SlideShare a Scribd company logo
1 of 93
OPTIMALISASI FUNGSI LEGISLASI
     PENYUSUNAN PERDA INISIATIF DAN
      PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK


                                            Oleh:
                         Drs. Syahril Mahmud, M.se




BIRO HUKUM DEPDAGRI
A. Pengantar
 Salah satu fungsi DPRD adalah fungsi legislasi. Fungsi
 legislasi dijabarkan melalui serangkaian kegiatan untuk
 membentuk peraturan daerah bersama dengan kepala
 daerah. Pembentukan peraturan daerah bukanlah
 sebuah proses yang semata-mata hanya menyusun
 pasal-pasal dan ayat-ayat sehingga menjadi sebuah
 peraturan, melainkan satu pekerjaan yang rumit dan
 penuh pemikiran yang mendalam untuk merancang
 sebuah keadaan pada masa yang akan datang melalui
 seperangkat aturan sekaligus memprediksikan segala
 sesuatu sumber daya yang dibutuhkan untuk efektivitas
 pencapaian tujuan pengaturan tersebut.
Pada saat kita sedang menyusun peraturan perundang-
undangan, termasuk di dalamnya adalah menyusun
perda, Prof Dr Satjipto Rahardjo mengingatkan pada kita
semua bahwa hukum tidak berawal dari hukum itu
sendiri, melainkan berawal dari manusia dan
kemanusiaan. Dengan demikian yang menentukan karya
kita dibidang legislasi, yudikasi dan penegakannya
adalah determinasi bahwa “hukum adalah untuk
manusia”. Artinya adalah bahwa manusia dan
kemanusiaan menjadi wacana yang utama dalam
proses-proses tersebut.
Prof. Dr Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat
Ketertiban, UKI Press, 2006, hal 55
Pada sisi lain, apabila kita tidak menggunakan
paradigma ini, maka hukum yang akan menjadi wacana
pokok dan kemanusiaan hanya akan menjadi asesories
belaka. Peraturan perundang-undangan haruslah
dimaknai lebih daripada sekedar hukum yang tertulis,
tetapi haruslah menjadi hukum yang hidup dan berhati
nurani. Peraturan perundang-undangan tidak berada
dalam ruang hampa, tidak bersifat esoteric, melainkan
berada dalam ruang kehidupan sosial yang penuh
pergulatan kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam
lingkungan geopolitik dan geostrategis yang dinamis.
Pada hakekatnya pembuatan perda adalah sebuah proses memberi
bentuk terhadap sejumlah keinginan dan pemberian bentuk tersebut
dirumuskan melalui bahasa ke dalam norma yang tertulis.
Perumusan melalui bahasa ke dalam norma adalah tahap akhir dari
suatu proses panjang penyusunan perda. Proses ini dapat disebut
sebagai proses transformasi.
Tahap pertama dari proses tersebut adalah memberi bentuk
terhadap berbagai kepentingan yang bersimpang siur dan
mengubahnya menjadi harapan dan keinginan. Tahap kedua
diusahakan agar keinginan perorangan menjadi keinginan suatu
golongan atau kategori sosial. Tahap ketiga menjadikan keinginan
perorangan yang sudah menjadi keinginan umum itu menjadi
urusan pemerintah. Hal ini adalah tahap untuk menjadikan
keinginan umum tersebut sebagai problem. Tahap keempat adalah
pengakuan golongan-golongan politik, bahwa problem tersebut
adalah urusan yang membutuhkan campur tangan pemerintah.
Tahap kelima adalah menempatkan problem tersebut dalam
agenda pembuatan peraturan perundang-undangan. Tahap keenam
adalah proses pembuatan/perumusan peraturan perundang-
undangan.
Dalam proses transformasi inilah maka sering terjadi
kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang
muncul dalam tulisan /norma. Pertanyaan mendasarnya
adalah apakah “bahasa dan norma yang dituliskan itu mampu
mewadahi keseluruhan pikiran dan perilaku yang ingin kita
sampaikan?”
Menurut pendapat saya, bahasa dan norma yang dituliskan
tersebut selalu akan berpotensi menuai kegagalan karena
adanya berbagai keterbatasan baik karena karena
ketidakutuhan saat perumusan maupun karena tidak
tertampungnya seluruh makna, pikiran dan perilaku ke dalam
bahasa dan norma. Oleh karena itu, menurut saya secara
akademis tidak tepat apabila sebuah peraturan perundang-
undangan dianggap selalu sudah jelas. Selalu ada ruang-
ruang bagi lahirnya perda yang tidak sempurna atau terdapat
pasal-pasal yang tidak mampu mengakomodir seluruh
kepentingan para stakeholders
Dalam pembentukan Peraturan Daerah,
terdapat beberapa pertanyaan penting yang
harus diajukan sebagai arah untuk
memfokuskan pembentukan peraturan tersebut.
Pertanyaan itu adalah :
 – Apakah sudah diketahui gambaran ideal
   kondisi yang akan diatur ?
 – mengapa kita perlu mengatur ?
 – apakah tujuan kita mengatur ?
 – apakah fungsi aturan tersebut?
 – Apakah dengan pengaturan tersebut masalah
   yang ada dapat diselesaikan?
Pertanyaan yang pertama bersifat futuristis, pertanyaan
kedua bersifat filosofis dan pertanyaan yang ketiga,
keempat dan kelima lebih bersifat praktis. Pembentukan
Peraturan Daerah dalam arti sebagai norma hukum
positif pada hakekatnya merupakan norma pelengkap
dari norma-norma yang sudah ada, yaitu norma agama,
norma kesopanan dan norma kesusilaan. Norma hukum
dibutuhkan untuk melengkapi tiga norma yang lain
karena norma hukum ini dapat memberikan sanksi yang
bisa dipaksakan oleh negara, bersifat eksternal dan
dapat menimbulkan efek jera. Sedangkan sanksi dari
norma agama, norma kesopanan dan norma kesusilaan
bersifat individual, tergantung pada derajat masing-
masing individu, dan tidak dapat dipaksakan oleh
negara.
B. Dasar-Dasar Membentuk Perda: Dari Politik
Hukum sampai dengan Merumuskan Pasal-Pasal

