Tiga (3) cara mendesain ulang Prolegnas agar lebih efektifLestari Moerdijat
Tulisan ini merupakan pemikiran dari peneliti PSHK dan Pengajar STHI Jentera, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sedang menyusun program legislasi nasional (prolegnas) untuk lima tahun ke depan.
Tiga (3) cara mendesain ulang Prolegnas agar lebih efektifLestari Moerdijat
Tulisan ini merupakan pemikiran dari peneliti PSHK dan Pengajar STHI Jentera, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sedang menyusun program legislasi nasional (prolegnas) untuk lima tahun ke depan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, disingkat KUH Acara Pidana atau KUHAP (bahasa Belanda: Herziene Inlandsche Reglement atau HIR)) adalah peraturan perundang-undangan Indonesia Hukum di Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan formal dari hukum pidana.
KUHAP adalah dasar hukum bagi aparat penegak hukum seperti kepolisian, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Pengadilan Agama untuk melaksanakan wewenangnya. Kitab ini mengatur tentang penyidikan, penyelidikan, penahanan, penangkapan, dan hal-hal lain yang menjadi prosedur dari tindak pidana yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebelum berlakunya UU No. 8 Tahun 1981, hukum acara pidana di Indonesia diatur oleh Herziene Inlandsche Reglement, produk hukum warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berlaku lewat Staatsblad No. 44 Tahun 1941. HIR tetap berlaku sampai tiga dekade pertama kemerdekaan Republik Indonesia sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978 Bab IV Bidang Hukum yang mengamanatkan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum, salah satunya pada hukum pidana.
Selepas Sejarah Indonesia (1998–sekarang) dan munculnya institusi Mahkamah Konstitusi, KUHAP menjadi salah satu undang-undang yang terbanyak dimohonkan Permohonan Pengujian Perundang-undangan (PPU) dengan 63 kali permohonan; sebanyak 12 permohonan dikabulkan atau dikabulkan sebagian.[1] KUHAP pada masa Reformasi juga telah dilengkapi pelaksanaannya dengan undang-undang lain, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia. Oleh karena itu, beberapa pihak telah menggesa agar KUHAP tidak dapat diubah.[2]
Hakekat laporan polisi tentang tindak pidana
Mengenai “laporan”, pada butir 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 , yang isinya sama dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan laporan Pidana pada Ketentuan Umum butir 2, dan yang sama juga dengan Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP), dinyatakan : “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”.
Dengan demikian, maka hakekat laporan adalah merupakan suatu peristiwa yang telah dilaporkan kepada pejabat yang berwenang tentang suatu tindak pidana, untuk dapat segera ditindaklanjuti oleh pejabat yang bersangkutan, yang dalam hal ini segera memasuki proses penyelidikan dan penyidikan.
Di samping pengertian tentang laporan tersebut, juga terdapat istilah “laporan polisi” sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Anatomi Akademik Rancangan Perubahan PP No. 109 Tahun 2012 tentang Produk Te...Universitas Trisakti
Powerpoint ini berisi terkait analisis singkat terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Analisis Putusan PTUN Jakarta Terkait Pernyataan Jaksa AgungUniversitas Trisakti
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah memutus gugatan yang diajukan oleh Korban Peristiwa Semanggi I dan II. Di dalam putusannya, perbuatan Jaksa Agung dinyatakan melawan hukum.
SOSIALISASI TAHAPAN DAN PENCALONAN PERSEORANGAN DALAM PEMILIHAN SERENTAK 2024...
Konstitusi Dalam Optik Legisprudensi
1. Disampaikan pada Webinar “Tantangan Konstitusionalisme Pasca Amandemen
UUD 1945” yang di selenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
15 Mei 2020
Ali Rido
KONSTITUSI DALAM OPTIK LEGISPRUDENSI:
CATATAN DAN USULAN PERBAIKAN
Fakultas Hukum Universitas Trisakti
2. Legisprudensi:konsep/teori untuk melihat kualitas legislasi
(proses pembentukan dan produk PUU) secara rasional.
PENDAHULUAN
Linguistic
Rationality
Legal-Formal
Rationality
Teleological
Rationality
Pragmatic
Rationality
Ethical
Rationality
3. ASPEK BAHASA
Tidak sekedar kompromi (politik), tapi kompromi bahasa, contoh:
• Pasal 7B (7)mencampuradukan dua norma yaitu mekanisme
pengambilan keputusan dan hak presiden/wapres memberikan
penjelasan.
