pembusukkan berlangsung. Pada kondisi optimum 
jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak 
dapat melebihi 10-15 mg/100 gram daging ikan. (Dalgaard et al, 2008).
Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim 
dekarboksilase yang akan mengubah histidin dan asam amino lain pada daging 
ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), 
kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Eitenmiller dan 
De Souza, 1984 dalam Lehane dan Olley, 2000). Toksisitas histamin bertambah 
ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin 
(Rossi et al, 2002). 
Jika produksi enzim decarboxylase telah terjadi, maka akan terus menerus 
dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu 
dingin hingga 40 C. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah 
disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteria jenis Proteus 
morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens, 
Enterobacter aerogenes,, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella 
planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang 
menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 – 
300C (Kanki et al., 2002). Bakteri Morganella psychrotolerant dan 
Photobacterium phosphoreum dapat memproduksi histamin pada suhu dingin, 
dimana sebanyak 31% ikan yang disimpan pada suhu -10 C sampai 50 C terdapat 
histamin sampai kadar 500 ppm (Emborg dan Dalgaard, 2008). 
2.5 HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point) 
HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu 
sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses 
yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidak amanan 
pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). 
Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang digunakan untuk menilai 
bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada 
pencegahan. HACCP menekankan pentingnya mutu keamanan pangan, karena itu 
sebagai suatu sistem jaminan mutu keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan 
pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pangan mulai dari bahan baku 
sampai produk dikonsumsi (Muhandri dan Kadarisman 2006). 
12
HACCP adalah suatu sistem dengan pendekatan sistematik untuk 
mengakses bahaya-bahaya dan resiko-resiko yang berkaitan dengan pembuatan, 
distribusi dan penggunaan produk pangan. Sistem HACCP ini dikembangkan atas 
dasar identifikasi titik pengendalian kritis (Critical control point) dalam tahap 
pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya. (Thaheer 2005). 
13 
2.5.1 Prinsip HACCP 
Secara umum, program HACCP didasarkan pada tujuh prinsip yang 
dikembangkan oleh NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological 
Criteria for Foods). Ketujuh prinsip itu adalah (Muhandri dan Kadarisman 2006) : 
1) Analisa bahaya (hazzard), identifikasi, dan tindakan pencegahan 
Bahaya adalah suatu kondisi atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun 
fisika, yang dapat menyebabkan makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau 
merugikan konsumen. Proses identifikasi atas bahaya kerugian di dalam suatu 
proses atau produk yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan 
ekonomi. 
2) Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP) 
Control Point (CP) adalah suatu titik, tahap atau prosedur yang memiliki 
faktor-faktor biologis, kimiawi, maupun fisikawi dapat dikendalikan. Critical 
Control Point (CCP) adalah suatu titik, tahap atau prosedur yang pengendaliannya 
dapat ditetapkan, bahayanya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai 
batas yang diterima. Selain itu CCP adalah titik kritis dimana bila gagal 
melakukan tindakan-tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan 
resiko penolakan konsumen. 
3) Penetapan batas-batas kritis (Critical limit) 
Batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan 
pencegahan pada suatu CCP. Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas 
kritisnya. Batas-batas kritis tersebut meliputi : persyaratan teknis/administrasi, 
definisi batasan penolakan, toleransi atas persyaratan penolakan. 
4) Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring) 
Pemantauan adalah tindakan yang terencana dan berurut dari suatu 
observasi atau pengukuran untuk mengetahui apakah CCP berada dalam control, 
dan untuk menghasilkan catatan yang akurat untuk keperluan verifikasi. Tujuan
pemantauan adalah untuk menelusuri operasi dari suatu proses, untuk mengetahui 
apakah suatu proses harus dirubah/disesuaikan, untuk mengidentifikasi 
penyimpangan yang terjadi pada suatu CCP, untuk menyediakan dokumen 
tertulis dari sistem pengendalian proses. 
5) Penetapan tindakan koreksi (Corective action) 
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika suatu 
penyimpangan atau kesalahan untuk memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan 
penetapan tindakan koreksi adalah untuk mengoreksi dan menghilangkan 
penyebab penyimpangan dan mengembalikan control proses, untuk 
mengidentifikasi produk yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan 
menentukan posisinya. 
6) Penetapan sistem pencatatan (Record keeping) 
Catatan yang harus disimpan sebagai bagian dalam sistem HACCP. Semua 
yang dipantau harus dicatat, semua tindakan koreksi harus dicatat, agar lebih 
sistematis pencatatan dilakukan menggunakan formulir yang distandarkan, 
pedoman dalam membuat formulir yaitu memuat tentang semua informasi yang 
dipantau/koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan 
seperti (waktu, tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan pencatatan, 
dan lain-lain), akan lebih baik bila semua data yang dikumpulkan dapat 
dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan mudah dapat 
dievaluasi. 
7) Penetapan prosedur verifikasi 
Verifikasi adalah penerapan dari suatu metode, prosedur, pengujian dan 
audit sebagai tambahan kegiatan pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan 
kesesuaian dengan “Rancangan HACCP” atau perlu dimodifikasi. Untuk 
menjamin dan memastikan bahwa program Hazzard Analisis Critical Control 
Point) (HACCP) berjalan di dalam jalur yang tepat dan dilakukan dengan baik, 
secara internal maupun eksternal. Secara internal oleh pihak manajemen 
perusahaan sendiri (plant manajer yang ditunjang oleh uji laboratorium sebagai 
pendukung), secara eksternal oleh pihak pemerintah yang dilakukan secara wajib 
dan rutin. 
14
2.5.2 Penerapan HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point) 
HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan 
manajemen industri pangan untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut 
telah memproduksi produk yang aman setiap saat, memberikan bukti sistem 
produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri pada 
produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan 
akan konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi standar dan 
regulasi pemerintah, dan menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien 
(Dian, 2012). 
Menurut Abdurohman (2007), aplikasi HACCP terdiri dari 12 tahapan, 
15 
yaitu: 
1. Menyusun tim HACCP 
Tim ini haru dipilih oleh pihak manajemen (komitmen pihak manajemen 
adalah syarat paling awal yang harus ada untuk mensukseskan studi). 
Perencanaan, organisasi dan identifikasi sumber-sumber daya yang penting 
adalah tiga kondisi yang penting untuk penerapan metode HACCP yang berhasil. 
Kesuksesan studi ini tergantung pada pengetahuan dan kompetensi 
anggota-anggota tim terhadap produk, proses dan potensi bahaya yang perlu 
diperhatikan, pelatihan yang sudah mereka jalani tentang prinsip-prinsip metode 
ini, dan kompetensi pelatih. Tergantung pada kasusnya, tim ini bisa terdiri dari 4- 
10 orang yang menguasai produk proses dan potensi bahaya yang hendak 
diperhatikan. Sebagai acuan, tim HACCP ini terdiri dari pemimpin produksi, 
quality control, bagian teknis dan perawatan. 
2. Mendeskripsikan produk 
Deskripsi produk menjelaskan karakteristik umum (komposisi, volume, 
struktur), bahan pengemas dan cara pengemasan, kondisi penyimpanan, informasi 
tentang pelabelan, instruksi tentang pengawetan dan penggunaannnya, kondisi 
distribusi, dan kondisi penggunaan oleh konsumen. Pada prakteknya, informasi ini 
juga perlu dikumpulkan untuk bahan mentah, bahan baku, produk antara, dan 
produk yang harus diproses ulang jika bahan-bahan tersebut memiliki 
karakteristik tertentu.
16 
3. Identifikasi Pengguna 
Tujuan penggunaan harus didasarkan penggunaan yang diharapkan oleh 
konsumen akhir. Pada kasus-kasus tertentu, populasi yang sensitif harus 
dipertimbangkan, tujuannya adalah : 
a. Untuk mendaftar umur simpan yang diharapkan, penggunaan produk secara 
normal, petunjuk penggunaan, penyimpangan yang dapat diduga dan masih 
masuk akal, kelompok konsumen yang akan menggunkaan produk tersebut, 
dan kelompok konsumen pada sensitif terhadap produk tersebut. 
b. Untuk menentukan konsistensi petunjuk penggunaan dengan kondisi 
penggunaan yang sesungguhnya. 
c. Untuk memastikan bahwa petunjuk pelabelan produk akhir sesuai dengan 
peraturan yang dibuat. 
d. Jika perlu untuk mengusulkan modifikasi petunjuk penggunaan, bahkan produk 
atau proses yang baru untuk menjamin keamanan konsumen. 
4. Penyusunan Bagan Alir Proses 
Diagram alir adalah penyajian yang mewakili tahapan-tahapan operasi 
yang saling berkesinambungan. Diagram alir proses akan mengidentifikasi 
tahapan-tahapan proses yang penting (dari penerimaan hingga perjalanan akhir 
produk yang sedang dipelajari). Diagram alir adalah suatu gambaran yang 
sistimatis dari urutan tahapan atau pelaksanaan pekerjaan yang dipergunakan 
dalam produksi atau dalam menghasilkan pangan tertentu. Bentuk diagram alir 
tergantung perusahaan, dapat berbentuk kata dan garis (lebih mudah dimengerti) 
atau menggunakan simbol. 
5. Pemeriksaan Bagan Alir di Lapangan 
Tujuan dari tahapan ini adalah memvalidasi asumsi-asumsi yang dibuat 
berdasarkan tahapan-tahapan proses serta pergerakan produk dan pekerja di lokasi 
pengolahan pangan. Seluruh anggota tim HACCP harus dilibatkan. Proses 
verifikasi tahap ini harus diprioritaskan pada tinjauan tentang proses yang 
dilakukan di pabrik pada waktu-waktu yang berbeda pada saat operasi, termasuk 
pada shift yang berbeda.
Jika tahap ini tidak dilakukan dengan teliti maka analisa yang dilakukan 
selanjutnya bisa keliru. Potensi bahaya yang sesungguhnya bisa tidak 
teridentifikasi dan titik-titik yang bukan titik pengendalian kritis teridentifikasi 
sebagai CCP. Dengan demikian perusahaan telah membuang-buang sumber daya 
dan tingkat keamanan produk menjadi berkurang. 
6. Analisis Bahaya Pada Setiap Tahap dan Cara Pencegahannya 
Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan menilai informasi 
mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya untuk menentukan 
mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan dan harus ditangani 
dalam rencana HACCP. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menentukan potensi 
bahaya yang mana yang sepenuhnya telah dapat dikendalikan dengan upaya 
pengendalian yang telah dilakukan pada program yang telah disyaratkan 
sebelumnya, bangunan, peralatan, sanitasi, pelatihan perseorangan, penyimpanan, 
dan transportasi. 
Masing-masing upaya pengendalian perlu dibuat dalam bentuk resmi ke 
dalam prosedur yang didefinisikan dengan baik atau instruksi kerja yang dibuat 
oleh tim HACCP dan keefektifannya perlu dikaji ulang dengan 
mempertimbangkan seluruh informasi ilmiah yang telah dikumpulkan pada tahap 
pendahuluan protokol. 
7. Menentukan Titik Pengendalian Kritis 
Critical Control Point (CCP) adalah suatu langkah pengendalian suatu 
titik, tahapan dari suatu proses yang dapat dilakukan dan perlu diterapkan untuk 
mencegah bahaya keamanan pangan atau menguranginya sampai pada tingkat 
yang dapat diterima. Untuk mengidentifikasi CCP biasanya dapat menggunakan 
rumus Decision Tree (Diagram 1). 
17
Apakah ada tindakan pengendalian 
yang bersifat mencegah ? 
Lakukan modifikasi tahapan, 
proses atau produk 
Apakah pengendalian pada tahap ini 
diperlukan untuk pengamanan ? 
Ya 
Tidak Bukan TKK Berhenti (*) 
Apakah tahapan dirancang khusus untuk 
menghilangkan atau mengurangi bahaya 
yang mungkin terjadi sampai tingkata 
yang dapat diterima ? (**) 
Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi 
melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini 
meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima ? (**) 
Ya Tidak Bukan TKK Berhenti (*) 
Akankah langkah berikutnya menghilangkan bahaya yang 
teridentifikasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya sampai 
tingkatan yang dapat diterima? (**) 
Bukan TKK Berhenti (*) 
18 
P1 
P 2 
P 3 
P 4 
Ya Tidak 
Ya 
Tidak 
Ya Tidak 
TITIK KENDALI 
KRITIS (TKK) 
Gambar 3 :Diagram contoh pohon keputusan untuk identifikasi TKK (SNI, 2011)
19 
Keterangan : 
* Lanjutkan kebahaya yang diidentifikasi berikutnya dalam uraian proses. 
** Tingkat yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima perlu diidentifikasi 
disemua tujuan dalam mengidentifikasi TKK dari rencana HACCP. 
8. Penetapan Batas Kritis untuk Masing-masing CCP 
Critical limit/batas kritis adalah suatu kriteria yang memisahkan antara 
kondisi yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Tahapan ini harus 
memungkinkan untuk dibuat pada masing-masing CCP dari satu atau beberapa 
batas kritis, berikut pengawasannya yang menjamin pengendalian CCP. Suatu 
batas kritis adalah kriteria yang harus diperoleh dengan cara pengendalian yang 
berhubungan dengan CCP. Parameter untuk penyusunan batas kritis harus dipilih 
sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk melakukan tindakan perbaikan 
ketika batas kritis terlampaui. Kriteria yang sering digunakan untuk batas kritis 
yaitu: suhu, bahan pengawet, kandungan air, pH, kadar chloor, kadar garam, berat 
tuntas, isi dalam kemasan. 
9. Penetapan Tindakan Pemantauan Pada Setiap CCP 
Monitoring adalah tindakan melakukan serentetan pengamatan atau 
pengukuran yang direncanakan dari parameter pengendali untuk menilai apakah 
CCP dalam kendali. Metode yang dapat memberikan jawaban yang cepat akan 
lebih baik untuk digunkan. Hal ini terutama berupa pengamatan fisik, pengukuran 
fisik atau kimia. Metode mikrobiologi jarang digunakan sebab terlalu lama, terlalu 
banyak sampel yang harus diambil agar hasilnya nyata secara statistik. Disisi lain, 
metode analisa mikrobiologi berguna untuk menyusun analisis potensi bahaya dan 
mengkaji ulang bahwa sistem tersebut bekerja dengan efisien. 
10. Menetapkan Tindakan Koreksi Jika Terjadi Penyimpangan 
Corrective action/tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus 
diambil apabila hasil pemantauan pada titik kendali kritis menunjukkan 
kehilangan kendali. Tindakan koreksi merupakan tindakan yang harus diambil 
ketika hasil pemantauan pada CCP menunjukan kegagalan pengendalian. Semua 
penyimpangan yang terjadi tidak dapat diantisipasi sehingga tindakan perbaikan 
tidak boleh dilakukan sebelumnya, dengan demikian disarankan untuk menduga 
kasus penyimpangan yang paling sering terjadi dan atau mendefinisikan
mekanismenya, pengaturannya, pihak yang berwenang, serta tanggung jawab 
secara umum untuk diterapkan setelah terjadi penyimpangan apapun juga. 
20 
11. Penyusunan Prosedur Verifikasi 
Kegiatan verifikasi terdiri dari dua kegiatan yaitu, validasi dan verifikasi. 
Validasi adalah kegiatan memperoleh bukti bahwa unsur-unsur dari rencana 
HACCP berjalan efektif. Sedangkan verifikasi adalah penerapan metode, 
prosedur, pengujian dan cara penilaian lainnya disamping pemantauan untuk 
menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP. Tujuan dari verifikasi adalah 
untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja efektif. Tahapan ini meliputi 
prosedur pengkajian, pengujian, dan audit untuk mengkaji ulang bahwa sistem 
HACCP bekerja secara efektif, dan modifikasi yang harus dibuat di dlaam sistem 
HACCP dan dokumen pendukungnya ketika proses atau produk dimodifikasi. 
12. Penetapan Prosedur Pencatatan yang Efektif 
Prosedur HACCP harus di dokumentasikan dan harus sesuai dengan sifat 
dan ukuran operasi. Sistem pendokumentasian yang praktis dan tepat sangatlah 
penting untuk aplikasi yang efisien dan penerapan sistem HACCP yang efektif. 
Sistem ini juga harus menjelaskan bagaimana orang-orang yang ada di dalam 
pabrik dilatih untuk menerapkan rencana HACCP dan harus memasukan bahan-bahan 
yang digunakan dalam pelatihan pekerja. Tahapan penetapan prosedur 
pencatatan/dokumentasi dari rencana HACCP umumnya dilaksanakan sebelum 
dilakukannya penetuan prosedur verifikasi, akan tetapi dapat pula dilakukan 
setelah prosedur verifikasi selesai disusun. Jika dokumentasi rencana HACCP 
disusun setelah prosedur verifikasi dilaksanakan, maka dokumen HACCP juga 
mencakup prosedur verifikasi yang telah ada.
BAB III 
METODE PELAKSANAAN 
3.1 Tempat Dan Waktu Pelaksanaan 
Praktek kerja lapangan dilaksanakan mulai pada 01 - 31 Maret 2013 di 
CV. Cahaya Mandiri, Desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten 
Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. 
21 
3.2 Alat dan bahan 
 Alat 
1. Timbangan 14. Injeksi Tuna Loin 28 jarum 
2. Coring Tube 15. Timbangan digital 
3. Golok 16. spons 
4. Meja 17. Topi 
5. Keranjang. 20 kg dan 50 kg 18. Bots 
6. Sikat 19. Masker 
7. Pisau Potong 20. Mesin vacuum 
8. Pisau Fillet 21. Alas tangan 
9. Pisau tulang 
10. Wadah penampungan air 
11. Talenan 100 x 100 cm 
12. Talenan 50 cm x 100 cm 
13. Thermometer 
 Bahan 
Lembar kuisioner 
3.3 Metode yang digunakan 
 Metode pengumpulan data 
1) Data primer 
a) Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan 
karyawan. 
b) Observasi partisipatif melalui pengamatan langsung di CV. 
Cahaya Mandiri dan mengikuti semua proses produksi.
22 
2) Data sekunder 
Data penunjang diperolah dari studi literature, buku, laporan hasil 
penelitian dan lain sebagainya. 
 Metode analisis data 
Data yang terkumpul selama pelaksanaan dilapangan dianalisis 
secara deskriptif. Dengan pencarian informasi yang bersumber dari 
data primer yaitu mengumpulkan data langsung dari pengamatan, 
wawancara dan turun langsung dalam proses pengolahan tuna loin. 
3.4 Objek Pengamatan 
Adapun objek yang diamati dalam praktek kerja lapang (PKL) ini adalah 
Penerapan HACCP pada CV. Cahaya Mandiri mulai dari pembentukan TIM, 
HACCP, deskripsi produk, identifikasi pengguna, penyusunan diagram alir proses 
produksi, konfirmasi bagan alir dilapangan, analisis potensi bahaya, identifikasi 
CCP, penetapan batas kritis, tindakan pemantauan untuk setiap CCP, tindakan 
koreksi, prosedur verifikasi dan dokumentasi HACCP.
BAB IV 
HASIL DAN PEMBAHASAN 
23 
4.1 Keadaan Umum Perusahaan 
Pada awalnya perusahaan Cahaya Mandiri dikenal dengan sebutan CV. 
Era Mandiri. Perusahaan ini mulai berdiri pada tahun 1991 yang bertempat di 
desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango dan 
bekerja sama dengan PT. Sinar Ponula Deheto (SPD). Selama 13 tahun yakni 
dari tahun 1991-2004 perusahaan Era Mandiri terikat kontrak dengan PT. Sinar 
Ponula Deheto. 
Tahun 2004 perusahaan Era Mandiri mulai berdiri sendiri dengan lokasi 
pabrik di Kelurahan Tenda (Pabean) selama 5 tahun, sehingga tepatnya pada 
tanggal 21 Maret 2010 perusahaan Era Mandiri berubah menjadi CV. Cahaya 
Mandiri hingga sekarang yang bertempat di Desa Botu Barani, Kecamatan 
Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Perusahaan ini 
bergerak dibidang pembekuan loin tuna, dengan hasil rata-rata per bulan yakni 
13 ton dan tergantung pada ketersediaan/masuknya bahan baku. Daerah 
pengumpulan bahan baku yang dijadikan produk loin tuna beku hanya seputaran 
Bone Pesisir sehingga kegiatan produksi tidak berjalan aktif. 
CV. Cahaya Mandiri lokasinya strategis dan di dukung oleh beberapa 
faktor yakni lokasi bangunannya dekat dengan pinggiran pantai sehingga 
memudahkan nelayan untuk memasukan ikan serta memiliki alat tangkap yang 
merupakan hasil kerja sama pimpinan perusahaan dengan kepala Dinas 
Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Hasil produksi yakni produk loin 
tuna beku di kirim ke PT. Era Mandiri Jakarta karena CV. Cahaya Mandiri 
merupakan cabang pabrik pengolahan tuna loin dari PT. Era Mandiri. Produk 
yang dikirim dilakukan uji Histamin dan Mikrobiologi dan selanjutnya di ekspor 
kebeberapa Negara tetangga, bahkan ada juga yang di ekspor ke Amerika 
dengan harga jual produk tuna loin beku yakni Rp. 95.000/kg. 
4.1.2 Struktur Organisasi Perusahaan 
CV. Cahaya Mandiri memiliki jumlah karyawan 12 orang dengan masing-masing 
bagian yakni :
ASEP KOSITA 
Kepala Produksi & QC 
Karyawan Produksi 
1. Oyong 4. Santy 7. None 
2. Manto 5. Amhat 8. Ais 
3. Alhy 6. Anas 
24 
1. Pimpinan Perusahaan 
Pimpinan perusahaan CV. Cahaya Mandiri memiliki tanggung jawab penuh 
untuk mengawasi proses produksi berlangsung serta memiliki wewenang dalam 
memutuskan dan menguji kualitas mutu bahan baku ikan tuna secara organoleptik 
sebelum masuk ke ruang produksi. 
2. Administrasi 
Tanggung jawab seorang administrasi adalah mengatur dan mencatat semua 
pembukuan yang menyangkut tentang keuangan perusahaan baik mengenai 
pengeluaran, keuntungan, maupun gaji karyawan. 
3. Kepala Produksi 
Kepala produksi memiliki tanggung jawab dan wewenang pada proses 
produksi tuna loin dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan 
beku. 
4. Kepala Mekanik 
Tugas dari seorang kepala mekanik yakni mengawasi semua yang 
berhubungan dengan mesin, baik mesin untuk penerangan, mesin chilling, ABF, 
serta cold storage. 
5. Kepala Sanitasi 
Kepala sanitasi bertanggung jawab mengenai kebersihan dan kesehatan 
karyawan sebelum dan sesudah proses produksi loin tuna. Adapun Struktur 
Organisasi perusahaan dapat dilihat pada Gambar 4. 
Pimpinan 
Siti Rohana 
Administrasi 
Rohim 
Elin 
Kepala Mekanik 
Santo 
Kepala Sanitasi 
Gambar 4. Struktur Organisasi Perusahaan (Sumber CV. Cahaya Mandiri).
4.2 Penerapan HACCP Dalam Proses Pengolahan Tuna Beku 
Penerapan prinsip-prinsip HACCP pada CV. Cahaya Mandiri terdiri dari 
25 
tugas-tugas sebagai berikut : 
1. Pembentukan Tim HACCP 
Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri terdiri dari 3 orang, yang masing-masing 
adalah Manajer, Kepala Produksi, quality control dan Kepala Sanitasi. 
Untuk kepala produksi dan QC jabatannya dipegang oleh satu orang karena 
diantara karyawan belum ada yang memiliki sertifikat HACCP selain dari 3 orang 
tim. Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada tabel 2. 
Tabel 2. Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri 
HACCP TEAM 
Rohim Kepala Produksi dan QC 
Elin Kepala Mekanik 
Santo Kepala Sanitasi 
Sumber: CV. Cahaya Mandiri 
Jumlah tim sebaiknya maksimum 5 orang dan minimum 3 orang yang 
memiliki keahlian dibidangnya dengan dibuktikan adanya sertifikat pada masing-masing 
tim HACCP. Sebagai acuan, tim HACCP ini terdiri dari pemimpin 
