Pengambilan Keputusan Dalam OrganisasiRossi Agisti
Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi
1. Definisi Dan Dasar Pengambilan Keputusan
2. Jenis –Jenis Keputusan Organisasi
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
4. Implikasi Manajerial
Peramalan, Pendekatan, Teknik Naif, Rata rata bergerak, Pembobotan Rata rata bergerak, Penghalusan Eksponensial, dan Metode Evaluasi Teknik Peramalan MAD, MSE, MAPE, MPE
Pengambilan Keputusan Dalam OrganisasiRossi Agisti
Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi
1. Definisi Dan Dasar Pengambilan Keputusan
2. Jenis –Jenis Keputusan Organisasi
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
4. Implikasi Manajerial
Peramalan, Pendekatan, Teknik Naif, Rata rata bergerak, Pembobotan Rata rata bergerak, Penghalusan Eksponensial, dan Metode Evaluasi Teknik Peramalan MAD, MSE, MAPE, MPE
OB2013 - chapter 11 kekuasaan dan politikAndi Iswoyo
Memdefinisikan kekuasaan dan hubungannya dengan otoritas dan pengaruh
Menjelaskan sumber-sumber kekuasaan
Taktik kekuasaan
Perilaku Politik dalam organisasi
Makalah:
http://management-administer.blogspot.co.id/2016/10/kekuasaan-politik-dan-kepemimpinan.html
Kekuasaan (power) banyak digunakan dalam literatur manajemen. Kekuasaan sering kali diberikan sebuah gambaran positif atau negatif tergantung cara memandang seseorang dengan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu, kelompok, keputusan atau kejadian. Ahli yang mempergunakan istilah kekuasaan pertama kali adalah Max Weber.
Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu : Politikos, yang berkaitan dengan warga negara. Dalam bahasa Inggris disebut politic yang berarti bijaksana, beradab, atau beraka. Perilaku politik atau (Inggris: Politic Behaviour) adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik
Budaya organisiasi adalah seperangkat asumsi, nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi dan telah menjadi perilaku para anggota organisasi didalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di dalam maupun di luar organisasi.
Setiap manusia pada hakikatnya adalah pemimpin dan setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya kelak. Manusia sebagai pemimpin minimal mampu memimpin dirinya sendiri.
Jika daya kepemimpinan kuat, pintu kesuksesan akan terbuka lebar. Namun jika tidak, maka keberhasilan organisasi akan terbatas, itulah sebabnya mengapa di masa krisis, dengan sendirinya organisasi-organisasi mencari pemimpin baru.
Leader adalah seorang pemimpin yang mempunyai sifat sifat pemimpin atau personality atau authority (berwibawa). Sedangkan Manajer adalah seorang pemimpin yang dalam praktek kepemimpinannya hanya berdasarkan “kekuasaan atau authority formalnya”.
Rumusan Masalah:
1. Apakah pengertian dari Kepemimpinan Pendidikan Transformasional?
2. Bagaimanakah Konsep Kepemimpinan Pendidikan Transformasional?
3. Bagaimanakah Perilaku Kepemimpnan Pendidikan Transformasional?
4. Bagaimanakah perilaku kepemimpinan transformasional dalam pandangan Islam?
5. Bagaimanakah Kepribadian Kepemimpinan Pendidikan Transformasional?
6. Bagaimanakah media perilaku kepemimpinan pendidikan Transformasional?
Perilaku Organisasi Sebagai Disiplin Ilmucakchairul
W.Richarcd Scott (1990), serta David Buchanan dan Andrej
Huczinky (2004): perilaku individu yang menjadi pusat perhatian
dalam Perilaku Organisasi adalah perilaku kolaboratif untuk mencapai tujuan yang disepakati.
TEORI ETIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN.pptxdefinaaw1
Belakang
Etika merupakan Bahasa ataupun kata dari Bahasa Yunani, yaitu ethos atau taetha yang artinya
adalah adat istiadat, tempat tinggal, ataupun kebiasaan. Pengertian yang paling khusus atau mendasar,
etika merupakan satu kesatuan yang terdapat pada nilai pribadi yang digunakan untuk mengambil
sebuah keputusan apa yang paling tepat atau apa yang paling benar, dalam keadaan tertentu, membuat
keputusan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi. Pengertian
etika sering juga disebut sebagai moralitas dan itu merupakan aspek dari etika yang disebut sebagai
“integritas individu”.
Dalam kehidupan setiap individu pasti selalu dihadapkan pada sebuah pilihan dan harus
membuat keputusan. Sebagai contoh, para pemimpin Perusahaan harus membuat keputusan terkait
tujuan di dalam suatu organisasi, output seperti jasa ataupun produk apa yang akan di produksi,
bagaimana cara bentuk kerjasama dan membuat suatu usaha untuk mengatur dan menyelaraskan
peraturan, rencana dan Tindakan dalam seluruh unit kegiatan dan sebagainya, termasuk manajer tingkat
menengah sampai ke bawah.
Bagaimanapun dengan profesi akuntan yang sering dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan
yang melintas dalam pikirannya. Sebagai seorang akuntan professional harus mampu bekerja sesuai
dengan prinsip dan aturan-aturan yang berlaku. Akuntan juga harus bertindak dengan etika yang baik
dalam melaksanakan tugasnya di dunia pekerjaan.
Ketika suatu permasalahan tertentu dihadapi oleh seorang akuntan professional, akuntan
dituntut untuk bisa melihat permasalahan dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Akuntan
diharapkan dapat memberikan saran, rekomendasi atau solusi yang dapat memecahkan permasalahan
tersebut dengan hasil keputusan yang tidak merugikan orang lain atau menguntungkan beberapa pihal
saja. Namun sebelum akuntan dapat menerapkan cara-cara tersebut, akuntan harus mengetahui terlebih
dahulu teori-teori apa saja yang dapat membantu dalam mengambil sebuah keputusan bijak dengan
etika yang baik. Diperlukan suatu pembahasan mengenai berbagai macam teori etika dan bagaimana
mengembangkan suatu kerangka keputusan secara keseluruhan yang praktis berdasarkan pada upaya
untuk mengambil suatu tindakan yang diusulkan akan mempengaruhi pemangku kepentingan untuk
mengambil suatu keputusan.
6. PERSEPSI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN INDIVIDUYUSRA FERNANDO
Sasaran Pembelajaran
Sesudah mempelajari bab ini Anda akan dapat:
Mendefinisikan persepsi dan menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Menjelaskan teori atribusi, dan mengetahui tiga penentu atribusi
Mengidentifikasi jalan pintas yang individu gunakan dalam membuat penilaian mengenai orang lain.
