Jenderal Sudirman merupakan pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang lahir di Jawa Tengah pada tahun 1916. Ia memimpin perlawanan gerilya melawan Belanda walaupun sakit paru-paru, dan menjadi Panglima Besar TNI pada usia 31 tahun. Jenderal Sudirman dikenal memiliki prinsip kuat, kecintaan pada rakyat, sikap bijak, dan keteguhan hati.
1. KISAH JENDERAL SUDIRMAN
Jenderal Besar Sudirman merupakan pahlawan yang pernah untuk merebut kemerdekaan Republik
Indonesia dari tangan pejajahan. Saat usianya masih yang masih relatif muda yaitu saat berumur 31
tahun sudah menjadi seorang jenderal. Walaupun menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap
bergerilya melawan Belanda.
Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji, seorang mandor tebu
pada pabrik gula di Purwokerto. Ibunya bernama Siyem, berasal dari Rawalo, Purwokerto. Mereka
adalah keluarga petani.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada
prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas
kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air,
bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan
lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan
sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan
oleh revolusi negeri ini.
SOEDIRMAN PANGLIMA BESAR YANG BERPRINSIP
2. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, begitu kata pepatah. Kita teladani Pak Dirman, yang
berprinsip, mencintai rakyat, bijak dan teguh.
Berprinsip.
" … perjuangan kita harus didasarkan pada kesucian," demikian yang disampaikan Pak Dirman
dalam pidato pelantikan beliau menjadi Panglima Besar. Prinsip yang mencerminkan sikap jujur,
adil, dan dapat dipercaya tersebut beliau pegang teguh dalam setiap tindakan yang beliau ambil.
Misalnya saja, setelah menandatangani persetujuan gencatan senjata dengan Belanda, Jendral
Sudirman menghormati semua aspek yang telah disetujui kedua belah pihak, walaupun perjanjian
tersebut ternyata banyak merugikan negara Indonesia. Dengan prinsipnya tersebut, beliau juga
menenangkan pasukannya untuk mengambil sikap bijaksana. Ternyata, pihak musuhlah yang lebih
dulu melanggar gencatan senjata yang telah disepakati, dengan melaksanakan Agresi II.
Mencintai rakyat.
Kecintaan Pak Dirman pada Rakyat telah terbentuk jauh sebelum beliau menjadi pemimpin bangsa.
Dengan pengetahuan, tenaga, kemampuan yang dimiliki, Soedirman muda yang waktu itu sudah
menjadi tokoh masyarakat setempat berupaya membantu rakyat tidak hanya dalam bidang
pendidikan (mengajar di sekolah rakyat), tapi juga dalam hal kepemimpinan (melalui organisasi
pandu yang beliau pimpin), dan ekonomi (melalui kegiatan koperasi yang beliau rintis). Kecintaan
pada rakyat terus berlanjut ketika beliau memasuki masa dinas ketentaraan. Jendral Soedirman
sadar bahwa rakyat pada awal berdirinya Republik Indonesia banyak mengalami tekanan baik
secara ekonomi, politik, maupun sosial. Beliau juga paham bahwa Tentara Republik Indonesia tidak
bisa berjuang sendirian untuk membangun bangsa. Untuk itu Pak Dirman dan pasukan berjuang
untuk dan bersama rakyat. Perjuangan rakyat yang pada awalnya cenderung terkotak-kotak
berdasarkan idealisme dan kedaerahan dihimbau untuk bersatu melawan musuh yang ingin kembali
bertakhta, sambil berupaya terus membangun bangsa walaupun dengan sarana yang terbatas.
Bijak.
3. Seperti layaknya seorang pemimpin besar, Pak Dirman terkenal sebagai sosok pemimpin yang
bijak, baik dalam berkata-kata maupun dalam bertindak. Ketika Presiden Soekarno memerintahkan
Jenderal Soedirman dan Pasukan untuk "mundur" sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Renville,
sang jendral tidak langsung protes. Dengan saksama Jendral Soedirman memikirkan cara terbaik
untuk menjalankan perintah tersebut tanpa mematahkan semangat anak buah yang mungkin saja
merasa harga diri mereka terinjak-injak karena harus mundur. Kemudian, sang pemimpin besar
memerintahkan anak buahnya dengan kata-kata yang bijak namun tegas untuk "hijrah" dari garis
belakang pasukan Van Mook. Masa "hijrah" ini digunakan Jendral Besar Soedirman dan
pasukannya untuk membangun strategi dan menyusun kekuatan yang lebih besar.
