SlideShare a Scribd company logo
1 of 47
Download to read offline
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG
BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA
(Sebuah Perspektif Filologi)
Undang A. Darsa1
1. Konsepsi Kosmologi
Istilah kosmos (Yunani) berarti susunan atau ketersusunan yang baik; lawannya ialah
khaos yang artinya keadaan kacau-balau. Jadi, kosmologi ialah ilmu pengetahuan tentang tata
alam jagat raya. Dewasa ini, kosmologi juga dipergunakan dalam ilmu-ilmu empirik guna
menunjukkan ilmu mengenai evolusi kosmis2. Dalam kaitan ini manusia terikat erat pada alam
semesta dan memiliki pandangan terhadap adanya hubungan gaib secara timbal-balik antara
manusia dengan alam semesta itu. Demikian pula konsep tata ruang masyarakat Nusantara
yang di dalamnya termasuk Sunda secara kosmologis berupaya mencari makna dunia menurut
eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam
dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan.
Ini artinya masyarakat Nusantara memiliki pandangan tentang kesejajaran antara
makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.
Berkaitan dengan ini, Eliade3 berpendapat bahwa pada umumnya manusia religius
mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan, yaitu dunia, manusia, dan terhadap apa yang
dianggapnya suci atau sakral. Dunia merupakan wilayah yang sudah dikonsentrasikan sebagai
kosmos. Sementara di luar wilayah itu, masih merupakan dunia lain, dunia yang kacau, asing,
tempat tinggal roh-roh, setan, jin, dan sebagainya. Keadaan yang kacau dan tidak berbentuk
itulah disebut khaos. Wilayah tersebut dapat dijadikan daerah teratur dan berbentuk dengan
cara peniruan, yaitu penciptaan semesta alam oleh para dewa melalui upacara.
Dalam pandangan kosmologis, dunia terdiri atas tiga lapisan, yaitu: (1) dunia atas
yang merupakan dunia Illahiah, surga, tempat para roh suci dan para leluhur; (2) dunia tengah
yang merupakan dunia hunian manusia dan makhluk-makhluk lainnya ciptaan Sang Khalik;
dan (3) dunia bawah yang merupakan dunia atau alam kematian. Ketiga dunia ini membentuk
tiga lapisan yang dihubungkan dengan sebuah poros yang disebut axis mundi. Axis mundi
terletak pada pusat dunia yang menghubungkan lapisan dunia yang satu dengan dunia yang
lain. Melalui axis mundi itulah manusia mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia
bawah. Tidak heran bila dalam membangun sebuah negeri, kota bahkan rumah, manusia selalu
berusaha mendekatkannya dengan pusat dunia4. Konsep kosmologi secara universal sudah
mentradisi pada setiap bangsa di dunia.
Dalam tatanan pandang masyarakat Sunda, antara lain, digambarkan dalam naskah
Sunda Kuno5 yang berjudul Sang Hyang Hayu (XVI Masehi)6, tata ruang jagat raya (kosmos)
1
Dosen & Peneliti Bidang kajian Utama Filologi (Tradisi Tulis Kuno) FIB Unpad.
2
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi; Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta:
Kanisius.
3 Mircea Eliade dalam bukunya berjudul The Sacred and the Profan, 1959. New York: Harcourt, Brace & World Inc.
4
Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, hal. 44-49.
5
Naskah Sunda Kuno yang ditemukan berjumlah puluhan, namun yang telah ditransliterasi dan diterjemahkan, di
antaranya, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Sewaka Darma, Serat Dewabuda, Kawih Paningkes, Jatiniskala,
Amanat Galunggung, Kisah Bujangga Manik, Carita Parahiyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Hayu, dan
Sanghyang Ragadewata. Naskah-naskah kuno tersebut berasal dari sekitar abad 13 sampai dengan akhir abad
16 Masehi.
6
Naskah SHH kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, dengan kode kropak: Br.634 (Serat Catur Bumi),
Br.636 (Serat Buwana Pitu), Br.637 (Serat Sewaka Darma), dan Br.638 (Serat Dewa Buda). Keempatnya
berbahan nipah ditulis dalam model aksara Gunung dengan tinta. Pada tahun 1988, Ayatrohaédi melakukan
transliterasi dan terjemahan Br.638. Penulis sendiri pada tahun 1990 s.d. 1993 berhasil mentransliterasi ketiga
kropak lainnya, termasuk mentransliterasi ulang kropak Br.638. Dilihat dari nama yang tertempel pada tiap-tiap
kropak jelas berbeda, namun ketika dibaca keempat kropak itu isinya sama, semua diawali dengan Ndah Sang
Hyang Hayu ‘Inilah Sang Hyang Hayu’. Di antara keempat kropak itu hanya satu yang secara jelas
mencantumkan angka tahun, yaitu Br.634: panyca warna catur bumi (1445 Saka/1523 Masehi). Naskah Sang
Hyang Hayu ini terdapat pula dalam koleksi Kabuyutan Ciburuy Garut. Lihat tesis Undang A. Darsa, Pascasarjana
Unpad, 1998.
UADarsa-FIBU-1432014
2
terbagi menjadi tiga susunan, yaitu: (1) susunan dunia bawah yang dinamakan saptapatala
‗tujuh neraka‘, (2) buhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan (3)
susunan dunia atas yang dinamakan saptabuana atau buanapitu ‗tujuh tingkat alam
kesorgaan‘. Jadi, tempat di antara saptapatala dengan saptabuana itulah yang disebut
madyapada, yakni pratiwi ‗dunia tempat manusia‘. Hal serupa sama dengan bagian dalam teks
naskah Sunda Kuno berjudul Sanghyang Raga Dewata (XVI Masehi) yang mengisahkan proses
penciptaan jagat raya beserta segala isinya, hanya cara pemaparannya yang agak berbeda
dengan teks naskah Sanghyang Hayu. Begitu pula dalam bagian teks naskah Sunda Kuno yang
berjudul Kisah Sri Ajnyana (XVI Masehi)7 yang mengisahkan proses turunnya manusia ke
dunia, di dalamnya dilukiskan tentang struktur kosmos. Pada bagian teks naskah Kawih
Panyaraman (1483 M) yang berisi tentang ―Séwaka Darma‖ pun terdapat episode yang intinya
melukiskan bagian susunan dunia atas sebagai aras langitan alam kesorgaan.
2. Struktur Kosmologi Sunda
Konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis umumnya cenderung bersifat
triumvirate ‗tiga serngkai, tritunggal‘. Dalam tatanan tersebut, mereka berupaya mencari
makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang
mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada
sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang
kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Pada
masa yang lalu, gambaran mengenai alam semesta ini tercatat dalam naskah-naskah Sunda
kuno.
Salah satu naskah yang menggambarkan mitos tentang proses penciptaan alam adalah
teks naskah berbahasa Sunda Kuno Sang Hyang Raga Dewata8. Dalam naskah itu dinyatakan
bahwa proses penciptaan alam meliputi buwana (jagat raya), pretiwi (bumi), sarira (diri
sendiri), dan para dewa pengatur jagat. Penciptaan alam diawali dengan dibangunkannya siang
dari kegelapan oleh kekuatan Sang Bayu (Yang Maha Kuat) dari Sang Hyang Raga Dewata.
Setelah itu, diciptakanlah bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan
angkasa raya. Matahari ditempatkan di arah timur dan bulan di arah barat. Bumi, oleh Sang
Hyang Tunggal diciptakan dari sebutir telur yang terbuat dari sekepal tanah liat. Ketika telur itu
menetas, menjelmalah berbagai makhluk, di antaranya adalah Batara Guru yang ditempatkan di
Gunung Kahyangan. Batara Guru dapat menjelma sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa,
dan Siwa. Ia juga berhak mengendalikan Batara Basuki penguasa bumi dan Batara Baruna
penguasa lautan. Sang Hyang Raga Dewata adalah Dzat Tunggal sebagai pencipta tetapi tidak
dicipta, sebagai pembuat tetapi tidak dibuat, dan yang mengetahui tetapi tidak diketahui. Dialah
Maha Pencipta. Manusia adalah salah satu makhluk yang dipandang sebagai mikrokosmos jagat
raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan Siksa Sanghyang Darma atau
Ajaran tentang Hukum-hukum. Itulah manusia ideal yang kelak dapat mencapai kesempurnaan
surga abadi9.
Naskah kuno lainnya yaitu Kropak 42210 yang menyebutkan bahwa alam semesta
terbagi dalam tiga buana atau dunia, yaitu sakala (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan
7
Naskah ini merupakan koleksi Museum Nasional, kini Perpustakaan Nasional Jakarta, lihat Noorduyn & Teeuw
(Three Old Sundanese Poems. 2003).
8 Sang Hyang Raga Dewata merupakan salah satu naskah milik Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” dengan
nomor kode koleksi 07.106. Naskah itu berasal dari Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya pada tahun
1991. Ukuran fisik naskah meliputi: (a) Kropak : 26,5 x 2,5 x 4,5 cm; (b) Lempir : 23,5 x 3,5 cm. Jumlah (a) Lempir:
25 (21 utuh; 4 tidak utuh); (b) Halaman: 50 (47 ditulisi; 3 kosong). Bahan Naskah: nipah. Tipe aksara: Gunung
atau Buda abad ke-16, model Priangan (Ciburuy, Galuh) dan Cirebon (Talaga) yang ditulis dengan tinta (Holle,
1882). Bahasa: Sunda Kuno. Bentuk Karangan: Prosa (Ekadjati & Darsa, 2000: 242-243).
9 Ekadjati & Darsa, 2000: 244-245.
10 Kropak 422 tercatat sebagai koleksi naskah Perpustakaan Nasional Jakarta, yang diberikan oleh Bupati Galuh
R.A.A. Kusumadiningrat. Kropak ini berasal dari Kabuyutan Kawali, Ciamis yang ditulis dalam aksara dan bahasa
Sunda Kuna. Beradasarkan tempat temuannya, diduga naskah ini ditulis ketika Kerajaan Sunda beribukotakan di
Kawali pada abad 14-15 Masehi (Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 15-17: Ayatrohaédi, Tien Wartini, dan Undang
A. Darsa, 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Alih Aksara dan Terjemahan. Bandung: Departemen
UADarsa-FIBU-1432014
3
jatiniskala (kemahagaiban sejati). Buana sakala adalah alam nyata sebagai tempat tinggal
manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat diindra. Buana niskala adalah alam gaib
sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia,
seperti dewa-dewi, bidadari-bidadari, apsara-apsari, dan sebagainya, serta berkedudukan lebih
tinggi dari manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan terdiri atas surga dan neraka.
Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya.
Penghuninya adalah Dzat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, Dzat Maha Pencipta
yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Dzat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling
tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas11.
Tabel 1: Alam Semesta menurut Naskah Kropak 422
Jagat Semesta
Susunan
Ruang
Tempat Hunian
Jatiniskala
(Kemahagaiban Sejati,
Kahyangan)
Ø
Sang Hyang Manon atau Si Ijunajati
Nistemen.
Niskala (Alam Gaib)
Surga
Makhluk gaib: dewa-dewi, bidadara-
bidadari, apsara-apsari, dan rokh-rukh
halus.
Neraka
Manusia yang tidak menjalani ajaran
Sanghyang Manon
Sakala (Alam Nyata,
Dunia)
Ø
Manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk
lainnya.
Sebagaimana teks naskah tersebut, jagat langitan digambarkan tidak jauh berbeda
dalam teks naskah Sri Ajnyana baris 360-400; dan 470-106512. Setelah meninggalkan bumi,
raga mereka yang bercahaya bagaikan kunang-kunang tiba di alam pertama yaitu angkasa, alam
tengah antara langit dan bumi. Setelah itu, sampai ke Sanghiyang Limur (surga di dalam
kabut), Yogadita (surga Hyang Mega), Taranggana (surga Hyang Bintang). Tahap selanjutnya
tiba di Sadinem (surga Hyang Wulan), Gerehananda (surga Hyang Rahu). Setelah melewati itu,
mereka menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit, dan
akhirnya menaiki tangga emas kencana di istana Pancamirah.
Setingkat di atasnya terdapat kahyangan di keempat wilayah, yaitu timur, selatan,
barat, dan utara. Kahyangan timur, ditempati oleh Isora Guru yang disebut Jambudrasana,
meru bertiang perak, tempat tujuan pertapa sejati. Kahyangan selatan ditempati oleh
Brahmaloka, meru beratap tembaga. Kahyangan ini adalah tempat bagi orang-orang yang
melaksanakan janjinya dan orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar. Kahyangan
barat tidak bernama, meru beratap emas ini menjadi tujuan orang-orang yang memberikan
bantuan amal (dana punya). Akhirnya, kahyangan utara disebut utarapada, meru tumpang
tiga, tempat tujuan para pahlawan perang. Setelah melewati tempat itu, menyusuri jalan raya
yang lurus ke langit kencana yang disebut sorga kancana dan bumi kancana. Jalan yang dibatasi
oleh barisan pepohonan dan perdu, melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing,
jembatan-jembatan, dari satu ke lain tangga. Wewangian semerbak rupa-rupa bunga di
sepanjang jalan mengiringi perjalanan hingga tiba di surga kencana, tempat Sri Ajnyana
sebelum diturunkan ke bumi.
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda.
11
Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 24-26.
12 Naskah Sri Ajnyana adalah salah satu naskah kajian Noorduyn dalam Kropak Jakarta, nomor 625. Naskah ini
berbahasa Sunda kuna, dan tidak bernama. Kemudian Noorduyn memberi nama Sri Ajnyana sesuai dengan
tokoh dalam naskah tersebut, dan dibukukan dalam Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese
Poems. KITLV, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A.
Darsa, dalam Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2009, hal. 260-277.
UADarsa-FIBU-1432014
4
Setelah beranjak dari situ, Sri Ajnyana pergi dan melintasi berbagai kahyangan. Dia
melintasi keempat jagat (caturloka), kemudian buana Meukah bernama surga Siak. Naik
setingkat dari sana, sampai ke Sanghiyang Lengis, tempat tinggal Manondari dan Puah
Nilasita, istri Hyang Surugiwa yang mati mengorbankan diri. Setelah itu, tiba di Sangkan
Herang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (dewi padi), kemudian tiba di Sari Dewata tempat
tinggal Wiru Mananggay, Manarawang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (lain) dan Dewi
Satiawati. Setelah meninggalkan tempat-tempat di kahyangan, Sri Ajnyana melalui Budi Keling
dan Rahina Sada tiba di Rahina Wengi kediaman Puah Lakawati. Untuk kemudian turun ke
bumi, tiba di dunia dan sampai ke Mandala Singkal, pertapaan tempat tinggal sebagai manusia.
Secara garis besar uraian alam semesta dalam naskah itu sebagaimana tabel berikut.
Tabel 2: Alam Semesta dalam Sri Ajnyana
Jagat Semesta Susunan Ruang Tempat Hunian
Niskala
(Kahyangan)
Bumi Kancana
(Manarawang)
Sanghiang Sri dan Dewi Satiawati
Sari Dewata
Wiru Mananggay, nu watek titiagian
meyet manéh mo lakian
Sangkan Herang, Sanghiang Sri (Dewi Bumi),
Sanghiyang Lengis
Manondari; Puah Nilasita istri Sang
Surugiwa
Buana Meukah
(Surga Siak)
Ø
Catur Loka Ø
Surga Kancana Ø
Angkasa (Alam
Tengah Antara
Langit dan Bumi)
Kahyangan Jagat
Utara: Meru Tumpang Tiga;
Timur: Meru Bertiang Perak, disebut
Jambudrasana tempat tinggal Isora
Guru;
Barat: Meru Beratap Emas
Selatan: Meru Beratap Tembaga,
disebut Kahyangan warna merah,
tempat tinggal Batara Brahma.
Istana Pancamirah Ø
Sadinem Hyang Wulan
Gerehananda Hyang Rahu
Sanghiyang Limur Hyang Kabut
Yogadita Hyang Mega
Taranggana Hyang Bintang
Sakala
(Alam Nyata)
Ø Tempat tinggal manusia
Teks naskah Sang Hyang Hayu13 diawali dengan seruan Sang Pembicara kepada para
pendengarnya, khususnya kepada para pencari ilmu pengetahuan supaya dapat menyimak
secara sungguh-sungguh mengenai pokok cerita dari ajaran suci yang dituturkan seorang
mahaguru (wiku). Pembicaraan diawali dengan asal mula penciptaan terjadinya para dewa
golongan Siwais (Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa) maupun golongan Resi yang
dikenal dengan istilah Pancakusika (Kusika, Garga, Mestri, Kurusya, dan Patanjala), aneka
ragam Buda, dan termasuk ruh-ruh jahat (yaksa ‗raksasa jahat setengan dewa‘, pisaca ‗kuraci,
setan‘, prata ‗hantu‘, buta ‗raksasa rakus‘ pitara ‗arwah leluhur gentayangan‘).
Menurut tuturan para leluhur, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan,
yaitu: (1) susunan dunia bawah, saptapatala ‗tujuh neraka‘, (2) buhloka adalah bumi tempat
13
Darsa, Undang A. 1997. Sang Hyang Hayu. Tesis Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
UADarsa-FIBU-1432014
5
kita berada saat ini yang disebut madyapada; dan (3) susunan dunia atas, saptabuana atau
buanapitu ‗tujuh sorga‘. Jadi, di antara saptapatala dan saptabuana disebut madyapada,
yakni pratiwi ‗dunia tempat manusia‘.
Saptapatala itu susunan bentuknya bagaikan kerucut tengadah, yang terdiri atas tujuh
neraka: patala, nitala, sutala, talantala, talaningtala, mahatala, dan atyanta artapatala
‗neraka terdalam yang sangat mengerikan‘. Sedangkan susunan Saptabuana atau Buanapitu
menyerupai keadaan sarang lebah berbentuk labu, terdiri atas tujuh loka ‗ruang lepas-bebas‘,
yakni: buwahloka, suwahloka, janahloka, tapwaloka, satyaloka, mahaloka, dan atyanta
artaloka ‗sorga tertinggi‘.
Setelah saptabuana masih ada tempat tujuh susun yang bersuasana kasunyian ―sunyi-
hampa‖, yaitu sunya, atisunya, paramasunya, atyantasunya, nirmalasunya, suksmasunya,
dan acintyasunya. Di atasnya lagi adalah tujuh susun yang berupa tempat taya ―kesirnaan-
lenyap‖, yaitu taya, atitaya, paramataya, atyantataya, nirmalataya, suksmataya, dan
acintyataya.
Kemudian, di atas tempat tersebut masih ada tempat yang dinamakan abyantarataya
‗bagian terdalam kesirnaan‘. Abyantarataya artinya tidak dapat terjangkau oleh cahaya
bintang, rembulan, matahari, pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar,
guruh, guntur, meteor, paramanuh ‗partikel-partikel kecil, atom‘, dan berbagai suara mahluk
hidup. Semua itu tidak akan pernah sampai ke sana.
Setelah abyantarataya adalah pancatanmantra ‗unsur halus‘ yang terdiri atas buddi
‗bijak‘, guna ‗pandai‘, pradana ‗saleh‘. Di atas itu terdapat sunyataya nirmala
‗kesunyisenyapan suci abadi‘; dan berakhir pada tingkat kanirasrayan ‗kemahakuasaan atau
kebebasan tertinggi‘, yakni ―takdir‖. Susunan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3: Alam Semesta menurut Sang Hyang Hayu
Susunan Alam Susunan Ruang Bagian Ruang
Saptabuwana atau
Buwanapitu (Tujuh
Surga)
(7) Kanirasrayan, artinya ruang
‗kemahakuasaan atau
kebebasan tertinggi‘, yaitu
―Takdir‖
Ø
(6) Sunyatayanirmala, artinya
ruang ‗kesunyisenyapan suci
abadi‘
Ø
(5) Pancatanmantra, artinya
ruang buddi ‗bijak‘, guna
‗pandai‘, pradana ‗saleh‘
Ø
(4) Abyantarataya, artinya ruang
yang tidak dapat terjangkau
oleh cahaya: bintang,
rembulan, matahari; pelangi,
bianglala, kabut, asap, awan,
hujan, petir, halilintar, guruh,
guntur, meteor, paramanuh
‗partikel-partikel kecil, atom‘;
dan berbagai suara mahluk
hidup.
Ø
(3) Taya
(Ruang Kesirnaan)
(7) Acintyataya
(6) Suksmataya
(5) Nirmalataya
(4) Atyantataya
(3) Paramataya
(2) Atitaya
(1) Taya
UADarsa-FIBU-1432014
6
(2) Kasunyian
(Ruang Kesunyian-
Kehampaan)
(7) Acintyasunya
(6) Suksmasunya
(5) Nirmalasunya
(4) Atyantasunya
(3) Paramasunya
(2) Atisunya
(1) Sunya
(1) Loka (Ruang Lepas-Bebas)
(7) Atyantaartaloka
(6) Mahaloka
(5) Satyaloka
(4) Tapwaloka
(3) Janahloka
(2) Suwahloka
(1) Buwahloka
Buhloka atau
Madyapada
(Dunia Tempat Tinggal
Manusia)
Ø Ø
Sapta Patala
(Tujuh Neraka).
(1) Patala Ø
(2) Nitala Ø
(3) Sutala Ø
(4) Talantala Ø
(5) Talaningtala Ø
(6) Mahatala Ø
(7) Atyanta Artapatala (Neraka
yang sangat mengerikan).
Ø
Teks naskah Sewaka Darma14 — isi Kawih Panyaraman menurut SKK ─ lebih
menekankan keadaan di dunia atas. Teks ini berisi pengajaran keagamaan tempat Sang Séwaka
Darma sering muncul sebagai murid yang harus diberi tuntunan perihal segala sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan dan kematian. Dibicarakan pula nilai-nilai moral dan etis serta
berbagai hal yang terdapat di dunia, dan di alam kesorgaan juga tentang kosmologis. Pendek
kata, isinya sarat dengan ajaran mistis religio-filosofis dari koalisi tradisi lokal Sunda dengan
konsep-konsep Hindu Budha15.
Sebagai sebuah teks tutur dalam bentuk puisi Sunda Kuno, teks SD berbicara
mengenai pengajaran guru kepada murid. Ada dua bagian utama yang digambarkan dalam teks
ini setelah terlebih dahulu diawali tujuh larik pembukaan. Dalam paruh pertama tokoh utama,
Sang Séwaka Darma adalah seorang murid yang menerima berbagai wejangan keagamaan dan
moral dari seorang guru, yang dinamakan pandita, mahapandita, déwatakaki, atau sang
nugraha ‗yang menyampaikan anugerah‘, juga petuah-petuah tentang nasib buruk yang
menunggunya apabila ia mengabaikan petunjuk-petunjuk itu. Dengan demikian, ingetkeun na
dasasila, iseuskeun na panycasaksi ‗ingatlah tentang dasasila, camkanlah dalam pancasaksi‘
(0016-0017). ‗Apabila salah dalam perilaku, buruk itikad dan buruk pikiran, iri dengki kepada
14 Lihat Darsa (2012).
15
Mengenai pembauran antara konsep-konsep Hindu dan Budha dapat disimak pula, antara lain dalam teks
Poernawidjaja’s Hellevaart of de Volledige Verlossing ‘Perjalanan Suci Purnawijaya atau Pembebasan
Sepenuhnya’ (Pleyte, 1914), sebuah teks naskah Sunda Kuno yang diduga merupakan adaptasi dari teks Jawa
Kuno Kuñjarakarņa yang berasal dari wilayah Jawa Barat (Kern,1922: 1-76; Zoetmulder, 1983: 470-478; van der
Molen, 1983). Bosch (1928) menyatakan hal semacam ini sebagai “sinkretisme”, namun Gonda (1970)
menyarankan supaya digunakan istilah “koalisi” yang berdenotasi memperjuangkan tujuan akhir yang sama
lewat jalan berbeda. Hal ini tampak dalam teks yang tengah dihadapi peneliti sekarang pun menunjukkan
adanya perbauran konsep-konsep Hindu dan Budha ke dalam tradisi Sunda. Hal-hal yang sama antara satu
dengan yang lain itu ialah berupa konsep tentang prinsip tertinggi dengan berbagai manifestasinya. Jadi biarpun
jalan-jalan yang ditempuh tampaknya berbeda-beda, tetapi akhirnya puncak yang sama bisa dicapai.
UADarsa-FIBU-1432014
7
orang lain, sampai-sampai meneluh dan meracuni, mengguna-gunai dan menyakiti hati, setiap
yang mendorong tekad jahat, apalagi benar-benar berdusta, membunuh orang-orang budiman,
menuntut yang tidak berdosa. Itulah yang disebut kejahatan sesungguhnya (0045-0054). Maka
dingatkan: Mulah sia jajamuga, kéna éta na drebya, kéna ti inya sangkanna, sangkan suka
saka duka, mula hala lawan hayu, uit pati lawan hurip, tangkal sorga lawan papa ‗Jangan
sampai engkau sukses, jika itu semata-mata karena harta, sebab dari situlah asalnya, sumber
kesenangan dan pangkal derita, awal keburukan dan kebajikan, jembatan kematian dan
kehidupan, sumber kebahagiaan dan kesengsaraan‘ (0062-0068). Intinya berisi berbagai ajaran
atau petunjuk untuk menghindarkan diri dari segala godaan perilaku yang tidak sesuai dengan
norma kehidupan duniawi. Bagian teks berikutnya ialah mengenai paparan atau pelukisan
perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan
kehidupan duniawi.
Pemaparan hal dimaksud diawali ketika sang murid diberi tahu bahwa sekarang tiba
saatnya bertemu di ambang maut. Terlihat jelas perbatasan, dan terdengar bertalu-talu
pertanda sudah sampai waktunya bayu-sabda-hedap ‗tenaga-kata-pikiran‘ hendak
meninggalkan tempat. Ketika: jalan anggeus dicaangan, dora anggeus dibukakeun ‗jalan
sudah diterangi, gerbang sudah dibukakan‘ (0546-0547), barulah samecat Sanghiang Atma,
sadiri na ti kurungan (0550-0556) ‗atma lepas dari jasad‘. Tiga serangkai bayu-sabda-hedap
ini termasuk salah satu rangkaian yang disebut ―tiga rahasia‖ dalam SHH. Sebutan itu
mengisyaratkan ketiganya sangat halus, sangat pelik, samar-samar dan sulit ditangkap.
Ketiganya adalah kekuatan hidup yang amat halus yang menyebabkan adanya berbagai
kenyataan. Ketiga unsur halus yang lepas itu sangat besar pengaruhnya bagi jiwa. Jiwa yang
telah kehilangan tiga unsur itulah yang disebut atma, juga biasa disebut sukma, yakni roh
murni.
Bayu mengandung makna yang amat luas. Bayu tidak terbatas tempatnya. Bayu
adalah segala daya yang terasa dan teraba. Dalam pada itu, salah satu hal penting mengenai
sabda ialah ada sabda yang tersembunyi di dalam sabda itu sendiri. Artinya, ada sabda sama
halnya dengan tidak ada sabda. Sabda seperti juga bayu, mengisi seluruh mahluk dan jagat
semesta. Sabda merupakan pembuka tabir rahasia karena dengan sabda dapat menamai segala
apa yang tampak dan terdengar, yang terasa dan teraba, pemasti dunia yang nyata dan yang
tidak nyata, sarana perjanjian di alam semesta; dan sabda tidak akan pernah berkurang
meskipun mahluk bertambah. Hedap juga seperti bayu dan sabda, tanpa batas. Hedap itu
ketika digunakan untuk: melihat keluar dari mata, mendengan keluar dari telinga, mencium
keluar dari hidung, merasa keluar dari lidah, dan meraba keluar dari kulit. Hedap pulalah yang
membuat sesuatu hadir dan sirna dalam mimpi. Kasar dan lembutnya bayu sabda hedap dapat
diketahui. Kasarnya bayu karena bisa dimasukkan, dikeluarkan, dan ditahan di hidung;
lembutnya bayu tak terpegang. Kasarnya sabda adalah apa saja yang bisa terdengar,
terucapkan, dan tertahan; lembutnya sabda karena tak terlihat. Kasarnya hedap dapat
digunakan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa; lembutnya hedap tak
pernah kesulitan ke mana pun pergi serta begitu cepat sampai ke tujuan, tak berbekas, dan tak
bersisa.
Makanya tatkala atma terbebas dari ketiga unsur itu disimbolisasikan berkilau
bagaikan emas pindah, bagaikan kunang-kunang terbang, bagaikan pelangi muncul, bagaikan
panah melesat naik, tiada yang menghalang-halangi. Adapun yang disebut persimpangan, tiada
lain dari tujuh jalan mendaki, simpangannya bercabang lima, jalan yang sama lebarnya.
Berbagai marabahaya telah terlangkaui atma, bahkan penjaga gerbang neraka, Sang Yama tiba-
tiba menyembah melihat atma berlalu menuju alam kesorgaan. Tidak kesulitan atma
menempuh jalan besar tanpa hambatan yang jejak sapunya masih rapi. Bunyi burung tekukur,
perkutut, dan burung jalak telah membuatnya segar dan terhibur.
Penggambaran mengenai keadaan alam menjelang atma naik melewati berbagai
lapisan aras langitan ini dikembangkan melalui deskripsi panjang (0582-0900) dengan penuh
pesona aneka ragam tanaman bunga16 yang tidak kurang dari empat puluh jenis. Setelah
16
Bunga tampaknya telah sejak lampau dijadikan tradisi sebagai lambang kesucian dan lambang ketulusan hati
sanubari yang diwarisi dan diwariskan turun-temurun.
UADarsa-FIBU-1432014
8
menyebut aneka bunga, dilukiskan bangunan yang tiangnya bertaburkan intan permata
mengelilingi jalan, tentu saja lengkap dengan bunga warna-warni yang cerah kemerahan,
diperindah dengan saluran air berjajar, nyatanya parit-parit yang mengapit tiap-tiap tepi
pertamanan. Tidak mengherankan bila aroma aneka ragam bunga itu memikat berbagai jenis
kumbang dan tawon. Gaungan serta dengungan kumbang dan tawon itu laksana menciptakan
bunyi alunan paduan suara beragam alat musik yang harmonis. Petit saron bertautan dengan
suara gong dan tambur, suara dram turut mengembang, suara lembut tarawangsa, suara kecapi
menyenangkan, suara kukuran besar, suara calintuh17 di laut. Semua bergema di sekitar telaga
tenang yang berada di lokasi yang tertata rapi. Tanah pedataran diberi batas, ada ngarai diberi
jembatan, tanah miring diberi titian, tanah berbukit dibuat tangga-tangga. Harum wewangian
pun memenuhi udara perjalanan atma ke tingkat-tingkat alam kesorgaan.
Di lokasi air pensucian berupa pancuran tembaga dengan gayungnya berupa mangkuk
perak, sang atma dimandikan, dikeramasi, dan disucikan dari dasamala ‗sepuluh noda‘. Lalu ia
dipangku duduk di kursi dalam sebuah bangunan emas oleh ibunda nan penuh kasih, perintah
dari kahyangan. Bangunan itu terbuat dari aneka ragam logam pilihan dengan beragam motif
ukiran yang dilengkapi serba macam hiasan permata. Di situ, sang atma berganti pakaian,
dihias indah diolesi wewangian sehingga kembali ke rupa sejati. Inilah sebuah anugerah nyata
bagi nu tuhu mangun hayu, laksana miguna tapa, nuturkeun saur nu tuhu, mapay sabda nu
bisa, kéna tutur kawastuanana ‗yang setia berbuat kebaikan, berhasil melaksanakan tapa,
mengikuti nasihat yang benar, menuruti perkataan orang mengerti, karena berisi tutur
kebenaran‘ (0833-0837). Segala macam gogaan sudah tak akan mempan menerjang sang atma,
betapapun datang para bidadara ataupun bidadari dengan aneka ragam hiasan pakaian serba
indah yang mereka kenakan, pahi nanggeuy jurung omas, teherna mawa aisan ‗sambil
menating lempengan emas, kemudian membawa gendongan‘ (0866-0867). Yang jelas semenjak
berada di tempat ini, sang atma diaping bisikan lembut sang ambu utusan dari kahiangan
menjelang perjalanan berikutnya menuju lapisan aras langitan. Intinya, ia mesti menghindari
beragam pesona bentuk keindahan dan kesenangan keduniawian di masa lalu, di alam sakala.
Dengan kemampuan mengendalikan serta menahan segala hasrat maka ia akan nyaman dan
ringan sehingga terbebas lepas dari ketidaksempurnaan.
Barulah setelah itu sang atma beranjak naik ke alam kesorgaan pertama lewat pelangi
nyelinap ke matahari lalu digapainya tangga emas menuju tingkat-tingkat aras langitan. Sang
atma tiba di wekas ning sabda ‗alam kesirnaan suara‘, batas antara siang dan malam. Lewat
setingkat dari situ, ia tiba di caturloka, empat tempat bersemayamnya para dewa pelindung
jagat, tempat yang terang-benderang sehingga terlihat arwah para leluhur. Di timur, Batara
Isora dengan kahyangan perak putih, tujuan yang lulus tapa. Di utara, Batara Wisnu dengan
kahyangan pagoda hitam, tujuan yang sempurna perbuatannya. Di barat, Batara Mahadewa
dengan kahyangan pagoda kuning, tujuan kaum pahlawan perang berani mati. Di selatan,
Batara Brahma dengan kahyangan warna merah, tempat para penghuni neraka yang suka
memperbudak dan menyengsarakan orang. Di tengah, Batara Siwa dengan kahyangan baranang
siang, tujuan mereka yang suka beramal shaleh serta mengamalkan budi pekertinya.
Lewat setingkat dari situ, sang atma tiba di Sanghiang Lengis, kahyangan licin serba
mengkilap yang dihuni oleh Manondari, Dewi Nyanawati, dan Pwah Nilasita. Kita kenal tokoh
Manondari isteri Rawana dan Nilasita isteri Sugriwa dalam teks naskah lontar Sunda Kuno yang
memuat kisah putera Rama dan Rawana atau yang lebih dikenal dengan Pantun Ramayana. Di
sinilah sorga para isteri setia kepada suami yang tidak mau berbuat ingkar. Sang atma naik ke
tingkat berikutnya, namanya Sangkan Hérang, sumber kejernihan tempat Sang Sri Dewi
Pertiwi. Tokoh inilah yang biasa dikenal dalam mitos lokal Sunda dengan sebutan Nyi Pohaci
Sanghiyang Sri sebagai dewi bumi yang dipercaya kuat dalam urusan pertanian. Setingkat
berikutnya yang dilalui sang atma adalah Saridéwata kediaman Wiru Mananggay, Pwah
Lakawati, dan Pwah Sekar Dewata. Inilah mahligai para wanita pertapa yang memantapkan
dirinya tak bersuami karena bertepuk sebelah tangan. Penjelajahan sang atma naik setingkat
17
Batang bambu yang ruasnya dilubangi agar berbunyi bila tertiup angin; hingga sekarang masih bisa kita saksikan
di bukit-bukit perladangan masyarakat Kanekes, Baduy.
UADarsa-FIBU-1432014
9
lagi ke Wekasning Caang, artinya siang selama-lamanya, siang yang abadi, tempat para pertapa
perempuan yang shalehah.
Setingkat dari situ lalu sampailah sang atma ke Bungawari, yaitu penghujung langit
terluar, lereng tuntas kebebasan, gerbang buntu kehampaan, namanya Puncak Angkasa,
cakrawala jagat raya, tempat yang bersinar tanpa api, yang menyala tak terpadamkan. Di sini,
Pwah Sanghiyang Sri tinggal bersama Pwah Kamadewi, Dayang Terusnawati, dan Pwah Naga
Nagini, juga Pwah Soma Adi sebagai dewa bulan. Pendakian sang atma ke puncak angkasa ini
melalui jalan yang beralas aneka manik permata, dipasangi tangga emas hingga tiba di Bumi
Kancana yang abadi menyala-nyala, tempat tinggal para pertapa setia yang penuh kasih, yang
berhasil melaksanakan ajaran. Di situlah sang atma disambut Dzat Maha Kuasa dalam suasana
penuh haru walau hanya lewat tegur sapanya yang lembut nan penuh kasih sayang dari balik
layar kemahagaiban: Anaking Sanghiang Atma, mana cunduk mara daréyuk, mana datang
mara diundang, nu tuhu teher laksana, ageung teher hérang tineung. Mana na cunduk ka
puhun, mana na datang ka tangkal, mana na nepi ka jati, mana na deuheus ka anggeus,
datang ka ambu ka ayah (1100-1109) ‗Anakku Sanghiyang Atma, makanya tiba silakan pada
duduk, makanya datang memang diundang, yang setia juga rupawan, terhormat lagi pula jernih
pikir. Maka kini tiba kepada leluhur, maka kini datang kepada nenek moyang, maka kini sampai
ke asal, maka kini sampai ke tuntas, datang kepada ibu dan ayah‘.
Tak ada lontaran jawaban yang keluar dari sang atma sebagaimana biasanya
dilakukan kepada mahapandita atau kepada déwatakaki. Yang jelas, ia kini telah mencapai
suasana alam: suka tan pabalik duka, wareg tan pabalik lapar, hurip tan pabalik pati, sorga
tan pabalik papa, hayu tan pabalik hala, nohan tan pabalik wogan, moksa leupas tan pabalik
wulat ‗suka tanpa kembali duka, kenyang tanpa kembali lapar, hidup tanpa kembali maut,
bahagia tanpa kembali derita, baik tanpa kembali buruk, pasti tanpa kembali kebetulan, lepas
sempurna tak nampak kembali‘ (1110-1116). Inilah gambaran di aras langitan terakhir
pengembaraan sang atma, totog ka Jatiniskala ‗mentok di alam maha gaib sejati‘, tempat
hunian Dzat Tunggal Maha Kuasa pencipta batas tapi tak terkena batas. Sang atma terhindar
dari para leluhur, hilang dari Yang Nirwujud, pada kesirnaan yang tak terjangkau pikiran, pada
hening tanpa dengar, yang halus tanpa kurungan, dalam lepas tak berbaur. Itulah yang disebut
moksa ‗lepas sempuna secara hakiki‘.
Dengan lain perkataan, di situlah atma ada setelah hilangnya bayu-sabda-hedap.
Bayu-sabda-hedap menjadi kunci untuk membuka misteri sang atma sebagai roh murni yang
teramat halus. Tidak seperti kunci pada umumnya, ini kunci hanya berguna kalau hilang. Pintu
setiap tangga pendakian terbuka setelah kuncinya hilang. Begitu masuk, ia tidak akan kembali.
Bukan karena tidak ingin atau tidak bisa, tapi karena kata ingin dan bisa tidak ada lagi. Itulah
sebuah pengembaraan untuk hilang, bukan untuk pulang. Tan pabalik, begitulah ungkapan
yang dimunculkan teks SD yang berarti ‗tidak akan kembali‘. Hanya itulah kata kunci bagi yang
telah menemukan hakikat darma, yang tercapai oleh Sang Séwaka Darma. Untuk lebih jelas
mengenai gambaran tersebut dapat dilihat tabel berikut.
Tabel 4 : Alam Semesta menurut teks Sewaka Darma
Jagat Semesta Susunan Ruang Tempat Hunian
Jatiniskala ‗Alam
