Revolusi industri 4.0 bukan hanya istilah tetapi juga perubahan cara berpikir manusia dari linier menjadi siklik karena produk teknologi tidak hanya "hilir" dari pengetahuan tetapi juga "hulu" untuk pengetahuan baru. Pendidikan tinggi perlu menyesuaikan kurikulum, metode pembelajaran, dan memfasilitasi penguasaan data, informasi, dan teknologi untuk menghadapi tantangan era revolusi industri.
Contoh Laporan PKP UT PGSD IPA Materi Perpindahan Energi Panas - Pemantaan Ke...Soal Universitas Terbuka
Contoh Laporan PKP UT PGSD IPA Materi Perpindahan Energi Panas - Pemantaan Kemampuan Profesional PDGK4560. Untuk melihat dan mendownload contoh laporan PKP ini secara lengkap, kunjungi situs www.soalut.com gunakan menu search di situs untuk mencari dan menemukan laporan ini.
Contoh Laporan PKP UT PGSD IPA Materi Perpindahan Energi Panas - Pemantaan Ke...Soal Universitas Terbuka
Contoh Laporan PKP UT PGSD IPA Materi Perpindahan Energi Panas - Pemantaan Kemampuan Profesional PDGK4560. Untuk melihat dan mendownload contoh laporan PKP ini secara lengkap, kunjungi situs www.soalut.com gunakan menu search di situs untuk mencari dan menemukan laporan ini.
Jika bayi manusia yang baru dilahirkan tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa lainnya, tentu ia akan binasa. Ia tidak mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak dididik oleh manusia. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Selain itu, manusia juga makhluk berbudaya, sehingga belajar merupakan kebutuhan yang vital sejak manusia dilahirkan. Manusia selalu memerlukan dan melakukan perbuatan belajar kapan saja dan dimana saja ia berada.
Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Hakekat manajemen pembelajaran berdasarkan teori belajar sibernetik adalah usaha guru untuk membantu siswa mencapai tujuan belajarnya secara efektif dengan cara memfungsikan unsur-unsur kognisi siswa, terutama unsur pikiran untuk memahami stimulus dari luar melalui proses pengolahan informasi.
Pendidikan 4.0 adalah fenomena yang merespon kebutuhan munculnya revolusi
industri keempat (4 IR) di mana manusia dan mesin diselaraskan untuk
mendapatkan solusi, memecahkan masalah, dan tentu saja menemukan
kemungkinan inovasi baru.
Jika bayi manusia yang baru dilahirkan tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa lainnya, tentu ia akan binasa. Ia tidak mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak dididik oleh manusia. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Selain itu, manusia juga makhluk berbudaya, sehingga belajar merupakan kebutuhan yang vital sejak manusia dilahirkan. Manusia selalu memerlukan dan melakukan perbuatan belajar kapan saja dan dimana saja ia berada.
Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Hakekat manajemen pembelajaran berdasarkan teori belajar sibernetik adalah usaha guru untuk membantu siswa mencapai tujuan belajarnya secara efektif dengan cara memfungsikan unsur-unsur kognisi siswa, terutama unsur pikiran untuk memahami stimulus dari luar melalui proses pengolahan informasi.
Pendidikan 4.0 adalah fenomena yang merespon kebutuhan munculnya revolusi
industri keempat (4 IR) di mana manusia dan mesin diselaraskan untuk
mendapatkan solusi, memecahkan masalah, dan tentu saja menemukan
kemungkinan inovasi baru.
Pemikiran merupakan suatu aset yang melibatkan otak. jalinan pengembaraan urat saraf menggabungkan sel-sel otak sehingga berjaya membentuk ribuan neurons
Skill yang harus dimiliki Lulusan Perguruan Tinggi di era industri 4.0LSP3I
Era revolusi industri 4.0 membuka kesempatan bagi sumber daya manusia (SDM) di berbagai bidang untuk memiliki keahlian yang sesuai dengan perkembangan teknologi terkini. Untuk itu, diperlukan kesiapan pelaksanaan program pendidikan dan pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan (up-skilling) atau pembaruan keterampilan (reskilling) para peserta didik berdasarkan kebutuhan dunia kerja saat ini.
Perguruan tinggi, sudah menyadari pentingnya pendidikan soft skill untuk para mahasiswanya. Perguruan tinggi saat ini tak hanya membekali anak didiknya dengan ilmu pengetahuan dan hard skill, tetapi juga mulai melakukan pengembangan soft skill. Perguruan tinggi harus secara konsisten mendidik dan mempersiapkan anak didik mereka agar kelak dapat beradaptasi dengan dunia kerja dewasa ini melalui penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang menyelarasakan kebutuhan hardskill dan softskill kekinian, yang menjadi tuntutan dalam era revolusi industri 4.0.
Pentingnya perubahan pendidikan di era pengetahuanLSP3I
Para peramal masa depan (futurist) mengatakan bahwa abad 21 disebut abad pengetahuan, karena pengetahuan telah menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999).
Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya.
Era pengetahuan menyebabkan terjadinya perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang manusia terhadap masalah-masalah sosial dan alam, cara pandang manusia terhadap dunia pendidikan atau perubahan peran orang tua/guru/dosen dalam dunia pendidikan, serta perubahan pola hubungan antar mereka.
Era pengetahuan telah menimbulkan perubahan yang signifikan pada tatanan lapangan kerja maupun dunia pendidikan. Era pengetahuan telah memaksa kita untuk menyesuaikan sejumlah aturan main, cara kerja, perilaku dan bahkan telah menjungkirbalikkan paradigma yang dianggap benar pada zaman sebelumnya.
Hal yang paling sesat terjadi apabila saat kini kita masih menggunakan cara lama di era yang sudah berubah. Perusahaan-perusahaan bisnis yang tercatat sebagai perusahaan kelas dunia ternyata separuhnya telah lenyap dalam tempo 10 tahun, karena mereka tidak mampu mengikuti tuntutan perubahan zaman.
Era pengetahuan telah melahirkan tatanan kehidupan baru, yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan era manual atau era mesin industri. Pengetahuan telah menjadi modal virtual (human capital) yang sangat menentukan perkembangan serta sekaligus kemajuan peradaban di jaman ini.
Dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut sangat luar biasa, antara lain diperlihatkan melalui sejumlah fenomena seperti :
Mengalirnya beragam sumber daya fisik maupun non-fisik (data, informasi, dan pengetahuan) dari satu tempat ke tempat lainnya secara bebas dan terbuka. Ini telah merubah total lingkup dunia bisnis dan dunia usaha yang selama ini terlihat mapan.
Meningkatnya kolaborasi dan kerjasama antar negara dalam proses penciptaan produk dan/atau jasa yang berdaya saing tinggi secara langsung maupun tidak langsung telah menggeser kekuatan ekonomi dunia dari "barat" menuju "timur" dari "utara" ke "selatan"
Menguatnya tekanan negara-negara maju terhadap negara berkembang untuk secara total segera menerapkan agenda globalisasi yang memaksa setiap negara untuk menyerahkan nasibnya pada mekanisme ekonomi pasar bebas dan terbuka yang belum tentu mendatangkan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat.