  Secara harfiah pengertian politik hukum adalah
  kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun
  isi hukum yang akan dibentuk, dan dilaksanakan atau
  diterapkan oleh suatu pemerintahan negara.
  Dalam penyelenggaraan pemerintahan, hukum bukan
  merupakan tujuan namun hanya digunakan sebagai
  salah satu sarana untuk mencapai ide yang dicita-
  citakan oleh negara tersebut. Untuk itu perlu diketahui
  terlebih dahulu masyarakat yang bagaimana yang ingin
  diwujudkan oleh suatu negara. Setelah diketahui
  masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh
  suatu negara, dapatlah dicari sistem hukum yang dapat
  membawa rakyat ke arah masyarakat yang dicita-
  citakan, dan sekaligus dapat ditentukan politik hukum
  yang bagaimana yang dapat menciptakan sistem hukum
    yang dikehendaki tersebut.
Demikian pula bagi Indonesia, politik hukum yang dipilih diarahkan
untuk membawa rakyat Indonesia ke arah masyarakat yang dicita-
citakan oleh bangsa Indonesia seperti yang diamanatkan oleh
pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bagsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
peraturan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan tersebut di atas maka
disusunlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
sebagai aturan dasar dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
kata lain tujuan ini harus dicapai berdasarkan falsafah Pancasila.
Menurut Bagir Manan, politik hukum ada
yang bersifat tetap (permanen) dan ada
yang bersifat temporer. Politik hukum
yang tetap adalah yang berkaitan dengan
sikap hukum yang akan selalu menjadi
dasar kebijaksanaan pembentukan dan
penegakan hukum. Politik hukum yang
tetap bagi Indonesia, antara lain:
Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia;
Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh
sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;
Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warga
negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada
perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam
rangka kesatuan dan persatuan bangsa;
Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat;
Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem
hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam
pergaulan masyarakat;
Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi
masyarakat;
Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan
sosial bagi seluruh rakyat), terwujudnya masyarakat Indonesia yang
demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan atas
hukum dan berkonstitusi.
Politik hukum temporer adalah kebijakan
yang ditetapkan dari waktu ke waktu
sesuai dengan kebutuhan. Termasuk
dalam kategori ini misalnya penentuan
prioritas pembentukan Peraturan Daerah,
pembaharuan peraturan perundang-
udangan yang menunjang pembangunan
nasional dan sebagainya.
Setidak-tidaknya, menurut Bagir Manan, ada dua lingkup utama politik
hukum:
Politik pembentukan hukum, yaitu kebijaksanaan yang bersangkutan
dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan hukum. Politik
pembentukan hukum ini mencakup:
 –   Kebijaksanaan (pembentukan) perundang-undangan;
 –   Kebijaksanaan (pembentukan ) hukum yurisprudensi atau putusan hakim;
 –   Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.
Politik penegakan hukum, yaitu kebijaksanaan yang bersangkutan dengan:
 – Kebijaksanaan di bidang peradilan; dan
 – Kebijaksanaan di bidang pelayanan umum.
Antara kedua aspek politik hukum tersebut, sekedar dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan karena:
Keberhasilan suatu Peraturan Daerah tergantung pada penerapannya;
Putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrumen
kontrol bagi ketepatan atau kekurangan suatu Peraturan;
Penegakan hukum merupakan dinamisator Peraturan melalui putusan
dalam rangka penegakan hukum.
Dalam pelaksanaannya, politik hukum juga tidak dapat dipisahkan
dari aspek-aspek kebijaksanaan yang ada di dalam negeri,
misalnya aspek realitas sosial, ekonomi, dan politik maupun
perkembangan hukum internasional karena Indonesia merupakan
bagian dari dunia internasional.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya politik hukum nasional adalah kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan
dibentuk dan diterapkan di Indonesia, maka sebenarnya politik
hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah (politik perundang-
undangan) dapat dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di
balik sebuah Peraturan Daerah antara lain berupa tujuan, fungsi,
paradigma, kehendak politik negara, maupun ideologi hukum.
Sejak tanggal 1 Nopember 2004 telah diberlakukan Undang-
Undang tentang Pembentukan Peraturan Daerah yang kemudian
dikenal dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 ini maka dinyatakan tidak berlaku lagi:
Undang-undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Jenis dan
Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Pusat.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1950
tentang Menetapkan Undang- Undang Darurat tentang
Penerbitan Lembaran Negara dan Berita Negara
Republik Indonesia Serikat dan Tentang Mengeluarkan,
Mengumumkan dan Mulai Berlakunya Undang-Undang
Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 1),
sepanjang yang telah diatur dalam Undang-Undang ini,
Peraturan perundangan lain yang ketentuannya telah
diatur dalam Undang-Undang ini.
Dalam teori maupun praktik hukum, dikenal adanya 3
bentuk penuangan keputusan norma hukum, yaitu (a)
keputusan yang bersifat mengatur/regeling yang
menghasilkan produk peraturan (regels) , (b) keputusan
hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan
secara administrasi menghasilkan keputusan
administrasi negara (beschikkings) dan (c) keputusan
yang bersifat menghakimi sebagai hasil dari proses
peradilan menghasilkan putusan (vonnis). Disamping itu
ada pula yang dinamakan beleidregels atau aturan
kebijakan (policy rules) yang sering juga disebut dengan
quasi peraturan, misalnya petunjuk pelaksanaan, surat
edaran, instruksi dan sebagainya yang tidak dapat
dikategorikan sebagai peraturan tetapi isinya bersifat
mengatur juga.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pada
dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu
ketentuan yang baku mengenai tata cara
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu
mengenai sistem, asas, jenis, dan materi
muatan, persiapan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan maupun
partisipasi masyarakat.
Dengan demikian, Undang-Undang ini akan menjadi
arah dan politik hukum dalam pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia baik di tingkat pusat
maupun di daerah. Secara normatif, jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia telah
diamanatkan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 tahun 2004, yaitu:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh
dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat,
dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain dalam
ketentuan ini, antara lain, peraturan yang
dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia,
Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-
undangan adalah sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1)
UU nomor 10 tahun 2004. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan “hierarki” adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan yang didasarkan pada asas bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Secara umum pembentukan Peraturan Daerah
harus sejalan dengan jiwa dan asas-asas yang
ada dalam :
    Pancasila
    UUD 1945
    UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
    UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
    Negara
    UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
    Pembangunan Nasional
    UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
    UU 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
    Keuangan
    UU 17 tahun 2007 tentang RPJP 2005-2025
    Peraturan Perundang-Undangan sektoral lainnya
Dalam pembentukan Peraturan Daerah,
Pancasila harus menjadi ruhnya.
Pancasila adalah grundnorm, norma
dasar tertinggi sehingga seluruh
Peraturan Daerah yang kita buat harus
mengacu pada nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila Pancasila. Nilai-nilai dasar
tersebut adalah:
Nilai dasar moral religius
Nilai dasar Kemanusiaan
Nilai dasar Kebangsaan
Nilai dasar Demokrasi
Nilai dasar Keadilan sosial
Dalam pembentukan Peraturan Daerah
maka kita harus memperhatikan semangat
dan konstruksi yang ada dalam UUD 1945
dan penjabarannya dalam berbagai
peraturan perundangan. Konstruksi
penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan otonomi daerah di Indonesia diatur
dalam UUD 1945 di dalam Bab VI yang
terdiri dari Pasal 18, 18A dan 18B
[1] Bunyi selengkapnya Bab VI tentang Pemerintahan Daerah:
Pasal 18
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Pasal 18A
 – Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan
     daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan
     kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
     memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
–     Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
      daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
      dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
      dan selaras berdasarkan undang-undang.
    Pasal 18B
    Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
    pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
    bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
    Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
    kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
    tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
    dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
    Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
    dalam undang-undang.
Pengaturan dalam pasal-pasal tersebut merupakan satu
kesatuan pengaturan yang meliputi susunan
pemerintahan, pengakuan terhadap keanekaragaman
dan keistimewaan daerah, dan kerangka sistem
otonomi.
Berdasarkan konstruksi dalam UUD 1945 tersebut,
maka untuk penyelenggaraan pemerintahan dalam
negara kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi, dan provinsi dibagi lagi menjadi daerah-daerah
kabupaten dan kota. Setiap daerah propinsi, kabupaten
dan kota merupakan pemerintah daerah yang diberi
kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan yang berdasarkan pada asas otonomi
luas, nyata dan bertanggung jawab.
Berdasarkan UUD 1945 ciri-ciri umum penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia adalah sebagai berikut:
Pemerintah daerah terbentuk karena dibentuk oleh Pemerintah
sehingga dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum.
Di wilayah Indonesia dibentuk provinsi dan di wilayah provinsi di
bentuk kabupaten dan kota sebagai daerah otonom.
Pembentukan wilayah di atas mempunyai konsekuensi bahwa
kebijakan desentralisasi dibuat oleh pemerintah sedangkan
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah dan DPRD serta masyarakat sebagai cerminan
pemerintahan yang demokratis.
Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom
(provinsi,kabupaten dan kota) adalah bersifat tergantung dan
bawahan (dependent and subordinate). Prinsip ini berbeda dengan
hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal yang
menganut prinsip federalisme yang sifatnya independen dan
koordinatif.
Adanya pembagian dan penyerahan urusan kepada daerah
otonom.
Gubernur merupakan wakil pemerintah yang
ada di daerah untuk melaksanakan urusan
Pusat yang ada di daerah.
Terdapatnya perbedaan sumber daya alam
dan sumber daya manusia pada masing-
masing daerah, maka perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah menjadi
sangat penting bagi terciptanya
penyelenggaraan otonomi daerah dalam
kerangka negara keatuan.
Dari konstruksi yang terdapat dalam Pasal 18, Pasal
18A dan Pasal 18B UUD 1945 maka hak, kewenangan
dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lebih diarahkan pada pemenuhan
kepentingan masyarakat. Sebagai penjabaran Pasal 18,
18A dan 18B, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 menggariskan bahwa maksud dan tujuan
pemberian otonomi daerah adalah memacu
kesejahteraan, pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya serta meningkatkan pendayagunaan potensi
daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat; menggalakkan
prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dalam
penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata,
dan bertanggungjawab, serta memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa, peningkatan pelayanan publik dan
daya saing daerah.
RPJP nasional merupakan arah pembangunan nasional
yang harus dijadikan patokan oleh pemerintah daerah
dalam menyusun RPJP Daerah dan RPJM Daerah.
Dalam wujud konkrit, peraturan daerah merupakan
instrumen yang secara sadar dibuat dalam rangka
mewujudkan tujuan RPJPD dan RPJMD. Oleh karena
itu, salah satu tolok ukur perda yang baik adalah
mengacu pada RPJPD dan RPJMD.
Dalam pembentukan Peraturan Daerah, pada
hakekatnya pemda sedang melakukan perancangan
terhadap sebuah situasi sosial tertentu dimasa depan.
Didalam perancangan tersebut, pemda harus mampu
membangun keseimbangan (homeostasis) kepentingan
para pihak yang menjadi sasaran peraturan tersebut.
Mengapa keseimbangan itu sangat penting, karena hal
ini menyangkut dua sifat dasar manusia yaitu manusia
sebagai Homo Economicus dan manusia sebagai Homo
Juridicus.
Sebagai Homo Economicus, manusia dalam
hidupnya selalu menggunakan prinsip-prinsip
ekonomi. Manusia ingin mendapatkan
keuntungan yang banyak dengan modal yang
sedikit, atau ingin mendapatkan keuntungan
yang besar dengan modal tertentu. Dari sudut
ini, manusia dalam kehidupannya memang akan
berusaha untuk mendapatkan hasil yang
sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan
pengorbanan yang seminimal mungkin. Oleh
karena itu apabila ada warga masyarakat yang
tidak membayar pajak, pengusaha menghindari
membayar retribusi, dapat dipahami bahwa
dimensi homo economicusnya yang menonjol.
Sebagai Homo Juridicus, manusia dalam
hidupnya selalu menggunakan prinsip-prinsip
hukum. Manusia ingin mendapatkan
ketentraman, ketenangan dan kepastian
terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga
negara. Dari sudut ini, manusia dalam
kehidupannya akan selalu memenuhi kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepada dirinya
dalam rangka pemenuhan segala sesuatu yang
menjadi haknya. Manusia mematuhi aturan agar
dirinya memperoleh kepastian pewujudan apa
yang menjadi hak dan kewajibannya.
Oleh karena itu, pada saat negara mengatur,
haruslah dapat menciptakan keseimbangan
kedudukan manusia sebagai homo
economicus dan juridicus. Apabila negara
gagal dalam mewujudkan keseimbangan, maka
efektivitas pengaturannya akan diragukan.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia
dalam rangka mempertahankan kepentingannya
tersebut dapat menimbulkan kendala-kendala
dalam implementasi Peraturan Daerah. Sedini
mungkin, semua kendala ini harus sudah dapat
diprediksikan sehingga aparat penegak hukum
mampu menyiapkan antisipasinya pada saat
implementasi.
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam
mengantisipasi kegagalan implementasi Peraturan Daerah
adalah dihindari adanya pengaturan yang bersifat
kriminogenik dan viktimogenik. Peraturan yang bersifat
kriminogenik adalah peraturan yang berpeluang/berpotensi
menimbulkan kejahatan. Misalnya dibuat Peraturan
Daerah-Peraturan Daerah yang bersifat koruptif dalam arti
ketika diterapkan akan menimbulkan kerugian keuangan
negara. Apabila Peraturan Daerah sudah bersifat
kriminogenik, maka peluang untuk bersifat viktimogenik
juga besar. Peraturan yang bersifat viktimogenik adalah
peraturan yang berpeluang/berpotensi menimbulkan
korban. Korban yang dimaksudkan disini bisa manusia,
lingkungan hidup, kemandekan investasi dan lain-lain.
Misalnya pemda membuat Peraturan Perda tentang
pengelolaan bahan tambang galian C, maka apabila
pengaturannya tidak memperhatikan konservasi dan
pemulihan lingkungan, maka lingkungan hidup disekitar
kawasan pertambangan akan rusak dan dalam konteks ini
lingkungan telah menjadi korban.
Dalam setiap pembentukan Peraturan Daerah, tidak
dapat melepaskan diri dari apakah tujuan kita mengatur.
Setiap Peraturan Daerah yang dibuat harus mampu
mewujudkan tujuan pengaturan itu sendiri, antara lain:
menciptakan kepastian hukum;
mewujudkan keadilan;
memberikan kemanfataan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan pengaturan tersebut di atas,
Peraturan Daerah harus dapat berfungsi sebagai:
alat kontrol sosial;
alat rekayasa sosial;
mekanisme integrasi;
alat pemberdayaan sosial.
C. Landasan Hukum
 Agar Peraturan Daerah dapat berfungsi secara optimal
 dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara
  sebagaimana yang diharapkan oleh pembentuknya, ada
 beberapa landasan yang harus diperhatikan sebelum
 menyusunnya, yaitu:
 landasan filosofis
 Landasan filosofis adalah landasan yang berkaitan
 dengan dasar atau ideologi negara. Setiap masyarakat
 mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan
 keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan. Hal ini disebut
 juga dengan cita hukum, yaitu berkaitan dengan baik
 dan buruk, adil atau tidak. Hukum diharapkan
 mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa adil
 dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, penyusunan
 Peraturan Daerah harus memperhatikan secara
 sungguh-sungguh nilai-nilai (cita hukum) yang
 terkandung dalam Pancasila.
Landasan yuridis.
    Landasan yuridis sangat penting dalam penyusunan
    Peraturan Daerah, dalam hal ini berkaitan dengan:
    Pertama, keharusan adanya kewenangan dari
    pembuat Peraturan Daerah. Hal ini mengandung
    makna bahwa setiap Peraturan Daerah harus dibuat
    oleh badan atau pejabat yang berwenang. Apabila
    dibuat oleh badan atau pejabat yang tidak berwenang
    akan mengakibatkan Peraturan Daerah tersebut batal
    demi hukum, artinya Peraturan Daerah tersebut
    dianggap tidak pernah ada, begitu juga dengan segala
    akibat hukumnya. Secara mudah dapat dikatakan
    bahwa batal demi hukum disini adalah mati dengan
    sendirinya, tidak perlu ada suatu tindakan apapun.
    Namun, dalam praktik yang namanya batal demi
    hukum ini tidak pernah terjadi, karena Peraturan
    Daerah tersebut nyatanya tidak mati (batal) dengan
    sendirinya tetapi perlu ada suatu tindakan. Apabila ada
    suatu tindakan, maka berarti dibatalkan, bukan batal
    demi hukum.
Kedua, keharusan adanya kesesuaian antara
jenis dan materi muatan Peraturan Daerah.
Ketidaksesuaian jenis ini dapat menjadi alasan
untuk membatalkan Peraturan Daerah tersebut.
Misalnya, Pasal 23 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan
“segala pajak diatur dengan undang-undang”.
Hal ini jelas bahwa masalah pajak hanya
merupakan materi muatan undang-undang, tidak
bisa menjadi materi muatan jenis Peraturan
Daerah yang lain selain undang-undang. Jadi,
jika ada masalah pajak diatur dengan Keputusan
Menteri, maka Keputusan Menteri tersebut
dapat dibatalkan.
Ketiga, keharusan mengikuti tata cara
atau prosedur tertentu. Jika tata cara atau
prosedur tersebut tidak ditaati, maka
Peraturan Daerah tersebut kemungkinan
batal demi hukum dan/atau tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Keempat,
keharusan tidak bertentangan dengan
Peraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Sebagai contoh misalnya
Peraturan Menteri Dalam Negeri tidak
bolah bertentangan dengan Peraturan
Daerah yang lebih tinggi.
Landasan sosiologis;
    Landasan sosiologis adalah landasan yang berkaitan dengan
    kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat.
    Kondisi atau kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan
    yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan
    masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi semacam ini
    Peraturan Daerah diharapkan dapat diterima oleh masyarakat
    dan mempunyai daya laku secara efektif (living law). Sebagai
    contoh, Peraturan Daerah harus memperhatikan struktur dan
    budaya masyarakat.
    landasan ekonomis.
    Landasan ekonomis maksudnya adalah agar Peraturan Daerah
    yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang tidaklah
    menimbulkan beban ekonomi yang sangat tinggi sehingga
    menganggu perekonomian negara secara keseluruhan.
    landasan politis.
    Landasan Politis maksudnya adalah agar Peraturan Daerah yang
    diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa
    menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat yang dapat
    menganggu ketertiban, ketenteraman, dan keamanan umum.
D. Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Perspektif
Pencapaian Tujuan Otonomi Daerah

  Menurut Pasal 12 UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
  Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah
  adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
  otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi
  khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
  undangan yang lebih tinggi. Sejalan dengan ketentuan di atas,
  Pasal 136 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
  Daerah memberikan ruang lingkup materi muatan perda sebagai
  penjabaran peraturan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri
  khas daerah. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan
  umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
  (Ayat 4). Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan
  bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang
  mengakibatkan terganggunya kerukunan warga, terganggunya
  pelayanan umum, dan terganggunya ketertiban/ ketentraman
  masyarakat serta kebijakan/peraturan daerah yang bersifat
  diskriminatif serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Ketentuan di atas menjadi dasar bagi
Pemerintah untuk melakukan pengawasan
Preventif dan Represif terhadap Perda.
Pengawasan tersebut dimaksudkan agar Perda
tetap berada dalam kesatuan hukum nasional.
Dari segi hirarkhi peraturan perundang-
undangan, materi muatan perda tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi. Proses harmonisasi vertikal menjadi
sangat penting dalam proses pembentukan
Perda sehingga materi muatannya dapat sejalan
dengan asas hukum lex superiori derogat lex
inferiori.
Peraturan Daerah sebagai kebijakan
publik yang membingkai penyelenggaraan
otonomi daerah sudah selayaknya apabila
dibentuk selaras atau dalam kerangka
mewujudkan tujuan otonomi daerah.
Tujuan otonomi daerah tersebut antara
lain:
Peningkatan kesejahteraan masyarakat;
Peningkatan daya saing daerah;
Peningkatan pelayanan publik;
Peningkatan demokratisasi.
E. Asas-Asas Hukum Umum, dan Asas Pembentukan dan Materi Muatan