Mahagaib Sejati‘
Ø
Tempat hunian Dzat
Tunggal Maha Kuasa,
pencipta batas yang tak
terkena batas, yakni, Sang
Hyang Tunggal.
Niskala ‗Alam Gaib‘
(Kahyangan)
(7) Bungawari ‗Penghujung
langit terluar, lereng
tuntas kebebasan,
gerbang buntu
kehampaan, namanya
Puncak Angkasa,
cakrawala jagat raya,
Di sini, Pwah Sanghiyang
Sri tinggal bersama Pwah
Kamadewi, Dayang
Terusnawati, dan Pwah
Naga Nagini, juga Pwah
Soma Adi sebagai dewa
bulan. Tokoh Pwah
UADarsa-FIBU-1432014
10
tempat yang bersinar
tanpa api, yang menyala
tak terpadamkan‘.
Pendakian sang atma ke
puncak angkasa ini
melalui jalan yang beralas
aneka manik permata,
dipasangi tangga emas
hingga tiba di Bumi
Kancana yang abadi
menyala-nyala, tempat
tinggal para pertapa setia
yang penuh kasih, yang
berhasil melaksanakan
ajaran. Di situlah sang
atma disambut Dzat
Maha Kuasa dalam
suasana penuh haru
walau hanya lewat tegur
sapanya yang lembut nan
penuh kasih sayang dari
balik layar kemahagaiban.
Sanghiyang Sri inilah yang
biasa dikenal dalam mitos
lokal Sunda dengan
sebutan Nyi Pohaci
Sanghiyang Sri yang
dipercaya penuh dalam
urusan pertanian.
(6) Wekasning Caang
‗Kahyangan siang selama-
lamanya, siang nan abadi‘
Tempat para pertapa
perempuan yang shalehah.
(5) Saridéwata ‗Hakikat
Kedewataan‘
Kediaman Pwah Wiru
Mananggay, Pwah
Lakawati, dan Pwah Sekar
Dewata. Inilah mahligai
para wanita pertapa yang
memantapkan dirinya tak
bersuami karena bertepuk
sebelah tangan.
(4) Sangkan Hérang ‗Sumber
Kejernihan‘
Tempat Sang Sri Dewi
Pertiwi atau Dewi Bumi.
(3) Sanghyang Lengis
‗Kahyangan licin serba
mengkilap‘
Tempat Manondari, Dewi
Nyanawati, dan Pwah
Nilasita. Sorga para isteri
setia kepada suami yang
tidak mau berbuat ingkar.
(2) Caturloka ‗Ruang
bergerbang empat tempat
bersemayamnya para
dewa pelindung jagat,
tempat yang terang-
benderang sehingga
terlihat arwah para
leluhur‘.
Gerbang Timur, Batara
Isora dengan kahyangan
perak putih, tujuan yang
lulus tapa. Gerbang Utara,
Batara Wisnu dengan
kahyangan pagoda hitam,
tujuan yang sempurna
perbuatannya. Gerbang
Barat, Batara Mahadewa
dengan kahyangan pagoda
kuning, tujuan kaum
pahlawan perang berani
mati. Gerbang Selatan,
Batara Brahma dengan
kahyangan warna merah,
UADarsa-FIBU-1432014
11
tempat para penghuni
neraka yang suka
memperbudak dan
menyengsarakan orang. Di
tengah, Batara Siwa
dengan kahyangan
baranang siang atau aneka
warna nan gemerlap,
tujuan mereka yang suka
beramal shaleh serta
mengamalkan budi
pekertinya.
(1) Wekasning Sabda ‗alam
kesirnaan suara, batas
antara siang dan malam‘.
Sang Atma pada
persinggahannya yang
pertama.
‗
―Alam Gerbang Perantara
Kahyangan‖. Jalannya
bersimpang 5 dan
bertangga 7 yang
dikelilingi telaga tenang
dengan lokasi nan tertata
rapi. Tanah pedataran
diberi batas, ada ngarai
diberi jembatan, tanah
miring diberi titian, tanah
berbukit dibuat tangga-
tangga.
Ø
Jiwa pada
persinggahannya yang
pertama ketika lepas dari
raga. Di lokasi air
pensucian berupa
pancuran tembaga dengan
gayungnya berupa
mangkuk perak, jiwa
dimandikan, dikeramasi,
dan disucikan dari
dasamala ‗sepuluh noda‘.
Lalu ia dipangku duduk di
kursi dalam sebuah
bangunan emas oleh
ibunda nan penuh kasih,
perintah dari kahyangan.
Semenjak berada di tempat
ini, jiwa kembali murni
menjadi Sang Atma
diaping bisikan lembut
Sang Ambu utusan dari
kahyangan menjelang
perjalanan berikutnya
menuju lapisan aras
langitan. Intinya, ia mesti
menghindari beragam
pesona bentuk keindahan
dan kesenangan
keduniawian di masa lalu,
di alam sakala.
Sakala ‗Alam Nyata atau
Alam Dunia‘
Ø
Tempat tinggal manusia
dan makhluk lainnya.
Dalam teks naskah Sanghyang Siksakandang Karesian18, paparan kahyangan para
dewa lokapala (pelindung dunia), disesuaikan dengan kedudukan mata angin dengan warna
masing-masing yang disebut Sanghiyang Wuku Lima di Bumi, yaitu Isora bertempat di
18 Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian tercatat sebagai koleksi Perpustakaan Nasional dengan nomor
inventaris Kr. 630. Naskah daun nipah itu ditulis menggunakan pena bertinta hitam, berbahasa Sunda kuno.
Selesai ditulis dalam tahun saka Saka nora catur sagara wulan (1440 Saka/1518 Masehi).
UADarsa-FIBU-1432014
12
kahyangan timur (Purwa), putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat tinggal Hyang
Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat tempat tinggal Hyang Mahadewa, kuning
warnanya. Utara tempat tinggal Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat
Hyang Siwa, aneka macam warnanya. Paparan kahyangan ini tidak jauh berbeda dengan teks
naskah Sewaka Darma. Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian menyatakan bahwa
moksa adalah keadaan jiwa yang berhasil memasuki kahyangan, dan dengan tegas
membedakan surga (tempat dewa) dengan kahyangan (tempat Hyang). Masuk surga disebut
munggah, sedangkan masuk kahyangan disebut moksa atau luput.
Dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik bait 1455- 175519 — beberapa lempir lonrat
hilang sehingga menjadi tidak jelas — paparan kahyangan tidak jauh berbeda dengan paparan
kahyangan dalam teks naskah Sewaka Darma. Ketika raga memasuki jagat maut, sukma
mengecil menjadi setara dengan para dewa, tiba di bentang jalan terbuka menuju taman bunga.
Setelah melewati pemeriksaan Dorakala, penjaga gerbang kesorgaan yang bertanya pada jiwa
murni (atma), dia menunjukkan jalan menuju surga (kasorgaan). Kemudian atma akan
diterima dengan upacara resmi melalui serangkaian upacara dimulai dari atma yang diangkut
oleh kereta putih yang sarat dengan hiasan diiringi berbagai irama tetabuhan surga. Keindahan
ranah surgawi digambarkan dengan istilah-istilah yang amat agung. Sanghyang Kala dalam teks
naskah BM disebut dengan Sang Dorakala, yaitu sebagai mahluk penjaga gerbang alam
saptabuana ‗kesorgaan‘, simbol perjalanan spiritual seseorang ketika mulai memasuki alam
niskala. Dalam hubungan ini dapat disimak sebuah gambaran proses kematian, yakni
berpisahnya ruh melepas raga untuk menuju ke gerbang alam gaib. Gambaran yang dimaksud
tampak dalam kutipan teks naskah BM baris 1432 hingga baris 1564 berikut ini.
Awak eukeur beurat pading, eukeur meujeuh ngarampésan. Lamun bulan lagu tilem,
panon poé lagu surup, beurang kasedek ku wengi, tutug tahun pantég hanca, nu pati di
walang suji, nu hilang di walang sanga, awak nyampay ka na balay, mikarang hulu
gegendis, paéh nyanghulu ka lancan. Pati aing hanteu gering, hilang tanpa sangkan lara,
mecat sakéng kamoksahan. Diri na aci wisésa, mangkat na sarira ageung, ngaloglog
anggeus nu poroc. Atma mecat ti pasambung, aci mecat ti na atma, pahi masah
kaleumpangan. Ragaing nyurup ka petra, kaliwara jadi déwa, pasambung nyurup ka
suwung. Atmaing dalit ka lentik, sarua deungeun déwata. Tuluy nyorang jalan caang,
neumu jalan gedé bongbong. Unggal sampang dilamburan, laun lebak dicukangan,
sumaray ditatanggaan, maléréng dipasigaran. Tapak sapu bérés kénéh, barentik marat
nimurkeun. Golang-golang situ mungkal, patali patalumbukan. Di tengah bantar
ngajajar, hanjuang sasipat mata, handeuleum salaput hulu, handong bang deung
handong, „haat di janma sajagat, bihari basa ngahanan, masa di madiapada‟. ‗Badan
sedang masanya dikubur, sedang saatnya menuju keindahan. Bagaikan bulan menjelang
tenggelam, matahari menjelang terbenam, siang terdesak malam, tutup tahun bertemu ajal,
yang mati di walangsuji, yang meninggal di walangsanga, badan bersandar pada balay20,
kepala berbantalkan selendang, meninggal menghadap lawan. Kematianku tanpa sakit,
meninggal bukan karena derita, melesat menuju kebebasan. Saat kepergian sang sukma,
keluar dari raga kasar, copot sesudah yang terakhir, Sukma lepas dari ikatan, ruh lepas dari
sukma, sama-sama lepas dan pergi. Ragaku lebur ke kubur, tak ternoda jadi dewa,
nyambung lebur ke kehampaan. Sukmaku menyatu ke kegaiban, sama seperti leluhur.
Selanjutnya menempuh jalan terang, menemukan jalan besar terbuka. Tiap persimpangan
disediakan bangunan, tiap lembah dipasang jembatan, yang curam dipasangi tangga, yang
miring dibuatkan titian. Bekas sapu masih nampak jelas, lengkungannya mengarah ke barat
timur. Ngalir berputar telaga batu, saling kait bertumpukan. Kembang patah cumaréntam,
Rangkaian bunga semarak warnanya, nambuluk apuy-apuyan, gemerlap menyala-nyala.
19 Naskah Kisah Bujangga Manik adalah salah satu naskah kajian awal J. Noorduyn dalam naskah yang tersimpan
pada koleksi Bodleian di Oxford. Naskah ini berbahasa Sunda kuno, yang diedit dengan bantuan Undang A.
Darsa tahun 2000 kemudian diterbitkan dalam. J.Noorduyn & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems.
KITLV, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa,
dalam judul Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2009.
20
Dapat diartikan dipan.
UADarsa-FIBU-1432014
13
Tajur pinang pumarasi, Kebun pinang pumarasi, pinang tiwi pinang ading, pinang tiwi
pinang kuning, pinang tiwi kumarasi, pinang tiwi kumarasi, pinang ading asri kuning.
pinang kuning indah kemuning. Di tengah parit berjajar, pohon hanjuang selaput mata,
pohon handeuleum setinggi bahu, pohon handong merah dan handong, sayang kepada
manusia sejagat, dahulu ketika tinggal, pada saat di alam dunia?‘
Rakaki Bujangga Manik, ngarasa manéh ditanya. Umun teher sia nyebut, némbalan
sakayogyana, nyarék sakaangen-angen, némbalan sang Dorakala: „Mumul
mangnyarékkeun manéh, sugan bener jadi bélot, sugan rampés jadi gopél, sugan sorga
jadi papa, sugan pangrasa ku dapet, sugan pangrasa ku tembey. Mumul misaksi na
janma, pangeusi buana ini, janma di madiapada. Sariwu saratus tunggal, kilang sahiji
mo waya, janma nu teteg di carék. ‗Yang mulia Bujangga Manik, menyadari dirinya ditanya.
Lalu nyembah sambil berkata, menjawab sebagaimana layaknya, bicara sesuai dengan
nurani, menjawab kepada Sang Dorakala: ‗Malas membicarakan diri sendiri, kalau-kalau
yang benar jadi salah, kalau-kalau yang baik jadi jelek, kalau-kalau kesenangan jadi
penderitaan. kalau-kalau menurutku bisa, kalau-kalau menurutku sudah mulai. Tak mau
minta saksi kepada manusia, penghuni wilayah ini, manusia di dunia. Seribu seratus satu,
meski seorang pun takan pernah ada, manusia yang teguh akan ucapannya‘.
Réa nu papa naraka, kilang déwata kapapas, ku ngaing dipajar rényéh, ja daék milu
ngahuru, ja daék dibaan salah, ku nu dusta jurujana. Kucawali hénggan hiji: saksiing
sanghiang beurang, saksiing sanghiang peuting, candra wulan deungeun wéntang,
deungeun sanghiang pratiwi. Itu nu ngingu mireungeuh: pratiwi nu leuwih ilik, akasa
nu liwat awas, hidep nu nyaho di bener. Inya nu ngingetkeun rasa, itu nu ngingu na bayu,
éta nu milala sabda, inya nu mireungeuh tineung, nu milala tuah janma, bisa di bélot di
biner, Hénggan sakitu saksiing.‟ ‗Banyak yang menderita di neraka, bahkan leluhur pun
terbawa-bawa, kuanggap tak ada yang bisa dipercaya, sebab mau ikut bersekongkol, sebab
suka diajak salah, oleh pendusta yang jahat. Kecuali hanyalah satu: kesaksianku kepada
siang, kesaksianku kepada malam, bulan purnama bersama bintang, serta kepada bumi. Itu
semua yang memelihara keperdulian: bumi yang lebih teliti, angkasa yang sangat jeli,
pikiranlah yang mengetahui kebenaran. Yaitu yang mengingatkan perasaan, itulah yang
memelihara kekuatan, yakni yang memperhatikan ucapan, yaitu yang perduli akan ingatan,
yang memperhatikan sifat manusia, mengerti tentang yang salah dan yang benar, nyaho di
gopél di rampés. tahu tentang yang jelek dan yang baik. Hanya demikianlah kesaksianku.‘
Carék aki Dorakala: „Samapun sanghiang atma. Mungku aing mirebutan, ja na rua
mungku samar. Na awak hérang ngalénggang, na rua diga déwata, kadi asra kadi
manik. Na awak ruum ti candu, mahabara ti candana, amis ti kulit masui.‟ Kitu pamulu nu
bener, éta na kingkila sorga. ‗Jawab yang mulia Dorakala: Mohon maaf, sanghiang sukma.
Sebab aku tak akan ngambil paksa, karena dalam rupa tidak samar. Kilapan wujudmu
kemilau, dalam hal rupa mirip dewata, bagaikan mutiara dan permata. Harum tubuhmu
melebihi candu, semerbak melebihi wangi kayu cendana, manisnya lebih dari kulit masui.‘
Begitulah rupa yang sesungguhnya, itu merupakan pertanda kesorgaan‘.
Samapun sanghiang atma, rakaki Bujangga Manik, leumpang sakarajeun-rajeun, sia ka
na kasorgaan. Samungkur aing ti inya, leumpang nanjak nyangtonggohkeun, husir kéh
na taman hérang, dibalay ku peramata. ‗Mohon maaf, sahnghian sukma, yang mulia
Bujangga Manik, silakan berjalan sekehendakmu, keberadaanmu di alam sorga. Lalu aku
meninggalkan tempat itu, berjalan mendaki ke perbukitan, hendak menuju ke taman indah,
yang ditaburi permata‘.
3. Fungsi Gunung sebagai Poros Jagat, Tempat Pengamatan dan Tiang Tapal Batas
Wilayah
Pada sebagian tradisi kebudayaan di Nusantara, gunung sering-sering dipandang
memiliki pengertian simbolis sebagai poros penghubung antara makrokosmos dengan
mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Dalam pandangan demikian kehidupan
kemanusiaan ini senantiasa berada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang bersumber
pada penjuru arah mata angin, pada rasi-rasi bintang, planit-planit, dan benda-benda angkasa
UADarsa-FIBU-1432014
14
lainnya. Oleh karena itu, masyarakat tadrisional selalu berupaya menyelaraskan kehidupan
dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperoleh secara astrologis. Bukti-bukti seperti ini
sering dijumpai dalam prasasti-prasasti (inskripsi) dan episode-episode naskah-naskah kuno,
dalam gelar-gelar yang dilekatkan pada seseorang raja, dalam upacara-upacara tradisional,
dalam karya-karya seni, seperti dalam ukiran atau pahatan ornamen-ornamen, dan bentuk-
bentuk fisik suatu bangunan tertentu.
Menurut citarasa pikiran dalam kepercayaan masyarakat pada masa lalu, pada sebuah
wilayah kekuasaan biasanya mesti mempunyai sebuah gunung tertentu sebagai pusat magisna,
selain menjadi pusat tapal batas geogafis dari negeri yang bersangkutan. Sebagai poros (axis
mundi) penghubung antara jagat raya dan dunia manusia, misalnya, dikemukakan pada catatan
perjalanan Buangga Manik dalam naskah lontar Sunda Kuno abad 15 Masehi.
Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mungkal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia
nénjo gunung: itu ta na Bukit Ageung, hulu wano 21 na Pakuan (BM, baris 59-64).
‗Setibanya aku ke Puncak, duduk di atas batu datar, lalu mengipasi diri. Kemudian
diamatinya gunung-gunung: itulah yang namanya Bukit Ageung22, pusat tersakral di wilayah
Pakuan‘.
Sadatang ka Gunung Kampud, datang ka Rabut Pasajén. Éta hulu (wano) Rabut Palah,
kabuyutan Majapahit, nu disembah ku na Jawa (BM, baris 1055-1059). ‗Setibanya ke
Gunung Kampud, mampir ke Rabut Pasajen. Itulah pusat tersakral Rabut Palah, tempat suci
Majapahit, yang dikeramatkan orang Jawa‘.
Sebagai pusat pengamatan dan penentuan tapal batas wilayah geogafis, baris-baris
redaksi teks naskah Sunda Kuno yang mengisahkan perjalanan Bujangga Manik pada nomor
1176 hingga nomor 1280 memberi catatan sebagai berikut.
Sananjak ka Papandayan, ngaranna na Panénjoan. Ti inya aing nénjo gunung, déréja
dangka ri kabéh, para manuh para dangka, paningal Nusia Larang. Aing milang-melang
inya. Ti kidul na alas Danuh, ti wétan na Karang Papak, ti kulon Tanah Balawong.
‗Mendaki ke (Gunung) Papandayan, yang biasa disebut tempat pengamatan. Dari situlah
kuamati gunung-gunung, disebut satu per satu di antara semuanya, yang terlihat kecil dan
jauh, sesuai daya pandang Nusia Larang23. Aku menghitungnya satu demi satu. Mulai dari
selatan wilayah Danuh, dari timurnya ialah Karang Papak, dari arah barat adalah Tanah
Balawong‘.
Itu ta na Gunung Agung, tanggeran na Pagerwesi. ‗Itulah yang disebut Gunung Agung,
tiang tapal batas Pagerwesi‘.
Éta na Bukit Patuha, tanggeran na Majapura. ‘Itu adalah Gunung Patuha, tiang tapal batas
Majapura.
Itu Bukit Pamerehan, tanggeran na Pasirbatang. ‗Yang itu Gunung Pamerehan, tiang tapal
batas Pasirbatang‘.
Itu ta na Gunung Kumbang, tanggeran alas Maruyung, ti kalér alas Losari. ‗Itulah yang
disebut Gunung Kumbang, tiang tapal batas daerah Maruyung, dari arah utaranya ialah
daerah Losari.
Itu ta Bukit Caremay, tanggeran na Padabeunghar, ti kidul alas Kuningan, ti barat na
Walangsuji, inya na lurah Talaga. ‗Yang itu Gunung Ciremay, tiang tapal batas
Padabeunghar, dari arah selatan ialah daerah Kuningan, dari arah baratnya ialah
Walangsuji, itulah daerah Talaga.
Itu ta na Tompo Omas, lurah Medang Kahiangan. ‗Itulah yang disebut (Gunung)
Tampomas, wilayah Medang Kahiangan‘.
Itu Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunungwangi. ‗Yang itu (Gunung) Tangkuban
Parahu, tiang tapal batas Gunungwangi‘.
21
Gunung Keramat bagi Masyarakat Pakwan Pajajaran (Mahameru Sunda).
22
Bukit Ageung kini dikenal dengan sebutan Gunung Gedé yang berada dalam gugusan pegunungan berbentuk
sisir: Gunung Salak – Gunung Gede – Gunung Burangrang – Gunung Tangkuban Parahu.
23
Manusia suci, manusia terpelajar.
UADarsa-FIBU-1432014
15
Itu ta Gunung Marucung, tanggeran na Sri Manggala. ‗Itu ialah Gunung Marucung, tiang
tapal batas Sri Manggala‘.
Itu ta Bukit Burangrang, tanggeran na Saung Agung. ‗Itu ialah Gunung Burangrang, tiang
tapal batas Saung Agung‘.
Itu ta na bukit Burung Jawa, tanggeran na Hujung Barat. ‘Itulah yang disebut Gunung
Burung Jawa, tiang tapal batas Hujung Barat‘.
Itu ta Bukit Bulistir, tanggeran na Gunung Anten. ‟Itu ialah Gunung Bulistir, tiang tapal
batas Gunung Anten‘.
Itu Bukit Naragati, tanggeran na Batu Hiang. ‘Yang itu Gunung Naragati, tiang tapal batas
Batu Hiang‘.
Itu ta na Bukit Barang, tanggeran na [alas] Kurungbatu. ‘Itulah yang disebut Gunung
Barang, tiang tapal batas daerah Kurungbatu‘.
Itu Bukit Banasraya, tanggeran na alas Sajra, ti barat Bukit Kosala. ‘Yang itu Gunung
Banasraya, tiang tapal batas daerah Sajra, dari arah baratnya ialah Gunung Kosala‘.
Itu ta na Bukit Catih, tanggeran na Catih Hiang. ‟Itulah yang disebut Gunung Catih, tiang
tapal batas Catih Hiang‘.
Itu Bukit Hulu Munding, tanggeran na Demaraja, ti barat Bukit Parasi, tanggeran na
Tegal Lubu, ti wétan na Sédanura, nu awas ka alas Sinday. ‗Yang itu Gunung Hulu
Munding, tiang tapal batas Demaraja, dari arah baratnya ialah Gunung Parasi, tiang tapal
batas Tegal Lubu, dari arah timurnya ialah Sédanura, yang bisa memandang lepas ke daerah
Sinday‘.
Éta ta na Gunung Kembang, geusan tiagi sagala, ti kidul na alas Maja, éta na alas
Rumbia. ‗Itulah yang namanya Gunung Kembang, tempat berbagai pertapa perempuan, dari
arah selatannya ialah daerah Maja, yaitu di daerah Rumbia‘.
Ti barat na wates Mener, tanggeran na Bojongwangi. ‗Dari arah baratnya ialah batas
Mener, tiang tapal batas Bojongwangi‘.
Itu ta na Gunung Hijur, tanggeran na Kujarjaya. „Itulah yang namanya Gunung Hijur,
tiang tapal batas Kujarjaya‘.
Itu ta na Gunung Sunda, tanggeran na Karangkiang. ‗Itulah yang namanya Gunung Sunda,
tiang tapal batas Karangkiang‘.
Itu ta na Bukit Karang, tanggeran na alas Karang. ‗Itulah yang namanya Gunung Karang,
tiang tapal batas daerah Karang‘.
Itu Gunung Cinta Manik, tanggeran na alas Rawa. ‘Yang itu Gunung Cinta Manik, tiang
tapal batas daerah Rawa‘.
Itu ta na Gunung Kembang, tanggeran Labuhan Ratu. ‟Itulah yang namanya Gunung
Kembang, tiang tapal batas Labuhan Ratu‘.
Ti kalér alas Panyawung, tanggeran na alas Wanten. ‗Dari arah utara ialah daerah
Panyawung, tiang tapal batas darah Wanten‘.
Itu ta na Gunung (…)lér, tanggeran alas Paméksér, nu awas ka Tajak Barat. Itulah yang
namanya Gunung ....lér, tiang tapal batas daerah Paméksér, yang bisa memandang lepas ke
Tajak Barat‘.
Itu ta Pulo Sanghiang, heuleut-heuleut nusa24 Lampung, ti timur Pulo Tampurung, ti barat
Pulo Rakata, gunung di tengah sagara. ‟Itu adalah Pulau Sanghiang, pertengahan jarak ke
wilayah Lampung, dari arah timur ialah Pulau Tampurung, dari arah barat ialah Pulau
Rakata (Krakatau), sebuah gunung di tengah laut‘.
Itu ta Gunung Jereding, tanggeran na alas Mirah, ti barat na léngkong Gowong. „Itu ialah
Gunung Jereding, tiang tapal batas daerah Mirah, dari arah baratnya ialah Teluk Gowong‘.
24
Istilah ini mengandung makna yang bersifat generik, antara lain: nusa, pulau, wilayah, negreri.
UADarsa-FIBU-1432014
16
Itu ta Gunung Sudara, na Gunung Guha Bantayan, tanggeran na Hujung Kulon, ti barat
Bukit Cawiri. „Itu ialah Gunung Sudara, yakni Gunung Guha Bantayan, tiang tapal batas
Ujungkulon, dari arah baratnya ialah Gunung Cawiri‘.
Itu ta na Gunung Raksa, Gunung Sri Maha Pawitra, tanggeran na Panahitan, ti wétan na
Suka Darma, ti barat na Gunung Manik. Awas ka Nusa Kambangan, Nusa Layaran ……..,
Nusa Dilih Nusa Bini, Nusa Keling Nusa Jambri, Nusa Cina Jambudipa, Nusa Gedah
deung Malaka, Nusa Bandan Tanjungpura, Sakampung deung Nusa Lampung, Nusa
Baluk Nusa Buwun, Nusa Cempa Baniaga, Langkabo deung Nusa Solok, Nusa Parayaman.
„Itulah yang namanya Gunung Raksa, Gunung Sri Maha Pawitra, tiang tapal batas Panaitan,
dari arah tumurnya ialah Suka Darma, dari arah baratnya ialah Gunung Manik. Dapat
memandang jelas ke Nusa Kambangan, Pulau Layaran, Pulau Dilih Pulau Bini, negeri India
negeri Jambri, wilayah negeri Cina juga Jambudipa, wilayah Kedah dan Malaka, wilayah
negeri Bandan juga Tanjungpura, Sakampung dan wilayah Lampung, wilayah negeri Baluk
juga Buwun, wilayah negeri Cempa (dan) Baniaga, Minangkabau dan wilayah Solok, wilayah
Pariaman‘.
Beuteung bogoh ku sakitu, saanggeusing milang gunung, saleumpang ti Panénjoan,
sacunduk ka Gunung Sembung, éta hulu na Citarum, di inya aing ditapa, sambian
ngeureunan palay. „Begitu mengagumkan semua itu, setelah kusebut gunung satu per satu,
lalu berangkat dari tempat pengamatan, sampailah ke Gunung Sembung, itulah hulu sungai
Citarum, di situ aku bertapa, sambil melepaskan lelah‘.
4. Konsepsi Lingkungan Alam Sebagai Kabuyutan
Kabuyutan di kalangan masyarakat Sunda kuno dapat diartikan sebuah lokasi atau
tempat yang disakralkan menurut aturan tradisi, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan
sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai
lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya.
Adalah sebuah naskah Sunda Kuno yang diberi judul Amanat Galunggung mengungkapkan
betapa pentingnya ―Kabuyutan25 Galunggung‖ untuk dipertahankan kemuliaannya. Dalam teks
naskah tersebut diberitakan bahwa lebih bernilai kulit lasun ‗musang‘ yang dibuang ke tempat
sampah daripada rajaputra ‗putra mahkota‘, apabila kabuyutan akhirnya jatuh ke tangan pihak
lain. Dari ungkapan ini diketahui bahwa Kabuyutan Galunggung merupakan salah satu
kabuyutan utama yang menjadi pusaka Kerajaan Sunda.
Sebagaimana Kabuyutan Galunggung, dalam teks naskah Kisah Perjalanan Bujangga
Manik pun disebutkan ada sebuah kabuyutan yang menjadi kabuyutan rakyat Pakuan, yaitu
Sanghiyang Talagawarna26 , yang disebutkan pula dalam prasasti Batutulis dengan nama
Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Berdasarkan isi prasasti tersebut, kecuali ibukota
Pakuan Pajajaran, Ayatrohaédi 27 menghubungkan adanya kesesuaian fungsi dengan situs
Rancamaya28. Pasir Badigul adalah tanda peringatan berupa bukit (gugunungan) sedangkan
jalan yang dikeraskan adalah jalan yang menghubungkan istana ke tempat itu, sedangkan
membuat samida adalah membuat hutan tutupan 29 . Talaga Rena Mahawijaya 30 tidak
25
Sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan
sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan,
tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya.
26
Noorduyn 1982: 419.
27
Ayatrohaédi, 1996: 94.
28
Situs ini sempat menjadi perbincangan para budayawan Sunda sekitar tahun 1992, sehubungan dengan
pembangunan real estate di tempat itu. Dari hasil ekskavasi penyelamatan tim Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional dinyatakan bahwa situs itu bukan daerah pemukiman kuna (situs pemukiman).
29
Hutan tutupan atau daerah tutupan agaknya menjadi ciri masyarakat Sunda dalam menempatkan “tanah
larangan” atau tempat suci. Selain prasasti Batutulis, prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) menyebutkan
pembuatan tepek (“tanah larangan”) di sebelah timur Sanghyang Tapak. Prasasti berangka tahun ini dikeluarkan
oleh raja Sunda Sri Jayabhupati, ditulis dalam huruf Jawa kuna dan bahasa Jawa kuna (Djafar 1991: 20--21).
30
Rena Mahawijaya berasal dari kata rena yang berarti syukur, puas; dan mahawijaya yang berarti kemenangan
besar (Ayatrohaédi, 1996: 94).
UADarsa-FIBU-1432014
17
ditafsirkan sebagai nama diri danau atau telaga, melainkan lebih kepada fungsinya sebagai
danau tempat menyatakan syukur atau berterimakasih atas kemenangan besar yang telah
dicapai.
Letak lokasi di Rancamaya sesuai dengan apa yang tertulis di dalam teks naskah
Carita Parahiyangan mencatat bahwa Jayadewata, nama lain Sri Baduga Maharaja dikenal
sebagai sang mwakta ring rancamaya (CP: 19), diartikan ―yang diperabukan di Rancamaya‖.
Rancamaya berasal dari kata ranca berarti rawa atau danau, dan maya berarti membayangkan
arah yang ditempuh arwah sehingga rancamaya merupakan danau atau tempat
menghubungkan diri dengan Hyang Pencipta. Dengan demikian daerah tersebut merupakan
hutan tutupan, danau pemujaan, dan tempat ngahyang ‗penyempurnaan‘ mendiang
Jayadewata. Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya dalam prasasti Batutulis adalah
Sanghiyang Talaga Warna dalam naskah Bujangga Manik, sesuai dengan kutipan Sadatang
ka Bukit Ageung: éta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, Sanghiyang Talaga Warna
‗Setelah sampai di bukit Agung: di situlah hulu sungai Cihaliwung itu, Kabuyutan Pakuan,
Sanghiyang Talaga Warna‘.
Dalam pada itu, dibangunnya sejumlah kabuyutan oleh seorang tokoh (raja Sunda)
diungkapkan dalam teks naskah Carita Parahiyangan sebagai berikut: Sang Rakéyan
Darmasiksa, pangupatiyan Sanghyang Wisnu, inya nu nyieun sanghyang binayapanti, nu
ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina
parahiyangan. Ti naha bagina ? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sangiyang
Darma, ngawakan Sanghyang Siksa (CP: 17). ‗Rakeyan Darmasiksa 31 titisan Sanghiyang
Wisnu, dan dialah yang membangun tempat pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-
kabuyutan dari sang rama sang resi, sang disri, sang tarahan, dari parahiyangan. Apa
manfaatnya? Dari sang wiku yang memelihara Jati Sunda, berpegang teguh kepada Sanghyang
Darma, mengamalkan Sanghyang Siksa‘. Rakeyan Darmasiksa merupakan tokoh utama dalam
salah satu karya sastra Sunda kuno lainnya, yaitu Amanat Galunggung. Di dalam naskah ini,
Rakeyan Darmasiksa menuturkan ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat-nasihat
kepada keturunan dan masyarakatnya.
Istilah mandala ditemukan pula dalam teks naskah Kawih Paningkes dan Kisah
Bujangga Manik; dua naskah lontar Sunda Kuno yang menyiratkan bahwa mandala adalah
lembaga pusat pendidikan di lingkungan pemukiman atau pedukuhan yang diperuntukkan bagi
kaum intelektual dan agamawan. Naskah Kawih Paningkes menyebutkan ri dina bukit Palasari
mandala si pasekulan ‗di atas bukit Palasari ada mandala bernama Pasekulan‘. Sementara
naskah ini pun digubah di Gunung Cupu (salah satu bukit di Gunung Sawal), pada sebuah
Mandala Pangarbuhan (lempir.39a--39b). Penulisan sebuah naskah keagamaan dan ilmu
pengetahuan lainnya memang sudah biasa ditulis dalam sebuah lingkungan lembaga
pendidikan. Lain daripada itu, naskah Bujangga Manik menyebutkan bahwa dia mengunjungi
Mandala Puntang yang letaknya di daerah selatan Jawa Barat. Bujangga Manik adalah salah
seorang pangeran Sunda yang memilih hidup sebagai pendeta pertapa atau pelajar kelana.
Dalam perjalanannya, ia mengelilingi pulau Jawa yang sengaja mengunjungi tempat-tempat
suci keagamaan (rabut), salah satu di antaranya adalah rabut Palah yang diidentifikasikan
sebagai Candi Panataran, dan rabut di Bukit Gajah Mungkur (salah satu bukit di sisi baratlaut
Gunung Pawitra) yang diidentifikasikan sebagai komplek candi Gunung Penanggungan (bdgkn.
Munandar 1990/1994). Maksud kunjungan Bujangga Manik itu adalah dalam upaya mendapat
memperluas pengetahuan perihal kaidah keagamaan yang ada.di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
terutama di Jawa Timur yang pada sekitar abad 15 Masehi (masa Majapahit) banyak terdapat
kawikwan dan mandala.
5. Korelasi Antar-Kabuyutan
Dari sudut pandang lain, sebuah gunung maupun perbukitan sering-sering dijadikan
suatu model konstelasi bangunan pusat aktivitas pemerintahan serta keagamaan bagi kalangan
masyarakat. Hal yang dimaksud daspat disimak dalam uraian berikut.
31
Menurut naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, tokoh ini adalah salah seorang raja Sunda yang
memerintah tahun 1175-1297 M (Danasasmita, dkk. 1987: 8).
UADarsa-FIBU-1432014
18
5.1 Korelasi Legenda Denuh-Galuh-Galunggung
Pengetahuan penulis teks naskah Carita Parahyangan (CP) mengenai tokoh serta
peristiwa dari masa lalu yang jauh terpaut dari masa penulisannya, pastilah didapat dari
berbagai sumber naskah yang sudah dikenalnya hingga saat penulisan teks itu. Adapun
gambaran untuk masa kemudian kemungkinan besar penulis atau pemrakarsa penulisan teks
naskah CP sedikitnya masih mengalami atau mengenal tokoh dan peristiwa yang
diabadikannya. Tanpa mempertimbangkan naskah-naskah pembanding yang lain, kita akan
kesulitan untuk dapat menafsirkan bagaimanakah kisah-kisah yang disebut naskah CP tersebut.
Teks naskah CP secara umum hanya mencatat masa pemerintahan seseorang raja setelah
menggantikan pendahulunya dan kemudian digantikan raja berikutnya. Namun, ada beberapa
raja serta rakyat yang dipimpinya, kisahnya dilengkapi dengan keterangan agak panjang. Ini
dapat diduga bahwa raja-raja tertentu memiliki peran yang lebih dibanding dengan raja lainnya.
Di antara tokoh yang dimaksud adalah Rakéan Jambri alias Rahyang Sanyjaya yang
mendapat tempat dalam 7 episode (V-XII) dari 25 episode seluruhnya. Sanjaya menjadi
Maharaja Sunda selama 9 tahun (723–732 Masehi) yang selanjutnya mewarisi takhta dari pihak
ibunda di Medang Mataram Kuno Jawa Tengah selama 22 tahun hingga akhir hayatnya (732 –
754 Masehi). Berikut ini nukilan kisah tokoh Sanjaya dalam kaitannya dengan konstelasi atau
korelasi antar-kabuyutan Denuh-Galuh-Galunggung berdasarkan teks naskah CP bagian
episode kelima pada lempir halaman 8b dan bagian episode kedelapan pada lempir halaman
13a.
Disilihan ku Rahyangtang Mandiminyak. Seuweu Rahyangta ri Menir, teluan
sapilanyceukan. Nu cikal nya Rahyang Sempakwaja adeg Batara Dangiangguru di
Galunggung, Rahyangtang Kedul adeg Batara Hyangbuyut di Denuh, Rahyangtang
Mandiminyak adeg di Galuh (8b: V). ‗Diganti oleh Rahyangtang Mandiminyak. Anak
Rahyangta ri Menir (Wretikandayun) tiga bersaudara; yang sulung bernama Rahyang
Sempakwaja menjabat sebagai Batara Dangiangguru di Galunggung, Rahyangtang Kedul
menjabat sebagai Batara Hyangbuyut di Denuh, dan Rayang Mandiminyak menjabat
sebagai (raja) di Galuh‘.
Lawasnyia ratu tujuh tahun. Na Rahyangtang Mandiminyak disilihan ku Sang Senna,
lawasnyia tujuh tahun, disilih jungkat ku Rahyang Purbasora. Na Sang Sena diintarkeun
ka Gunung Marapi, diseuwsu Rakéan Jambri. Ageung sakamantrian (Rakéan Jambri)
lunga ka Rahyangtang Kedul, ka Denuh menta dibunikeun. Carék Rahyangtang Kedul,
"Putu, aing mumul kapangkukan ku sia, sugan sia kanyahoan ku ti Galuh (13a: VIII).
‗Lamanaya menjadi raja tujuh tahun. Lalu Rahyangtang Mandiminyak diganti oleh Sang
Sena selama tujuh tahun. Namun diganti secara paksa oleh Rahyang Purbasora, kemudian
diasingkan ke Gunung Marapi dan berputra Rakean Jambri. Menginjak usia Dewasa
(Rakean Jambri) pergi menghadap kepada Rahyangtang Kedul, ke Denuh guna minta
yang dirahasiakan. Rahyangtang Kedul berkata, ―Cucuku, aku tak mau lama kehadiranmu
di sini, jangan sampai kamu ketahuan oleh (pihak raja) yang berkedudukan di Galuh‘.
Aing pun seuweu Sang Senna. Aing nanyakeun pustaka bawa Rabuyut Sawal. Eusina ma
ratuning bala sariwu pakeun séda, pakeun sakti, paméré Sang Rêsiguru. Dibikeun ku
Rabuyut Sawal. Ti inya pulang ka Galuh Rakéan Jambri, tuluy diprang deung Rahyang
Purbasora. Paéh Rahyang Purbasora. Lawasnyia ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéan
Jambri, inya Rahyang Sanyjaya (38b: VIII). ‗Hamba ini putra Sang Sena, bermaksud
menanyakan kitab yang ada pada tuanku Rabuyut Sawal. Adapun isinya tentang teknik
keutamaan memimpin ribuan pasukan demi kewibaan dan kesaktian, warisan Sang
Resiguru. Diberikanlan oleh Rabuyut Sawal, dan setelah itu Rakean Jambri menuju ke
Galuh berperang dengan Rahyang Purbasora hingga Rahyang Purbasora nemui ajalnya
setelah berkuasa selama tujuh tahun, lalu digantikan oleh Rakean Jambri, yakni Rahyang
Sanjaya‘.
Berdasarkan kutipan tersebut tampak ada bias-bias yang melukiskan fungsi masing-
masing ketiga lokasi itu, yakni antara Denuh, Galunggung, dan Galuh dalam kaitannya dengan
konsep Tri Tangtu di Buana ‗Tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia‘. Tiga
Golongan itu ialah prebu-rama-resi. Diuraikan dalam FCP lempir 5b dinyatakan bahwa, sang
prebu itu harus ngagurat batu ‗berwatak teguh dalam menjalankan aturan‘, sedangkan sang
UADarsa-FIBU-1432014
19
rama harus ngagurat lemah ‗berwatak bisa menentukan pijakan atau aturan bagi para
pelaksana pemerintahan‘, dan sang resi harus ngagurat cari ‗berwatak adil dan menyejukkan‘.
Tampaknya konsep Tri Tangtu di buana tersebut mirip dengan konsep ketatanegaraan yang
dikemukakan oleh Charles de Secondat Montesquieu. Dalam bukunya yang berjudul Esprit des
Lois ‗Jiwa Undang-undang‘ (terbit tahun 1748), Montesquieu berpandangan bahwa kekuasaan
negara harus dibagi-bagi ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (laséparation des
pourvoirs ‗pemisahan kekuasaan-kekuasaan‘). Ketiga kekuasaan yang dimaksud adalah