Menjelaskan hubungan antara persepsi dan pengambilan keputusan.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
1. DECISION MAKING, POWER, AND POLITIC
Studi Kasus Pemerintahan Indonesia Era Presiden Soeharto
Oleh:
Intias Maresta Buditami (0806347095)
Krisna Puji Rahmayanti (0806347113)
Leny Octavia (0806347126)
Yopin Parlin P(0806463555)
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2009
2. DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i
Daftar isi .......................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
I.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
I.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
Bab II Kerangka Teori
II.1 Decision Making .......................................................................... 3
II.2 Power ............................................................................................ 8
II.3 Politik ............................................................................................ 14
Bab III. Analisis dan Pembahasan.................................................................... 16
Bab IV. Penutup................................................................................................ 23
IV.1 Kesimpulan ..................................................................................
Daftar pustaka
Lampiran
3. BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pengambilan keputusan, kekuasaan dan politik merupakan kajian yang
melekat dengan organisasi. Variabel kontingensi ternyata tidak sepenuhnya
mempengaruhi pelaksanaan organisasi oleh manajer. Akan tetapi pengambilan
keputusan, kekuasaan dan politik merupakan sebuah domain di luar teori
kontingensi yang ternyata lebih menentukan arah dari sebuah organisasi. Teori
structural-imperative
yang
dikembangkan
oleh
John
Child
berupaya
memperlihatkan bahwa manajer memiliki kebebasan yang cukup besar dalam
membuat pilihan strategis (strategic choices). Ada empat faktor dari argumentasi
Child yakni pengambil keputusan mempunyai lebih banyak otonomi daripada
yang diduga oleh mereka yang berargumentasi bagi dominasi dari kekuatan
lingkungan, teknologi, atau kekuatan lainnya, keefektifan organisasi harus
ditafsirkan sebagai jajaran bukan titik, organisasi kadang mempunyai kekuasaan
untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan mereka, persepsi dan evaluasi
kejadian adalah penghubung penting yang menjadi penengah antara lingkungan
dan tindakan organisasi.
Penegndalian kekuasaan memiliki pengaruh yang menentukan dalam sebuah
organisasi. Dengan demikian diperlukan pembahasan mengenai pengendalian
dalam sebuah organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka kami menyusun
makalah yang berjudul ”Decision Making, Power and Politic: Studi Kasus
Pemerintahan Indonesia Era Presiden Soeharto”
I.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah organisasi dipengaruhi oleh variabel kontingensi atau
penguasa(kekuasaan)?
2.
Bagaimana pengendalian kekuasaan pada masa pemerintahan soeharto?
3.
Apakah pengendalian kekuasaan dapat menjadi kekuatan utama yang
tidak terkalahkan dengan studi kasus pemerintahan soeharto?
4. I.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui
pengaruh
variabel
kontingensi
dan
penguasa(kekuasaan) dalam organisasi.
2. untuk mnegentahui pengendalian kekuasaan pada masa pemerintahan
soeharto.
3. untuk mengetahui kekuatan pengendalian kekuasaan sebagai kekuatan
utama yang tidak terkalahkan dengan studi pemerintahan soeharto.
5. BAB II
KERANGKA TEORI
II.1 DECISION MAKING (PEMBUATAN KEPUTUSAN)
II.1.1 Teori Stephen P Robbin
Menurut Stephen P Robbin dalam Organization Theory:Structure,
designs, and application menyatakan bahwa pengambilan keputusan secara
tradisional dikatakan sebagai membuat pilihan-pilihan1. Pengambilan
keputusan merupakan kekuasaan pengambil keputusan atau para manajer di
berbagai posisi dalam organisasi untuk mengambil keputusan dan pilihan
atas alternatif yang ada. Dari sudut pandang pengambil keputusan langkah
ini merupakan langkah yang cukup memuaskan.
Akan tetapi pengambilan keputusan oleh manajer yang dilakukan
dengan memilih dari beberapa alternatif jika dipandang dari organisasi
hanya merupakan salah satu langkah dari proses yang lebih luas.
situasi
Masukan
Intrepretasi dan
informasi
saran
Pilihan
Otorisasi
Pelaksanaan
Tindakan
dilakukan
Apa yang harus
dilakukan
Apa yang ingin
Apa yang
Apa yang
dilakukan
diotorisasi untuk
sebenarnya
dilakukan
Apa yang dapat
dilakukan
Gambar B.1.1 Proses pengambilan keputusan dalam organisasi
Berdasarkan T.T Paterson, Management Theory(London:Business
Publication,1969)hlm 1502
Gambar di atas merupakan proses pengambilan keputusan dari sudut
pandang organisasi. Informasi yang didapat dari situasi menjadi masukan
informasi yang djadikan langkah awal dalam menentukan langkah yang
dapat dilakukan. Informasi ini didapat dari informasi yang disampaikan
individu vertikal di bawah manajer. Hal ini memungkinkan bawahan untuk
1
Stephen P Robbin Organization theory;structure,design and applicatio. 1990,hlm 120.
Stephen P Robbin, Organization Management Theory(London:Business Publication,
1990)hlm 121
2
6. dapat menyampaikan kepentingannya. Informasi yang didapat kemudian
diintrepretasikan. Hasil dari intrepretasi tersebut menjadi saran untuk
menentukan langkah yang harus dilakukan. Langkah selanjutnya adalah
penentuan pilihan atas saran yang didapat dari langkah sebelumnya. Pilihan
keputusan menetapkan apa yang ingin dilakukan oleh pengambil keputusan.
Kemudian pilihan tersebut dilaksanakan sebagai tindakan.
Paradigma tradisional beranggapan bahwa pengambilan keputusan
dipengaruhi oleh variabel kontingensi. Pandangan ini beranggapan bahwa
dalam pengambilan keputusan harus berdasarkan rasionalitas, kepentingan
yang sama, manajemen puncak sebagai dominant coalition, dan kepentingan
pribadi di bawah kepentingan bersama. Keputusan yang rasional, konsisten
dengan tujuan organisasi dan diarahkan untuk memaksimalkannya.