  Terdapat beberapa asas hukum penting yang perlu
  dicermati dalam merancang Peraturan Daerah, antara lain:
  a. Dalam setiap Peraturan Daerah harus dapat
  ditunjukkan secara jelas       Peraturan tertentu yang
  menjadi landasannya/dasarnya (dasar hukum);
  b. Hanya Peraturan yang sederajat atau lebih tinggi yang
  dapat dijadikan dasar hukum terbentuknya Peraturan
  Daerah.
  c. Peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat
  menghapuskan kekuatan mengikat dari Peraturan lain
  yang sederajat atau yang lebih rendah. Prinsip ini
  mengandung beberapa asas lain yaitu asas lex posteori
  derogat legi priori, asas lex superiori derogat legi inferiori,
  dan asas lex specialis derogat legi generalis.
  d. Pentingnya kesesuaian antara jenis produk hukum
  dan materi muatan dari produk hukum tersebut.
Ada beberapa asas umum maupun
khusus yang juga harus diperhatikan
dalam pembentukan Peraturan Daerah
agar pada saat Peraturan Daerah tersebut
diimplementasikan dapat berfungsi secara
maksimal dalam mendukung terwujudnya
otonomi daerah dan tidak menimbulkan
permasalahan di kemudian hari. Adapun
asas-asas tersebut antara lain:
Asas pembentukan Peraturan Daerah yang
baik, meliputi:
  kejelasan tujuan;
  kelembagaan atau organ pembentuk yang
  tepat;
  kesesuaian antara jenis dan materi
  muatan;
  dapat dilaksanakan;
  kedayagunaan dan kehasilgunaan;
  kejelasan rumusan;
  keterbukaan.
Asas khusus yang harus terkandung dalam materi
muatan Peraturan Daerah, meliputi:
   Asas pengayoman;
  Asas kemanusiaan;
  Asas kebangsaan;
  Asas kekeluargaan;
  Asas kenusantaraan;
  Asas bhineka tunggal ika;
  Asas keadilan;
  Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan;
  Asas ketertiban dan kepastian hukum;
  Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan;
  Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Daerah
  ybs.
Asas umum pemerintahan yang layak, meliputi:
  Asas Kepastian Hukum;
  Asas Bertindak Cermat
  Asas Perlakuan yang Jujur
  Asas Keadilan
  Asas Motivasi
  Asas Kebijaksanaan
  Asas Persamaan
  Asas Kepercayaan
  Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum
  Asas Larangan Mencampuradukan Kepentingan
  Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup
  Asas Menanggapi Pengharapan Secara wajar
  Asas Keseimbangan
Asas/nilai dasar dalam good governance,
meliputi:
  Kesetaraan
  Pengawasan
  Penegakan hukum
  Daya tanggap
  Efisiensi & efektivitas
  Partisipasi
  Profesionalisme
  Akuntabilitas
  Wawasan ke depan
Pertimbangan lain yang harus diperhatikan agar
Peraturan Daerah tersebut memang benar-
benar dibutuhkan dalam rangka
menyelenggarakan pemerintahan maka terlebih
dahulu dilakukan pemetaan terhadap
kebutuhan dan skala prioritas dalam
pembentukan Peraturan Daerah. Pemetaaan
tersebut dilakukan melalui kegiatan analisis
kebutuhan pranata hukum. Kegiatan analisa
kebutuhan ini merupakan kajian awal mengenai
tingkat kebutuhan terhadap kehadiran sebuah
peraturan.
Analisis kebutuhan merupakan tahap awal
dalam siklus “kehidupan” peraturan yang
terdiri dari:
Formulasi peraturan
Implementasi peraturan
Monitoring peraturan
Evaluasi peraturan
Agar analisis kebutuhan dan pembentukan
Peraturan Daerah dapat dilaksanakan secara
berkelanjutan haruslah ditetapkan ke dalam
program legislasi daerah. Program Legislasi
Daerah adalah instrumen perencanaan program
pembentukan Peraturan Daerah di Daerah yang
disusun secara sistematis, terpadu dan
terencana.
Masyarakat dan seluruh aparatur berhak
memberikan masukan, pendapat dan saran
dalam rangka penyusunan program legislasi
daerah tersebut. Masukan, pendapat dan saran
masyarakat serta aparatur tersebut dapat
dilakukan secara lisan maupun tertulis.
F. Teknik Penyusunan Peraturan
     Perundang-Undangan
Himpunan peraturan disusun menurut derajat
peraturan dan waktu penetapannya. Sedangkan
kodifikasi hukum disusun secara sistematis
menurut rumpun masalah dan dikelompokkan
secara klaster ke dalam BUKU, BAB, Bagian,
Paragraf, dan Pasal-pasal. Adapun rancangan
peraturan untuk menjadi peraturan yang baik
dianjurkan disusun menurut tuntunan teknik
perancangan peraturan disamping teori serta
asas-asas umum hukum dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Kemampuan teknis legal drafting yang handal
diperlukan apabila dihadapkan dengan
kebutuhan untuk menyusun draft rancangan
peraturan perundang-undangan. Materi muatan
perundang-undangan dapat dikelompokkan
secara klaster ke dalam :
Pasal-pasal diklaster ke dalam BAB-BAB;
Pasal-pasal diklaster ke dalam Bagian-bagian,
dan BAB-BAB; atau
Pasal-pasal diklaster ke dalam Paragraf-
paragraf, Bagian-bagian, dan BAB-BAB.
Model penguraian substansi norma sangat
spesifik, tidak sama dengan model penguraian
substansi kalimat dalam penulisan karya ilmiah.
Model penguraian norma adalah sebagai
berikut:
Kalimat judul diurai ke dalam ayat-ayat, ditandai
dengan pemberian angka arab yang berkurung
dua di depan kalimat ayat;
Kalimat ayat diurai ke dalam kalimat rincian
ayat, ditandai dengan pemberian angka arab
atau huruf kecil tanpa tanda kurung di depan
kalimat rincian kalimat ayat.
Contoh model penguraian dimaksud adalah sebagai
berikut :

BAB …..
…….(kalimat judul bab) …….
Pasal…..
……………………. (kalimat ayat) …………………………
1. …………….. ( kalimat rincian ayat) .……………….……;
2. …………….. …….(idem) …………………….…………;
3. …………….. ….…(idem) …………………….…………;
4. dan seterusnya.
atau
(1) ……………………. (kalimat ayat) …………………………
a. …………….. (kalimat rincian ayat) .……………….……;
b. …………….. ….…(idem) …………………….…………;
c. …………….. ….…(idem) …………………….…………;
d. dan seterusnya.
Meskipun antara penggunaan angka arab dan
huruf dibolehkan secara teoretis sebagai pilihan
dalam penguraian rincian kalimat, namun
dianjurkan agar diutamakan penggunaan angka
arab pada rincian kalimat ayat pasal interpretasi
(Pasal 1) dan penggunaan huruf kecil pada
rincian kalimat ayat pasal norma (Pasal 2, dan
seterusnya).
    Hal penting yang perlu dipahami dalam
teknik penyusunan draft rancangan peraturan
perundang-undangan antara lain model
penguraian pokok pikiran dalam konsideran
pertimbangan, penguraian judul bab, dan
penguraian substansi norma dalam ayat di
bawah pasal.
Penguraian pokok pikiran dalam
konsideran pertimbangan, dapat dilakukan
dalam 4 (empat) model, yaitu :
Model satu kalimat;
Penulisan pokok pikiran dalam konsideran
model ini, tuntas dalam satu kalimat, baik
narasi landasan filosofis dan landasan
sosiologis maupun landasan yuridisnya
yang melatarbelakangi pembuatan
peraturan yang bersangkutan.
Model dua kalimat;
Penulisan pokok pikiran dalam
konsideran model ini, tuntas dalam dua
kalimat, sehingga narasi landasan
filosofis dan landasan sosiologis
dinyatakan dalam kalimat konsideran
butir a, sedangkan narasi landasan
yuridisnya dinyatakan dalam kalimat
konsideran dalam butir b (terakhir).
Model tiga kalimat;
Penulisan pokok pikiran dalam
konsideran model ini, tuntas dalam tiga
kalimat, sehingga narasi landasan
filosofis dinyatakan dalam kalimat
konsideran butir a, landasan sosiologis
dinyatakan dalam kalimat konsideran
butir b, dan landasan yuridisnya
dinyatakan dalam kalimat konsideran
dalam butir c (terakhir).
Model gabungan pokok pikiran pada butir-butir
konsideran;
Dalam hal konsideran terdiri dari beberapa
butir pokok pikiran, sedangkan legal drafter
menginginkan untuk mendeskripsikan
keseluruhan landasan sebagai pokok pikiran
(filosofis, sosiologis, yuridis) dalam tiap-tiap
butir konsideran, maka semua landasan itu
dapat ditulis berulang-ulang dalam tiap-tiap
butir konsideran. Meskipun berulang namun
esensi yang digambarkan dalam tiap-tiap
landasan perundangannya harus berbeda-
beda, dan pada butir konsideran terakhir
hanya bermuatan landasan yuridis sebagai
penutup.
Dewasa ini sering ditemukan improvisasi
dalam praktek penyusunan peraturan
perundang-undangan terutama pada
bunyi frase pembuka konsideran
(landasan filosofi vertikal) dan frase
pembuka norma (landasan filosofi
horizontal).
Variasi terhadap bunyi frase ini dapat
dibenarkan apabila didasarkan pada asas
kelaziman yang sesuai keyakinan agama
yang dipantulkan oleh bunyi klausul dalam
konstitusi negara, sehingga dapat menjadi
2 (dua) bentuk, yaitu berbunyi :
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH YANG MAHA
KUASA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Landasan filosofi vertikal dalam frase yang
berbunyi: “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA”, digunakan didalam Undang-undang
dan Perda pada umumnya.
Landasan filosofi vertikal dalam frase yang
berbunyi: “ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH YANG
MAHA KUASA”, digunakan di dalam undang-
undang dan Qanun / Perda mengenai daerah
otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam.
Bunyi frase tersebut terakhir di atas sebelum
diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004,
sudah digunakan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh,
sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dalam
pengggunaan frase dengan bunyi demikian adalah klausul
yang tertuang dalam awal alinea ketiga Pembukaan UUD
1945 yang berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa”.
Di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan
penulisan frase landasan filosofi vertikal, bunyinya tidak ada
perubahan. Jadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tidak mengubah cara penulisan frase landasan filosofi
vertikal. Adapun frase yang berbunyi “ATAS BERKAT
RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA” yang digunakan
dalam Undang-undang dan Qanun / Perda mengenai
daerah otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam, tidak
diatur di dalam undang-undang tersebut, melainkan justru
bersumber dari bunyi Pembukaan UUD 1945.
Perubahan besar yang di bawah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu
menyangkut 2 (dua) hal, yaitu :
hal penulisan frase landasan filosofi horizonall, berubah menjadi :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
hal pernyataan sah berlaku bagi undang-undang dan Perda yang tidak
ditandatangani Presiden untuk undang-undang, dan tidak ditandatangani Kepala
Daerah untuk Perda.
Berkaitan dengan hal yang kedua di atas, khusus Perda Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 tidak mengatur. Dasar hukum untuk Perda mengenai pernyataan
sah berlaku ialah Undang-undang Nomr 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 144 ayat (5) yang berbunyi : “Dalam hal sahnya rancangan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi,
“Perda ini dinyatakan sah, dengan mencantumkan tanggal sahnya”.
Improvisasi dalam penyusunan redaksi norma peraturan perundang-undangan
sebenarnya tidak terjadi dengan sendirinya melainkan juga dipengaruhi oleh bunyi
suatu norma yang sesungguhnya tidak ditujukan untuk maksud teknis
penyusunan norma (tata cara pembentukan undang-undang). Sebagai contoh,
bunyi klausul Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama”, mempengaruhi pembentuk undang-
undang langsung mempergunakan frase landasan filosofi horizontal seperti
tersebut terakhir di atas.
Bagian yang paling krusial dalam perancangan draft
peraturan perundang-undangan ialah bagian Konsideran
Menimbang (Bagian Pembuka Peraturan). Bagian
Konsideran ini adalah tempat legal drafter menuangkan
tulisan yang mendeskripsikan pokok-pokok pikiran yang
melatarbelakangi pembentukan peraturan itu sendiri. Di
dalam pokok-pokok pikiran itu harus tergambar pemikiran
filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang dituangkan secara
sistematis dalam kalimat singkat, padahal ruang (space)
tempat penulisan sangat sempit. Pada hakekatnya,
penjelasan yang paling mendasar tentang latar belakang
pembentukan peraturan terdapat di dalam konsideran
menimbang. Oleh karena itu landasan filosofis, landasan
sosiologis, dan landasan yuridis peraturan harus mampu
dipantulkan oleh kalimat (Klausula) yang tertulis di dalam
konsideran menimbang itu.
- Legal drafter dituntut mampu dalam keadaan
  bagaimanapun untuk mendeskripsikan pokok
  pikiran yang merupakan landasan filosofis,
  landasan sosiologis, dan landasan yuridis peraturan
  perundang-undangan dalam kalimat konsideran
  yang singkat serta tepat makna dan tepat tata
  bahasa.
- Mengingat ruang penulisan konsideran menimbang
  sangat sempit, maka perlu dihindari penulisan
  informasi yang bersifat data sekunder seperti
  penulisan nomor dan tahun atau pasal dari
  peraturan perundang-undangan tertentu di
  dalamnya karena hal itu tidak lagi bersifat pokok
  pikiran melainkan sudah merupakan hal yang
  operasional, terkecuali untuk perubahan peraturan,
  maka nomor dan tahun peraturan yang akan diubah
  perlu ditulis pada bagian konsideran menimbang.
  Berikut ini dikemukakan contoh bunyi :
Konsideran Peraturan Daerah :
b. bahwa daerah dalam rangka penyelenggaraan
   otonomi daerah merupakan bagian integral
   negara Kesatuan Republik Indonesia, dipandang
   perlu menyusun rencana strategis daerah provinsi
   yang selaras dengan tujuan pembangunan
   nasional;
c. bahwa rencana strategis daerah merupakan
   parameter keberhasilan pembangunan yang
   harus dipertanggung-jawaban oleh Kepala
   Daerah, dipandang perlu menyusun perencanaan
   pembangunan dalam bentuk rencana strategis
   daerah Provinsi …….;
d. bahwa untuk mewujudkan maksud tersebut pada
   huruf a dan b di atas, dipandang perlu mengatur
   rencana strategis daerah Provinsi………, dengan
   Peraturan Daerah;
Konsideran Peraturan Kepala Daerah :
b. bahwa rencana strategis daerah merupakan acuan
   dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan,
   pembangunan, dan kemasyarakatan di daerah,
   dipandang perlu menyusun rencana strategis
   sektoral yang wajib dilaksanakan oleh satuan kerja
   organisasi perangkat daerah di Provinsi…….secara
   tepat dan berhasilguna;
c. bahwa pelaksanaan rencana strategis sektoral
   secara tepat guna dan berhasilguna merupakan
   tuntutan aspirasi masyarakat, dipandang perlu
   menyusun rencana strategis sektoral, sesuai
   kebutuhan pelayanan kepada masyarakat;
d. bahwa untuk mewujudkan maksud tersebut pada
   huruf a dan b di atas, dipandang perlu mengatur
   rencana strategis sektoral Provinsi………., dengan
   Peraturan Gubernur Provinsi…….
Kon-sideran keputusan yang bersifat ketetapan
   (Beschikking):
b. bahwa Gubernur Provinsi…… berwenang
   mengangkat Sekretaris Daerah Kabupaten dan
   Kota atas usul Bupati atau Walikota;
c. bahwa Pegawai Negeri Sipil yang namanya
   tercantum dalam lampiran keputusan ini
   memenuhi syarat administratif dan kecakapan
   ……., dipandang perlu mengangkatnya dalam
   jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota……..;
d. bahwa untuk mewujudkan maksud tersebut pada
   huruf a dan b di atas, dipandang perlu
   menetapkan pengangkatan ……… dalam jabatan
   Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota ……., dengan
   Keputusan Gubernur …..….;
Klausula dalam konsideran menimbang di
atas mengandung pokok pikiran yang
merupakan landasan filosofis, sosiologis,
dan yuridis yang melatarbelakangi
pembentukan peraturan. Landasan filosofis
terdapat pada konsideran menimbang huruf
a, landasan sosiologis terdapat pada
konsideran menimbang huruf b, dan
landasan yuridisnya terdapat pada
konsideran menimbang huruf c.
Adakalanya Legal Drafter memaparkan pokok
pikiran yang merupakan landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis tidak terpisah dalam
beberapa huruf melainkan hanya dalam satu butir
kalimat saja. Cara demikian diperkenankan dalam
dunia penulisan peraturan.
    Bentuk lain yang biasa pula ditemui dalam
implementasi teknik legal drafting, adalah
penulisan kalimat konsideran menimbang dalam
beberapa huruf (beberapa kalimat) dan pada tiap
huruf atau kalimatnya berisi pokok pikiran filosofis,
sosiologis, dan yuridis sekaligus. Hal inipun
merupakan cara yang benar pula.
Hal praktis yang merupakan anjuran dalam
teknik legal drafting antara lain adalah dalam hal
penuangan pokok pikiran dalam kalimat konsideran,
yaitu perlu disusun secara sistematis dengan
mendahulukan penulisan kalimat yang mengandung
landasan filosofis kemudian disusul landasan-
landasan lainnya dan yang terakhir kalimat yang
mengandung landasan yuridis.
    Landasan sosiologis dan landasan yuridis
boleh ditulis berulang-ulang dalam beberapa
kalimat konsideran menimbang, asalkan tidak
mendahului kalimat yang menyatakan pokok pikiran
yang merupakan landasan filosofis, serta pada
bagian akhir tetap ada kalimat landasan yuridis
terutama apabila kalimat konsideran menimbang itu
terdiri dari banyak huruf.
Jadi, dalam penulisan kalimat konsideran
menimbang, terdapat imaprovisasi yang lumayan
banyak. Ada beberapa kalimat yang hanya terdiri
dari satu kalimat saja, ada yang terdiri dari
banyak huruf (kalimat), ada yang menuliskan
pokok pikiran filosofis, sosiologis, dan yuridis
secara terpisah dalam tiap huruf, ada pula yang
mengulang-ulangnya dalam tiap huruf, dan
sebagainya. Namun semuanya tidak mengurangi
keabsahan peraturan.
    Suatu peraturan tanpa pasal akan menyulitkan
di dalam penyebutan lokasi norma apabila hal itu
diperlukan untuk menunjuk norma lintas pasal.
Oleh karena itu, cara-cara berimprovisasi di dalam
membuat peraturan harus pula mengindahkan
batas-batas kelaziman suatu format peraturan.
Peraturan, memerlukan format baku di dalam
penulisannya oleh karena format peraturan yang
mengindahkan asas kelaziman, kondusif
terhadap penegakannya terutama dari aspek
kepastian hukum dan penerimaan oleh
masyarakat. Apabila cara membuat peraturan
tidak mengindahkan patokan-patokan tertentu,
maka samalah ia dengan puisi atau karya sastra
yang performance dan interpretasi nya
warna-warni dan bias tergantung selera
pengguna atau tergantung cara orang
memandang tak ubahnya melihat gambar
lukisan abstrak, dan hal serupa ini sangat buruk
untuk suatu materi muatan peraturan
perundang-undangan.
Hal yang krusial lainnya, terdapat pula pada
penulisan klausula sebagai penjelasan
pengertian di dalam Pasal 1 sebagai pasal
interpretasi. Apabila Pasal 1 difungsikan
sebagai pasal interpretasi, maka klausula pasal
interpretasi berisi penetapan batasan pengertian
istilah, singkatan, dan ungkapan. Sedangkan
klausula pasal norma berisi penetapan
hubungan hukum subyek baik antara orang
yang satu dengan orang yang lain (Hukum
Privat) maupun antara orang dengan negara
(Hukum Publik). Ciri-ciri pasal interpretasi dan
pasal norma adalah sebagai berikut :
Ciri-ciri Pasal Interpretasi dan
          Pasal Norma
   1. kata yang               1. tidak    menggunakan          kata
      digunakan selalu           “adalah”    melainkan         kata
      “adalah”                   “merupakan”
   2. berisi penetapan        2 . penetapan hubungan hukum
      batasan pengertian
   3. selalu ditempatkan      3.      tersebar di semua    pasal
      pada Pasal 1                 (termasuk pada pasal 1 jika
                                   pasal    1    bukan  pasal
                                   interpretasi)
   4. merupakan            4. merupakan pokok                yang
      penjelasan peraturan    dijelaskan
   5. selalu terdiri dari 1   5. terdiri dari banyak pasal
      pasal saja
Bagian-bagian tempat penuangan kalimat
penjelasan peraturan tersebut ada di 3 (tiga)
tempat, yaitu pada :
      1. konsideran pertimbangan, menjelaskan pokok pikiran
         yang melatarbelakangi pembentukan peraturan.
      2. batang tubuh (pasal 1) menjelaskan batasan pengertian
         istilah, singkatan, dan ungkapan yang digunakan dalam
         peraturan.