Tantangan di Era Revolusi Industri 4.0 dan Implementasi Kebijakan Pembelajara...LSP3I
Pola industri baru ini membawa dampak terciptanya pekerjaan dan keterampilan kerja baru dan hilangnya beberapa pekerjaan. Revolusi industri 4.0 menyentuh seluruh aspek hidup masyarakat. Mulai dari transformasi sistem manajemen administrasi, tata kelola dan informasi. Bahkan, perlahan peran manusia mulai digantikan oleh robot.
Perubahan yang terjadi berpengaruh pada karakter pekerjaan. Sehingga keterampilan yang diperlukan juga akan berubah. Tantangan tersebut, harus dapat diantisipasi melalui transformasi pasar kerja Indonesia dengan mempertimbangkan perubahan iklim bisnis dan industri, perubahan pekerjaan dan kebutuhan ketrampilan.
Tantangan yang hadapi pemerintah dan perguruan tinggi adalah bagaimana mempersiapkan dan memetakan angkatan kerja dari lulusan pendidikan dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Kurikulum dan metode pendidikan harus menyesuaikan perubahan iklim bisnis, industri yang semakin kompetitif dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan sains.
Hukum Pareto Yang Dapat Diterapkan Dalam Kegiatan Pendidikan dan PembelajaranLSP3I
Prinsip Pareto (The Pareto principle) menyatakan bahwa untuk banyak kejadian, sekitar 80% daripada efeknya disebabkan oleh 20% dari penyebabnya. Sebagai ilustrasi, bahwa 80% dari kesuksesan yang telah atau akan Anda peroleh merupakan hasil dari 20% usaha Anda selama ini. Artinya adalah hanya ada 20% dari tindakan dan pemikiran dalam hidup kita yang harus lebih dimaksimalkan untuk mendapatkan 80% keberhasilan.
Perubahan substansi pendidikan dan elemen pendidikan essensial zaman nowLSP3I
Perkembangan pendidikan tinggi dewasa ini, tentunya ada perubahan mendasar, unik dan menarik di kaji. Tiga perubahan mendasar, yaitu:
1. Pergeseran Orientasi
2. Industrialisasi Institusi Pendidikan
3. Degradasi Tenaga Pendidik
Elemen Pendidikan Essensial Zaman Now adalah prinsip pendidikan seumur hidup (life long education). Peserta didik harus dibekali dengan dua macam kemampuan. Di satu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan angin perubahan. Di sisi lain harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterjang angin.
Dua kemampuan tersebut terdiri dari empat elemen penting yaitu, Ilmu Pengetahuan, karakter, kesenian/budaya, spiritual/keagamaan, dan kreativitas.
Menyoal transformasi pendidikan tinggi di era 4.0LSP3I
Hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan menciptakan integritas dirinya sendiri. Melalui aktivitas pendidikan itulah seseorang diharapkan dapat memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dirinya sendiri maupun oleh masyarakat, dan negara sehingga mampu memberikan kontribusi nyata sesuai dengan kapasitas kompetensinya.
Kompetensi individual sebagai hasil belajar, diharapkan mampu menjadi modal dasar berkontribusi di masyarakat untuk melakukan perubahan yang tentu saja ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara.
Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari dalam potensi diri isi Pembelajar. Dengan bekal keseimbangan pribadi seperti itulah, peserta didik kita, diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change).
Namun sayangnya arah pendidikan saat ini terlihat kehilangan arah dari cita-cita para pendahulu. Pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas dan dagangan saja. Institusi pendidikan (kampus) yang berorientasi pada selera pasar tak ubahnya seperti menjadi pabrik pencetak mesin mesin manusia siap kerja namun miskin inovasi.
Pendidikan kita yang hanya berorientasi pada hasil (yang dijawantahkan dengan nilai tertulis) tanpa memperhatikan prosesnya menjadikan hasil anak didik menjadi insan-insan yang hanya berorientasi pada hasil dan uang saja.
Jika menyimak secara seksama kebijakan Kemendikbud terkait kampus merdeka berpotensi membuat pendidikan tinggi kita tak menentu arah. Berangkat dari konsep lama link and match, kebijakan ini bakal membuat kampus semakin terjebak menjadi pabrik pencetak tenaga kerja untuk berbagai ragam industri.
Membangun relevansi dunia pendidikan dan dunia kerjaLSP3I
Salah satu masalah penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) adalah keterkaitan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Dunia pendidikan belum mampu menjembatani kebutuhan dunia kerja terkini secara komprehensif. Hal ini pula menjadi penyebab terjadi pengangguran intelektual.
Sejauh mana keterkaitan pendidikan dengan dunia kerja? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 2 hal yang menjadi tantangan perguruan tinggi sekarang ini dalam hubungannya dengan dunia kerja, adalah Kurikulum dan Pendekatan Pengajaran.
Begitu banyak pemberitaan mengenai wabah virus corona yang menghiasi media cetak dan elektronik setiap hari. Namun, pemberitaan itu justru tidak banyak memberi edukasi dan pencerahan bagaimana membangun kesadaran publik menghadapi virus corona. Justru, membuat situasi malah bikin makin panik. Hal ini tentunya menimbulkan sindrom berlebihan di tengah geliat usaha pemerintah dan masyarakat melawan Covid-19. Belum lagi munculnya informasi-informasi bohong atau berita hoaks yang menyebar melalui media sosial, tentunya dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat, yang dapat berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas dosen untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan dosen lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Peran dosen seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Kampus sebagaimana Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan dosen bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama (kolaborasi) lebih utama dari pada kompetisi.
Mengenal metode dan teknik mengajar dosen masa kiniLSP3I
Di era pendidikan 4.0 ini, PT menghadapi tantangan yang besar. Untuk itu, diperlukan adanya peningkatan kualitas proses pembelajaran dalam rangka menghasilkan lulusan yang bermutu. Untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran di PT, dituntut adanya peningkatan kompetensi dan profesionalisme dosen.
Profesionalisme mengisyaratkan empat kompetensi yang harus dimiliki dosen, khususnya kompetensi dosen yang terkait dengan tugas utamanya sebagai pengajar sekaligus pendidik, yaitu kompetensi bidang studi, kompetensi pemahaman tentang peserta didik, kompetensi pembelajaran yang mendidik, dan kompetensi pengembangan kepribadian dan keprofesionalan.
Strategi perguruan tinggi untuk menarik minat mahasiswa baruLSP3I
Kegiatan pemasaran perguruan tinggi tentu berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan tersebut tentu disebabkan oleh tujuan, skala, dan pelanggan yang berbeda. Perguruan tinggi, tentu bukan organisasi bisnis yang kadang lebih permisif dalam banyak hal, sehingga ada batasan-batasan bagi perguruan tinggi dalam melakukan kegiatan pemasaran. Boleh di bilang pemasaran perguruan tinggi lebih sebagai pemasaran kehumasan. SEhingga perguruan tinggi lebih banyak mengandalkan pemasaran yang porsi kehumasannya lebih besar. Sedangkan periklanan, promosi penjualan, dan penjualan peribadi, akan lebih kecil.
