Dokumen tersebut membahas tentang pemeriksaan investigatif yang dilakukan BPK, mencakup pengertian, tujuan, metodologi, dan prosedur pemeriksaan investigatif mulai dari pengumpulan informasi awal, pengembangan hipotesis, hingga pelaporan hasil pemeriksaan."
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses auditDian Rahmah
1. Konsep Materialitas dan Penerapan Materialitas Terhadap Proses Audit
2. Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.
3. Konsep materialitas berkaitan dengan seberapa salah saji yang terdapat dalam asersi dapat diterima oleh audiotr agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh besarnya salah saji tersebut.
Konsep risiko audit berkaitan dengan risiko kegagalan auditor dalam mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.
4. MENGAPA KONSEP MATERIALITAS PENTING dalam AUDIT atas LAPORAN KEUANGAN ??
5. Dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan berikut ini : (1) Bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diingkas, digolongkan, dan dikompilasi. (2) Bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan. (3) Dalam bentuk pendapat atau memberikan informasi, dalam hal terdapat perkecualian), bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan kecurangan.
6. Dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikan oleh auditor: (1) Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yangdapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. (2) Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.
7. Pertimbangan Awal tentang Materialitas
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif.
- Pertimbangan Kuantitatif : Berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan.
- Pertimbangan Kualitatif : Berkaitan dengan penyebab salah saji.
8. Materialitas dibagi menjadi 2 golongan : (1) Materialitas pada tingkat laporan keuangan. (2) Materialitas pada tingkat saldo akun.
9. Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan
Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas :
Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit.
10. Kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit.
11. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material.
12. Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun
13. Hubungan Antara Materialitas Dengan Bukti Audit
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses auditDian Rahmah
1. Konsep Materialitas dan Penerapan Materialitas Terhadap Proses Audit
2. Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.
3. Konsep materialitas berkaitan dengan seberapa salah saji yang terdapat dalam asersi dapat diterima oleh audiotr agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh besarnya salah saji tersebut.
Konsep risiko audit berkaitan dengan risiko kegagalan auditor dalam mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.
4. MENGAPA KONSEP MATERIALITAS PENTING dalam AUDIT atas LAPORAN KEUANGAN ??
5. Dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan berikut ini : (1) Bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diingkas, digolongkan, dan dikompilasi. (2) Bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan. (3) Dalam bentuk pendapat atau memberikan informasi, dalam hal terdapat perkecualian), bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan kecurangan.
6. Dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikan oleh auditor: (1) Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yangdapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. (2) Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.
7. Pertimbangan Awal tentang Materialitas
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif.
- Pertimbangan Kuantitatif : Berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan.
- Pertimbangan Kualitatif : Berkaitan dengan penyebab salah saji.
8. Materialitas dibagi menjadi 2 golongan : (1) Materialitas pada tingkat laporan keuangan. (2) Materialitas pada tingkat saldo akun.
9. Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan
Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas :
Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit.
10. Kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit.
11. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material.
12. Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun
13. Hubungan Antara Materialitas Dengan Bukti Audit
Pengendalian internal perusahaan bab 5 auditingAsep suryadi
1. PENGERTIAN PENGENDALIAN INTERN (ScoPE)
2. HUBUNGAN PENGENDALIAN INTERN DENGAN RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN EVALUASI ATAS
3 BAGAIMANA MELAKUKAN PEMAHAMAN DAN PENGENDALIAN INTERN
4. KETERBATASAN PENGENDALIAN INTERN ENTITAS
Peranan auditor internal dalam tata kelola organisasi iiaDr. Zar Rdj
Kepentingan, peran, tanggung jawab, dan aktivitas auditor internal dan auditor eksternal saling melengkapi dan terkadang serupa. Dalam beberapa hal, keduanya terkadang bersinggungan. Misalnya, persinggungan antara auditor internal dan auditor eksternal terjadi pada saat melakukan analisis transaksi secara efisien; saat mendapatkan pemahaman atas tata kelola organisasi, manajemen risiko, dan sistem pengendalian internal; serta saat berbagi untuk mengembangkan laporan akhir yang akurat.
Hal ini bukan merupakan hal baru, tiap peran didasarkan pada disiplin profesi dan sesuai dengan standar profesi tersebut. Dengan demikian, auditor eksternal memberikan perhatian profesional atas ketidaktelitian dan salah saji yang mempengaruhi laporan keuangan (informasi keuangan). Auditor internal memberi perhaian atas berbagai aspek tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian internal (informasi non-keuangan). Perlu diingat bahwa audit internal dan audit eksternal tidak bersaing dan tidak pula bertentangan, tapi yang satu melengkapi yang lain. Keduanya sangat penting bagi tata kelola yang baik, dan mereka harus bertemu dan bekerja sama pada beberapa hal.