kekuasaan: (1) membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif); (2) menjalankan undang-
undang (kekuasaan eksekutif); dan (3) mengadili pelanggaran-pelanggaran undang-undang
(kekuasaan yudikatif).
Hal ini dapat diinterpretasikan demikian: (1) Tugas golongan Rama ialah sebagai
lembaga legislatif yang bertempat di kabataraan, Galunggung; (2) Tugas golongan Prebu ialah
sebagai lembaga eksekutif yang bertempat di karatuan atau karaton, yakni Galuh; dan (3)
Tugas golongan Resi ialah sebagai lembaga yudikatif yang bertempat di kawikuan, yakni
Denuh. Konsep tri tangtu tadi terefleksikan dalam penataan tata letak kedudukan Rama-Resi-
Prabu, seperti dapat dilihat dalam gambaran peta rekonstruksi di bawah ini.
Sumber Foto Budimansyah Suwardi & Tim
5.2 Legenda dan Mitos Selareuma dan Lingkungan Sekitarnya
Apabila disimak lebih mendalam dari sudut pandang filologis melalui data-data yang
tercatat dalam teks-teks naskah Sunda Kuno sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, yakni
naskah: Sang Hyang Hayu, Sanghyang Raga Dewata, Kisah Sri Ajnyana, Serat
Purusangkara, Carita Ratu Pakuan, Kisah Bujanggamanik, dan naskah Sunda Kuno lainnya,
akan banyak dijumpai bukti tentang dasar kosmologis dari sistem tata ruang di daerah
Sumedang ini, khususnya berkenaan dengan Kampung Selareuma Pasanggrahan Sumedang
Selatan.
Berkaitan dengan salah satu naskah yang menyinggung-nyinggung serta merujuk pada
nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris adalah naskah yang berjudul Serat
Purusangkara (SP), milik Museum Sri Baduga Jawa Barat, berasal dari Kuningan, berbahan
kertas. Identitas naskah tersebut adalah: nomor kode 07.46; bahan daluang; aksara Cacarakan;
bahasa Jawa dialek Pesisir Utara Jawa Barat; tebal 371 hl.; bentuk penyajian prosa; nama
penulis dan/atau penyalin (?); waktu penulisan abad ke-19; asal naskah: Dalem Kangjeng
Pangeran Panji Puspakusuma. Teks naskah SP ini secara garis besar mengisahkan tentang
perjalanan Prabu Jaya Purusa yang susunan ceritanya terbagi ke dalam 11 bagian atau episode.
UADarsa-FIBU-1432014
20
Bagian yang menyebutkan istilah Selahuma sebagaimana tampak pada kutipan terjemahannya
dalam bahasa Indonesia berikut ini:
Selesailah cerita negeri Yawastina akan diganti dengan keadaan di negeri Suralaya. Ketika
itu Saghyang Girinata ditemani seluruh bidadara-bidadari. Sanghyang Naradha
memanggil Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma untuk turun menjelma ke bumi. Kata
Sanghyang Naradha,
―Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu
sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi
seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi
raja adalah Kala, dengan julukan Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang
dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan
semua keturunan Wisnu‖.
Sanghyang Girinata bertanya kembali, ―Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah
kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada
aturan saya‖.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di
bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun
demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib,
yakni: Saghyang Girinata, Sanghyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghyang Kala dan
Sanghyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah
SHH dapat diacukan pada alam saptabuana atau buanapitu. Ini artinya bahwa lokasi
Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang
bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya.
Plotting kabuyutan Pasir Reungit dan morfologi pada peta topografi (Plotting oleh R. Abdul Latief, dan morfologi oleh Yahdi Zaim)
Sumber: Peta Topografi Bakosurtanas, tanpa tahun.
UADarsa-FIBU-1432014
21
Selareuma yang biasa disebut juga Pasir Reungit bukanlah sebuah tempat berdiri
sendiri, tetapi tempat itu dipandang sebagai axis mundi dalam sebuah sistem tata ruang
kosmologis yang saling mempengaruhi dengan tenaga-tenaga yang bersumber pada tempat-
tempat di sekitarnya. Di samping itu, Selareuma atau Pasir Reungit merupakan lingkungan
dengan kandungan bebatuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya alam yang
dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai makhluk
historis memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk tinggal dalam lingkungan dengan
seluruh kandungan sumberdaya alam itu sebagaimana adanya sekarang. Tenaga-tenaga ini
mungkin bisa menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, atau bahkan bisa berakibat
kehancuran. Hal tersebut bergantung pada dapat tidaknya individu-individu atau kelompok-
kelompok masyarakat berhasil dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan
jagat raya.
Sketsa rekonstruksi lahanSelareuma- Pasir Reungit; diubah dari sketsa gambar
Bapak Rohman dan staf kepolisian sesuai dengan kebutuhan penelitian oleh W.I. Puar.
Dengan demikian, lokasi Selareuma atau Selahuma tidak bisa dipisahkan dengan
lokasi lain yang ada di sekitarnya. Lokasi yang dimaksud, antara lain, adalah lokasi Batukursi di
Pasir Peti yang secara geografis segaris lurus mengarah ke Utara-Selatan tembus ke Gunung
Tampomas. Sejajar dengan posisi lokasi Batukursi di Pasir Peti adalah Pasir Gegerhanjuang. Di
Pasir Gegerhanjuang ini terdapat sebuah kuburan atau makam Sunan Guling, salah seorang
penguasa di Pagulingan. Lokasi Pagulingan ini masih berada di Pasir Gegerhanjuang. Tidak
jauh dari lingkungan tersebut adalah lokasi Cadasgantung. Pagulingan ini merupakan pusat dari
Sumedanglarang masa lalu. Bahkan, dalam teks naskah Carita Ratu Pakuan (CRP; Ceritera
Sunda-Kuno dari Léréng Gunung Cikuray)32 ada bagian-bagian yang berhubungan dengan
gambaran lokasi tersebut, yakni:
Gunung Cupu Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Taambo
Agung, nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmacuté, seuweu patih Prebu Wangi Serepong.
Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang (baris 21-28). ‘Gunung Cupu Bukit
Tamporasih, pertapaan Pohaci Niwarti, yang menitis kepada Taambo Agung, yang penuh
32
Lihat Atja, 1970; Darsa, 2008.
UADarsa-FIBU-1432014
22
kasih sayang, adik tuan Rahmacute, anak patih Prebu Wangi Serepong. Dialah Punara
Putih, dari Sumedanglarang‘.
Gunung si Purnawijaya, lumenggang larang sorangan, di Sanghiyang keusik manik
batu mirah, hanjuang di kembang homas, patapaan Raga Pwah Hérang Manik, nitis
ka nu geulis Rajamantri, nu geulis palang ngajadi, nu micaya sisit peuting, cangkang
beurang kale hésé, panonpoé miawak séda karuna, ahis tuhan Sunten Agung, sang
Raja Gunung, seuweuna juru labuan, dayeuhan di Pagulingan, mangkubumi di
Sumedanglarang, ngapwahan mohéta bedas, nu ngirutan Acidéwata. Gunung
Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka Sanghiyang Nusa, di susuku gunung Kumbang, bukit
si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang Salal Ading, nu mepek na
bumi manik, patapaan Bagawat Sang Jalajala, susulan watek déwata, murba ka bumi
Pakuan (baris 60-86). ‗Gunung si Purnawijaya, terpencil suci sendiri, di Sanghiyang pasir
permata batu mirah, pohon hanjuang berbunga emas, pertapaan Raga Pwah Herang
Manik, menitis kepada si cantik Rajamantri, yang cantik tiada tanding, yang menyinari
sisik kegelapan malam, kulit siang tanpa susah, matahari menjelma suci karunia, adik
tuan Sunten Agung, sang Raja Gunung, putera juru pelabuhan, bertempat tinggal di
Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, menakjubkan luar biasa, yang
mempesonakan Acidewata. Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka33 Sanghiyang Nusa,
di kaki gunung Kumbang, bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang
Salal Ading, yang berkumpul dalam bangunan permata, pertapaan Bagawat Sang Jalajala,
undangan bisikan gaib dewata, berkuasa ke tanah Pakuan‘.
Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, nu mungguh di handaru, deung Sanghiyang
Linggamanik, deung Sanghiyang Hindit-hinditan, nu mungguh di siki panon, deung
Sanghiyang Karang Curi, nu mungguh tumpak di huntu, deung Sanghiyang Cadas
Gumantung, nu mungguh di tungtung létah, deung Sanghiyang Cadas Putih
Gumalasar, nu mungguh di harigu, deung Sanghiyang Adong Agung, sagedé
munding saadi, nu mungguh di tulang tonggong, deung Sanghiyang Bitung Wulung,
patét ka langit, nu mungguh tumpak di siki éta, reujeungna ngajadi (baris 102-119).
‗Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, yang bersemayan di halilintar, kemudian Sanghiyang
Linggamanik, dan Sanghiyang Hindit-hinditan, yang menetap di biji mata, kemudian
Sanghiyang Batu Tegak, yang menetap tunggang pada gigi, lalu Sanghiyang Cadas
Gumantung, yang menetap di ujung lidah, kemudian Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar,
yang menetap di dada, kemudian Sanghiyang Adong Agung, sebesar anak kerbau sesusu,
yang menetap pada tulang punggung, lalu Sanghiyang bambu wulung, menjulang ke
langit, yang menetap tunggang pada biji zakar, bersamanya menjelma‘.
Penulis teks naskah lontar CRP yang mengisahkan prosesi perjalanan perpindahan Raja
Sunda dari Keraton Timur di Galuh Pakwan ke Keraton Barat di Pakwan Pajajaran pada sekitar
abad ke-15 Masehi masih menyertakan beberapa gunung dan daerah tertentu sebagai simbol
magis sekaligus penunjuk tempat asal seseorang tokoh dalam kisah perjalanan itu. Hal
dimaksud nampak pada kutipan berikut.
Ini carita Ratu Pakuan, ti Gunung Kumbang. Gunung Giri Maya Séda, patapaan
Pwahaci Mangbang Siang, nitis ka Rucita Wangi, ahis tuhan Jayasakti, seuweu patih
Sang Atus Wangi… (baris 1-7) ‗Inilah kisah Ratu Pakuan, dari Gunung Kumbang.
Gunung Giri Maya Seda, pertapaan Pohaci Mambangsiang, menitis kepada Rucita Wangi,
adik tuan Jayasakti, putera Patih Sang Atus Wangi…‘.
Deung nu geulis Déwa Karuna, ahis Kebo Sang Mantriguru, putri ti Gunung Kukusan,
deung nu geulis Cepet Manik, nu tarahan na Harisa Keling, ahisna Ponggang Sang
Raja Panji, putri ti Hulu Padang, deung nu geulis Maya Padang, ahis tuhan Patih Pala,
putri ti Nagara Tengah… (baris 300-319). ‗Bersama yang cantik Dewa Karuna, adik Kebo
Sang Mantriguru, puteri dari Gunung Kukusan, kemudian yang cantik Cepet Manik, yang
diperebutkan Harisa Keling, adiknya Ponggang Sang Raja Panji, puteri dari Hulu Padang,
kemudian yang cantik Maya Padang, adik tuan Patih Pala, puteri dari negara Tengah‘.
33
Logam perak.
UADarsa-FIBU-1432014
23
Berdasarkan kutipan teks naskah CRP itu, tercatat nama, seperti Sumedanglarang
dicatat dua kali (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis dengan
Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar. Di situ pun dicatat Sanghiyang
Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah
nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik
sebanyak tiga kali:
Ku ngaing geus kaleumpangan, meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan,
ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk (baris 69-73). ‗Semua itu telah
kullalui, nyeberang di sungai Cipunagara, daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat
Tompo Omas, aku nyeberang di sungai Cimanuk‘.
Meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas,
meuntas aing di Cimanuk (baris 716-719). ‗Menyeberang di sungai Cipunagara, wilayah
Medang Kahiangan, berjalan lewat Gunung Tompo Omas, aku nyeberang di sungai
Cimanuk‘.
Itu ta na Tompo Omas, lurah Medang Kahiangan. Itu Tangkuban Parahu, tanggeran
na Gunung Wangi (baris 1200-1203). ‗Itulah yang disebut Gunung Tompo Omas,
daerah Medang Kahiangan. Yang itu Gunung Tangkuban Parahu, sebagai tiang tapal
batas Gunung Wangi‘.
5.3 Mitos dan Legenda Gunung Padang
Keberadaan Gunung (Bukit) Padang ini kemungkinan besar pada masa silam pernah
ditata menurut konsepsi kepercayaan masyarakat Sunda Kuno tentang keadaan alam menjelang
atma naik melewati tujuh lapisan aras langitan; perjalanan ke alam kesorgaan, menghadap ke
Kahyangan ‗Alam Dzat Maha Gaib‘ dengan penuh pesona aneka ragam tanaman bunga34,
sebagaimana telah ditunjukkan pada uraian terdahulu. Bias-bias dari salah satu teks naskah
lontar Sunda Kuno yang berjudul Kawih Panyaraman ‗Senandung Tauziah‘ yang berisi tentang
Séwaka Darma ‗pengabdian terhadap hukum kehidupan‘ telah memantulkan bayangan
gambaran wujud fisik dari keberadaan situs megalitik tersebut.
Dengan kata lain, mitos penggambaran mengenai keadaan struktur fisik situs Gunung
Padang ini dikembangkan melalui deskripsi panjang sebagaimana nampak tersirat dalam
bagian redaksi teks naskah tadi, yakni yang berkenaan dengan paparan atau pelukisan
perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan
kehidupan duniawi. Konsep pembebasan berkaitan erat dengan pengetahuan yang benar atau
pengetahuan tertinggi, sebab pengetahuan itulah yang pertama-tama diperlukan untuk
menggapai kebebasan; bukan hanya renungan yang abstrak melainkan mencakup juga
pengetahuan yang konkrit. Pembebasan tercapai tingkat demi tingkat hingga mencapai titik
kulminasi pada tingkatan ketujuh. Tingkatan-tingkatan itu dipandang sebagai yang terkait
dengan eksistensi serta manifestasi sang atma.
Di antara teks naskah yang memberi gambaran legendaris mengenai keberadaan lokasi
yang bernama Gunung Padang ialah naskah berjudul Purwaning Jagat (PJ)35 yang merupakan
salah satu koleksi Museum Negeri Jawa Barat ―Sri Baduga‖. Identitas naskan ini adalah: nomor
kode 07.136; bahan kertas Eropa berwatermark Garden of Holland, PRO PATRIA; aksara Pegon
dan Arab; bahasa Jawa dialek Priangan dan Arab; tebal 46 halaman; bentuk penyajian prosa;
nama penulis dan/atau penyalin Hanapi, Wedana Pensiun Rongga; waktu penulisan abad ke-19
Masehi. Redaksi teks naskah PJ terdiri atas 38 episode, yang diawali bacaan berikut.
Kitab ini milikku, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi.
Bismillahirrahmanirrohim. Inilah kisah Purwaning Jagat (awal mula terjadinya jagat) yang
lahir serempak ketika planet-planet dan angkasa raya belun ada satu pun. Namanya La
ta‟yun, goibul guyub, dan naqtu goibu. Maka ada yang berkehendak untuk menciptakan dan
34
Bunga tampaknya telah sejak lampau dijadikan tradisi sebagai lambang kesucian dan lambang ketulusan hati
sanubari yang diwarisi dan diwariskan turun-temurun.
35
Naskah sejenis terdapat pada koleksi PNRI; Nomor kode: Br.32; Bahan: kertas Eropa dengan watermark Lion in
Medalion; Aksara: Pegon dan Arab; Bahasa: Jawa dialek Priangan dan Arab; Tebal naskah: 24 hl.; Bentuk
penyajian: Prosa; Tempat dan waktu penulisan: Garut, 1890.
UADarsa-FIBU-1432014
24
ada hasil ciptaannya yang dinamakan „ayan sabitah. Lalu mulai ada berbagai jenis dan rupa
yang dinamakan alam arwah roh idopi36.
Sumber Foto TTRM 2013
Adapun redaksi teks naskah yang berkaitan dengan mitos dan legenda mengenai
Gunung Padang ini, antara lain, dilukiskan pada episode 17 sebagai berikut.
Maka tersebutlah tempat pertapaan Atmasuci di Samlor (Sam Utara?). Lalu berjodoh kepada
Ki Sadana, anaknya perempuan bernama Dewi Rasa. Lalu berjodoh kepada Sang Jaya
Keling, yaitu yang awal mula menjadikan pakaian, dan menjadi baju kebesaran Rajaputra.
Lalu pindah ke Gunung Padang, dan yang disembahnya cahaya yang keluar dari matanya
sehingga yang namanya Ratu Galuh menjadi berkuasa. Maka atas kehendak Allah Swt yang
murka terhadap hambanya karena tidak mengikuti syariat Nabi Nuh, lalu berhembuslah
angin topan dari berbagai penjuru lautan sehingga alam dunia menjadi gelap-gulita selama
empat puluh hari. Sementara itu yang mengikuti syariat Nabi Nuh ke atas perahu37. Setelah
Pajajaran runtuh, maka Pucuk Umun dibawa oleh Ratu Wetan. Lalu Ratu Sekar Mandapa
berlari ke Gunung Gede mendatangi Ajar Sukrasa. Kemudian bertapa bersama Ajar itu38.
Di samping itu, terdapat pula catatan berkenaan dengan Gunung Padang dalam buku
yang berjudul The History of Java, sebuah karya besar Thomas Stamford Raffles yang
diterbitkan oleh Black-Parbury & Allen di London tahun 1817, setahun setelah selesai
memangku jabatannya selama enam tahun sebagai Lieutenant Governor East-Indian Company
of Java yang tergolong cukup singkat (1811-1816). Wawasan keilmuannya yang luas dan tajam
disertai keterampilan dan kemampuannya dalam bahasa Melayu, Raffles telah mampu
mencurahkan sebagian minatnya terhadap sejarah kebudayaan ketimuran secara represetatif.
Melalui karyanya tersebut, walaupun kini sebagian telah ketinggalan zaman, masih merupakan
36
Ieu kitab nu kaula, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi. Bismillahirrahmanirrohim. Hada Purwaning Jagat kang
gumelar kabéh tatkala uwung-uwung awang-awang durung ana sawiji-sawiji. La ta’yun arané, goibul guyub
arané, naqtu goibu arané iku. Maka ana karsa, ana kinarsakaken dén arané ‘ayan sabitah arané iku. Maka ana
warna ana rupa dén arané alam arwah roh idopi…(01).
37
Maka kocap Atmasuci iku tapané ing Samlor pernahé. Maka alaki maring Ki Sadana, putrané wadon namané
Déwi Rasa. Maka alaki maring Sang Jaya Keling,iya iku purwaning sakéhé sandangan, lan anggowané iku ana
ing Rajaputra.maka angalih maring Gunung Padang. Kang dén sujudé cahya kang metu saking nétra iku karana
dén arané Ratu Galuh dadi nyakrawati. Maka wonten karsaning Allah Ta’ala ambendoni maring umaté sabab
ora anut ing saréaté Nabi Enuh. Maka metu angin topan, meti saking poncoroting sagara, maka kalem alam
dunya antara patang puluh dina. Maka sakéhé kan anuting saréaté Nabi Enuh pada munggahing baita sadaya
(17).
38
Demi sampun kalah Pajajaran, maka Pucuk Umun dén jarah déning Ratu Wétan. Maka Ratu Sekar Mandapa
malayu maring Gunung Gedé, maring Ajar Sukarsa. Maka atatapa lan Ajar iku…(23).
UADarsa-FIBU-1432014
25
pembahasan yang terperinci tentang kekayaan flora-fauna, bentuk postur jasmaniah,
glotokronologi, sistem sosial, dan kebudayaan masa prasejarah dan masa sejarah dari sebagian
besar Nusantara yang secara antropologis sangat berarti tetapi cukup kompleks. Berkenaan
dengan gunung, atau lebih tepatnya disebut Bukit Padang, Raffles memberi tempat cukup
panjang pada catatan kaki buku karyanya itu dalam rangka pembicaraan yang berhubungan
dengan Galuh. Hal yang dimaksud nampak pada sebagian kutipan berikut.
Berdasarkan cerita-cerita orang Sunda bahwa, Ciung Wanara dan Raden Tanduran adalah
dua saudara keturunan Raja Galuh yang bernama Raja Pamekas, sedangkan negerinya
disebut Bojong. Dalam pada itu, berjangkit wabah penyakit yang banyak merenggut nyawa
penduduk. Raja kemudian memerintahkan kepada patih pergi ke Bukit Padang untuk
memanggil seseorang bernama Ki Ajar yang memiliki kemampuan memberi pertolongan
dalam menghadapi musibah dan kesulitan itu. Ketika raja bertemu dengan Ajar dari Bukit
Padang dan menyampaikan permintaannya, malah Ajar itu berkata, ―Oh Raja, menurut
pendapat hamba, kamilah orang yang tepat memerintah negeri ini dan untuk melakukan
apa yang diperlukan demi kebaikan negeri dan para penduduknya!‖ Raja langsung marah
dan hampir membunuh Ajar itu.
―Raja, jika paduka berkeinginan untuk membunuhku, hamba menyerahkan sepenuhnya
hudupku. Akan tetapi, paduka harus membayarnya, dan itu dengan putramu sendiri!‖, kata
Ajar. Sekembalinya ke Bukit Padang, Ajar itu lalu dibunuh oleh Patih Galuh. Akhirnya kisah,
antara lain, pernyataan Ajar dari Bukit Padang dulu menimpa raja yang tidak adil itu dan
menemui ajalnya di tangan putranya sendiri.
5.4 Korelasi Legenda dan Mitos Gunung Padang dengan Selareuma
Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa susunan cerita dalam teks naskah Serat
Purusangkara (SP) terbagi ke dalam 11 bagian atau episode. Adapun kisah mitos dan legenda
yang berkaitan antara Selareuma dengan Gunung Padang terdapat pada episode 16 dan 17.
Ringkasannya episode yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Ketika berjalan satu bulan pada tahun 841 Suryasangkala atau dua bulan pada tahun 866
Candrasangkala, termasuk tahun Sambrama, mangsa Pusa. Diceritakan bahwa di
Suralaya, Sanghyang Girinatha memerintahkan Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma
untuk turun ke bumi dan memimpin para raksasa di Sélahuma. Sanghyang Kala sebagai
rajanya bergelar Prabu Yaksa Dewa dan Sanghyang Brahma menjadi pakaian dan gada
Prabu Yaksa Dewa. Lalu diceritakan Maharsi Mayangkara alias Resi Anoman disuruh oleh
Sanghyang Girinatha menuju ke negeri Yawastina untuk memberikan perjodohan antara
putra-putra di Yawastina dengan putri-putri di Widarba. Di negeri Widarba, Prabu Jaya
Purusa hendak menikahkan putranya yang bernama Raden Jaya Amijaya dengan Ken
Satapi, cucu Resi Kumbayana di Gunung Padang. Tidak lama di sana kedatangan 2 raksasa
Gawaksa dan Pradaksa utusan Prabu Yaksa Dewa dari Sélahuma untuk menyampaikan
pustaka (surat) yang isinya ingin melamar putri raja yang bernama Dewi Pramesti. Namun,
Prabu Jaya Purusa tidak menyetujuinya dan akhirnya terjadilah peperangan. Berkat bantuan
Maharsi Mayangkara, pasukan dari Sélahuma dapat dikalahkan. Selanjutnya, ketiga putri
Prabu Jaya Purusa dinikahkan dengan putra-putra negeri Yawastina, yaitu Dewi Pramesti
dengan Prabu Astra Darma, Dewi Pramuni dengan Raden Darma Sarana, dan Dewi Sasanti
dengan Raden Darma Kusuma. Ketiga putra negeri Yawastina berganti nama, Prabu Astra
Darma menjadi Prabu Purusangkara, Raden Darma Sarana menjadi Arya Amijaya, dan
Raden Darma Kusuma menjadi Arya Jaya Kirana. (Episode 16; hal. 95-225).
Ketika berjalan tiga bulan pada tahun 842 Suryasangkala atau empat bulan pada tahun 867
Candrasangkala, termasuk tahun Biswawisu, mangsa Sitra. Diceritakan di negeri
Yawastina, Prabu Purusangkara sangat sedih karena istrinya, yaitu Dewi Pramesti belum jua
mengandung, sedangkan istri-istri adiknya tengah hamil. Ia berpikir takut terjadi apa-apa
pada istrinya itu. Ketika sampai usia kandungan istri-istri adiknya, lahirlah dari Dewi
Pramuni, seorang peremuan bernama Dewi Renggawati, dan dari Dewi Sasanti lahir seorang
laki-laki bernama Raden Sanjaya. Kelahiran putra-putri adiknya itu semakin membuat sedih
Prabu Purusangkara. Lalu, Prabu Purusangkara mengutus dua pengawalnya yaitu Arya
Sudarsa dan Arya Sarana ke negeri Widarba untuk memnyampaikan kabar gembira, bahwa
UADarsa-FIBU-1432014
26
raja Widarba telah mempunyai 2 orang cucu dari putrinya, yaitu Dewi Pramuni dan Dewi
Sasanti. Sesampainya utusan Yawastina di Widarba dan menyampaikan kabar itu, Prabu
Jaya Purusa sangat senang karena telah memiliki 2 cucu. Namun, ia pun sedih karena Dewi
Pramesti, putrinya belum juga mengandung. Selanjutnya Prabu Jaya Purusa menyuruh Patih
Suksara pergi ke Gunung Padang untuk menikahkan putranya, yaitu Prabu Jaya Amijaya
dengan putri Ajar Subrata yang bernama Ken Satapi. Sesampainya di Gunung Padang, Patih
Suksara menceritakan maksud kedatangannya, oleh Ajar Subrata disetujui. Akhirnya, Prabu
Jaya Amijaya dinikahkan dengan Ken Satapi, pestanya selama 40 hari 40 malam. (Episode
17; hal. 225-248).
DAFTAR PUSTAKA
Atja. 1968. Carita Parahyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung:
Yayasan Kebudayaan Nusa Larang.
-----. 1970. Tjarita Ratu Pakuan: Tjerita Sunda Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj. Bandung:
Lembaga Bahasa dan Sedjarah. Terjemahan Teks oleh Undang A. Darsa. 2007. Dalam
Sundalana. Bandung: Kiblat.
Ayatrohaédi. 1975. "Masyarakat Sunda Sebelum Islam", BJ. 86:412-423.
Ayatrohaédi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Alih
Aksara dan Terjemahan. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jendral Kebudayaan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda.
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi. Yogyakarta: Kanisius.
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeolological Perspective. New York: Seminar Press.
Clark, David L. (ed.). 1977. Spatial Archaeology. London: Academic Press.
Dananjaya, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT
Pustaka Jaya Grafiti.
Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa. 1987. Sewaka Darma,
Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan
Terjemahan. Bandung: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
bagian Proyek Penelitian dan Pengka jian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Darsa, Undang A. 1998. Sang Hyang Hayu: Kajian Filologis Naskah Bahasa Jawa Kuno di
Sunda pada Abad XVI. Bandung: Universitas Padjadjaran.
-----. 2012. SÉWAKA DARMA: Suntingan Teks disertai Kajian Intertekstual dalam Naskah
Tradisi Sunda Kuno Abad XV-XVII Masehi (SÉWAKA DARMA: Text Edition with
Intertextual Studies in the Manuscript from the Old Sundanese Tradition (15th-17th
Centuries). Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
-----. 2012. Kodikologi Sunda; Sebuah Dinamika Identifikasi dan Inventarisasi Tradisi
Pernaskahan. Bandung: Rasdiaz Print.
Darsa, Undang A. & Edi S, Ekadjati. 2006. Kropak 420: Gambaran Kosmologi Sunda.
Bandung: Kiblat.
-----. 2006. Kropak 421: Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Ajicakra, Mantera
Darmapamulih, Ajaran Islam. Bandung: Kiblat.
Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A:
Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & École Française
d‘Extrême-Orient.
-----. 2004. Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420); Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji
Cakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam (Kropak 421); Jatiraga (Kropak 422).
Tokyo: The Toyota Foundation.
Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and the Profan. New York: Harcourt, Brace & World Inc.
Groslier, Bernard Philippe. 2002. Indocina Persilangan Kebudayaan. Jakarta-Paris: Gramedia.
Littlejohn, Stephen W. 1995. Theories of Human Communication. Belmont: Wadsworth
Publishing Company (Fifth Edition).
Magetsari, Nurhadi. 1999. Metode Interpretasi Dalam Arkeologi, makalah disampaikan dalam
Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Lembang, 22-26 Juni (tidak diterbitkan).
UADarsa-FIBU-1432014
27
Munandar, Agus Aris. 1991. ―Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data
Prasasti dan Karya Sastra,‖ dalam Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan
Pajajaran. Bogor: Universitas Pakuan dan Puslitarkenas.
-----. 1994. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda,‖ dalam Seminar Evaluasi Data dan
Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna (dalam Rangka Purna Bakti M. M. Soekarto
Karto Atmodjo). Yogyakarta, 23-24 Maret.
-----. 2007. Situs Sindang Barang: Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda
(Abad 13-15 M). Laporan Hasil Penelitian Awal. Bogor: Padepokan Giri Sunda Pura
Sindang Barang.
-----. 2008. ―Bangunan Suci dalam Masa Kerajaan Sunda: Tinjauan Terhadap Kerangka
Analisis‖, dalam Seminar “Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang”,
19-20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang, Bogor. Belum diterbitkan.
Mundardjito. 1993. Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan Situs Masa Hindu Buda Di
Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro. Disertasi Jakarta:
Universitas Indonesia.
Noorduyn, J. & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV. Terjemahan oleh
Hawe Setiawan, Tien Wartini & Undang Ahmad Darsa. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna.
Jakarta: Pustaka Jaya & KITLV.
Pleyte, C.M. 1913. ―De Patapaän Adjar Soekaresi, ander gezegd: de kluizenarij op den Goenoeng
Padang. Tweede bijdrage tot de kennis van het Oude Soenda‖. TBG 55: 231-428.
Raffles, T. S. 1817. The History of Java. 2 Vols. London-Blade: Parbury and Allen Murray.
Terjemahan oleh Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin & Idda Qoryati Mahbubah.
2008. Yogyakarta: Narasi.
Ricouer, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discouse and the Surplus of Meaning. Fortworth:
Christian University of Texas Press.
Saringendyanti, Etty. 1996. Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha: Tinjauan
Lingkungan Fisik Kabuyutan Di Jawa Barat. Tesis Magister Arkeologi. Jakarta: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Toynbee, Arnold J.1935. A Study of History. Vols. I-XII. New York: Oxford University Press.
Warnaen, Suwarsih, dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam
Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Sundanologi.
Widiyanto & Suprapto Dibyosaputro. 1991. ―Geomorfologi‖, dalam Evaluasi Sumberdaya
Lahan. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjahmada.
Zoetmulder, P.P. 1982. Old Javanese—English Dictionary. ‗S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
UADarsa-FIBU-1432014
28
LAMPIRAN
1. Data Toponimi
Istilah toponim diambil dari kata bahasa Belanda, toponymie, plaatsnaamkunde ‗pengetahuan tentang nama tempat‘. Penelitian toponim bagi
studi sejarah kebudayaan sangat penting karena di dalamnya terkandung nilai sejarah, baik yang bertalian dengan lingkungan alam maupun dengan
kehidupan manusia yang menempatinya. Pada dasarnya, penamaan suatu tempat diberikan oleh manusia secara sengaja dengan mempertimbangkan
unsur-unsur tradisi dan lingkungan, mitologi, legenda, sejarah, keadaan alam, dan lain sebagainya. Berikut ini disajikan data toponimi berdasarkan
beberapa buah naskah yang tergolong dalam kategori tradisi naskah Sunda Kno.
Tabel 1: Data Naskah Bujangga Manik
No.
N a m a L o k a s i
G u n u n g S u n g a i T e m p a t
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Bukit Ageung
Tompo Omas
Bukit Ceremay
Gunung Damalung
Gunung Gajah
Bukit Caru
Bukit Timbun
Bukit Sempil
Bukit Bongkok
Bukit Cungcung
Caremay
Gunung Agung
Gunung Larang
Gunung Rahung
Gunung Dihéng
Gunung Sundara
Gunung Kedu
Gunung Damalung
Gunung Karungrungan
Bukit Marapi
Gunung Pawitra
Gunung Gajah Mungkur
Gunung Rajuna
Gunung Mahaméru
Cilingga
Cinangsi
Citarum
Cipunagara
Cimanuk
Cijeruk-manis
Cisinggarung
Cipamali
Cipanas
Cikéncal
Ciluwer
Cihaliwung
Cipanangkilan
Cileungsi
Cihoé
Ciwinten
Citarum
Cilamaya
Cipunagara
Cimanuk
Cijeruk-manis
Cisinggarung
Cipamali
Cibularang
Puncak
Alas Éronan
Medang Kahiangan
Pada Beunghar
Conam
Luhur Agung
Tungtung Sunda
Alas Jawa
Majapahit
Alas Demak
Pamalang
Pabéyaan
Mandi Rancan
Ancol Tamiang
Samprok
Suka Kandang
Luwuk
Peuteuy Kuru
Kandang Sérang
Batur
Pakeun Tubuy
Pakeun Tayeum
Batur
Pakancilan
UADarsa-FIBU-1432014
29
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
51.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
Gunung Brahma
Gunung Hiang
Gunung Arum
Gunung Raung
Gunung Watangan
Gunung Hiang
Gunung Mahaméru
Gunung Kawi
Gunung Anyar
Gunung Kampud
Gunung Wilis
Gunung Lawu
Gunung Marapi
Gunung Sangkuan
Gunung Condong
Gunung Parasi
Gunung Galunggung
Panggarangan
Bukit Cikuray
Papandayan-Panénjoan
Gunung Agung-tanggeran Pagerwesi
Bukit Patuha-tanggeran Majapura
Bukit Pamerehan-tanggeran Pasirbatang
Gunung Kumbang-tanggeran Alas Maruyung
Bukit Caremay-tanggeran Padabeunghar
Tompo Omas
Tangkuban Parahu-tanggeran Gunungwangi
Gunung Marucung-tanggeran Srimanggala
Bukit Burangrang-tanggeran Saung Agung
Bukit Burung Jawa-tanggeran Hujungbarat
Bukit Bulistir-tanggeran Gunung Anten
Bukit Naragati-tanggeran Batuhiang
Bukit Barang-tanggeran Alas Kurungbatu
Bukit Banasraya-tanggeran Alas Sajra
Bukit Kosala
Bukit Catih-tanggeran Catih Hiang
Bukit Hulu Munding-tanggeran Demaraja
Bukit Parasi-taggeran Tegal Lubu
Gunung Kembang-geusan tiagi sagala
Cicomal
Cipakujati
Kali Godang
Ciwuluyu
Bagawan Cangku
Cironabaya
Cirabut-wahangan
Cironabaya
Ciwuluyu
Cibérang
Ciloh-paraga
Ciwatukura
Cilohku
Cisarayu
Cipaterangan
Muhara Citanduyan
Cimedang
Cikutrapinggan
Ciwulan
Ciloh-alit
Cisaunggalah
Citarum
Cihéa
Cisokan
Cimarinjung
Cihadéa
Cicaréngcang
Cisanti
Pancawara
Pakeun Dora
Pakeun Teluk
Balungbungan
Talaga Wurung
Umbul Medang
Umbul Songgol
Leuwi Nutug
Mulah Malik
Pasagi
Bala Indra
Paniis
Sanghiang Darah
Caringin Bentik
Bala Gajah
Mayanggu
Kandang Sérang
Ratu Jaya
Kadu Kanaka
Citeureupkeun
Tandangan
Cigeuntis
Goha
Timbun
Mandata
Ramanéa
Saung Agung
Medang Kahiangan
Tompo Omas
Pada Beunghar
Conam
Timbang
Hujung Barang
Kuningan Darma Pakuan
Luhur Agung
Tungtung Su(n)da
Arega Jati
Jalatunda
Lurah Barebes
UADarsa-FIBU-1432014
30
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
100.
101.
Gunung Hijur-taggeran Kujarjaya
Gunung Sunda-tanggeran Karangkiang
Bukit Karang-tanggeran Alas Karang
Gunung Cinta Manik-tanggeran Alas Rawa
Gunung Kembang-tanggeran Labuhanratu
Gunung (…)lér-tanggeran Alas Paméksér
Gunung Jereding-tanggeran Alas Mirah
Gunung Sudara
Gunung Guha Bantayan-tanggeran Hujung
Kulan
Bukit Cawiri
Gunung Raksa
Gunung Sri Maha Pawitra-tanggeran Panahitan
Gunung Manik
Gunung Sembung-hulu Citarum
Bukit Karesi
Bukit Langlayang
Palasari
Bukit Pala
Bukit Patégéng-sakakala Sang Kuriang
Bukit Ageung-hulu Cihaliwung
Bukit Bulistir-hulu Cimarinjung
Gunung Wayang
Bukit Malabar
Bukit Bajogé
Gunung Guntur
Mandalawangi
Gunung Kéndan
Bukit Patuha
Gunung Ratu-sanghiang Karang Caréngcang-
hulu Cisokan
Medang Agung
Lurah Gebuhan
Sangka
Suci-Agi-Agi
Moga Dana Kereta
Sagara
Balingbing
Arega Séla
Kupang-Batang
Pakalongan
Gerus
Tinep-Tumerep
Lurah Tabuhan
Darma Tumulus
Mano Hayu
Pajinaran
Panjalin
Sembung
Pakadangan
Padanara
Lurah Pantaran
Danara
Pidada
Jemas
Jajahan Demak
Welahulu
Pulutan
Medang Kamulan
Rabut Jalu
Larangan
Jempar
Lurah Gegelang
Bangbarung Gunung
Jero Alas
Daha
Pujut
Rambut Merem
Wakul
UADarsa-FIBU-1432014
31
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
Pacéléngan
Bubat
Manguntur buruan Majapahit
Darma Anyar
Karang Kajramanaan
Karang Jaka
Palintahan
Alas Gresik
Patukangan
Rabut Wahangan
Kadiran
Tandes-Ranobawa
Dingding
Panca Nagara
Sampang
Gending
Lésan
Kamang Kuning
Talaga Wurung
Panarukan
Patukangan
Balungbungan
Sélabatang
Bali
Malayu
Palémbang
Parayaman
Talaga Wurung
Baru
Padang Alun
Nusa Barong
Sarampon
Cakru
Lurah Kenep
Lamajang Kidul
Pacira
Ranobawa
Kayu Taji
Kukub
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