Perguruan tinggi sebagai organisasi non profit, seperti juga halnya organisasi bisnis juga mengharapkan keuntungan dalam melakukan kegiatannya. Tujuannya agar perguruan tinggi tinggi dapat memelihara dirinya secara ekonomi, disamping dengan begitu, cita-cita mulia perguruan tinggi yang mendidik anak bangsa menjadi insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif bisa tetap dipegang, dan tentu saja diraih.
Era kini bernama disrupsi, yang sering diposisikan sebagai suatu masalah, di lain sisi sebagai tantangan dan sekaligus solusi dalam peradaban kehidupan kekinian. Terminologi “disruptif” yang menjadi kata sifat dari era atau jaman memiliki makna konotasi negatif karena merupakan sebuah perubahan kemapanan. Disrupsi yang secara literal diterjemahkan sebagai “kekacauan” memiliki derivasi makna yang tidak lepas dari daya ledakan perubahan yang mengganggu kematangan modernisasi. Ia juga membuat kekisruhan baru melalui pola-pola menyeluruh dari aspek semua kehidupan
Sejak terbukanya kebebasan informasi dan teknologi media, pertumbuhan media massa dan media baru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Media komunikasi yang telah bermetamorfosis menjadi media digital itu perkembangannya semakin beragam, lebih gampangnya direpresentasikan oleh pertumbuhan smartphone dan sejenisnya.
Dewasa ini penetrasi berbagai jenis media tersebut telah merambah ke berbagai kalangan dan komunitas di masyarakat, tanpa membedakan strata sosial dan ekonomi. Seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi tentu ada beberapa konsekuensi, baik yang berkonotasi positif maupun negatif, dalam konteks ini dapat dianalogikan bahwa media masa telah mengambil bagian dari peran-peran tertentu di masyarakat. Media massa telah mempengaruhi pola pikir dan realitas kehidupan dengan ragam cara.
Realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti "hal yang nyata; yang benar-benar ada". Dalam pengertiannya yang sempit dalam filsafat barat, ada tingkat-tingkat dalam sifat dan konsep tentang realitas. Tulisan ini membahas pentingnya memahami realitas objektif dan realitas media agar kita tidak terasing dan tersesatkan dengan berita media massa yang semakin masif dan menghegemoni masyarakat kekinian.
Belajar lagi, belajar lagi ........bosan ahh.......!", gerutu sebagian mahasiswa saat disuruh belajar atau mengerjakan tugas kuliah. Biasanya mereka juga tidak langsung menurut bila disuruh, tapi berusaha menghindar dengan berbagai alasan. Tony Buzan melakukan survai. Tiga puluh tahun lamanya ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu ditanyakan kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata "pendidikan" atau "belajar", jawabannya adalah "membosankan", "ujian", "tugas", "buang-buang waktu", "hukuman", tidak relevan", "tahanan", "benci dan takut".
Dapat disimpulkan bahwa belajar dan kuliah bukanlah hal yang menyenangkan bagi sebagian mahasiswa kita. Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka? Apakah karena belajar telah menjadi semacam pemaksaan dan beban sehingga keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang?
Menggagas perguruan tinggi alternatif berbasis entrepreneurship dan ekonomi k...LSP3I
Pertumbuhan makro ekonomi yang cukup kuat selama lebih dari satu dekade ini secara berlahan telah mampu menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Namun, dengan kira-kira dua juta penduduk Indonesia yang tiap tahunnya terjun ke dunia kerja, adalah tantangan yang sangat besar buat pemerintah Indonesia untuk menstimulasi penciptaan lahan kerja baru supaya pasar kerja dapat menyerap para pencari kerja yang tiap tahunnya terus bertambah; pengangguran muda (kebanyakan adalah mereka yang baru lulus kuliah) adalah salah satu kekhawatiran utama dan butuh adanya tindakan yang cepat. Negara ini juga memiliki populasi penduduk yang muda karena sekitar setengah dari total penduduk Indonesia berumur di bawah 30 tahun. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, indikasinya Indonesia adalah negara yang memiliki kekuatan tenaga kerja yang besar, yang akan berkembang menjadi lebih besar lagi ke depan, maka menekankan pentingnya penciptaan lapangan kerja dalam perekonomian terbesar di Asia Tenggara.
Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri. Dosen perlu memilih pendekatan/metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan tujuan mata kuliah. Salah satu metode yang efektif digunakan dalam pembelajaran adalah metode presentasi dan penjelasan. Metode presentasi dan penjelasan dimaksudkan untuk membantu peserta didik mengembangkan pengetahuan deklaratif baru. Ada dua hasil belajar utama yang inggin dicapai melalui metode presentasi dan penjelasan yaitu membantu peserta didik mengembangkan struktur konseptual dan mengembangkan kebiasaan mendengarkan dan berpikir. Perlu dicatat bahwa metode presentasi dan penjelasan sangat tidak efektif digunakan untuk mengembangkan pengetahuan prosedural, berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan pemecahan masalah.
Seiring perkembangan di era digital, teknologi semakin canggih, dengan mudahnya informasi diakses. Jika dulu informasi didapatkan dari media konvensional seperti koran dan televisi, kini masyarakat bisa mengaksesnya hanya dari genggaman tangan dengan menggunakan perangkat smartphone. Informasi tersebut tentunya tak hanya hiburan, tapi juga ilmu yang berguna untuk pendidikan. Peserta didik bisa belajar IPTEKS dengan cara yang lebih menyenangkan dan interaktif lewat teknologi. Tak lagi hanya duduk menyimak dosen yang mengajar di depan kelas.
Inilah menjadi tantangan pendidikan kita kekinian, bagaimana proses pembelajaran yang seharusnya di dalam dunia pendidikan di era digital saat ini berbenah. Proses pembelajaran yang konvensional atau tradisional di diubah. Pendidikan konvensional yang lebih menekankan kepada mengingat, menghapalkan, memperoleh informasi hanya dari satu arah atau mengaplikasikan prosedur sederhana yang membuat peserta didik tidak mahir dalam berpikir kritis terhadap permasalahan yang dihadapi.
Pendidikan Instan : Telisik Sisi Lain Praktek Pendidikan KekinianLSP3I
Pendidikan adalah kehidupan dan jantung peradaban sebuah bangsa karena Pendidikan adalah satu-satunya yang dapat melahirkan negara bermartabat. Jika sistem dan praketk pendidikan berjalan tidak sebagaimana mestinya, maka maka output dari pendidikan itu sendiri tidak akan menghasilkan dampak yang baik justru akan menghancurkan peradaban kehidupan itu sendiri.
Pembelajaran yang merespon era rovolusi industry 4.0 tersebut harus dijawab dengan cepat dan tepat agar tidak berkontribusi terhadap peningkatan pengangguran. Tantangan industri 4.0, ancaman pengangguran, dan bonus demografi dengan fokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan.
Revitalisasi sistem pembelajaran meliputi, 1) kurikulum dan pendidikan karakter, 2) bahan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, 3) kewirausahaan, 4) penyelarasan.
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat PropagandaLSP3I
Meledaknya arus informasi di jagad media social tak pelak menghadirkan masalah, baik dalam skala kecil maupun besar. Jika menyimak konten social media Indonesia kekinian, ramai dengan konten-konten negative, bagai sampah berserakan. Ujaran kebencian, fitnah, hoax, sampai isu sara. Kontennya beragam, mulai dari konteks sosial, ekonomi, politik, sampai agama. Bentuknya pun beragam, mulai dari teks, gambar, suara maupun video.