• Pasal 20A (4)membuka pengaturan hak lain DPR dg UU.
Inkonsistensi keragaman kata penghubung pengaturan lebih lanjut
pada UU organik, contoh:
• Pasal 17 (kementerian negara) ....diatur dalam UUtempat
mengatur.
• Pasal Pasal 15 (pemb. Gelar dan jasa) ....diatur dengan UU
cara mengatur.
Penempatan inti norma yang tidak tepat, contoh: Pasal 22C (2)
DPDsusunan (norma yg mengisi) – kedudukan (inti norma yg
memberikan status hukum)Pasal 19 (2) hanya susunan
DPRhilang inti norma.
4. lanjutan
Norma mubadzir/tak bermanfaat, contoh: Pasal 19
(3) dan Pasal 22C (3)bersidang sedikitnya sekali,
Pasal 20 (2)RUU dibahas untuk mendapat
persetujuan bersama, dll.
Kebakuan bahasa, contoh: Pasal 20A (2): Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai
hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat Baku&sederhana: DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat
dan hak-hak lain yg diatur dalam UUD ini.
Rumusan norma yg konstitutif, seperti dalam Pasal
2 (1) UUD NRI 1945.
5. DPR
Pergeseran executive heavy menjadi DPR
heavy.
Mengapa muncul pasal yg mengatur ketentuan
lebih lanjut tata cara pemb. UU diatur dg UU?
Belum mengatur hak amandemen (perubahan)
dlm proses pemb. UU.
Kewajiban memuat UU dalam lembaran
negara.
Tiadanya batasan masa jabatan anggota DPR.
Fixasi jumlah anggota DPR walaupun ada
pertumbuhan penduduk.
6. DPD bukan lembaga legislatif penuh.
Ketentuan Pasal 22 (2) yg kental dg pendekatan politik
ketimbang pendekatan hukumkeanggotaan DPD
memperhatikan pertimbangan sepertiga anggota DPR.
Idealnya:
Memperhatikan kepadatan penduduk rata-rata;
Dapat ditetapkan anggota DPD dari tiap provinsi 3-5 orang.
Pengaturan mengenai:
hak-hak DPD dan anggotanyahak tolak RUU inisiatif DPD.
Syarat-syarat menjadi anggota;
Imunitas anggota.
Perlu dibangun konsepsi: DPD sbg cara mengikutsertakan
daerah dlm menentukan politik dan pengelolaan negara,
bukan sekedar persoalan-persoalan daerah.
DPD
7. MPR
MPR sebagai lembaga negara “absurd”.
Keanggotaan yang tidak mencemrinkan konsep dua
kamar.
Anomali kewenangan MPR:
Memilih Wapres jika kosong. Idealnya, harus diisi
oleh orang yg dipilih langsung melalui pemilu.
Jangka waktu 60 hari bersidang memilih pengganti
wapres sementara DPR&DPD dapat bersidang
sehari-hari, kecuali reses.
Memilih presiden dan wapres jika
kosongIdealnya dilakukan pemilu.
Arah ke depan: 1). Re-design kelembagaan MPR;
atau 2). Pembubaran MPR.
8. Checks and balances yg belum mewujud terkait
legislasi.
Pengetatan penetapan Perpu. Tambahan syarat
Perpu: hanya dapat dibuat jika DPR sedang tidak
bersidang (reses).
Anomali Presiden menunjuk wakil jika
kosong.kembalikan pada spirit demokrasi.
Anomali kursi presiden dan wapres diisi triumvirat jika
kosong.Idealnya, harusnya tetap dijaga jabatan tsb
dipangku oleh mereka yg dipilih rakyat.
Sumpah presiden berdasarkan “agama”, bagaimana dg
penganut kepercayaan?perlu dibaca/diakomodir
termasuk aliran kepercayaan.
PRESIDEN
9. Transparansi pengujian PUU di bawah UU di MA.
Mahkamah Konstitusi:
Peluang penambahan “konsultasi RUU” pada
MK;
Pengaduan konstitusional.
Daya ikat putusan MK.
Optimalisasi peran KY dan pemisahan bab
kekuasaan kehakiman.
KEKUASAAN KEHAKIMAN
10. PENUTUP
• Minimnya pemahaman integral dari segi
bahasa, konsep, dan teori dalam rumusan
norma.
• Minimnya pendekatan sistematik integral
dalam menyepakati ketentuan baru.