Batang tubuh (pasal atau ayat lainnya) yang
menjelaskan pengaturan terhadap esensi
urusan terkait selengkap-lengkapnya.
E. Bagian-bagian Peraturan
Setiap peraturan baik peraturan perundang-
undangan, terdiri dari 7 (tujuh) bagian, yaitu :
    1.   Judul;
    2.   Pembukaan;
    3.   Batang Tubuh Peraturan;
    4.   Pengesahan atau Penetapan;
    5.   Pengundangan;
    6.   Tempat Pengundangan (Pembukuan Peraturan); dan
         Lampiran Peraturan (jika diperlukan).
Ad. 1 Judul
   Bagian judul peraturan perundang-
   undangan berisi keterangan-keterangan :
3. jenis peraturan;
4. teritorial/wilayah hukum (negara, daerah,
   desa);
5. nomor peraturan;
6. ahun pembuatan peraturan;
7. nama peraturan.
Kalimat judul tergolong baik apabila kalimat nama
peraturan disusun menurut tata bahasa baku, singkat
   tapi mampu menggambarkan seluruh isi yang
          menjadi substansi peraturan itu.
Contoh judul :


 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
       NOMOR : 32 TAHUN 2004
            TENTANG
      PEMERINTAHAN DAERAH
Ad. 2 Pembukaan
  Bagian pembukaan peraturan perundang-
  undangan, meliputi:
  Frase pembuka konsideran atau landasan
  filosofi vertikal (transedental)
  Jabatan pembentuk peraturan;
  Konsideran Menimbang (pokok pikiran);
  Konsideran Mengingat (dasar hukum);
  Frase pembuka norma atau landasan filosofi
  horizontal;
  Pernyataan decisoir
  (Memutuskan/Menetapkan);
  Jenis dan nama peraturan.
Ad. 3. Batang Tubuh Peraturan
   Batang tubuh peraturan dapat dibagi ke dalam
   bab-bab yang meliputi :
3. bab interpretasi;
4. bab materi yang diatur;
5. bab ketentuan penyidikan ;
6. bab ketentuan sanksi/pidana
7. bab ketentuan peralihan; dan
8. bab ketentuan penutup.

  Bandingkan Supardan Modeong, Teori dan
  Praktek Penyusunan Peraturan Perundang-
  undangan Tingkat Daerah, Cetakan Pertama,
  PT. Tintamas Indonesia, Jakarta, 2001,
  halaman 79 – 112.
Ad. 4. Pengesahan atau Penetapan Peraturan
2. Pengesahan peraturan dilakukan oleh Presiden sebagai
   Kepala Negara dan dilakukan hanya untuk Undang-undang.
3. Penetapan peraturan dilakukan oleh Presiden atau Kepala
   Daerah untuk segala peraturan yang lebih rendah dari pada
   undang-undang.
4. Bagian pengesahan atau penetapan peraturan, berisikan
   keterangan, yaitu :
5. keterangan lokasi (nama kota tempat prosesi pengesahan
   atau penetapan dilakukan);
6. keterangan waktu (tanggal, bulan dan tahun) pengesahan
   atau penetapan;
7. nama jabatan pemberi pengesahan atau penetapan;
8. tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau
   menetapkan;
9. nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan.
Ad. 5. Pengundangan
     Bagian pengundangan tidak terdapat
 pada semua peraturan, melainkan hanya
 terdapat pada peraturan yang tergolong
 peraturan perundang-undangan yang
 bersifat mengatur.
Ad. 6. Tempat Pengundangan
     Undang-undang wajib dicatat dalam
 LEMBARAN NEGARA, sedangkan Peraturan
 Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan
 Presiden dicatat dalam BERITA NEGARA.
     Peraturan Daerah dicatat dalam
 LEMBARAN DAERAH, sedangkan Peraturan
 Kepala Daerah,dicatat dalam BERITA DAERAH.
     Pejabat yang mengundangkan undang-
 undang, dll dalam lingkup nasional ialah Menteri
 Sekretaris Negara, sedangkan yang
 mengundangkan Perda, dll dalam lingkup
 daerah ialah Sekretaris Daerah.
Ad. 7. Lampiran Peraturan
       Bagian lampiran peraturan secara fisik terpisah dari
  pasal norma oleh karena lembaran atau naskahnya
  terpisah dari naskah peraturan yang dilampirinya, akan
  tetapi secara normatif lampiran merupakan satu
  kesatuan tidak terpisah dari peraturan yang dilampirinya.
       Syarat suatu lampiran menyatu dengan peraturan
  yang dilampirinya dan mengikat sebagai norma, adalah
  pada salah satu ayat dalam batang tubuh peraturan itu
  harus dicantumkan klausul yang berbunyi, misalnya :
       “Bagan susunan organisasi Dinas ……..
  sebagaimana dimaksud pada Pasal ….. ayat ( .. ),
  tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian
  dan satu kesatuan tidak terpisah dari ……… (peraturan)
  …….. ini”.
Lampiran Peraturan Daerah…..
Nomor…..                                SUSUNAN ORGANISASI DINAS…
Tahun…..                                PROVINSI / KABUPATEN / KOTA…

                                                     KEPALA DINAS




                    Kelp. Jab.
                                                                                            BAGIAN
                    Fungsional




                                                                            SUB BAGIAN               SUB BAGIAN




                               BIDANG       BIDANG              BIDANG             BIDANG




                               SEKSI         SEKSI                  SEKSI           SEKSI




                               SEKSI         SEKSI                  SEKSI           SEKSI




                                                                                              ……( Kepala Daerah )……
                                                     UPTD                                     ……( Tanda Tangan )……
                                                                                                ……( Nama )……
G. PENUTUP
Dalam rangka membentuk Peraturan Daerah yang baik
diperlukan beberapa langkah awal yaitu: pertama,
pembentukan visi bersama tentang bentuk ideal kondisi
yang akan dituju. Kedua, skala prioritas pengaturan
mana yang akan didahulukan sebagai batu penjuru dan
memayungi pengaturan lainnya. Ketiga, proses
harmonisasi vertikal dan horisontal agar dapat dilakukan
pengaturan secara utuh dan lengkap serta selaras dan
serasi dengan peraturan lain yang sederajat maupun
yang mempunyai kedudukan lebih tinggi serta sejalan
dengan asas-asas hukum. Keempat, pengaturan tersbut
harus mampu mengarah pada pencapaian sasaran
pembangunan dalam RPJP/RPJPD dan RPJM/RPJMD.
Kelima, pengaturan tersebut harus mampu
menyelesaikan masalah yang ada.. Keenam,
pengaturan harus dilakukan dalam batas kewenangan.
BAHAN BACAAN
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting
dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, 2008
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi, BIP Jakarta, tahun 2007
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan buku 1 dan 2,
penerbit Kanisius Yogyakarta, tahun 2007
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI
Press, Jakarta tahun 2006
Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrulloh, Legal
Drafting Berporos Hukum Humanis Partisipatoris, PT
Perca Jakarta, 2005

More Related Content

What's hot

B g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti ChandraB g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti ChandraIsantiMM90
 
Hubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomi
Hubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomiHubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomi
Hubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomiRosita Dewi
 
Hukum administrasi negara
Hukum administrasi negaraHukum administrasi negara
Hukum administrasi negaraRoy Pangkey
 
Pentingnya Konstitusi Negara
Pentingnya Konstitusi NegaraPentingnya Konstitusi Negara
Pentingnya Konstitusi NegaraSurya Surya
 
Politik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukum
Politik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukumPolitik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukum
Politik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukumUiversitas Muhammadiyah Maluku Utara
 
Makalah lembaga negara
Makalah lembaga negaraMakalah lembaga negara
Makalah lembaga negarabruh97
 
Ombudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optik
Ombudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optikOmbudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optik
Ombudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optikSilvia Kumalasari
 
Keadilan dan ketertiban
Keadilan dan ketertibanKeadilan dan ketertiban
Keadilan dan ketertibanAfdal Zikri
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraNina Ruspina
 
Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah
Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah
Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah Dadang Solihin
 
Kedudukan konstitusi bagi suatu negara
Kedudukan konstitusi bagi suatu negaraKedudukan konstitusi bagi suatu negara
Kedudukan konstitusi bagi suatu negaraFitri Amalia
 
Konsep good governance
Konsep good governanceKonsep good governance
Konsep good governanceNaniisrina A
 
Peranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesia
Peranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesiaPeranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesia
Peranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesiaNurfa de ImoeLa
 
Pemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparanPemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparanGuntur Raharjo
 