Namun, ada perbedaan peran dan batasan pekerjaan yang mereka lakukan. Perbedaannya, yang dirangkum di bawah ini, seringkali kurang dikenali, dan bahkan mungkin membuat kesalahpahaman dan kebingungan bagi para pemangku kepentingan.
Pengendalian internal perusahaan bab 5 auditingAsep suryadi
1. PENGERTIAN PENGENDALIAN INTERN (ScoPE)
2. HUBUNGAN PENGENDALIAN INTERN DENGAN RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN EVALUASI ATAS
3 BAGAIMANA MELAKUKAN PEMAHAMAN DAN PENGENDALIAN INTERN
4. KETERBATASAN PENGENDALIAN INTERN ENTITAS
Peranan auditor internal dalam tata kelola organisasi iiaDr. Zar Rdj
Kepentingan, peran, tanggung jawab, dan aktivitas auditor internal dan auditor eksternal saling melengkapi dan terkadang serupa. Dalam beberapa hal, keduanya terkadang bersinggungan. Misalnya, persinggungan antara auditor internal dan auditor eksternal terjadi pada saat melakukan analisis transaksi secara efisien; saat mendapatkan pemahaman atas tata kelola organisasi, manajemen risiko, dan sistem pengendalian internal; serta saat berbagi untuk mengembangkan laporan akhir yang akurat.
Hal ini bukan merupakan hal baru, tiap peran didasarkan pada disiplin profesi dan sesuai dengan standar profesi tersebut. Dengan demikian, auditor eksternal memberikan perhatian profesional atas ketidaktelitian dan salah saji yang mempengaruhi laporan keuangan (informasi keuangan). Auditor internal memberi perhaian atas berbagai aspek tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian internal (informasi non-keuangan). Perlu diingat bahwa audit internal dan audit eksternal tidak bersaing dan tidak pula bertentangan, tapi yang satu melengkapi yang lain. Keduanya sangat penting bagi tata kelola yang baik, dan mereka harus bertemu dan bekerja sama pada beberapa hal.
Namun, ada perbedaan peran dan batasan pekerjaan yang mereka lakukan. Perbedaannya, yang dirangkum di bawah ini, seringkali kurang dikenali, dan bahkan mungkin membuat kesalahpahaman dan kebingungan bagi para pemangku kepentingan.
Materi ini disampaikan jurnalis senior Bisnis Indonesia, Hasudungan Sirait dalam Training Transparansi Anggaran Pemerintah yang digelar AJI Yogyakarta 23 Juni 2012.
Materi ini disampaikan jurnalis senior Bisnis Indonesia, Hasudungan Sirait dalam Training Transparansi Anggaran Pemerintah yang digelar AJI Yogyakarta 23 Juni 2012.
Atribut seorang Akuntan Forensik
Howard R. Davia dalam Tuanakotta (2010 : 99) memberi lima nasihat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu
1. Menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Identifikasi lebih dahulu siapa pelaku atau yang mempunyai potensi menjadi pelaku. Banyak auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, tetapi tidak menjawab pertanyaan yang paling penting : Who did it ? Ada kalanya kebiasaan penyembunyian nama pelaku didorong oleh keinginan untuk “memperhalus” pengungkapan sesuatu yang kelihatannya kurang elok. Dalam bahasa Inggris, penghalusan ini disebut euphemism.
2. Fraud auditor harus mampu membuktikan “niat pelaku melakukan kecurangan”. Banyak kasus kecurangan kandas di sidang pengadilan karena penyidik dan saksi ahli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau pelanggaran. Menurut Davia, tujuan proses pengadilan adalah menilai orang, bukan mendengar celotehan yang berkepanjangan tentang kejahatannya.