More Related Content

What's hot

01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)
01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)
01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)Hasmul Tafit
 
Kuala lumpur international air port
Kuala lumpur international air portKuala lumpur international air port
Kuala lumpur international air portYuwita Killua
 
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...bramantiyo marjuki
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang KabupatenPedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang KabupatenPenataan Ruang
 
Sosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan Sosial
Sosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan SosialSosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan Sosial
Sosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan SosialRania Afifa Dewi
 
04 teori perancangan kota
04 teori perancangan kota04 teori perancangan kota
04 teori perancangan kotaRinaBilo
 
Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959
Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959
Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959Andri Pradinata
 
Proposal sidang transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...
Proposal sidang   transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...Proposal sidang   transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...
Proposal sidang transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...Shahnaz Acrydiena
 
Pengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia
Pengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusiaPengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia
Pengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusiaRisa Octaviani
 
laporan-pendahhuluan-k-pdf.pdf
laporan-pendahhuluan-k-pdf.pdflaporan-pendahhuluan-k-pdf.pdf
laporan-pendahhuluan-k-pdf.pdfEmbumamoWewamesa
 
Struktur bangunan-bertingkat
Struktur bangunan-bertingkatStruktur bangunan-bertingkat
Struktur bangunan-bertingkatVersa Apriana
 
Data arsitek jilid 2
Data arsitek jilid 2Data arsitek jilid 2
Data arsitek jilid 2romend08
 
Azas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta Contoh
Azas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta ContohAzas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta Contoh
Azas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta ContohAlvin Karama
 
Jaringan air bersih
Jaringan air bersihJaringan air bersih
Jaringan air bersihrio aditama
 
Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031
Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031
Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031joihot
 
Teknik Penyelesaian dan Pemulihan Konflik
Teknik Penyelesaian dan Pemulihan KonflikTeknik Penyelesaian dan Pemulihan Konflik
Teknik Penyelesaian dan Pemulihan KonflikFirman Nugraha
 
Survey dan Pemetaan dalam Penataan Ruang
Survey dan Pemetaan dalam Penataan RuangSurvey dan Pemetaan dalam Penataan Ruang
Survey dan Pemetaan dalam Penataan Ruangushfia
 
Profile KOTAKU Kota Probolinggo
Profile KOTAKU Kota ProbolinggoProfile KOTAKU Kota Probolinggo
Profile KOTAKU Kota Probolinggokomunikasiosp
 

What's hot (20)

01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)
01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)
01. mendesain ruang kantor (luas dan pembagian tempat kerja)
 
Kuala lumpur international air port
Kuala lumpur international air portKuala lumpur international air port
Kuala lumpur international air port
 
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang KabupatenPedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten
 
Sosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan Sosial
Sosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan SosialSosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan Sosial
Sosiologi - Jenis dan Upaya Menanggulangi Perubahan Sosial
 
04 teori perancangan kota
04 teori perancangan kota04 teori perancangan kota
04 teori perancangan kota
 
Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959
Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959
Sejarah pendidikan pendidikan di indonesia 1945-1950 / 1950-1959
 
Proposal sidang transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...
Proposal sidang   transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...Proposal sidang   transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...
Proposal sidang transformasi spasial dan sosial ekonomi kawasan sekitar bin...
 
Pengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia
Pengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusiaPengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia
Pengertian dan kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia
 
laporan-pendahhuluan-k-pdf.pdf
laporan-pendahhuluan-k-pdf.pdflaporan-pendahhuluan-k-pdf.pdf
laporan-pendahhuluan-k-pdf.pdf
 
Struktur bangunan-bertingkat
Struktur bangunan-bertingkatStruktur bangunan-bertingkat
Struktur bangunan-bertingkat
 
FILSAFAT PRA-SOCRATES
FILSAFAT PRA-SOCRATESFILSAFAT PRA-SOCRATES
FILSAFAT PRA-SOCRATES
 
Data arsitek jilid 2
Data arsitek jilid 2Data arsitek jilid 2
Data arsitek jilid 2
 
Azas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta Contoh
Azas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta ContohAzas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta Contoh
Azas Perancangan Arsitektur: 5 Azas Perancangan Arsitektur beserta Contoh
 
tapak
 tapak tapak
tapak
 
Jaringan air bersih
Jaringan air bersihJaringan air bersih
Jaringan air bersih
 
Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031
Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031
Dokumen RTRW Kota Bandung Tahun 2011 - 2031
 
Teknik Penyelesaian dan Pemulihan Konflik
Teknik Penyelesaian dan Pemulihan KonflikTeknik Penyelesaian dan Pemulihan Konflik
Teknik Penyelesaian dan Pemulihan Konflik
 
Survey dan Pemetaan dalam Penataan Ruang
Survey dan Pemetaan dalam Penataan RuangSurvey dan Pemetaan dalam Penataan Ruang
Survey dan Pemetaan dalam Penataan Ruang
 
Profile KOTAKU Kota Probolinggo
Profile KOTAKU Kota ProbolinggoProfile KOTAKU Kota Probolinggo
Profile KOTAKU Kota Probolinggo
 

Similar to KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

Analisis Dewa Ruci (A Hadi)
Analisis Dewa Ruci (A Hadi)Analisis Dewa Ruci (A Hadi)
Analisis Dewa Ruci (A Hadi)Sumego GIBADL
 
Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan barat
Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan baratPerkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan barat
Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan baratKodogg Kritingg
 
Alam semesta 2
Alam semesta 2Alam semesta 2
Alam semesta 2murlina
 
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...trianaN
 
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...trianaN
 
Presentation astronomi menyingkap rahsia alam
Presentation astronomi menyingkap rahsia alamPresentation astronomi menyingkap rahsia alam
Presentation astronomi menyingkap rahsia alamBahroini Badron
 
Penelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’an
Penelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’anPenelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’an
Penelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’anHamzah
 
Sejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islam
Sejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islamSejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islam
Sejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islamIka Rahma
 
Alquran sumber sains modern sebenarnya
Alquran sumber sains modern sebenarnyaAlquran sumber sains modern sebenarnya
Alquran sumber sains modern sebenarnyaSyamima Dini
 
Philosopher and Scientist
Philosopher and ScientistPhilosopher and Scientist
Philosopher and ScientistEcyiie O'onk
 
Peran orang suci dalam penyebaran agama hindu
Peran orang suci dalam penyebaran agama hinduPeran orang suci dalam penyebaran agama hindu
Peran orang suci dalam penyebaran agama hinduWayan Permadi
 
53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdf
53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdf53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdf
53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdfagusprasodjo
 
[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Abaniyah
[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Abaniyah[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Abaniyah
[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman AbaniyahHana Medina
 
sastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adat
sastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adatsastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adat
sastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adatAjengIlla
 
Sejarah hubungan dengan india
Sejarah hubungan dengan indiaSejarah hubungan dengan india
Sejarah hubungan dengan indiaSMAN 1 LAMONGAN
 
Agama-Hindu-Petemuan-2.ppt
Agama-Hindu-Petemuan-2.pptAgama-Hindu-Petemuan-2.ppt
Agama-Hindu-Petemuan-2.pptnabilsaliminu
 

Similar to KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi) (20)

Analisis Dewa Ruci (A Hadi)
Analisis Dewa Ruci (A Hadi)Analisis Dewa Ruci (A Hadi)
Analisis Dewa Ruci (A Hadi)
 
18 36-1-sm
18 36-1-sm18 36-1-sm
18 36-1-sm
 
Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan barat
Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan baratPerkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan barat
Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam dan barat
 
Alam semesta 2
Alam semesta 2Alam semesta 2
Alam semesta 2
 
Mitologi hindu
Mitologi hinduMitologi hindu
Mitologi hindu
 
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
 
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
Makalah PERKEMBANGAN IPBA,GRAVITASI UNIVERSAL,HK. KEPPLER,GRAVITASI NEWTON, D...
 
002 keunikan manusia
002 keunikan manusia002 keunikan manusia
002 keunikan manusia
 
Presentation astronomi menyingkap rahsia alam
Presentation astronomi menyingkap rahsia alamPresentation astronomi menyingkap rahsia alam
Presentation astronomi menyingkap rahsia alam
 
Penelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’an
Penelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’anPenelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’an
Penelitian ilmiah - dibalik rahasia Al-Qur’an
 
Sejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islam
Sejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islamSejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islam
Sejarah pemikiran dan konsep keimanan serta koreksi islam
 
Alquran sumber sains modern sebenarnya
Alquran sumber sains modern sebenarnyaAlquran sumber sains modern sebenarnya
Alquran sumber sains modern sebenarnya
 
Philosopher and Scientist
Philosopher and ScientistPhilosopher and Scientist
Philosopher and Scientist
 
Peran orang suci dalam penyebaran agama hindu
Peran orang suci dalam penyebaran agama hinduPeran orang suci dalam penyebaran agama hindu
Peran orang suci dalam penyebaran agama hindu
 
53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdf
53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdf53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdf
53.1. Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia (Belum Edit).pdf
 
[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Abaniyah
[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Abaniyah[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Abaniyah
[AGAMA] Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Abaniyah
 
sastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adat
sastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adatsastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adat
sastra nusantara-mite, legenda, dongeng, foklor, upacara adat
 
Bram
BramBram
Bram
 
Sejarah hubungan dengan india
Sejarah hubungan dengan indiaSejarah hubungan dengan india
Sejarah hubungan dengan india
 
Agama-Hindu-Petemuan-2.ppt
Agama-Hindu-Petemuan-2.pptAgama-Hindu-Petemuan-2.ppt
Agama-Hindu-Petemuan-2.ppt
 

Recently uploaded

Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxssuser35630b
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarankeicapmaniez
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxssuser50800a
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxRizkyPratiwi19
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 

Recently uploaded (20)

Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 

KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

  • 1. KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi) Undang A. Darsa1 1. Konsepsi Kosmologi Istilah kosmos (Yunani) berarti susunan atau ketersusunan yang baik; lawannya ialah khaos yang artinya keadaan kacau-balau. Jadi, kosmologi ialah ilmu pengetahuan tentang tata alam jagat raya. Dewasa ini, kosmologi juga dipergunakan dalam ilmu-ilmu empirik guna menunjukkan ilmu mengenai evolusi kosmis2. Dalam kaitan ini manusia terikat erat pada alam semesta dan memiliki pandangan terhadap adanya hubungan gaib secara timbal-balik antara manusia dengan alam semesta itu. Demikian pula konsep tata ruang masyarakat Nusantara yang di dalamnya termasuk Sunda secara kosmologis berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Nusantara memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Berkaitan dengan ini, Eliade3 berpendapat bahwa pada umumnya manusia religius mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan, yaitu dunia, manusia, dan terhadap apa yang dianggapnya suci atau sakral. Dunia merupakan wilayah yang sudah dikonsentrasikan sebagai kosmos. Sementara di luar wilayah itu, masih merupakan dunia lain, dunia yang kacau, asing, tempat tinggal roh-roh, setan, jin, dan sebagainya. Keadaan yang kacau dan tidak berbentuk itulah disebut khaos. Wilayah tersebut dapat dijadikan daerah teratur dan berbentuk dengan cara peniruan, yaitu penciptaan semesta alam oleh para dewa melalui upacara. Dalam pandangan kosmologis, dunia terdiri atas tiga lapisan, yaitu: (1) dunia atas yang merupakan dunia Illahiah, surga, tempat para roh suci dan para leluhur; (2) dunia tengah yang merupakan dunia hunian manusia dan makhluk-makhluk lainnya ciptaan Sang Khalik; dan (3) dunia bawah yang merupakan dunia atau alam kematian. Ketiga dunia ini membentuk tiga lapisan yang dihubungkan dengan sebuah poros yang disebut axis mundi. Axis mundi terletak pada pusat dunia yang menghubungkan lapisan dunia yang satu dengan dunia yang lain. Melalui axis mundi itulah manusia mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Tidak heran bila dalam membangun sebuah negeri, kota bahkan rumah, manusia selalu berusaha mendekatkannya dengan pusat dunia4. Konsep kosmologi secara universal sudah mentradisi pada setiap bangsa di dunia. Dalam tatanan pandang masyarakat Sunda, antara lain, digambarkan dalam naskah Sunda Kuno5 yang berjudul Sang Hyang Hayu (XVI Masehi)6, tata ruang jagat raya (kosmos) 1 Dosen & Peneliti Bidang kajian Utama Filologi (Tradisi Tulis Kuno) FIB Unpad. 2 Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi; Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 3 Mircea Eliade dalam bukunya berjudul The Sacred and the Profan, 1959. New York: Harcourt, Brace & World Inc. 4 Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, hal. 44-49. 5 Naskah Sunda Kuno yang ditemukan berjumlah puluhan, namun yang telah ditransliterasi dan diterjemahkan, di antaranya, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Sewaka Darma, Serat Dewabuda, Kawih Paningkes, Jatiniskala, Amanat Galunggung, Kisah Bujangga Manik, Carita Parahiyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Hayu, dan Sanghyang Ragadewata. Naskah-naskah kuno tersebut berasal dari sekitar abad 13 sampai dengan akhir abad 16 Masehi. 6 Naskah SHH kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, dengan kode kropak: Br.634 (Serat Catur Bumi), Br.636 (Serat Buwana Pitu), Br.637 (Serat Sewaka Darma), dan Br.638 (Serat Dewa Buda). Keempatnya berbahan nipah ditulis dalam model aksara Gunung dengan tinta. Pada tahun 1988, Ayatrohaédi melakukan transliterasi dan terjemahan Br.638. Penulis sendiri pada tahun 1990 s.d. 1993 berhasil mentransliterasi ketiga kropak lainnya, termasuk mentransliterasi ulang kropak Br.638. Dilihat dari nama yang tertempel pada tiap-tiap kropak jelas berbeda, namun ketika dibaca keempat kropak itu isinya sama, semua diawali dengan Ndah Sang Hyang Hayu ‘Inilah Sang Hyang Hayu’. Di antara keempat kropak itu hanya satu yang secara jelas mencantumkan angka tahun, yaitu Br.634: panyca warna catur bumi (1445 Saka/1523 Masehi). Naskah Sang Hyang Hayu ini terdapat pula dalam koleksi Kabuyutan Ciburuy Garut. Lihat tesis Undang A. Darsa, Pascasarjana Unpad, 1998.
  • 2. UADarsa-FIBU-1432014 2 terbagi menjadi tiga susunan, yaitu: (1) susunan dunia bawah yang dinamakan saptapatala ‗tujuh neraka‘, (2) buhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan (3) susunan dunia atas yang dinamakan saptabuana atau buanapitu ‗tujuh tingkat alam kesorgaan‘. Jadi, tempat di antara saptapatala dengan saptabuana itulah yang disebut madyapada, yakni pratiwi ‗dunia tempat manusia‘. Hal serupa sama dengan bagian dalam teks naskah Sunda Kuno berjudul Sanghyang Raga Dewata (XVI Masehi) yang mengisahkan proses penciptaan jagat raya beserta segala isinya, hanya cara pemaparannya yang agak berbeda dengan teks naskah Sanghyang Hayu. Begitu pula dalam bagian teks naskah Sunda Kuno yang berjudul Kisah Sri Ajnyana (XVI Masehi)7 yang mengisahkan proses turunnya manusia ke dunia, di dalamnya dilukiskan tentang struktur kosmos. Pada bagian teks naskah Kawih Panyaraman (1483 M) yang berisi tentang ―Séwaka Darma‖ pun terdapat episode yang intinya melukiskan bagian susunan dunia atas sebagai aras langitan alam kesorgaan. 2. Struktur Kosmologi Sunda Konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis umumnya cenderung bersifat triumvirate ‗tiga serngkai, tritunggal‘. Dalam tatanan tersebut, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Pada masa yang lalu, gambaran mengenai alam semesta ini tercatat dalam naskah-naskah Sunda kuno. Salah satu naskah yang menggambarkan mitos tentang proses penciptaan alam adalah teks naskah berbahasa Sunda Kuno Sang Hyang Raga Dewata8. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa proses penciptaan alam meliputi buwana (jagat raya), pretiwi (bumi), sarira (diri sendiri), dan para dewa pengatur jagat. Penciptaan alam diawali dengan dibangunkannya siang dari kegelapan oleh kekuatan Sang Bayu (Yang Maha Kuat) dari Sang Hyang Raga Dewata. Setelah itu, diciptakanlah bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan angkasa raya. Matahari ditempatkan di arah timur dan bulan di arah barat. Bumi, oleh Sang Hyang Tunggal diciptakan dari sebutir telur yang terbuat dari sekepal tanah liat. Ketika telur itu menetas, menjelmalah berbagai makhluk, di antaranya adalah Batara Guru yang ditempatkan di Gunung Kahyangan. Batara Guru dapat menjelma sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa. Ia juga berhak mengendalikan Batara Basuki penguasa bumi dan Batara Baruna penguasa lautan. Sang Hyang Raga Dewata adalah Dzat Tunggal sebagai pencipta tetapi tidak dicipta, sebagai pembuat tetapi tidak dibuat, dan yang mengetahui tetapi tidak diketahui. Dialah Maha Pencipta. Manusia adalah salah satu makhluk yang dipandang sebagai mikrokosmos jagat raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan Siksa Sanghyang Darma atau Ajaran tentang Hukum-hukum. Itulah manusia ideal yang kelak dapat mencapai kesempurnaan surga abadi9. Naskah kuno lainnya yaitu Kropak 42210 yang menyebutkan bahwa alam semesta terbagi dalam tiga buana atau dunia, yaitu sakala (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan 7 Naskah ini merupakan koleksi Museum Nasional, kini Perpustakaan Nasional Jakarta, lihat Noorduyn & Teeuw (Three Old Sundanese Poems. 2003). 8 Sang Hyang Raga Dewata merupakan salah satu naskah milik Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” dengan nomor kode koleksi 07.106. Naskah itu berasal dari Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1991. Ukuran fisik naskah meliputi: (a) Kropak : 26,5 x 2,5 x 4,5 cm; (b) Lempir : 23,5 x 3,5 cm. Jumlah (a) Lempir: 25 (21 utuh; 4 tidak utuh); (b) Halaman: 50 (47 ditulisi; 3 kosong). Bahan Naskah: nipah. Tipe aksara: Gunung atau Buda abad ke-16, model Priangan (Ciburuy, Galuh) dan Cirebon (Talaga) yang ditulis dengan tinta (Holle, 1882). Bahasa: Sunda Kuno. Bentuk Karangan: Prosa (Ekadjati & Darsa, 2000: 242-243). 9 Ekadjati & Darsa, 2000: 244-245. 10 Kropak 422 tercatat sebagai koleksi naskah Perpustakaan Nasional Jakarta, yang diberikan oleh Bupati Galuh R.A.A. Kusumadiningrat. Kropak ini berasal dari Kabuyutan Kawali, Ciamis yang ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda Kuna. Beradasarkan tempat temuannya, diduga naskah ini ditulis ketika Kerajaan Sunda beribukotakan di Kawali pada abad 14-15 Masehi (Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 15-17: Ayatrohaédi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa, 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Alih Aksara dan Terjemahan. Bandung: Departemen
  • 3. UADarsa-FIBU-1432014 3 jatiniskala (kemahagaiban sejati). Buana sakala adalah alam nyata sebagai tempat tinggal manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat diindra. Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadari-bidadari, apsara-apsari, dan sebagainya, serta berkedudukan lebih tinggi dari manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan terdiri atas surga dan neraka. Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah Dzat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, Dzat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Dzat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas11. Tabel 1: Alam Semesta menurut Naskah Kropak 422 Jagat Semesta Susunan Ruang Tempat Hunian Jatiniskala (Kemahagaiban Sejati, Kahyangan) Ø Sang Hyang Manon atau Si Ijunajati Nistemen. Niskala (Alam Gaib) Surga Makhluk gaib: dewa-dewi, bidadara- bidadari, apsara-apsari, dan rokh-rukh halus. Neraka Manusia yang tidak menjalani ajaran Sanghyang Manon Sakala (Alam Nyata, Dunia) Ø Manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk lainnya. Sebagaimana teks naskah tersebut, jagat langitan digambarkan tidak jauh berbeda dalam teks naskah Sri Ajnyana baris 360-400; dan 470-106512. Setelah meninggalkan bumi, raga mereka yang bercahaya bagaikan kunang-kunang tiba di alam pertama yaitu angkasa, alam tengah antara langit dan bumi. Setelah itu, sampai ke Sanghiyang Limur (surga di dalam kabut), Yogadita (surga Hyang Mega), Taranggana (surga Hyang Bintang). Tahap selanjutnya tiba di Sadinem (surga Hyang Wulan), Gerehananda (surga Hyang Rahu). Setelah melewati itu, mereka menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit, dan akhirnya menaiki tangga emas kencana di istana Pancamirah. Setingkat di atasnya terdapat kahyangan di keempat wilayah, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Kahyangan timur, ditempati oleh Isora Guru yang disebut Jambudrasana, meru bertiang perak, tempat tujuan pertapa sejati. Kahyangan selatan ditempati oleh Brahmaloka, meru beratap tembaga. Kahyangan ini adalah tempat bagi orang-orang yang melaksanakan janjinya dan orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar. Kahyangan barat tidak bernama, meru beratap emas ini menjadi tujuan orang-orang yang memberikan bantuan amal (dana punya). Akhirnya, kahyangan utara disebut utarapada, meru tumpang tiga, tempat tujuan para pahlawan perang. Setelah melewati tempat itu, menyusuri jalan raya yang lurus ke langit kencana yang disebut sorga kancana dan bumi kancana. Jalan yang dibatasi oleh barisan pepohonan dan perdu, melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing, jembatan-jembatan, dari satu ke lain tangga. Wewangian semerbak rupa-rupa bunga di sepanjang jalan mengiringi perjalanan hingga tiba di surga kencana, tempat Sri Ajnyana sebelum diturunkan ke bumi. Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. 11 Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 24-26. 12 Naskah Sri Ajnyana adalah salah satu naskah kajian Noorduyn dalam Kropak Jakarta, nomor 625. Naskah ini berbahasa Sunda kuna, dan tidak bernama. Kemudian Noorduyn memberi nama Sri Ajnyana sesuai dengan tokoh dalam naskah tersebut, dan dibukukan dalam Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. KITLV, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa, dalam Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2009, hal. 260-277.
  • 4. UADarsa-FIBU-1432014 4 Setelah beranjak dari situ, Sri Ajnyana pergi dan melintasi berbagai kahyangan. Dia melintasi keempat jagat (caturloka), kemudian buana Meukah bernama surga Siak. Naik setingkat dari sana, sampai ke Sanghiyang Lengis, tempat tinggal Manondari dan Puah Nilasita, istri Hyang Surugiwa yang mati mengorbankan diri. Setelah itu, tiba di Sangkan Herang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (dewi padi), kemudian tiba di Sari Dewata tempat tinggal Wiru Mananggay, Manarawang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (lain) dan Dewi Satiawati. Setelah meninggalkan tempat-tempat di kahyangan, Sri Ajnyana melalui Budi Keling dan Rahina Sada tiba di Rahina Wengi kediaman Puah Lakawati. Untuk kemudian turun ke bumi, tiba di dunia dan sampai ke Mandala Singkal, pertapaan tempat tinggal sebagai manusia. Secara garis besar uraian alam semesta dalam naskah itu sebagaimana tabel berikut. Tabel 2: Alam Semesta dalam Sri Ajnyana Jagat Semesta Susunan Ruang Tempat Hunian Niskala (Kahyangan) Bumi Kancana (Manarawang) Sanghiang Sri dan Dewi Satiawati Sari Dewata Wiru Mananggay, nu watek titiagian meyet manéh mo lakian Sangkan Herang, Sanghiang Sri (Dewi Bumi), Sanghiyang Lengis Manondari; Puah Nilasita istri Sang Surugiwa Buana Meukah (Surga Siak) Ø Catur Loka Ø Surga Kancana Ø Angkasa (Alam Tengah Antara Langit dan Bumi) Kahyangan Jagat Utara: Meru Tumpang Tiga; Timur: Meru Bertiang Perak, disebut Jambudrasana tempat tinggal Isora Guru; Barat: Meru Beratap Emas Selatan: Meru Beratap Tembaga, disebut Kahyangan warna merah, tempat tinggal Batara Brahma. Istana Pancamirah Ø Sadinem Hyang Wulan Gerehananda Hyang Rahu Sanghiyang Limur Hyang Kabut Yogadita Hyang Mega Taranggana Hyang Bintang Sakala (Alam Nyata) Ø Tempat tinggal manusia Teks naskah Sang Hyang Hayu13 diawali dengan seruan Sang Pembicara kepada para pendengarnya, khususnya kepada para pencari ilmu pengetahuan supaya dapat menyimak secara sungguh-sungguh mengenai pokok cerita dari ajaran suci yang dituturkan seorang mahaguru (wiku). Pembicaraan diawali dengan asal mula penciptaan terjadinya para dewa golongan Siwais (Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa) maupun golongan Resi yang dikenal dengan istilah Pancakusika (Kusika, Garga, Mestri, Kurusya, dan Patanjala), aneka ragam Buda, dan termasuk ruh-ruh jahat (yaksa ‗raksasa jahat setengan dewa‘, pisaca ‗kuraci, setan‘, prata ‗hantu‘, buta ‗raksasa rakus‘ pitara ‗arwah leluhur gentayangan‘). Menurut tuturan para leluhur, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan, yaitu: (1) susunan dunia bawah, saptapatala ‗tujuh neraka‘, (2) buhloka adalah bumi tempat 13 Darsa, Undang A. 1997. Sang Hyang Hayu. Tesis Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
  • 5. UADarsa-FIBU-1432014 5 kita berada saat ini yang disebut madyapada; dan (3) susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‗tujuh sorga‘. Jadi, di antara saptapatala dan saptabuana disebut madyapada, yakni pratiwi ‗dunia tempat manusia‘. Saptapatala itu susunan bentuknya bagaikan kerucut tengadah, yang terdiri atas tujuh neraka: patala, nitala, sutala, talantala, talaningtala, mahatala, dan atyanta artapatala ‗neraka terdalam yang sangat mengerikan‘. Sedangkan susunan Saptabuana atau Buanapitu menyerupai keadaan sarang lebah berbentuk labu, terdiri atas tujuh loka ‗ruang lepas-bebas‘, yakni: buwahloka, suwahloka, janahloka, tapwaloka, satyaloka, mahaloka, dan atyanta artaloka ‗sorga tertinggi‘. Setelah saptabuana masih ada tempat tujuh susun yang bersuasana kasunyian ―sunyi- hampa‖, yaitu sunya, atisunya, paramasunya, atyantasunya, nirmalasunya, suksmasunya, dan acintyasunya. Di atasnya lagi adalah tujuh susun yang berupa tempat taya ―kesirnaan- lenyap‖, yaitu taya, atitaya, paramataya, atyantataya, nirmalataya, suksmataya, dan acintyataya. Kemudian, di atas tempat tersebut masih ada tempat yang dinamakan abyantarataya ‗bagian terdalam kesirnaan‘. Abyantarataya artinya tidak dapat terjangkau oleh cahaya bintang, rembulan, matahari, pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar, guruh, guntur, meteor, paramanuh ‗partikel-partikel kecil, atom‘, dan berbagai suara mahluk hidup. Semua itu tidak akan pernah sampai ke sana. Setelah abyantarataya adalah pancatanmantra ‗unsur halus‘ yang terdiri atas buddi ‗bijak‘, guna ‗pandai‘, pradana ‗saleh‘. Di atas itu terdapat sunyataya nirmala ‗kesunyisenyapan suci abadi‘; dan berakhir pada tingkat kanirasrayan ‗kemahakuasaan atau kebebasan tertinggi‘, yakni ―takdir‖. Susunan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3: Alam Semesta menurut Sang Hyang Hayu Susunan Alam Susunan Ruang Bagian Ruang Saptabuwana atau Buwanapitu (Tujuh Surga) (7) Kanirasrayan, artinya ruang ‗kemahakuasaan atau kebebasan tertinggi‘, yaitu ―Takdir‖ Ø (6) Sunyatayanirmala, artinya ruang ‗kesunyisenyapan suci abadi‘ Ø (5) Pancatanmantra, artinya ruang buddi ‗bijak‘, guna ‗pandai‘, pradana ‗saleh‘ Ø (4) Abyantarataya, artinya ruang yang tidak dapat terjangkau oleh cahaya: bintang, rembulan, matahari; pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar, guruh, guntur, meteor, paramanuh ‗partikel-partikel kecil, atom‘; dan berbagai suara mahluk hidup. Ø (3) Taya (Ruang Kesirnaan) (7) Acintyataya (6) Suksmataya (5) Nirmalataya (4) Atyantataya (3) Paramataya (2) Atitaya (1) Taya
  • 6. UADarsa-FIBU-1432014 6 (2) Kasunyian (Ruang Kesunyian- Kehampaan) (7) Acintyasunya (6) Suksmasunya (5) Nirmalasunya (4) Atyantasunya (3) Paramasunya (2) Atisunya (1) Sunya (1) Loka (Ruang Lepas-Bebas) (7) Atyantaartaloka (6) Mahaloka (5) Satyaloka (4) Tapwaloka (3) Janahloka (2) Suwahloka (1) Buwahloka Buhloka atau Madyapada (Dunia Tempat Tinggal Manusia) Ø Ø Sapta Patala (Tujuh Neraka). (1) Patala Ø (2) Nitala Ø (3) Sutala Ø (4) Talantala Ø (5) Talaningtala Ø (6) Mahatala Ø (7) Atyanta Artapatala (Neraka yang sangat mengerikan). Ø Teks naskah Sewaka Darma14 — isi Kawih Panyaraman menurut SKK ─ lebih menekankan keadaan di dunia atas. Teks ini berisi pengajaran keagamaan tempat Sang Séwaka Darma sering muncul sebagai murid yang harus diberi tuntunan perihal segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian. Dibicarakan pula nilai-nilai moral dan etis serta berbagai hal yang terdapat di dunia, dan di alam kesorgaan juga tentang kosmologis. Pendek kata, isinya sarat dengan ajaran mistis religio-filosofis dari koalisi tradisi lokal Sunda dengan konsep-konsep Hindu Budha15. Sebagai sebuah teks tutur dalam bentuk puisi Sunda Kuno, teks SD berbicara mengenai pengajaran guru kepada murid. Ada dua bagian utama yang digambarkan dalam teks ini setelah terlebih dahulu diawali tujuh larik pembukaan. Dalam paruh pertama tokoh utama, Sang Séwaka Darma adalah seorang murid yang menerima berbagai wejangan keagamaan dan moral dari seorang guru, yang dinamakan pandita, mahapandita, déwatakaki, atau sang nugraha ‗yang menyampaikan anugerah‘, juga petuah-petuah tentang nasib buruk yang menunggunya apabila ia mengabaikan petunjuk-petunjuk itu. Dengan demikian, ingetkeun na dasasila, iseuskeun na panycasaksi ‗ingatlah tentang dasasila, camkanlah dalam pancasaksi‘ (0016-0017). ‗Apabila salah dalam perilaku, buruk itikad dan buruk pikiran, iri dengki kepada 14 Lihat Darsa (2012). 15 Mengenai pembauran antara konsep-konsep Hindu dan Budha dapat disimak pula, antara lain dalam teks Poernawidjaja’s Hellevaart of de Volledige Verlossing ‘Perjalanan Suci Purnawijaya atau Pembebasan Sepenuhnya’ (Pleyte, 1914), sebuah teks naskah Sunda Kuno yang diduga merupakan adaptasi dari teks Jawa Kuno Kuñjarakarņa yang berasal dari wilayah Jawa Barat (Kern,1922: 1-76; Zoetmulder, 1983: 470-478; van der Molen, 1983). Bosch (1928) menyatakan hal semacam ini sebagai “sinkretisme”, namun Gonda (1970) menyarankan supaya digunakan istilah “koalisi” yang berdenotasi memperjuangkan tujuan akhir yang sama lewat jalan berbeda. Hal ini tampak dalam teks yang tengah dihadapi peneliti sekarang pun menunjukkan adanya perbauran konsep-konsep Hindu dan Budha ke dalam tradisi Sunda. Hal-hal yang sama antara satu dengan yang lain itu ialah berupa konsep tentang prinsip tertinggi dengan berbagai manifestasinya. Jadi biarpun jalan-jalan yang ditempuh tampaknya berbeda-beda, tetapi akhirnya puncak yang sama bisa dicapai.
  • 7. UADarsa-FIBU-1432014 7 orang lain, sampai-sampai meneluh dan meracuni, mengguna-gunai dan menyakiti hati, setiap yang mendorong tekad jahat, apalagi benar-benar berdusta, membunuh orang-orang budiman, menuntut yang tidak berdosa. Itulah yang disebut kejahatan sesungguhnya (0045-0054). Maka dingatkan: Mulah sia jajamuga, kéna éta na drebya, kéna ti inya sangkanna, sangkan suka saka duka, mula hala lawan hayu, uit pati lawan hurip, tangkal sorga lawan papa ‗Jangan sampai engkau sukses, jika itu semata-mata karena harta, sebab dari situlah asalnya, sumber kesenangan dan pangkal derita, awal keburukan dan kebajikan, jembatan kematian dan kehidupan, sumber kebahagiaan dan kesengsaraan‘ (0062-0068). Intinya berisi berbagai ajaran atau petunjuk untuk menghindarkan diri dari segala godaan perilaku yang tidak sesuai dengan norma kehidupan duniawi. Bagian teks berikutnya ialah mengenai paparan atau pelukisan perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi. Pemaparan hal dimaksud diawali ketika sang murid diberi tahu bahwa sekarang tiba saatnya bertemu di ambang maut. Terlihat jelas perbatasan, dan terdengar bertalu-talu pertanda sudah sampai waktunya bayu-sabda-hedap ‗tenaga-kata-pikiran‘ hendak meninggalkan tempat. Ketika: jalan anggeus dicaangan, dora anggeus dibukakeun ‗jalan sudah diterangi, gerbang sudah dibukakan‘ (0546-0547), barulah samecat Sanghiang Atma, sadiri na ti kurungan (0550-0556) ‗atma lepas dari jasad‘. Tiga serangkai bayu-sabda-hedap ini termasuk salah satu rangkaian yang disebut ―tiga rahasia‖ dalam SHH. Sebutan itu mengisyaratkan ketiganya sangat halus, sangat pelik, samar-samar dan sulit ditangkap. Ketiganya adalah kekuatan hidup yang amat halus yang menyebabkan adanya berbagai kenyataan. Ketiga unsur halus yang lepas itu sangat besar pengaruhnya bagi jiwa. Jiwa yang telah kehilangan tiga unsur itulah yang disebut atma, juga biasa disebut sukma, yakni roh murni. Bayu mengandung makna yang amat luas. Bayu tidak terbatas tempatnya. Bayu adalah segala daya yang terasa dan teraba. Dalam pada itu, salah satu hal penting mengenai sabda ialah ada sabda yang tersembunyi di dalam sabda itu sendiri. Artinya, ada sabda sama halnya dengan tidak ada sabda. Sabda seperti juga bayu, mengisi seluruh mahluk dan jagat semesta. Sabda merupakan pembuka tabir rahasia karena dengan sabda dapat menamai segala apa yang tampak dan terdengar, yang terasa dan teraba, pemasti dunia yang nyata dan yang tidak nyata, sarana perjanjian di alam semesta; dan sabda tidak akan pernah berkurang meskipun mahluk bertambah. Hedap juga seperti bayu dan sabda, tanpa batas. Hedap itu ketika digunakan untuk: melihat keluar dari mata, mendengan keluar dari telinga, mencium keluar dari hidung, merasa keluar dari lidah, dan meraba keluar dari kulit. Hedap pulalah yang membuat sesuatu hadir dan sirna dalam mimpi. Kasar dan lembutnya bayu sabda hedap dapat diketahui. Kasarnya bayu karena bisa dimasukkan, dikeluarkan, dan ditahan di hidung; lembutnya bayu tak terpegang. Kasarnya sabda adalah apa saja yang bisa terdengar, terucapkan, dan tertahan; lembutnya sabda karena tak terlihat. Kasarnya hedap dapat digunakan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa; lembutnya hedap tak pernah kesulitan ke mana pun pergi serta begitu cepat sampai ke tujuan, tak berbekas, dan tak bersisa. Makanya tatkala atma terbebas dari ketiga unsur itu disimbolisasikan berkilau bagaikan emas pindah, bagaikan kunang-kunang terbang, bagaikan pelangi muncul, bagaikan panah melesat naik, tiada yang menghalang-halangi. Adapun yang disebut persimpangan, tiada lain dari tujuh jalan mendaki, simpangannya bercabang lima, jalan yang sama lebarnya. Berbagai marabahaya telah terlangkaui atma, bahkan penjaga gerbang neraka, Sang Yama tiba- tiba menyembah melihat atma berlalu menuju alam kesorgaan. Tidak kesulitan atma menempuh jalan besar tanpa hambatan yang jejak sapunya masih rapi. Bunyi burung tekukur, perkutut, dan burung jalak telah membuatnya segar dan terhibur. Penggambaran mengenai keadaan alam menjelang atma naik melewati berbagai lapisan aras langitan ini dikembangkan melalui deskripsi panjang (0582-0900) dengan penuh pesona aneka ragam tanaman bunga16 yang tidak kurang dari empat puluh jenis. Setelah 16 Bunga tampaknya telah sejak lampau dijadikan tradisi sebagai lambang kesucian dan lambang ketulusan hati sanubari yang diwarisi dan diwariskan turun-temurun.
  • 8. UADarsa-FIBU-1432014 8 menyebut aneka bunga, dilukiskan bangunan yang tiangnya bertaburkan intan permata mengelilingi jalan, tentu saja lengkap dengan bunga warna-warni yang cerah kemerahan, diperindah dengan saluran air berjajar, nyatanya parit-parit yang mengapit tiap-tiap tepi pertamanan. Tidak mengherankan bila aroma aneka ragam bunga itu memikat berbagai jenis kumbang dan tawon. Gaungan serta dengungan kumbang dan tawon itu laksana menciptakan bunyi alunan paduan suara beragam alat musik yang harmonis. Petit saron bertautan dengan suara gong dan tambur, suara dram turut mengembang, suara lembut tarawangsa, suara kecapi menyenangkan, suara kukuran besar, suara calintuh17 di laut. Semua bergema di sekitar telaga tenang yang berada di lokasi yang tertata rapi. Tanah pedataran diberi batas, ada ngarai diberi jembatan, tanah miring diberi titian, tanah berbukit dibuat tangga-tangga. Harum wewangian pun memenuhi udara perjalanan atma ke tingkat-tingkat alam kesorgaan. Di lokasi air pensucian berupa pancuran tembaga dengan gayungnya berupa mangkuk perak, sang atma dimandikan, dikeramasi, dan disucikan dari dasamala ‗sepuluh noda‘. Lalu ia dipangku duduk di kursi dalam sebuah bangunan emas oleh ibunda nan penuh kasih, perintah dari kahyangan. Bangunan itu terbuat dari aneka ragam logam pilihan dengan beragam motif ukiran yang dilengkapi serba macam hiasan permata. Di situ, sang atma berganti pakaian, dihias indah diolesi wewangian sehingga kembali ke rupa sejati. Inilah sebuah anugerah nyata bagi nu tuhu mangun hayu, laksana miguna tapa, nuturkeun saur nu tuhu, mapay sabda nu bisa, kéna tutur kawastuanana ‗yang setia berbuat kebaikan, berhasil melaksanakan tapa, mengikuti nasihat yang benar, menuruti perkataan orang mengerti, karena berisi tutur kebenaran‘ (0833-0837). Segala macam gogaan sudah tak akan mempan menerjang sang atma, betapapun datang para bidadara ataupun bidadari dengan aneka ragam hiasan pakaian serba indah yang mereka kenakan, pahi nanggeuy jurung omas, teherna mawa aisan ‗sambil menating lempengan emas, kemudian membawa gendongan‘ (0866-0867). Yang jelas semenjak berada di tempat ini, sang atma diaping bisikan lembut sang ambu utusan dari kahiangan menjelang perjalanan berikutnya menuju lapisan aras langitan. Intinya, ia mesti menghindari beragam pesona bentuk keindahan dan kesenangan keduniawian di masa lalu, di alam sakala. Dengan kemampuan mengendalikan serta menahan segala hasrat maka ia akan nyaman dan ringan sehingga terbebas lepas dari ketidaksempurnaan. Barulah setelah itu sang atma beranjak naik ke alam kesorgaan pertama lewat pelangi nyelinap ke matahari lalu digapainya tangga emas menuju tingkat-tingkat aras langitan. Sang atma tiba di wekas ning sabda ‗alam kesirnaan suara‘, batas antara siang dan malam. Lewat setingkat dari situ, ia tiba di caturloka, empat tempat bersemayamnya para dewa pelindung jagat, tempat yang terang-benderang sehingga terlihat arwah para leluhur. Di timur, Batara Isora dengan kahyangan perak putih, tujuan yang lulus tapa. Di utara, Batara Wisnu dengan kahyangan pagoda hitam, tujuan yang sempurna perbuatannya. Di barat, Batara Mahadewa dengan kahyangan pagoda kuning, tujuan kaum pahlawan perang berani mati. Di selatan, Batara Brahma dengan kahyangan warna merah, tempat para penghuni neraka yang suka memperbudak dan menyengsarakan orang. Di tengah, Batara Siwa dengan kahyangan baranang siang, tujuan mereka yang suka beramal shaleh serta mengamalkan budi pekertinya. Lewat setingkat dari situ, sang atma tiba di Sanghiang Lengis, kahyangan licin serba mengkilap yang dihuni oleh Manondari, Dewi Nyanawati, dan Pwah Nilasita. Kita kenal tokoh Manondari isteri Rawana dan Nilasita isteri Sugriwa dalam teks naskah lontar Sunda Kuno yang memuat kisah putera Rama dan Rawana atau yang lebih dikenal dengan Pantun Ramayana. Di sinilah sorga para isteri setia kepada suami yang tidak mau berbuat ingkar. Sang atma naik ke tingkat berikutnya, namanya Sangkan Hérang, sumber kejernihan tempat Sang Sri Dewi Pertiwi. Tokoh inilah yang biasa dikenal dalam mitos lokal Sunda dengan sebutan Nyi Pohaci Sanghiyang Sri sebagai dewi bumi yang dipercaya kuat dalam urusan pertanian. Setingkat berikutnya yang dilalui sang atma adalah Saridéwata kediaman Wiru Mananggay, Pwah Lakawati, dan Pwah Sekar Dewata. Inilah mahligai para wanita pertapa yang memantapkan dirinya tak bersuami karena bertepuk sebelah tangan. Penjelajahan sang atma naik setingkat 17 Batang bambu yang ruasnya dilubangi agar berbunyi bila tertiup angin; hingga sekarang masih bisa kita saksikan di bukit-bukit perladangan masyarakat Kanekes, Baduy.
  • 9. UADarsa-FIBU-1432014 9 lagi ke Wekasning Caang, artinya siang selama-lamanya, siang yang abadi, tempat para pertapa perempuan yang shalehah. Setingkat dari situ lalu sampailah sang atma ke Bungawari, yaitu penghujung langit terluar, lereng tuntas kebebasan, gerbang buntu kehampaan, namanya Puncak Angkasa, cakrawala jagat raya, tempat yang bersinar tanpa api, yang menyala tak terpadamkan. Di sini, Pwah Sanghiyang Sri tinggal bersama Pwah Kamadewi, Dayang Terusnawati, dan Pwah Naga Nagini, juga Pwah Soma Adi sebagai dewa bulan. Pendakian sang atma ke puncak angkasa ini melalui jalan yang beralas aneka manik permata, dipasangi tangga emas hingga tiba di Bumi Kancana yang abadi menyala-nyala, tempat tinggal para pertapa setia yang penuh kasih, yang berhasil melaksanakan ajaran. Di situlah sang atma disambut Dzat Maha Kuasa dalam suasana penuh haru walau hanya lewat tegur sapanya yang lembut nan penuh kasih sayang dari balik layar kemahagaiban: Anaking Sanghiang Atma, mana cunduk mara daréyuk, mana datang mara diundang, nu tuhu teher laksana, ageung teher hérang tineung. Mana na cunduk ka puhun, mana na datang ka tangkal, mana na nepi ka jati, mana na deuheus ka anggeus, datang ka ambu ka ayah (1100-1109) ‗Anakku Sanghiyang Atma, makanya tiba silakan pada duduk, makanya datang memang diundang, yang setia juga rupawan, terhormat lagi pula jernih pikir. Maka kini tiba kepada leluhur, maka kini datang kepada nenek moyang, maka kini sampai ke asal, maka kini sampai ke tuntas, datang kepada ibu dan ayah‘. Tak ada lontaran jawaban yang keluar dari sang atma sebagaimana biasanya dilakukan kepada mahapandita atau kepada déwatakaki. Yang jelas, ia kini telah mencapai suasana alam: suka tan pabalik duka, wareg tan pabalik lapar, hurip tan pabalik pati, sorga tan pabalik papa, hayu tan pabalik hala, nohan tan pabalik wogan, moksa leupas tan pabalik wulat ‗suka tanpa kembali duka, kenyang tanpa kembali lapar, hidup tanpa kembali maut, bahagia tanpa kembali derita, baik tanpa kembali buruk, pasti tanpa kembali kebetulan, lepas sempurna tak nampak kembali‘ (1110-1116). Inilah gambaran di aras langitan terakhir pengembaraan sang atma, totog ka Jatiniskala ‗mentok di alam maha gaib sejati‘, tempat hunian Dzat Tunggal Maha Kuasa pencipta batas tapi tak terkena batas. Sang atma terhindar dari para leluhur, hilang dari Yang Nirwujud, pada kesirnaan yang tak terjangkau pikiran, pada hening tanpa dengar, yang halus tanpa kurungan, dalam lepas tak berbaur. Itulah yang disebut moksa ‗lepas sempuna secara hakiki‘. Dengan lain perkataan, di situlah atma ada setelah hilangnya bayu-sabda-hedap. Bayu-sabda-hedap menjadi kunci untuk membuka misteri sang atma sebagai roh murni yang teramat halus. Tidak seperti kunci pada umumnya, ini kunci hanya berguna kalau hilang. Pintu setiap tangga pendakian terbuka setelah kuncinya hilang. Begitu masuk, ia tidak akan kembali. Bukan karena tidak ingin atau tidak bisa, tapi karena kata ingin dan bisa tidak ada lagi. Itulah sebuah pengembaraan untuk hilang, bukan untuk pulang. Tan pabalik, begitulah ungkapan yang dimunculkan teks SD yang berarti ‗tidak akan kembali‘. Hanya itulah kata kunci bagi yang telah menemukan hakikat darma, yang tercapai oleh Sang Séwaka Darma. Untuk lebih jelas mengenai gambaran tersebut dapat dilihat tabel berikut. Tabel 4 : Alam Semesta menurut teks Sewaka Darma Jagat Semesta Susunan Ruang Tempat Hunian Jatiniskala ‗Alam Mahagaib Sejati‘ Ø Tempat hunian Dzat Tunggal Maha Kuasa, pencipta batas yang tak terkena batas, yakni, Sang Hyang Tunggal. Niskala ‗Alam Gaib‘ (Kahyangan) (7) Bungawari ‗Penghujung langit terluar, lereng tuntas kebebasan, gerbang buntu kehampaan, namanya Puncak Angkasa, cakrawala jagat raya, Di sini, Pwah Sanghiyang Sri tinggal bersama Pwah Kamadewi, Dayang Terusnawati, dan Pwah Naga Nagini, juga Pwah Soma Adi sebagai dewa bulan. Tokoh Pwah