produksi, quality control, bagian teknis dan perawatan (Abbdurohman, 2007). 
2. Deskripsi Produk 
Tahapan aplikasi HACCP ini bertujuan untuk mengetahui komposisi utama 
produk, karakteristik produk, pengemasan, struktur kimia/fisik, informasi 
keamanan, cara penyimpanan, perlakuan pengolahan, petunjuk penggunaan dan 
metode pendistribusian. Deskripsi produk pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat 
pada Tabel 3. 
Tabel 3. Deskripsi produk pada CV. Cahaya Mandiri 
Nama Produk Frozen Tuna 
Nama Spesies Thunnus Albacores, Thunnus Obesusu 
Asal bahan baku 
Penangkapan dengan menggunakan kapal Hand 
Line diperairan Indonesia 
Penerimaan Bahan baku 
Dari Pemasok, dibawa menggunakan mobil pick 
up dengan suhu <4,40C 
Produk Akhir Tuna Loin Beku
26 
Tipe Kemasan 
Kemasan dalam : Menggunakan plastik PE dan 
di vacuum Kemasan Luar : Menggunakan Carton, 
Styrofoam 
Penyimpanan Dalam ruangan beku dengan suhu diatur di-250C 
Daya Awet Satu tahun dalam kondisi beku (suhu <-18 0C) 
Label/Spesifikasi 
Kode Perusahaan, Tanggal Produksi, Berat Bersih, 
Mutu. 
Penggunaan Produk akhir Untuk dimasak sebelum dikonsumsi. 
Sumber : CV. Cahaya Mandiri 
3. Identifikasi Pengguna 
Produk tuna loin beku pada CV. Cahaya Mandiri mempunyai segmen 
pasar untuk masyarakat, biasanya konsumen mengkonsumsi produk tuna loin ini 
sudah dalam bentuk olahan yang lebih lanjut, tapi untuk konsumen Asia (Jepang) 
produk Tuna loin ini dikonsumsi dalam keadaan segar tanpa ada pengolahan yang 
lebih lanjut biasanya dibuat Sashimi. Menurut SNI, 2011 Identifikasi pengguna 
sebaiknya didasarkan pada kegunaan yang diharapkan dari produk oleh 
konsumen. 
4. Menyusun Bagan Alir 
Untuk memudahkan proses pengolahan maka CV. Cahaya Mandiri membuat 
diagram alir yang disusun oleh tim HACCP. Diagram alir tersebut mencakup 
semua tahapan proses pengolahan tuna loin beku mulai dari penerimaan bahan 
baku sampai pada proses pendistribusian. Diagram alir proses disusun dengan 
tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses 
ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan 
kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya 
yang ingin mengerti proses dan verifikasinya. 
Menurut SNI (2011), Bagan alir sebaiknya mencakup semua tahapan 
dalam proses untuk produk tertentu. Bagan alir yang sama dapat digunakan untuk 
sejumlah produk yang dihasilkan menggunakan tahapan proses yang serupa. 
Ketika menerapkan HACCP untuk suatu operasi tertentu, pertimbangan sebaiknya 
diberikan pada tahapan sebelumnya dan yang mengikuti operasi tersebut. Adapun 
bagan alir pada CV. Cahaya Mandiri adalah sebagai berikut (Diagram 2)
1.Penerimaan dan Pemilihan 
3.Pendinginan Sementara 2.Penimbangan 1 
4.Pencucian 5.Buang Kepala dan Loin 
6.Buang Kulit & Pengikisan 
7.penimbangan 2 8.Perlakuan Clear Smoke 
27 
9.Pendinginan 2 
10.Perlakuan Ozon 
12.Pengemasan & Penimbangan 11.Retouching 
13.Vacuum 
14.Pembekuan 15.Pengepakan 
16.Penyimpanan Beku 
17.Pengisian Container 
CCP 2 
CCP 1 
Gambar 5. Diagram Alir Proses Pengolahan (Sumber CV. Cahaya Mandiri)
28 
5. Konfirmasi Bagan Alir Dilapangan 
Untuk memastikan kebenaran dari diagram alir yang telah dibuat, tim 
HACCP pada CV. Cahaya Mandiri selalu melakukan pengecekan secara langsung 
dari penerimaan dan pemilihan bahan baku sampai pada penyimpanan beku, 
apakah setiap karyawan sudah melakukan penerapan GMP dan SSOP pada setiap 
proses pengolahan tuna loin. Untuk Pengecekan diagram alir pada CV. Cahaya 
Mandiri dilakukan oleh kepala produksi dan kepala sanitasi. Pengecekan 
dilakukan pada saat pasokan bahan baku melimpah dan jika bahan baku yang 
masuk sedikit biasanya pengecekan hanya dilakukan oleh kepala produksi. 
Menurut Mortimore dan Carrol (2005), keakuratan diagram alir harus diperiksa 
dengan mengamati jalannya proses dan membandingkan setiap langkah proses 
dengan diagram. 
6. Analisis Potensi Hazzard 
Dari hasil analisis Bahaya potensial yang dilakukan oleh Tim HACCP CV. 
Cahaya Mandiri mengelompokkan 3 jenis bahaya yang dapat terjadi pada produk 
tuna loin beku yaitu bahaya fisik, Biologis dan Kimia. Untuk bahaya fisik yang 
terindentifikasi pada penerimaan bahan baku, dimana terdapat kecacatan fisik 
seperti adanya luka tusukan pada daging ikan dan tekstur daging ikan yang kurang 
baik. Bahaya biologis yang dapat teridentifikasi pada CV. Cahaya Mandiri yaitu 
E.Coli, Salmonela, V.Cholera, dan V.Parahemalyticus. Tindakan pencegahan 
yang dilakukan yaitu dengan membunuh bakteri dengan menggunakan 
desinfektan pada tahapan proses produksi. Bahaya kimia yang teridentifikasi yaitu 
pembentukan Histamin pada saat proses produksi berlangsung. Pencegahan yang 
dilakukan oleh CV. Cahaya Mandiri untuk menghindari terjadinya pembentukan 
Histamin yaitu dengan menerapkan GMP dan SSOP pada setiap tahapan produksi. 
Untuk lebih jelasnya Analisis bahaya pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada 
Lampiran 1 
Penentuan bahaya dilakukan pada setiap tahapan proses produksi, 
sehingga bahaya yang teridentifikasi dapat dengan segera ditangani. Tindakan 
pencegahan merupakan tindakan penghambatan bahaya ke dalam produk dan 
mengacu pada prosedur operasi dimana pada setiap tahap pekerja dipekerjakan 
(Sarwono, 2007)
7. Identifikasi Critical Control Point (CCP) 
Penentuan CCP pada proses pengolahan tuna loin beku di CV. Cahaya 
Mandiri dilakukan dengan menerapkan pohon keputusan, yang berisi urutan 
pertanyaan dalam menentukan apakah termasuk suatu titik kendali kritis (lihat 
Gambar 3). Mungkin ada lebih dari satu CCP dimana pengendalian diterapkan 
untuk mengatasi bahaya yang sama. Penentuan suatu CCP dalam sistem HACCP 
dapat dipermudah dengan penerapan pohon keputusan, yang menunjukan suatu 
pendekatan yang pemikiran yang logis (SNI, 2011). 
Penentuan CCP pada CV. Cahaya Mandiri dalam setiap proses pengolahan 
29 
adalah sebagai berikut : 
A. Penerimaan Bahan Baku 
CV. Cahaya Mandiri mendapat pasokan bahan baku berasal dari nelayan 
lokal dan armada kapal tuna yang merupakan hasil kerja sama pimpinan 
perusahaan dengan kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Ikan 
tuna dari pemasok dimasukkan ke ruang penerimaan dengan cepat dan hati-hati, 
kemudian diletakkan di tempat penyortiran. Tujuan pemilahan / penyortiran 
adalah memilih ikan yang bermutu baik untuk diolah menjadi loin. Untuk 
mendapatkan hasil ikan yang bermutu baik, maka dicek dengan menggunakan alat 
pengecek yakni stecker yang dilakukan oleh karyawan berpengalaman (Cheker) 
dan diawasi langsung oleh kepala produksi. Ikan tuna selain dicek kualitasnya 
juga di sortir berdasarkan ukuran dan berat total. Ada tiga bahaya potensial yang 
akan terjadi yaitu pertumbuhan bakteri, Kerusakan fisik, dan histamin. 
Bahaya potensial yang pertama pada tahapan ini adalah pertumbuhan 
bakteri yang disebabkan kondisi sanitasi yang kurang baik diruang penerimaan. 
Bahaya ini bukan merupakan Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon 
keputusan yaitu : 
P1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 3 dengan prosedur sebagai berikut: 
 Ruangan penerimaan (lantai dan dinding) selalu dibersihkan dengan sabun, 
kemudian disanitasi menggunakan chlorine sebesar 100 sampai 150 ppm 
sebelum dan setelah proses produksi.
 Ruangan prosesing (lantai dan dinding) selalu dibersihkan menggunakan 
sabun, kemudian di sanitasi menggunakan chlorine sebesar 100 sampai 
150 ppm sebelum dan setelah proses produksi. 
Menurut SNI (2006), Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji 
secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian 
ditangani secara hati- hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk 
maksimal 4,40 C. 
Bahaya potensial kedua pada tahapan ini yaitu kerusakan fisik yang 
disebabkan oleh penanganan yang kasar oleh nelayan pada saat menagkap ikan 
tuna. Bahaya ini ditandai degan adanya kecacatan fisik seperti adanya luka 
tusukan pada daging ikan, tekstur daging ikan yang kurang baik serta ada 
kecurigaan lain seperti bau tidak sedap (anyir). Bahaya ini bukan merupakan 
Critical Control Point (CCP), Sesuai dengan jawaban pohon keputusan yang telah 
diterapkan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
karena bahaya kerusakan fisik ini dapat dikendalikan dengan melakukan 
pengamatan secara langsung terhadap ikan dengan melihat apakah terdapat luka 
dan bau tidak sedap, sehingga tidak ada tindakan pencegahan terhadap bahaya 
kerusakan fisik ini, dan apabila teridentifikasi adanya kerusakan fisik pada loin 
maka loin akan dikembalikan. 
Bahaya potensial ketiga pada tahapan ini yaitu kandungan Histamin yang 
disebabkan oleh peningkatan suhu. Selama penulis magang di CV. Cahaya 
Mandiri, penulis tak pernah melihat adanya kegiatan pengujian histamin yang 
dilakukan setiap kedatangan bahan baku. 
Menuurut pedoman atau panduan yang ada di CV. Cahaya Mandiri Upaya 
untuk mencegah bahaya kandungan histamin yaitu dengan melakukan pengujian 
histamin setiap kedatangan bahan baku di laboratorium eksternal dan akan ditolak 
jika kandungan Histamin > 50 ppm/ lot. 
Bahaya ini merupakan Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon 
30 
keputusan yaitu :
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Ya 
P 2 : Apakah bahaya ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya 
sampai tingkat yang diterima ? Tidak 
P 3 : Apakah kontaminasi dari bahaya yang telah diidentifikasi melewati tingkat 
yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang 
diperbolehkan ? Ya 
P 4 : Apakah Proses selanjutnya dapat menghilangkan bahaya atau mampu 
mengurangi bahaya sampai batas yang diterima ? Tidak 
Tindakan pencegahan yang dilakukan pada CV. Cahaya Mandiri untuk 
mengidentifikasi adanya pembentukan histamin pada tuna loin pada saat 
penerimaan bahan baku yang ditemui dilapangan yaitu: 
 Dilakukan pengukuran suhu pada setiap ikan yang masuk, apa bila suhu ikan 
diatas 80C maka ikan tuna tersebut dikembalikan karena diduga adanya 
kandungan histamin. 
 Melihat sampel daging ikan yang diambil dengan alat stecker, apabila 
daging ikan terlihat pucat dan teksturnya kurang padat maka ikan tuna 
dikembalikan karena diduga sudah terbentuknya kandungan histamin. 
 Di uji secara Organoleptik, apabila terdapat luka tusukan pada daging ikan 
dan kecurigaan lain seperti bau tidak sedap (anyir) maka ikan tuna 
dikembalikan karena diduga sudah terbentuknya kandungan histamin. 
Penanganan adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada 
tuna. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 °C). Pendinginan dan 
pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat 
penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin (Dalgaard et al., 2008). 
Produksi enzim decarboxylase telah terjadi, maka akan terus menerus 
dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu 
dingin hingga 40C. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah 
disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteria jenis Proteus 
morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens, 
Enterobacter aerogenes,, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella 
planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang 
31
menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 – 
300C (Kanki et al., 2002). 
Gambar 6. Penerimaan bahan baku dan Sortasi Mutu 
32 
B. Penimbangan 1 
Setelah ikan diterima diruangan penerimaan bahan baku, maka selanjutnya 
ikan ditimbang untuk mengetahui berat ikan tersebut. Pada proses ini bahaya 
potensial yang timbul adalah pertumbuhan bakteri (E. coli, Salmonela, dan V. 
cholera). Penyebab bahaya tersebut diakibatkan oleh kondisi sanitasi timbangan 
dan karyawan yang kurang baik. Bahaya pada proses ini tidak termasuk dalam 
Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan SSOP 4 dan SSOP 5. SSOP 4 yaitu kebersihan / 
kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut: 
 Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk. 
 Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus 
selalu dalam keadaan bersih. 
 Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap 
hari. 
 Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan. 
 Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan 
proses 
 Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar 
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet.
SSOP 5 Sanitasi Timbangan dengan prosedur: 
 Semua timbangan setelah proses produksi dibersihkan dengan sabun cair, 
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm. 
 Khusus untuk timbangan digital hanya papan cetakan yang disanitasi. 
 Timbangan yang digunakan telah dicek dan dikalibrasi sebelumnya. 
Cara penimbangan I dapat dilihat pada Gambar 7 
Gambar 7. Penimbangan ikan tuna 
33 
C. Pencucian (Washing) 
Setelah ikan tuna ditimbang kemudian diberi kode menurut jenis, berat, 
dan tingkat kesegaran (grade A, B, C, dan lokal). Ikan tuna yang sudah diberi 
kode, disikat dan dibersihkan dengan menggunakan air yang bercampur 
desinfektan (Mikrolene) dengan konsentrasi 25 ppm. Tujuan penggunaan 
desinfektan yakni untuk membersihkan bakteri yang ada dipermukaan tubuh ikan. 
Pencucian ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 8. 
Gambar 8. Pencucian ikan tuna dengan desinfektan (Mikrolene)
Bahaya potensial yang mungkin terjadi pada proses ini adalah kondisi 
sanitasi air yang kurang baik sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri. 
Bahaya ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon 
keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan GMP 3 dan SSOP 1 yaitu pencucian dengan 
prosedur sebagai berikut : 
 Setiap ikan dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan air mengalir, 
pencucian harus menggunakan air dingin untuk mempertahankan suhu 
pusat ikan tetap < 4.4 0C. 
 Pencucian dilakukan untuk menghilangkan sisa darah dan kotoran yang 
34 
masih menempel pada kulit ikan. 
SSOP 1 yaitu pengadaan air dan es dengan prosedur sebagai berikut : 
 Air diperoleh dari perusahaan air minum daerah (PDAM), kemudian 
dikumpulkan dalam bak penampungan yang tersedia diperusahaan. Jalur 
antara pipa air bersih dengan air kotor dipisahkan. 
 Air yang digunakan untuk penanganan produk telah melalui system filtrasi 
dan ultraviolet kemudian diberi larutan chlorine sebanyak 20 sampai 50 
ppm. 
 Pemeriksaan sensorik seperti rasa, warna dan bau dilakukan setiap hari 
sebelum air tersebut digunakan. 
D. Pendinginan Sementara (Temporary Chilling) 
Ikan tuna yang sudah dibersihkan, dimasukkan ke dalam bak pendingin 
yang sudah diberi es dengan suhu diatur antara 0°C sampai 4,4°C selama 15 
sampai dengan 20 menit. Tujuan dari pendinginan sementara ini adalah untuk 
menormalisasikan suhu tubuh ikan, karena suhu tubuh ikan di atas kapal 
penangkap tidak memenuhi standar karena adanya keterbatasan es yang 
digunakan sebagai media pendingin. Biasanya suhu tubuh ikan tuna pada saat 
dilakukan pembongkaran dari atas kapal penangkap hanya berkisar 5° C sampai 
6° C. Pendinginan sementara dapat dilihat pada Gambar 9
Gambar 9. Pendinginan sementara 
Bahaya potensial pada tahapan ini adalah peningkatan suhu yang dapat 
menyebabkan proses terbentuknya histamin pada ikan tuna. Bahaya pada proses 
ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon 
keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan GMP 4 yaitu pendinginan sementara dengan 
prosedur: 
 Sebelum ikan diproses, ikan yang telah dibersihkan terlebih dahulu 
dimasukkan kedalam bak pendingin yang berisi es. Suhu diset < 4.4 0C 
 Pendinginan bertujuan untuk mempertahankan suhu ikan tuna tetap < 4.4 
35 
0C 
E. Pemotongan Kepala dan Loin (De-heading and loining) 
Ikan tuna yang telah dicelupkan kedalam bak yang berisi es selama 15 atau 
20 menit, kemudian di angkat dan di potong bagian kepala, sirip, dan pangkal 
ekor secara manual menggunakan pisau potong yang bersih dan hati-hati. Cara 
pemotongan kepala yakni sayatan pisau dimulai dari sirip dada sampai sirip perut, 
setelah penyayatan kemudian ikan tuna di balik, dilanjutkan lagi dengan 
penyayatan seperti diatas sampai kepala ikan tuna terlepas. Proses pemotongan 
kepala ikan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pemotongan kepala ikan tuna 
Pemotongan kepala ikan dilakukan secara cepat dan meja yang digunakan 
untuk pemotongan slalu dibersihkan setiap satu kali pemotongan ikan dengan 
menggunakan air mengalir yang telah dicampur Multquant (desinfektan). Tujuan 
penggunaan Multquant adalah sebagai desinfektan (membunuh bakteri) dan untuk 
mencuci peralatan yang kontak langsung dengan produk. Multquant yang 
digunakan pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada Gambar 11. 
Gambar 11. Mult Quant 
Setelah pemotongan kepala selesai selanjutnya ikan tuna dibawa pada 
ruangan pengolahan untuk pembentukan loin. Pembentukan loin dimulai dengan 
membelah daging ikan menjadi 4 bagian sepanjang bagian gurat sisi (linear 
lateralis), lalu dilakukan pemotongan dari bagian perut yang disayat dengan 
menggunakan pisau stainless sampai pangkal ekor dan dari bagian punggung 
sampai pangkal ekor seperti tampak pada Gambar 12. 
36
Gambar 12. Pembuatan loin 
Jika ditemukan loin yang jelek maka loin tersebut langsung dipisahkan. 
Pemotongan dilakukan untuk memenuhi permintaan dari pembeli dan 
mempermudah pada saat pengolahan. Papan dan pisau pemotongan yang 
digunakan untuk pembentukan loin dibersihkan dengan air mengalir yang 
dicampur dengan Multquant untuk mengurangi resiko kontaminasi pada produk 
loin. Kepala dan tulang ikan yang telah terpisah dari daging tidak langsung 
dibuang, tetapi ditampung dalam bak plastik yang besar untuk dijual kembali pada 
pembeli. 
Bahaya potensial pada proses ini adalah peningkatan suhu yang dapat 
menyebabkan proses terbentuknya histamin dan kondisi sanitasi peralatan yang 
kurang baik. Bahaya yang pada proses ini tidak termasuk dalam Critical Control 
Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan GMP 5 dan SSOP 2. GMP 5 yaitu 
pemotongan kepala dan loin dengan prosedur: 
 Ikan tuna dipotong pada bagian kepala dan sirip secara manual dengan 
menggunakan pisau stainless yang bersih dan hati-hati, kemudian ikan 
dibelah menjadi empat bagian, masing-masing dua bagian perut dan dua 
bagian punggung. Jika ditemukan loin jelek maka loin tersebut langsung 
dipisahkan. 
 Pemotongan dilakukan untuk memenuhi permintaan dari pembeli dan 
37 
mempermudah pengolahan.
 Ikan dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan air mengalir, pencucian 
harus menggunakan air dingin untuk mempertahankan suhu pusat ikan 
tetap < 4.4 0C. 
SSOP 2 yaitu peralatan yang kontak langsung pada produk dengan prosedur 
sebagai berikut : 
 Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, 
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm. 
 Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan 
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm. 
 Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm 
38 
dan sebelum istirahat siang 
Menurut SNI (2006), Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah 
ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan 
secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 
4,40 C. 
F. Pembuangan Kulit (Skinning) dan Pengikisan (Trimming) 
Satu persatu loin tuna dibuang kulitnya menggunakan pisau trimming 
yang bersih dan hati-hati. Kulit ikan sesegera mungkin dipindahkan dari meja, 
kemudian dibawa ke tempat pembuangan untuk menghindari terjadinya 
kontaminasi. Setelah tuna loin dikeluarkan dari kulit kemudian dilakukan 
perapihan (Trimming). Trimming adalah proses perapihan, karena setelah di fillet 
kemungkinan daging masih terlihat berantakan sehingga perlu dilakukan 
perapihan yakni dengan menghilangkan sisa-sisa kulit, tulang, dan daging merah 
yang masih menempel pada daging tuna loin sebelum ditimbang. Proses trimming 
dilakukan oleh karyawan proses dan diawasi kepala produksi, lebih jelasnya dapat 
dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Pembuangan kulit ikan tuna. 
Bahaya potensial pada tahapan ini adalah pertumbuhan bakteri yang 
disebabkan oleh kondisi sanitasi peralatan yang kurang baik. Bahaya pada proses 
ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan 
yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan SSOP 2 yaitu peralatan yang 
kontak langsung pada produk dengan prosedur: 
 Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, 
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm. 
 Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan 
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm. 
 Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm 
39 
dan sebelum istirahat siang 
G. Penimbangan 2 (Weighing 2) 
Semua loin yang sudah dirapihkan kemudian ditimbang satu per satu 
secara cepat dan hati-hati menggunakan timbangan elektronik. Penimbangan 
bertujuan untuk mengetahui berapa banyak loin yang telah diproses kemudian 
di catat oleh petugas pencatat dan di awasi oleh kepala produksi, untuk 
penimbangan 2 dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Penimbangan 2 
Potensi bahaya pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang disebabkan 
oleh kondisi sanitasi timbangan dan karyawan kurang baik. Bahaya pada proses 
ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan 
yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 dan SSOP 5. SSOP 4 yaitu kebersihan 
/ kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut: 
 Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk. 
 Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus 
40 
selalu dalam keadaan bersih. 
 Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap 
hari. 
 Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan. 
 Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan 
proses 
 Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar 
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. 
SSOP 5 Sanitasi Timbangan dengan prosedur: 
 Semua timbangan setelah proses produksi dibersihkan dengan sabun cair, 
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm. 
 Khusus untuk timbangan digital hanya papan cetakan yang disanitasi. 
 Timbangan yang digunakan telah dicek dan dikalibrasi sebelumnya.
41 
H. Penyuntikan CO (clear smoke) 
Tuna loin yang sudah ditimbang kemudian dibawa ke ruang clear smoke 
untuk dilakukan penuntikan CO. Penambahan CO dilakukan dengan penyuntikan 
kedalam beberapa bagian daging tuna loin secara merata menggunakan jarum 
suntik. Tuna loin kemudian dikemas sementara menggunakan plastik PE 
(Polyetilen) dan pada saat itu juga CO ditiupkan ke dalam plastik menggunakan 
sprayer agar permukaan daging terlihat merah secara merata. Semua peralatan 
yang digunakan dalam ruangan clear smoke bersih. Penyuntikan CO bertujuan 
untuk meningkatkan warna dan tekstur dari daging tuna loin. Penyuntikan CO 
dapat dilihat pada Gambar 15. 
Gambar 15. Penyuntikan CO 
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang 
disebabkan kondisi sanitasi peralatan yang kurang baik. Bahaya pada proses ini 
tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan SSOP 2 yaitu peralatan yang 
kontak langsung pada produk dengan prosedur: 
 Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, 
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm. 
 Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan 
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm. 
 Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm 
dan sebelum istirahat siang
42 
I. Pendinginan 2 (Chilling 2) 
Produk loin yang telah disuntik dengan gas CO selanjutnya dimasukkan 
kedalam ruang pendinginan selama 24 jam agar warna daging tetap kelihatan 
merah karena telah disuntik dengan gas CO. Bahaya potensial pada proses ini 
adalah Histamin. Bahaya ini disebabkan oleh penyimpangan suhu yang terjadi 
dalam ruang pendingin. Upaya untuk mencegah bahaya tersebut adalah jika 
terdeteksi oleh QC suhu tinggi > 3,30C maka perekam data di cek untuk 
mengevaluasi durasi waktu pada suhu tertinggi. Fluktuasi suhu lebih dari 3,30C 
selama kurang dari 2,5 jam, maka produk dipindahkan kedalam styrofoam yang 
telah diberi es dengan suhu diset 00C. 
Berdasarkan pohon keputusan bahaya ini termasuk dalam Critical 
Control Point (CCP). 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Ya 
P 2 : Apakah bahaya ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya 
sampai tingkat yang diterima ? Tidak 
P 3 : Apakah kontaminasi dari bahaya yang telah diidentifikasi melewati tingkat 
yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang 
diperbolehkan ? Ya 
P 4 : Apakah Proses selanjutnya dapat menghilangkan bahaya atau mampu 
mengurangi bahaya sampai batas yang diterima ? Tidak 
J. Penanganan Setelah Clear Smoke (Retouching) 
Retouching adalah proses penanganan kembali (pengikisan) yang 
dilakukan secara cepat dan hati-hati terhadap loin yang baru dikeluarkan dari 
ruang pendingin (chilling room). Pengikisan dilakukan menggunakan pisau 
stainless yang bersih dengan tujuan untuk menghilangkan daging hitam, kulit dan 
benda asing yang masih melekat pada daging tuna loin. Setelah tuna loin 
dilakukan pengikisan kemudian permukaan daging tuna loin dibersihkan dengan 
menggunakan spons agar lendir akibat perlakuan chilling yang menempel pada 
permukaan daging tuna loin menjadi bersih. Tuna loin yang sudah bersih 
kemudian di timbang dengan standar berat kecil dari 5 kg, apabila berat tuna loin 
lebih dari 5 kg maka di potong agar beratnya tidak lebih dari 5 kg yang di
sesuaikan dengan permintaan pembeli. Retouching atau penanganan loin tuna 
setelah di chilling yakni dapat dilihat pada Gambar 16. 
Gambar 16. Penanganan setelah clear smoke 
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang 
disebabkan oleh kondisi sanitasi peralatan dan karyawan yang kurang baik. 
Bahaya tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon 
keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 2 dan SSOP 4. SSOP 2 yaitu peralatan 
yang kontak langsung pada produk dengan prosedur: 
 Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, 
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm. 
 Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan 
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm. 
 Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm 
43 
dan sebelum istirahat siang 
SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut: 
 Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk. 
 Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus 
selalu dalam keadaan bersih. 
 Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap 
hari. 
 Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.
 Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan 
44 
proses 
 Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar 
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. 
K. Pengemasan dan Penimbangan (Wrapping and Weighing) 
Setiap loin yang sudah dilakukan pengelapan kemudian ditimbang satu 
persatu dan dimasukkan ke dalam plastik PE yang bersih. Pengemasan dan 
penimbangan bertujuan untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada saat 
penyimpanan serta mengetahui jumlah produk yang akan di ekspor. 
Plastik PE untuk mengemas daging tuna loin disertai dengan kode 
produksi yang meliputi tanggal pemotongan, berat, dan tingkat mutu kesegaran. 
Penimbangan dan pengemasan dapat dilihat pada Gambar 17. 
Gambar 17. Penimbangan dan Pengemasan 
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri (E. coli, 
Salmonela) yang disebabkan oleh kondisi sanitasi karyawan yang kurang baik. 
Bahaya tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon 
keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan 
karyawan dengan prosedur sebagai berikut: 
 Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk. 
 Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus 
selalu dalam keadaan bersih.
 Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap 
45 
hari. 
 Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan. 
 Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan 
proses 
 Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar 
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. 
L. Vacum (Vacuum) 
Produk yang telah dimasukkan kedalam plastik kemudian dikeluarkan 
udara dengan menggunakan mesin vacum. Pada saat proses vacum berlangsung 
dihindari adanya penumpukan produk pada mesin vacum karena akan 
mengakibatkan peningkatan suhu sehingga proses vacum dilakukan dengan cepat 
dan tepat. Tujuan dari pemvakuman yaitu untuk mencegah kontaminasi pada saat 
penyimpanan. Cara pemvakuman seperti pada Gambar 18. 
Gambar 18. Pemvakuman loin tuna 
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang 
disebabkan oleh kondisi sanitasi plastik dan karyawan kurang baik. Bahaya 
tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon 
keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 kebersihan / kesehatan karyawan 
dengan prosedur:
 Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk. 
 Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus 
46 
selalu dalam keadaan bersih. 
 Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap 
hari. 
 Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan. 
 Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan 
proses 
 Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar 
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. 
M. Pembekuan (Freezing) 
Produk yang telah divacum selanjutnya di lakukan proses pembekuan. 
Pembekuan ini menggunakan metode pembekuan dengan udara dingin yang 
beroperasi pada suhu -350 C selama 8 jam dalam ruangan ABF. Tujuan 
pembekuan ini adalah untuk menjaga produk agar segar 
Bahaya potensial pada proses ini adalah pertumbuhan bakteri yang 
disebabkan oleh terjadinya penyimpangan suhu pembekuan, sehingga untuk 
mencegah hal tersebut terjadi maka suhu pembekuan dicek melalui display setiap 
1 jam oleh mekanik atau quality control (QC). Bahaya tersebut tidak termasuk 
dalam Critical Control Point (CCP). 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Menurut SNI (2006), loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan 
dengan alat pembeku seperti ABF hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal 
–18 °C dalam waktu maksimal 4 jam.
47 
N. Pengemasan (Packing) 
Setelah semua loin beku, kemudian dimasukkan dalam box atau karung 
yang bersih dan ditandai dengan kode perusahaan, tanggal potong, grade, berat 
dan nomor karung atau box. Pengepakan bertujuan untuk melindungi produk 
selama penyimpanan dan dalam perjalanan menuju tempat tujuan. Pembersihan 
karung atau box terlebih dahulu dilakukan sebelum proses pengepakan, hal 
tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya pertumbuhan bakteri yang 
disebabkan oleh kontaminasi produk dengan bahan pengemas. 
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang 
disebabkan kondisi sanitasi bahan pengemas yang kurang baik. Bahaya pada 
proses ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon 
keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan membersihkan karung atau box. Pembersihan 
dilakukan sebelum proses produksi dimulai dengan menggunakan sabun dan 
dicuci kembali dengan air bersih dengan tujuan untuk menghindari terjadinya 
penumpukan desinfektan pada produk. 
O. Penyimpanan Beku (Cold Storage) 
Setelah produk dipacking, proses selanjutnya adalah penyimpanan didalam 
gudang cold storage atau penyimpanan dingin dengan suhu operasional berkisar 
antara -18 0C sampai dengan -30 0C. 
Dalam ruang penyimpanan dingin ini udara harus berhembus merata 
kesemua ruangan. Sistem penyimpanan produk diatur dan ditata sedemikian rupa 
berdasarkan jenis produk dan size sehingga pada saat dilakukan distribusi produk 
tersebut mudah dilakukan proses bongkar muat. Proses penyimpanan/penyusunan 
hendaklah dilakukan dengan baik dan penuh kehati-hatian sehingga tidak akan 
menimbulkan kerusakan pada box atau karung.
Bahaya potensial pada tahapan ini adalah penyimpangan suhu yang dapat 
menyebabkan terbentuknya histamin pada produk. Bahaya pada proses ini tidak 
termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan GMP penyimpanan beku dengan prosedur: 
 Setelah semua loin beku, loin dimasukkan dalam cold storage dengan suhu 
penyimpanan di set – 25 oC ± 0 oC , penyimpanan loin di cold storage 
harus dilakukan dengan rapi, antara produk yang satu dan lain dengan 
jaraknya diatur sedemikian rupa agar sirkulasi udara di cold storage 
berjalan dengan baik. 
 Cold storage di set untuk bisa mempertahankan suhu pusat ikan 
48 
< - 18 oC ± 0 oC. 
P. Pengisian Dalam Kontainer (Loading) 
Produk-produk yang berada dalam ruangan penyimpanan dingin kemudian 
dikeluarkan untuk dimasukkan dan disusun kedalam kontainer yang sebelumnya 
telah disetting suhunya hingga -25 0C untuk menjaga suhu produk. Bahaya 
potensial pada proses ini adalah pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh 
peningkatan suhu. Bahaya ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) 
berdasarkan pohon keputusan yaitu: 
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap 
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak 
Karena dapat dikendalikan dengan GMP pengisian ke kontainer dengan prosedur: 
 Seluruh box atau karung disusun didalam truk thermoking dengan rapi 
serta memperhatikan sirkulasi udara didalamnya. Pengisian kedalam truk 
thermoking dilakukan secepat mungkin untuk menghindari terjadinya 
peningkatan suhu yang dapat menyebabkan produk jadi rusak. Suhu 
thermoking di set – 20 oC. 
 Untuk memastikan bahwa sirkulasi udara didalam thermoking berjalan 
dengan baik dan mempertahankan suhu pusat ikan < - 18 oC ± 0 oC 
selama menuju tempat tujuan maka dilakukan pengecekan suhu didalam 
thermoking.
CV. Cahaya Mandiri melayani permintaan dari pedagang yang ingin tuna 
milik mereka dibuat loin. Prosesnya dimulai dari penerimaan, penimbangan I, 
pencucian, pemotongan kepala, loin, pembuangan kulit, pengikisan, penimbangan 
II, dan penyuntikan CO. Setelah itu loin dikemas menggunakan plastik PE 
kemudian dicelupkan kedalam air untuk membuang udara yang ada didalam 
kemasan sehingga plastik menempel pada permukaan tuna loin. Setelah itu ujung 
plastik diikat untuk menghindari udara masuk kedalam loin. Kemudian loin 
diserahkan kepada pedang untuk dikemas kedalam styrofoam yang berisi es untuk 
dipasarkan sekitaran daerah Gorontalo. 
49 
8. Penetapan Batas Kritis 
Penetapan batas kritis pada CV. Cahaya Mandiri umumnya sudah 
ditetapkan oleh perusahaan PT. Era Mandiri dan disesuaikan dengan hasil 
observasi yang dilakukan oleh tim HACCP CV. Cahaya Mandiri pada setiap 
tahapan produksi, di mulai dari penerimaan bahan baku hinga ekspor. Dari hasil 
observasi yang dilakukan batas kritis yang sudah menjadi kesepakatan oleh tim 
HACCP terdapat pada penerimaan bahan baku dan penyimpanan dingin, karena 
pada tahapan produksi lain titik kritisnya dapat dikendalikan dengan GMP dan 
SSOP yang diterapkan pada perusahaan. Untuk lebih jelasnya penetapan batas 
kritis dapat dilihat pada tabel 4. 
Tabel 4. Penetapan batas kritis 
CCP BAHAYA BATAS KRITIS 
Penerimaan Bahan Baku 
Penyimpanan Dingin 
Histamin 
Histamin 
< 50 ppm tiap ikan 
Temperature < 3,30C 
Sumber : CV. Cahaya Mandiri 
Menurut Sarwono (2007), batas kritis merupakan batas toleransi yang 
harus dipenuhi pada setiap penetapan CCP untuk mengendalikan bahaya secara 
efektif. Batas-batas kritis pada CCP ditetapkan berdasarkan referensi dan standar 
teknis serta observasi unit produksi. Batas kritis menunjukkan perbedaan antara 
produk aman dan tidak aman, sehingga setiap CCP mudah teridentifikasi dan 
dijaga oleh operator proses produksi. 
9. Tindakan Pemantauan Untuk setiap CCP
Prosedur pemantauan pada CV. Cahaya Mandiri dilakukan dengan 
memantau suhu dan aspek organoleptik pada tahapan penerimaan bahan baku. 
Untuk bahaya histamin dengan cara megukur suhu ikan, uji organoleptik dan 
Melihat sampel daging ikan yang diambil dengan alat stecker, apabila daging ikan 
terlihat pucat dan teksturnya kurang padat (kenyal) maka ikan tuna dikembalikan 
karena diduga sudah terbentuknya kandungan histamin. 
Pada ruang penyimpanan dingin dilakukan pemantauan pada suhu. Suhu 
pada ruangan penyimpanan dingin harus < 3,30C. Prosedur pemantauan ini 
dilakukan dengan cara menggunakan perekam data untuk merekam fluktuasi suhu. 
Prosedur ini dilakukan di ruang penyimpanan dingin oleh quality control (QC). 
Menurut SNI (2001) pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan 
terjadwal atas suatu CCP yang berhubungan dengan batas kritisnya. Prosedur 
pemantauan harus mampu untuk mendeteksi hilangnya pengendalian pada CCP. 
Selanjutnya pemantaun sebaiknya memberikan informasi ini tepat waktu untuk 
membuat penyesuaian sehingga menjamin pengendalian proses untuk mencegah 
terlanggarnya batas kritis. 
50 
10. Tindakan Koreksi 
Tindakan koreksi pada proses penerimaan bahan baku yang dilakukan pada 
CV. Cahaya Mandiri adalah pemeriksaan semua suhu ikan saat penerimaan. 
Apabila ditemukan ikan yang suhunya diatas 8 0C dan tekstur daging kurang padat 
maka ikan tuna akan ditolak (reject). Pembentukan histamin yang di tunjukan 
dengan suhu ikan yang tinggi pada setiap penerimaan apabila suhu ikan diatas 5 
0C maka dilakukan tindakan untuk menurunkan suhu ikan dengan menambahkan 
es dan terus mengawasi suhu dan waktu sampai dibawah batas kritis. Selama 
penulis magang di CV. Cahaya Mandiri, penulis tak pernah melihat adanya 
kegiatan pengujian histamin yang dilakukan setiap kedatangan bahan baku. 
Tindakan pencegahan yang dilakukan pada CV. Cahaya Mandiri untuk 
mengidentifikasi adanya pembentukan histamin pada tuna loin pada saat 
penerimaan bahan baku yang ditemui dilapangan yaitu dengan melakukan 
pengukuran suhu pada ikan yang masuk, Melihat sampel daging ikan yang 
diambil dengan alat stecker, dan di uji secara Orgonoleptik.
Pada proses penyimpanan dingin tindakan koreksi yang dilakukan adalah 
jika terdeteksi oleh QC suhu tinggi atau suhu tiap hari > 3,3 0C maka perekam 
data di cek untuk mengevaluasi durasi waktu pada suhu tertinggi. Fluktuasi suhu 
lebih dari 3,3 0C selama kurang dari 2,5 jam, maka produk dipindahkan kedalam 
styrofoam yang telah diberi es dengan suhu diset 00C. 
Menurut Sarwono (2007), Tindakan koreksi dilakukan jika terjadi 
penyimpangann terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi harus spesifik 
pada setiap CCP dengan menyesuaikan kembali penyimpangan yang terjadi 
(Puspita, 2001). Tindakan-tindakan harus menjamin bahwa CCP telah berada 
dibawah kendali. Tindakan-tindakan yang dilakukan juga harus mencakup 
disposisi yang tepat dari produk yang terpengaruh (SNI, 2011). 
51 
11. Prosedur Verifikasi 
Kegiatan verifikasi pada pengolahan tuna loin beku pada CV. Cahaya 
Mandiri dilakukan pada setiap CCP teridentifikasi dengan prosedur yang 
dilakukan antara lain, kalibrasi alat ukur, peninjauan CCP, pemeriksaan 
mikrobiologi serta meninjau keluhan konsumen. Prosedur verifikasi pada proses 
penerimaan bahan baku dilakukan dengan meninjau laporan hasil pengawasan dan 
tindakan koreksi. Uji Histamin dilakukan di PT. Era Mandiri Jakarta dan hasil 
dikirim melalui email. Setelah itu dilakukan review, tindakan perbaikan serta 
perifikasi laporan setiap ada hasil test yang telah dilakukan. Pada proses 
penyimpanan dingin tindakan verifikasi dilakukan dengan melakukan cek secara 
manual setiap 1 jam sekali setiap hari oleh mekanik. Koreksi juga dilakukan pada 
proses pengemasan dan pelabelan. 
Menurut Puspita (2001), verifikasi merupakan kegiatan evaluasi atau 
pengkajian terhadap rancangan HACCP untuk membuktikan bahwa sistem 
HACCP yang diterapkan bekerja secara efektif. 
12. Dokumentasi HACCP 
Dokumentasi hasil rancangan HACCP pada pengelolaan tuna loin beku 
pada PT. Cahaya Mandiri (diterapkan pada setiap tahap atau proses yang termasuk 
CCP) disusun sebagai bukti otentik pelaksanaan HACCP. Dokumen HACCP ini 
dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan tindakan koreksi dan perbaikan
sistem serta memudahkan pemeriksaan oleh pihak terkait. Menurut ILSI Eropa 
(1993), dokumentasi merupakan bagian penting pada HACCP untuk meyakinkan 
bahwa informasi yang telah dikumpulkan dalam proses dapat diperoleh bagi 
siapapun yang terlibat di dalamnya, selain itu juga dapat meyakinkan bahwa 
sistem tetap berkesinambungan dalam jangka panjang. 
52
BAB V 
PENUTUP 
53 
5.1 Kesimpulan 
Dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan: 
1. Penerapan HACCP pada CV. Cahaya Mandiri sudah dapat diterapkan dengan 
cukup baik mulai dari pembentukan TIM, HACCP, deskripsi produk, 
identifikasi pengguna, penyusunan diagram alir proses produksi, konfirmasi 
bagan alir dilapangan, analisis potensi hazzard, identifikasi CCP, penetapan 
batas kritis, tindakan pemantauan untuk setiap CCP, tindakan koreksi, 
prosedur verifikasi dan dokumentasi HACCP. 
2. CCP pada proses pengolahan Tuna Loin beku pada CV.Cahaya Mandiri 
teridentifikasi terdapat pada tahapan penerimaan bahan baku, dan pendinginan 
2 (Chilling 2). 
6.1 Saran 
1. Untuk pabrik pengolahan hasil perikanan khususnya CV. Cahaya Mandiri agar 
kiranya lebih memperhatikan lagi keamanan produk yang dihasilkan karena 
dalam proses pengolahan tuna loin CV. Cahaya Mandiri tidak dilengkapi 
dengan alat pendeteksi logam. Alat pendeteksi logam merupakan bagian dari 
HACCP yang seharusnya ada pada perusahaan pengolahan produk perikanan, 
dengan fungsi untuk menjamin suatu produk yang dihasilkan benar-benar 
bebas dari kontaminasi logam. 
2. Pimpinan perusahaan perlu meninjau kembali pengujian Histamin yang ada di 
CV. Cahaya Mandiri karena tidak sesuai dengan buku pedoman HACCP yang 
ada diperusahaan. Selama penulis magang tidak pernah melihat adanya 
kegiatan pengujian Histamin dan melihat Laboratorium External yang 
digunakan untuk pengujian Histamin.
DAFTAR PUSTAKA 
Abdurohman. 2007. Penyusuna Dokumen rencana Hazzard Analysis And Critical 
Control Point (HACCP) pada Produk Crissant pada Di PT. 
Ciptayasa Pangan mandiri Pulogadung Jakarta. [Skripsi]. Bogor. 
Istitu Pertanian Bogor 
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tuna Loin Beku. Jakarta: BSN 
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International 
Code of Practice General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. 
Food and Agriculture Organization/Word Health Organization. 
Rome, Italy. 
Codex Alimentarius Commission. 2001. Food hygiene. Basic Texts. 2nd ed. 
CV. Cahaya Mandiri. 2010. Program Manajemen Mutu Terpadu Berdasarkan 
Konsepsi HACCP Dari Pengolahan Tuna Beku. Gorontalo 
Dahyar MA. 2009. evaluasi efektivitas pengendalian resiko bahaya histamin pada 
titik kendali kritis (critical control point-ccp) proses pengolahan 
tuna loin beku dengan metode lean six sigma. Bogor. Institut 
Pertanian Bogor. 
Dalgaard P, Emborg J, A Kjolby, ND Sorensen and NZ Ballin. 2008. Histamin 
and biogenic amines : formation and importance. in seafood dalam 
T Borresen (edited), Improving Seafood Products for the Customer. 
North America : Woodhead Publishing Limited and CRC Press 
LLC. 
Dian, 2012. Hazzard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sebagai Sistem 
Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.. [Online], Diakses 
Tanggal 5 Februari 2013. 
Direktorat Jendral Perikanan. 1990/1993. Pengolahan Hasil Perikanan Dan 
Klasifikasi Ikan Tuna. Direktorat Jendral Perikanan Jakarta. 
Ditjen Perikanan. 1996. Pertemuan Teknis Pembinaan Mutu Hasil Perikanan dan 
Latihan Penerapam HACCP. Departemen Pertanian. Jakarta 
Emborg J and Dalgaard P. 2008. Modelling the effect of temperature, corbon 
dioxide, water activity and pH on growth and histamin formation 
by Morganella psychrotolerant. Food Microbiology (128): 226- 
233. 
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: CV 
54 
Liberty. 
Junianto. 2003. Klasifikasi Ikan Tuna. Kanasius. Yogyakarta.
Latifah, L. 2001. Mempelajari Aspek Pengendalian Mutu Proses Pembekuan Ikan 
Tuna (Thunnus Albacores) Di PT. Tirta Raya Mina (persero) 
Pekalongan. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian 
Bogor. 
Lehane L and Olley J. 2000. Histamin fish poisoning revisited. International 
Journal of Food Microbiology 58: 1-37. 
Kanki M, Yoda T and Tsukamoto T. 2002. Klebsiella pneumoniae Produces No 
Histamin: Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica 
Strains Are Histamin Producers. Enviromental Microbiology 68:. 
3462–3466. 
Keer M, Paul L and Sylvia A .2002. Effect of Storage Condition on Histamin 
Formation in Fresh and Canned Tuna. Commision by Food Safety 
Unit. Dalam www.foodsafety.vic.gov.au. 
Maghfiroh, 2000. Pengaruh Pemakaian Bahan Pengikat terhadap Karakteristik 
Nugget. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. 
Muhardi T, Kadarisman D. 2006. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: 
55 
IPB Press 
Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. 
Kanasius. Yogyakarta. 
Nasution, 2004. Mutu Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 
Rossi S, Lee C, Ellis PC and Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in 
bigeye tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry 
and Toxicolog (67): 2056-2060. 
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2006. Tuna Loin Mentah Beku. SNI 01-4104- 
2006. Jakarta. Badan Standar Nasional. 
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2011. Rekomendasi Nasional Kode Praktis – 
Prinsip Umum Higiene Pangan. CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003, 
IDT. Jakarta. Badan Standar Nasioanal. 
Sumner J, Ross T and Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the 
Fish Industry. Roma: Food and Agriculture Organization of The 
United Nation. 
Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta. Buku Aksara. 
Soen’an. 2004. Komposisi Kimia Ikan Tuna. PT. Penebar Swadaya. 
Wicaksono, D. 2009. Asesmen Resiko Histamin Selama Proses Pengolahan Pada 
Industri Tuna Loin. Bogor. Institu Pertanian Bogor.