Teguh.
Keteguhan hati Pak Dirman sudah terlihat sejak masa beliau aktif di kepanduan. Pada suat kegiatan
kepanduan di padang terbuka di daerah pegunungan, banyak peserta yang menyerah pada hawa
dingin dan bergegas pulang. Tidak demikian dengan Soedirman muda yang teguh bertahan di
medan yang dingin untuk menyelesaikan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Keteguhan ini
juga diperlihatkan beliau pada masa bergerilya. Walaupun kondisi fisik lemah, Jenderal Soedirman
tetap teguh mendampingi pasukannya di lapangan untuk menyusun kekuatan mengusir musuh.
Keteguhan ini merupakan salah satu kualitas yang membuat berbagai pihak hormat dan percaya
kepada pemimpin bangsa yang satu ini. Perjuangan Jenderal Soedirman menunjukkan bahwa
prinsip, kecintaan pada rakyat, sikap bijak, dan keteguhan hati yang senantiasa dilandaskan pada
niat yang suci merupakan landasan penting dalam bertindak.
Soedirman Kecil
Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji, seorang mandor tebu
pada pabrik gula di Purwokerto. Ibunya bernama Siyem, berasal dari Rawalo, Purwokerto. Mereka
adalah keluarga petani. Sejak masih bayi, Soedirman telah diangkat sebagai anak oleh
R.Tjokrosunaryo, Asisten Wedana (Camat) di Rembang, Distrik Cahyana, Kabupaten Purbalingga,
yang kawin dengan bibi Soedirman. Setelah pensiun, keluarga Tjokrosunaryo kemudian menetap di
Cilacap. Dalam usia tujuh tahun Soedirman memasuki Hollandsche Inlandsche School (HIS)
setingkat Sekolah Dasar di Cilacap. Dalam kehidupan yang sederhana, R. Tjokrosunaryo mendidik
Soedirman dengan penuh disiplin. Soedirman dididik cara-cara menepati waktu dan belajar
menggunakan uang saku sebaik-baiknya. Ia harus bisa membagi waktu antara belajar, bermain, dan
mengaji. Soedirman juga dididik dalam hal sopan santun priyayi yang tradisional oleh Ibu
Tjokrosunaryo.
Soedirman Remaja
Pada tahun 1930, Soedirman tamat dari HIS. Pada tahun 1932 Soedirman memasuki Meer
Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) setingkat SLTP. Setahun kemudian, is pindah ke Perguruan
Parama Wiworo Tomo dan tamat pada tahun 1935. Di sekolah, Soedirman termasuk murid yang
cerdas dan rajin mengikuti pelajaran yang diajarkan gurunya. Soedirman menunjukkan minatnya
yang besar pada pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan,
dan agama Islam. Demikian tekunnya Soedirman mempelajari agama Islam sehingga oleh teman-
temannya diberi julukan "kaji".
Soedirman Menjadi Pandu
Ia juga aktif di organisasi kepanduan (sekarang Pramuka) Hizbul Wathon (HW) yang diasuh oleh
Muhammadiyah. Melalui kegiatan kepanduan ini, bakat-bakat kepemimpinan Soedirman mulai
kelihatan. Ia ternyata seorang pandu yang berdisiplin, militan, dan bertanggung jawab. Hal ini terlihat
4. ketika Hizbul Wathon mengadakan jambore di lereng Gunung Slamet yang terkenal berhawa dingin.
Pada malam hari udara sedemikian dinginnya, sehingga anak-anak HW tidak tahan tinggal di
kemah. Mereka pergi ke rumah penduduk yang ada di dekat tempat tersebut,hanya Soedirman
sendiri yang tetap tinggal di kemahnya.