  • 10. UADarsa-FIBU-1432014 10 tempat yang bersinar tanpa api, yang menyala tak terpadamkan‘. Pendakian sang atma ke puncak angkasa ini melalui jalan yang beralas aneka manik permata, dipasangi tangga emas hingga tiba di Bumi Kancana yang abadi menyala-nyala, tempat tinggal para pertapa setia yang penuh kasih, yang berhasil melaksanakan ajaran. Di situlah sang atma disambut Dzat Maha Kuasa dalam suasana penuh haru walau hanya lewat tegur sapanya yang lembut nan penuh kasih sayang dari balik layar kemahagaiban. Sanghiyang Sri inilah yang biasa dikenal dalam mitos lokal Sunda dengan sebutan Nyi Pohaci Sanghiyang Sri yang dipercaya penuh dalam urusan pertanian. (6) Wekasning Caang ‗Kahyangan siang selama- lamanya, siang nan abadi‘ Tempat para pertapa perempuan yang shalehah. (5) Saridéwata ‗Hakikat Kedewataan‘ Kediaman Pwah Wiru Mananggay, Pwah Lakawati, dan Pwah Sekar Dewata. Inilah mahligai para wanita pertapa yang memantapkan dirinya tak bersuami karena bertepuk sebelah tangan. (4) Sangkan Hérang ‗Sumber Kejernihan‘ Tempat Sang Sri Dewi Pertiwi atau Dewi Bumi. (3) Sanghyang Lengis ‗Kahyangan licin serba mengkilap‘ Tempat Manondari, Dewi Nyanawati, dan Pwah Nilasita. Sorga para isteri setia kepada suami yang tidak mau berbuat ingkar. (2) Caturloka ‗Ruang bergerbang empat tempat bersemayamnya para dewa pelindung jagat, tempat yang terang- benderang sehingga terlihat arwah para leluhur‘. Gerbang Timur, Batara Isora dengan kahyangan perak putih, tujuan yang lulus tapa. Gerbang Utara, Batara Wisnu dengan kahyangan pagoda hitam, tujuan yang sempurna perbuatannya. Gerbang Barat, Batara Mahadewa dengan kahyangan pagoda kuning, tujuan kaum pahlawan perang berani mati. Gerbang Selatan, Batara Brahma dengan kahyangan warna merah,
  • 11. UADarsa-FIBU-1432014 11 tempat para penghuni neraka yang suka memperbudak dan menyengsarakan orang. Di tengah, Batara Siwa dengan kahyangan baranang siang atau aneka warna nan gemerlap, tujuan mereka yang suka beramal shaleh serta mengamalkan budi pekertinya. (1) Wekasning Sabda ‗alam kesirnaan suara, batas antara siang dan malam‘. Sang Atma pada persinggahannya yang pertama. ‗ ―Alam Gerbang Perantara Kahyangan‖. Jalannya bersimpang 5 dan bertangga 7 yang dikelilingi telaga tenang dengan lokasi nan tertata rapi. Tanah pedataran diberi batas, ada ngarai diberi jembatan, tanah miring diberi titian, tanah berbukit dibuat tangga- tangga. Ø Jiwa pada persinggahannya yang pertama ketika lepas dari raga. Di lokasi air pensucian berupa pancuran tembaga dengan gayungnya berupa mangkuk perak, jiwa dimandikan, dikeramasi, dan disucikan dari dasamala ‗sepuluh noda‘. Lalu ia dipangku duduk di kursi dalam sebuah bangunan emas oleh ibunda nan penuh kasih, perintah dari kahyangan. Semenjak berada di tempat ini, jiwa kembali murni menjadi Sang Atma diaping bisikan lembut Sang Ambu utusan dari kahyangan menjelang perjalanan berikutnya menuju lapisan aras langitan. Intinya, ia mesti menghindari beragam pesona bentuk keindahan dan kesenangan keduniawian di masa lalu, di alam sakala. Sakala ‗Alam Nyata atau Alam Dunia‘ Ø Tempat tinggal manusia dan makhluk lainnya. Dalam teks naskah Sanghyang Siksakandang Karesian18, paparan kahyangan para dewa lokapala (pelindung dunia), disesuaikan dengan kedudukan mata angin dengan warna masing-masing yang disebut Sanghiyang Wuku Lima di Bumi, yaitu Isora bertempat di 18 Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian tercatat sebagai koleksi Perpustakaan Nasional dengan nomor inventaris Kr. 630. Naskah daun nipah itu ditulis menggunakan pena bertinta hitam, berbahasa Sunda kuno. Selesai ditulis dalam tahun saka Saka nora catur sagara wulan (1440 Saka/1518 Masehi).
  • 12. UADarsa-FIBU-1432014 12 kahyangan timur (Purwa), putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat tinggal Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat tempat tinggal Hyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara tempat tinggal Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya. Paparan kahyangan ini tidak jauh berbeda dengan teks naskah Sewaka Darma. Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian menyatakan bahwa moksa adalah keadaan jiwa yang berhasil memasuki kahyangan, dan dengan tegas membedakan surga (tempat dewa) dengan kahyangan (tempat Hyang). Masuk surga disebut munggah, sedangkan masuk kahyangan disebut moksa atau luput. Dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik bait 1455- 175519 — beberapa lempir lonrat hilang sehingga menjadi tidak jelas — paparan kahyangan tidak jauh berbeda dengan paparan kahyangan dalam teks naskah Sewaka Darma. Ketika raga memasuki jagat maut, sukma mengecil menjadi setara dengan para dewa, tiba di bentang jalan terbuka menuju taman bunga. Setelah melewati pemeriksaan Dorakala, penjaga gerbang kesorgaan yang bertanya pada jiwa murni (atma), dia menunjukkan jalan menuju surga (kasorgaan). Kemudian atma akan diterima dengan upacara resmi melalui serangkaian upacara dimulai dari atma yang diangkut oleh kereta putih yang sarat dengan hiasan diiringi berbagai irama tetabuhan surga. Keindahan ranah surgawi digambarkan dengan istilah-istilah yang amat agung. Sanghyang Kala dalam teks naskah BM disebut dengan Sang Dorakala, yaitu sebagai mahluk penjaga gerbang alam saptabuana ‗kesorgaan‘, simbol perjalanan spiritual seseorang ketika mulai memasuki alam niskala. Dalam hubungan ini dapat disimak sebuah gambaran proses kematian, yakni berpisahnya ruh melepas raga untuk menuju ke gerbang alam gaib. Gambaran yang dimaksud tampak dalam kutipan teks naskah BM baris 1432 hingga baris 1564 berikut ini. Awak eukeur beurat pading, eukeur meujeuh ngarampésan. Lamun bulan lagu tilem, panon poé lagu surup, beurang kasedek ku wengi, tutug tahun pantég hanca, nu pati di walang suji, nu hilang di walang sanga, awak nyampay ka na balay, mikarang hulu gegendis, paéh nyanghulu ka lancan. Pati aing hanteu gering, hilang tanpa sangkan lara, mecat sakéng kamoksahan. Diri na aci wisésa, mangkat na sarira ageung, ngaloglog anggeus nu poroc. Atma mecat ti pasambung, aci mecat ti na atma, pahi masah kaleumpangan. Ragaing nyurup ka petra, kaliwara jadi déwa, pasambung nyurup ka suwung. Atmaing dalit ka lentik, sarua deungeun déwata. Tuluy nyorang jalan caang, neumu jalan gedé bongbong. Unggal sampang dilamburan, laun lebak dicukangan, sumaray ditatanggaan, maléréng dipasigaran. Tapak sapu bérés kénéh, barentik marat nimurkeun. Golang-golang situ mungkal, patali patalumbukan. Di tengah bantar ngajajar, hanjuang sasipat mata, handeuleum salaput hulu, handong bang deung handong, „haat di janma sajagat, bihari basa ngahanan, masa di madiapada‟. ‗Badan sedang masanya dikubur, sedang saatnya menuju keindahan. Bagaikan bulan menjelang tenggelam, matahari menjelang terbenam, siang terdesak malam, tutup tahun bertemu ajal, yang mati di walangsuji, yang meninggal di walangsanga, badan bersandar pada balay20, kepala berbantalkan selendang, meninggal menghadap lawan. Kematianku tanpa sakit, meninggal bukan karena derita, melesat menuju kebebasan. Saat kepergian sang sukma, keluar dari raga kasar, copot sesudah yang terakhir, Sukma lepas dari ikatan, ruh lepas dari sukma, sama-sama lepas dan pergi. Ragaku lebur ke kubur, tak ternoda jadi dewa, nyambung lebur ke kehampaan. Sukmaku menyatu ke kegaiban, sama seperti leluhur. Selanjutnya menempuh jalan terang, menemukan jalan besar terbuka. Tiap persimpangan disediakan bangunan, tiap lembah dipasang jembatan, yang curam dipasangi tangga, yang miring dibuatkan titian. Bekas sapu masih nampak jelas, lengkungannya mengarah ke barat timur. Ngalir berputar telaga batu, saling kait bertumpukan. Kembang patah cumaréntam, Rangkaian bunga semarak warnanya, nambuluk apuy-apuyan, gemerlap menyala-nyala. 19 Naskah Kisah Bujangga Manik adalah salah satu naskah kajian awal J. Noorduyn dalam naskah yang tersimpan pada koleksi Bodleian di Oxford. Naskah ini berbahasa Sunda kuno, yang diedit dengan bantuan Undang A. Darsa tahun 2000 kemudian diterbitkan dalam. J.Noorduyn & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. KITLV, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa, dalam judul Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2009. 20 Dapat diartikan dipan.
  • 13. UADarsa-FIBU-1432014 13 Tajur pinang pumarasi, Kebun pinang pumarasi, pinang tiwi pinang ading, pinang tiwi pinang kuning, pinang tiwi kumarasi, pinang tiwi kumarasi, pinang ading asri kuning. pinang kuning indah kemuning. Di tengah parit berjajar, pohon hanjuang selaput mata, pohon handeuleum setinggi bahu, pohon handong merah dan handong, sayang kepada manusia sejagat, dahulu ketika tinggal, pada saat di alam dunia?‘ Rakaki Bujangga Manik, ngarasa manéh ditanya. Umun teher sia nyebut, némbalan sakayogyana, nyarék sakaangen-angen, némbalan sang Dorakala: „Mumul mangnyarékkeun manéh, sugan bener jadi bélot, sugan rampés jadi gopél, sugan sorga jadi papa, sugan pangrasa ku dapet, sugan pangrasa ku tembey. Mumul misaksi na janma, pangeusi buana ini, janma di madiapada. Sariwu saratus tunggal, kilang sahiji mo waya, janma nu teteg di carék. ‗Yang mulia Bujangga Manik, menyadari dirinya ditanya. Lalu nyembah sambil berkata, menjawab sebagaimana layaknya, bicara sesuai dengan nurani, menjawab kepada Sang Dorakala: ‗Malas membicarakan diri sendiri, kalau-kalau yang benar jadi salah, kalau-kalau yang baik jadi jelek, kalau-kalau kesenangan jadi penderitaan. kalau-kalau menurutku bisa, kalau-kalau menurutku sudah mulai. Tak mau minta saksi kepada manusia, penghuni wilayah ini, manusia di dunia. Seribu seratus satu, meski seorang pun takan pernah ada, manusia yang teguh akan ucapannya‘. Réa nu papa naraka, kilang déwata kapapas, ku ngaing dipajar rényéh, ja daék milu ngahuru, ja daék dibaan salah, ku nu dusta jurujana. Kucawali hénggan hiji: saksiing sanghiang beurang, saksiing sanghiang peuting, candra wulan deungeun wéntang, deungeun sanghiang pratiwi. Itu nu ngingu mireungeuh: pratiwi nu leuwih ilik, akasa nu liwat awas, hidep nu nyaho di bener. Inya nu ngingetkeun rasa, itu nu ngingu na bayu, éta nu milala sabda, inya nu mireungeuh tineung, nu milala tuah janma, bisa di bélot di biner, Hénggan sakitu saksiing.‟ ‗Banyak yang menderita di neraka, bahkan leluhur pun terbawa-bawa, kuanggap tak ada yang bisa dipercaya, sebab mau ikut bersekongkol, sebab suka diajak salah, oleh pendusta yang jahat. Kecuali hanyalah satu: kesaksianku kepada siang, kesaksianku kepada malam, bulan purnama bersama bintang, serta kepada bumi. Itu semua yang memelihara keperdulian: bumi yang lebih teliti, angkasa yang sangat jeli, pikiranlah yang mengetahui kebenaran. Yaitu yang mengingatkan perasaan, itulah yang memelihara kekuatan, yakni yang memperhatikan ucapan, yaitu yang perduli akan ingatan, yang memperhatikan sifat manusia, mengerti tentang yang salah dan yang benar, nyaho di gopél di rampés. tahu tentang yang jelek dan yang baik. Hanya demikianlah kesaksianku.‘ Carék aki Dorakala: „Samapun sanghiang atma. Mungku aing mirebutan, ja na rua mungku samar. Na awak hérang ngalénggang, na rua diga déwata, kadi asra kadi manik. Na awak ruum ti candu, mahabara ti candana, amis ti kulit masui.‟ Kitu pamulu nu bener, éta na kingkila sorga. ‗Jawab yang mulia Dorakala: Mohon maaf, sanghiang sukma. Sebab aku tak akan ngambil paksa, karena dalam rupa tidak samar. Kilapan wujudmu kemilau, dalam hal rupa mirip dewata, bagaikan mutiara dan permata. Harum tubuhmu melebihi candu, semerbak melebihi wangi kayu cendana, manisnya lebih dari kulit masui.‘ Begitulah rupa yang sesungguhnya, itu merupakan pertanda kesorgaan‘. Samapun sanghiang atma, rakaki Bujangga Manik, leumpang sakarajeun-rajeun, sia ka na kasorgaan. Samungkur aing ti inya, leumpang nanjak nyangtonggohkeun, husir kéh na taman hérang, dibalay ku peramata. ‗Mohon maaf, sahnghian sukma, yang mulia Bujangga Manik, silakan berjalan sekehendakmu, keberadaanmu di alam sorga. Lalu aku meninggalkan tempat itu, berjalan mendaki ke perbukitan, hendak menuju ke taman indah, yang ditaburi permata‘. 3. Fungsi Gunung sebagai Poros Jagat, Tempat Pengamatan dan Tiang Tapal Batas Wilayah Pada sebagian tradisi kebudayaan di Nusantara, gunung sering-sering dipandang memiliki pengertian simbolis sebagai poros penghubung antara makrokosmos dengan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Dalam pandangan demikian kehidupan kemanusiaan ini senantiasa berada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang bersumber pada penjuru arah mata angin, pada rasi-rasi bintang, planit-planit, dan benda-benda angkasa
  • 14. UADarsa-FIBU-1432014 14 lainnya. Oleh karena itu, masyarakat tadrisional selalu berupaya menyelaraskan kehidupan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperoleh secara astrologis. Bukti-bukti seperti ini sering dijumpai dalam prasasti-prasasti (inskripsi) dan episode-episode naskah-naskah kuno, dalam gelar-gelar yang dilekatkan pada seseorang raja, dalam upacara-upacara tradisional, dalam karya-karya seni, seperti dalam ukiran atau pahatan ornamen-ornamen, dan bentuk- bentuk fisik suatu bangunan tertentu. Menurut citarasa pikiran dalam kepercayaan masyarakat pada masa lalu, pada sebuah wilayah kekuasaan biasanya mesti mempunyai sebuah gunung tertentu sebagai pusat magisna, selain menjadi pusat tapal batas geogafis dari negeri yang bersangkutan. Sebagai poros (axis mundi) penghubung antara jagat raya dan dunia manusia, misalnya, dikemukakan pada catatan perjalanan Buangga Manik dalam naskah lontar Sunda Kuno abad 15 Masehi. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mungkal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia nénjo gunung: itu ta na Bukit Ageung, hulu wano 21 na Pakuan (BM, baris 59-64). ‗Setibanya aku ke Puncak, duduk di atas batu datar, lalu mengipasi diri. Kemudian diamatinya gunung-gunung: itulah yang namanya Bukit Ageung22, pusat tersakral di wilayah Pakuan‘. Sadatang ka Gunung Kampud, datang ka Rabut Pasajén. Éta hulu (wano) Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu disembah ku na Jawa (BM, baris 1055-1059). ‗Setibanya ke Gunung Kampud, mampir ke Rabut Pasajen. Itulah pusat tersakral Rabut Palah, tempat suci Majapahit, yang dikeramatkan orang Jawa‘. Sebagai pusat pengamatan dan penentuan tapal batas wilayah geogafis, baris-baris redaksi teks naskah Sunda Kuno yang mengisahkan perjalanan Bujangga Manik pada nomor 1176 hingga nomor 1280 memberi catatan sebagai berikut. Sananjak ka Papandayan, ngaranna na Panénjoan. Ti inya aing nénjo gunung, déréja dangka ri kabéh, para manuh para dangka, paningal Nusia Larang. Aing milang-melang inya. Ti kidul na alas Danuh, ti wétan na Karang Papak, ti kulon Tanah Balawong. ‗Mendaki ke (Gunung) Papandayan, yang biasa disebut tempat pengamatan. Dari situlah kuamati gunung-gunung, disebut satu per satu di antara semuanya, yang terlihat kecil dan jauh, sesuai daya pandang Nusia Larang23. Aku menghitungnya satu demi satu. Mulai dari selatan wilayah Danuh, dari timurnya ialah Karang Papak, dari arah barat adalah Tanah Balawong‘. Itu ta na Gunung Agung, tanggeran na Pagerwesi. ‗Itulah yang disebut Gunung Agung, tiang tapal batas Pagerwesi‘. Éta na Bukit Patuha, tanggeran na Majapura. ‘Itu adalah Gunung Patuha, tiang tapal batas Majapura. Itu Bukit Pamerehan, tanggeran na Pasirbatang. ‗Yang itu Gunung Pamerehan, tiang tapal batas Pasirbatang‘. Itu ta na Gunung Kumbang, tanggeran alas Maruyung, ti kalér alas Losari. ‗Itulah yang disebut Gunung Kumbang, tiang tapal batas daerah Maruyung, dari arah utaranya ialah daerah Losari. Itu ta Bukit Caremay, tanggeran na Padabeunghar, ti kidul alas Kuningan, ti barat na Walangsuji, inya na lurah Talaga. ‗Yang itu Gunung Ciremay, tiang tapal batas Padabeunghar, dari arah selatan ialah daerah Kuningan, dari arah baratnya ialah Walangsuji, itulah daerah Talaga. Itu ta na Tompo Omas, lurah Medang Kahiangan. ‗Itulah yang disebut (Gunung) Tampomas, wilayah Medang Kahiangan‘. Itu Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunungwangi. ‗Yang itu (Gunung) Tangkuban Parahu, tiang tapal batas Gunungwangi‘. 21 Gunung Keramat bagi Masyarakat Pakwan Pajajaran (Mahameru Sunda). 22 Bukit Ageung kini dikenal dengan sebutan Gunung Gedé yang berada dalam gugusan pegunungan berbentuk sisir: Gunung Salak – Gunung Gede – Gunung Burangrang – Gunung Tangkuban Parahu. 23 Manusia suci, manusia terpelajar.
  • 15. UADarsa-FIBU-1432014 15 Itu ta Gunung Marucung, tanggeran na Sri Manggala. ‗Itu ialah Gunung Marucung, tiang tapal batas Sri Manggala‘. Itu ta Bukit Burangrang, tanggeran na Saung Agung. ‗Itu ialah Gunung Burangrang, tiang tapal batas Saung Agung‘. Itu ta na bukit Burung Jawa, tanggeran na Hujung Barat. ‘Itulah yang disebut Gunung Burung Jawa, tiang tapal batas Hujung Barat‘. Itu ta Bukit Bulistir, tanggeran na Gunung Anten. ‟Itu ialah Gunung Bulistir, tiang tapal batas Gunung Anten‘. Itu Bukit Naragati, tanggeran na Batu Hiang. ‘Yang itu Gunung Naragati, tiang tapal batas Batu Hiang‘. Itu ta na Bukit Barang, tanggeran na [alas] Kurungbatu. ‘Itulah yang disebut Gunung Barang, tiang tapal batas daerah Kurungbatu‘. Itu Bukit Banasraya, tanggeran na alas Sajra, ti barat Bukit Kosala. ‘Yang itu Gunung Banasraya, tiang tapal batas daerah Sajra, dari arah baratnya ialah Gunung Kosala‘. Itu ta na Bukit Catih, tanggeran na Catih Hiang. ‟Itulah yang disebut Gunung Catih, tiang tapal batas Catih Hiang‘. Itu Bukit Hulu Munding, tanggeran na Demaraja, ti barat Bukit Parasi, tanggeran na Tegal Lubu, ti wétan na Sédanura, nu awas ka alas Sinday. ‗Yang itu Gunung Hulu Munding, tiang tapal batas Demaraja, dari arah baratnya ialah Gunung Parasi, tiang tapal batas Tegal Lubu, dari arah timurnya ialah Sédanura, yang bisa memandang lepas ke daerah Sinday‘. Éta ta na Gunung Kembang, geusan tiagi sagala, ti kidul na alas Maja, éta na alas Rumbia. ‗Itulah yang namanya Gunung Kembang, tempat berbagai pertapa perempuan, dari arah selatannya ialah daerah Maja, yaitu di daerah Rumbia‘. Ti barat na wates Mener, tanggeran na Bojongwangi. ‗Dari arah baratnya ialah batas Mener, tiang tapal batas Bojongwangi‘. Itu ta na Gunung Hijur, tanggeran na Kujarjaya. „Itulah yang namanya Gunung Hijur, tiang tapal batas Kujarjaya‘. Itu ta na Gunung Sunda, tanggeran na Karangkiang. ‗Itulah yang namanya Gunung Sunda, tiang tapal batas Karangkiang‘. Itu ta na Bukit Karang, tanggeran na alas Karang. ‗Itulah yang namanya Gunung Karang, tiang tapal batas daerah Karang‘. Itu Gunung Cinta Manik, tanggeran na alas Rawa. ‘Yang itu Gunung Cinta Manik, tiang tapal batas daerah Rawa‘. Itu ta na Gunung Kembang, tanggeran Labuhan Ratu. ‟Itulah yang namanya Gunung Kembang, tiang tapal batas Labuhan Ratu‘. Ti kalér alas Panyawung, tanggeran na alas Wanten. ‗Dari arah utara ialah daerah Panyawung, tiang tapal batas darah Wanten‘. Itu ta na Gunung (…)lér, tanggeran alas Paméksér, nu awas ka Tajak Barat. Itulah yang namanya Gunung ....lér, tiang tapal batas daerah Paméksér, yang bisa memandang lepas ke Tajak Barat‘. Itu ta Pulo Sanghiang, heuleut-heuleut nusa24 Lampung, ti timur Pulo Tampurung, ti barat Pulo Rakata, gunung di tengah sagara. ‟Itu adalah Pulau Sanghiang, pertengahan jarak ke wilayah Lampung, dari arah timur ialah Pulau Tampurung, dari arah barat ialah Pulau Rakata (Krakatau), sebuah gunung di tengah laut‘. Itu ta Gunung Jereding, tanggeran na alas Mirah, ti barat na léngkong Gowong. „Itu ialah Gunung Jereding, tiang tapal batas daerah Mirah, dari arah baratnya ialah Teluk Gowong‘. 24 Istilah ini mengandung makna yang bersifat generik, antara lain: nusa, pulau, wilayah, negreri.
  • 16. UADarsa-FIBU-1432014 16 Itu ta Gunung Sudara, na Gunung Guha Bantayan, tanggeran na Hujung Kulon, ti barat Bukit Cawiri. „Itu ialah Gunung Sudara, yakni Gunung Guha Bantayan, tiang tapal batas Ujungkulon, dari arah baratnya ialah Gunung Cawiri‘. Itu ta na Gunung Raksa, Gunung Sri Maha Pawitra, tanggeran na Panahitan, ti wétan na Suka Darma, ti barat na Gunung Manik. Awas ka Nusa Kambangan, Nusa Layaran …….., Nusa Dilih Nusa Bini, Nusa Keling Nusa Jambri, Nusa Cina Jambudipa, Nusa Gedah deung Malaka, Nusa Bandan Tanjungpura, Sakampung deung Nusa Lampung, Nusa Baluk Nusa Buwun, Nusa Cempa Baniaga, Langkabo deung Nusa Solok, Nusa Parayaman. „Itulah yang namanya Gunung Raksa, Gunung Sri Maha Pawitra, tiang tapal batas Panaitan, dari arah tumurnya ialah Suka Darma, dari arah baratnya ialah Gunung Manik. Dapat memandang jelas ke Nusa Kambangan, Pulau Layaran, Pulau Dilih Pulau Bini, negeri India negeri Jambri, wilayah negeri Cina juga Jambudipa, wilayah Kedah dan Malaka, wilayah negeri Bandan juga Tanjungpura, Sakampung dan wilayah Lampung, wilayah negeri Baluk juga Buwun, wilayah negeri Cempa (dan) Baniaga, Minangkabau dan wilayah Solok, wilayah Pariaman‘. Beuteung bogoh ku sakitu, saanggeusing milang gunung, saleumpang ti Panénjoan, sacunduk ka Gunung Sembung, éta hulu na Citarum, di inya aing ditapa, sambian ngeureunan palay. „Begitu mengagumkan semua itu, setelah kusebut gunung satu per satu, lalu berangkat dari tempat pengamatan, sampailah ke Gunung Sembung, itulah hulu sungai Citarum, di situ aku bertapa, sambil melepaskan lelah‘. 4. Konsepsi Lingkungan Alam Sebagai Kabuyutan Kabuyutan di kalangan masyarakat Sunda kuno dapat diartikan sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan tradisi, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya. Adalah sebuah naskah Sunda Kuno yang diberi judul Amanat Galunggung mengungkapkan betapa pentingnya ―Kabuyutan25 Galunggung‖ untuk dipertahankan kemuliaannya. Dalam teks naskah tersebut diberitakan bahwa lebih bernilai kulit lasun ‗musang‘ yang dibuang ke tempat sampah daripada rajaputra ‗putra mahkota‘, apabila kabuyutan akhirnya jatuh ke tangan pihak lain. Dari ungkapan ini diketahui bahwa Kabuyutan Galunggung merupakan salah satu kabuyutan utama yang menjadi pusaka Kerajaan Sunda. Sebagaimana Kabuyutan Galunggung, dalam teks naskah Kisah Perjalanan Bujangga Manik pun disebutkan ada sebuah kabuyutan yang menjadi kabuyutan rakyat Pakuan, yaitu Sanghiyang Talagawarna26 , yang disebutkan pula dalam prasasti Batutulis dengan nama Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Berdasarkan isi prasasti tersebut, kecuali ibukota Pakuan Pajajaran, Ayatrohaédi 27 menghubungkan adanya kesesuaian fungsi dengan situs Rancamaya28. Pasir Badigul adalah tanda peringatan berupa bukit (gugunungan) sedangkan jalan yang dikeraskan adalah jalan yang menghubungkan istana ke tempat itu, sedangkan membuat samida adalah membuat hutan tutupan 29 . Talaga Rena Mahawijaya 30 tidak 25 Sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya. 26 Noorduyn 1982: 419. 27 Ayatrohaédi, 1996: 94. 28 Situs ini sempat menjadi perbincangan para budayawan Sunda sekitar tahun 1992, sehubungan dengan pembangunan real estate di tempat itu. Dari hasil ekskavasi penyelamatan tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dinyatakan bahwa situs itu bukan daerah pemukiman kuna (situs pemukiman). 29 Hutan tutupan atau daerah tutupan agaknya menjadi ciri masyarakat Sunda dalam menempatkan “tanah larangan” atau tempat suci. Selain prasasti Batutulis, prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) menyebutkan pembuatan tepek (“tanah larangan”) di sebelah timur Sanghyang Tapak. Prasasti berangka tahun ini dikeluarkan oleh raja Sunda Sri Jayabhupati, ditulis dalam huruf Jawa kuna dan bahasa Jawa kuna (Djafar 1991: 20--21). 30 Rena Mahawijaya berasal dari kata rena yang berarti syukur, puas; dan mahawijaya yang berarti kemenangan besar (Ayatrohaédi, 1996: 94).
  • 17. UADarsa-FIBU-1432014 17 ditafsirkan sebagai nama diri danau atau telaga, melainkan lebih kepada fungsinya sebagai danau tempat menyatakan syukur atau berterimakasih atas kemenangan besar yang telah dicapai. Letak lokasi di Rancamaya sesuai dengan apa yang tertulis di dalam teks naskah Carita Parahiyangan mencatat bahwa Jayadewata, nama lain Sri Baduga Maharaja dikenal sebagai sang mwakta ring rancamaya (CP: 19), diartikan ―yang diperabukan di Rancamaya‖. Rancamaya berasal dari kata ranca berarti rawa atau danau, dan maya berarti membayangkan arah yang ditempuh arwah sehingga rancamaya merupakan danau atau tempat menghubungkan diri dengan Hyang Pencipta. Dengan demikian daerah tersebut merupakan hutan tutupan, danau pemujaan, dan tempat ngahyang ‗penyempurnaan‘ mendiang Jayadewata. Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya dalam prasasti Batutulis adalah Sanghiyang Talaga Warna dalam naskah Bujangga Manik, sesuai dengan kutipan Sadatang ka Bukit Ageung: éta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, Sanghiyang Talaga Warna ‗Setelah sampai di bukit Agung: di situlah hulu sungai Cihaliwung itu, Kabuyutan Pakuan, Sanghiyang Talaga Warna‘. Dalam pada itu, dibangunnya sejumlah kabuyutan oleh seorang tokoh (raja Sunda) diungkapkan dalam teks naskah Carita Parahiyangan sebagai berikut: Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghyang Wisnu, inya nu nyieun sanghyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan. Ti naha bagina ? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sangiyang Darma, ngawakan Sanghyang Siksa (CP: 17). ‗Rakeyan Darmasiksa 31 titisan Sanghiyang Wisnu, dan dialah yang membangun tempat pendidikan, yang menjadikan kabuyutan- kabuyutan dari sang rama sang resi, sang disri, sang tarahan, dari parahiyangan. Apa manfaatnya? Dari sang wiku yang memelihara Jati Sunda, berpegang teguh kepada Sanghyang Darma, mengamalkan Sanghyang Siksa‘. Rakeyan Darmasiksa merupakan tokoh utama dalam salah satu karya sastra Sunda kuno lainnya, yaitu Amanat Galunggung. Di dalam naskah ini, Rakeyan Darmasiksa menuturkan ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat-nasihat kepada keturunan dan masyarakatnya. Istilah mandala ditemukan pula dalam teks naskah Kawih Paningkes dan Kisah Bujangga Manik; dua naskah lontar Sunda Kuno yang menyiratkan bahwa mandala adalah lembaga pusat pendidikan di lingkungan pemukiman atau pedukuhan yang diperuntukkan bagi kaum intelektual dan agamawan. Naskah Kawih Paningkes menyebutkan ri dina bukit Palasari mandala si pasekulan ‗di atas bukit Palasari ada mandala bernama Pasekulan‘. Sementara naskah ini pun digubah di Gunung Cupu (salah satu bukit di Gunung Sawal), pada sebuah Mandala Pangarbuhan (lempir.39a--39b). Penulisan sebuah naskah keagamaan dan ilmu pengetahuan lainnya memang sudah biasa ditulis dalam sebuah lingkungan lembaga pendidikan. Lain daripada itu, naskah Bujangga Manik menyebutkan bahwa dia mengunjungi Mandala Puntang yang letaknya di daerah selatan Jawa Barat. Bujangga Manik adalah salah seorang pangeran Sunda yang memilih hidup sebagai pendeta pertapa atau pelajar kelana. Dalam perjalanannya, ia mengelilingi pulau Jawa yang sengaja mengunjungi tempat-tempat suci keagamaan (rabut), salah satu di antaranya adalah rabut Palah yang diidentifikasikan sebagai Candi Panataran, dan rabut di Bukit Gajah Mungkur (salah satu bukit di sisi baratlaut Gunung Pawitra) yang diidentifikasikan sebagai komplek candi Gunung Penanggungan (bdgkn. Munandar 1990/1994). Maksud kunjungan Bujangga Manik itu adalah dalam upaya mendapat memperluas pengetahuan perihal kaidah keagamaan yang ada.di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di Jawa Timur yang pada sekitar abad 15 Masehi (masa Majapahit) banyak terdapat kawikwan dan mandala. 5. Korelasi Antar-Kabuyutan Dari sudut pandang lain, sebuah gunung maupun perbukitan sering-sering dijadikan suatu model konstelasi bangunan pusat aktivitas pemerintahan serta keagamaan bagi kalangan masyarakat. Hal yang dimaksud daspat disimak dalam uraian berikut. 31 Menurut naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, tokoh ini adalah salah seorang raja Sunda yang memerintah tahun 1175-1297 M (Danasasmita, dkk. 1987: 8).
  • 18. UADarsa-FIBU-1432014 18 5.1 Korelasi Legenda Denuh-Galuh-Galunggung Pengetahuan penulis teks naskah Carita Parahyangan (CP) mengenai tokoh serta peristiwa dari masa lalu yang jauh terpaut dari masa penulisannya, pastilah didapat dari berbagai sumber naskah yang sudah dikenalnya hingga saat penulisan teks itu. Adapun gambaran untuk masa kemudian kemungkinan besar penulis atau pemrakarsa penulisan teks naskah CP sedikitnya masih mengalami atau mengenal tokoh dan peristiwa yang diabadikannya. Tanpa mempertimbangkan naskah-naskah pembanding yang lain, kita akan kesulitan untuk dapat menafsirkan bagaimanakah kisah-kisah yang disebut naskah CP tersebut. Teks naskah CP secara umum hanya mencatat masa pemerintahan seseorang raja setelah menggantikan pendahulunya dan kemudian digantikan raja berikutnya. Namun, ada beberapa raja serta rakyat yang dipimpinya, kisahnya dilengkapi dengan keterangan agak panjang. Ini dapat diduga bahwa raja-raja tertentu memiliki peran yang lebih dibanding dengan raja lainnya. Di antara tokoh yang dimaksud adalah Rakéan Jambri alias Rahyang Sanyjaya yang mendapat tempat dalam 7 episode (V-XII) dari 25 episode seluruhnya. Sanjaya menjadi Maharaja Sunda selama 9 tahun (723–732 Masehi) yang selanjutnya mewarisi takhta dari pihak ibunda di Medang Mataram Kuno Jawa Tengah selama 22 tahun hingga akhir hayatnya (732 – 754 Masehi). Berikut ini nukilan kisah tokoh Sanjaya dalam kaitannya dengan konstelasi atau korelasi antar-kabuyutan Denuh-Galuh-Galunggung berdasarkan teks naskah CP bagian episode kelima pada lempir halaman 8b dan bagian episode kedelapan pada lempir halaman 13a. Disilihan ku Rahyangtang Mandiminyak. Seuweu Rahyangta ri Menir, teluan sapilanyceukan. Nu cikal nya Rahyang Sempakwaja adeg Batara Dangiangguru di Galunggung, Rahyangtang Kedul adeg Batara Hyangbuyut di Denuh, Rahyangtang Mandiminyak adeg di Galuh (8b: V). ‗Diganti oleh Rahyangtang Mandiminyak. Anak Rahyangta ri Menir (Wretikandayun) tiga bersaudara; yang sulung bernama Rahyang Sempakwaja menjabat sebagai Batara Dangiangguru di Galunggung, Rahyangtang Kedul menjabat sebagai Batara Hyangbuyut di Denuh, dan Rayang Mandiminyak menjabat sebagai (raja) di Galuh‘. Lawasnyia ratu tujuh tahun. Na Rahyangtang Mandiminyak disilihan ku Sang Senna, lawasnyia tujuh tahun, disilih jungkat ku Rahyang Purbasora. Na Sang Sena diintarkeun ka Gunung Marapi, diseuwsu Rakéan Jambri. Ageung sakamantrian (Rakéan Jambri) lunga ka Rahyangtang Kedul, ka Denuh menta dibunikeun. Carék Rahyangtang Kedul, "Putu, aing mumul kapangkukan ku sia, sugan sia kanyahoan ku ti Galuh (13a: VIII). ‗Lamanaya menjadi raja tujuh tahun. Lalu Rahyangtang Mandiminyak diganti oleh Sang Sena selama tujuh tahun. Namun diganti secara paksa oleh Rahyang Purbasora, kemudian diasingkan ke Gunung Marapi dan berputra Rakean Jambri. Menginjak usia Dewasa (Rakean Jambri) pergi menghadap kepada Rahyangtang Kedul, ke Denuh guna minta yang dirahasiakan. Rahyangtang Kedul berkata, ―Cucuku, aku tak mau lama kehadiranmu di sini, jangan sampai kamu ketahuan oleh (pihak raja) yang berkedudukan di Galuh‘. Aing pun seuweu Sang Senna. Aing nanyakeun pustaka bawa Rabuyut Sawal. Eusina ma ratuning bala sariwu pakeun séda, pakeun sakti, paméré Sang Rêsiguru. Dibikeun ku Rabuyut Sawal. Ti inya pulang ka Galuh Rakéan Jambri, tuluy diprang deung Rahyang Purbasora. Paéh Rahyang Purbasora. Lawasnyia ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéan Jambri, inya Rahyang Sanyjaya (38b: VIII). ‗Hamba ini putra Sang Sena, bermaksud menanyakan kitab yang ada pada tuanku Rabuyut Sawal. Adapun isinya tentang teknik keutamaan memimpin ribuan pasukan demi kewibaan dan kesaktian, warisan Sang Resiguru. Diberikanlan oleh Rabuyut Sawal, dan setelah itu Rakean Jambri menuju ke Galuh berperang dengan Rahyang Purbasora hingga Rahyang Purbasora nemui ajalnya setelah berkuasa selama tujuh tahun, lalu digantikan oleh Rakean Jambri, yakni Rahyang Sanjaya‘. Berdasarkan kutipan tersebut tampak ada bias-bias yang melukiskan fungsi masing- masing ketiga lokasi itu, yakni antara Denuh, Galunggung, dan Galuh dalam kaitannya dengan konsep Tri Tangtu di Buana ‗Tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia‘. Tiga Golongan itu ialah prebu-rama-resi. Diuraikan dalam FCP lempir 5b dinyatakan bahwa, sang prebu itu harus ngagurat batu ‗berwatak teguh dalam menjalankan aturan‘, sedangkan sang