3. Seorang auditor forensik harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud, jangan dapat ditebak. Dalam proses audit investagatif, keadaan dapat berubah dengan cepat, misalnya, bukti dan barang bukti disembunyikan atau dihancurkan atau pelaku bersembunyi atau melarikan diri. Dalam kondisi seperti tersebut auditor forensik harus berpikir kreatif dalam menggunakan prosedur, kombinasi prosedur atau alternatif prosedur untuk mengumpulkan bukti. Seorang auditor forensik harus dapat berpikir layaknya seorang pelaku fraud agar dapat mengantisipasi langkah-langkah yang akan diambil pelaku fraud jika mereka mengetahui bahwa tindakan mereka telah tercium atau terungkap. Seorang auditor forensik juga tidak gampang ditebak dalam melakukan proses audit investigatif, agar tidak dengan mudah dapat diantisipasi oleh pelaku fraud.
4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan. Ada dua macam persengkongkolan yaitu :
a. Persengkongkolan yang sifatnya sukarela, dan pesertanya memang mempunyai niat jahat. Davia menamakannya, ordinary conspiracy
b. Persengkongkolan dimana pesertanya tidak menyadari bahwa keluguannya dimanfaatkan oleh rekan kerjanya, contohnya memberikan password komputernya. Davia menamakannya pseudo-conspiracy.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
Pemeriksaan Keuangan Negara - Pemeriksaan Investigatif
1. KELOMPOK IV
AHMAD KUNCORO PANDU YEKTI (03)
IRFAN FAJRUR ROHMAN (11)
NOOR AUFA SHIDDIQ (17)
SAMBA DEWANGGA S. (25)
2.
3. • Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif
• Konsep Pemeriksaan Investigatif
• Jenis Penyimpangan
• Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif
• Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif
• Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif
• Kewajiban Pemeriksa Investigatif
• Kualitas Pemeriksa Investigatif
• Perbedaan Audit Investigatif dan Audit Keuangan
4. Kegiatan pemeriksaan dengan lingkup tertentu, periodenya
tidak dibatasi, lebih spesifik pada area-area
pertanggungjawaban yang diduga mengandung inefisiensi atau
indikasi penyalahgunaan wewenang, dengan hasil audit
berupa rekomendasi untuk ditindaklanjuti bergantung pada
derajat penyimpangan wewenang yang ditemukan.
Tujuannya sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004
adalah pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap
adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur
pidana.
5. Tahapan pemeriksaan
investigatif :
• Menganalisis data
yang tersedia
• Mengembangkan
hipotesis
• Menguji dan
memperbaiki
hipotesis
Penyebab terjadinya
penyimpangan :
•Motivasi (motivation)
• Adanya kesempatan
(opportunity)
• Rasionalisasi
(rationalisation)
• Adanya kemampuan
(capability)
6. Association of
Certified Fraud
Examiners
(ACFE)
Corruption
(Korupsi)
Asset
misappropriation
(Pengambilan aset
secara ilegal)
Fraudulent
statements
(Penyimpangan
berkaitan dengan
penyajian laporan
keuangan)
7. Aksioma :
• Penyimpangan itu disembunyikan keberadaannya
• Pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi
• Pemeriksa harus juga berupaya membuktikan penyimpangan tidak terjadi
• Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab pengadilan
8. Prinsip
• Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui
• Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran,
dengan memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan
peraturan perundang– undangan yang berlaku.
• Kegiatan pemeriksaan termasuk pengumpulan bukti–bukti dengan
prinsip kehatihatian sehingga bukti tersebut dapat diterima di
pengadilan.
• Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman,
terlindungi dan diberi indeks dan jejak pemeriksaan tersedia.
• Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi
pegawai dan senantiasa menghormatinya guna menghindari
kemungkinan penuntutan dari yang bersangkutan.
9. Prinsip
• Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan saat
meresponnya, maka kemungkinan peluang penyimpangan dapat
terungkap semakin besar.
• Pelaksanaan pemeriksaan harus dapat mengumpulkan fakta–fakta
sehingga bukti yang diperoleh dapat memberikan kesimpulan sendiri,
yaitu telah terjadi penyimpangan dan pihak yang diindikasikan terlibat
teridentifikasi.
• Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan dipengaruhi
oleh kelemahan manusia.
• Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan cukup
jumlahnya dan pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang yang juga
cukup jumlahnya.
• Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif, maka
segala kemungkinan upaya untuk memperoleh informasi harus
dipertimbangkan.
10. Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004
yang mengatur kewenangan
BPK untuk melakukan
pemeriksaan investigatif.
Pasal 10, Pasal 24 ayat (1),
(2), (4) UU No.15 Tahun 2004
jo. Pasal 9 ayat (1) huruf b, c,
dan d UU No. 15 Tahun 2006
yang mengatur kewenangan
meminta informasi atau
dokumen.