Sedikit menggelitik mungkin ketika membaca judul tulisan ini. Mungkin judul itu yang tepat untuk memotivasi diri saya dan rekan rekan dosen untuk lebih berkreasi dalam melaksanakan aktifitas kegiatan di kampus. Saya coba menarasikan antara Kreatifitas, Piknik, dan Ngopi bareng. Masalah ini saya angkat atas realitas yang berkaitan dengan minimnya kreatifitas dalam bekeja karena kejenuhan. Rekan rekan pun pasti mengalami masa kejenuhan akan berbagai aktifitas dan kegiatan di kampus.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Metode pendidikan baru dalam beradaptasi dengan revolusi industri 4.0
1. “Revolusi Industri 4.0 itu hanya istilah semata, yang sesungguhnya adalah tradisi berpikir manusia yang mengikuti garis linier
hubungan antara pengetahuan, sains, dan teknologi yang pengaruhnya pada perubahan alam dan perubahan perilaku
manusia sungguh sangat luar biasa karena terciptanya peralatan-peralatan yang digunakan untuk memudahkan manusia
melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit dan rumit.” -_Yusrin Ahmad Tosepu.
Berbagai upaya pemerintah dan perguruan tinggi kita dalam menyambut penetrasi Revolusi Industri 4.0, yang
kedatangannya diharapkan tidak sekadar disambut oleh euforia yang melenakan, tetapi merangsang kesadaran bahwa
kesiapaan bangsa ini untuk menceburkan diri pada arus revolusi tersebut harus disertai dengan 'pemberian bekal' yang
mumpuni agar menghindarkan diri terseret arus globalisasi yang menenggelamkan.
Banyak analisa menyatakan bahwa keunggulan kompetitif (competitive adventage) sebuah bangsa di era Revolusi Industri
4.0 ini sesungguhnya mengejawantah pada kemampuan mengintegrasikan beragam sumber daya yang dimiliki agar
memiliki konektivitas pada penguasaan teknologi, komunikasi, dan big data untuk menghasilkan 'smart product' dan 'smart
services', dan tidak sekadar pada produktivitas kerja yang berskala besar semata.
Bayang-bayang industries shock dan empower shock semakin rentan menghantui kesiapan bangsa ini terhadap perubahan
yang telah berjalan di hadapan mata. Perkembangan teknologi dan digitalisasi akan membuat sekitar 56 persen pekerja di
dunia akan kehilangan pekerjaan dalam 10 sampai 20 tahun ke depan. Realitas tersebut juga selaras dengan proyeksi
Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) belum lama ini.
Indonesia tentu harus melakukan perubahan di berbagai bidang. Salah satu perubahan itu bisa terbentuk dengan perbaikan
sumber daya manusia. Tantangan Utama Revolusi Industri 4.0 adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang
dapat mengelaborasi ilmu pengetahuan, keterampilan hidup, dan penguasaan terhadap teknologi informasi.
Metode Pendidikan Baru
dalam Beradaptasi dengan
Revolusi Industri 4.0
-Yusrin Ahmad Tosepu
(Kajian: The Future of Global Higher Education)
2. Revolusi industri 4.0 bukan saja hasil puncak dari perkembangan sains modern, melainkan juga awal terciptanya alam
(buatan) baru. Tradisi cara berpikir manusia kemudian berubah dari linier jadi siklikal karena produk-produk teknologi yang
dihasilkan manusia tidak saja hanya dilihat sebagai ”hilir” dari pengetahuan dan sains, tetapi juga sebagai ”hulu”
pengetahuan untuk melahirkan sains dan produk-produk teknologi baru. Pergeseran cara berpikir ini dapat kita kenali dari
berubahnya cara berpikir yang semula disebut sebagai discovery menjadi innovation.
Sejak kelahirannya pada abad ke-17, sains modern telah melahirkan tradisi berpikir yang mengikuti garis linier hubungan
antara pengetahuan, sains, dan teknologi. Pengetahuan adalah basis dibangunnya premis-premis atau dalil-dalil umum
sains, yang untuk selanjutnya sains akan berperan sebagai ibu kandung dari kelahiran teknologi. Kemudian disusul oleh
terciptanya peralatan-peralatan yang mampu digunakan untuk membuktikan dengan akurat hipotesis yang dibangun oleh
abstraksi sains.
Pendek kata, keberadaan dan perilaku-perilaku alam merupakan sumber berpikir bagi terbangunnya pengetahuan manusia.
Kelak di kemudian hari, pengetahuan tersebut dapat digeneralisasi dalam formula-formula yang dapat menuntun manusia
untuk menciptakan alat-alat bantu yang dapat memudahkannya melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit dan rumit. Puncak
dari tradisi berpikir yang mengikuti garis linier ini adalah masa yang disebut dalam sejarah sebagai revolusi industri, yang
pengaruhnya pada perubahan alam dan perubahan perilaku manusia sungguh sangat luar biasa.
Cara berpikir ”inovasi” telah meremas pengetahuan, sains, dan teknologi ke dalam satu genggaman tangan untuk kemudian
dibentuk jadi bentukan-bentukan baru yang lebih mudah dipahami, lebih canggih, lebih mudah untuk memudahkan manusia,
dan tentu saja lebih memesona. Namun, yang sangat mengejutkan, ternyata dalam waktu hanya sekitar 15 tahun terakhir ini
cara berpikir manusia modern sudah bergeser dari ”inovasi” menjadi ”hiper-inovasi” atau tepatnya ”hiper-siklikal”. Artinya,
inovasi tidak lagi sekadar dijalankan di atas ”produk tunggal” untuk menambah nilai kebaruan dari produk tersebut, tetapi
inovasi dilakukan di atas ”banyak produk” (multiproduk) untuk dilipat jadi satu produk.
Alhasil, ia bukan saja melahirkan nilai kebaruan pada produk lama, melainkan sekaligus melahirkan produk-produk baru atau
benda-benda baru yang sebelumnya belum pernah ada. Cara berpikir seperti ini kemudian melahirkan panggung-panggung
perlagaan di dunia industri untuk saling bersaing dan saling mengalahkan. Kita banyak menyaksikan perusahaan-
perusahaan raksasa dunia terjungkal tanpa membuat kesalahan manajemen maupun produksi hanya karena munculnya
benda-benda industri baru yang mengambil teritori pasarnya lantaran para pelanggannya dengan sukarela meninggalkan
produk-produknya karena dianggap kuno alias tidak gaul lagi. Dalam payung berpikir seperti itu (hiper-inovatif), baik
produsen maupun konsumen hidup dalam perlagaan-perlagaan yang sangat ketat, sibuk, dan cepat karena ”kegaulan”
produk-produk teknologi saat ini jadi berusia amat pendek.
Pada perkembangan selanjutnya, untuk melahirkan benda-benda baru serta jasa-jasa baru tersebut di atas dalam payung
berpikir ”hiper-inovasi”, sesungguhnya kita telah mereduksi cara berpikir kita dari discovery ke innovation lalu ke asembling.