Pengambilan keputusan yang rasional menganggap “bahwa pemikiran harus
mendahului tindakan; bahwa tindakan harus mempunyai tujuan; bahwa
tujuan harus didefinisikan dalam hubungannya dengan sejumlah tujuan yang
sebelumnya sudah ada dan konsisten; dan bahwa pilihan harus didasarkan
atas teori yang konsisten mengenai hubungan antara tindakan dan
konsekuensinya”.3 Kemudian teori tradisonal menganggap bahwa dominant
coalition memiliki kesamaan dengan manajemen puncak. Selain itu
perspektif kontingensi menganggap bahwa para pengambil keputusan
memiliki tujuan yang sama yakni melayani kepentingan organisasi.
Selanjutnya kepentingan pribadi menjadi nomor dua setelah kepentingan
bersama.
Di sisi lain, perspektif pengendalian kekuasaan memiliki pendapat yang
berlainan.
Perspektif
pengendalian
kekuasaan
berpendapat
bahwa
pengambilan keputusan bercirikan tidak adanya rasionalitas, kepentingan
yang tidak sama, dominant coalition, dan kekuasaan.
Terdapat dua argumentasi mendasar terhadap pengambilan keputusan
yang rasional dalam organisasi. Pertama, para pengambil keputusan
individual tidak mampu untuk seratus persen rasional. Hal ini didasarkan
3
James G March,The Technology of Foolishness,”pada J.G March dan J.P Olsen, ambiguity
and Choice in Organization(Bjergen,Norway:Universitetsforlaget,1976 hlm 71) pada Stephen P
Robbin, Organization Theoryj;Structure, Design, and Application,1990)hlm 269
7. bahwa pengambil keputusan adalah manusia yang selalu memiliki
kelemahan. Manusia tidak selalu memiliki tujuan yang diatur dengan
konsisten, manusia tidak selalu mengejar tujuan secara sistematis, informasi
yang dibuat kadang tidak lengkap, kemudian manusia
jarang sekali
melakukan suatu penelitian yang mendalam untuk mencari alternatif. 4
Pengambilan keputusan oleh pengambil keputusan yang hakikatnya manusia
tidak sepenuhnya rasional karena hanya mengakui sejumlah kriteria terbatas
mengenai pengambilan keputusan, proses dipengaruhi oleh kepentingan
pribadi, bukan merupakan tindakan yang inkremental. Kedua, organisasi
tidak dapat rasional walau pengambil keputusan dapat rasional. Organisasi
tidak dapat rasional karena pendekatan nilai bersaing (competing values),
organisasi memiliki tujuan majemuk sehingga hampir rasionalitas tidak
dapat diterapkan dan organisasi tidak memiliki tujuan tunggal atau hierarki
dari tujuan yang majemuk yang dapat disetujuai oleh semua orang.
Kepentingan pengambil keputusan dan kepentingan organisasi jarang
memiliki kesamaan. Bentuk kepentingan organisasi dan kepentingan
pengambil keputusan bagaikan irisan matematis yang hanya memiliki
peluang kecil memiliki kesamaan.
Kepentingan pengambil keputusan
seakan merupakan keharusan yang mengalahkan kepentingan organisasi,
artinya kepentingan pengambil keputusan akan selalu menjadi nomor satu
dalam pengambilan keputusan.
Kepentingan
Kepentingan
pengambil
organisasi
keputusan
Variabel
yang
mendasari
perspektif
pengendalian
kekuasaan
selanjutnya adalah dominant coalition. Teori ini menjelaskan bahwa
organisasi terdiri dari individu-individu dan koalisi-koalisi kepentingan.
Koalisi tersebut sebagian besar berkembang karena terdapat ketidakjelasan
mengenai tujuan, keefektifan organisasi, dan apa yang dianggap rasional. 5
4
5
James G March dan Herbert A. Simon, Organization(New York:John Wiley, 1958)
Stephen P Robbin. Organization Theory;structure,design, and application,1990.hlm 273
8. Koalisi merupakan tempat untuk melindungi kepentingan individu.
Dominant coalition ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi struktur.
Dominant coalition tidak selalu yang menjadi manajemen puncak atau
pemiliki organisasi akan tetapi koalisi yang dapat menguasai sumber daya
yang menjadi tempat bergantungnya organisasi dapat menjadi dominant
coalition.6 Menurut Almond political coalition are power policy groupings,
determined on the hand, by these prior processes and on the other by
decision rule.7
Kekuasaan dalam organisasi timbul akibat perbedaan preferensi dan
definisi situasi yang menyebabkan terjadi pertarungan kekuasaan antar
koalisi. Kekuasaan adalah kapasitas seseorang untuk mempengaruhi
keputusan.
II.1.2 Menurut Pakar lain (menurut Herbert Simon:Bounded Rationality)
Dalam
bukunya
administrative
behaviour
Simon
menjelaskan
organisasi dalam pengertian riil, bukan ideal. Intinya adalah isu rasionalitas.
Menurut Simon ilmu sosial menderita “skizefrenia akut” ketika menjelaskan
dan mengimplementasikan konsep rasionalitas.
Pada satu titik ekstrem kita punya ahli-ahli ekonomi yang menisbahkan
rasionalitas yang berlebihan pada manusia ekonomi...pada ekstrem lainnya
kita punya ahli-ahli yang berkecenderungan dalam psikologi sosial yang bisa
dirunut kembali ke Freud yang mencoba mereduksi semua kognisi hanya pada
affect saja.. Generasi ilmuwan behavioral masa lalu sibuk mengikuti Freud,
berusaha menunjukkan bahwa orang-orang tidak serasional yang mereka
pikirkan. (Simon,1957:xxiii dalam Parsons,2001:278)
Menurut Simon pengambilan keputusan di dalam organisasi, manusia
terletak di antara dua titik ekstrem. Di satu sisi manusia sebagai homo
economicus
dianggap
dapat
bersikap
rasional
misalnya
mampu
mendapatkan informasi yang sempurna sehingga mampu memilih alternatif
6
Eva C.chu, Dominant Coalition as a Mediating Mechanism Between the Rational Model
and the Political Model in Organization Theory. Makalah yang disampaikan pada Annual Academy
of Management Conference. Anaheim, Calif, Agustus 1988.
7
(Gabriel Almond and G.B.Powell,Jr;1978) hlm 232
9. terbaik dari berbagai pilihan dalam proses pengambilan keputusan. Di sisi
yang lain Freud, Laswell, Pareto mengatakan bahwa manusia merupakan
makhluk yang mengerjakan sesuatu dengan dikendalikan oleh hasrat,
insting, serta kecemasan bawah sadar. Simon beranggapan bahwa
pengambilan keputusan merupakan proses dimana manusia berada di posisi
antara ekstrem tersebut. Menurut Simon analisis seharusnya ditujukan untuk
“mengakomodasi baik itu akal maupun perasaan” (Simon,1957:200).