What's hot (18)

Pengantar hukum
Pengantar hukumPengantar hukum
Pengantar hukum
 
B g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti ChandraB g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti Chandra
 
Hubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomi
Hubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomiHubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomi
Hubungan antara hukum dan politik terhadap ekonomi
 
Hukum administrasi negara
Hukum administrasi negaraHukum administrasi negara
Hukum administrasi negara
 
Pembaharuan sistem hukum di indonesia
Pembaharuan sistem hukum di indonesiaPembaharuan sistem hukum di indonesia
Pembaharuan sistem hukum di indonesia
 
Pentingnya Konstitusi Negara
Pentingnya Konstitusi NegaraPentingnya Konstitusi Negara
Pentingnya Konstitusi Negara
 
Politik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukum
Politik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukumPolitik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukum
Politik Hukum - Pertemuan Keenam - 6. hubungan moral hukum dengan politik hukum
 
Politik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesia
Politik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesiaPolitik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesia
Politik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesia
 
Makalah lembaga negara
Makalah lembaga negaraMakalah lembaga negara
Makalah lembaga negara
 
Ombudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optik
Ombudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optikOmbudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optik
Ombudsman dan karakteristik pengawasan serta sanksi dalam optik
 
Keadilan dan ketertiban
Keadilan dan ketertibanKeadilan dan ketertiban
Keadilan dan ketertiban
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negara
 
Makalah dpr
Makalah dprMakalah dpr
Makalah dpr
 
Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah
Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah
Dukungan Legal Drafting dalam Pembangunan Daerah
 
Kedudukan konstitusi bagi suatu negara
Kedudukan konstitusi bagi suatu negaraKedudukan konstitusi bagi suatu negara
Kedudukan konstitusi bagi suatu negara
 
Konsep good governance
Konsep good governanceKonsep good governance
Konsep good governance
 
Peranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesia
Peranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesiaPeranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesia
Peranan lembaga peradilan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di indonesia
 
Pemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparanPemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparan
 

Viewers also liked

Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011
Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011
Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011apotek agam farma
 
Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)
Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)
Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)apotek agam farma
 
Bidang energi sumber daya mineral
Bidang energi sumber daya mineralBidang energi sumber daya mineral
Bidang energi sumber daya mineralapotek agam farma
 
Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010
Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010
Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010apotek agam farma
 

Viewers also liked (9)

Evaluasi tema otda kls x
Evaluasi tema otda kls xEvaluasi tema otda kls x
Evaluasi tema otda kls x
 
Buku pengeluaran
Buku pengeluaranBuku pengeluaran
Buku pengeluaran
 
Badan musyawarah
Badan musyawarahBadan musyawarah
Badan musyawarah
 
Bida ng koperasi dan ukm
Bida ng koperasi dan ukmBida ng koperasi dan ukm
Bida ng koperasi dan ukm
 
Pokok2 ketentuan perpres54
Pokok2 ketentuan perpres54Pokok2 ketentuan perpres54
Pokok2 ketentuan perpres54
 
Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011
Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011
Pandangan umum 4 ranperda tahun 2011
 
Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)
Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)
Buku pengeluaran mailan bastari(DPRD Pringsewu)
 
Bidang energi sumber daya mineral
Bidang energi sumber daya mineralBidang energi sumber daya mineral
Bidang energi sumber daya mineral
 
Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010
Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010
Pandangan umum fraksi pan dprd kab pringsewu 2010
 

Similar to OPTIMASI LEGISLASI

Materi Politik Hukum.pptx
Materi Politik Hukum.pptxMateri Politik Hukum.pptx
Materi Politik Hukum.pptxNdodIswahyudi
 
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-pptPancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-pptandhika perceka
 
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLKetika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLatuulll
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukumiwan Alit
 
2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptx
2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptx2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptx
2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptxNadnosWolfrider
 
Sistem Hukum Di Indonesia
Sistem Hukum Di IndonesiaSistem Hukum Di Indonesia
Sistem Hukum Di IndonesiaLisaFlawless
 
ARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.doc
ARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.docARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.doc
ARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.docFajar961
 
PPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannya
PPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannyaPPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannya
PPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannyaRidwanRafif1
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)noidmedia virtual
 

Similar to OPTIMASI LEGISLASI (20)

Legislations
LegislationsLegislations
Legislations
 
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negaraPeranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
 
Nur Sania Dasopang
Nur Sania DasopangNur Sania Dasopang
Nur Sania Dasopang
 
Materi Politik Hukum.pptx
Materi Politik Hukum.pptxMateri Politik Hukum.pptx
Materi Politik Hukum.pptx
 
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-pptPancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
 
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLKetika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
 
Upaya penegakan hukum di indonesia
Upaya penegakan hukum di indonesiaUpaya penegakan hukum di indonesia
Upaya penegakan hukum di indonesia
 
K elompok 7 pkn
K elompok 7 pknK elompok 7 pkn
K elompok 7 pkn
 
K elompok 7 pkn
K elompok 7 pknK elompok 7 pkn
K elompok 7 pkn
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukum
 
2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptx
2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptx2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptx
2. POLITIK DAN SISTEM HUKUM-KONFIGURASI POLITIK HUKUM-OK.pptx
 
Rule of Law
Rule of LawRule of Law
Rule of Law
 
Sistem Hukum Di Indonesia
Sistem Hukum Di IndonesiaSistem Hukum Di Indonesia
Sistem Hukum Di Indonesia
 
Fungsi Filsafat Hukum
Fungsi Filsafat HukumFungsi Filsafat Hukum
Fungsi Filsafat Hukum
 
Makalah rule of law
Makalah rule of lawMakalah rule of law
Makalah rule of law
 
ARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.doc
ARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.docARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.doc
ARIA FAJAR PUTRA PPKN 5.doc
 
PPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannya
PPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannyaPPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannya
PPT ilmu soial dasar mengenai hukum dan penegakannya
 
57161539 keabsahan-nilai-etis-keadilan
57161539 keabsahan-nilai-etis-keadilan57161539 keabsahan-nilai-etis-keadilan
57161539 keabsahan-nilai-etis-keadilan
 
KEWARGANEGARAAN DAN NEGARA
KEWARGANEGARAAN DAN NEGARAKEWARGANEGARAAN DAN NEGARA
KEWARGANEGARAAN DAN NEGARA
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
 

More from apotek agam farma (20)

Tugas pak dr.agus stat
Tugas pak dr.agus statTugas pak dr.agus stat
Tugas pak dr.agus stat
 
Tugas beda kbk degan k 1994
Tugas beda kbk degan k 1994Tugas beda kbk degan k 1994
Tugas beda kbk degan k 1994
 
Tugas analisis kurikulum ppt
Tugas analisis kurikulum pptTugas analisis kurikulum ppt
Tugas analisis kurikulum ppt
 
Proposal tesis bab 1,2,3
Proposal tesis bab 1,2,3Proposal tesis bab 1,2,3
Proposal tesis bab 1,2,3
 
Manajemen pendidikan karakter santri
Manajemen pendidikan karakter santriManajemen pendidikan karakter santri
Manajemen pendidikan karakter santri
 
Makalah kurikulum ppt
Makalah kurikulum pptMakalah kurikulum ppt
Makalah kurikulum ppt
 
Makalah kurikulum ppt
Makalah kurikulum pptMakalah kurikulum ppt
Makalah kurikulum ppt
 
Makalah kurikulum kbk
Makalah kurikulum kbkMakalah kurikulum kbk
Makalah kurikulum kbk
 
Jurnal kurikulum
Jurnal kurikulumJurnal kurikulum
Jurnal kurikulum
 
Beda kurikulum 1994 dengan kbk
Beda kurikulum 1994 dengan kbkBeda kurikulum 1994 dengan kbk
Beda kurikulum 1994 dengan kbk
 
Analisis kurikulum
Analisis  kurikulumAnalisis  kurikulum
Analisis kurikulum
 
Tugas dr.hendri
Tugas dr.hendriTugas dr.hendri
Tugas dr.hendri
 
Presentasi manajemen organisasi
Presentasi manajemen organisasiPresentasi manajemen organisasi
Presentasi manajemen organisasi
 
Tugas analisis kurikulum ppt
Tugas analisis kurikulum pptTugas analisis kurikulum ppt
Tugas analisis kurikulum ppt
 
Makalah kurikulum ppt
Makalah kurikulum pptMakalah kurikulum ppt
Makalah kurikulum ppt
 
Jurnal kurikulum
Jurnal kurikulumJurnal kurikulum
Jurnal kurikulum
 
Analisis kurikulum
Analisis  kurikulumAnalisis  kurikulum
Analisis kurikulum
 
Korelasi
KorelasiKorelasi
Korelasi
 
Latihan 1 statistika
Latihan 1 statistikaLatihan 1 statistika
Latihan 1 statistika
 
