SlideShare a Scribd company logo
1
Problem Teori Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi
Oleh: Fuad Muhammad Zein
Ideologi kebebasan yang berdasarkan aspirasi rakyat menjadi isu sentral dalam sistem
demokrasi. Rakyat menjadi pedoman kedaulatan dalam kegiatan perpolitikan1
, sehingga rakyat
mempunyai kuasa dalam pemerintahan negara. Abraham Lincoln pada tahun 1863 menyebut
demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.2
Maksudnya,
pemerintahan demokrasi adalah berasal dari usulan rakyat, dilaksanakan oleh rakyat demi
kesejahteraan rakyat. Rakyat mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berpolitik,3
dengan cara
partisispasi langsung dalam kegiatan politik entah secara individu atau pun perwakilan.4
Secara
umum bisa disimpulkan bahwa dalam demokrasi rakyat lah pemegang kedaulatan dalam negara.
Namun, ideologi kerakyatan ini ternyata tidak selalu membawa pada sebuah kesejahteraan
yang bisa diterima oleh semua pihak. Permasalahannya adalah, ketika ideologi kerakyatan ini
dihadapkan pada kenyataan pluralitas masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan ideologi,
tidak semuanya memiliki prinsip yang sama dalam merealisasikan kedaulatan rakyat tersebut.
Artinya bahwa standar keadilan yang dilahirkan oleh kedaulatan rakyat yang mampu diterima oleh
semua pihak menjadi penting. Maka yang jadi permasalahan bagaimana kedaulatan rakyat mampu
menyatukan berbagai macam ideologi tersebut sehingga mampu diterima oleh semua pihak. Seperti
yang dinyatakan oleh David Held, bahwa dalam setiap komunitas politik atau negara harus ada
suatu badan kedaulatan tetap yang kekuasaannya diakui oleh komunitas sebagai otoritas yang benar
dan sah.5
Pedoman ini yang banyak diragukan para filosof dan cendekiawan mengenai demokrasi.
Misalnya Plato yang meragukan demokrasi yang tidak mampu mendatangkan kedilan hanya dengan
prinsip kesetaraan.6
Menurutnya juga, dalam soal pemerintahan demokrasi sulit untuk mengetahui
siapakah yang memiliki keahlian terbaik, dan lebih sulit lagi dipastikan apakah seorang politisi akan
lebih menggunakan keahliannya demi kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pribadinya
sendiri, atau kepentingan kelasnya, partainya, dan keyakinannya.7
Hal yang mirip dijelaskan oleh
kaum Marxis, mereka menambahkan bahwa demokrasi gagal bila dilihat dari janji-janjinya.8
Rousseau juga mengkritik sistem perwakilan dalam demokrasi. Seperti yang dikutip oleh Deliar
Noer dalam bukunya, Rousseau menyatakan bahwa sistem demokrasi perwakilan adalah sistem
yang menurutnya berasal dari kemalasan orang untuk menaruh perhatian terhadap masalah bersama,
1
Ideologi ini menjadi asas dalam demokrasi yaitu pembebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan
kekuasaan sewenang-wenang baik di bidang agama maupun di bidang pemikiran serta di bidang politik. Prof. Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ,(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) cetakan keempat, p. 108
2
Dikutip dari: Drs. Muhammad Azhar, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 1996), cetakan pertama, p. 58
3
Prof Mirian Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, p. 111-112.
4
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, judul asli: Contemporary Political Ideologies, pent:
Drs. Sahat Simamora, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986), p. 44
5
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, pent.
Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to Cosmopolitan Governance), (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama, p. 47
6
Bernard Lewis, Sejarah Filsafat Barat, (Chicago and London: The University of Chicago Press., 1974), p.
154
7
Ibid. 155
8
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan,...., p. 15
2
dan juga dari nafsu akan uang.9
Artinya, dalam demokrasi, konsep dan partisipasi rakyat pun
memiliki masalah.
Dari beberapa kritik di atas, dapat disimpulkan bahwa perlunya mengetahui apakah
pedoman yang dipakai dalam kedaulatan rakyat demokrasi yang bisa dijadikan standar untuk
mewujudkan keadilan bagi rakyat itu sendiri. Kemudian sebagai sebuah agama yang sempurna,
apakah Islam juga memiliki konsep kedaulatan rakyat? Dan apa yang dijadikan pedoman dalam hal
ini. Dalam makalah singkat ini, akan dibahas mengai problem kedaulatan rakyat dalam demokrasi
dan konsep Islam mengenai kedaulatan rakyat.
Konsep Demokrasi
Secara etimologi, kata demokrasi terdiri dari dua kata bahasa Yunani, yaitu demos dan
kratos / kratein. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos / kratein berarti kekuasaan atau berkuasa.