Konsep ini akhirnya disebut sebagai bounded rationality yang berarti
manusia tidak dapat rasional seperti pengertian para ekonom akan tetapi
manusia memiliki niat baik dalam melakukannya atau dengan kata lain
dalam koridor rasional yang terbatas.
Pembuatan keputusan manusia didorong oleh
Nalar
rasionalitas
konteks:ide
Hasrat,
rasional
kecemasan
bawah sadar
ekonomi
“perilaku
insting,
Konteks:Freud, Pareto, Laswell
manusia
dalam
organisasi, jika tak sepenuhnya
rasional, setidaknya sebagian
dilakukan dengan niat baik”.
(Simon,1957:xxiii)
Akan tetapi Simon mengatakan kita
harus
“mengakomodasi
akal
dan
perasaan”. Konteks: William James,
Graham Wallas
Konsep rasionalitas
yang
terkekang(bounded
rationality)
Gambar B.2.1 Model Rasionalitas terkekang Simon
Menurut Simon mustahil rasionalitas dapat tercapai karena dalam
alternatif pilihan keputusan terdapat beragam pilihan yang harus dievaluasi.
Menurutnya rasionalitas manusia terbatas karena:
a. Sifat pengetahuan yang tidak lengkap,
10. b. Konsekuensi yang tidak bisa diketahui, sehingga si pembuat
keputusan
mengandalkan
pada
kapasitas
untuk
melakukan
penilaian,
c. Keterbatasan perhatian: problem harus ditangani dalam waktu
serial, satu per satu, karena pembuat keputusan tidak bisa
memikirkan terlalu banyak isu pada saat yang sama, perhatian
berpindah dari satu nilai ke nilai lain,
d. Manusia belajar menyesuaikan perilaku mereka agar sejalan
dengan tujuan yang diniatkan, kekuatan observasi dan komunikasi
membatasi proses pembelajaran ini,
e. Batas daya tampung (memori) pikiran manusia: pikiran hanya bisa
memikirkan beberapa hal dalam waktu yang bersamaan,
f. Manusia adalah makhluk dengan kebiasaan dan rutinitas,
g. Rentang perhatian manusia terbatas,
h. Lingkungan psikologis manusia terbatas,
i. Perilaku dan perhatian awal akan cenderung bertahan dalam arah
tertentu selama beberapa periode waktu,
j. Pembuatan keputusan juga dibatasi oleh lingkungan organisasional
yang menjadi kerangka bagi proses pemilihan (Simon,1957:81109).
Walaupun manusia tidak bisa secara penuh bersikap rasional layaknya
ide rasionalitas ekonomi akan tetapi manusia memiliki niat dan usaha untuk
mencapai hal tersebut. Seseorang dalam hal ini dapat dikatakan rasional jika
perilakunya punya tujuan dan diarahkan untuk merealisasikan tujuan
tersebut. Suatu organisasi dikatakan rasional jika ia berusaha mencapai atau
memaksimalkan nilai-nilainya dalam situasi tertentu (Simon,1957:76)
II.2 POWER (KEKUASAAN)
II.2.1 Teori Stephen P Robbin
Kekuasaan dalam organisasi timbul akibat perbedaan preferensi dan
definisi situasi yang menyebabkan terjadi pertarungan kekuasaan antar
11. koalisi. Pertarungan ini kadang menimbulkan kebingungan yakni antara
persaingan antara wewenang dan kekuasaan atau antar kekuasaan.
Terdapat perbedaan antara wewenang dan kekuasaan. Wewenang
adalah hak untuk bertindak atau untuk memerintahkan orang lain untuk
bertindak, ke arah pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan kekuasaan
adalah kapasitas seseorang untuk mempengaruhi keputusan. Dengan
demikian kewenangan merupakan bagian dari konsep yang lebih luas
dari kekuasaan. Oleh karena itu kemampuan untuk mempengaruhi yang
didasarkan atas kedudukan yang sah dapat mempengaruhi keputusan.
Kewenangan dan kekuasaan memiliki tingkatan dan hirarki. Makin
dekat seseorang dengan inti kekuasaan maka makin besar pengaruh
yang dimiliki untuk mempengaruhi keputusan.
Gambar C.1.1 Analogi Kekuasaan
Analogi kekuasaan sebagai kerucut tersebut memiliki dua faktor
penetu dalam kekuasaan. Faktor pertama yaitu makin tinggi seseorang
bergerak ke atas dalam sebuah organisasi (peningkatan dari
kewenangan), maka otomatis orang tersebut makin mendekati inti
kekuasaan. Faktor kedua orang tidak perlu mempunyai kewenangan
untuk memperoleh kekuasaan karena orang dapat bergerak secara
horisontal ke dalam ke arah kekuasaan tersebut tanpa bergerak ke atas.
Pemahaman mengenai perbedaan antara kekuasaan dan wewenang
dapat digunakan untuk memahami perspektif pengendalian kekuasaan
dan membedakannya dengan pilihan strategis.
Kekuasaan merupakan sebuah fenomena struktural yang pertama
dan paling penting. Kekuasaan diciptakan melalui pembagian kerja dan
12. departementasi. Terdapat tiga jalan untuk mendapatkan kekuasaan
yakni kewenangan hirarkis, kendali atas sumber daya, dan jaringan
kerja yang disentralisasi.
Kewenangan formal adalah sumber dari kekuasaan. Seorang yang
menduduki
posisi manajemen senior dalam hirarki pasti dapat
mempengaruhi melalui peraturan formal yang dikeluarkannya untuk
dapat berkuasa. Akan tetapi kewenangan hirakis bukanlah satu-satunya
langkah untuk mendapatkan kekuasaan.
Kemudian kekuasaan akan dapat didapat oleh orang yang memiliki
kontrol terhadap sumber daya. Jika anda mempunyai sesuatu yang
diinginkan orang lain, anda bisa mempunyai kekuasaan terhadap
mereka. Tetapi kontrol terhadap sumber daya saja bukan merupakan
garansi bahwa hal tersebut akan meningkatkan kekuasaan anda. Sumber
daya tersebut harus langka dan penting.8 Selain sumber daya yang
langka dalam hal pencarian kekuasaan dari adanya kontrol sumber daya
harus memperhatikan antara lain subtitusi yang relevan, kekuasaan
yang relatif dari serikat buruh terhadap manajemen, akses terhadap
sumber informasi, dan pengetahuan atau pemilikan ketrampilan yang
istimewa.