Pasal 10 huruf d, Pasal 11,
Pasal 24 ayat (3) UU No. 15
Tahun 2004 yang mengatur
permintaan keterangan dan
pemanggilan.
Pasal 11 huruf c UU No. 15
Tahun 2006 yang mengatur
pemberian keterangan ahli
tentang kerugian negara
dalam proses peradilan.
Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17
ayat (5) UU No. 15 Tahun 2004
yang mengatur laporan hasil
pemeriksaan.
Pasal 25 ayat (1), (2), dan
Pasal 26 ayat (1) UU No. 15
Tahun 2004 yang mengatur
tentang sanksi pidana bagi
pemeriksa yang melanggar UU
No. 15 Tahun 2004 dan UU No.
15 Tahun 2006.
11. Sasaran
• Perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana
korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, untuk
selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai TPKKN.
Ruang Lingkup
• TPKKN pada seluruh entitas pemeriksaan BPK, meliputi
pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan akibat,
dan menentukan pihak–pihak yang diindikasikan terlibat dan
atau bertanggung jawab atas TPKKN pada unit organisasi
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
badan lain yang mengelola keuangan negara.
12. Mentaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah
ditetapkan dalam juknis ini.
Menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam
pemeriksaan untuk mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait.
Selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh
selama melakukan pemeriksaan.
13. • Kreatif (Creative)
• Rasa ingin tahu (Curious)
• Tak menyerah (Persistance).
• Akal sehat (Common Sense)
• Pengetahuan Bisnis (Bussines
Accument)
• Percaya diri (Self
Confidence)
• Investigatif (Investigative)
• Kompetensi gabungan
(Mixed Competency)
Robert J.
Linquist
(Fraud
Auditing and
Forensic
Accounting:
New Tools
and
Techniques) :
14. URAIAN PEMERIKSAAN
KEUANGAN
PEMERIKSAAN
INVESTIGATIF
Waktu Pemeriksaan Berulang Tidak Berulang
Lingkup Pemeriksaan Umum Khusus
Tujuan Pemeriksaan Memberikan Oponi Pembuktian Fraud
Hubungan dengan
Hukum
Tidak Ada Ada
Metodologi
Pemeriksaan
Teknik Pemeriksaan Teknik Investigasi
Presumsi Pemeriksaan Professional Sceptism Bukti dan Fakta
15.
16. Untuk menetapkan adanya alasan
(predikasi) yang cukup kuat dan akurat
sehingga pemeriksaan investigatif dapat
dilaksanakan secara objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan
18. • Adalah keterangan permulaan mengenai suatu
penyimpangan dari ketentuan peraturan
perundang-undangan; kecurangan (fraud ), serta
ketidakpatutan ( abuse ) yang telah/sedang/ dan
akan terjadi.
• Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar
pelaksanaan pemeriksaan investigatif memiliki
keandalan dan validitas yang sama. Oleh karena
itu, untuk setiap informasi awal yang diterima
perlu dilakukan penelaahan terlebih dahulu.
21. • Informasi awal mengenai TPKKN biasanya
memuat hal–hal yang bersifat umum
• Setiap informasi awal yang diterima BPK
ditelaah dengan menggunakan pendekatan
5W (what, who, where, when dan why) dan
1H (how) untuk menetapkan cukup tidaknya
alasan dilakukan pemeriksaan
22. • What
• Who
• Where
• When
• Why
• How
5W
+1H
• Setiap Orang
• Secara Melawan Hukum
• Perbuatan Memperkaya Diri
• Merugikan Keuangan Negara TPKKN
23. • Tujuan : meyakinkan apakah informasi awal yang
diperoleh telah didukung dengan data pendukung
misalnya kelengkapan administrasi akuntansi yang
memadai.
• Jika dari penanganan informasi awal unsur 5W + 1H
belum diperoleh secara lengkap, maka TPKKN dapat
diindikasikan dengan minimal terpenuhinya tiga
unsur yaitu: What, When, dan Where.
• Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam
bentuk “simpulan penelaahan informasi awal”
24. • Jika dari hasil telaahan dianggap perlu untuk
mendapatkan informasi tambahan langsung dari
pihak ketiga atau unsur terkait, TPPI mengajukan
usul kepada Ketua BPK untuk melakukan
pengumpulan bahan dan keterangan
• Pengumpulan data dimaksudkan untuk
memastikan/ memperkuat/mendukung indikasi
bahwa hal–hal yang diungkapkan dalam informasi
benar–benar mempunyai dasar untuk
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.