More Related Content

What's hot

3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptx
3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptx3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptx
3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptxARZIANINGSIHArzianin
 
Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)
Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)
Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)dimar aji
 
komposisi kimiawi daging ikan
komposisi kimiawi daging ikankomposisi kimiawi daging ikan
komposisi kimiawi daging ikanHeru Pramono
 
1457 sni 4110 2014.ikan beku
1457 sni 4110 2014.ikan beku1457 sni 4110 2014.ikan beku
1457 sni 4110 2014.ikan bekuBasyrowi Arby
 
Pengujian Mutu Pangan
Pengujian Mutu PanganPengujian Mutu Pangan
Pengujian Mutu PanganlombkTBK
 
2. kemunduran mutu ikan tahuna
2. kemunduran mutu ikan tahuna2. kemunduran mutu ikan tahuna
2. kemunduran mutu ikan tahunaEly John Karimela
 
PENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANAN
PENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANANPENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANAN
PENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANANPENYULUH PERIKANAN
 
gmp-good-manufacturing-practices.pptx
gmp-good-manufacturing-practices.pptxgmp-good-manufacturing-practices.pptx
gmp-good-manufacturing-practices.pptxssuser2c8e5b1
 
pengemasan Produk Kosmetik
pengemasan Produk Kosmetikpengemasan Produk Kosmetik
pengemasan Produk Kosmetik-
 
Laporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPAS
Laporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPASLaporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPAS
Laporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPASRahma Sagistiva Sari
 
Organoleptik
OrganoleptikOrganoleptik
OrganoleptikRizza Muh
 
Ikan demersal dan ikan karang
Ikan demersal dan ikan karangIkan demersal dan ikan karang
Ikan demersal dan ikan karangHendra Wiguna
 
25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)
25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)
25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)Fitri Andriani
 
Laporan Praktikum Penepungan
Laporan Praktikum PenepunganLaporan Praktikum Penepungan
Laporan Praktikum PenepunganErnalia Rosita
 
3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).ppt
3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).ppt3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).ppt
3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).pptEmySumartini
 

What's hot (20)

3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptx
3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptx3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptx
3BT. Tek.PenangananHasil Perikanan.pptx
 
Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)
Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)
Refraktometer (Fungsinya,Jenisnya dan kalibrasinya)
 
komposisi kimiawi daging ikan
komposisi kimiawi daging ikankomposisi kimiawi daging ikan
komposisi kimiawi daging ikan
 
1457 sni 4110 2014.ikan beku
1457 sni 4110 2014.ikan beku1457 sni 4110 2014.ikan beku
1457 sni 4110 2014.ikan beku
 
Evaluasi sediaan
Evaluasi sediaanEvaluasi sediaan
Evaluasi sediaan
 
Pengujian Mutu Pangan
Pengujian Mutu PanganPengujian Mutu Pangan
Pengujian Mutu Pangan
 
Uji Mutu Sediaan Suspensi
Uji Mutu Sediaan SuspensiUji Mutu Sediaan Suspensi
Uji Mutu Sediaan Suspensi
 
2. kemunduran mutu ikan tahuna
2. kemunduran mutu ikan tahuna2. kemunduran mutu ikan tahuna
2. kemunduran mutu ikan tahuna
 
PENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANAN
PENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANANPENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANAN
PENENTUAN SUHU PUSAT PRODUK PERIKANAN
 
Panelis dalam evaluasi sensori
Panelis dalam evaluasi sensoriPanelis dalam evaluasi sensori
Panelis dalam evaluasi sensori
 
gmp-good-manufacturing-practices.pptx
gmp-good-manufacturing-practices.pptxgmp-good-manufacturing-practices.pptx
gmp-good-manufacturing-practices.pptx
 
pengemasan Produk Kosmetik
pengemasan Produk Kosmetikpengemasan Produk Kosmetik
pengemasan Produk Kosmetik
 
Laporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPAS
Laporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPASLaporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPAS
Laporan Praktikum TPP Materi 3 Fruit Leather - UNPAS
 
Organoleptik
OrganoleptikOrganoleptik
Organoleptik
 
Ikan demersal dan ikan karang
Ikan demersal dan ikan karangIkan demersal dan ikan karang
Ikan demersal dan ikan karang
 
Ikan
IkanIkan
Ikan
 
25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)
25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)
25820 sni 3751-2009 (tepung terigu)
 
Susu
SusuSusu
Susu
 
Laporan Praktikum Penepungan
Laporan Praktikum PenepunganLaporan Praktikum Penepungan
Laporan Praktikum Penepungan
 
3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).ppt
3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).ppt3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).ppt
3-pengendalian-mutu-pet-4011-gmp-new (1).ppt
 

Similar to IDENTIFIKASI HAZZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) PADA PROSES PEMBEKUAN TUNA LOIN DI CV. CAHAYA MANDIRI GORONTALO

MANAJEMEN KELAUTAN.docx
MANAJEMEN KELAUTAN.docxMANAJEMEN KELAUTAN.docx
MANAJEMEN KELAUTAN.docxMuchsinHaris
 
Modul Prakarya Kelas IX sem 2
Modul Prakarya Kelas IX sem 2Modul Prakarya Kelas IX sem 2
Modul Prakarya Kelas IX sem 2maesuri syata
 
BioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptx
BioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptxBioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptx
BioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptxRanggaPrayudha2
 
Cumi cumi paper
Cumi cumi paperCumi cumi paper
Cumi cumi paperSutana Gde
 
Proposal Pembiakan Ikan Bawal
Proposal Pembiakan Ikan BawalProposal Pembiakan Ikan Bawal
Proposal Pembiakan Ikan BawalRoni Darmanto
 
Pendahuluan Dastek.pptx
Pendahuluan Dastek.pptxPendahuluan Dastek.pptx
Pendahuluan Dastek.pptxVennyAgustin3
 
Teknologi penanganan hasil perikanan
Teknologi penanganan hasil perikananTeknologi penanganan hasil perikanan
Teknologi penanganan hasil perikananRizka Came
 
Ekonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikananEkonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikananPT. SASA
 

Similar to IDENTIFIKASI HAZZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) PADA PROSES PEMBEKUAN TUNA LOIN DI CV. CAHAYA MANDIRI GORONTALO (20)

Laporan praktikum ikhtiologi
Laporan praktikum ikhtiologiLaporan praktikum ikhtiologi
Laporan praktikum ikhtiologi
 
Bab 1 ok
Bab 1 okBab 1 ok
Bab 1 ok
 
PPT 123-12.pptx
PPT 123-12.pptxPPT 123-12.pptx
PPT 123-12.pptx
 
MANAJEMEN KELAUTAN.docx
MANAJEMEN KELAUTAN.docxMANAJEMEN KELAUTAN.docx
MANAJEMEN KELAUTAN.docx
 
Modul Prakarya Kelas IX sem 2
Modul Prakarya Kelas IX sem 2Modul Prakarya Kelas IX sem 2
Modul Prakarya Kelas IX sem 2
 
Pengolahan ikan
Pengolahan ikanPengolahan ikan
Pengolahan ikan
 
BioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptx
BioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptxBioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptx
BioekologiIkanBelidadiIndonesia_SA-Rev.pptx
 
Cumi cumi paper
Cumi cumi paperCumi cumi paper
Cumi cumi paper
 
PENGAMATAN HISTOLOGI GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis)
PENGAMATAN HISTOLOGI GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis)PENGAMATAN HISTOLOGI GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis)
PENGAMATAN HISTOLOGI GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis)
 
Pembahasan
PembahasanPembahasan
Pembahasan
 
Laporan IKHTIOLOGY
Laporan IKHTIOLOGYLaporan IKHTIOLOGY
Laporan IKHTIOLOGY
 
Proposal
ProposalProposal
Proposal
 
88000176 laporan-biologi-perikanan-hipofisasi
88000176 laporan-biologi-perikanan-hipofisasi88000176 laporan-biologi-perikanan-hipofisasi
88000176 laporan-biologi-perikanan-hipofisasi
 
Budidaya kakap makalah
Budidaya kakap makalahBudidaya kakap makalah
Budidaya kakap makalah
 
Proposal Pembiakan Ikan Bawal
Proposal Pembiakan Ikan BawalProposal Pembiakan Ikan Bawal
Proposal Pembiakan Ikan Bawal
 
Pendahuluan Dastek.pptx
Pendahuluan Dastek.pptxPendahuluan Dastek.pptx
Pendahuluan Dastek.pptx
 
Teknologi penanganan hasil perikanan
Teknologi penanganan hasil perikananTeknologi penanganan hasil perikanan
Teknologi penanganan hasil perikanan
 
Ikan layaran
Ikan layaranIkan layaran
Ikan layaran
 
Ekonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikananEkonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikanan
 
KEMATANGAN GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis) MELALUI INDEKS KEMATA...
KEMATANGAN GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis) MELALUI INDEKS KEMATA...KEMATANGAN GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis) MELALUI INDEKS KEMATA...
KEMATANGAN GONAD IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis) MELALUI INDEKS KEMATA...
 