Regresi
RegresiRegresi
Regresi
 

OPTIMASI LEGISLASI

  • 1. OPTIMALISASI FUNGSI LEGISLASI PENYUSUNAN PERDA INISIATIF DAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK Oleh: Drs. Syahril Mahmud, M.se BIRO HUKUM DEPDAGRI
  • 2. A. Pengantar Salah satu fungsi DPRD adalah fungsi legislasi. Fungsi legislasi dijabarkan melalui serangkaian kegiatan untuk membentuk peraturan daerah bersama dengan kepala daerah. Pembentukan peraturan daerah bukanlah sebuah proses yang semata-mata hanya menyusun pasal-pasal dan ayat-ayat sehingga menjadi sebuah peraturan, melainkan satu pekerjaan yang rumit dan penuh pemikiran yang mendalam untuk merancang sebuah keadaan pada masa yang akan datang melalui seperangkat aturan sekaligus memprediksikan segala sesuatu sumber daya yang dibutuhkan untuk efektivitas pencapaian tujuan pengaturan tersebut.
  • 3. Pada saat kita sedang menyusun peraturan perundang- undangan, termasuk di dalamnya adalah menyusun perda, Prof Dr Satjipto Rahardjo mengingatkan pada kita semua bahwa hukum tidak berawal dari hukum itu sendiri, melainkan berawal dari manusia dan kemanusiaan. Dengan demikian yang menentukan karya kita dibidang legislasi, yudikasi dan penegakannya adalah determinasi bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Artinya adalah bahwa manusia dan kemanusiaan menjadi wacana yang utama dalam proses-proses tersebut. Prof. Dr Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, 2006, hal 55
  • 4. Pada sisi lain, apabila kita tidak menggunakan paradigma ini, maka hukum yang akan menjadi wacana pokok dan kemanusiaan hanya akan menjadi asesories belaka. Peraturan perundang-undangan haruslah dimaknai lebih daripada sekedar hukum yang tertulis, tetapi haruslah menjadi hukum yang hidup dan berhati nurani. Peraturan perundang-undangan tidak berada dalam ruang hampa, tidak bersifat esoteric, melainkan berada dalam ruang kehidupan sosial yang penuh pergulatan kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam lingkungan geopolitik dan geostrategis yang dinamis.
  • 5. Pada hakekatnya pembuatan perda adalah sebuah proses memberi bentuk terhadap sejumlah keinginan dan pemberian bentuk tersebut dirumuskan melalui bahasa ke dalam norma yang tertulis. Perumusan melalui bahasa ke dalam norma adalah tahap akhir dari suatu proses panjang penyusunan perda. Proses ini dapat disebut sebagai proses transformasi. Tahap pertama dari proses tersebut adalah memberi bentuk terhadap berbagai kepentingan yang bersimpang siur dan mengubahnya menjadi harapan dan keinginan. Tahap kedua diusahakan agar keinginan perorangan menjadi keinginan suatu golongan atau kategori sosial. Tahap ketiga menjadikan keinginan perorangan yang sudah menjadi keinginan umum itu menjadi urusan pemerintah. Hal ini adalah tahap untuk menjadikan keinginan umum tersebut sebagai problem. Tahap keempat adalah pengakuan golongan-golongan politik, bahwa problem tersebut adalah urusan yang membutuhkan campur tangan pemerintah. Tahap kelima adalah menempatkan problem tersebut dalam agenda pembuatan peraturan perundang-undangan. Tahap keenam adalah proses pembuatan/perumusan peraturan perundang- undangan.
  • 6. Dalam proses transformasi inilah maka sering terjadi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang muncul dalam tulisan /norma. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah “bahasa dan norma yang dituliskan itu mampu mewadahi keseluruhan pikiran dan perilaku yang ingin kita sampaikan?” Menurut pendapat saya, bahasa dan norma yang dituliskan tersebut selalu akan berpotensi menuai kegagalan karena adanya berbagai keterbatasan baik karena karena ketidakutuhan saat perumusan maupun karena tidak tertampungnya seluruh makna, pikiran dan perilaku ke dalam bahasa dan norma. Oleh karena itu, menurut saya secara akademis tidak tepat apabila sebuah peraturan perundang- undangan dianggap selalu sudah jelas. Selalu ada ruang- ruang bagi lahirnya perda yang tidak sempurna atau terdapat pasal-pasal yang tidak mampu mengakomodir seluruh kepentingan para stakeholders
  • 7. Dalam pembentukan Peraturan Daerah, terdapat beberapa pertanyaan penting yang harus diajukan sebagai arah untuk memfokuskan pembentukan peraturan tersebut. Pertanyaan itu adalah : – Apakah sudah diketahui gambaran ideal kondisi yang akan diatur ? – mengapa kita perlu mengatur ? – apakah tujuan kita mengatur ? – apakah fungsi aturan tersebut? – Apakah dengan pengaturan tersebut masalah yang ada dapat diselesaikan?
  • 8. Pertanyaan yang pertama bersifat futuristis, pertanyaan kedua bersifat filosofis dan pertanyaan yang ketiga, keempat dan kelima lebih bersifat praktis. Pembentukan Peraturan Daerah dalam arti sebagai norma hukum positif pada hakekatnya merupakan norma pelengkap dari norma-norma yang sudah ada, yaitu norma agama, norma kesopanan dan norma kesusilaan. Norma hukum dibutuhkan untuk melengkapi tiga norma yang lain karena norma hukum ini dapat memberikan sanksi yang bisa dipaksakan oleh negara, bersifat eksternal dan dapat menimbulkan efek jera. Sedangkan sanksi dari norma agama, norma kesopanan dan norma kesusilaan bersifat individual, tergantung pada derajat masing- masing individu, dan tidak dapat dipaksakan oleh negara.
  • 9. B. Dasar-Dasar Membentuk Perda: Dari Politik Hukum sampai dengan Merumuskan Pasal-Pasal Secara harfiah pengertian politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, dan dilaksanakan atau diterapkan oleh suatu pemerintahan negara. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, hukum bukan merupakan tujuan namun hanya digunakan sebagai salah satu sarana untuk mencapai ide yang dicita- citakan oleh negara tersebut. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu masyarakat yang bagaimana yang ingin diwujudkan oleh suatu negara. Setelah diketahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh suatu negara, dapatlah dicari sistem hukum yang dapat membawa rakyat ke arah masyarakat yang dicita- citakan, dan sekaligus dapat ditentukan politik hukum yang bagaimana yang dapat menciptakan sistem hukum yang dikehendaki tersebut.
  • 10. Demikian pula bagi Indonesia, politik hukum yang dipilih diarahkan untuk membawa rakyat Indonesia ke arah masyarakat yang dicita- citakan oleh bangsa Indonesia seperti yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bagsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, peraturan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan tersebut di atas maka disusunlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai aturan dasar dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain tujuan ini harus dicapai berdasarkan falsafah Pancasila.
  • 11. Menurut Bagir Manan, politik hukum ada yang bersifat tetap (permanen) dan ada yang bersifat temporer. Politik hukum yang tetap adalah yang berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Politik hukum yang tetap bagi Indonesia, antara lain:
  • 12. Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia; Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945; Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa; Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat; Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat; Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat; Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat), terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan atas hukum dan berkonstitusi.
  • 13. Politik hukum temporer adalah kebijakan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori ini misalnya penentuan prioritas pembentukan Peraturan Daerah, pembaharuan peraturan perundang- udangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya.
  • 14. Setidak-tidaknya, menurut Bagir Manan, ada dua lingkup utama politik hukum: Politik pembentukan hukum, yaitu kebijaksanaan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan hukum. Politik pembentukan hukum ini mencakup: – Kebijaksanaan (pembentukan) perundang-undangan; – Kebijaksanaan (pembentukan ) hukum yurisprudensi atau putusan hakim; – Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya. Politik penegakan hukum, yaitu kebijaksanaan yang bersangkutan dengan: – Kebijaksanaan di bidang peradilan; dan – Kebijaksanaan di bidang pelayanan umum. Antara kedua aspek politik hukum tersebut, sekedar dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena: Keberhasilan suatu Peraturan Daerah tergantung pada penerapannya; Putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrumen kontrol bagi ketepatan atau kekurangan suatu Peraturan; Penegakan hukum merupakan dinamisator Peraturan melalui putusan dalam rangka penegakan hukum.
  • 15. Dalam pelaksanaannya, politik hukum juga tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek kebijaksanaan yang ada di dalam negeri, misalnya aspek realitas sosial, ekonomi, dan politik maupun perkembangan hukum internasional karena Indonesia merupakan bagian dari dunia internasional. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya politik hukum nasional adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk dan diterapkan di Indonesia, maka sebenarnya politik hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah (politik perundang- undangan) dapat dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di balik sebuah Peraturan Daerah antara lain berupa tujuan, fungsi, paradigma, kehendak politik negara, maupun ideologi hukum. Sejak tanggal 1 Nopember 2004 telah diberlakukan Undang- Undang tentang Pembentukan Peraturan Daerah yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Daerah.
  • 16. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ini maka dinyatakan tidak berlaku lagi: Undang-undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1950 tentang Menetapkan Undang- Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan Tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur dalam Undang-Undang ini, Peraturan perundangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang ini.
  • 17. Dalam teori maupun praktik hukum, dikenal adanya 3 bentuk penuangan keputusan norma hukum, yaitu (a) keputusan yang bersifat mengatur/regeling yang menghasilkan produk peraturan (regels) , (b) keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan secara administrasi menghasilkan keputusan administrasi negara (beschikkings) dan (c) keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil dari proses peradilan menghasilkan putusan (vonnis). Disamping itu ada pula yang dinamakan beleidregels atau aturan kebijakan (policy rules) yang sering juga disebut dengan quasi peraturan, misalnya petunjuk pelaksanaan, surat edaran, instruksi dan sebagainya yang tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan tetapi isinya bersifat mengatur juga.
  • 18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu mengenai sistem, asas, jenis, dan materi muatan, persiapan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.
  • 19. Dengan demikian, Undang-Undang ini akan menjadi arah dan politik hukum dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia baik di tingkat pusat maupun di daerah. Secara normatif, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia telah diamanatkan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 10 tahun 2004, yaitu: - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; - Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; - Peraturan Pemerintah; - Peraturan Presiden; - Peraturan Daerah.
  • 20. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
  • 21. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
  • 22. Kekuatan hukum Peraturan Perundang- undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU nomor 10 tahun 2004. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang- undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
  • 23. Secara umum pembentukan Peraturan Daerah harus sejalan dengan jiwa dan asas-asas yang ada dalam : Pancasila UUD 1945 UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan UU 17 tahun 2007 tentang RPJP 2005-2025 Peraturan Perundang-Undangan sektoral lainnya
  • 24. Dalam pembentukan Peraturan Daerah, Pancasila harus menjadi ruhnya. Pancasila adalah grundnorm, norma dasar tertinggi sehingga seluruh Peraturan Daerah yang kita buat harus mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Nilai-nilai dasar tersebut adalah: Nilai dasar moral religius Nilai dasar Kemanusiaan Nilai dasar Kebangsaan Nilai dasar Demokrasi Nilai dasar Keadilan sosial
  • 25. Dalam pembentukan Peraturan Daerah maka kita harus memperhatikan semangat dan konstruksi yang ada dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam berbagai peraturan perundangan. Konstruksi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah di Indonesia diatur dalam UUD 1945 di dalam Bab VI yang terdiri dari Pasal 18, 18A dan 18B
  • 26. [1] Bunyi selengkapnya Bab VI tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 18 Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Pasal 18A – Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
  • 27. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Pasal 18B Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
  • 28. Pengaturan dalam pasal-pasal tersebut merupakan satu kesatuan pengaturan yang meliputi susunan pemerintahan, pengakuan terhadap keanekaragaman dan keistimewaan daerah, dan kerangka sistem otonomi. Berdasarkan konstruksi dalam UUD 1945 tersebut, maka untuk penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan provinsi dibagi lagi menjadi daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah propinsi, kabupaten dan kota merupakan pemerintah daerah yang diberi kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang berdasarkan pada asas otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  • 29. Berdasarkan UUD 1945 ciri-ciri umum penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah sebagai berikut: Pemerintah daerah terbentuk karena dibentuk oleh Pemerintah sehingga dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum. Di wilayah Indonesia dibentuk provinsi dan di wilayah provinsi di bentuk kabupaten dan kota sebagai daerah otonom. Pembentukan wilayah di atas mempunyai konsekuensi bahwa kebijakan desentralisasi dibuat oleh pemerintah sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD serta masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis. Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom (provinsi,kabupaten dan kota) adalah bersifat tergantung dan bawahan (dependent and subordinate). Prinsip ini berbeda dengan hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme yang sifatnya independen dan koordinatif. Adanya pembagian dan penyerahan urusan kepada daerah otonom.
  • 30. Gubernur merupakan wakil pemerintah yang ada di daerah untuk melaksanakan urusan Pusat yang ada di daerah. Terdapatnya perbedaan sumber daya alam dan sumber daya manusia pada masing- masing daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting bagi terciptanya penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka negara keatuan.
  • 31. Dari konstruksi yang terdapat dalam Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 maka hak, kewenangan dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lebih diarahkan pada pemenuhan kepentingan masyarakat. Sebagai penjabaran Pasal 18, 18A dan 18B, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah memacu kesejahteraan, pemerataan pembangunan dan hasil- hasilnya serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat; menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, peningkatan pelayanan publik dan daya saing daerah.
  • 32. RPJP nasional merupakan arah pembangunan nasional yang harus dijadikan patokan oleh pemerintah daerah dalam menyusun RPJP Daerah dan RPJM Daerah. Dalam wujud konkrit, peraturan daerah merupakan instrumen yang secara sadar dibuat dalam rangka mewujudkan tujuan RPJPD dan RPJMD. Oleh karena itu, salah satu tolok ukur perda yang baik adalah mengacu pada RPJPD dan RPJMD. Dalam pembentukan Peraturan Daerah, pada hakekatnya pemda sedang melakukan perancangan terhadap sebuah situasi sosial tertentu dimasa depan. Didalam perancangan tersebut, pemda harus mampu membangun keseimbangan (homeostasis) kepentingan para pihak yang menjadi sasaran peraturan tersebut. Mengapa keseimbangan itu sangat penting, karena hal ini menyangkut dua sifat dasar manusia yaitu manusia sebagai Homo Economicus dan manusia sebagai Homo Juridicus.