25. Berdasarkan simpulan penelaahan informasi
awal, Ketua BPK dapat:
1. menugaskan tim khusus, atau
2. mendisposisikan kepada Tortama untuk
melakukan pemeriksaan investigatif.
Selanjutnya, informasi dan berkas penelaahan
diarsipkan.
26.
27. 1. Pengembangan Hipotesa
2. Penyusunan Program Pemeriksaan
Investigatif
3. Penentuan Kebutuhan Sumberdaya
4. Penerbitan Surat Tugas
28. Hipotesa adalah kesimpulan sementara
dari hasil telaahan atas informasi awal
yang berindikasi kerugian negara/daerah
dan/atau unsur TPKKN. Hipotesa
merupakan pernyataan sementara yang
bersifat prediksi dari hubungan 2 atau
lebih variabel.
DEFINISI
29. Hipotesa berisi kemungkinan:
A) TPKKN yang terjadi;
B) siapa yang bertanggung jawab;
C) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN
terjadi;
D) dimana TPKKN terjadi;
E) kurun waktu terjadinya; dan
F) terpenuhinya unsur-unsur TPKKN
31. Program Pemeriksaan Investigatif merupakan rencana yang
terinci yang sekurang – kurangnya disusun berdasarkan struktur
atau kerangka yang mencakup:
1) Dasar Hukum Pemeriksaan
2) Standar Pemeriksaan
3) Tujuan Pemeriksaan Investigatif
4) Entitas Yang diperiksa
5) Lingkup Yang Diperiksa
6) Hasil Telaahan Informasi Awal
7) Alasan Pemeriksaan
8) Metodologi Pemeriksaan
9) Langkah – Langkah Pemeriksaan Investigatif
10) Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan investigatif
11) Susunan Tim dan Biaya Pemeriksaan Investigatif
12) Distribusi Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif
13) Persetujuan Program Pemeriksaan Investigatif
32. Kebutuhan sumber daya pendukung yang harus
ditentukan antara lain menyangkut personil tim
pemeriksa, ahli, anggaran biaya pemeriksaan,
dan perangkat pendukung lainnya misal alat
perekam, kamera, handycam, telekomunikasi,
komputer dan lain-lain.
Penentuan sumber daya pendukung pemeriksaan
baik jumlah maupun kualifikasinya ditentukan
oleh penanggung jawab pemeriksaan atau
pejabat BPK yang ditunjuk, dengan
memperhatikan tingkat kesulitan dan rumitnya
masalah yang akan diperiksa
33. Susunan Tim Pemeriksa Investigatif Meliputi:
(1) Penanggung Jawab Pemeriksaan
Investigative;
(2) Wakil Penanggung Jawab Pemeriksaan
Investigatif (Jika Diperlukan);
(3) Pengendali Teknis Pemeriksaan
Investigative;
(4) Ketua Tim Pemeriksa Investigatif; Dan
(5) Anggota Tim Pemeriksa Investigatif.
34.
35. (1) Pembicaraan Pendahuluan;
(2) Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa;
(3) Analisis Dan Evaluasi Bukti Pemeriksaan;
(4) Pemaparan Tim Pemeriksa Di Lingkungan BPK;
(5) Pemaparan Tim Pemeriksa Kepada Instansi Yang
Berwenang; Dan
(6) Pembicaraan Akhir.
36. Tim Pemeriksa Investigatif Menyelenggarakan
Pertemuan Dengan Pimpinan Dan Para Pejabat Dari
Entitas Yang Diperiksa Dengan Maksud:
1. Menjelaskan Tujuan Pemeriksaan Yang Ditetapkan
Dalam Surat Tugas.
2. Memperoleh Informasi Tambahan Dari Entitas Yang
Diperiksa Dalam Rangka Melengkapi Informasi
Yang Telah Diperoleh Sebelumnya.
3. Menciptakan Suasana Yang Dapat Menunjang
Kelancaran Pelaksanaan Pemeriksaan, Terutama
Untuk Memperoleh Dukungan Dari Entitas Yang
Diperiksa
37. Strategi pembuktian adanya TPKKN umumnya meliputi tiga
langkah dasar, yaitu:
1)Pemeriksa membangun kasus secara menyeluruh melalui
wawancara terhadap saksi yang mendukung dan
menganalisis dokumen yang tersedia.