Soedirman Guru Sekolah, Ketua Koperasi, Anggota Legislatif
Setelah lulus dari Parama Wiworo Tomo, ia menjadi guru di HIS Muhammadiyah. sebagai seorang
guru, Soedirman tetap aktif di Hizbul Wathon. Pada tahun 1936, Soedirman memasuki hidup baru.
Ia menikah dengan Siti Alfiah, puteri Bapak Sastroatmodjo, dari Plasen, Cilacap yang sudah
dikenalnya sewaktu bersekolah di Parama Wiworo Tomo. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai 7
orang anak. Pada awal pendudukan Jepang, Sekolah Muhammadiyah tempat is mengajar ditutup.
Berkat perjuangan Soedirman sekolah tersebut akhirnya boleh dibuka kembali. Kemudian
Soedirman bersama beberapa orang temannya mendirikan koperasi dagang yang diberi nama Perbi
dan langsung diketuainya sendiri. Dengan berdirinya Perbi, kemudian di Cilacap berdiri beberapa
koperasi yang mengakibatkan terjadi persaingan kurang sehat. Melihat gelagat ini, Soedirman
berusaha mempersatukannya, dan akhirnya berdirilah Persatuan koperasi Indonesia Wijayakusuma.
Kondisi rakyat pada waktu itu sulit mencari bahan makanan, sehingga keadaan ini membangkitkan
semangat Soedirman untuk aktif membina Badan Pengurus Makanan Rakyat (BPMR), suatu badan
yang dikelola oleh masyarakat sendiri, bukan badan buatan Pemerintah Jepang. Badan ini bergerak
dibidang pengumpulan dan distribusi bahan makanan untuk menghindarkan rakyat Cilacap dari
bahaya kelaparan. Ia termasuk tokoh masyarakat karena kecakapan memimpin organisasi dan
kejujurannya. Pada tahun 1943, Pemerintah Jepang mengangkat Soedirman menjadi anggota Syu
Songikai (semacam dewan pertimbangan karesidenan) Banyumas.
Soedirman Memasuki Dunia Militer
Pada pertengahan tahun 1943, tentara Jepang mulai terdesak oleh Sekutu. Pada bulan Oktober
1943, Pemerintah Pendudukan Jepang mengumumkan pembentukan Tentara Pembela Tanah Air
(Peta). Soedirman sebagai tokoh masyarakat ditunjuk untuk mengikuti latihan Peta angkatan kedua
di Bogor. Selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Daidanco (komandan batalyon) berkedudukan di
Kroya, Banyumas. Disanalah Soedirman memulai karirnya sebagai seorang prajurit. Sebagai
komandan, Soedirman sangat dicintai oleh bawahannya, karena is sangat memperhatikan
kesejahteraan mereka. Ia tidak takut menentang perlakuan buruk opsir-opsir Jepang,yang menjadi
pelatih dan pengawas batalyonnya.
Sesudah terjadi pemberontakan Tentara Peta Blitar pada bulan Pebruari 1945, Jepang mengadakan
observasi terhadap para perwira Peta. Mereka yang bersikap menawan (recalcitrant), dikategorikan
berbahaya. Pada bulan Juli 1945, Soedirman dan beberapa orang perwira Peta lainnya yang
termasuk kategori "berbahaya" dipanggil ke Bogor dengan alasan akan mendapat latihan lanjutan.
5. Hanya kemudian ada kesan bahwa Jepang berniat untuk menawan mereka. Sekalipun mereka
sudah berada di Bogor "Pelatihan Lanjutan" dibatalkan, karena tunggal 14 Agustus 1945 Jepang
sudah menyerah kepada sekutu. Sesudah itu Soedirman dan kawan-kawannya kembali lagi ke dai
dan masing-masing. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandang
kan, Soedirman berada di Kroya. Esok harinya tanggal 18 Agustus 1945. Jepang membubarkan
Peta dan senjata mereka dilucuti, selanjutnya mereka disuruh pulang ke kampung halaman masing-
masing. Setelah pengumuman pembentukan BKR, Soedirman berusaha mengumpulkan mereka
kembali dan menghimpun kekuatan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bersama Residen Banyumas
Mr. Iskaq Tjokroadisurjo dan beberapa tokoh lainnya, Soedirman melakukan perebutan kekuasaan
dari tangan Jepang secara damai. Komandan Batalyon Tentara Jepang Mayor Yuda menyerahkan
senjata cukup banyak. Karena itu BKR Banyumas merupakan kesatuan yang memiliki senjata
terlengkap.