Jadi bisa diartikan bahwa demokrasi adalah kekuasaan rakyat, government by people.10
Namun
perlu untuk diketahui bahwa arti asli dari demos sendiri adalah rakyat miskin, sehingga, dalam
Encyclopedia of Philosophy, Donald M. Borchert menyatakan bahwa dalam demokrasi, rakyat
miskin lah yang berkuasa.11
Pendapat ini juga dinyatakan oleh Aristoteles yang mengatakan, bahwa
dalam demokrasi kepentingan yang selalu diutamakan adalah kepentingan masyarakat miskin saja,
dan tidak ada satu pun keputusan untuk kebaikan bersama. “...and democracy the interest only of
the poorer classes, none of these aims at the common good of all”12
, meski begitu, yang menjadi
pemahaman kebanyakan adalah demokrasi sebagai pemerintahan rakyat dan bukan rakyat miskin.
Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan demokrasi. Dalam kamus
Filsafat karya Lorens Bagus dijelaskan, bahwa demokrasi adalah bentuk politik di mana rakyat
sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik.13
Penjelasan lain terdapat dalam buku
A Law Dictionary, yang menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sebuah bentuk pemerintahan di
mana kedaulatan berada dalam dan dilaksanakan oleh seluruh warga yang merdeka, dan yang
membedakan dari bentuk monarki, aristokrasi, atau oligarki.14
Montesquieu juga memberikan
9
Pernyataan Rosseau ini didasarkan pada pendapatnya bahwa negara itu tidak harus terlalu besar atau terlalu
kecil, karena menurutnya, negara yang luas menyukarkan penyertaan rakyat dalam bidang pemerintahan secara
langsung, tetapi negara yang terlalu kecil akan sulit mempertahankan diri. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri
Barat, (Bandung, Penerbit Mizan, 1998) cetakan ketiga, p. 156.
10
Prof. Miriam Budiarjo, Ilmu Politik, p. 105. Perlu dipahami bahwa kata „people‟ atau „rakyat‟ pada
pemahaman Yunani waktu itu tidak sama dengan pemahaman pada zaman sekarang. Robert A. Dahl mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan „rakyat‟ waktu itu adalah sekumpulan manusia dari sebuah polis atau kota kecil. Lih. Riza
Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta, Mizan, 2007), cetakan pertama, p. 3.
11
“In ancient Greece, the demos was the poorer people; democracy meant rule of the poor over the rich”. Lih,
Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), p. 699
12
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, vol I, Ancient Philosophy, (Oxford, Clarendon
Press, 2004), p. 84
13
Pada awalnya dalam pemikiran Yunani, demokrasi diusulkan untuk menantang pemerintahan oleh satu
orang (monarki) atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari
kedua jenis pemerintahan ini yaitu tirani dan oligarki. Lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005) cetakan keempat, p. 154.
14
“Democracy: that form of government in which the sovereign power resides in and is exercised by the whole
body of free citizens, as distinguished from a monarchy, aristocracy and oligarchy.” Lih. Henry Campbell Black, M. A,
A Law Dictionary 2nd edition, (New Jersey, The Law Book Exchange, Ltd. Union, 1995), p. 351.
3
pendapatnya mengenai definisi demokrasi dengan menyatakan:“When the body of the people is
possessed of the supreme power, it is called a democracy”.15
Bila diartikan secara bebas, ketika seluruh masyarakat memegang kekuasaan atas
pemerintahan negara, maka inilah yang dimaksud dengan demokrasi menurut Montesquieu.
Pendapat lain dari John Locke yang menjelaskan, pemerintahan disebut demokrasi, yaitu ketika
seluruh kekuasaan yang secara alami terdapat dalam masyarakat digunakan untuk membuat hukum
dari waktu ke waktu, kemudian memilih petugas untuk menjalankan hukum-hukum tersebut. Model
seperti ini ia sebut dengan demokrasi yang sempurna.16
Dari beberapa pendapat tersebut, bisa
difahami, sebenarnya demokrasi merupakan sebuah bentuk atau sistem pemerintahan yang berbeda
dengan monarki, yaitu pemerintahan dengan kedaulatan yang dikuasai oleh satu orang, dan
aristokrasi, yaitu kedaulatan negara yang dikuasai oleh beberapa orang.17
Jadi bisa disimpulkan
bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dengan kedaulatan yang dikuasai oleh seluruh
warga.
