Teks tersebut membahas tentang Ibnu Taimiyah dan pemikirannya. Secara singkat, Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama dan pemikir Islam abad ke-13 yang memiliki pandangan kontroversial mengenai tasawuf dan akidah yang berbeda dengan mayoritas ulama pada zamannya. Pemikirannya ini menjadi sumber perdebatan sepanjang hidupnya.
apotek jual obat aborsi Bogor Wa 082223109953 obat aborsi Cytotec Di Bogor
Latar belakang
1. Latar Belakang
Ibn Taimiyah adalah ahli fikih mazhab Hambali. Pengaruh pemikirannya sangat
besar terhadap gerakan Wahhabi, dakwah gerakan Sanusi, dan kelompok-kelompok
agama yang ekstrem yang ada di dunia Islam saat ini.[1]
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak “kata” yang seringkali
dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja
mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah
pemikiran tertentu.
Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini –Ibnu Taimiyah dan
Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak
mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang
membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf.
Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh
yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali
mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini danimage yang tercipta adalah
kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.
Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan pemunculan tulisan ini.
Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan Tasawuf
akan berusaha dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada
karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Biografi Ibnu Taimiyah?
2. Apa saja pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Biografi Ibnu Taimiyah;
2. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah.
D. Metode Penulisan
Adapun metode dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan penelitian
kepustakaan (Library Research). yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan ataupun
karya-karya terdahulu yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diangkat, karena
2. penelitian ini tentang tokoh maka dalam hal ini pendekatan historis dianggap paling
menunjang dalam analisis data.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin
Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H
dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.
Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir,
serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul
Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di
kotanya.[2]
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah
dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah
hukum secara resmi.[3]Para ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangannya
serta iti hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan
pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan
oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antroporpisme,
sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang
mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya
terjadi lima tahun setelah Bagdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh
sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat Islam, mengalami banyak rintangan,
bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk
kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-
Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal
mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama
(masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu
Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[4]
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai
penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
3. 1. Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil
ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis
dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara
mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.
2. Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar
dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara.
Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir
hayatnya.
3. Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu.
Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan
terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau
ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada
seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang
empat.”[5]
B. Pemikiran Ibnu Taimiyah
1. Ibnu Taimiyah dan Tasawuf
Sering kita mendengar bahwa Ibnu Taimiyah itu anti tasawuf dan penentang sufi,
padahal kalau diperhatikan dari sikap dan pandangannya dia adalah seorang sufi dan
pengikut ajaran tasawuf suni (yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah), meskipun ia
tidak mengistilahkan ajaran tasawuf dengan istilah tersebut. Istilah yang sering dipakai
oleh Ibnu Taimiyah adalah istilah suluk, akan tetapi substansinya adalah apa yang ada
pada ajaran tasawuf.
Suluk menurut Ibnu Taimiyah merupakan kewajiban setiap mukmin, seperti yang
diungkapkannya dalam kitab Fatawanya. “Suluk adalah jalan yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasulnya berupa itikad, Ibadah dan Akhlak. Semua ini telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan Sunah, dan suluk ini kedudukannya seperti makanan yang menjadi
keharusan seorang mukmin”.
Diantara kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah “amal-amal hati yang
diberi nama maqâmât dan ahwâl seperti: cinta kepada Allah dan Rasulnya, tawakal,
Ikhlas, sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah kewajiban setiap maklhuk, baik
kaum khâsatapun orang-orang awam”.
Kesufian Ibnu Taimiyah tidak hanya terbukti dari keilmuannya saja akan tetapi
perbuatan dan sikapnya telah membuktikan akan semua ini. Adz-Dzahabi pernah
bercerita bahwa dia tidak pernah menemukan orang yang banyak berdoa dan bertawajuh
kepada Allah melebihi Ibnu Taimiyah.
4. Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Madarus Salikin banyak bercerita tentang Ibnu
Taimiyah dalam kerohanian (baca: Tasawuf). Dalam kitab Kawakibud Duriyah bahwa
Ibnu Taimiyah pada malam hari sering menyepikan diri dari manusia, dia hanya sibuk
dengan tuhannya, banyak bermunajat dan membaca Al-Qur’an.
Sedang ke zuhudan dan ketawaduan Ibnu Taimiyah adalah tauladan yang baik,
dalah hal ini terbukti dengan kata-katanya, “Aku tidak punya apa-apa, dariku tak ada apa-
apa dan padaku tak ada apa-apa”.
Itulah pribadi Ibnu Taimiyah dalam suluk dan kerohaniannya, cukuplah kiranya
Ibnu al-Qayyim dan karyanya Madarus Salikin sebagai bukti tarbiah Ibnu Taimiyah
dalam konteks kesufian.
Tidak hanya itu, Ibn Taimiyah dan murid-muridnya sangat mempercayai adanya
karamah para wali. Di sini Baduruddin al-Aini berkata tentang Ibnu taimiyah, “Di
samping kemuliaan dan ketinggian Ilmunya, beliau (ibnu Taimiyah) juga mempunyai
karamah yang tidak diragukan lagi seperti yang ku dengar dari banyak orang”.
Ibnul Qayyim juga banyak bercerita tentang firasat (mukasyafah) Ibnu Taimiyah
dalam kitabnya, “Aku telah menyaksikan firasat Syaikhul Islam dari hal-hal yang
menabjubkan. Sedang hal yang tidak kusaksikan tentu lebih banyak dan lebih agung”.
Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah dan
kelompoknya anti ajaran Tasawwuf. Adapun kepercayaan-kepercayaan yang mengatas
namakan sufi dan tasawwuf akan tetapi bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah tidak
hanya Ibnu Taimiyah dan Madrasahnya yang menentang, para sufipun juga
menentangnya.
Sebagai seorang intelektual wajar kalau Ibnu taimiyah sering melontarkan
kritikan terhadap tokoh-tokoh lain, hanya saja kadang Ibnu taimiyah melampau batas
dalam pandangan dan kritikannya sehingga menjadikan dia sebagai sosok yang
kontrofersi.
2. Kontrofersi pemikiran Ibnu Taimiyah.
Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama,
sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara,
terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini
tidak hanya berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering
menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di zamnnya geram pada Ibnu Taimiah.
Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-
gara satu fatwa yang dikenal dengan masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi
5. waktu itu turun tangan, yaitu Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa
“Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu taimiah maka dia akan dita`zir.” Pada
tahun 705 Ibnu Taimiah kembali membikin heboh yang membuat dirinya kembali masuk
penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di sanapaun dia jaga
mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama setempat.
Begitulah seterusnya Ibnu taimiiyah, dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia
di Syam atau di Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak konsekwen
pada pendapatnya, kadang dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan
kadang dia juga mengaku berakidah Asyairah namun di lain kesempatan dia juga
mencaci tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali dan yang lainnya. Tidak hanya itu,
Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi.
Oleh sebab itulah, ulama dari masa ke masa senantiasa memperselisihkan sosok
dan pemikiran Ibnu Taimiyah, ada yang menganggapnya fasik, ada yang
menganggapnyamubtadi` (ahli bid’ah) dan bahkan ada yang menganggap kafir. Tidak
hanya para penentangnyya yang mengkritik Ibnu taimiyah, murid-muridnya juga sering
berbeda dan menasehatinya, seperti Ibnu Katsir dan adz-Dzahabi. Bahkan adz-Dzahabi
menulis sebuah risalah husus yang berisi nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah kembali
dan bertobat. Surat ini di kenal dengan an-Nashîhah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.
Penentang Ibnu Taimiyah sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri sampai pada saat ini
terus mengalir, mulai dari kalangan fuqaha madzahabil arb’ah sampai para ulama kalam.