Pemilihan Unik Panglima Besar Jenderal Soedirman
Sewaktu Tentara Sekutu, yang diwakili oleh Inggris dengan dibuntuti oleh Belanda dibelakangnya
mendarat, dan mereka menuntut senjata Jepang kembali dari tangan kita, maka meletuslah dimana-
mana pertempuran-pertempuran baru. Dulu dengan Jepang, kini dengan Sekutu. Kita tidak sudi
menyerahkan kembali senjata yang kita rebut itu. Pertempuran-pertempuran baru tidak hanya terjadi
di Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga di Semarang, dan yang terbesar serta paling lama adalah di
kota Surabaya, dari 28 hingga 30 Oktober 1945, dan dari 10 hingga 30 Nopember 1945. Soedirman
yang pada waktu itu diangkat oleh Pemerintah sebagai Panglima Divisi Sunan Gunung Jati atau
Divisi V, dan yang bertanggungjawab untuk daerah Banyumas dan Kedu, menghadapi juga
serangan-serangan Inggris yang datang dari jurusan Semarang menuju ke Ambarawa dan
Banyubiru. Berkat semangat kepemimpinan Soedirman tentara Inggris dapat dienyahkan. Dalam
suasana demikian itulah Kolonel Soedirman dipilih sebagai Panglima Besar. Yang memilih adalah
para Panglima Divisi dan Komandan Resimen yang berkumpul di Yogyakarta pada tanggal 12
Nopember 1945. Pangkatnya sejak itu adalah Jenderal. Dalam pemilihan itu beliau mengalahkan
colon-colon lain. Ditinjau dari pendidikan kemiliteran, maka calon-calon lain itu jauh lebih tinggi dari
Jenderal Soedirman. Pemilihan yang unik ini mencerminkan Zeitgeist atau "Semangat Zaman"
waktu itu. Yaitu semangat revolusi dimana-mana. Rakyat kita seakan-akan terserang demam.
Demam revolusi. Semangat perjuangan revolusioner di mana-mana berkobar. Dikobarkan dalam
rapat-rapat umum, yang diselenggarakan oleh kaum politisi kita dari zaman Pergerakan, dan oleh
alat-alat Pemerintahan yang baru dibentuk, dan karenanya kurang sempurna. Di mana-mana rakyat
kita giat merombak sistem kolonialisme Hindia-Belanda dan sistem militerisme Jepang. Rakyat
muak terhadap kedua sistem kolonialisme dan militerisme masa Iampau itu. Rakyat tidak sabar lagi,
dan di dalam usaha merombak sistem lama itu, tidak jarang timbul gejolak kekacauan. Serobot-
menyerobot, daulat mendaulat dan malahan culik-menculik adakalanya terjadi. Siapa yang
menjalani sendiri situasi pada waktu itu, benar-benar merasa adanya revolusi, adanya perubahan
cepat kilat yang sedang berlaku. Terutama di kalangan pemuda kita. Seringkali perubahan cepat itu
6. tanpa aturan "normal". Kadangkadang malahan "anarchistis" sama sekali. Irosionalitas dan
emosionalitas seringkali mengatasi rasionalitas dan pikiran dingin. Memang itulah revolusi ! Eine
Umwertung aller Werte. Penjungkirbalikkan segala macam nilai. Suatu "razende inspirasi van de
historie". Suatu "ilham yang memandang daripada sejarah". Dan "ilham sejarah" itu adalah "titik
temu dari segala apa yang merupakan kesadaran bangsa dengan apa yang hidup di bawah
kesadaran sejarah bangsa itu. "He ontmoetingspunt, van het vewuste en het onderbewuste in de
geschiedenis!" Pilihan atas Panglima Besar Soedirman jatuh dalam situasi demikian. Banyak emosi
di bawah sadar ikut menentukan pilihan itu. Banyak pikiran rasionalistis tidak berkenan masuk