Recently uploaded

KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAppgauliananda03
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".Kanaidi ken
 
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas pptsistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppthidayatn24
 
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptxfurqanridha
 
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptxPrakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptxHaryKharismaSuhud
 
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docxKisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docxFitriaSarmida1
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKgamelamalaal
 
.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptx.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptxfurqanridha
 
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanTopik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanAyuApriliyanti6
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxMaskuratulMunawaroh
 
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfsubki124
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaAndreRangga1
 
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptKenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptnovibernadina
 
Ceramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAH
Ceramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAHCeramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAH
Ceramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAHykbek
 
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMPBioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMPNiPutuDewikAgustina
 
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerakMateri Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerakAjiFauzi8
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 

Recently uploaded (20)

KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
 
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas pptsistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
 
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
 
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptxPrakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
 
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docxKisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
 
.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptx.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptx
 
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanTopik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
 
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
 
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptKenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
 
Ceramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAH
Ceramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAHCeramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAH
Ceramah Antidadah SEMPENA MINGGU ANTIDADAH DI PERINGKAT SEKOLAH
 
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMPBioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMP
 
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerakMateri Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 

IDENTIFIKASI HAZZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) PADA PROSES PEMBEKUAN TUNA LOIN DI CV. CAHAYA MANDIRI GORONTALO