  • 19. UADarsa-FIBU-1432014 19 rama harus ngagurat lemah ‗berwatak bisa menentukan pijakan atau aturan bagi para pelaksana pemerintahan‘, dan sang resi harus ngagurat cari ‗berwatak adil dan menyejukkan‘. Tampaknya konsep Tri Tangtu di buana tersebut mirip dengan konsep ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Charles de Secondat Montesquieu. Dalam bukunya yang berjudul Esprit des Lois ‗Jiwa Undang-undang‘ (terbit tahun 1748), Montesquieu berpandangan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (laséparation des pourvoirs ‗pemisahan kekuasaan-kekuasaan‘). Ketiga kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan: (1) membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif); (2) menjalankan undang- undang (kekuasaan eksekutif); dan (3) mengadili pelanggaran-pelanggaran undang-undang (kekuasaan yudikatif). Hal ini dapat diinterpretasikan demikian: (1) Tugas golongan Rama ialah sebagai lembaga legislatif yang bertempat di kabataraan, Galunggung; (2) Tugas golongan Prebu ialah sebagai lembaga eksekutif yang bertempat di karatuan atau karaton, yakni Galuh; dan (3) Tugas golongan Resi ialah sebagai lembaga yudikatif yang bertempat di kawikuan, yakni Denuh. Konsep tri tangtu tadi terefleksikan dalam penataan tata letak kedudukan Rama-Resi- Prabu, seperti dapat dilihat dalam gambaran peta rekonstruksi di bawah ini. Sumber Foto Budimansyah Suwardi & Tim 5.2 Legenda dan Mitos Selareuma dan Lingkungan Sekitarnya Apabila disimak lebih mendalam dari sudut pandang filologis melalui data-data yang tercatat dalam teks-teks naskah Sunda Kuno sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, yakni naskah: Sang Hyang Hayu, Sanghyang Raga Dewata, Kisah Sri Ajnyana, Serat Purusangkara, Carita Ratu Pakuan, Kisah Bujanggamanik, dan naskah Sunda Kuno lainnya, akan banyak dijumpai bukti tentang dasar kosmologis dari sistem tata ruang di daerah Sumedang ini, khususnya berkenaan dengan Kampung Selareuma Pasanggrahan Sumedang Selatan. Berkaitan dengan salah satu naskah yang menyinggung-nyinggung serta merujuk pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris adalah naskah yang berjudul Serat Purusangkara (SP), milik Museum Sri Baduga Jawa Barat, berasal dari Kuningan, berbahan kertas. Identitas naskah tersebut adalah: nomor kode 07.46; bahan daluang; aksara Cacarakan; bahasa Jawa dialek Pesisir Utara Jawa Barat; tebal 371 hl.; bentuk penyajian prosa; nama penulis dan/atau penyalin (?); waktu penulisan abad ke-19; asal naskah: Dalem Kangjeng Pangeran Panji Puspakusuma. Teks naskah SP ini secara garis besar mengisahkan tentang perjalanan Prabu Jaya Purusa yang susunan ceritanya terbagi ke dalam 11 bagian atau episode.
  • 20. UADarsa-FIBU-1432014 20 Bagian yang menyebutkan istilah Selahuma sebagaimana tampak pada kutipan terjemahannya dalam bahasa Indonesia berikut ini: Selesailah cerita negeri Yawastina akan diganti dengan keadaan di negeri Suralaya. Ketika itu Saghyang Girinata ditemani seluruh bidadara-bidadari. Sanghyang Naradha memanggil Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma untuk turun menjelma ke bumi. Kata Sanghyang Naradha, ―Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua keturunan Wisnu‖. Sanghyang Girinata bertanya kembali, ―Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya‖. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Saghyang Girinata, Sanghyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah SHH dapat diacukan pada alam saptabuana atau buanapitu. Ini artinya bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya. Plotting kabuyutan Pasir Reungit dan morfologi pada peta topografi (Plotting oleh R. Abdul Latief, dan morfologi oleh Yahdi Zaim) Sumber: Peta Topografi Bakosurtanas, tanpa tahun.
  • 21. UADarsa-FIBU-1432014 21 Selareuma yang biasa disebut juga Pasir Reungit bukanlah sebuah tempat berdiri sendiri, tetapi tempat itu dipandang sebagai axis mundi dalam sebuah sistem tata ruang kosmologis yang saling mempengaruhi dengan tenaga-tenaga yang bersumber pada tempat- tempat di sekitarnya. Di samping itu, Selareuma atau Pasir Reungit merupakan lingkungan dengan kandungan bebatuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya alam yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai makhluk historis memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya alam itu sebagaimana adanya sekarang. Tenaga-tenaga ini mungkin bisa menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, atau bahkan bisa berakibat kehancuran. Hal tersebut bergantung pada dapat tidaknya individu-individu atau kelompok- kelompok masyarakat berhasil dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagat raya. Sketsa rekonstruksi lahanSelareuma- Pasir Reungit; diubah dari sketsa gambar Bapak Rohman dan staf kepolisian sesuai dengan kebutuhan penelitian oleh W.I. Puar. Dengan demikian, lokasi Selareuma atau Selahuma tidak bisa dipisahkan dengan lokasi lain yang ada di sekitarnya. Lokasi yang dimaksud, antara lain, adalah lokasi Batukursi di Pasir Peti yang secara geografis segaris lurus mengarah ke Utara-Selatan tembus ke Gunung Tampomas. Sejajar dengan posisi lokasi Batukursi di Pasir Peti adalah Pasir Gegerhanjuang. Di Pasir Gegerhanjuang ini terdapat sebuah kuburan atau makam Sunan Guling, salah seorang penguasa di Pagulingan. Lokasi Pagulingan ini masih berada di Pasir Gegerhanjuang. Tidak jauh dari lingkungan tersebut adalah lokasi Cadasgantung. Pagulingan ini merupakan pusat dari Sumedanglarang masa lalu. Bahkan, dalam teks naskah Carita Ratu Pakuan (CRP; Ceritera Sunda-Kuno dari Léréng Gunung Cikuray)32 ada bagian-bagian yang berhubungan dengan gambaran lokasi tersebut, yakni: Gunung Cupu Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Taambo Agung, nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmacuté, seuweu patih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang (baris 21-28). ‘Gunung Cupu Bukit Tamporasih, pertapaan Pohaci Niwarti, yang menitis kepada Taambo Agung, yang penuh 32 Lihat Atja, 1970; Darsa, 2008.
  • 22. UADarsa-FIBU-1432014 22 kasih sayang, adik tuan Rahmacute, anak patih Prebu Wangi Serepong. Dialah Punara Putih, dari Sumedanglarang‘. Gunung si Purnawijaya, lumenggang larang sorangan, di Sanghiyang keusik manik batu mirah, hanjuang di kembang homas, patapaan Raga Pwah Hérang Manik, nitis ka nu geulis Rajamantri, nu geulis palang ngajadi, nu micaya sisit peuting, cangkang beurang kale hésé, panonpoé miawak séda karuna, ahis tuhan Sunten Agung, sang Raja Gunung, seuweuna juru labuan, dayeuhan di Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, ngapwahan mohéta bedas, nu ngirutan Acidéwata. Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka Sanghiyang Nusa, di susuku gunung Kumbang, bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang Salal Ading, nu mepek na bumi manik, patapaan Bagawat Sang Jalajala, susulan watek déwata, murba ka bumi Pakuan (baris 60-86). ‗Gunung si Purnawijaya, terpencil suci sendiri, di Sanghiyang pasir permata batu mirah, pohon hanjuang berbunga emas, pertapaan Raga Pwah Herang Manik, menitis kepada si cantik Rajamantri, yang cantik tiada tanding, yang menyinari sisik kegelapan malam, kulit siang tanpa susah, matahari menjelma suci karunia, adik tuan Sunten Agung, sang Raja Gunung, putera juru pelabuhan, bertempat tinggal di Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, menakjubkan luar biasa, yang mempesonakan Acidewata. Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka33 Sanghiyang Nusa, di kaki gunung Kumbang, bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang Salal Ading, yang berkumpul dalam bangunan permata, pertapaan Bagawat Sang Jalajala, undangan bisikan gaib dewata, berkuasa ke tanah Pakuan‘. Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, nu mungguh di handaru, deung Sanghiyang Linggamanik, deung Sanghiyang Hindit-hinditan, nu mungguh di siki panon, deung Sanghiyang Karang Curi, nu mungguh tumpak di huntu, deung Sanghiyang Cadas Gumantung, nu mungguh di tungtung létah, deung Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar, nu mungguh di harigu, deung Sanghiyang Adong Agung, sagedé munding saadi, nu mungguh di tulang tonggong, deung Sanghiyang Bitung Wulung, patét ka langit, nu mungguh tumpak di siki éta, reujeungna ngajadi (baris 102-119). ‗Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, yang bersemayan di halilintar, kemudian Sanghiyang Linggamanik, dan Sanghiyang Hindit-hinditan, yang menetap di biji mata, kemudian Sanghiyang Batu Tegak, yang menetap tunggang pada gigi, lalu Sanghiyang Cadas Gumantung, yang menetap di ujung lidah, kemudian Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar, yang menetap di dada, kemudian Sanghiyang Adong Agung, sebesar anak kerbau sesusu, yang menetap pada tulang punggung, lalu Sanghiyang bambu wulung, menjulang ke langit, yang menetap tunggang pada biji zakar, bersamanya menjelma‘. Penulis teks naskah lontar CRP yang mengisahkan prosesi perjalanan perpindahan Raja Sunda dari Keraton Timur di Galuh Pakwan ke Keraton Barat di Pakwan Pajajaran pada sekitar abad ke-15 Masehi masih menyertakan beberapa gunung dan daerah tertentu sebagai simbol magis sekaligus penunjuk tempat asal seseorang tokoh dalam kisah perjalanan itu. Hal dimaksud nampak pada kutipan berikut. Ini carita Ratu Pakuan, ti Gunung Kumbang. Gunung Giri Maya Séda, patapaan Pwahaci Mangbang Siang, nitis ka Rucita Wangi, ahis tuhan Jayasakti, seuweu patih Sang Atus Wangi… (baris 1-7) ‗Inilah kisah Ratu Pakuan, dari Gunung Kumbang. Gunung Giri Maya Seda, pertapaan Pohaci Mambangsiang, menitis kepada Rucita Wangi, adik tuan Jayasakti, putera Patih Sang Atus Wangi…‘. Deung nu geulis Déwa Karuna, ahis Kebo Sang Mantriguru, putri ti Gunung Kukusan, deung nu geulis Cepet Manik, nu tarahan na Harisa Keling, ahisna Ponggang Sang Raja Panji, putri ti Hulu Padang, deung nu geulis Maya Padang, ahis tuhan Patih Pala, putri ti Nagara Tengah… (baris 300-319). ‗Bersama yang cantik Dewa Karuna, adik Kebo Sang Mantriguru, puteri dari Gunung Kukusan, kemudian yang cantik Cepet Manik, yang diperebutkan Harisa Keling, adiknya Ponggang Sang Raja Panji, puteri dari Hulu Padang, kemudian yang cantik Maya Padang, adik tuan Patih Pala, puteri dari negara Tengah‘. 33 Logam perak.
  • 23. UADarsa-FIBU-1432014 23 Berdasarkan kutipan teks naskah CRP itu, tercatat nama, seperti Sumedanglarang dicatat dua kali (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis dengan Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar. Di situ pun dicatat Sanghiyang Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik sebanyak tiga kali: Ku ngaing geus kaleumpangan, meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk (baris 69-73). ‗Semua itu telah kullalui, nyeberang di sungai Cipunagara, daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas, aku nyeberang di sungai Cimanuk‘. Meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk (baris 716-719). ‗Menyeberang di sungai Cipunagara, wilayah Medang Kahiangan, berjalan lewat Gunung Tompo Omas, aku nyeberang di sungai Cimanuk‘. Itu ta na Tompo Omas, lurah Medang Kahiangan. Itu Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunung Wangi (baris 1200-1203). ‗Itulah yang disebut Gunung Tompo Omas, daerah Medang Kahiangan. Yang itu Gunung Tangkuban Parahu, sebagai tiang tapal batas Gunung Wangi‘. 5.3 Mitos dan Legenda Gunung Padang Keberadaan Gunung (Bukit) Padang ini kemungkinan besar pada masa silam pernah ditata menurut konsepsi kepercayaan masyarakat Sunda Kuno tentang keadaan alam menjelang atma naik melewati tujuh lapisan aras langitan; perjalanan ke alam kesorgaan, menghadap ke Kahyangan ‗Alam Dzat Maha Gaib‘ dengan penuh pesona aneka ragam tanaman bunga34, sebagaimana telah ditunjukkan pada uraian terdahulu. Bias-bias dari salah satu teks naskah lontar Sunda Kuno yang berjudul Kawih Panyaraman ‗Senandung Tauziah‘ yang berisi tentang Séwaka Darma ‗pengabdian terhadap hukum kehidupan‘ telah memantulkan bayangan gambaran wujud fisik dari keberadaan situs megalitik tersebut. Dengan kata lain, mitos penggambaran mengenai keadaan struktur fisik situs Gunung Padang ini dikembangkan melalui deskripsi panjang sebagaimana nampak tersirat dalam bagian redaksi teks naskah tadi, yakni yang berkenaan dengan paparan atau pelukisan perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi. Konsep pembebasan berkaitan erat dengan pengetahuan yang benar atau pengetahuan tertinggi, sebab pengetahuan itulah yang pertama-tama diperlukan untuk menggapai kebebasan; bukan hanya renungan yang abstrak melainkan mencakup juga pengetahuan yang konkrit. Pembebasan tercapai tingkat demi tingkat hingga mencapai titik kulminasi pada tingkatan ketujuh. Tingkatan-tingkatan itu dipandang sebagai yang terkait dengan eksistensi serta manifestasi sang atma. Di antara teks naskah yang memberi gambaran legendaris mengenai keberadaan lokasi yang bernama Gunung Padang ialah naskah berjudul Purwaning Jagat (PJ)35 yang merupakan salah satu koleksi Museum Negeri Jawa Barat ―Sri Baduga‖. Identitas naskan ini adalah: nomor kode 07.136; bahan kertas Eropa berwatermark Garden of Holland, PRO PATRIA; aksara Pegon dan Arab; bahasa Jawa dialek Priangan dan Arab; tebal 46 halaman; bentuk penyajian prosa; nama penulis dan/atau penyalin Hanapi, Wedana Pensiun Rongga; waktu penulisan abad ke-19 Masehi. Redaksi teks naskah PJ terdiri atas 38 episode, yang diawali bacaan berikut. Kitab ini milikku, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi. Bismillahirrahmanirrohim. Inilah kisah Purwaning Jagat (awal mula terjadinya jagat) yang lahir serempak ketika planet-planet dan angkasa raya belun ada satu pun. Namanya La ta‟yun, goibul guyub, dan naqtu goibu. Maka ada yang berkehendak untuk menciptakan dan 34 Bunga tampaknya telah sejak lampau dijadikan tradisi sebagai lambang kesucian dan lambang ketulusan hati sanubari yang diwarisi dan diwariskan turun-temurun. 35 Naskah sejenis terdapat pada koleksi PNRI; Nomor kode: Br.32; Bahan: kertas Eropa dengan watermark Lion in Medalion; Aksara: Pegon dan Arab; Bahasa: Jawa dialek Priangan dan Arab; Tebal naskah: 24 hl.; Bentuk penyajian: Prosa; Tempat dan waktu penulisan: Garut, 1890.
  • 24. UADarsa-FIBU-1432014 24 ada hasil ciptaannya yang dinamakan „ayan sabitah. Lalu mulai ada berbagai jenis dan rupa yang dinamakan alam arwah roh idopi36. Sumber Foto TTRM 2013 Adapun redaksi teks naskah yang berkaitan dengan mitos dan legenda mengenai Gunung Padang ini, antara lain, dilukiskan pada episode 17 sebagai berikut. Maka tersebutlah tempat pertapaan Atmasuci di Samlor (Sam Utara?). Lalu berjodoh kepada Ki Sadana, anaknya perempuan bernama Dewi Rasa. Lalu berjodoh kepada Sang Jaya Keling, yaitu yang awal mula menjadikan pakaian, dan menjadi baju kebesaran Rajaputra. Lalu pindah ke Gunung Padang, dan yang disembahnya cahaya yang keluar dari matanya sehingga yang namanya Ratu Galuh menjadi berkuasa. Maka atas kehendak Allah Swt yang murka terhadap hambanya karena tidak mengikuti syariat Nabi Nuh, lalu berhembuslah angin topan dari berbagai penjuru lautan sehingga alam dunia menjadi gelap-gulita selama empat puluh hari. Sementara itu yang mengikuti syariat Nabi Nuh ke atas perahu37. Setelah Pajajaran runtuh, maka Pucuk Umun dibawa oleh Ratu Wetan. Lalu Ratu Sekar Mandapa berlari ke Gunung Gede mendatangi Ajar Sukrasa. Kemudian bertapa bersama Ajar itu38. Di samping itu, terdapat pula catatan berkenaan dengan Gunung Padang dalam buku yang berjudul The History of Java, sebuah karya besar Thomas Stamford Raffles yang diterbitkan oleh Black-Parbury & Allen di London tahun 1817, setahun setelah selesai memangku jabatannya selama enam tahun sebagai Lieutenant Governor East-Indian Company of Java yang tergolong cukup singkat (1811-1816). Wawasan keilmuannya yang luas dan tajam disertai keterampilan dan kemampuannya dalam bahasa Melayu, Raffles telah mampu mencurahkan sebagian minatnya terhadap sejarah kebudayaan ketimuran secara represetatif. Melalui karyanya tersebut, walaupun kini sebagian telah ketinggalan zaman, masih merupakan 36 Ieu kitab nu kaula, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi. Bismillahirrahmanirrohim. Hada Purwaning Jagat kang gumelar kabéh tatkala uwung-uwung awang-awang durung ana sawiji-sawiji. La ta’yun arané, goibul guyub arané, naqtu goibu arané iku. Maka ana karsa, ana kinarsakaken dén arané ‘ayan sabitah arané iku. Maka ana warna ana rupa dén arané alam arwah roh idopi…(01). 37 Maka kocap Atmasuci iku tapané ing Samlor pernahé. Maka alaki maring Ki Sadana, putrané wadon namané Déwi Rasa. Maka alaki maring Sang Jaya Keling,iya iku purwaning sakéhé sandangan, lan anggowané iku ana ing Rajaputra.maka angalih maring Gunung Padang. Kang dén sujudé cahya kang metu saking nétra iku karana dén arané Ratu Galuh dadi nyakrawati. Maka wonten karsaning Allah Ta’ala ambendoni maring umaté sabab ora anut ing saréaté Nabi Enuh. Maka metu angin topan, meti saking poncoroting sagara, maka kalem alam dunya antara patang puluh dina. Maka sakéhé kan anuting saréaté Nabi Enuh pada munggahing baita sadaya (17). 38 Demi sampun kalah Pajajaran, maka Pucuk Umun dén jarah déning Ratu Wétan. Maka Ratu Sekar Mandapa malayu maring Gunung Gedé, maring Ajar Sukarsa. Maka atatapa lan Ajar iku…(23).
  • 25. UADarsa-FIBU-1432014 25 pembahasan yang terperinci tentang kekayaan flora-fauna, bentuk postur jasmaniah, glotokronologi, sistem sosial, dan kebudayaan masa prasejarah dan masa sejarah dari sebagian besar Nusantara yang secara antropologis sangat berarti tetapi cukup kompleks. Berkenaan dengan gunung, atau lebih tepatnya disebut Bukit Padang, Raffles memberi tempat cukup panjang pada catatan kaki buku karyanya itu dalam rangka pembicaraan yang berhubungan dengan Galuh. Hal yang dimaksud nampak pada sebagian kutipan berikut. Berdasarkan cerita-cerita orang Sunda bahwa, Ciung Wanara dan Raden Tanduran adalah dua saudara keturunan Raja Galuh yang bernama Raja Pamekas, sedangkan negerinya disebut Bojong. Dalam pada itu, berjangkit wabah penyakit yang banyak merenggut nyawa penduduk. Raja kemudian memerintahkan kepada patih pergi ke Bukit Padang untuk memanggil seseorang bernama Ki Ajar yang memiliki kemampuan memberi pertolongan dalam menghadapi musibah dan kesulitan itu. Ketika raja bertemu dengan Ajar dari Bukit Padang dan menyampaikan permintaannya, malah Ajar itu berkata, ―Oh Raja, menurut pendapat hamba, kamilah orang yang tepat memerintah negeri ini dan untuk melakukan apa yang diperlukan demi kebaikan negeri dan para penduduknya!‖ Raja langsung marah dan hampir membunuh Ajar itu. ―Raja, jika paduka berkeinginan untuk membunuhku, hamba menyerahkan sepenuhnya hudupku. Akan tetapi, paduka harus membayarnya, dan itu dengan putramu sendiri!‖, kata Ajar. Sekembalinya ke Bukit Padang, Ajar itu lalu dibunuh oleh Patih Galuh. Akhirnya kisah, antara lain, pernyataan Ajar dari Bukit Padang dulu menimpa raja yang tidak adil itu dan menemui ajalnya di tangan putranya sendiri. 5.4 Korelasi Legenda dan Mitos Gunung Padang dengan Selareuma Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa susunan cerita dalam teks naskah Serat Purusangkara (SP) terbagi ke dalam 11 bagian atau episode. Adapun kisah mitos dan legenda yang berkaitan antara Selareuma dengan Gunung Padang terdapat pada episode 16 dan 17. Ringkasannya episode yang dimaksud adalah sebagai berikut. Ketika berjalan satu bulan pada tahun 841 Suryasangkala atau dua bulan pada tahun 866 Candrasangkala, termasuk tahun Sambrama, mangsa Pusa. Diceritakan bahwa di Suralaya, Sanghyang Girinatha memerintahkan Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma untuk turun ke bumi dan memimpin para raksasa di Sélahuma. Sanghyang Kala sebagai rajanya bergelar Prabu Yaksa Dewa dan Sanghyang Brahma menjadi pakaian dan gada Prabu Yaksa Dewa. Lalu diceritakan Maharsi Mayangkara alias Resi Anoman disuruh oleh Sanghyang Girinatha menuju ke negeri Yawastina untuk memberikan perjodohan antara putra-putra di Yawastina dengan putri-putri di Widarba. Di negeri Widarba, Prabu Jaya Purusa hendak menikahkan putranya yang bernama Raden Jaya Amijaya dengan Ken Satapi, cucu Resi Kumbayana di Gunung Padang. Tidak lama di sana kedatangan 2 raksasa Gawaksa dan Pradaksa utusan Prabu Yaksa Dewa dari Sélahuma untuk menyampaikan pustaka (surat) yang isinya ingin melamar putri raja yang bernama Dewi Pramesti. Namun, Prabu Jaya Purusa tidak menyetujuinya dan akhirnya terjadilah peperangan. Berkat bantuan Maharsi Mayangkara, pasukan dari Sélahuma dapat dikalahkan. Selanjutnya, ketiga putri Prabu Jaya Purusa dinikahkan dengan putra-putra negeri Yawastina, yaitu Dewi Pramesti dengan Prabu Astra Darma, Dewi Pramuni dengan Raden Darma Sarana, dan Dewi Sasanti dengan Raden Darma Kusuma. Ketiga putra negeri Yawastina berganti nama, Prabu Astra Darma menjadi Prabu Purusangkara, Raden Darma Sarana menjadi Arya Amijaya, dan Raden Darma Kusuma menjadi Arya Jaya Kirana. (Episode 16; hal. 95-225). Ketika berjalan tiga bulan pada tahun 842 Suryasangkala atau empat bulan pada tahun 867 Candrasangkala, termasuk tahun Biswawisu, mangsa Sitra. Diceritakan di negeri Yawastina, Prabu Purusangkara sangat sedih karena istrinya, yaitu Dewi Pramesti belum jua mengandung, sedangkan istri-istri adiknya tengah hamil. Ia berpikir takut terjadi apa-apa pada istrinya itu. Ketika sampai usia kandungan istri-istri adiknya, lahirlah dari Dewi Pramuni, seorang peremuan bernama Dewi Renggawati, dan dari Dewi Sasanti lahir seorang laki-laki bernama Raden Sanjaya. Kelahiran putra-putri adiknya itu semakin membuat sedih Prabu Purusangkara. Lalu, Prabu Purusangkara mengutus dua pengawalnya yaitu Arya Sudarsa dan Arya Sarana ke negeri Widarba untuk memnyampaikan kabar gembira, bahwa
  • 26. UADarsa-FIBU-1432014 26 raja Widarba telah mempunyai 2 orang cucu dari putrinya, yaitu Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti. Sesampainya utusan Yawastina di Widarba dan menyampaikan kabar itu, Prabu Jaya Purusa sangat senang karena telah memiliki 2 cucu. Namun, ia pun sedih karena Dewi Pramesti, putrinya belum juga mengandung. Selanjutnya Prabu Jaya Purusa menyuruh Patih Suksara pergi ke Gunung Padang untuk menikahkan putranya, yaitu Prabu Jaya Amijaya dengan putri Ajar Subrata yang bernama Ken Satapi. Sesampainya di Gunung Padang, Patih Suksara menceritakan maksud kedatangannya, oleh Ajar Subrata disetujui. Akhirnya, Prabu Jaya Amijaya dinikahkan dengan Ken Satapi, pestanya selama 40 hari 40 malam. (Episode 17; hal. 225-248). DAFTAR PUSTAKA Atja. 1968. Carita Parahyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusa Larang. -----. 1970. Tjarita Ratu Pakuan: Tjerita Sunda Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah. Terjemahan Teks oleh Undang A. Darsa. 2007. Dalam Sundalana. Bandung: Kiblat. Ayatrohaédi. 1975. "Masyarakat Sunda Sebelum Islam", BJ. 86:412-423. Ayatrohaédi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Alih Aksara dan Terjemahan. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi. Yogyakarta: Kanisius. Binford, Lewis R. 1972. An Archaeolological Perspective. New York: Seminar Press. Clark, David L. (ed.). 1977. Spatial Archaeology. London: Academic Press. Dananjaya, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Jaya Grafiti. Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bagian Proyek Penelitian dan Pengka jian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Darsa, Undang A. 1998. Sang Hyang Hayu: Kajian Filologis Naskah Bahasa Jawa Kuno di Sunda pada Abad XVI. Bandung: Universitas Padjadjaran. -----. 2012. SÉWAKA DARMA: Suntingan Teks disertai Kajian Intertekstual dalam Naskah Tradisi Sunda Kuno Abad XV-XVII Masehi (SÉWAKA DARMA: Text Edition with Intertextual Studies in the Manuscript from the Old Sundanese Tradition (15th-17th Centuries). Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran. -----. 2012. Kodikologi Sunda; Sebuah Dinamika Identifikasi dan Inventarisasi Tradisi Pernaskahan. Bandung: Rasdiaz Print. Darsa, Undang A. & Edi S, Ekadjati. 2006. Kropak 420: Gambaran Kosmologi Sunda. Bandung: Kiblat. -----. 2006. Kropak 421: Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Ajicakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam. Bandung: Kiblat. Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & École Française d‘Extrême-Orient. -----. 2004. Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420); Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam (Kropak 421); Jatiraga (Kropak 422). Tokyo: The Toyota Foundation. Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and the Profan. New York: Harcourt, Brace & World Inc. Groslier, Bernard Philippe. 2002. Indocina Persilangan Kebudayaan. Jakarta-Paris: Gramedia. Littlejohn, Stephen W. 1995. Theories of Human Communication. Belmont: Wadsworth Publishing Company (Fifth Edition). Magetsari, Nurhadi. 1999. Metode Interpretasi Dalam Arkeologi, makalah disampaikan dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Lembang, 22-26 Juni (tidak diterbitkan).
  • 27. UADarsa-FIBU-1432014 27 Munandar, Agus Aris. 1991. ―Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya Sastra,‖ dalam Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor: Universitas Pakuan dan Puslitarkenas. -----. 1994. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda,‖ dalam Seminar Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna (dalam Rangka Purna Bakti M. M. Soekarto Karto Atmodjo). Yogyakarta, 23-24 Maret. -----. 2007. Situs Sindang Barang: Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda (Abad 13-15 M). Laporan Hasil Penelitian Awal. Bogor: Padepokan Giri Sunda Pura Sindang Barang. -----. 2008. ―Bangunan Suci dalam Masa Kerajaan Sunda: Tinjauan Terhadap Kerangka Analisis‖, dalam Seminar “Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang”, 19-20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang, Bogor. Belum diterbitkan. Mundardjito. 1993. Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan Situs Masa Hindu Buda Di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro. Disertasi Jakarta: Universitas Indonesia. Noorduyn, J. & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV. Terjemahan oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini & Undang Ahmad Darsa. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya & KITLV. Pleyte, C.M. 1913. ―De Patapaän Adjar Soekaresi, ander gezegd: de kluizenarij op den Goenoeng Padang. Tweede bijdrage tot de kennis van het Oude Soenda‖. TBG 55: 231-428. Raffles, T. S. 1817. The History of Java. 2 Vols. London-Blade: Parbury and Allen Murray. Terjemahan oleh Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin & Idda Qoryati Mahbubah. 2008. Yogyakarta: Narasi. Ricouer, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discouse and the Surplus of Meaning. Fortworth: Christian University of Texas Press. Saringendyanti, Etty. 1996. Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha: Tinjauan Lingkungan Fisik Kabuyutan Di Jawa Barat. Tesis Magister Arkeologi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Toynbee, Arnold J.1935. A Study of History. Vols. I-XII. New York: Oxford University Press. Warnaen, Suwarsih, dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Sundanologi. Widiyanto & Suprapto Dibyosaputro. 1991. ―Geomorfologi‖, dalam Evaluasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjahmada. Zoetmulder, P.P. 1982. Old Javanese—English Dictionary. ‗S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
  • 28. UADarsa-FIBU-1432014 28 LAMPIRAN 1. Data Toponimi Istilah toponim diambil dari kata bahasa Belanda, toponymie, plaatsnaamkunde ‗pengetahuan tentang nama tempat‘. Penelitian toponim bagi studi sejarah kebudayaan sangat penting karena di dalamnya terkandung nilai sejarah, baik yang bertalian dengan lingkungan alam maupun dengan kehidupan manusia yang menempatinya. Pada dasarnya, penamaan suatu tempat diberikan oleh manusia secara sengaja dengan mempertimbangkan unsur-unsur tradisi dan lingkungan, mitologi, legenda, sejarah, keadaan alam, dan lain sebagainya. Berikut ini disajikan data toponimi berdasarkan beberapa buah naskah yang tergolong dalam kategori tradisi naskah Sunda Kno. Tabel 1: Data Naskah Bujangga Manik No. N a m a L o k a s i G u n u n g S u n g a i T e m p a t 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Bukit Ageung Tompo Omas Bukit Ceremay Gunung Damalung Gunung Gajah Bukit Caru Bukit Timbun Bukit Sempil Bukit Bongkok Bukit Cungcung Caremay Gunung Agung Gunung Larang Gunung Rahung Gunung Dihéng Gunung Sundara Gunung Kedu Gunung Damalung Gunung Karungrungan Bukit Marapi Gunung Pawitra Gunung Gajah Mungkur Gunung Rajuna Gunung Mahaméru Cilingga Cinangsi Citarum Cipunagara Cimanuk Cijeruk-manis Cisinggarung Cipamali Cipanas Cikéncal Ciluwer Cihaliwung Cipanangkilan Cileungsi Cihoé Ciwinten Citarum Cilamaya Cipunagara Cimanuk Cijeruk-manis Cisinggarung Cipamali Cibularang Puncak Alas Éronan Medang Kahiangan Pada Beunghar Conam Luhur Agung Tungtung Sunda Alas Jawa Majapahit Alas Demak Pamalang Pabéyaan Mandi Rancan Ancol Tamiang Samprok Suka Kandang Luwuk Peuteuy Kuru Kandang Sérang Batur Pakeun Tubuy Pakeun Tayeum Batur Pakancilan
  • 29. UADarsa-FIBU-1432014 29 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 51. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. Gunung Brahma Gunung Hiang Gunung Arum Gunung Raung Gunung Watangan Gunung Hiang Gunung Mahaméru Gunung Kawi Gunung Anyar Gunung Kampud Gunung Wilis Gunung Lawu Gunung Marapi Gunung Sangkuan Gunung Condong Gunung Parasi Gunung Galunggung Panggarangan Bukit Cikuray Papandayan-Panénjoan Gunung Agung-tanggeran Pagerwesi Bukit Patuha-tanggeran Majapura Bukit Pamerehan-tanggeran Pasirbatang Gunung Kumbang-tanggeran Alas Maruyung Bukit Caremay-tanggeran Padabeunghar Tompo Omas Tangkuban Parahu-tanggeran Gunungwangi Gunung Marucung-tanggeran Srimanggala Bukit Burangrang-tanggeran Saung Agung Bukit Burung Jawa-tanggeran Hujungbarat Bukit Bulistir-tanggeran Gunung Anten Bukit Naragati-tanggeran Batuhiang Bukit Barang-tanggeran Alas Kurungbatu Bukit Banasraya-tanggeran Alas Sajra Bukit Kosala Bukit Catih-tanggeran Catih Hiang Bukit Hulu Munding-tanggeran Demaraja Bukit Parasi-taggeran Tegal Lubu Gunung Kembang-geusan tiagi sagala Cicomal Cipakujati Kali Godang Ciwuluyu Bagawan Cangku Cironabaya Cirabut-wahangan Cironabaya Ciwuluyu Cibérang Ciloh-paraga Ciwatukura Cilohku Cisarayu Cipaterangan Muhara Citanduyan Cimedang Cikutrapinggan Ciwulan Ciloh-alit Cisaunggalah Citarum Cihéa Cisokan Cimarinjung Cihadéa Cicaréngcang Cisanti Pancawara Pakeun Dora Pakeun Teluk Balungbungan Talaga Wurung Umbul Medang Umbul Songgol Leuwi Nutug Mulah Malik Pasagi Bala Indra Paniis Sanghiang Darah Caringin Bentik Bala Gajah Mayanggu Kandang Sérang Ratu Jaya Kadu Kanaka Citeureupkeun Tandangan Cigeuntis Goha Timbun Mandata Ramanéa Saung Agung Medang Kahiangan Tompo Omas Pada Beunghar Conam Timbang Hujung Barang Kuningan Darma Pakuan Luhur Agung Tungtung Su(n)da Arega Jati Jalatunda Lurah Barebes
  • 30. UADarsa-FIBU-1432014 30 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. Gunung Hijur-taggeran Kujarjaya Gunung Sunda-tanggeran Karangkiang Bukit Karang-tanggeran Alas Karang Gunung Cinta Manik-tanggeran Alas Rawa Gunung Kembang-tanggeran Labuhanratu Gunung (…)lér-tanggeran Alas Paméksér Gunung Jereding-tanggeran Alas Mirah Gunung Sudara Gunung Guha Bantayan-tanggeran Hujung Kulan Bukit Cawiri Gunung Raksa Gunung Sri Maha Pawitra-tanggeran Panahitan Gunung Manik Gunung Sembung-hulu Citarum Bukit Karesi Bukit Langlayang Palasari Bukit Pala Bukit Patégéng-sakakala Sang Kuriang Bukit Ageung-hulu Cihaliwung Bukit Bulistir-hulu Cimarinjung Gunung Wayang Bukit Malabar Bukit Bajogé Gunung Guntur Mandalawangi Gunung Kéndan Bukit Patuha Gunung Ratu-sanghiang Karang Caréngcang- hulu Cisokan Medang Agung Lurah Gebuhan Sangka Suci-Agi-Agi Moga Dana Kereta Sagara Balingbing Arega Séla Kupang-Batang Pakalongan Gerus Tinep-Tumerep Lurah Tabuhan Darma Tumulus Mano Hayu Pajinaran Panjalin Sembung Pakadangan Padanara Lurah Pantaran Danara Pidada Jemas Jajahan Demak Welahulu Pulutan Medang Kamulan Rabut Jalu Larangan Jempar Lurah Gegelang Bangbarung Gunung Jero Alas Daha Pujut Rambut Merem Wakul
  • 31. UADarsa-FIBU-1432014 31 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. Pacéléngan Bubat Manguntur buruan Majapahit Darma Anyar Karang Kajramanaan Karang Jaka Palintahan Alas Gresik Patukangan Rabut Wahangan Kadiran Tandes-Ranobawa Dingding Panca Nagara Sampang Gending Lésan Kamang Kuning Talaga Wurung Panarukan Patukangan Balungbungan Sélabatang Bali Malayu Palémbang Parayaman Talaga Wurung Baru Padang Alun Nusa Barong Sarampon Cakru Lurah Kenep Lamajang Kidul Pacira Ranobawa Kayu Taji Kukub