dalam pertimbangan pilihan tersebut. Memang revolusi mempunyai nilai-nilai sendiri. Apalagi
revolusi yang berwatak kerakyatan, seperti revolusi kita dulu itu. Setuju atau tidak setuju, realitanya
ialah bahwa nilai-nilai emosi magis, naluri kharismatis dan getaran-mistis ikut menentukan jalannya
revolusi kita pada waktu itu. Juga dalam pemilihan Panglima Besar RI untuk pertama kalinya, nilai-
nilai tersebut ikut menentukan. Sudah barang tentu nilai-nilai rasional dan pikiran dingin hidup Juga
pada waktu itu. Namun yang lebih menonjol dan lebih kuat adalah nilai-nilai emosi magis, naluri
kharismatik dan getaran mistis tersebut di atas. Dan itulah yang kemudian bermuara ke dalam
keputusan mengangkat Soedirman sebagai Panglima Besar. Yang terpilih bukan calon yang
memiliki kadar rasionalitas dan ketrampilan militer teknis yang tinggi, produk dari didikan Barat di
kota-kota besar, melainkan yang terpilih adalah seorang anak rakyat, dibesarkan di desa, yang
kemudian oleh gelombang revolusi terlempar ke atas, dan merupakan tonggak kepercayaan
mayoritas para panglima divisi dan para komandan resimen yang hadir pada waktu itu. Susunan
divisi serta resimen tentara kita pada waktu itu jauh dari sempurna. Markas-markas pun belum
menentu, dan seringkali harus berpindah-pindah. Para Panglima Divisi serta para komandan
resimen pun tidak semuanya memiliki kepandaian kemiliteran-teknis yang sempurna, seperti
menurut ukuran-ukuran Barat. Kepandaian kemiliterannya boleh diragukan, namun yang tidak dapat
diragukan adalah semangat dan jiwa perjuangannya membela Proklamasi, melawan kembalinya
kolonialisme. Andaikata pilihan jabatan Panglima Besar pada waktu itu diserahkan kepada
Pemerintah Pusat, maka besar sekali kemungkinan bahwa pilihan tidak akan jatuh kepada
Soedirman. Dan memang, Pemerintahan yang pada waktu itu kekuasaan eksekutifnya berada di
tangan PM Sjahrir menginginkan tokoh lain. Di antaranya Urip Sumohardjo, seorang tokoh militer
didikan Belanda, tetapi berjiwa patriotik. Juga dikemukakan Sri Sultan Hamengku Buwono, yang
pada waktu itu mendapat pangkat Jenderal Tituler. Dalam rapat para Panglima Divisi dan
Komandan Resimen disebut juga nama-nama Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, yang duduk sebagai
Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir. Rupanya pola menempatkan pimpinan ketentaraan di
bawah kekuasaan sipil-politis pada waktu itu hendak diterapkan oleh kaum politisi. Namun mayoritas
hadirin memilih Soedirman. Suatu hal yang unik dalam revolusi kita. Panglima Besar yang pertama
tidak diangkat oleh Pemerintah, melainkan dipilih secara "demokratis" oleh para panglima divisi dan
komandan resimen. Itulah suasana revolusioner pada waktu itu. Itulah juga Zeit-geist-nya, atau
"semangat zaman" revolusioner yang penuh dengan jiwa kerakyatan. Elan revolusioner yang
meletus keluar ke atas permukaan masyarakat kita yang sedang bergolak mencerminkan diri dalam
hasil pemilihan tersebut. Elan revolusioner tersebut mempercayakan kepemimpinan tentara kita
kepada seorang pribadi Soedirman. (Dr. H. Roeslan Abdulgani Peranan Panglima Besar Soedirman
dalam Revolusi Indonesia, Restu Agung, Jakarta, 2004, hal.32-35.