  • 1. BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki tiga perempat wilayah berupa laut (5,8 juta km2) dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari ikan laut seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 % dari total potensi ikan laut dunia. Artinya jika kita dapat mengendalikan tingkat penangkapan ikan laut lebih kecil dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha perikanan tangkap semestinya dapat berlangsung secara (Dahuri, 2004). Salah satu potensi laut yang perlu dikembangkan yakni ikan tuna. Ikan tuna merupakan salah satu komoditi perikanan Indonesia yang banyak diminati oleh konsumen luar negeri karena rasanya yang lezat dan bergizi tinggi. . Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging, lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin). Ikan tuna di Indonesia yang paling banyak di ekspor salah satunya tuna loin beku (Wicaksono, 2009). Loin tuna adalah potongan ¼ memanjang ikan tuna, terdiri atas sisi kiri atas, sisi kiri bawah, sisi kanan atas dan sisi kanan bawah, tidak termasuk kepala, tulang tengah dan ekor ikan. Keunggulan teknik loin adalah tidak membutuhkan waktu yang lama untuk proses pembuatannya, berbeda dengan teknik steak yang membutuhkan waktu lama dalam proses dikarenakan pemotongan bentuk daging ikan tuna menjadi kecil (Junianto, 2003). Negara-negara importir tuna loin diantaranya adalah Jepang, USA, Australia, dan beberapa negara Eropa, telah mensyaratkan agar negara-negara yang mengekspor produknya telah menerapkan program manajemen mutu berdasarkan konsep HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) karena akan memberikan jaminan mutu bahwa produk yang dihasilkan aman (safe) untuk dikonsumsi, layak mutunya dalam arti higienis, dan tidak merugikan secara ekonomi bagi konsumen (junianto, 2003)
  • 2. HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidak amanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). HACCP menekankan pentingnya mutu keamanan pangan, untuk itu dalam penerapannya HACCP wajib diterapkan pada perusahaan pengolahan perikanan terutama pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk tuna loin beku dengan mengidentifikasi CCP mulai dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Muhandri dan Kadarisman 2006). CV. Cahaya Mandiri Gorontalo adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan tuna loin beku yang menerapkan konsep HACCP pada setiap proses pengolahan tuna loin, dengan tujuan untuk menjaga keamanan produk yang dihasilkan. Hal ini dilakukan karena CV. Cahaya Mandiri merupakan cabang pabrik pengolahan tuna loin dari PT. Era Mandiri yang bertempat di Jakarta, yang sudah melakukan ekspor kebeberapa negara (Amerika, Kanada, Jepang, Malaysia, Singapura) sehingga pengiriman produk oleh CV. Cahaya Mandiri ke PT. Era Mandiri wajib menerapkan konsep HACCP disetiap proses pengolahan tuna loin. Berdasarkan latar belakang diatas penulis merasa perlu untuk melihat secara langsung bagaimana penerapan HACCP di CV. Cahaya Mandiri Gorontalo pada setiap tahapan proses pengolahan tuna loin dan adakah tindakan pencegahan yang dilakukan oleh CV. Cahaya Mandiri Gorontalo untuk mencegah CCP apabila pada salah satu tahapan produksi teridentifikasi CCP. 2 1.2 Tujuan Tujuan pelaksanaan praktek kerja lapangan (PKL) ini adalah 1. Mengetahui penerapan HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point ) pada produk tuna loin beku di CV. Cahaya Mandiri Gorontalo 2. Mengetahui tahapan proses yang teridentifikasi CCP. 1.3 Manfaat 1. Menambah wawasan sebagai mahasiswa teknologi hasil perikanan. 2. Memberikan informasi tentang penerapan HACCP pada proses pembekuan ikan tuna yang baik dan tepat.
  • 3. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Klasifikasi Ikan Tuna Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu. mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1996). Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) (Murniyati dan Sunarman, 2000). Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging. Species Protein Lemak Karbohidrat Abu Bluefin 28,30 g 1,40 g 0,10 g 1,50 g Southern Bluefin 23,60 g 9,30 g 0,10 g 1,40 g Yellow Fin 22,20 g 2,10 g 0,10 g 1,40 g Skipjack 25,80 g 2,00 g 0,40 g 1,40 g Marlin 25,40 g 3,00 g 0,10 g 1,40 g Mackerel 19,80 g 16,50 g 0,10 g 1,10 g Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000) Pada CV. Cahaya Mandiri tuna yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan loin terdiri dari dua jenis yaitu tuna mata besar dan madidihang.
  • 4. 2.1.1 Karakteristik Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) T. obesus termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang yakni mencapai 33-35 cm. Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan yang hidup seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada ujungnya. Panjang cagak maksimum lebih dari 200 cm, pada umumnya 180 cm. Ukuran layak tangkap pada ikan dimulai pada saat ikan telah dewasa mencapai ukuran tertentu (Junianto, 2003). Menurut Magfiroh (2000), bahwa ukuran di Laut Banda untuk ikan jantan 146,1 cm dan betina 133,5 cm, di Western Indian Ocean untuk jantan 86,85 cm dan betina 88,08 cm. Gaspersz 1997 dalam Dahyar (2009), menyatakan bahwa T.obesus mempunyai ciri-ciri luar sebagai berikut : a. Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor. b. Setelah dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna yang lain. c. Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata. d. Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4 - 1/3 kali fork length (FL). e. Sirip dada lebih panjang dari T. albacores dan selalu melewati belakang sebuah garis di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal. f. Mempunyai 7-10 garis yang berwarna putih dan tidak terputus-putus, menyilang tegak lurus pada sisi-sisi bagian bawah, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tuna sirip kuning. Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk T.obesus, secara horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan Barat Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik (Gaspersz, 1997 dalam Dahyar 2009) 4
  • 5. Menurut Ditjen Perikanan (1990), bahwa klasifikasi T. obesus adalah 5 sebagai berikut: Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Scombroidae Family : Scombridae Genus : Thunnus Species : Thunnus obesus Bentuk tubuh dari T. obesus secara utuh dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Tuna mata besar Sumber : (Ditjen Perikanan, 1990). 2.1.2 Karakteristik Tuna Madidihang (Thunnus albacores) T. albacores merupakan ikan pengembara samudera, yakni mengarungi samudera dengan bergerombol dan perenang cepat karena bentuk tubuhnya yang dinamis. T. albacores memiliki ciri-ciri yaitu bentuk badan yang memanjang, bulat seperti cerutu, tapisan insang 26-34 pada busur insang pertama, memiliki dua cuping/lidah di antara kedua sirip perutnya, jari-jari keras sirip punggung pertama 13-14, dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti 8-10 jari sirip tambahan. Kemudian sirip dubur berjari-jari lemah 14-15, lalu 7-10 jari-jari sirip tambahan.
  • 6. Untuk jenis-jenis dewasa, sirip punggung kedua dan dubur tumbuh sangat panjang, sirip dada cukup panjang. Badan bersisik kecil-kecil, korselet (jalur sisik khusus yang mengelilingi badan di daerah sekitar sirip dada) bersisik agak besar tetapi tidak nyata. Termasuk ikan buas, predator, karnivor, dapat mencapai 195 cm, umumnya 50-150 cm, hidup bergerombol kecil (Ditjen Perikanan, 1990). Warna tubuh T. albacores bagian atas berpadu antara hitam dan keabu-abuan, kuning perak pada bagian bawah, sirip-sirip punggung, perut. Sirip tambahan kuning cerah berpinggiran gelap. Pada perut terdapat kurang lebih 20 garis putus-putus warna putih pucat melintang (Ditjen Perikanan,1990). Setiap jenis ikan tuna mempunyai kebiasaan/kesukaan pada suhu air laut yang berbeda-beda, sehingga untuk menentukan daerah penangkapan tuna harus disesuaikan dengan suhu air sesuai dengan jenis ikan tuna yang akan ditangkap, sedangkan T. albacores menyukai suhu perairan yang hangat seperti laut tropis (Gaspersz,1997 dalam Dahyar 2009) Menurut Ditjen Perikanan (1990), T. albacores dapat diklasifikasikan 6 sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : Thunnus albacores Adapun bentuk tubuh dari T. albacores dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Thunnus albacores, Sumber : (Ditjen Perikanan, 1990).
  • 7. 7 2.2 Mutu Ikan Tuna (Thunnus sp.) Mutu merupakan totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang dipersyaratkan. Mutu sering diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan terhadap persyaratan atau kebutuhan yang diberikan oleh pelanggan (Soen’an, 2004). Menurut Nasution (2004), mutu adalah sesuatu yang memenuhi atau sama dengan persyaratan (Conformance To Recuirements). Komoditas ikan yang sedikit saja dari persyaratan, maka dapat dikatakan tidak berkualitas dan dapat ditolak oleh perusahaan yang menjadi tujuan distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan, dan kebutuhan sebuah perusahaan. Ikan tuna dalam perdagangannya dikelompokkan menurut standar atau mutu daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan D. Pengujian tingkatan mutu ikan dilakukan dengan cara menusukkan coring tube yaitu suatu alat berbentuk batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube dimasukkan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri, sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Mutu dengan grade A (terbaik) diekspor ke Jepang, grade B dan C biasanya diekspor ke Amerika dan Uni Eropa, sedangkan grade C dan D dipasarkan lokal. Ciri-ciri untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut (Fadly diacu dalam Cahya, 2010): 1. Grade A Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut: a. Warna daging untuk tuna madidihang adalah merah seperti darah segar dan untuk tuna mata besar dagingnya berwarna merah tua seperti bunga mawar, serta tidak ada pelangi. b. Mata bersih, terang, dan menonjol. c. Kulit normal, warna bersih, dan cerah. d. Tekstur daging untuk madidihang tuna keras, kenyal, dan elastis dan untuk Tuna Mata besar dagingnya lembut, kenyal dan elastis. e. Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh.
  • 8. 8 2. Grade B Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut: a) Warna daging merah, terdapat pelangi otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah. b) Mata bersih, terang dan menonjol. c) Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir. d) Tidak ada kerusakan fisik. 3. Grade C Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut: a) Warna daging kurang merah dan ada pelangi. b) Kulit normal dan berlendir. c) Otot daging kurang elastis. d) Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau dada. 4. Grade D Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut: a) Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar. b) Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi. c) Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah. d) Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan, seperti daging ikan yang sudah sobek, mata ikan yang hilang, dan kulit terkelupas. 2.3 Tuna Loin Beku Tuna loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan (BSN 2006). Penanganan dan pengolahan ikan tuna loin menurut SNI 01-4104.3-2006 adalah sebagai berikut:
  • 9. 9 1. Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C. 2. Penyiangan atau tanpa penyiangan Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C. 3. Pencucian Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,40 C. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan sehingga bebas dari kontaminasi bakteri pathogen (SNI, 2006). 4. Pembuatan Loin Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,40 C. Pembuatan loin ini bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen (SNI, 2006). 5. Pengulitan dan perapihan Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,40 C (SNI, 2006). 6. Sortasi Mutu Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C (SNI, 2006). 7. Pembungkusan (Wrapping) Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara
  • 10. cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4°C (SNI, 2006). 8. Pembekuan Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal - 180C dalam waktu maksimal 4 jam (SNI, 2006). 9. Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -180C. Tujuan dari penimbangan ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen (SNI, 2006). 10. Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter sehingga melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label(SNI, 2006). 11. Pengemasan Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. 12. Pelabelan dan pemberian kode Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan dan tahun produksi; dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. 13. Penyimpanan Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -250C dengan penyimpangan suhu maksimal ± 20C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran. 10
  • 11. 11 2.4 Histamin Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase (Sumner et a,. 2004). Amina biogenik adalah komponen biologi aktif yang secara normal diproduksi melalui proses dekarboksilasi dari asam amino dan ada dalam berbagai makanan seperti ikan, produk dari ikan, daging merah, keju, dan makanan fermentasi. Keberadaan amina biogenik dalam makanan ini merupakan indikator makanan itu sudah busuk (Keer et al, 2002). Histidin yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin. Kandungan histidin dalam daging ikan tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg%. Ikan-ikan berdaging putih kandungan histidin rendah dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg% setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 250 C (Keer et al, 2002). Histamin terbentuk karena adanya kesalahan selama proses penanganan dan pengolahan. Jika pada saat penangkapan tidak ditangani dengan tepat maka histidin yang terkandung pada ikan jenis scombroid tersebut dapat diubah menjadi senyawa toksik yang disebut dengan histamin (Dalgaard et al, 2008). Penanganan adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada tuna. Histamin umumnya terbentuk pada temperatur tinggi (>200 C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin. Pembentukan histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan aktivitas bakteri. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas enzim selama proses autolisis lebih rendah dibandingkan dengan histamin yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses pembusukkan berlangsung. Pada kondisi optimum jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat melebihi 10-15 mg/100 gram daging ikan. (Dalgaard et al, 2008).
  • 12. Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Eitenmiller dan De Souza, 1984 dalam Lehane dan Olley, 2000). Toksisitas histamin bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin (Rossi et al, 2002). Jika produksi enzim decarboxylase telah terjadi, maka akan terus menerus dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu dingin hingga 40 C. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteria jenis Proteus morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens, Enterobacter aerogenes,, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 – 300C (Kanki et al., 2002). Bakteri Morganella psychrotolerant dan Photobacterium phosphoreum dapat memproduksi histamin pada suhu dingin, dimana sebanyak 31% ikan yang disimpan pada suhu -10 C sampai 50 C terdapat histamin sampai kadar 500 ppm (Emborg dan Dalgaard, 2008). 2.5 HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point) HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidak amanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan. HACCP menekankan pentingnya mutu keamanan pangan, karena itu sebagai suatu sistem jaminan mutu keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pangan mulai dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Muhandri dan Kadarisman 2006). 12
  • 13. HACCP adalah suatu sistem dengan pendekatan sistematik untuk mengakses bahaya-bahaya dan resiko-resiko yang berkaitan dengan pembuatan, distribusi dan penggunaan produk pangan. Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (Critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya. (Thaheer 2005). 13 2.5.1 Prinsip HACCP Secara umum, program HACCP didasarkan pada tujuh prinsip yang dikembangkan oleh NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods). Ketujuh prinsip itu adalah (Muhandri dan Kadarisman 2006) : 1) Analisa bahaya (hazzard), identifikasi, dan tindakan pencegahan Bahaya adalah suatu kondisi atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun fisika, yang dapat menyebabkan makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau merugikan konsumen. Proses identifikasi atas bahaya kerugian di dalam suatu proses atau produk yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan ekonomi. 2) Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP) Control Point (CP) adalah suatu titik, tahap atau prosedur yang memiliki faktor-faktor biologis, kimiawi, maupun fisikawi dapat dikendalikan. Critical Control Point (CCP) adalah suatu titik, tahap atau prosedur yang pengendaliannya dapat ditetapkan, bahayanya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai batas yang diterima. Selain itu CCP adalah titik kritis dimana bila gagal melakukan tindakan-tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan resiko penolakan konsumen. 3) Penetapan batas-batas kritis (Critical limit) Batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan pencegahan pada suatu CCP. Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas kritisnya. Batas-batas kritis tersebut meliputi : persyaratan teknis/administrasi, definisi batasan penolakan, toleransi atas persyaratan penolakan. 4) Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring) Pemantauan adalah tindakan yang terencana dan berurut dari suatu observasi atau pengukuran untuk mengetahui apakah CCP berada dalam control, dan untuk menghasilkan catatan yang akurat untuk keperluan verifikasi. Tujuan
  • 14. pemantauan adalah untuk menelusuri operasi dari suatu proses, untuk mengetahui apakah suatu proses harus dirubah/disesuaikan, untuk mengidentifikasi penyimpangan yang terjadi pada suatu CCP, untuk menyediakan dokumen tertulis dari sistem pengendalian proses. 5) Penetapan tindakan koreksi (Corective action) Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika suatu penyimpangan atau kesalahan untuk memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan penetapan tindakan koreksi adalah untuk mengoreksi dan menghilangkan penyebab penyimpangan dan mengembalikan control proses, untuk mengidentifikasi produk yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan menentukan posisinya. 6) Penetapan sistem pencatatan (Record keeping) Catatan yang harus disimpan sebagai bagian dalam sistem HACCP. Semua yang dipantau harus dicatat, semua tindakan koreksi harus dicatat, agar lebih sistematis pencatatan dilakukan menggunakan formulir yang distandarkan, pedoman dalam membuat formulir yaitu memuat tentang semua informasi yang dipantau/koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan seperti (waktu, tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan pencatatan, dan lain-lain), akan lebih baik bila semua data yang dikumpulkan dapat dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan mudah dapat dievaluasi. 7) Penetapan prosedur verifikasi Verifikasi adalah penerapan dari suatu metode, prosedur, pengujian dan audit sebagai tambahan kegiatan pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan kesesuaian dengan “Rancangan HACCP” atau perlu dimodifikasi. Untuk menjamin dan memastikan bahwa program Hazzard Analisis Critical Control Point) (HACCP) berjalan di dalam jalur yang tepat dan dilakukan dengan baik, secara internal maupun eksternal. Secara internal oleh pihak manajemen perusahaan sendiri (plant manajer yang ditunjang oleh uji laboratorium sebagai pendukung), secara eksternal oleh pihak pemerintah yang dilakukan secara wajib dan rutin. 14
  • 15. 2.5.2 Penerapan HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point) HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan manajemen industri pangan untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut telah memproduksi produk yang aman setiap saat, memberikan bukti sistem produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri pada produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan akan konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi standar dan regulasi pemerintah, dan menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien (Dian, 2012). Menurut Abdurohman (2007), aplikasi HACCP terdiri dari 12 tahapan, 15 yaitu: 1. Menyusun tim HACCP Tim ini haru dipilih oleh pihak manajemen (komitmen pihak manajemen adalah syarat paling awal yang harus ada untuk mensukseskan studi). Perencanaan, organisasi dan identifikasi sumber-sumber daya yang penting adalah tiga kondisi yang penting untuk penerapan metode HACCP yang berhasil. Kesuksesan studi ini tergantung pada pengetahuan dan kompetensi anggota-anggota tim terhadap produk, proses dan potensi bahaya yang perlu diperhatikan, pelatihan yang sudah mereka jalani tentang prinsip-prinsip metode ini, dan kompetensi pelatih. Tergantung pada kasusnya, tim ini bisa terdiri dari 4- 10 orang yang menguasai produk proses dan potensi bahaya yang hendak diperhatikan. Sebagai acuan, tim HACCP ini terdiri dari pemimpin produksi, quality control, bagian teknis dan perawatan. 2. Mendeskripsikan produk Deskripsi produk menjelaskan karakteristik umum (komposisi, volume, struktur), bahan pengemas dan cara pengemasan, kondisi penyimpanan, informasi tentang pelabelan, instruksi tentang pengawetan dan penggunaannnya, kondisi distribusi, dan kondisi penggunaan oleh konsumen. Pada prakteknya, informasi ini juga perlu dikumpulkan untuk bahan mentah, bahan baku, produk antara, dan produk yang harus diproses ulang jika bahan-bahan tersebut memiliki karakteristik tertentu.
  • 16. 16 3. Identifikasi Pengguna Tujuan penggunaan harus didasarkan penggunaan yang diharapkan oleh konsumen akhir. Pada kasus-kasus tertentu, populasi yang sensitif harus dipertimbangkan, tujuannya adalah : a. Untuk mendaftar umur simpan yang diharapkan, penggunaan produk secara normal, petunjuk penggunaan, penyimpangan yang dapat diduga dan masih masuk akal, kelompok konsumen yang akan menggunkaan produk tersebut, dan kelompok konsumen pada sensitif terhadap produk tersebut. b. Untuk menentukan konsistensi petunjuk penggunaan dengan kondisi penggunaan yang sesungguhnya. c. Untuk memastikan bahwa petunjuk pelabelan produk akhir sesuai dengan peraturan yang dibuat. d. Jika perlu untuk mengusulkan modifikasi petunjuk penggunaan, bahkan produk atau proses yang baru untuk menjamin keamanan konsumen. 4. Penyusunan Bagan Alir Proses Diagram alir adalah penyajian yang mewakili tahapan-tahapan operasi yang saling berkesinambungan. Diagram alir proses akan mengidentifikasi tahapan-tahapan proses yang penting (dari penerimaan hingga perjalanan akhir produk yang sedang dipelajari). Diagram alir adalah suatu gambaran yang sistimatis dari urutan tahapan atau pelaksanaan pekerjaan yang dipergunakan dalam produksi atau dalam menghasilkan pangan tertentu. Bentuk diagram alir tergantung perusahaan, dapat berbentuk kata dan garis (lebih mudah dimengerti) atau menggunakan simbol. 5. Pemeriksaan Bagan Alir di Lapangan Tujuan dari tahapan ini adalah memvalidasi asumsi-asumsi yang dibuat berdasarkan tahapan-tahapan proses serta pergerakan produk dan pekerja di lokasi pengolahan pangan. Seluruh anggota tim HACCP harus dilibatkan. Proses verifikasi tahap ini harus diprioritaskan pada tinjauan tentang proses yang dilakukan di pabrik pada waktu-waktu yang berbeda pada saat operasi, termasuk pada shift yang berbeda.
  • 17. Jika tahap ini tidak dilakukan dengan teliti maka analisa yang dilakukan selanjutnya bisa keliru. Potensi bahaya yang sesungguhnya bisa tidak teridentifikasi dan titik-titik yang bukan titik pengendalian kritis teridentifikasi sebagai CCP. Dengan demikian perusahaan telah membuang-buang sumber daya dan tingkat keamanan produk menjadi berkurang. 6. Analisis Bahaya Pada Setiap Tahap dan Cara Pencegahannya Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan menilai informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan dan harus ditangani dalam rencana HACCP. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menentukan potensi bahaya yang mana yang sepenuhnya telah dapat dikendalikan dengan upaya pengendalian yang telah dilakukan pada program yang telah disyaratkan sebelumnya, bangunan, peralatan, sanitasi, pelatihan perseorangan, penyimpanan, dan transportasi. Masing-masing upaya pengendalian perlu dibuat dalam bentuk resmi ke dalam prosedur yang didefinisikan dengan baik atau instruksi kerja yang dibuat oleh tim HACCP dan keefektifannya perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan seluruh informasi ilmiah yang telah dikumpulkan pada tahap pendahuluan protokol. 7. Menentukan Titik Pengendalian Kritis Critical Control Point (CCP) adalah suatu langkah pengendalian suatu titik, tahapan dari suatu proses yang dapat dilakukan dan perlu diterapkan untuk mencegah bahaya keamanan pangan atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima. Untuk mengidentifikasi CCP biasanya dapat menggunakan rumus Decision Tree (Diagram 1). 17
  • 18. Apakah ada tindakan pengendalian yang bersifat mencegah ? Lakukan modifikasi tahapan, proses atau produk Apakah pengendalian pada tahap ini diperlukan untuk pengamanan ? Ya Tidak Bukan TKK Berhenti (*) Apakah tahapan dirancang khusus untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkata yang dapat diterima ? (**) Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima ? (**) Ya Tidak Bukan TKK Berhenti (*) Akankah langkah berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima? (**) Bukan TKK Berhenti (*) 18 P1 P 2 P 3 P 4 Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak TITIK KENDALI KRITIS (TKK) Gambar 3 :Diagram contoh pohon keputusan untuk identifikasi TKK (SNI, 2011)