Sedang yang mengarang kitab yang berisi kritikan pada Ibnu taimiyah juga sangat
banyak, seperti as-Subki dan ulama-ulama setelahnya.
3. Pemikiran kontrofersi Ibnu Taimiyah
Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan dengan Ijma`dan
mayoritas ahlu sunnah wal jamaah sangat banyak diantaranya adalah:
a) Keyakinanya tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk,
duduk seperti duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan
Ibnu Taimiyah berkata bahwa Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari
mimbar. Mazhab ini di sebut al-Hasyawiyah al-Mujassamah.
b) Berani mencaci Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat
nyawanya terancam karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut
Asya`irah lainnya. Bukan hanya itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya
Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh, dan Iman sayyidina
Abu Bakar juga tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam keadaan pikun hingga beliau
tidak mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan.
Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman menurutnya
6. sangat cinta dunia. Dalam kitab Durarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu Taimiyah fil-
Mizandijelaskan panjang lebar masalah ini.
c) Inkar terhadap Majaz. Ibnu taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu
berada dalam Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam
menyikapi ayat-ayat musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama
adalah Tafwidh(menyerahkan penafsirannya pada Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti
oleh kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah mazhab Ta`wil (mentafsiri
ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini dipakai oleh
ulama khalaf.
Sedang pendapat Ibnu taimiyah dalam masalah ini berkonsekwensi pada
pemahaman yang berbahaya dalam memahami al-Quran dan nama dan sifat Allah, sebab
hanya membawa pada pengertian yang mustahil pada zat dan sifat Allah. Adapun
pendapat salaf mengenai masalah Tafwidh, salaf tidak mau panjang lebar mengenai
masalah ini, sehingga menyerahkan urusan ini pada Allah. Beda halnya dengan Ibnu
taimiyah yang berani menafsiri Al-Quran dengan lahirnya saja, sehingga mengakibatkan
hal yang fatal.
Disamping itu keingkaran Ibnu taymiyah pada majaz dapat menimbulkan
pengertian yang salah terhadap teks Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia
Ibnu Taimiyah merasa kebingungan menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari
ulama salaf dan pengikut mazhab Hanafi (Ibnu Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang
mempercayai adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-
Khattab dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran.
Seseorang yang membaca kitab Shawaiq al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka
akan tampak kebingungannya dalam menyikapi pendapat gurunya tersebut.
d). Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak
terjadi, masalah ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-
kata talak tiga hanya terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil
banyak pendapat Ibnu taimiyah yang bertentangan dengan mayoritas ulama Ahlu sunnah
wal jamaah.
Namun begitu sumbangan Ibnu Taimiyah terhadap pemikiran Islam tidaklah
sedikit, maka sikap yang terbaik mengenai Ibnu taymiyah adalah sikap yang disampaikan
oleh Syaekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, “Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar
yang masyhur dari salah satu umat Muhammad, namun begitu dia tidak lepas dari
kesalahan” Dalam buku yang sama an-Nabhani juga berkata, “Ibnu taimiyah ibarat lautan
besar yang berkecamuk ombak, di mana ombak itu kadang membawa intan permata dan
kadang membawa batu dan pasir dan kadang juga melempar kotoran”.[6]
7. 4. Prinsip dasar Ibn Taimiyah
Ciri khas pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menganut system pemikiran Ahlussunah
Wal Jama'ah, yang dianut oleh Ahmad bin Hambal dan tokoh mazhab hambali lainya.
Sungguhpun demikian, ia juga mengambil pikiran tokoh mazhab empat dan para pemuka
hadits seperti, Bukhari, Syafi'I, Thabari, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Bahkan Ibnu
Taimiyah menerima semua pemikiran selama itu sejala dengan kaum salaf.
Prinsip berpikir yang menjadi landasan berfikir Ibnu Taimiyah adalah ; pertama, al-
Tauhid. Dengan prinsip tauhid, Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Allah adalah yang maha
benar, yang nyata, pengajar setiap ilmu, pencipta segala sesuatu, dan pembuat hukum.