Robbins
membagi
sumber
kekuasaan
menjadi
dua
pengelompokkan umum, yaitu :
1. Kekuasaan formal
Didasarkan pada posisi individu dalam organisasi. Kekuasaan
Formal ini terbagi menjadi:
a. Kekuasaan Paksaan adalah kekuasaan yang didasarkan pada
rasa takut.
b. Kekuasaan Imbalan adalah kepatuhan tercapai berdasarkan
kemampuan membagi imbalan yang berguna bagi orang lain.
c. Kekuasaan Hukum adalah kekuasaan yang diterima seseorang
sebagai hasil dari posisinya dalam hirarki formal organisasi.
8
Pfeffer,:Power and Resource Allocation”,hlm 248-49
13. d. Kekuasaan Informasi adalah kekuasaan yang berasal dari akses
ke dan kendali atas informasi.
2. Kekuasaan personal
Kekuasaan yang berasal dari karakteristik unik individu – individu.
Kekuasaan Personal ini juga dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Kekuasaan Pakar adalah pengaruh berdasarkan keterampilan
atau keahlian khusus.
b. Kekuasaan Rujukan adalah pengaruh berdasarkan kepemilikan
atas sumber daya atau ciri pribadi seseorang.
c. Kekuasaan Kharismatik adalah perluasan kekuasaan rujukan
yang muncul dari kepribadian dan gaya interpersonal seseorang.
Need for Power (n Pow)
a. Desire to Influence Others (David McClelland)
Berdasar penelitian sebagian besar manajer yang efektif mampu
menertibkan dan mengendalikan n Pow mereka untuk kepentingan organisasi
dibandingkan kepentingan mereka sendiri.
b. Kekuasaan Antar – Bagian(Interdepartmental Power)
Dalam suatu organisasi terkadang ada suatu bagian (divisi, departemen,
unit) yang lebih “berkuasa” dibandingkan bagian lain, meski secara struktural
bagian tersebut berada pada tingkatan yang sama.
II.2.2 Menurut Pakar lain
Kekuasaan, menurut Gibs, dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk dapat menyuruh orang lain bertindak atau melakukan hal sesuai dengan
keinginannya.
Sedangkan menurut Robs, kekuasaan adalah kapasitas yang dimiliki A
untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai keinginan A. A
memiliki kekuasaan terhadap B apabila B memiliki ketergantungan terhadap
A.
Perbedaan Kekuasaan dengan Kepemimpinan
Kepemimpinan menuntut kesesuaian antara sasaran pemimpin dan
pengikutnya, kekuasaan menuntut sekedar ketergantungan. Kepemimpinan
14. berfokus pada pengaruh ke bawah terhadap bawahan seseorang dan
meminimalkan pentingnya pengaruh ke samping dan ke atas, kekuasaan tidak
demikian.
Riset kepemimpinan menekankan pada gaya, sedangkan
kekuasaan menekankan pada taktik untuk memperoleh kepatuhan.
Teori Strategic Contigency
� Strategic Contigency : event or activity of crucial importance to
completing a project or accomplishing a goal. Teori ini dicetuskan oleh
Hickson dan Hinnings yang menyatakan bahwa kekuasaan bagian (subunit
power) atas bagian lain ditentukan oleh kemampuan bagian tersebut untuk :
1. Menanggulangi ketidakpastian (coping with uncertainty)
Kemampuan suatu bagian/subunit dari organisasi untuk menanggulangi
ketidakpastian organisasi.
2. Keterpusatan (centrality)
Peran suatu bagian/subunit dari organisasi dalam pencapaian tujuan
organisasi.
3. Ketergantikan (substitutability)
Kemampuan yang dimiliki suatu bagian/subunit dari organisasi apakah
dapat digantikan atau tidak.
Kekuasaan menurut French dan Raven
French dan Raven membagi kekuasaan menjadi lima bagian yaitu:
1. Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Kekuasaan yang didasarkan rasa takut. Pemimpin yang
mempunyai
kekuasaan
ini
memiliki
kemampuan
untuk
mengenakan hukuman, dampratan ataupun pemecatan. Dalam
sebuah organisasi, hal ini dapat terlihat dari tindakan yang suka
menghukum, menunda pembayaran gaji dan bahkan memecat
pegawai.
2. Kekuasaan legitimasi
Kekuasaan ini bersumber pada jabatan yang dipegang oleh
pemimpin. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin semakin
besar kekuasaan legitimasinya.
15. 3. Kekuasaan Keahlian (Expert Power)
Kekuasaan ini bersumber pada keahlian, kecakapan, atau
pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang
diwujudkan lewat rasa hormat, dan pengaruhnya terhadap orang
lain. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaannya pada
keahlian
ini,
kelihatannya
mempunyai
keahlian
untuk
memberikan fasilitas terhadap perilaku kerja orang lain.
4. Kekuasaan penghargaan (reward power)
Kekuasaan ini bersumber pada kemampuan untuk menyediakan
penghargaan atau hadiah bagi orang lain, seperti gaji, promosi,
atau penghargaan jasa, bahkan dengan pemberian pujian.
5. Kekuasaan referensi (Referent Power)
Kekuasaan ini bersumber pada sifat-sifat pribadi seorang
pemimpin.
Seorang
pemimpin
yang
tinggi
kekuasaan
referensinya ini pada umumnya disenangi dan dikagumi oleh
orang lain karena kepribadiannya. Kekuatan pimpinan atau
manajer dalam kekuasaan referensi ini sangat tergantung pada
kepribadiannya yang mampu menarik para bawahan atau
pengikutnya.
Selanjutnya
Raven
bekerja
sama
dengan
Kruglanski
menambahkan dua jenis kekuasaan lain, yakni:
6. Kekuasaan informasi( information power)
Kekuasaan yang bersumber pada akses informasi yang dimiliki
oleh pemimpin yang dinilai sangat berharga oleh para
pengikutnya. Sebagai seorang pimpinan maka semua informasi
mengenai organisasi ada padanya begitu pula informasi dari luar
organisasi.
16. 7. Kekuasaan hubungan (Connection Power)
Kekuasaan yang bersumber pada hubungan yang dijalin oleh
pimpinan dengan orang-orang penting dan berpengaruh baik di
luar maupun di dalam organisasi.
II.3 POLITIC (POLITIK)
II.3.1 Teori Stephen P Robbin
Menurut Stephen P Robbin proses politik merupakan pengendalian
kekuasaan yang memperlakukan dampak variabel misalnya besaran,
teknologi atau variabel kontingensi lainnya sebagai kendala yang harus
dihadapi melalui sebuah proses. Proses inilah yang dinamakan proses
politik.