  • 33. Sebagai Homo Economicus, manusia dalam hidupnya selalu menggunakan prinsip-prinsip ekonomi. Manusia ingin mendapatkan keuntungan yang banyak dengan modal yang sedikit, atau ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan modal tertentu. Dari sudut ini, manusia dalam kehidupannya memang akan berusaha untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan pengorbanan yang seminimal mungkin. Oleh karena itu apabila ada warga masyarakat yang tidak membayar pajak, pengusaha menghindari membayar retribusi, dapat dipahami bahwa dimensi homo economicusnya yang menonjol.
  • 34. Sebagai Homo Juridicus, manusia dalam hidupnya selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum. Manusia ingin mendapatkan ketentraman, ketenangan dan kepastian terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dari sudut ini, manusia dalam kehidupannya akan selalu memenuhi kewajiban- kewajiban yang dibebankan kepada dirinya dalam rangka pemenuhan segala sesuatu yang menjadi haknya. Manusia mematuhi aturan agar dirinya memperoleh kepastian pewujudan apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
  • 35. Oleh karena itu, pada saat negara mengatur, haruslah dapat menciptakan keseimbangan kedudukan manusia sebagai homo economicus dan juridicus. Apabila negara gagal dalam mewujudkan keseimbangan, maka efektivitas pengaturannya akan diragukan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mempertahankan kepentingannya tersebut dapat menimbulkan kendala-kendala dalam implementasi Peraturan Daerah. Sedini mungkin, semua kendala ini harus sudah dapat diprediksikan sehingga aparat penegak hukum mampu menyiapkan antisipasinya pada saat implementasi.
  • 36. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam mengantisipasi kegagalan implementasi Peraturan Daerah adalah dihindari adanya pengaturan yang bersifat kriminogenik dan viktimogenik. Peraturan yang bersifat kriminogenik adalah peraturan yang berpeluang/berpotensi menimbulkan kejahatan. Misalnya dibuat Peraturan Daerah-Peraturan Daerah yang bersifat koruptif dalam arti ketika diterapkan akan menimbulkan kerugian keuangan negara. Apabila Peraturan Daerah sudah bersifat kriminogenik, maka peluang untuk bersifat viktimogenik juga besar. Peraturan yang bersifat viktimogenik adalah peraturan yang berpeluang/berpotensi menimbulkan korban. Korban yang dimaksudkan disini bisa manusia, lingkungan hidup, kemandekan investasi dan lain-lain. Misalnya pemda membuat Peraturan Perda tentang pengelolaan bahan tambang galian C, maka apabila pengaturannya tidak memperhatikan konservasi dan pemulihan lingkungan, maka lingkungan hidup disekitar kawasan pertambangan akan rusak dan dalam konteks ini lingkungan telah menjadi korban.
  • 37. Dalam setiap pembentukan Peraturan Daerah, tidak dapat melepaskan diri dari apakah tujuan kita mengatur. Setiap Peraturan Daerah yang dibuat harus mampu mewujudkan tujuan pengaturan itu sendiri, antara lain: menciptakan kepastian hukum; mewujudkan keadilan; memberikan kemanfataan sosial. Untuk mewujudkan tujuan pengaturan tersebut di atas, Peraturan Daerah harus dapat berfungsi sebagai: alat kontrol sosial; alat rekayasa sosial; mekanisme integrasi; alat pemberdayaan sosial.
  • 38. C. Landasan Hukum Agar Peraturan Daerah dapat berfungsi secara optimal dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana yang diharapkan oleh pembentuknya, ada beberapa landasan yang harus diperhatikan sebelum menyusunnya, yaitu: landasan filosofis Landasan filosofis adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau ideologi negara. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan. Hal ini disebut juga dengan cita hukum, yaitu berkaitan dengan baik dan buruk, adil atau tidak. Hukum diharapkan mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa adil dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, penyusunan Peraturan Daerah harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilai-nilai (cita hukum) yang terkandung dalam Pancasila.
  • 39. Landasan yuridis. Landasan yuridis sangat penting dalam penyusunan Peraturan Daerah, dalam hal ini berkaitan dengan: Pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan Daerah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap Peraturan Daerah harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Apabila dibuat oleh badan atau pejabat yang tidak berwenang akan mengakibatkan Peraturan Daerah tersebut batal demi hukum, artinya Peraturan Daerah tersebut dianggap tidak pernah ada, begitu juga dengan segala akibat hukumnya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa batal demi hukum disini adalah mati dengan sendirinya, tidak perlu ada suatu tindakan apapun. Namun, dalam praktik yang namanya batal demi hukum ini tidak pernah terjadi, karena Peraturan Daerah tersebut nyatanya tidak mati (batal) dengan sendirinya tetapi perlu ada suatu tindakan. Apabila ada suatu tindakan, maka berarti dibatalkan, bukan batal demi hukum.
  • 40. Kedua, keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Daerah. Ketidaksesuaian jenis ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Daerah tersebut. Misalnya, Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan “segala pajak diatur dengan undang-undang”. Hal ini jelas bahwa masalah pajak hanya merupakan materi muatan undang-undang, tidak bisa menjadi materi muatan jenis Peraturan Daerah yang lain selain undang-undang. Jadi, jika ada masalah pajak diatur dengan Keputusan Menteri, maka Keputusan Menteri tersebut dapat dibatalkan.
  • 41. Ketiga, keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Jika tata cara atau prosedur tersebut tidak ditaati, maka Peraturan Daerah tersebut kemungkinan batal demi hukum dan/atau tidak mempunyai kekuatan mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Sebagai contoh misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri tidak bolah bertentangan dengan Peraturan Daerah yang lebih tinggi.
  • 42. Landasan sosiologis; Landasan sosiologis adalah landasan yang berkaitan dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat. Kondisi atau kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi semacam ini Peraturan Daerah diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara efektif (living law). Sebagai contoh, Peraturan Daerah harus memperhatikan struktur dan budaya masyarakat. landasan ekonomis. Landasan ekonomis maksudnya adalah agar Peraturan Daerah yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang tidaklah menimbulkan beban ekonomi yang sangat tinggi sehingga menganggu perekonomian negara secara keseluruhan. landasan politis. Landasan Politis maksudnya adalah agar Peraturan Daerah yang diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat yang dapat menganggu ketertiban, ketenteraman, dan keamanan umum.
  • 43. D. Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Perspektif Pencapaian Tujuan Otonomi Daerah Menurut Pasal 12 UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Sejalan dengan ketentuan di atas, Pasal 136 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah memberikan ruang lingkup materi muatan perda sebagai penjabaran peraturan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas daerah. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Ayat 4). Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang mengakibatkan terganggunya kerukunan warga, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketertiban/ ketentraman masyarakat serta kebijakan/peraturan daerah yang bersifat diskriminatif serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
  • 44. Ketentuan di atas menjadi dasar bagi Pemerintah untuk melakukan pengawasan Preventif dan Represif terhadap Perda. Pengawasan tersebut dimaksudkan agar Perda tetap berada dalam kesatuan hukum nasional. Dari segi hirarkhi peraturan perundang- undangan, materi muatan perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Proses harmonisasi vertikal menjadi sangat penting dalam proses pembentukan Perda sehingga materi muatannya dapat sejalan dengan asas hukum lex superiori derogat lex inferiori.
  • 45. Peraturan Daerah sebagai kebijakan publik yang membingkai penyelenggaraan otonomi daerah sudah selayaknya apabila dibentuk selaras atau dalam kerangka mewujudkan tujuan otonomi daerah. Tujuan otonomi daerah tersebut antara lain: Peningkatan kesejahteraan masyarakat; Peningkatan daya saing daerah; Peningkatan pelayanan publik; Peningkatan demokratisasi.
  • 46. E. Asas-Asas Hukum Umum, dan Asas Pembentukan dan Materi Muatan Terdapat beberapa asas hukum penting yang perlu dicermati dalam merancang Peraturan Daerah, antara lain: a. Dalam setiap Peraturan Daerah harus dapat ditunjukkan secara jelas Peraturan tertentu yang menjadi landasannya/dasarnya (dasar hukum); b. Hanya Peraturan yang sederajat atau lebih tinggi yang dapat dijadikan dasar hukum terbentuknya Peraturan Daerah. c. Peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan kekuatan mengikat dari Peraturan lain yang sederajat atau yang lebih rendah. Prinsip ini mengandung beberapa asas lain yaitu asas lex posteori derogat legi priori, asas lex superiori derogat legi inferiori, dan asas lex specialis derogat legi generalis. d. Pentingnya kesesuaian antara jenis produk hukum dan materi muatan dari produk hukum tersebut.
  • 47. Ada beberapa asas umum maupun khusus yang juga harus diperhatikan dalam pembentukan Peraturan Daerah agar pada saat Peraturan Daerah tersebut diimplementasikan dapat berfungsi secara maksimal dalam mendukung terwujudnya otonomi daerah dan tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Adapun asas-asas tersebut antara lain:
  • 48. Asas pembentukan Peraturan Daerah yang baik, meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan.
  • 49. Asas khusus yang harus terkandung dalam materi muatan Peraturan Daerah, meliputi: Asas pengayoman; Asas kemanusiaan; Asas kebangsaan; Asas kekeluargaan; Asas kenusantaraan; Asas bhineka tunggal ika; Asas keadilan; Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan; Asas ketertiban dan kepastian hukum; Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan; Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Daerah ybs.
  • 50. Asas umum pemerintahan yang layak, meliputi: Asas Kepastian Hukum; Asas Bertindak Cermat Asas Perlakuan yang Jujur Asas Keadilan Asas Motivasi Asas Kebijaksanaan Asas Persamaan Asas Kepercayaan Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum Asas Larangan Mencampuradukan Kepentingan Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Asas Menanggapi Pengharapan Secara wajar Asas Keseimbangan
  • 51. Asas/nilai dasar dalam good governance, meliputi: Kesetaraan Pengawasan Penegakan hukum Daya tanggap Efisiensi & efektivitas Partisipasi Profesionalisme Akuntabilitas Wawasan ke depan
  • 52. Pertimbangan lain yang harus diperhatikan agar Peraturan Daerah tersebut memang benar- benar dibutuhkan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan maka terlebih dahulu dilakukan pemetaan terhadap kebutuhan dan skala prioritas dalam pembentukan Peraturan Daerah. Pemetaaan tersebut dilakukan melalui kegiatan analisis kebutuhan pranata hukum. Kegiatan analisa kebutuhan ini merupakan kajian awal mengenai tingkat kebutuhan terhadap kehadiran sebuah peraturan.
  • 53. Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dalam siklus “kehidupan” peraturan yang terdiri dari: Formulasi peraturan Implementasi peraturan Monitoring peraturan Evaluasi peraturan
  • 54. Agar analisis kebutuhan dan pembentukan Peraturan Daerah dapat dilaksanakan secara berkelanjutan haruslah ditetapkan ke dalam program legislasi daerah. Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah di Daerah yang disusun secara sistematis, terpadu dan terencana. Masyarakat dan seluruh aparatur berhak memberikan masukan, pendapat dan saran dalam rangka penyusunan program legislasi daerah tersebut. Masukan, pendapat dan saran masyarakat serta aparatur tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
  • 55. F. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Himpunan peraturan disusun menurut derajat peraturan dan waktu penetapannya. Sedangkan kodifikasi hukum disusun secara sistematis menurut rumpun masalah dan dikelompokkan secara klaster ke dalam BUKU, BAB, Bagian, Paragraf, dan Pasal-pasal. Adapun rancangan peraturan untuk menjadi peraturan yang baik dianjurkan disusun menurut tuntunan teknik perancangan peraturan disamping teori serta asas-asas umum hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
  • 56. Kemampuan teknis legal drafting yang handal diperlukan apabila dihadapkan dengan kebutuhan untuk menyusun draft rancangan peraturan perundang-undangan. Materi muatan perundang-undangan dapat dikelompokkan secara klaster ke dalam : Pasal-pasal diklaster ke dalam BAB-BAB; Pasal-pasal diklaster ke dalam Bagian-bagian, dan BAB-BAB; atau Pasal-pasal diklaster ke dalam Paragraf- paragraf, Bagian-bagian, dan BAB-BAB.
  • 57. Model penguraian substansi norma sangat spesifik, tidak sama dengan model penguraian substansi kalimat dalam penulisan karya ilmiah. Model penguraian norma adalah sebagai berikut: Kalimat judul diurai ke dalam ayat-ayat, ditandai dengan pemberian angka arab yang berkurung dua di depan kalimat ayat; Kalimat ayat diurai ke dalam kalimat rincian ayat, ditandai dengan pemberian angka arab atau huruf kecil tanpa tanda kurung di depan kalimat rincian kalimat ayat.
  • 58. Contoh model penguraian dimaksud adalah sebagai berikut : BAB ….. …….(kalimat judul bab) ……. Pasal….. ……………………. (kalimat ayat) ………………………… 1. …………….. ( kalimat rincian ayat) .……………….……; 2. …………….. …….(idem) …………………….…………; 3. …………….. ….…(idem) …………………….…………; 4. dan seterusnya. atau (1) ……………………. (kalimat ayat) ………………………… a. …………….. (kalimat rincian ayat) .……………….……; b. …………….. ….…(idem) …………………….…………; c. …………….. ….…(idem) …………………….…………; d. dan seterusnya.
  • 59. Meskipun antara penggunaan angka arab dan huruf dibolehkan secara teoretis sebagai pilihan dalam penguraian rincian kalimat, namun dianjurkan agar diutamakan penggunaan angka arab pada rincian kalimat ayat pasal interpretasi (Pasal 1) dan penggunaan huruf kecil pada rincian kalimat ayat pasal norma (Pasal 2, dan seterusnya). Hal penting yang perlu dipahami dalam teknik penyusunan draft rancangan peraturan perundang-undangan antara lain model penguraian pokok pikiran dalam konsideran pertimbangan, penguraian judul bab, dan penguraian substansi norma dalam ayat di bawah pasal.
  • 60. Penguraian pokok pikiran dalam konsideran pertimbangan, dapat dilakukan dalam 4 (empat) model, yaitu : Model satu kalimat; Penulisan pokok pikiran dalam konsideran model ini, tuntas dalam satu kalimat, baik narasi landasan filosofis dan landasan sosiologis maupun landasan yuridisnya yang melatarbelakangi pembuatan peraturan yang bersangkutan.
  • 61. Model dua kalimat; Penulisan pokok pikiran dalam konsideran model ini, tuntas dalam dua kalimat, sehingga narasi landasan filosofis dan landasan sosiologis dinyatakan dalam kalimat konsideran butir a, sedangkan narasi landasan yuridisnya dinyatakan dalam kalimat konsideran dalam butir b (terakhir).
  • 62. Model tiga kalimat; Penulisan pokok pikiran dalam konsideran model ini, tuntas dalam tiga kalimat, sehingga narasi landasan filosofis dinyatakan dalam kalimat konsideran butir a, landasan sosiologis dinyatakan dalam kalimat konsideran butir b, dan landasan yuridisnya dinyatakan dalam kalimat konsideran dalam butir c (terakhir).
  • 63. Model gabungan pokok pikiran pada butir-butir konsideran; Dalam hal konsideran terdiri dari beberapa butir pokok pikiran, sedangkan legal drafter menginginkan untuk mendeskripsikan keseluruhan landasan sebagai pokok pikiran (filosofis, sosiologis, yuridis) dalam tiap-tiap butir konsideran, maka semua landasan itu dapat ditulis berulang-ulang dalam tiap-tiap butir konsideran. Meskipun berulang namun esensi yang digambarkan dalam tiap-tiap landasan perundangannya harus berbeda- beda, dan pada butir konsideran terakhir hanya bermuatan landasan yuridis sebagai penutup.
  • 64. Dewasa ini sering ditemukan improvisasi dalam praktek penyusunan peraturan perundang-undangan terutama pada bunyi frase pembuka konsideran (landasan filosofi vertikal) dan frase pembuka norma (landasan filosofi horizontal). Variasi terhadap bunyi frase ini dapat dibenarkan apabila didasarkan pada asas kelaziman yang sesuai keyakinan agama yang dipantulkan oleh bunyi klausul dalam konstitusi negara, sehingga dapat menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu berbunyi :
