Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019 mengenai penyelesaian disharmoni peraturan perundang-undangan melalui mediasi mengandung beberapa aspek formil dan materiil yang perlu diperbaiki. Secara formil, terdapat inkonsistensi penulisan awal suku kata dan ketentuan pasal. Secara materiil, perlu mengatur tindak lanjut bila mediasi gagal serta memperpanjang tenggat waktu untuk merevisi per
Rekomendasi Penyelesaian Disharmoni PUU Melalui Mediasi
1. REKOMENDASI PENYELESAIAN
DISHARMONI PUU MELALUI MEDIASI
Ali Rido
Dept. Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Univ. Trisakti
Disampaikan pada Diskusi Publik “Rekomendasi Implementasi Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan
Melalui Jalur Mediasi”, Balitbang, Kemenkumham RI, 29 Juli 2020.
2. ASPEK FORMIL PERMENKUMHAM NO. 2/2019
❑ Aspek Formil→Inkonsistensi penulisan awal suku kata.
▪ Suku awal kata tidak ditulis kapital padahal telah didefinsikan dalam Pasal 1 yaitu terdapat pada:
a. “disharmoni”→Pasal 1 angka 3, Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 16.
b. “peraturan perundang-undangan”→Pasal 2 huruf d, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 16, dan Pasal 18.
▪ Objek yang belum didefinisikan tapi pada awal suku kata ditulis kapital:
a. “Pemohon”→Pasal 6, Pasal 7 ayat (2) dan (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 13 ayat (1) huruf a, dan Pasal 15 ayat
(6).
b. “Pihak Terkait”→Pasal 8 ayat (2), (3), Pasal 13 ayat (1) huruf a, Pasal 13 ayat (2), (3), dan Pasal 15 ayat
(6);
c. “Pejabat Pimpinan Tinggi Pertama “→Pasal 8 ayat (2);
d. “Ahli”→Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) huruf b;
e. “Para Pihak”→Pasal 13 ayat (1) huruf c, Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), dan Pasal 16;
f. “Rekomendasi”→Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 huruf b, Pasal 15 ayat (6), Pasal 17 ayat (1), (6), dan Pasal 19
ayat (2).
3. LANJUTAN ASPEK FORMIL
❑ Pasal 8 ayat (1): inkonsisten penyebatuan pasal→ “....ketentuan Pasal
2....”, harusnya “sebagaimana dimaksud dalam Pasal...”.
❑ Definisi objek pada bagian materi pokok yang diatur Permen (Pasal
4)→kontradiktif dg Lamp. II angka 98 UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU
No. 15 Tahun 2019.
“Pemenkumham No. 2 Tahun 2019 merupakan pengganti dari
Permenkumham No. 32 Tahun 2017, harusnya itu lebih sempurna
tapi malah sebaliknya”
4. ASPEK MATERIIL DAN KAITAN DENGAN PENELITIAN
❑ Implementasi Pemohon→logika jeruk makan jeruk→Pasal 3 huruf b dihapus karena apa
mungkin aturannya sendiri dipersoalkan?, kecuali dapat mengajukan permohonan PUU selain
dimaksud dalam Pasal (2).
❑ Penjadwalan mediasi (Pasal 10 (2)→perpanjangan pelaksanaan mediasi harus ditentukan berapa
lama waktunya agar:
▪ Mewujudkan fairness dan kepastian hukum;
▪ Efektivitas dan efisiensi.
❑ Maksud objek PUU yg dimediasi dan yg diepriksa karena disharmoni harusnya tidak hanya
yang bertentangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 19 Permenkumham No.
2/2019→perlu ditambah bertentangan dengan:
▪ kepentingan umum, dan/atau kesusilaan→lihat Pasal 250 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 jo.
UU No. 9 Tahun 2015, Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015, dan Putusan MK No. 56/PUU-
XIV/2016
▪ Usulan diksi disharmoninya: “…dan/atau…”
5. LANJUTAN ASPEK MATERIL
❑Perlu mengatur jika mediasi tidak berhasil karena Pasal 15
hanya mengatur jika berhasil. →agar tujuan
Permenkumham tercapai yaitu menyelesaikan disharmoni
PUU.
❑Tindaklanjut kesepakatan/tidak sepakat dlm waktu 30 dan
60 hari tidak logis (Pasal 15 ayat (4) dan Pasal 17 ayat (2),
karena jika hasil mediasi harus dilakukan perubahan PUU
maka waktu itu tidak cukup→frasa seharusnya, misalnya:
▪Pihak terkait→menyusun perubahan atas PUU.→perlu ada
exit strategy.
6. LANJUTAN ASPEK FORMIL
❑ Tumpulnya rekomendasi hasil mediasi→Perda Kota Bogor No. 12/2008 ttg KTR diubah dg
Perda No. 10/2018 tapi justeru kebalikannya dari rekomendasi. Solusi bagaimana?:
▪ Pasca rekomendasi, idealnya harus juga ada monitoring terhadap rekomendasi hasil
mediasi.
❑ Untuk perkada rekomendasi dan hasil pemeriksaan yang disharmoni, dapat langsung
diteruskan kepada Mendagri (Perkada Prov) dan pada Gubernur (Pekada kab/kota) untuk
dicabut. Alasan:
▪ Perkada dibentuk hanya oleh kepala daerah sebagai satuan bestuur (pemerintahan),
sehingga dalam kerangka negara kesatuan Pemerintah Pusat sebagai satuan bestuur yang
lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan Perkada;
▪ Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016, tidak
membatalkan kewenangan pembatalan Perkada.