Politik akan menentukan kriteria dan preferensi para pengambil
keputusan. Hal ini didasari adanya organisasi yang terdiri atas berbagai
kepentingan dan pertarungan kekuasaan antara koalisi. Pertarungan ini
menganjurkan pengaturan struktural yang dapat mengakomodir pengaturan
struktural yang sesuai degan kebutuhan mereka. Disinilah politik
menentukan preferensi dan kriteria para pengambil keputusan.
Politik merujuk pada usaha anggota organisasi untuk memobilisasi
dukungan atau tantangan terhadap kebijaksanaan, peraturan, tujuan, atau
keputusan lain yang hasilnya akan mempunyai efek tertentu terhadap
mereka. Politik, oleh karenanya, pada dasarnya adalah penerapan dari
kekuasaan. (Stephen P Robbin,1990:hlm 287)
Jadi hasil keputusan dalam suatu organisasi bukan merupakan hasil
pemikiran rasional. Akan tetapi merupakan hasil dari proses politik. Hal ini
didasarkan pada langkah pengambilan keputusan bukan hasil dari pemilihan
alternatif yang rasional akan tetapi dari kemenangan koalisi tertentu untuk
menjadikan tujuannya menjadi keputusan yang dihasilkan oleh organisasi.
Mereka yang berkuasalah yang menentukan segalanya.
Gambar D.1.1 Model pengendalian kekuasaan
17. II.3.2 Menurut pakar lain
Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap politik(politic) sebagai
suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik(polity) yang terbaik. Di
dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki
peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan
yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Namun dewasa
ini definisi yang sangat normatif ini telah terdesak oleh definisi-definisi
yang lebih menekankan pada upaya untuk mencapai masyarakat yang baik,
seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan alokasi nilai dan
sebagainya.
Politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat
diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke
arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini
menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut
proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan
itu.
Menurut Rod Hague et al: politik adalah kegiatan yang menyangkut
cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang
bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya (politics is the activity
by which groups reach binding collective decisions through attempting to
reconcile differences among their member).
Menurut Andrew Heywood politik adalah kegiatan suatu bangsa yang
bertujuan
untuk
membuat,
mempertahankan
dan
mengamandemen
peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang berarti tidak
dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama (politics is the activity
through which a people make, preserve and amend the general rules under
which they live and
18. BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel
kontingensi memilIki banyak celah untuk dipatahkan. Jika pandangan kontingensi
mengatakan bahwa dalam pengambilan keputusan harus berdasarkan rasionalitas,
kepentingan yang sama, manajemen puncak, dan kepentingan pribadi di bawah
kepentingan bersama, Stephen P. Robin justru dalam teori pengendalian
mengatakan bahwa pengambilan keputusan lebih dipengaruhi oleh kekuasaan dan
politik, dimana dalam politik itu sendiri kekuasaan juga memiliki peranan yang
sangat dominan. Begitu pula yang terjadi dalam kehidupan nyata, kekuasaan
sanggup mengalahkan segala variabel kontingensi dalam hal pengambilan
keputusan.
Teori pengendalian kekuasaan ini menganggap variabel kontingensi hanya
sebagai kendala, sedangkan kekuasaan serta politik lebih menentukan arah
keputusan yang dibuat oleh manajer. Ketika ada seseorang atau sebuah kelompok
yang memiliki kekuasaan yang mendominasi dan berpengaruh terhadap orang
lain atau bahkan masyarakat luas, maka tentu saja mereka akan memanfaatkan
kekuasaan tersebut untuk memasukkan kepentingan mereka dalam proses
pengambilan keputusan. Sementara itu, variabel kontingensi seperti struktur
organisasi, besaran organisasi, lingkungan organisasi, strategi organisasi, serta
teknologi organisasi bukan merupakan faktor penuh dalam proses tersebut.
Sebagai bahan pembahasan, penulis akan membahas masa pemerintahan
Almarhum Presiden Soeharto. Berbicara mengenai keadaan Orde Baru, tentu saja
sangat identik dengan istilah ‘otoriter’. Presiden Soeharto dengan masa
kepemimpinannya
selama
32
tahun
memilih
sistem
sentralitas
dalam
menggunakan posisinya sebagai seorang presiden, yakni segala keputusan berada
di tangan presiden. Sentralitas memang merupakan sebuah asas utama dalam
sebuah pemerintahan, namun sayangnya Presiden memanfaatkan kekuasaannya
untuk “bermain” dalam segala hal yang terkait pengambilan keputusan negara.
Negara sebagai organisasi tentulah juga memiliki unsur-unsur organisasi
seperti pada umumnya, salah satunya adalah adanya unsur formalitas. Unsur
19. formalitas merupakan suatu hal yang mengatur semua hal yang termasuk di dalam
variabel kontingensi. Sementara itu, UUD 1945 merupakan sebuah aturan dasar
dalam organisasi yang bernama Republik Indonesia. Salah satu substansi aturan
dasar tersebut, tepatnya Pasal 28, menyatakan bahwa setiap orang berhak
mengemukaan pendapatnya. Namun ketika Orde Baru, yang terjadi adalah justru
keputusan yang dibuat oleh Presiden tidak sesuai dengan UUD 1945, mesikpun
memang secara informal, namun tetap saja hal tersebut menyangkut hajat hidup
orang banyak, yakni dengan adanya “kebijakan” dalam bentuk kekangan terhadap
media massa yang notabene menyampaikan fakta aktual kepada khalayak. Saat
itu, Presiden Soeharto tidak segan untuk memberikan sanksi kepada siapaun yang
melanggarnya.
Dari
fenomena
tersebut
dapat
terlihat
bahwa
Presiden
menggunakan kekuasaanya untuk membuat sebuah aturan negara, padahal aturan
tersebut sudah sangat menyimpang dari salah satu pasal dalam UUD 1945 yang
merupakan dimensi formalitas dari organisasi negara.
Pemerintahan Soeharto mengundang gejolak sosial dari masyarakat. Hal itu
menunjukkan adanya variabel kontingensi yaitu lingkungan dan teknologi di luar
kekuasaan dominant coalition. Rezim Soeharto merupakan dominant coalition.
Kemudian dengan adanya kekuasaan sentral dari pemerintahan Soeharto serta
politik dan proses politik misalnya melalui institusionalisasi partai, tindakan
koersif terhadap kendala dari kekuasaan, membangun kekuataan politik dan
stabilitas melalui kepemimpinan represif yang mengorbankan demokrasi.
Pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama 31 tahun 2 bulan 9 hari ini mampu
mengendalikan kekuasaan dan meredam semua gejolak dalam bingkai otoriter
sehingga gejolak variabel kontingensi kalah dalam penetuan kebijakan. Kalangan
elit penguasa yang menjadi dominant coalition memiliki kekuasaan untuk
mempengaruhi kebijakan sesuai dengan kepentingan yang diinginkan oleh
kelompok tersebut. Akan tetapi pada suatu saat setelah 31 tahun 2 bulan 9 hari
berkuasa dengan asas sentralisasi dan otoriterismenya pemerintahan ini
ditumbangkan pula oleh kekuatan masyarakat sebagai lingkungan eksternal
pemerintah yang sangat dekat (direct external environment).
Salah satu contoh aspirasi masyarakat yang diabaikan oleh pemerintah yaitu
input dari hasil seminar di SESKOAD yang menyangkut persoalan peran militer
20. dan disfungsi ABRI. Para peserta menekankan bahwa ARI harus netral sebagai
pelindung negara, bukan sebagai alat kekuasaan. Akan tetapi, Soeharto dan
kelompoknya berencana melanggengkan kekuasaanya dan mengabaikan unsurunsur tersebut. Rencana tersebut dilaksanakan dengan:
1. menguasai ekonomi dan keuangan
2. Menguasai angkatan bersenjata
3. Menguasai bidang politik formal dengan membentuk rekayasa
partai politik dan hanya diperbolehkan tiga partai dalam pemilu
tahun 1977, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Hasilnya pemerintahan
Orba menguasai hampir dua per tiga suara di DPR ( Sarbini, 15
Januari 2000)
Lagi-lagi Orba yang dijalankan oleh Soeharto tidak mengindahkan
lingkungan, struktur, strategi, besaran organisasi dan teknologi. Kondisi nyata di
atas diwujudkan atas nama (rekayasa) demokrasi selama hampir 32 tahun.
Menurut Amir Piliang, rezim Orba mengembangkan dua kategori mesin hasrat
(desiring machine) sebagai energi pendorong mesin kekuasaanya di masa lalu
(Kompas, 20 Juli 2000), yaitu :
1.
Mesin hasrat represif (represive desiring machine), yaitu mesin hasrat
yang di satu pihak mengumbar segala bentuk pelepasan hasrat (akan
harta
perusahaan)
di
pihak
lain
menekan
mengisolir
dan
menghancurkan hasrat-hasrat mayoritas rakyat yang asasi.
2.
Mesin hasrat permisif (permisive desiring machine) yaitu mesin hasrat
yang melegalisir yang merusak seperti pornografi, prostitusi, drugs
yang sebenarnya bertentangan dengan asas mayoritas rakyat dan nilai
luhur agama dan tradisi yang baik, dalam konteks ini masyarakat
hanya menjadi “pelayan” bagi mesin hasrat kekuasaan dominan
masyarakat digunakan bagi instrumen bagi dua hasrat itu sehingga
rakyat akhirnya menjadi korban dari mesin hasrat totaliter.
21. Gambar V.1 Konfigurasi Kekuasaan Orde Baru
Memang dinamika pada masa pemerintahan organisasi mengingatkan kita
akan masalah yang melekat pada pembuatan keputusan. Masalah adalah suatu
keadaan di mana terdapat suatu perbedaan antara kondisi yang diinginkan dengan
kondisi yang dialami. Seorang administrator senantiasa menghadapi masalah.
Usaha pemecahan masalah dimaksudkan paling sedikit untuk mengurangi
perbedaan antara situasi yang sebenarnya dengan situasi yang diinginkan.
1. Pemahaman masalah
Untuk mengetahui permasalah pokok yang dihadapi oleh suatu
organisasi seorang manajer dapat memakai beberapa cara,
seperti melalui “employee and consumer surveys”, rencana
pengembangan perusahaan dan dari informasi yang diperoleh
langsung dari pimpinan organisasi yang bersangkutan.
Huber (1980) mengatakan tiga kecenderungan yang dapat
mengganggu penjajakan masalah:
1. Kecenderungan
untuk
merumuskan
masalah
menurut
penyelesaian yang diusulkan.
2. Kecenderungan untuk merumuskan masalah secara sempit
dan menurut tujuan-tujuan yang lebih rendah.
3. Kecenderungan untuk mendiagnosis masalah berdasarkan
gejala-gejala yang terlihat (symptoms)
22. 2. Penjajakan alternatif-alternatif bagi penyelesaian masalah
Langkah ini meliputi pengidentifikasian daripada kegiatankegiatan atau “actions” yang dapat menghilangkan atau
mengurangi perbedaan antara situasi yang sebenarnya dengan
situasi yang diinginkan. Secara teoritis kita bisa mencari
alternatif bagi penyelesaian suatu masalah. Tetapi dalam
kenyataan terdapat kecenderungan para pembuat keputusan
untuk terpaku memperdebatkan manfaat dari alternatif pertama
yang diusulkan .
Untuk mengatasi kecenderungan tersebut di atas dapat dipakai
beberapa teknik, antara lain (Huber, 1980):
1.
”Brainstorming”, yaitu suatu teknik untuk merangsang
anggota kelompok supaya menjajaki alternatif-alternatif
yang mungkin bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah.
2.
”The nominal group technique” yaitu suatu teknik untuk
merangsang anggota kelompok untuk memberi dan
mengevaluasi informasi bagi pembuatan keputusan.
3.
”The
Delphi
Technique”
yaitu
suatu
teknik
untuk
mendapatkan pendapat-pendapat tentang masalah dari suatu
panel yang besar yang terdiri dari para ahli secara anonim,
kemudian mereka diberi umpan balik tentang hasil analisis
data mengenai pendapat yang telah mereka berikan.
3. Memilih satu di antara alternatf-alternatif yang dievaluasi.
Seorang manajer sering menghadapi kesulitan dalam memilih
alternatif yang terbaik sebab cenderung menggunakan informasi
yang relevan secara tidak sistematis. Apalagi tipe-tipe situasi
dalam pembuatan keputusan berbeda-beda. Masing-masing
situasi mengarah pada proses pembuatan pilihan yang berbeda.
•
situasi keadaan darurat dan harus memilih di antara
alternatif yang tidak terlalu banyak perbedaannya (the
conspicuous – alternative situations)
23. •
situasi di mana terdapat sejumlah alternatif penyelesaian
dan di mana kualitas keputusan adalah sesuatu yang
penting
•
situasi apabila langkah pencarian alternatif tidak berhasil
mengidentifikasikan penyelesaian yang dapat diterima.