  • 19. 19 Keterangan : * Lanjutkan kebahaya yang diidentifikasi berikutnya dalam uraian proses. ** Tingkat yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima perlu diidentifikasi disemua tujuan dalam mengidentifikasi TKK dari rencana HACCP. 8. Penetapan Batas Kritis untuk Masing-masing CCP Critical limit/batas kritis adalah suatu kriteria yang memisahkan antara kondisi yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Tahapan ini harus memungkinkan untuk dibuat pada masing-masing CCP dari satu atau beberapa batas kritis, berikut pengawasannya yang menjamin pengendalian CCP. Suatu batas kritis adalah kriteria yang harus diperoleh dengan cara pengendalian yang berhubungan dengan CCP. Parameter untuk penyusunan batas kritis harus dipilih sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk melakukan tindakan perbaikan ketika batas kritis terlampaui. Kriteria yang sering digunakan untuk batas kritis yaitu: suhu, bahan pengawet, kandungan air, pH, kadar chloor, kadar garam, berat tuntas, isi dalam kemasan. 9. Penetapan Tindakan Pemantauan Pada Setiap CCP Monitoring adalah tindakan melakukan serentetan pengamatan atau pengukuran yang direncanakan dari parameter pengendali untuk menilai apakah CCP dalam kendali. Metode yang dapat memberikan jawaban yang cepat akan lebih baik untuk digunkan. Hal ini terutama berupa pengamatan fisik, pengukuran fisik atau kimia. Metode mikrobiologi jarang digunakan sebab terlalu lama, terlalu banyak sampel yang harus diambil agar hasilnya nyata secara statistik. Disisi lain, metode analisa mikrobiologi berguna untuk menyusun analisis potensi bahaya dan mengkaji ulang bahwa sistem tersebut bekerja dengan efisien. 10. Menetapkan Tindakan Koreksi Jika Terjadi Penyimpangan Corrective action/tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus diambil apabila hasil pemantauan pada titik kendali kritis menunjukkan kehilangan kendali. Tindakan koreksi merupakan tindakan yang harus diambil ketika hasil pemantauan pada CCP menunjukan kegagalan pengendalian. Semua penyimpangan yang terjadi tidak dapat diantisipasi sehingga tindakan perbaikan tidak boleh dilakukan sebelumnya, dengan demikian disarankan untuk menduga kasus penyimpangan yang paling sering terjadi dan atau mendefinisikan
  • 20. mekanismenya, pengaturannya, pihak yang berwenang, serta tanggung jawab secara umum untuk diterapkan setelah terjadi penyimpangan apapun juga. 20 11. Penyusunan Prosedur Verifikasi Kegiatan verifikasi terdiri dari dua kegiatan yaitu, validasi dan verifikasi. Validasi adalah kegiatan memperoleh bukti bahwa unsur-unsur dari rencana HACCP berjalan efektif. Sedangkan verifikasi adalah penerapan metode, prosedur, pengujian dan cara penilaian lainnya disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP. Tujuan dari verifikasi adalah untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja efektif. Tahapan ini meliputi prosedur pengkajian, pengujian, dan audit untuk mengkaji ulang bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif, dan modifikasi yang harus dibuat di dlaam sistem HACCP dan dokumen pendukungnya ketika proses atau produk dimodifikasi. 12. Penetapan Prosedur Pencatatan yang Efektif Prosedur HACCP harus di dokumentasikan dan harus sesuai dengan sifat dan ukuran operasi. Sistem pendokumentasian yang praktis dan tepat sangatlah penting untuk aplikasi yang efisien dan penerapan sistem HACCP yang efektif. Sistem ini juga harus menjelaskan bagaimana orang-orang yang ada di dalam pabrik dilatih untuk menerapkan rencana HACCP dan harus memasukan bahan-bahan yang digunakan dalam pelatihan pekerja. Tahapan penetapan prosedur pencatatan/dokumentasi dari rencana HACCP umumnya dilaksanakan sebelum dilakukannya penetuan prosedur verifikasi, akan tetapi dapat pula dilakukan setelah prosedur verifikasi selesai disusun. Jika dokumentasi rencana HACCP disusun setelah prosedur verifikasi dilaksanakan, maka dokumen HACCP juga mencakup prosedur verifikasi yang telah ada.
  • 21. BAB III METODE PELAKSANAAN 3.1 Tempat Dan Waktu Pelaksanaan Praktek kerja lapangan dilaksanakan mulai pada 01 - 31 Maret 2013 di CV. Cahaya Mandiri, Desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. 21 3.2 Alat dan bahan  Alat 1. Timbangan 14. Injeksi Tuna Loin 28 jarum 2. Coring Tube 15. Timbangan digital 3. Golok 16. spons 4. Meja 17. Topi 5. Keranjang. 20 kg dan 50 kg 18. Bots 6. Sikat 19. Masker 7. Pisau Potong 20. Mesin vacuum 8. Pisau Fillet 21. Alas tangan 9. Pisau tulang 10. Wadah penampungan air 11. Talenan 100 x 100 cm 12. Talenan 50 cm x 100 cm 13. Thermometer  Bahan Lembar kuisioner 3.3 Metode yang digunakan  Metode pengumpulan data 1) Data primer a) Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan karyawan. b) Observasi partisipatif melalui pengamatan langsung di CV. Cahaya Mandiri dan mengikuti semua proses produksi.
  • 22. 22 2) Data sekunder Data penunjang diperolah dari studi literature, buku, laporan hasil penelitian dan lain sebagainya.  Metode analisis data Data yang terkumpul selama pelaksanaan dilapangan dianalisis secara deskriptif. Dengan pencarian informasi yang bersumber dari data primer yaitu mengumpulkan data langsung dari pengamatan, wawancara dan turun langsung dalam proses pengolahan tuna loin. 3.4 Objek Pengamatan Adapun objek yang diamati dalam praktek kerja lapang (PKL) ini adalah Penerapan HACCP pada CV. Cahaya Mandiri mulai dari pembentukan TIM, HACCP, deskripsi produk, identifikasi pengguna, penyusunan diagram alir proses produksi, konfirmasi bagan alir dilapangan, analisis potensi bahaya, identifikasi CCP, penetapan batas kritis, tindakan pemantauan untuk setiap CCP, tindakan koreksi, prosedur verifikasi dan dokumentasi HACCP.
  • 23. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4.1 Keadaan Umum Perusahaan Pada awalnya perusahaan Cahaya Mandiri dikenal dengan sebutan CV. Era Mandiri. Perusahaan ini mulai berdiri pada tahun 1991 yang bertempat di desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango dan bekerja sama dengan PT. Sinar Ponula Deheto (SPD). Selama 13 tahun yakni dari tahun 1991-2004 perusahaan Era Mandiri terikat kontrak dengan PT. Sinar Ponula Deheto. Tahun 2004 perusahaan Era Mandiri mulai berdiri sendiri dengan lokasi pabrik di Kelurahan Tenda (Pabean) selama 5 tahun, sehingga tepatnya pada tanggal 21 Maret 2010 perusahaan Era Mandiri berubah menjadi CV. Cahaya Mandiri hingga sekarang yang bertempat di Desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Perusahaan ini bergerak dibidang pembekuan loin tuna, dengan hasil rata-rata per bulan yakni 13 ton dan tergantung pada ketersediaan/masuknya bahan baku. Daerah pengumpulan bahan baku yang dijadikan produk loin tuna beku hanya seputaran Bone Pesisir sehingga kegiatan produksi tidak berjalan aktif. CV. Cahaya Mandiri lokasinya strategis dan di dukung oleh beberapa faktor yakni lokasi bangunannya dekat dengan pinggiran pantai sehingga memudahkan nelayan untuk memasukan ikan serta memiliki alat tangkap yang merupakan hasil kerja sama pimpinan perusahaan dengan kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Hasil produksi yakni produk loin tuna beku di kirim ke PT. Era Mandiri Jakarta karena CV. Cahaya Mandiri merupakan cabang pabrik pengolahan tuna loin dari PT. Era Mandiri. Produk yang dikirim dilakukan uji Histamin dan Mikrobiologi dan selanjutnya di ekspor kebeberapa Negara tetangga, bahkan ada juga yang di ekspor ke Amerika dengan harga jual produk tuna loin beku yakni Rp. 95.000/kg. 4.1.2 Struktur Organisasi Perusahaan CV. Cahaya Mandiri memiliki jumlah karyawan 12 orang dengan masing-masing bagian yakni :
  • 24. ASEP KOSITA Kepala Produksi & QC Karyawan Produksi 1. Oyong 4. Santy 7. None 2. Manto 5. Amhat 8. Ais 3. Alhy 6. Anas 24 1. Pimpinan Perusahaan Pimpinan perusahaan CV. Cahaya Mandiri memiliki tanggung jawab penuh untuk mengawasi proses produksi berlangsung serta memiliki wewenang dalam memutuskan dan menguji kualitas mutu bahan baku ikan tuna secara organoleptik sebelum masuk ke ruang produksi. 2. Administrasi Tanggung jawab seorang administrasi adalah mengatur dan mencatat semua pembukuan yang menyangkut tentang keuangan perusahaan baik mengenai pengeluaran, keuntungan, maupun gaji karyawan. 3. Kepala Produksi Kepala produksi memiliki tanggung jawab dan wewenang pada proses produksi tuna loin dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan beku. 4. Kepala Mekanik Tugas dari seorang kepala mekanik yakni mengawasi semua yang berhubungan dengan mesin, baik mesin untuk penerangan, mesin chilling, ABF, serta cold storage. 5. Kepala Sanitasi Kepala sanitasi bertanggung jawab mengenai kebersihan dan kesehatan karyawan sebelum dan sesudah proses produksi loin tuna. Adapun Struktur Organisasi perusahaan dapat dilihat pada Gambar 4. Pimpinan Siti Rohana Administrasi Rohim Elin Kepala Mekanik Santo Kepala Sanitasi Gambar 4. Struktur Organisasi Perusahaan (Sumber CV. Cahaya Mandiri).
  • 25. 4.2 Penerapan HACCP Dalam Proses Pengolahan Tuna Beku Penerapan prinsip-prinsip HACCP pada CV. Cahaya Mandiri terdiri dari 25 tugas-tugas sebagai berikut : 1. Pembentukan Tim HACCP Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri terdiri dari 3 orang, yang masing-masing adalah Manajer, Kepala Produksi, quality control dan Kepala Sanitasi. Untuk kepala produksi dan QC jabatannya dipegang oleh satu orang karena diantara karyawan belum ada yang memiliki sertifikat HACCP selain dari 3 orang tim. Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri HACCP TEAM Rohim Kepala Produksi dan QC Elin Kepala Mekanik Santo Kepala Sanitasi Sumber: CV. Cahaya Mandiri Jumlah tim sebaiknya maksimum 5 orang dan minimum 3 orang yang memiliki keahlian dibidangnya dengan dibuktikan adanya sertifikat pada masing-masing tim HACCP. Sebagai acuan, tim HACCP ini terdiri dari pemimpin produksi, quality control, bagian teknis dan perawatan (Abbdurohman, 2007). 2. Deskripsi Produk Tahapan aplikasi HACCP ini bertujuan untuk mengetahui komposisi utama produk, karakteristik produk, pengemasan, struktur kimia/fisik, informasi keamanan, cara penyimpanan, perlakuan pengolahan, petunjuk penggunaan dan metode pendistribusian. Deskripsi produk pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Deskripsi produk pada CV. Cahaya Mandiri Nama Produk Frozen Tuna Nama Spesies Thunnus Albacores, Thunnus Obesusu Asal bahan baku Penangkapan dengan menggunakan kapal Hand Line diperairan Indonesia Penerimaan Bahan baku Dari Pemasok, dibawa menggunakan mobil pick up dengan suhu <4,40C Produk Akhir Tuna Loin Beku
  • 26. 26 Tipe Kemasan Kemasan dalam : Menggunakan plastik PE dan di vacuum Kemasan Luar : Menggunakan Carton, Styrofoam Penyimpanan Dalam ruangan beku dengan suhu diatur di-250C Daya Awet Satu tahun dalam kondisi beku (suhu <-18 0C) Label/Spesifikasi Kode Perusahaan, Tanggal Produksi, Berat Bersih, Mutu. Penggunaan Produk akhir Untuk dimasak sebelum dikonsumsi. Sumber : CV. Cahaya Mandiri 3. Identifikasi Pengguna Produk tuna loin beku pada CV. Cahaya Mandiri mempunyai segmen pasar untuk masyarakat, biasanya konsumen mengkonsumsi produk tuna loin ini sudah dalam bentuk olahan yang lebih lanjut, tapi untuk konsumen Asia (Jepang) produk Tuna loin ini dikonsumsi dalam keadaan segar tanpa ada pengolahan yang lebih lanjut biasanya dibuat Sashimi. Menurut SNI, 2011 Identifikasi pengguna sebaiknya didasarkan pada kegunaan yang diharapkan dari produk oleh konsumen. 4. Menyusun Bagan Alir Untuk memudahkan proses pengolahan maka CV. Cahaya Mandiri membuat diagram alir yang disusun oleh tim HACCP. Diagram alir tersebut mencakup semua tahapan proses pengolahan tuna loin beku mulai dari penerimaan bahan baku sampai pada proses pendistribusian. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya. Menurut SNI (2011), Bagan alir sebaiknya mencakup semua tahapan dalam proses untuk produk tertentu. Bagan alir yang sama dapat digunakan untuk sejumlah produk yang dihasilkan menggunakan tahapan proses yang serupa. Ketika menerapkan HACCP untuk suatu operasi tertentu, pertimbangan sebaiknya diberikan pada tahapan sebelumnya dan yang mengikuti operasi tersebut. Adapun bagan alir pada CV. Cahaya Mandiri adalah sebagai berikut (Diagram 2)
  • 27. 1.Penerimaan dan Pemilihan 3.Pendinginan Sementara 2.Penimbangan 1 4.Pencucian 5.Buang Kepala dan Loin 6.Buang Kulit & Pengikisan 7.penimbangan 2 8.Perlakuan Clear Smoke 27 9.Pendinginan 2 10.Perlakuan Ozon 12.Pengemasan & Penimbangan 11.Retouching 13.Vacuum 14.Pembekuan 15.Pengepakan 16.Penyimpanan Beku 17.Pengisian Container CCP 2 CCP 1 Gambar 5. Diagram Alir Proses Pengolahan (Sumber CV. Cahaya Mandiri)
  • 28. 28 5. Konfirmasi Bagan Alir Dilapangan Untuk memastikan kebenaran dari diagram alir yang telah dibuat, tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri selalu melakukan pengecekan secara langsung dari penerimaan dan pemilihan bahan baku sampai pada penyimpanan beku, apakah setiap karyawan sudah melakukan penerapan GMP dan SSOP pada setiap proses pengolahan tuna loin. Untuk Pengecekan diagram alir pada CV. Cahaya Mandiri dilakukan oleh kepala produksi dan kepala sanitasi. Pengecekan dilakukan pada saat pasokan bahan baku melimpah dan jika bahan baku yang masuk sedikit biasanya pengecekan hanya dilakukan oleh kepala produksi. Menurut Mortimore dan Carrol (2005), keakuratan diagram alir harus diperiksa dengan mengamati jalannya proses dan membandingkan setiap langkah proses dengan diagram. 6. Analisis Potensi Hazzard Dari hasil analisis Bahaya potensial yang dilakukan oleh Tim HACCP CV. Cahaya Mandiri mengelompokkan 3 jenis bahaya yang dapat terjadi pada produk tuna loin beku yaitu bahaya fisik, Biologis dan Kimia. Untuk bahaya fisik yang terindentifikasi pada penerimaan bahan baku, dimana terdapat kecacatan fisik seperti adanya luka tusukan pada daging ikan dan tekstur daging ikan yang kurang baik. Bahaya biologis yang dapat teridentifikasi pada CV. Cahaya Mandiri yaitu E.Coli, Salmonela, V.Cholera, dan V.Parahemalyticus. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan membunuh bakteri dengan menggunakan desinfektan pada tahapan proses produksi. Bahaya kimia yang teridentifikasi yaitu pembentukan Histamin pada saat proses produksi berlangsung. Pencegahan yang dilakukan oleh CV. Cahaya Mandiri untuk menghindari terjadinya pembentukan Histamin yaitu dengan menerapkan GMP dan SSOP pada setiap tahapan produksi. Untuk lebih jelasnya Analisis bahaya pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada Lampiran 1 Penentuan bahaya dilakukan pada setiap tahapan proses produksi, sehingga bahaya yang teridentifikasi dapat dengan segera ditangani. Tindakan pencegahan merupakan tindakan penghambatan bahaya ke dalam produk dan mengacu pada prosedur operasi dimana pada setiap tahap pekerja dipekerjakan (Sarwono, 2007)
  • 29. 7. Identifikasi Critical Control Point (CCP) Penentuan CCP pada proses pengolahan tuna loin beku di CV. Cahaya Mandiri dilakukan dengan menerapkan pohon keputusan, yang berisi urutan pertanyaan dalam menentukan apakah termasuk suatu titik kendali kritis (lihat Gambar 3). Mungkin ada lebih dari satu CCP dimana pengendalian diterapkan untuk mengatasi bahaya yang sama. Penentuan suatu CCP dalam sistem HACCP dapat dipermudah dengan penerapan pohon keputusan, yang menunjukan suatu pendekatan yang pemikiran yang logis (SNI, 2011). Penentuan CCP pada CV. Cahaya Mandiri dalam setiap proses pengolahan 29 adalah sebagai berikut : A. Penerimaan Bahan Baku CV. Cahaya Mandiri mendapat pasokan bahan baku berasal dari nelayan lokal dan armada kapal tuna yang merupakan hasil kerja sama pimpinan perusahaan dengan kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Ikan tuna dari pemasok dimasukkan ke ruang penerimaan dengan cepat dan hati-hati, kemudian diletakkan di tempat penyortiran. Tujuan pemilahan / penyortiran adalah memilih ikan yang bermutu baik untuk diolah menjadi loin. Untuk mendapatkan hasil ikan yang bermutu baik, maka dicek dengan menggunakan alat pengecek yakni stecker yang dilakukan oleh karyawan berpengalaman (Cheker) dan diawasi langsung oleh kepala produksi. Ikan tuna selain dicek kualitasnya juga di sortir berdasarkan ukuran dan berat total. Ada tiga bahaya potensial yang akan terjadi yaitu pertumbuhan bakteri, Kerusakan fisik, dan histamin. Bahaya potensial yang pertama pada tahapan ini adalah pertumbuhan bakteri yang disebabkan kondisi sanitasi yang kurang baik diruang penerimaan. Bahaya ini bukan merupakan Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu : P1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 3 dengan prosedur sebagai berikut:  Ruangan penerimaan (lantai dan dinding) selalu dibersihkan dengan sabun, kemudian disanitasi menggunakan chlorine sebesar 100 sampai 150 ppm sebelum dan setelah proses produksi.
  • 30.  Ruangan prosesing (lantai dan dinding) selalu dibersihkan menggunakan sabun, kemudian di sanitasi menggunakan chlorine sebesar 100 sampai 150 ppm sebelum dan setelah proses produksi. Menurut SNI (2006), Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati- hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C. Bahaya potensial kedua pada tahapan ini yaitu kerusakan fisik yang disebabkan oleh penanganan yang kasar oleh nelayan pada saat menagkap ikan tuna. Bahaya ini ditandai degan adanya kecacatan fisik seperti adanya luka tusukan pada daging ikan, tekstur daging ikan yang kurang baik serta ada kecurigaan lain seperti bau tidak sedap (anyir). Bahaya ini bukan merupakan Critical Control Point (CCP), Sesuai dengan jawaban pohon keputusan yang telah diterapkan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak karena bahaya kerusakan fisik ini dapat dikendalikan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap ikan dengan melihat apakah terdapat luka dan bau tidak sedap, sehingga tidak ada tindakan pencegahan terhadap bahaya kerusakan fisik ini, dan apabila teridentifikasi adanya kerusakan fisik pada loin maka loin akan dikembalikan. Bahaya potensial ketiga pada tahapan ini yaitu kandungan Histamin yang disebabkan oleh peningkatan suhu. Selama penulis magang di CV. Cahaya Mandiri, penulis tak pernah melihat adanya kegiatan pengujian histamin yang dilakukan setiap kedatangan bahan baku. Menuurut pedoman atau panduan yang ada di CV. Cahaya Mandiri Upaya untuk mencegah bahaya kandungan histamin yaitu dengan melakukan pengujian histamin setiap kedatangan bahan baku di laboratorium eksternal dan akan ditolak jika kandungan Histamin > 50 ppm/ lot. Bahaya ini merupakan Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon 30 keputusan yaitu :
  • 31. P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Ya P 2 : Apakah bahaya ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya sampai tingkat yang diterima ? Tidak P 3 : Apakah kontaminasi dari bahaya yang telah diidentifikasi melewati tingkat yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang diperbolehkan ? Ya P 4 : Apakah Proses selanjutnya dapat menghilangkan bahaya atau mampu mengurangi bahaya sampai batas yang diterima ? Tidak Tindakan pencegahan yang dilakukan pada CV. Cahaya Mandiri untuk mengidentifikasi adanya pembentukan histamin pada tuna loin pada saat penerimaan bahan baku yang ditemui dilapangan yaitu:  Dilakukan pengukuran suhu pada setiap ikan yang masuk, apa bila suhu ikan diatas 80C maka ikan tuna tersebut dikembalikan karena diduga adanya kandungan histamin.  Melihat sampel daging ikan yang diambil dengan alat stecker, apabila daging ikan terlihat pucat dan teksturnya kurang padat maka ikan tuna dikembalikan karena diduga sudah terbentuknya kandungan histamin.  Di uji secara Organoleptik, apabila terdapat luka tusukan pada daging ikan dan kecurigaan lain seperti bau tidak sedap (anyir) maka ikan tuna dikembalikan karena diduga sudah terbentuknya kandungan histamin. Penanganan adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada tuna. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 °C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin (Dalgaard et al., 2008). Produksi enzim decarboxylase telah terjadi, maka akan terus menerus dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu dingin hingga 40C. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteria jenis Proteus morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens, Enterobacter aerogenes,, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang 31
  • 32. menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 – 300C (Kanki et al., 2002). Gambar 6. Penerimaan bahan baku dan Sortasi Mutu 32 B. Penimbangan 1 Setelah ikan diterima diruangan penerimaan bahan baku, maka selanjutnya ikan ditimbang untuk mengetahui berat ikan tersebut. Pada proses ini bahaya potensial yang timbul adalah pertumbuhan bakteri (E. coli, Salmonela, dan V. cholera). Penyebab bahaya tersebut diakibatkan oleh kondisi sanitasi timbangan dan karyawan yang kurang baik. Bahaya pada proses ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan SSOP 4 dan SSOP 5. SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut:  Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.  Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus selalu dalam keadaan bersih.  Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap hari.  Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.  Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan proses  Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet.
  • 33. SSOP 5 Sanitasi Timbangan dengan prosedur:  Semua timbangan setelah proses produksi dibersihkan dengan sabun cair, dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.  Khusus untuk timbangan digital hanya papan cetakan yang disanitasi.  Timbangan yang digunakan telah dicek dan dikalibrasi sebelumnya. Cara penimbangan I dapat dilihat pada Gambar 7 Gambar 7. Penimbangan ikan tuna 33 C. Pencucian (Washing) Setelah ikan tuna ditimbang kemudian diberi kode menurut jenis, berat, dan tingkat kesegaran (grade A, B, C, dan lokal). Ikan tuna yang sudah diberi kode, disikat dan dibersihkan dengan menggunakan air yang bercampur desinfektan (Mikrolene) dengan konsentrasi 25 ppm. Tujuan penggunaan desinfektan yakni untuk membersihkan bakteri yang ada dipermukaan tubuh ikan. Pencucian ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Pencucian ikan tuna dengan desinfektan (Mikrolene)
  • 34. Bahaya potensial yang mungkin terjadi pada proses ini adalah kondisi sanitasi air yang kurang baik sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri. Bahaya ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan GMP 3 dan SSOP 1 yaitu pencucian dengan prosedur sebagai berikut :  Setiap ikan dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan air mengalir, pencucian harus menggunakan air dingin untuk mempertahankan suhu pusat ikan tetap < 4.4 0C.  Pencucian dilakukan untuk menghilangkan sisa darah dan kotoran yang 34 masih menempel pada kulit ikan. SSOP 1 yaitu pengadaan air dan es dengan prosedur sebagai berikut :  Air diperoleh dari perusahaan air minum daerah (PDAM), kemudian dikumpulkan dalam bak penampungan yang tersedia diperusahaan. Jalur antara pipa air bersih dengan air kotor dipisahkan.  Air yang digunakan untuk penanganan produk telah melalui system filtrasi dan ultraviolet kemudian diberi larutan chlorine sebanyak 20 sampai 50 ppm.  Pemeriksaan sensorik seperti rasa, warna dan bau dilakukan setiap hari sebelum air tersebut digunakan. D. Pendinginan Sementara (Temporary Chilling) Ikan tuna yang sudah dibersihkan, dimasukkan ke dalam bak pendingin yang sudah diberi es dengan suhu diatur antara 0°C sampai 4,4°C selama 15 sampai dengan 20 menit. Tujuan dari pendinginan sementara ini adalah untuk menormalisasikan suhu tubuh ikan, karena suhu tubuh ikan di atas kapal penangkap tidak memenuhi standar karena adanya keterbatasan es yang digunakan sebagai media pendingin. Biasanya suhu tubuh ikan tuna pada saat dilakukan pembongkaran dari atas kapal penangkap hanya berkisar 5° C sampai 6° C. Pendinginan sementara dapat dilihat pada Gambar 9
  • 35. Gambar 9. Pendinginan sementara Bahaya potensial pada tahapan ini adalah peningkatan suhu yang dapat menyebabkan proses terbentuknya histamin pada ikan tuna. Bahaya pada proses ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan GMP 4 yaitu pendinginan sementara dengan prosedur:  Sebelum ikan diproses, ikan yang telah dibersihkan terlebih dahulu dimasukkan kedalam bak pendingin yang berisi es. Suhu diset < 4.4 0C  Pendinginan bertujuan untuk mempertahankan suhu ikan tuna tetap < 4.4 35 0C E. Pemotongan Kepala dan Loin (De-heading and loining) Ikan tuna yang telah dicelupkan kedalam bak yang berisi es selama 15 atau 20 menit, kemudian di angkat dan di potong bagian kepala, sirip, dan pangkal ekor secara manual menggunakan pisau potong yang bersih dan hati-hati. Cara pemotongan kepala yakni sayatan pisau dimulai dari sirip dada sampai sirip perut, setelah penyayatan kemudian ikan tuna di balik, dilanjutkan lagi dengan penyayatan seperti diatas sampai kepala ikan tuna terlepas. Proses pemotongan kepala ikan dapat dilihat pada Gambar 10.
  • 36. Gambar 10. Pemotongan kepala ikan tuna Pemotongan kepala ikan dilakukan secara cepat dan meja yang digunakan untuk pemotongan slalu dibersihkan setiap satu kali pemotongan ikan dengan menggunakan air mengalir yang telah dicampur Multquant (desinfektan). Tujuan penggunaan Multquant adalah sebagai desinfektan (membunuh bakteri) dan untuk mencuci peralatan yang kontak langsung dengan produk. Multquant yang digunakan pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Mult Quant Setelah pemotongan kepala selesai selanjutnya ikan tuna dibawa pada ruangan pengolahan untuk pembentukan loin. Pembentukan loin dimulai dengan membelah daging ikan menjadi 4 bagian sepanjang bagian gurat sisi (linear lateralis), lalu dilakukan pemotongan dari bagian perut yang disayat dengan menggunakan pisau stainless sampai pangkal ekor dan dari bagian punggung sampai pangkal ekor seperti tampak pada Gambar 12. 36
  • 37. Gambar 12. Pembuatan loin Jika ditemukan loin yang jelek maka loin tersebut langsung dipisahkan. Pemotongan dilakukan untuk memenuhi permintaan dari pembeli dan mempermudah pada saat pengolahan. Papan dan pisau pemotongan yang digunakan untuk pembentukan loin dibersihkan dengan air mengalir yang dicampur dengan Multquant untuk mengurangi resiko kontaminasi pada produk loin. Kepala dan tulang ikan yang telah terpisah dari daging tidak langsung dibuang, tetapi ditampung dalam bak plastik yang besar untuk dijual kembali pada pembeli. Bahaya potensial pada proses ini adalah peningkatan suhu yang dapat menyebabkan proses terbentuknya histamin dan kondisi sanitasi peralatan yang kurang baik. Bahaya yang pada proses ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan GMP 5 dan SSOP 2. GMP 5 yaitu pemotongan kepala dan loin dengan prosedur:  Ikan tuna dipotong pada bagian kepala dan sirip secara manual dengan menggunakan pisau stainless yang bersih dan hati-hati, kemudian ikan dibelah menjadi empat bagian, masing-masing dua bagian perut dan dua bagian punggung. Jika ditemukan loin jelek maka loin tersebut langsung dipisahkan.  Pemotongan dilakukan untuk memenuhi permintaan dari pembeli dan 37 mempermudah pengolahan.