2)Pemeriksa menggunakan bukti tidak langsung untuk
mengidentifikasikan kasus dan meyakinkan saksi intern
yang dapat memberikan bukti langsung tentang pihak
yang diduga terlibat, guna membangun kasus.
3)Pemeriksa meminta keterangan kepada subyek guna
mengungkap kasus, mengidentifikasikan pelaku
kejahatan dan membuktikan adanya unsur kesengajaan
(intent) si pelaku
38. Dalam upaya membuktikan TPKKN yang sudah
dirumuskan dalam hipotesa awal, pemeriksa
mengumpulkan bukti dengan cara:
1. Meminta dokumen,
2. meminta keterangan,
3. melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan,
4. memperoleh bukti elektronik/digital,
5. Melakukan penyegelan dan
6. memotret dan merekam
39. 1. Untuk menyempurnakan hipotesa awal
yang telah dirumuskan karena
padadasarnya perumusan hipotesa
merupakan kegiatan yang bersifat terus
menerus dan seiring dengan pelaksanaan
pemeriksaan.
2. Untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi)
dengan hipotesa serta sebagai landasan
perlu tidaknya mengembangkan bukti lebih
lanjut.
3. Untuk menyusun rangkaian kejadian dan
modus operandi.
TUJUAN
40. Pada saat pemaparan, tim pemeriksa mendapatkan
arahan terkait dengan simpulan hasil pemeriksaan
investigatif tersebut. Dari hasil pemaparan,
Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan dapat menyimpulkan
sebagai berikut:
1. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi unsur–
unsur TPKKN. Dalam hal ini, tim pemeriksa segera
mempersiapkan pemaparan kepada instansi yang
berwenang.
2. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi kerugian
negara, tetapi tidak memenuhi indikasi unsur-unsur
TPKKN. Dalam hal ini, kerugian negara diselesaikan
melalui mekanisme tuntutan ganti rugi.
3. Kasus yang dipaparkan tidak memenuhi indikasi
unsur-unsur TPKKN
41. Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah
sebagai berikut:
1. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari
pemaparan disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi
unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya.
2. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari
pemaparan disimpulkan kasus belum memenuhi unsur Tindak
Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih
memerlukan data tambahan. Maka penanggung jawab
pemeriksaan dapat menempuh langkah sebagai berikut:
a) Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan
pemeriksaan tambahan untuk memperoleh bukti yang
diperlukan.
b) Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi
bukti yang diperlukan jika terdapat keterbatasan
kewenangan BPK.
42. Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif
harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan
oleh penanggung jawab pemeriksaan atau
pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas
yang diperiksa.
Namun demikian pembicaraan akhir tersebut
harus diatur sedemikian rupa hingga tidak
mengganggu, menghambat atau menyulitkan
proses pembuatan laporan pemeriksaan yang
sedang berjalan atau pun proses perkembangan
dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti –
bukti baru di kemudian hari dikarenakan
kompleksitas dari kasus tersebut
43.
44. memberikan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan atau berwenang mengenai indikasi terjadinya
penyimpangan agar mereka dapat mengambil tindak lanjut
yang tepat terhadap hasil pemeriksaan investigatif.
46. Bagian I :
Simpulan
Bagian II :
Umum
• Dasar Penugasan
Pemeriksaan
• Ruang Lingkup
Pemeriksaan
• Data
Obyek/Kegiatan
yang Diperiksa
Bagian III : Uraian
Hasil Pemeriksaan
• Dasar Hukum
Obyek/Kegiatan yang
Diperiksa
• Materi Temuan Lampiran
47. konsep laporan harus direviu secara
berjenjang oleh pengendali teknis dan
penanggung jawab pemeriksaan investigatif
ditandatangani dan disampaikan kepada
pihak yang berwenang
hasil pemeriksaan investigatif disampaikan
kepada Badan dengan nota dinas yang
dilampiri dengan matrik unsur
penyimpangan
48. LHP investigatif harus
menjawab tujuan pemeriksaan
investigatif.
Jika satu bulan sejak
dilakukannya pemaparan,
instansi yang berwenang tidak
memberikan pendapat, LHP
tetap dibuat dan disampaikan
dengan nota dinas pengantar
dari Pemimpin Tim
Penyerahan LHP tidak berarti
pemeriksa investigatif selesai,
karena ada kemungkinan
pemeriksa BPK diminta oleh
instansi yang berwenang untuk
memberikan keterangan ahli.