  • 65. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Landasan filosofi vertikal dalam frase yang berbunyi: “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”, digunakan didalam Undang-undang dan Perda pada umumnya. Landasan filosofi vertikal dalam frase yang berbunyi: “ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA”, digunakan di dalam undang- undang dan Qanun / Perda mengenai daerah otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam.
  • 66. Bunyi frase tersebut terakhir di atas sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, sudah digunakan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dalam pengggunaan frase dengan bunyi demikian adalah klausul yang tertuang dalam awal alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan penulisan frase landasan filosofi vertikal, bunyinya tidak ada perubahan. Jadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak mengubah cara penulisan frase landasan filosofi vertikal. Adapun frase yang berbunyi “ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA” yang digunakan dalam Undang-undang dan Qanun / Perda mengenai daerah otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam, tidak diatur di dalam undang-undang tersebut, melainkan justru bersumber dari bunyi Pembukaan UUD 1945.
  • 67. Perubahan besar yang di bawah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu menyangkut 2 (dua) hal, yaitu : hal penulisan frase landasan filosofi horizonall, berubah menjadi : Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA hal pernyataan sah berlaku bagi undang-undang dan Perda yang tidak ditandatangani Presiden untuk undang-undang, dan tidak ditandatangani Kepala Daerah untuk Perda. Berkaitan dengan hal yang kedua di atas, khusus Perda Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak mengatur. Dasar hukum untuk Perda mengenai pernyataan sah berlaku ialah Undang-undang Nomr 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 144 ayat (5) yang berbunyi : “Dalam hal sahnya rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, “Perda ini dinyatakan sah, dengan mencantumkan tanggal sahnya”. Improvisasi dalam penyusunan redaksi norma peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak terjadi dengan sendirinya melainkan juga dipengaruhi oleh bunyi suatu norma yang sesungguhnya tidak ditujukan untuk maksud teknis penyusunan norma (tata cara pembentukan undang-undang). Sebagai contoh, bunyi klausul Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”, mempengaruhi pembentuk undang- undang langsung mempergunakan frase landasan filosofi horizontal seperti tersebut terakhir di atas.
  • 68. Bagian yang paling krusial dalam perancangan draft peraturan perundang-undangan ialah bagian Konsideran Menimbang (Bagian Pembuka Peraturan). Bagian Konsideran ini adalah tempat legal drafter menuangkan tulisan yang mendeskripsikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi pembentukan peraturan itu sendiri. Di dalam pokok-pokok pikiran itu harus tergambar pemikiran filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang dituangkan secara sistematis dalam kalimat singkat, padahal ruang (space) tempat penulisan sangat sempit. Pada hakekatnya, penjelasan yang paling mendasar tentang latar belakang pembentukan peraturan terdapat di dalam konsideran menimbang. Oleh karena itu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis peraturan harus mampu dipantulkan oleh kalimat (Klausula) yang tertulis di dalam konsideran menimbang itu.
  • 69. - Legal drafter dituntut mampu dalam keadaan bagaimanapun untuk mendeskripsikan pokok pikiran yang merupakan landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis peraturan perundang-undangan dalam kalimat konsideran yang singkat serta tepat makna dan tepat tata bahasa. - Mengingat ruang penulisan konsideran menimbang sangat sempit, maka perlu dihindari penulisan informasi yang bersifat data sekunder seperti penulisan nomor dan tahun atau pasal dari peraturan perundang-undangan tertentu di dalamnya karena hal itu tidak lagi bersifat pokok pikiran melainkan sudah merupakan hal yang operasional, terkecuali untuk perubahan peraturan, maka nomor dan tahun peraturan yang akan diubah perlu ditulis pada bagian konsideran menimbang. Berikut ini dikemukakan contoh bunyi :
  • 70. Konsideran Peraturan Daerah : b. bahwa daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah merupakan bagian integral negara Kesatuan Republik Indonesia, dipandang perlu menyusun rencana strategis daerah provinsi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional; c. bahwa rencana strategis daerah merupakan parameter keberhasilan pembangunan yang harus dipertanggung-jawaban oleh Kepala Daerah, dipandang perlu menyusun perencanaan pembangunan dalam bentuk rencana strategis daerah Provinsi …….; d. bahwa untuk mewujudkan maksud tersebut pada huruf a dan b di atas, dipandang perlu mengatur rencana strategis daerah Provinsi………, dengan Peraturan Daerah;
  • 71. Konsideran Peraturan Kepala Daerah : b. bahwa rencana strategis daerah merupakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di daerah, dipandang perlu menyusun rencana strategis sektoral yang wajib dilaksanakan oleh satuan kerja organisasi perangkat daerah di Provinsi…….secara tepat dan berhasilguna; c. bahwa pelaksanaan rencana strategis sektoral secara tepat guna dan berhasilguna merupakan tuntutan aspirasi masyarakat, dipandang perlu menyusun rencana strategis sektoral, sesuai kebutuhan pelayanan kepada masyarakat; d. bahwa untuk mewujudkan maksud tersebut pada huruf a dan b di atas, dipandang perlu mengatur rencana strategis sektoral Provinsi………., dengan Peraturan Gubernur Provinsi…….
  • 72. Kon-sideran keputusan yang bersifat ketetapan (Beschikking): b. bahwa Gubernur Provinsi…… berwenang mengangkat Sekretaris Daerah Kabupaten dan Kota atas usul Bupati atau Walikota; c. bahwa Pegawai Negeri Sipil yang namanya tercantum dalam lampiran keputusan ini memenuhi syarat administratif dan kecakapan ……., dipandang perlu mengangkatnya dalam jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota……..; d. bahwa untuk mewujudkan maksud tersebut pada huruf a dan b di atas, dipandang perlu menetapkan pengangkatan ……… dalam jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota ……., dengan Keputusan Gubernur …..….;
  • 73. Klausula dalam konsideran menimbang di atas mengandung pokok pikiran yang merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang melatarbelakangi pembentukan peraturan. Landasan filosofis terdapat pada konsideran menimbang huruf a, landasan sosiologis terdapat pada konsideran menimbang huruf b, dan landasan yuridisnya terdapat pada konsideran menimbang huruf c.
  • 74. Adakalanya Legal Drafter memaparkan pokok pikiran yang merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis tidak terpisah dalam beberapa huruf melainkan hanya dalam satu butir kalimat saja. Cara demikian diperkenankan dalam dunia penulisan peraturan. Bentuk lain yang biasa pula ditemui dalam implementasi teknik legal drafting, adalah penulisan kalimat konsideran menimbang dalam beberapa huruf (beberapa kalimat) dan pada tiap huruf atau kalimatnya berisi pokok pikiran filosofis, sosiologis, dan yuridis sekaligus. Hal inipun merupakan cara yang benar pula.
  • 75. Hal praktis yang merupakan anjuran dalam teknik legal drafting antara lain adalah dalam hal penuangan pokok pikiran dalam kalimat konsideran, yaitu perlu disusun secara sistematis dengan mendahulukan penulisan kalimat yang mengandung landasan filosofis kemudian disusul landasan- landasan lainnya dan yang terakhir kalimat yang mengandung landasan yuridis. Landasan sosiologis dan landasan yuridis boleh ditulis berulang-ulang dalam beberapa kalimat konsideran menimbang, asalkan tidak mendahului kalimat yang menyatakan pokok pikiran yang merupakan landasan filosofis, serta pada bagian akhir tetap ada kalimat landasan yuridis terutama apabila kalimat konsideran menimbang itu terdiri dari banyak huruf.
  • 76. Jadi, dalam penulisan kalimat konsideran menimbang, terdapat imaprovisasi yang lumayan banyak. Ada beberapa kalimat yang hanya terdiri dari satu kalimat saja, ada yang terdiri dari banyak huruf (kalimat), ada yang menuliskan pokok pikiran filosofis, sosiologis, dan yuridis secara terpisah dalam tiap huruf, ada pula yang mengulang-ulangnya dalam tiap huruf, dan sebagainya. Namun semuanya tidak mengurangi keabsahan peraturan. Suatu peraturan tanpa pasal akan menyulitkan di dalam penyebutan lokasi norma apabila hal itu diperlukan untuk menunjuk norma lintas pasal. Oleh karena itu, cara-cara berimprovisasi di dalam membuat peraturan harus pula mengindahkan batas-batas kelaziman suatu format peraturan.
  • 77. Peraturan, memerlukan format baku di dalam penulisannya oleh karena format peraturan yang mengindahkan asas kelaziman, kondusif terhadap penegakannya terutama dari aspek kepastian hukum dan penerimaan oleh masyarakat. Apabila cara membuat peraturan tidak mengindahkan patokan-patokan tertentu, maka samalah ia dengan puisi atau karya sastra yang performance dan interpretasi nya warna-warni dan bias tergantung selera pengguna atau tergantung cara orang memandang tak ubahnya melihat gambar lukisan abstrak, dan hal serupa ini sangat buruk untuk suatu materi muatan peraturan perundang-undangan.
  • 78. Hal yang krusial lainnya, terdapat pula pada penulisan klausula sebagai penjelasan pengertian di dalam Pasal 1 sebagai pasal interpretasi. Apabila Pasal 1 difungsikan sebagai pasal interpretasi, maka klausula pasal interpretasi berisi penetapan batasan pengertian istilah, singkatan, dan ungkapan. Sedangkan klausula pasal norma berisi penetapan hubungan hukum subyek baik antara orang yang satu dengan orang yang lain (Hukum Privat) maupun antara orang dengan negara (Hukum Publik). Ciri-ciri pasal interpretasi dan pasal norma adalah sebagai berikut :
  • 79. Ciri-ciri Pasal Interpretasi dan Pasal Norma 1. kata yang 1. tidak menggunakan kata digunakan selalu “adalah” melainkan kata “adalah” “merupakan” 2. berisi penetapan 2 . penetapan hubungan hukum batasan pengertian 3. selalu ditempatkan 3. tersebar di semua pasal pada Pasal 1 (termasuk pada pasal 1 jika pasal 1 bukan pasal interpretasi) 4. merupakan 4. merupakan pokok yang penjelasan peraturan dijelaskan 5. selalu terdiri dari 1 5. terdiri dari banyak pasal pasal saja
  • 80. Bagian-bagian tempat penuangan kalimat penjelasan peraturan tersebut ada di 3 (tiga) tempat, yaitu pada : 1. konsideran pertimbangan, menjelaskan pokok pikiran yang melatarbelakangi pembentukan peraturan. 2. batang tubuh (pasal 1) menjelaskan batasan pengertian istilah, singkatan, dan ungkapan yang digunakan dalam peraturan. Batang tubuh (pasal atau ayat lainnya) yang menjelaskan pengaturan terhadap esensi urusan terkait selengkap-lengkapnya.
  • 81. E. Bagian-bagian Peraturan Setiap peraturan baik peraturan perundang- undangan, terdiri dari 7 (tujuh) bagian, yaitu : 1. Judul; 2. Pembukaan; 3. Batang Tubuh Peraturan; 4. Pengesahan atau Penetapan; 5. Pengundangan; 6. Tempat Pengundangan (Pembukuan Peraturan); dan Lampiran Peraturan (jika diperlukan).
  • 82. Ad. 1 Judul Bagian judul peraturan perundang- undangan berisi keterangan-keterangan : 3. jenis peraturan; 4. teritorial/wilayah hukum (negara, daerah, desa); 5. nomor peraturan; 6. ahun pembuatan peraturan; 7. nama peraturan.
  • 83. Kalimat judul tergolong baik apabila kalimat nama peraturan disusun menurut tata bahasa baku, singkat tapi mampu menggambarkan seluruh isi yang menjadi substansi peraturan itu.
  • 84. Contoh judul : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
  • 85. Ad. 2 Pembukaan Bagian pembukaan peraturan perundang- undangan, meliputi: Frase pembuka konsideran atau landasan filosofi vertikal (transedental) Jabatan pembentuk peraturan; Konsideran Menimbang (pokok pikiran); Konsideran Mengingat (dasar hukum); Frase pembuka norma atau landasan filosofi horizontal; Pernyataan decisoir (Memutuskan/Menetapkan); Jenis dan nama peraturan.
  • 86. Ad. 3. Batang Tubuh Peraturan Batang tubuh peraturan dapat dibagi ke dalam bab-bab yang meliputi : 3. bab interpretasi; 4. bab materi yang diatur; 5. bab ketentuan penyidikan ; 6. bab ketentuan sanksi/pidana 7. bab ketentuan peralihan; dan 8. bab ketentuan penutup. Bandingkan Supardan Modeong, Teori dan Praktek Penyusunan Peraturan Perundang- undangan Tingkat Daerah, Cetakan Pertama, PT. Tintamas Indonesia, Jakarta, 2001, halaman 79 – 112.
  • 87. Ad. 4. Pengesahan atau Penetapan Peraturan 2. Pengesahan peraturan dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan dilakukan hanya untuk Undang-undang. 3. Penetapan peraturan dilakukan oleh Presiden atau Kepala Daerah untuk segala peraturan yang lebih rendah dari pada undang-undang. 4. Bagian pengesahan atau penetapan peraturan, berisikan keterangan, yaitu : 5. keterangan lokasi (nama kota tempat prosesi pengesahan atau penetapan dilakukan); 6. keterangan waktu (tanggal, bulan dan tahun) pengesahan atau penetapan; 7. nama jabatan pemberi pengesahan atau penetapan; 8. tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan; 9. nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan.
  • 88. Ad. 5. Pengundangan Bagian pengundangan tidak terdapat pada semua peraturan, melainkan hanya terdapat pada peraturan yang tergolong peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur.
  • 89. Ad. 6. Tempat Pengundangan Undang-undang wajib dicatat dalam LEMBARAN NEGARA, sedangkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden dicatat dalam BERITA NEGARA. Peraturan Daerah dicatat dalam LEMBARAN DAERAH, sedangkan Peraturan Kepala Daerah,dicatat dalam BERITA DAERAH. Pejabat yang mengundangkan undang- undang, dll dalam lingkup nasional ialah Menteri Sekretaris Negara, sedangkan yang mengundangkan Perda, dll dalam lingkup daerah ialah Sekretaris Daerah.
  • 90. Ad. 7. Lampiran Peraturan Bagian lampiran peraturan secara fisik terpisah dari pasal norma oleh karena lembaran atau naskahnya terpisah dari naskah peraturan yang dilampirinya, akan tetapi secara normatif lampiran merupakan satu kesatuan tidak terpisah dari peraturan yang dilampirinya. Syarat suatu lampiran menyatu dengan peraturan yang dilampirinya dan mengikat sebagai norma, adalah pada salah satu ayat dalam batang tubuh peraturan itu harus dicantumkan klausul yang berbunyi, misalnya : “Bagan susunan organisasi Dinas …….. sebagaimana dimaksud pada Pasal ….. ayat ( .. ), tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian dan satu kesatuan tidak terpisah dari ……… (peraturan) …….. ini”.
  • 91. Lampiran Peraturan Daerah….. Nomor….. SUSUNAN ORGANISASI DINAS… Tahun….. PROVINSI / KABUPATEN / KOTA… KEPALA DINAS Kelp. Jab. BAGIAN Fungsional SUB BAGIAN SUB BAGIAN BIDANG BIDANG BIDANG BIDANG SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI ……( Kepala Daerah )…… UPTD ……( Tanda Tangan )…… ……( Nama )……
  • 92. G. PENUTUP Dalam rangka membentuk Peraturan Daerah yang baik diperlukan beberapa langkah awal yaitu: pertama, pembentukan visi bersama tentang bentuk ideal kondisi yang akan dituju. Kedua, skala prioritas pengaturan mana yang akan didahulukan sebagai batu penjuru dan memayungi pengaturan lainnya. Ketiga, proses harmonisasi vertikal dan horisontal agar dapat dilakukan pengaturan secara utuh dan lengkap serta selaras dan serasi dengan peraturan lain yang sederajat maupun yang mempunyai kedudukan lebih tinggi serta sejalan dengan asas-asas hukum. Keempat, pengaturan tersbut harus mampu mengarah pada pencapaian sasaran pembangunan dalam RPJP/RPJPD dan RPJM/RPJMD. Kelima, pengaturan tersebut harus mampu menyelesaikan masalah yang ada.. Keenam, pengaturan harus dilakukan dalam batas kewenangan.
  • 93. BAHAN BACAAN B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2008 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP Jakarta, tahun 2007 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan buku 1 dan 2, penerbit Kanisius Yogyakarta, tahun 2007 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta tahun 2006 Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrulloh, Legal Drafting Berporos Hukum Humanis Partisipatoris, PT Perca Jakarta, 2005