4. Implementasi dari penyelesaian yang dipilih
Meliputi perencanaan dan mempersiapkan kegiatan yang harus
dilaksanakan agar alternatif penyelesaian tersebut betul-betul
menyelesaikan masalah.
Ada beberapa tendensi yang dapat mengurangi efektivitas
langkah implementasi tersebut yaitu:
•
Tendensi untuk tidak memahami benar-benar apa yang
perlu dikerjakan.
•
Tendensi untuk tidak berusaha agar ada ”penerimaan”
dan ”motivasi” pihak-pihak yang terkait terhadap apa
yang harus dikerjakan sebagai konsekuensi keputusan.
•
Tendensi untuk tidak memberikan cukup sumber daya
bagi apa yang perlu dikerjakan.
5. Pengawasan terhadap program penyelesaian
Manajer harus berusaha untuk mengetahui behwa yang
sesungguhnya terjadi sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Merupakan langkah terakhir dari
lima langkah penyelesaian
masalah.
Akan tetapi terlepas dari teori di atas pemerintahan Soeharto cenderung hanya
berlandaskan kekuasaan. Dalam pemerintahan ini teori manajemen di bawah
kekuatan otoritas pemerintah sehingga cenderung menimbulkan konflik
kepentingan karena kepentingan masyarakat tidak diakomodir.
Dengan kata lain, dalam pemerintahan Soeharto kendala variabel kontingensi
mengalami dinamika. Pada saat kekuasaan masih kuat dan belum terdapat banyak
24. koalisi kepentingan yang tumbuh, masa tersebut berjalan dengan kekuasaan dari
dominant coalition yang sangat menentukan arah pemerintahan. Semua variabel
kontingensi tidak bisa sepenuhnya diterapkan dalam proses pengambilan
keputusan, melainkan ada hal-hal yang jauh lebih berpengaruh dalam proses itu,
yakni kekuasaan dan politik. Akan tetapi ketika tumbuh koalisi kepentingan dari
berbagai kelompok masyarakat yang timbul dengan latar belakang keinginan
untuk melawan pemerintahan yang otoriter akhirnya kekuasaan tersebut tumbang.
Memang kekuasaan dari pengambil keputusan sangat menentukan arah baik
dan buruknya suatu manajemen. Keputusan yang tidak sesuai atau bad decision
dikarenakan oleh beberapa hal antara lain alternative tidak didefinisikan secara
jelas, informasi yang benar tidak dukumpulkan, harga dan keuntungan tidak
akurat. Akan tetapi kebohongan dan hasil yang tidak sesuai dari sebuah keputusan
biasanya lebih diakibatkan oleh decision maker. Menurut John S.Hammond,
Ralph l, Keeney,dan Howard Raiffa the way the human brain works can sabotage
our decisions.
Dari contoh di atas maka dalam organisasi pemerintahan kekuataan dan
kekuasaan dari eksekutif hendaknya kuat namun tidak mematikan aspirasi dan
kepentingan masyarakat serta memperhatikan keadaan negara atau kalau bisa
menyebut teori baru yakni kekuasaan yang berkeadilan sehingga dapat
menciptakan organisasi pemerintahan yang mampu mengendalikan kekuasaan
menuju tujuan bersama dari seluruh elemen masyarakat walaupun dari teori
pengendalian kekuasaan tidak mungkin menciptakan usaha untuk mencapai
kepentingan bersama karena kekuasaan dari kelompok koalisi juga dipengaruhi
kepentingan individu. Hal ini juga dinyatakan oleh S.T Raffles dalam bukunya the
history of java yang mengatakan bahwa dinasti-dinasti cenderung menggunakan
kekuasaan secara berlebihan sehingga meruntuhkan dirinya sendiri.9
9
Taufik Abdullah,ed. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. 2003;hlm 194
25. IV. PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas antara lain sebagai berikut:
1. Teori pengendalian kekuasaan beranggapan bahwa variabel kontingensi
bukanlah satu-satunya hal yang menentukan arah pengambilan keputusan.
Dalam kenyataan penguasa(kekuasaan) lebih berpengaruh terhadap
organisasi dan variabel kontingensi hanya sebagai kendala.
2. Variabel kontingensi hanya kendala dalam teori pengendalian kekuasaan.
Dengan demikian kekuasaan dan politik yang memiliki variabel dominant
coalition, kepentingan pembuat keputusan dan kekuasaan memiliki
kekuatan dalam mengendalikan organisasi. Demikian halnya dengan
pemerintahan era presiden Soeharto, kekuasaan lebih mengendalikan
walau dengan tekanan yang kuat dari lingkungan.
3. Pengendalian kekuasaan merupakan kekuatan yang dapat mengendalikan
organisasi namun pada suatu saat kendala dapat meruntuhkannya.
26. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik,ed. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia
Hammond, John.S. 2001. Harvard business review on decision making. USA:
Harvard Business school Publishing Corporation
Kasim,Azhar. 1995.Teori Pembuatan Keputusan. Jakarta:Lembaga Penerbit FEUI
Parsons,Wayne.2001. Public Policy. Edward Elgar Publishing,Ltd.
Robbins,Stephen
P.1990.
Organization
Theory;
Structure,
Design
and
Applications. Englewood Cliffs: Prentice-Hall,Inc
Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi ed 10, Indeks Kelompok
Gramedia,2003.
Gibson, Ivancevich, Donelly & Konopaske Organization.2006. Behaviour
structure process 12th ed, McGraw-Hill, New York,2006
27. BIODATA PENULIS
PENULIS 1
Nama
: Intias Maresta Buditami
Tempat/tanggal lahir
: Jakarta, 19 Maret 1990
Alamat
: Jalan Mualim No 49 Cibubur
Jakarta Timur
PENULIS 2
Nama
: Krisna Puji Rahmayanti
Tempat/tanggal lahir
: Pacitan, 05 Desember 1989
Alamat
: Pacitan, Jawa Timur
PENULIS 3
Nama
: Leny Octavia
Tempat/tanggal lahir
: 27 Oktober 1990
Alamat
: Vila Dago Blok A/37 Pamulang
PENULIS 4
Nama
: Yopin Parlin P.
Tempat/tanggal lahir
: Jakarta, 19 Desember 1990
Alamat
: Jalan Tipar Swadaya no 55
Mekarsari, Ciamnggis, Depok