Soedirman Wafat
7. Tanggal 29 Januari 1950 Soedirman wafat, berita tentang wafatnya Soedirman, yang disiarkan
berulang-ulang oleh Radio. Menyusul perintah Harlan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang RIS,
Kolonel T.B. Simatupang yang ditujukan kepada seluruh tentara berisi Seluruh Angkatan Perang
RIS diperintahkan berkabung selama tujuh hari dengan melaksanakan pengibaran benders Merah
Putih setengah tiang pada masing-masing kesatuan dijalankan dengan penuh khidmat serta hormat,
menjauhkan segala tindakan dan tingkah laku yang dapat mengganggu suasana berkabung.
Pemerintah mengumumkan Hari Berkabung Nasional sehubungan dengan wafatnya Panglima
Besar Soedirman, dan dalam pidatonya Perdana Menteri RIS Bung Hatta mengumumkan keputusan
Pemerintah RIS untuk menaikkan pangkat Letnan Jenderal Soedirman secara anumerta menjadi
Jenderal. Pukul 11.00 tanggal 30 Januari 1950, iring-iringan jenazah Panglima Besar Jenderal
Soedirman perlahan-lahan meninggalkan kota Magelang menuju Yogya. Setelah disembahyangkan
di Masjid Agung, jenazah dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki
Yogyakarta, disamping makam Letnal Jenderal TNI Oerip Soemoharjo.
Kata-kata Mutiara Sudirman
Yogyakarta 12 November 1945
Tentara hanya memiliki kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga
keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai
tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas
mengerjakan kewajibannya, tunduk kepada perintah pimpinannya itulah yang merupakan kekuatan
dari suatu tentara. Bahwa negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, maka perlu
sekali mengadakan kerjasama yang seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar
tentara. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau siapapun juga.
Diucapkan dihadapan konferensi TKR dan merupakan amanat pertama kali sejak menjabat sebagai
Pangsar TKR. Yogyakarta , 1Januari 1946
Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu "kasta" yang berdiri di
atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang
mempunyai kewajiban tertentu.
Amanat yang tertuang dalam maklumat TKR. Yogyakarta 17 Pebruari 1946
Kami tentara Republik Indonesia akan timbul dan tenggelam bersama negara.
Amanat dalam rangka memperingati setengah tahun kemerdekaan RI. Yogyakarta 9 April 1946
8. Jangan sekali-kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa
dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat, bahwa tiap-tiap perjuangan tertentu memakan
korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela temanmu yang telah
gugur sebagi ratna, lagi pula untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu
tepati, sekali berjanji kamu tepati.
Percaya kepada kekuatan sendiri
Teruskan perjuangan kamu.
Pertahankan rumah dan pekarangan kita sekalian.
Tentara kita jangan sekali-kali mengenal sifat dan perbuatan menyerah kepada siapapun
juga yang akan menjajah dan menindas kita kembali.
Pegang teguh disiplin tentara lahir dan batin jasa pahlawan kita telah tertulis dalam buku
sejarah Indonesia, kamu sekalian sebagai putera Indonesia wajib turut mengisi buku sejarah
itu.
Amanat dalam rangka peresmian status kedudukan TRI bagian udara sejajar dengan TRI
lainnya. Yogyakarta 25 Mei 1946.
Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia, yang telah
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sampai titik darah yang penghabisan. Sanggup taat
dan tunduk pada Pemerintah Negara Republik, yang menjalankan kewajibannya, menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan mempertahankan kemerdekaannya sebulat-
bulatnya. Sejengkal tanahpun tidak akan kita serahkan kepada lawan, tetapi akan kita pertahankan
habis-habisan...................... Meskipun kita tidak gentar akan gertakan lawan itu, tetapi kitapun harus
selalu siap sedia.
Amanat dihadapan presiden/panglima tertinggi APRI untuk mengikrarkan sumpah anggota pimpinan
tentara. Yogyakarta 27 Mei 1945
Meskipun kamu mendapat latihan jasmani yang sehebat-hebatnya, tidak akan berguna jika kamu
mempunyai sifat menyerah ! Kepandaian yang bagaimanapun tingginya, tidak ada gunanya jika
orang itu mempunyai sifat menyerah ! Tentara akan hidup sampai akhir jaman, tentara akan timbul
dan tenggelam bersama negara