Cara berpikir yang terakhir ini adalah cara berpikir yang menggunakan ilmu kolaborasi yaitu mengambungkan pengetahuan
dan teknonologi. Mengkolaborasi orang yang punya sepeda motor atau mobil dengan orang yang memerlukan jasa
transportasi melalui IT. Mengkolaborasi orang yang perutnya lapar dengan pemilik produk makanan dengan pemilik sepeda
motor yang mau disuruh dengan upah melalui IT. Dengan ”ilmu kolaborasi”, saat ini banyak orang bisa mendapatkan rezeki
tanpa harus bekerja di kantor atau di pasar, dan juga banyak orang malas tetapi punya duit yang dimudahkan.
Saat ini, cara-cara berpikir dengan ”ilmu kolaborasi” telah tumbuh dengan pesat dan subur serta telah melahirkan karya-
karya jasa ataupun produk benda-benda yang sangat nyata dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ilmu semacam ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk ijazah dari Perguruan tinggi. Cara berpikir seperti
inilah barangkali salah satu yang dibaca dan ditangkap Google dan Ernst & Young untuk berani merekrut siapa pun tanpa
ijazah apa pun untuk bekerja dengannya.
3. Atas dasar kondisi seperti itulah barangkali Jim Clifton merasa gelisah dan khawatir akan masa depan eksistensi Perguruan
tinggi dalam perannya sebagai penyedia tenaga kerja industri. Keahlian ilmu seperti itu ternyata ”tak pernah” dan ”tak perlu”
diajarkan Perguruan tinggi. Ilmu seperti itu dapat dipelajari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Kekhawatiran Jim Clifton
barangkali ”sangat berguna” untuk mendefinisikan ulang peran pendidikan tinggi dalam perubahan-perubahan alam dan
kehidupan manusia di masa depan.
Siapkah kita
“Siap memasuki” dan atau “Siap menyambut revolusi industri.”, itulah tema yang lagi viral di dunia pendidikan tinggi
kekinian. Mulai dari orasi ilmiah para guru besar, topik bahasan seminar dan penelitian sampai sampai pada brosur kampus.
Tema ini lari manis dikampanyekan. Benarkah pendidikan tinggi kita sudah siap menyambut revolusi industri? Bila melihat
realita pendidikan tinggi kita (kurikulum, tenaga pengajar, sarana dan fasilitas pendidikan), masih jauh dari kata SIAP. Tapi
apapun itu, tema tetaplah tema untuk sekedar penyemangat dan atau bahkan sekedar pencitraan semata. Walau
bagaimanapun saya tetap mengapresiasi usaha dan kerja keras pemerintah dan perguruan tinggi memperisiapkan diri
menghadapi era revolusi industri 4.0.
Pertanyaan yang mendasar adalah mampukah Pendidikan tinggi kita beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0?
Jika dunia industri tengah dihadapkan pada tantangan era generasi keempat (4.0), maka berbeda halnya dengan pendidikan
tinggi di Indonesia yang saat ini masih bergelut dengan ragam tantangan di era generasi ketiganya (3.0). Kondisi ini ditandai
dengan tuntutan akan peningkatan kualitas pembelajaran dan meninggalkan pola kebijakan lama yang sekadar berkutat
pada masalah pemerataan akses serta pemenuhan sarana prasarana pendidikan.
Perubahan pola kebijakan yang berorientasi pada kualitas pembelajaran ini selaras dengan tuntutan tentang apa dan
bagaimana seharusnya pendidikan di Indonesia sebagai media penyiapan sumber daya manusia yang siap terlibat dalam
tantangan Revolusi Industri 4.0 tersebut. Pertanyaan yang pasti muncul adalah, “Siapkah kita memenuhi tuntutan sekaligus
menghadapi tantangan revolusi industri 4.0?” Beberapa hal mengenai sampai di mana pendidikan kita dan persiapan apa
yang diperlukan, saya coba urai satu persatu di bawah ini.
1. Kurikulum
Penyelarasan pembelajaran dalam tataran praktik yang disesuaikan pada konstruk kurikulum yang telah ada menjadi fokus
pertama dalam penyelesaian „pekerjaan rumah‟ pemerintah dalam bidang pendidikan. Kebijakan Kurikulum harus
mengelaborasi kemampuan peserta didik pada dimensi pedagogik, kecakapan hidup, kemampuan hidup bersama
(kolaborasi), dan berpikir kritis dan kreatif. Ini yang kemudian disinggung pada awal tulisan, yaitu pengedepanan 'soft skills'
dan 'transversal skills', keterampilan hidup, dan keterampilan yang secara kasat tidak terkait dengan bidang pekerjaan dan
akademis tertentu. Namun, hal itu bermanfaat luas pada banyak situasi pekerjaan layaknya kemampuan berpikir kritis dan
inovatif, keterampilan interpersonal, warga negara yang berwawasan global, dan literasi terhadap media dan informasi yang
ada.
Banyak kajian mengemukakan bahwa implementasi kurikulum di lapangan mengalami degradasi yang keluar konteks dan
tidak lagi berorientasi pada pencapaian kemampuan peserta didik pada pemahaman ilmu dalam konteks praktik hidup dan
keseharian (kompetensi keterampilan hidup), namun hanya berkisar pada target pencapaian kompetensi peserta didik yang
digambarkan pada nilai-nilai akademik semata. Artinya, implementasi kurikulum di lapangan mengalami degradasi yang
keluar konteks dan tidak lagi berorientasi pada pencapaian kemampuan peserta didik tersebut pada pemahaman ilmu dalam
konteks praktik hidup dan keseharian.
4. 2. Metode Belajar
Menstimulus kemampuan peserta didik melalui beragam terobosan metode belajar kontekstual yang mendorong peserta
didik berpikir kritis dalam beragam konteks hidup yang nanti dihadapinya, seperti problem-based learning, inquiry-based
learning, pendekatan pembelajaran Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM), dan ragam
pendekatan pembelajaran lainnya. Sehingga tidak sekadar berfokus pada pola-pola lama dan monoton pada pembelajaran
yang minim kreativitas.
Selama ini kita banyak beranggapan bahwa dosen adalah kunci keberhasilan sebuah praktik pembelajaran pada peserta
didik, tetapi lupa untuk mengakui bahwa dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar peserta didik. Pola dan
metode pembelajaran lama sering kali menempatkan dosen menjadi satu-satunya sumber belajar dan 'maha tahu' di dalam
ruang kelas, seolah melupakan bahwa peserta didik yang merupakan subjek belajar pun sesungguhnya merupakan sumber
belajar bagi rekan sejawatnya.
Metode pembelajaran yang beragam dan membuka keleluasaan dosen dalam mengeksplorasi peserta didik dan pola
pembelajaran yang dijalankan di kelas, diharapkan akan juga memperluas wawasan peserta didik tentang kontekstualisasi
ilmu yang didapatkannya di dalam kelas menuju praktik hidup yang dihadapinya nanti sebagai bagian dari realitas
kehidupan.