Karena Allah swt memiliki kualitas sperti di atas maka ia memberi petunjuk kepada
manusia melali perantara, yakni rasul dengan mewahyikan al-kitab yang mengandung
petunjukpetunjuk dan penjelasan dari rasul yang disebut dengan Sunnah.
Kedua, kembali kepada al-qur'an dan sunnah. Prinsip ini berdasarkan pada teorinya
fitrah, yang mana ia merupakan potensi yang inheren dalam diri manusia yang telah ada
sejak ia dilahirkan. Fitrah tersebut mempunyai daya potensial yang berfungsi untuk
menganal Allah swt, mengesakan dan mencitai-Nya yang disbut al-quwwatu al-aqliyah.
Sedang daya yang berfungsi untuk menginduksi hal-hal yang menyenangkan
disebut quwah syahwatiah, dan daya yang berfungsi untuk menjaga diri dan dan
menghindarkan dari bentuk yang merusak dan membahayakan disebut quwwah al-
ghadab. Akan tetapi fitrah tersebut tidak tidak dapat berfungsi tanpa bantuan daruluar
dirinya yang disebut al-fitrah al-munazzalah.
Ketiga, persesuaian antara akal dan wahyu. Ibnu Taimiyah meletakkan akal pikiran
di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri sendiri. Dengan kata lain, wahyu
tidak dapat terpisahkan, namun ukuran-ukuran kesesuaian antara keduanya harus jelas,
yaitu penalaran akal yang jelas dan wahyu yang terjamin penukilannya.
Keempat. Prinsip keadilan. Persoalan di dunia ini bisa baik jika diurus secara adil.
Cara begini lebih banyak berhasil daripada diurus secara zhalim. Oleh karena itu,
dikatakan bahwa, "Sesungguhnya Allah swt mempertahankan atau memenagkan Negara
yang adil meskipun kafir dan tidak membantu Negara yang zhalim sekalipun Muslim.
Kelima, hakikat kebenaran. Menurut Ibnu Taimiyah, hakikat kebenaran itu ada
dalam dunia empirik, bukan dalam pikiran. Islam sebagai ajaran yang ditujukan unutk
kebaikan umat manusia adalah petunjuk praktis yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan
yang dihadapi penganutnya. Oleh sebab itu, kebenaran yang sesui dengan ajaran agama
dapat diketahui oleh manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam mengandung sifat empirik
yang memberi peluang kepada fungsi-fungsi manusia.
8. Keenam, pokok-pokok dan cabang-cabang agama telah dijelaskan oleh Rasul.
Menurut Ibnu Taimiyah, Rasulullah telah menjelaskan semua aspek agama, baik prinsip-
prinsipnya naupun cabag-cabangnya, segi atin dan lahirnya, segi ilmu maupun amalnya.
Prinsip ini adalah pangkal prinsip-prinsip ilmu dan iman. Barang siapa yang berpegang
kuat-kuat kepada prinsip tersebut maka ia lebih berhak atas kebenaran, baik dari segi
ilmu maupun dari segi amal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin
Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H
dan meninggal senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Ayahnya bernama
Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah,
seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.
Kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah “amal-amal hati yang diberi
namamaqâmât dan ahwâl seperti: cinta kepada Allah dan Rasulnya, tawakal, Ikhlas,
sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah kewajiban setiap maklhuk, baik
kaum khâs atapun orang-orang awam”.
Ibn Taimiyah merupakan tokoh controversial dalam dunia Islam. Seorang pemikir
bebas yang yakin kepada keunggulan hati nurani individu dan seorang yg ingin melihat
Islam dalam kemuliaan sejati ia lalu mengecam kepada semua pencemaran dan pengaruh
asing yg marasuk ke dalam Islam. Karena sikap inilah ia dicaci dipukul dicambuk
dipenjarakan dan dianiaya lahir batin. Namun ia tetap nekad hidup berhenti menghadapi
penganiayaan