  • 38.  Ikan dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan air mengalir, pencucian harus menggunakan air dingin untuk mempertahankan suhu pusat ikan tetap < 4.4 0C. SSOP 2 yaitu peralatan yang kontak langsung pada produk dengan prosedur sebagai berikut :  Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.  Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.  Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm 38 dan sebelum istirahat siang Menurut SNI (2006), Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,40 C. F. Pembuangan Kulit (Skinning) dan Pengikisan (Trimming) Satu persatu loin tuna dibuang kulitnya menggunakan pisau trimming yang bersih dan hati-hati. Kulit ikan sesegera mungkin dipindahkan dari meja, kemudian dibawa ke tempat pembuangan untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Setelah tuna loin dikeluarkan dari kulit kemudian dilakukan perapihan (Trimming). Trimming adalah proses perapihan, karena setelah di fillet kemungkinan daging masih terlihat berantakan sehingga perlu dilakukan perapihan yakni dengan menghilangkan sisa-sisa kulit, tulang, dan daging merah yang masih menempel pada daging tuna loin sebelum ditimbang. Proses trimming dilakukan oleh karyawan proses dan diawasi kepala produksi, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13.
  • 39. Gambar 13. Pembuangan kulit ikan tuna. Bahaya potensial pada tahapan ini adalah pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh kondisi sanitasi peralatan yang kurang baik. Bahaya pada proses ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan SSOP 2 yaitu peralatan yang kontak langsung pada produk dengan prosedur:  Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.  Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.  Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm 39 dan sebelum istirahat siang G. Penimbangan 2 (Weighing 2) Semua loin yang sudah dirapihkan kemudian ditimbang satu per satu secara cepat dan hati-hati menggunakan timbangan elektronik. Penimbangan bertujuan untuk mengetahui berapa banyak loin yang telah diproses kemudian di catat oleh petugas pencatat dan di awasi oleh kepala produksi, untuk penimbangan 2 dapat dilihat pada Gambar 14.
  • 40. Gambar 14. Penimbangan 2 Potensi bahaya pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang disebabkan oleh kondisi sanitasi timbangan dan karyawan kurang baik. Bahaya pada proses ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 dan SSOP 5. SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut:  Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.  Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus 40 selalu dalam keadaan bersih.  Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap hari.  Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.  Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan proses  Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. SSOP 5 Sanitasi Timbangan dengan prosedur:  Semua timbangan setelah proses produksi dibersihkan dengan sabun cair, dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.  Khusus untuk timbangan digital hanya papan cetakan yang disanitasi.  Timbangan yang digunakan telah dicek dan dikalibrasi sebelumnya.
  • 41. 41 H. Penyuntikan CO (clear smoke) Tuna loin yang sudah ditimbang kemudian dibawa ke ruang clear smoke untuk dilakukan penuntikan CO. Penambahan CO dilakukan dengan penyuntikan kedalam beberapa bagian daging tuna loin secara merata menggunakan jarum suntik. Tuna loin kemudian dikemas sementara menggunakan plastik PE (Polyetilen) dan pada saat itu juga CO ditiupkan ke dalam plastik menggunakan sprayer agar permukaan daging terlihat merah secara merata. Semua peralatan yang digunakan dalam ruangan clear smoke bersih. Penyuntikan CO bertujuan untuk meningkatkan warna dan tekstur dari daging tuna loin. Penyuntikan CO dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Penyuntikan CO Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang disebabkan kondisi sanitasi peralatan yang kurang baik. Bahaya pada proses ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan SSOP 2 yaitu peralatan yang kontak langsung pada produk dengan prosedur:  Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.  Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.  Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm dan sebelum istirahat siang
  • 42. 42 I. Pendinginan 2 (Chilling 2) Produk loin yang telah disuntik dengan gas CO selanjutnya dimasukkan kedalam ruang pendinginan selama 24 jam agar warna daging tetap kelihatan merah karena telah disuntik dengan gas CO. Bahaya potensial pada proses ini adalah Histamin. Bahaya ini disebabkan oleh penyimpangan suhu yang terjadi dalam ruang pendingin. Upaya untuk mencegah bahaya tersebut adalah jika terdeteksi oleh QC suhu tinggi > 3,30C maka perekam data di cek untuk mengevaluasi durasi waktu pada suhu tertinggi. Fluktuasi suhu lebih dari 3,30C selama kurang dari 2,5 jam, maka produk dipindahkan kedalam styrofoam yang telah diberi es dengan suhu diset 00C. Berdasarkan pohon keputusan bahaya ini termasuk dalam Critical Control Point (CCP). P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Ya P 2 : Apakah bahaya ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya sampai tingkat yang diterima ? Tidak P 3 : Apakah kontaminasi dari bahaya yang telah diidentifikasi melewati tingkat yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang diperbolehkan ? Ya P 4 : Apakah Proses selanjutnya dapat menghilangkan bahaya atau mampu mengurangi bahaya sampai batas yang diterima ? Tidak J. Penanganan Setelah Clear Smoke (Retouching) Retouching adalah proses penanganan kembali (pengikisan) yang dilakukan secara cepat dan hati-hati terhadap loin yang baru dikeluarkan dari ruang pendingin (chilling room). Pengikisan dilakukan menggunakan pisau stainless yang bersih dengan tujuan untuk menghilangkan daging hitam, kulit dan benda asing yang masih melekat pada daging tuna loin. Setelah tuna loin dilakukan pengikisan kemudian permukaan daging tuna loin dibersihkan dengan menggunakan spons agar lendir akibat perlakuan chilling yang menempel pada permukaan daging tuna loin menjadi bersih. Tuna loin yang sudah bersih kemudian di timbang dengan standar berat kecil dari 5 kg, apabila berat tuna loin lebih dari 5 kg maka di potong agar beratnya tidak lebih dari 5 kg yang di
  • 43. sesuaikan dengan permintaan pembeli. Retouching atau penanganan loin tuna setelah di chilling yakni dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Penanganan setelah clear smoke Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang disebabkan oleh kondisi sanitasi peralatan dan karyawan yang kurang baik. Bahaya tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 2 dan SSOP 4. SSOP 2 yaitu peralatan yang kontak langsung pada produk dengan prosedur:  Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair, dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.  Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.  Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm 43 dan sebelum istirahat siang SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut:  Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.  Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus selalu dalam keadaan bersih.  Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap hari.  Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.
  • 44.  Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan 44 proses  Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. K. Pengemasan dan Penimbangan (Wrapping and Weighing) Setiap loin yang sudah dilakukan pengelapan kemudian ditimbang satu persatu dan dimasukkan ke dalam plastik PE yang bersih. Pengemasan dan penimbangan bertujuan untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada saat penyimpanan serta mengetahui jumlah produk yang akan di ekspor. Plastik PE untuk mengemas daging tuna loin disertai dengan kode produksi yang meliputi tanggal pemotongan, berat, dan tingkat mutu kesegaran. Penimbangan dan pengemasan dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Penimbangan dan Pengemasan Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri (E. coli, Salmonela) yang disebabkan oleh kondisi sanitasi karyawan yang kurang baik. Bahaya tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut:  Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.  Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus selalu dalam keadaan bersih.
  • 45.  Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap 45 hari.  Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.  Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan proses  Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. L. Vacum (Vacuum) Produk yang telah dimasukkan kedalam plastik kemudian dikeluarkan udara dengan menggunakan mesin vacum. Pada saat proses vacum berlangsung dihindari adanya penumpukan produk pada mesin vacum karena akan mengakibatkan peningkatan suhu sehingga proses vacum dilakukan dengan cepat dan tepat. Tujuan dari pemvakuman yaitu untuk mencegah kontaminasi pada saat penyimpanan. Cara pemvakuman seperti pada Gambar 18. Gambar 18. Pemvakuman loin tuna Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang disebabkan oleh kondisi sanitasi plastik dan karyawan kurang baik. Bahaya tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 kebersihan / kesehatan karyawan dengan prosedur:
  • 46.  Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.  Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus 46 selalu dalam keadaan bersih.  Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap hari.  Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.  Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan proses  Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet. M. Pembekuan (Freezing) Produk yang telah divacum selanjutnya di lakukan proses pembekuan. Pembekuan ini menggunakan metode pembekuan dengan udara dingin yang beroperasi pada suhu -350 C selama 8 jam dalam ruangan ABF. Tujuan pembekuan ini adalah untuk menjaga produk agar segar Bahaya potensial pada proses ini adalah pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh terjadinya penyimpangan suhu pembekuan, sehingga untuk mencegah hal tersebut terjadi maka suhu pembekuan dicek melalui display setiap 1 jam oleh mekanik atau quality control (QC). Bahaya tersebut tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP). P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Menurut SNI (2006), loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku seperti ABF hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal –18 °C dalam waktu maksimal 4 jam.
  • 47. 47 N. Pengemasan (Packing) Setelah semua loin beku, kemudian dimasukkan dalam box atau karung yang bersih dan ditandai dengan kode perusahaan, tanggal potong, grade, berat dan nomor karung atau box. Pengepakan bertujuan untuk melindungi produk selama penyimpanan dan dalam perjalanan menuju tempat tujuan. Pembersihan karung atau box terlebih dahulu dilakukan sebelum proses pengepakan, hal tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi produk dengan bahan pengemas. Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang disebabkan kondisi sanitasi bahan pengemas yang kurang baik. Bahaya pada proses ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan membersihkan karung atau box. Pembersihan dilakukan sebelum proses produksi dimulai dengan menggunakan sabun dan dicuci kembali dengan air bersih dengan tujuan untuk menghindari terjadinya penumpukan desinfektan pada produk. O. Penyimpanan Beku (Cold Storage) Setelah produk dipacking, proses selanjutnya adalah penyimpanan didalam gudang cold storage atau penyimpanan dingin dengan suhu operasional berkisar antara -18 0C sampai dengan -30 0C. Dalam ruang penyimpanan dingin ini udara harus berhembus merata kesemua ruangan. Sistem penyimpanan produk diatur dan ditata sedemikian rupa berdasarkan jenis produk dan size sehingga pada saat dilakukan distribusi produk tersebut mudah dilakukan proses bongkar muat. Proses penyimpanan/penyusunan hendaklah dilakukan dengan baik dan penuh kehati-hatian sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan pada box atau karung.
  • 48. Bahaya potensial pada tahapan ini adalah penyimpangan suhu yang dapat menyebabkan terbentuknya histamin pada produk. Bahaya pada proses ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan GMP penyimpanan beku dengan prosedur:  Setelah semua loin beku, loin dimasukkan dalam cold storage dengan suhu penyimpanan di set – 25 oC ± 0 oC , penyimpanan loin di cold storage harus dilakukan dengan rapi, antara produk yang satu dan lain dengan jaraknya diatur sedemikian rupa agar sirkulasi udara di cold storage berjalan dengan baik.  Cold storage di set untuk bisa mempertahankan suhu pusat ikan 48 < - 18 oC ± 0 oC. P. Pengisian Dalam Kontainer (Loading) Produk-produk yang berada dalam ruangan penyimpanan dingin kemudian dikeluarkan untuk dimasukkan dan disusun kedalam kontainer yang sebelumnya telah disetting suhunya hingga -25 0C untuk menjaga suhu produk. Bahaya potensial pada proses ini adalah pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh peningkatan suhu. Bahaya ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu: P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak Karena dapat dikendalikan dengan GMP pengisian ke kontainer dengan prosedur:  Seluruh box atau karung disusun didalam truk thermoking dengan rapi serta memperhatikan sirkulasi udara didalamnya. Pengisian kedalam truk thermoking dilakukan secepat mungkin untuk menghindari terjadinya peningkatan suhu yang dapat menyebabkan produk jadi rusak. Suhu thermoking di set – 20 oC.  Untuk memastikan bahwa sirkulasi udara didalam thermoking berjalan dengan baik dan mempertahankan suhu pusat ikan < - 18 oC ± 0 oC selama menuju tempat tujuan maka dilakukan pengecekan suhu didalam thermoking.
  • 49. CV. Cahaya Mandiri melayani permintaan dari pedagang yang ingin tuna milik mereka dibuat loin. Prosesnya dimulai dari penerimaan, penimbangan I, pencucian, pemotongan kepala, loin, pembuangan kulit, pengikisan, penimbangan II, dan penyuntikan CO. Setelah itu loin dikemas menggunakan plastik PE kemudian dicelupkan kedalam air untuk membuang udara yang ada didalam kemasan sehingga plastik menempel pada permukaan tuna loin. Setelah itu ujung plastik diikat untuk menghindari udara masuk kedalam loin. Kemudian loin diserahkan kepada pedang untuk dikemas kedalam styrofoam yang berisi es untuk dipasarkan sekitaran daerah Gorontalo. 49 8. Penetapan Batas Kritis Penetapan batas kritis pada CV. Cahaya Mandiri umumnya sudah ditetapkan oleh perusahaan PT. Era Mandiri dan disesuaikan dengan hasil observasi yang dilakukan oleh tim HACCP CV. Cahaya Mandiri pada setiap tahapan produksi, di mulai dari penerimaan bahan baku hinga ekspor. Dari hasil observasi yang dilakukan batas kritis yang sudah menjadi kesepakatan oleh tim HACCP terdapat pada penerimaan bahan baku dan penyimpanan dingin, karena pada tahapan produksi lain titik kritisnya dapat dikendalikan dengan GMP dan SSOP yang diterapkan pada perusahaan. Untuk lebih jelasnya penetapan batas kritis dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Penetapan batas kritis CCP BAHAYA BATAS KRITIS Penerimaan Bahan Baku Penyimpanan Dingin Histamin Histamin < 50 ppm tiap ikan Temperature < 3,30C Sumber : CV. Cahaya Mandiri Menurut Sarwono (2007), batas kritis merupakan batas toleransi yang harus dipenuhi pada setiap penetapan CCP untuk mengendalikan bahaya secara efektif. Batas-batas kritis pada CCP ditetapkan berdasarkan referensi dan standar teknis serta observasi unit produksi. Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk aman dan tidak aman, sehingga setiap CCP mudah teridentifikasi dan dijaga oleh operator proses produksi. 9. Tindakan Pemantauan Untuk setiap CCP
  • 50. Prosedur pemantauan pada CV. Cahaya Mandiri dilakukan dengan memantau suhu dan aspek organoleptik pada tahapan penerimaan bahan baku. Untuk bahaya histamin dengan cara megukur suhu ikan, uji organoleptik dan Melihat sampel daging ikan yang diambil dengan alat stecker, apabila daging ikan terlihat pucat dan teksturnya kurang padat (kenyal) maka ikan tuna dikembalikan karena diduga sudah terbentuknya kandungan histamin. Pada ruang penyimpanan dingin dilakukan pemantauan pada suhu. Suhu pada ruangan penyimpanan dingin harus < 3,30C. Prosedur pemantauan ini dilakukan dengan cara menggunakan perekam data untuk merekam fluktuasi suhu. Prosedur ini dilakukan di ruang penyimpanan dingin oleh quality control (QC). Menurut SNI (2001) pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal atas suatu CCP yang berhubungan dengan batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus mampu untuk mendeteksi hilangnya pengendalian pada CCP. Selanjutnya pemantaun sebaiknya memberikan informasi ini tepat waktu untuk membuat penyesuaian sehingga menjamin pengendalian proses untuk mencegah terlanggarnya batas kritis. 50 10. Tindakan Koreksi Tindakan koreksi pada proses penerimaan bahan baku yang dilakukan pada CV. Cahaya Mandiri adalah pemeriksaan semua suhu ikan saat penerimaan. Apabila ditemukan ikan yang suhunya diatas 8 0C dan tekstur daging kurang padat maka ikan tuna akan ditolak (reject). Pembentukan histamin yang di tunjukan dengan suhu ikan yang tinggi pada setiap penerimaan apabila suhu ikan diatas 5 0C maka dilakukan tindakan untuk menurunkan suhu ikan dengan menambahkan es dan terus mengawasi suhu dan waktu sampai dibawah batas kritis. Selama penulis magang di CV. Cahaya Mandiri, penulis tak pernah melihat adanya kegiatan pengujian histamin yang dilakukan setiap kedatangan bahan baku. Tindakan pencegahan yang dilakukan pada CV. Cahaya Mandiri untuk mengidentifikasi adanya pembentukan histamin pada tuna loin pada saat penerimaan bahan baku yang ditemui dilapangan yaitu dengan melakukan pengukuran suhu pada ikan yang masuk, Melihat sampel daging ikan yang diambil dengan alat stecker, dan di uji secara Orgonoleptik.
  • 51. Pada proses penyimpanan dingin tindakan koreksi yang dilakukan adalah jika terdeteksi oleh QC suhu tinggi atau suhu tiap hari > 3,3 0C maka perekam data di cek untuk mengevaluasi durasi waktu pada suhu tertinggi. Fluktuasi suhu lebih dari 3,3 0C selama kurang dari 2,5 jam, maka produk dipindahkan kedalam styrofoam yang telah diberi es dengan suhu diset 00C. Menurut Sarwono (2007), Tindakan koreksi dilakukan jika terjadi penyimpangann terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi harus spesifik pada setiap CCP dengan menyesuaikan kembali penyimpangan yang terjadi (Puspita, 2001). Tindakan-tindakan harus menjamin bahwa CCP telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan yang dilakukan juga harus mencakup disposisi yang tepat dari produk yang terpengaruh (SNI, 2011). 51 11. Prosedur Verifikasi Kegiatan verifikasi pada pengolahan tuna loin beku pada CV. Cahaya Mandiri dilakukan pada setiap CCP teridentifikasi dengan prosedur yang dilakukan antara lain, kalibrasi alat ukur, peninjauan CCP, pemeriksaan mikrobiologi serta meninjau keluhan konsumen. Prosedur verifikasi pada proses penerimaan bahan baku dilakukan dengan meninjau laporan hasil pengawasan dan tindakan koreksi. Uji Histamin dilakukan di PT. Era Mandiri Jakarta dan hasil dikirim melalui email. Setelah itu dilakukan review, tindakan perbaikan serta perifikasi laporan setiap ada hasil test yang telah dilakukan. Pada proses penyimpanan dingin tindakan verifikasi dilakukan dengan melakukan cek secara manual setiap 1 jam sekali setiap hari oleh mekanik. Koreksi juga dilakukan pada proses pengemasan dan pelabelan. Menurut Puspita (2001), verifikasi merupakan kegiatan evaluasi atau pengkajian terhadap rancangan HACCP untuk membuktikan bahwa sistem HACCP yang diterapkan bekerja secara efektif. 12. Dokumentasi HACCP Dokumentasi hasil rancangan HACCP pada pengelolaan tuna loin beku pada PT. Cahaya Mandiri (diterapkan pada setiap tahap atau proses yang termasuk CCP) disusun sebagai bukti otentik pelaksanaan HACCP. Dokumen HACCP ini dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan tindakan koreksi dan perbaikan
  • 52. sistem serta memudahkan pemeriksaan oleh pihak terkait. Menurut ILSI Eropa (1993), dokumentasi merupakan bagian penting pada HACCP untuk meyakinkan bahwa informasi yang telah dikumpulkan dalam proses dapat diperoleh bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, selain itu juga dapat meyakinkan bahwa sistem tetap berkesinambungan dalam jangka panjang. 52
  • 53. BAB V PENUTUP 53 5.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan: 1. Penerapan HACCP pada CV. Cahaya Mandiri sudah dapat diterapkan dengan cukup baik mulai dari pembentukan TIM, HACCP, deskripsi produk, identifikasi pengguna, penyusunan diagram alir proses produksi, konfirmasi bagan alir dilapangan, analisis potensi hazzard, identifikasi CCP, penetapan batas kritis, tindakan pemantauan untuk setiap CCP, tindakan koreksi, prosedur verifikasi dan dokumentasi HACCP. 2. CCP pada proses pengolahan Tuna Loin beku pada CV.Cahaya Mandiri teridentifikasi terdapat pada tahapan penerimaan bahan baku, dan pendinginan 2 (Chilling 2). 6.1 Saran 1. Untuk pabrik pengolahan hasil perikanan khususnya CV. Cahaya Mandiri agar kiranya lebih memperhatikan lagi keamanan produk yang dihasilkan karena dalam proses pengolahan tuna loin CV. Cahaya Mandiri tidak dilengkapi dengan alat pendeteksi logam. Alat pendeteksi logam merupakan bagian dari HACCP yang seharusnya ada pada perusahaan pengolahan produk perikanan, dengan fungsi untuk menjamin suatu produk yang dihasilkan benar-benar bebas dari kontaminasi logam. 2. Pimpinan perusahaan perlu meninjau kembali pengujian Histamin yang ada di CV. Cahaya Mandiri karena tidak sesuai dengan buku pedoman HACCP yang ada diperusahaan. Selama penulis magang tidak pernah melihat adanya kegiatan pengujian Histamin dan melihat Laboratorium External yang digunakan untuk pengujian Histamin.
  • 54. DAFTAR PUSTAKA Abdurohman. 2007. Penyusuna Dokumen rencana Hazzard Analysis And Critical Control Point (HACCP) pada Produk Crissant pada Di PT. Ciptayasa Pangan mandiri Pulogadung Jakarta. [Skripsi]. Bogor. Istitu Pertanian Bogor [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tuna Loin Beku. Jakarta: BSN [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. Food and Agriculture Organization/Word Health Organization. Rome, Italy. Codex Alimentarius Commission. 2001. Food hygiene. Basic Texts. 2nd ed. CV. Cahaya Mandiri. 2010. Program Manajemen Mutu Terpadu Berdasarkan Konsepsi HACCP Dari Pengolahan Tuna Beku. Gorontalo Dahyar MA. 2009. evaluasi efektivitas pengendalian resiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (critical control point-ccp) proses pengolahan tuna loin beku dengan metode lean six sigma. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Dalgaard P, Emborg J, A Kjolby, ND Sorensen and NZ Ballin. 2008. Histamin and biogenic amines : formation and importance. in seafood dalam T Borresen (edited), Improving Seafood Products for the Customer. North America : Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC. Dian, 2012. Hazzard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sebagai Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.. [Online], Diakses Tanggal 5 Februari 2013. Direktorat Jendral Perikanan. 1990/1993. Pengolahan Hasil Perikanan Dan Klasifikasi Ikan Tuna. Direktorat Jendral Perikanan Jakarta. Ditjen Perikanan. 1996. Pertemuan Teknis Pembinaan Mutu Hasil Perikanan dan Latihan Penerapam HACCP. Departemen Pertanian. Jakarta Emborg J and Dalgaard P. 2008. Modelling the effect of temperature, corbon dioxide, water activity and pH on growth and histamin formation by Morganella psychrotolerant. Food Microbiology (128): 226- 233. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: CV 54 Liberty. Junianto. 2003. Klasifikasi Ikan Tuna. Kanasius. Yogyakarta.
  • 55. Latifah, L. 2001. Mempelajari Aspek Pengendalian Mutu Proses Pembekuan Ikan Tuna (Thunnus Albacores) Di PT. Tirta Raya Mina (persero) Pekalongan. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Lehane L and Olley J. 2000. Histamin fish poisoning revisited. International Journal of Food Microbiology 58: 1-37. Kanki M, Yoda T and Tsukamoto T. 2002. Klebsiella pneumoniae Produces No Histamin: Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica Strains Are Histamin Producers. Enviromental Microbiology 68:. 3462–3466. Keer M, Paul L and Sylvia A .2002. Effect of Storage Condition on Histamin Formation in Fresh and Canned Tuna. Commision by Food Safety Unit. Dalam www.foodsafety.vic.gov.au. Maghfiroh, 2000. Pengaruh Pemakaian Bahan Pengikat terhadap Karakteristik Nugget. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Muhardi T, Kadarisman D. 2006. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: 55 IPB Press Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanasius. Yogyakarta. Nasution, 2004. Mutu Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rossi S, Lee C, Ellis PC and Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in bigeye tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry and Toxicolog (67): 2056-2060. Standar Nasional Indonesia (SNI). 2006. Tuna Loin Mentah Beku. SNI 01-4104- 2006. Jakarta. Badan Standar Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI). 2011. Rekomendasi Nasional Kode Praktis – Prinsip Umum Higiene Pangan. CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003, IDT. Jakarta. Badan Standar Nasioanal. Sumner J, Ross T and Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the Fish Industry. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nation. Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta. Buku Aksara. Soen’an. 2004. Komposisi Kimia Ikan Tuna. PT. Penebar Swadaya. Wicaksono, D. 2009. Asesmen Resiko Histamin Selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin. Bogor. Institu Pertanian Bogor.