Membuka banyak kesempatan dan peluang kepada peserta didik, dosen, kampus, dan iklim pendidikan secara luas untuk
mengembangkan cakupan sumber belajar yang dimilikinya, baik dari sumber yang sifatnya tangible maupun intangible,
akademis ataupun non akademis, tanpa batasan aksesibilitas atas sumber belajar tersebut. Dalam hal ini, perguruan tinggi
melalui kebijakan-kebijakannya harus hadir dalam mengakomodir kebutuhan tersebut. Selama ini kita banyak beranggapan
bahwa dosen adalah kunci keberhasilan sebuah praktik pembelajaran pada peserta didik, tetapi lupa untuk mengakui bahwa
dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar peserta didik.
3. Penguasaan Data, Informasi, dan Teknologi
Menstimulus dan memfasilitasi peserta didik serta masyarakat pendidikan untuk menguasai data dan informasi secara
global, serta teknologi informasi yang dielaborasi dengan menciptakan ruang-ruang kreativitas dan ragam peluang yang
memberikan keuntungan ekonomi yang sifatnya luas. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus dapat mengakomodir
infrastruktur digital yang dibutuhkan peserta didik dan masyarakat pendidikan untuk meniscayakan penguasaan data,
informasi, serta teknologi tersebut.
4. Kapasitas yang Adaptif
Mendorong perkembangan pendidikan berbasis vokasional, dengan ragam keterampilan yang tidak sekadar
mengedepankan konsep link and match antara perguruan tinggi dengan dunia industri, tetapi juga menekankan kapasitas
lulusan yang lincah, adaptif, dan sensitif terhadap perubahan lingkungan industri dan ekonomi.
Keseimbangan pemahaman antara konsep pengetahuan dan keterampilan adalah hal yang penting, tetapi belum cukup bagi
mahasiswa untuk dapat memahami cepatnya perubahan lingkungan. Survival of the fittest sepertinya akan berlaku di era
generasi keempat ini. Hanya mereka yang adaptiflah, yang akan survive terhadap gempuran Revolusi Industri 4.0 ini.
Survival of the fittest sepertinya akan berlaku di era generasi keempat ini. Hanya mereka yang adaptiflah, yang akan survive
terhadap gempuran Revolusi Industri 4.0.
5. Membangun Metode Pendidikan Baru
Menghadapi revolusi industri 4.0 tentu bukan hal mudah, paling tidak, ada dua arus utama pendidikan tinggi yang dapat
ditawarkan kepada masyarakat, yaitu merekonstruksi ulang model pendidikan Perguruan tinggi agar tetap pada pada
arahnya sebagai produsen sumber daya manusia yang unggul dan dibutuhkan masyarakat secara luas, dan membangun
inovasi pembelajaran yang ada saat ini.
Kuantitas bukan lagi menjadi indikator utama bagi suatu perguruan tinggi dalam mencapai kesuksesan, melainkan kualitas
lulusannya. Perguruan Tinggi wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia
kerja di era globalisasi. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi, diperlukan
penyesuaian sarana dan prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan
komputerisasi.
Perguruan tinggi yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang
terampil dalam aspek literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. Terobosan inovasi akan berujung pada
peningkatan produktivitas industri dan melahirkan perusahaan pemula berbasis teknologi, seperti yang banyak bermunculan
di Indonesia saat ini.
Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang responsif terhadap revolusi industri juga
diperlukan, seperti desain ulang kurikulum dengan pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Persiapan dalam
menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0 adalah salah satu cara yang dapat dilakukan
Perguruan Tinggi untuk meningkatkan daya saing terhadap kompetitor dan daya tarik bagi calon mahasiswa.
Perguruan tinggi Indonesia perlu merubah tiga hal dari sisi edukasi, yang paling fundamental adalah mengubah sifat dan
pola pikir peserta didik. Selanjutnya, kampus harus bisa mengasah dan mengembangkan bakat peserta didiknya. Terakhir,
Perguruan tinggi seharusnya mampu mengubah model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman kiwari dengan
fokus pada Konsep 'KKN' (komunikasi, kolaborasi, dan networking).
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perguruan tinggi harus bisa meramu metode pendidikan baru yang mampu
menyesuaikan kebutuhan di era kekinian, yaitu :
Pertama, Pendidikan yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery. Model pendidikan semacam ini
mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih ”penemuan-penemuan” besar yang berguna bagi perubahan-perubahan
kehidupan manusia di masa depan. Riset-risetnya dilakukan atas dasar ”kerja kolektif” untuk diarahkan pada ”penyelesaian
masalah-masalah besar” dan ”penemuan-penemuan besar” sehingga metode pendidikan yang diselenggarakan perguruan
tinggi harus benar benar fokus bidang kajian prodi keilmuan yang diselenggarakan.
Kedua, pendidikan yang diselenggarakan atas semangat berpikir asembling, atau pendidikan yang diselenggarakan untuk
melembagakan cara berpikir ”perakit”, sehingga tugas utamanya melahirkan sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit yang
sangat dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri.
Pendidikan seperti ini mungkin mirip pendidikan vokasi, tetapi bedanya terletak pada ”cara berpikir” yang luas, melintas
disiplin, dan kompetensi yang dihasilkannya mampu melahirkan produk-produk baru, baik berupa barang maupun jasa.
Mungkin pendidikan semacam ini tepat disebut ”pendidikan vokasi plus”. Dibeberapa negara Asia tampaknya telah memberi
perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan semacam ini.
6. Ketiga, memanggil masuk para pelaku pasar dan dunia industri yang berhasil yang dikenal dengan istilah para praktisi atau
penggiat dunia usaha dan industri. Jadikan mereka dosen, tanpa pernah memperdulikan title akademiknya. Mereka diminta
menyampaikan secara gamblang apa yang mereka lakukan setiap saat sehingga peserta didik memiliki semangat dan
motivasi untuk bisa seperti mereka. Kehadiran mereka akan dapat memeberikan perubahan dan membuat terobosan
kehidupan, baik dari aspek sains, kedokteran, sastra atau humaniora.
Keempat, pendidikan yang diselenggarakan harus dikembangkan kajian bukan berbasis disiplin ilmu semata tetapi berbasis
kebutuhan pasar. Titel akademik tidak lagi yang menentukan spesifikasi, tapi sertifikat ahli dari figur sentral dalam keilmuan
yang ditekuni. Kuliah tidak perlu ditawarkan di ruang kelas, tapi di tempat praktek yang ditentukan oleh patron tadi.
Datangkan „futurelog‟ yang bisa memprediski revolusi kehidupan apa yang akan terjadi ke depan. Dunia pendidikan segera
bergerak ke arah sana.
Dengan menyelenggarakan empat arus utama pendidikan tinggi semacam itu, selaian eksistensi pendidikan tinggi tetap
dapat dipertahankan, maka pendidikan tinggi dikembalikan lagi perannya sebagai pemandu atau penuntun peradaban
manusia, bukannya sebagai pembebek (pengekor) apa saja yang telah dilakukan oleh dunia kerja dan dunia industri.
Strategi Pembelajaran dan Gaya Belajar untuk Melahirkan Kaum Terdidik Masa Depan
Banyak sudah kita dengarkan saran dan kritik untuk mengatasi persoalan pada mutu pendidikan kita. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, topik-topik tersebut mengalami ketidakpastian dalam pengaplikasiannya. Tampaknya kita berputar-putar
dalam lingkaran dan maju secara perlahan jika kata “kemandekan” atau “kegagalan” terlalu vulgar untuk diutarakan.
Pemerintah dan perguruan tinggi di indonesia terlalu sibuk dengan rangkin universitas, jumlah riset, sistem informasi
manageman, angka kelulusan dan data-data kuantitatif lainnya sehingga terpisah jauh dari jantung pendidikan itu sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, mutu pendidikan tinggi kita menjadi salah satu gejala yang memprihatinkan.
Bukti nyata dari gejala tersebut adalah banyaknya penggangguran luaran perguruan tinggi termasuk “produk-produk gagal”
bertitle S1 meskipun hal ini tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi dunia tapi setidaknya indikasi bahwa produk
pendidikan kita belum siap berhadapan dengan kerasnya globalisasi dan persaingan didunia kerja.
Pernahkah anda mendengar survey 70%? Salah satu surveynya bahwa dari seluruh yang dipelajari mahasiswa di bangku
kuliah, 70% tidak bisa diaplikasikan di masyarakat. Kalau survey ini benar, paling tidak saatnya dunia pendidikan segera
berbenah. Pendidikan seharusnya mengantisipasi kecenderungan perubahan yang tak terpikirkan oleh pelaku pendidikan.
Bersiaplah mendefenisikan ulang siapa yang disebut sebagai „kaum terdidik‟. Mungkin saja mereka yang tidak pernah
menginjak kampus. Atau mungkin saja universitas tempat belajarnya adalah universitas virtual, atau perguruan yang ada
dalam kesadaran bersama, bukan universitas dalam bentuk fisik dengan hamparan bangunan kampus yang begitu luas.
Sadarkah kita mereka yang membuat perubahan yang membawa revolusi kehidupan adalah orang-orang „drop-out‟ dalam
dunia pendidikan. Sebut misalnya: Bill Gates (Microsoft) dan Mark Zuckerberg (Facebook). Sadarkah kita bahwa kejutan
yang kita ciptakan sering bukan tempaan dunia pendidikan formal? Tanya yang membuat jari-jari anda bisa bermain di atas
layar gadget hanya untuk membeli makanan atau memesan kendaraan online, apakah skill itu dibentuk oleh pendidikan
formal?
Tak terkecuali, para dosen yang setiap hari membawakan khotbahnya di ruang kelas, apakah retorikanya yang menghipnotis
peserta didiknya dan metode penyampaiannya di dapat dari lembaga pendidikan? Bukankah ilmu komunikasi mengajarkan
anda menyampakan secara sistematis, jelas, ditopang dalil dan kesimpulan dan itu artinya penyampaian anda harus
panjang. Sementara anda menyampaiakan materi selalu pendek, mengulas satu masalah dan mengambil contoh konkrit di
7. masyarakat lalu anda tutup dengan kesimpulan ringan. Dan peserta didik datang mengerumuni anda karena tertarik dengan
metode pengajaran anda. Saat anda bertanya apanya yang kalian suka dari metode mengajar saya? Mereka serempak
menjawab: “Pendek!”. Yang anda praktekkan bukan teori.
Semua di atas adalah peringatan keras bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, bisa saja sajian pengajaran yang ada
sekarang tidak lagi dibutuhkan oleh peserta didik. Bisa saja itu berarti bahwa untuk bisa kontributif lebih luas dalam proses
mengajar dan belajar peserta didik tempatnya bukan lagi berasal dari dunia pendidikan formal. Otoritas keilmuan bukan lagi
murni klaim para pengajar dan pendidik dan institusi pendidikan, tapi berserakan di sudut-sudut kehidupan masyarakat.
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, dosen harus punya ide kreatif untuk mengajar, konstruktivisme dalam
pembelajaran dan lain sebagainya. Dosen harus memiliki ide-ide yang kreatif serta terus berinovasi terhadap metode
pembelajaranya kepada mahasiswa. Selain itu, dosen juga harus memiliki pengetahuan mengenai materi yang diajarkan
serta pengetahuan mengenai cara menyampaikan materi tersebut kepada mahasiswa. Dosen dituntut untuk terus
mengupdate pengetahuan agar bisa membuat metode pembelajaran yang lebih menarik kepada mahasiswa untuk
menciptakan kualitas pembelajaran yang lebih baik.
Dosen harus mengembankan pembelajaran dengan cara menyegarkan kembali prinsip pembelajaran agar proses
pembelajaran menjadi lebih kreatif, inovatif dan menyenangkan. Dosen harus dapat menciptakan situasi dan kondisi agar
mahasiswa dapat memproses informasi dengan lebih mudah dan cepat dipahami sekaligus melekat dalam ingatan mereka.
Di sinilah dosen harus memperkenalkan berbagai strategi belajar dan mengajar kepada mahasiswa guna merangsang
semangat belajar mahasiswa.
Selain itu, juga tujuan dari proses belajar mengajar yang dilaksanakan dosen adalah adanya perubahan tingkah laku baik
aspek pengetahuan (kognitif), aspek sikap (afektif), maupun aspek psikomotorik. Salah satu perubahan aspek kognitif
mahasiswa dapat dilihat dari indeks prestasi yang diperoleh. Indeks prestasi dijadikan sebagai tolok ukur penguasaan
akademik mahasiswa.
Oleh karena hal itulah, kegiatan pembelajaran dosen harus berfokus pada peserta didik yang menekankan pada
pengembangan kompetensi peserta didik, seperti kreativitas, kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan,
kekritisan dalam berpikir, kemampuan berkomunikasi, dan bekerja dalam tim serta wawasan global untuk dapat selalu
beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Dosen harus menyegarkan kembali prinsip pembelajaran yang lebih kreatif, inovatif dan menyenangkan agar mahasiswa
aktif dan mau berpartisipasi dalam proses pembelajaran untuk mencapai prestasinya. Bukan aktif hanya sekedar
mengerjakan tugas semata tetapi turut serta berpartisipasi dalam proses perkuliahan. Artinya proses belajar mengajar
beralih pada penekankan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.
Strategi Pembelajaran
Salah satu tugas dosen ketika mempersiapkan perkuliahan adalah memikirkan bagaimana agar mahasiswa dapat
memproses informasi yang disampaikan dan bagaimana agar dosen dapat mengaitkan informasi dengan pengetahuan yang
sudah dimiliki oleh mahasiswa. Dosen harus dapat menciptakan situasi dan kondisi agar mahasiswa dapat memproses
informasi dengan lebih mudah dan cepat dipahami sekaligus melekat dalam ingatan mereka. Di sinilah dosen harus Memilih
strategi pembelajaran yang tepat disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa, materi yang diajarkan, maupun dengan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
8. Aspek pengajaran yang paling penting adalah pemberian pengalaman kepada mahasiswa, tentu saja harus dimulai dengan
pemahaman terhadap tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Kemudian harus diikuti dengan pemilihan materi yang
tepat, penentuan strategi pembelajaran yang sesui dan penggunaan alat evaluasi yang betul. Namun semua itu, mulai dari
tujuan, materi, strategi dan evaluasi sangat terkait, bahkan menjadi satu rangkaian yang harus dipersiapkan di awal
pembelajaran.
Perencanaan merupakan upaya untuk merumuskan apa yang ingin dicapai serta bagaimana sesuatu yang ingin dicapai
tersebut dapat terlaksana melalui rumusan rencana kegiatan. Untuk bias mengajar dengan baik, dosen harus
mempersiapkan materi dengan cara mencari silaby dari mata kuliah yang akan diajarkan, kemudian membuat course outline
atau SAP (Satuan Acara Perkuliahan) dengan mempertimbangkan waktu yang tersedia. Selanjutnya menentukan strategi
yang tepat untuk penyampaian materi tersebut dengan menyiapkan segala sarana dan pra sarana yang diperlukan.
Dalam penyampaian materi tersebut, kita harus memiliki antusiasme yang tinggi, artinya penuh semangat sehingga bias
menumbuhkan kesadaran mahasiswa bahwa belajar itu penting, untuk itu dosen harus memiliki kompetensi akademik,
kepribadian dan social.
Dalam perkuliahan, dosen harus berperan sebagai teladan dan motivator bagi peserta didik, menjadi agen pengembangan
pengetahuan, dan perubahan serta mampu mengarahkan mahasiswa. Selain menjadi pentransfer ilmu, dia juga harus
mampu memberikan wawasan tentang perkulihan yang akan disampaikan; menjadi mediator, fasilitator, dan sekaligus
dinamisator bagi mahasiswanya agar mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar.
Peran yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam kegiatan belajar menagjar adalah denga aktif mencari materi-materi
yanag sesuai dengan topik-topik perkuliahan. Karena dengan mengikuti perkuliahan dia harus mempunyai bekal atau
persiapan untuk didiskusikan di kelas. Dengan demikian, dia harus memiliki kemandirian tidak selalu bergantung pada
dosen. Karena yang didapat dari dosen itu sebenarnya hanyalah sebagian kecil saja dari ilmu pengetahuan yang dia
peroleh.
Agar iklim perkuliahan berjalan secara kondusif, maka performance dosen harus baik, penguasaan materi baik dan adanya
pemilihan strategi perkulaian yang tepat. Perkuliahan harus dilaksanakan dalam suasana penuh keakraban namun tetap
menjaga nilai-nilai akademis. Untuk itu perlu ada komunikasi yang baik antara dosen dengan mahasiswa, sehingga tercipta
suasana dialogis secara bebas yanag dapat merangsang semangat belajar mahasiswa. Dalam rangka menciptakan iklim
seperti itu maka perlu ada upaya motivasional untuk menarik perhatian mahasiswa sehingga materi dapat tersampaikan
dengan baik. Di akhir perkuliahan harus ada latihan-latihan atau tugas agar yang kita sampaikan itu dapat dikuasai oleh
mahasiswa. Namun perlu diusahakan dosen memiliki banyak humor, sehingga suasana tidak tegang.
Gaya Belajar
Dosen harus menyadari bahwa para mahasiswanya memiliki gaya belajar yang berbeda. Istilah gaya belajar (learning style)
yang dimaksud adalah karakteristik dan preferensi atau pilihan individu mengenai cara mengumpulkan informasi,
menafsirkan, mengorganisasi, merespons, dan memikirkan informasi tersebut. Sebagaian mahasiswa lebih senang belajar
sendirian, sementara yang lain suka belajar secara berkelompok.
Sebagian mahasiswa suka memperolaeh informasi dengan membaca, sebagian lebih suka mendapatkan informasi lewat
berbagai aktifitas. Tidak ada satupun gaya belajar yang lebih baik dari yang lain, dan tidak ada satupun gaya belajar yang
mendorong uantuk belajar lebih baik. Tetapi semua disesuaikan dengan situasi, materi, tujuan yang hendak dicapai.
Masalahnya strategi mungkin cocok untuk satu situasi/materi tertentu, akan tetapi tidak cocok untuk situasi yang berbeda.
9. Bagi seorang dosen, memahami gaya belajar sangat bermanfaat, paling tidak karena tiga alasan. Pertama, mengetahui
gaya belajar mahasiswa dapat membentu dosen mengerti perbedaan yang ada di kalangan mahasiswa. kedua, dosen
mungkin ingin mengembangkan berbagai strategi mengajar untuk membangun kelebihan individual yang berbeda yang
dimiliki oleh mahasiswa. ketiga, mengetahui perbedaan mahasiswa dapat membantu dosen mengembangkan strategi
belajar mahasiswa.
Kolb mengidentifikasi ada empat gaya belajar berikut ini :
a. Convergers : mahasiswa yang mengandalkan konseptualisasi abstrak dan eksperimentasi aktif; mereka suka
menenukan jawaban konkret dan bergerak dengan cepat untuk menemukan pemecahan masalah; mereka baik
sekali dalam mengidentifikasi masalah dan membuat keputusan; mereka tidak emosional; mereka lebih senang
bekerja dengan ide-ide dari pada bekerja dengan orang lain.
b. Divergers : mahasiswa menggunakan pengalaman konkret dan pengamatan reflektif untuk memunculkan gagasan-
gagasan ; mereka bagus dalam brainstorming dan membuat alternative, mereka paling senang berinteraksi dengan
orang lain.
c. Assimilators: mahasiswa yang mengandalkan konseptualisasi abstrak dan pengamatan reflektif; mereka senang
mengasimilasikan berbagai informasi dan menyusunnya kembali dengan logika yang tepat; mereka bagus dalam
membuat perencanaan, mengembangkan teori, dan menciptakan model, tetapi kurang tertarik dalam
mengaplikasikan teori dalam kehidupan nyata; mereka belajar dengan baik dengan membaca, mendengarkan,
mengamati, dan merenungkan informasi yang diperoleh.
d. Accomodators: mahasiswa yang belajar dengan baik dengan menggunakan pengalaman konkrit dan eksperimentasi
aktif, mereka suka menggunakan strategi trial and error dari pada instruksinya terlebih dahulu, atau intuisi untuk
memecahkan masalah, mereka cenderung mengambil resiko dan masuk ke dalam masalah tersebut, mereka
pandai menyesuaikan diri dengan situasi baru.
e. Dalam aktifitas kelas mahasiswa konvergers, cenderung lebih menyukai menyelesaikan masalah dengan jawaban
pasti. Mahasiswa divergers, cenderung memperoleh keuntungan lebih dari kelompok diskusi dan mengerjakan
proyek secara kolaboratif. Mahasiswa assimilators, cenderung akan merasa sangat nyaman mengamati,
memperhatikan role play (bermain peran) dna simulasi di adalam kelas serta menciptakan konsep. Mahasiswa
accommodators, cenderung lebih senang beraktifitas dan mereka akan menjadi pemain yang terbaik dalam role
play, kerja kelompok, simulasi, dan kunjungan lapangan.
Penutup
Setelah membaca artikel ini, coba anda simak realitas pendidikan tinggi kita sekarang ini, apakah sudah ada upaya
sungguh sungguh khususnya kesiapan perguruan tinggi menyambut era revolusi Industri 4.0. Jangan hanya menganggap
era revolusi Industri 4.0 sekedar euphoria yang dijadikan bahan perbincangan, pencitraan dan wacana semata tanpa upaya
yang sungguh sungguh untuk dapat beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi di era RI4.0.