Bila dibandingkan pengertian demokrasi pada masa Yunani dan Modern, maka bisa
diketahui bahwa dalam demokrasi setidaknya memiliki dua model pemerintahan. Pertama, adalah
model demokrasi langsung, direct democracy. Dan Kedua, adalah demokrasi perwakilan,
representative democracy. Demokrasi langsung adalah demokrasi di mana para warganegara
berperan serta secara pribadi dan langsung dalam pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan dalam
segala urusan pemerintahan. Demokrasi semacam inilah yang terlaksana pada masa Yunani Kuno.18
Sifat langsung ini bisa terselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang
sederhana, kemudian wilayah yang hanya berbentuk polis,19
dengan penduduk yang sedikit.20
Sedangkan dalam demokrasi perwakilan, para warganegara memilih warga yang lain untuk
mewakili mereka dalam mengikuti pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan dalam segala urusan
pemerintahan.21
Perbedaan ini disebabkan karena perubahan ukuran negara yang lebih besar dan
luas serta jumlah warganegara dalam setiap negara yang semakin banyak.
Demokrasi juga sering dikaitkan dengan bentuk negara republik. Merujuk kepada konsep
Machiavelli dalam bentuk negara, republik merupakan kebalikan dari monarki. Republik diartikan
dengan negara yang mempunyai ciri kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, maka disebut juga negara
kerakyatan. Ciri yang lain adalah ketika kehendak negara, staatswill, terjadi secara yuridis melalui
suatu majelis atau melalui suatu dewan.22
Jadi, kaitan antara demokrasi dan republik terletak pada
15
Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws, pent. Thomas Nugent, (Canada, Batoche
Books, 2001) p. 25
16
John Locke, Second Treatise of Government, (Cambridge, Hackett Publishing Company, 1980), p. 52
17
Sebenarnya pembagian bentuk pemerintahan ini sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Namun
perbedaan keduanya adalah, bila Plato menjadikan aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang paling ideal,
sedangkan Aristoteles menganggap politea / polity sebagai bentuk yang paling ideal. Lih Anthony Kenny, A New
History Of Western Philosophy, vol I, Ancient Philosophy, (Oxford, Clarendon Press, 2004), p. 60, 84. John Jacques
Rousseau, The Social Contract or The Principles of Political Right, p. 50. John Locke, Second Treatise of Government,
p. 52
18
Lih: Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), p. 700
19
Kata polis ini berasal dari kata Yunani, yang dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai negara (state) dan
kota (city). Namun dalam pengertian Yunani polis adalah sebuah masyarakat yang berjumlah sedikit, dan biasanya
disebut dengan „negara kota‟. George Klosko, History of Political Theory, an Introduction, vol I, Ancient and Medieval
Political Theory, (Orlando, Harcourt Brace & Company Publisher, 1993), p. 1-2
20
Prof. Miriam Budiarjo, Ilmu Politik, p. 109
21
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, pent. Drs. Sahat Simamora, judul asli: Contemporary
Political Ideologies, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986), p. 44
22
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2006), cetakan pertama, p.49-50
4
posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, oleh karena itu, banyak negara-negara
penganut demokrasi menamakan dirinya sebagai negara republik demokratis.
Selain itu, demokrasi perwakilan juga disebut dengan demokrasi konstitusional atau
demokrasi liberal.23
. Demokrasi ini merupakan pembaruan kelembagaan pokok untuk mengatasi
problem keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasan. Namun kebebasan ini hanya
diberikan kepada semua orang dewasa.24
Kebebasan tersebut tercerminkan dalam bentuk undang-
undang dan lembaga-lembaga yang memungkinkan partisipasi paling luas dari mayoritas
warganegara dalam pemilihan wakil-wakil yang bisa membuat keputusan-keputusan politik sendiri,
yakni keputusan-keputusan yang mempengaruhi seluruh komunitas.25
Namun yang menjadi
kelemahan demokrasi semacam ini adalah adanya pertentangan dan pertemuan pendapat dalam
masyarakat, sehingga berdasarkan pada kebenaran yang relatif bukan pada kebenaran yang mutlak.
Oleh sebab itulah demokrasi ini tidak mempunyai pegangan dan pedoman yang tegas.26
Demokrasi
ini banyak dianut oleh negara-negara Barat.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem yang mempunyai
ciri lain dari sistem lainnya seperti monarki dan aristokrasi dengan menempatkan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan dalam negara. Demokrasi merupkan sistem pemerintahan kerakyatan di mana
rakyat mempunyai posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan pembuat keputusan. Dalam
perkembangannya, demokrasi mengalami perubahan bentuk dan sistem dari asalanya. Perubahan
tersebut ialah perubahan demokrasi yang sebelumnya berbentuk langsung, direct democracy,
menjadi demokrasi perwakilan, representative democracy, di mana rakyat memilih wakilnya untuk
duduk dalam sebuah majlis permusyawaratan atau parlemen untuk mewakili dan menyampaikan
aspirasi rakyat dalam pemerintahan. Dalam hal ini posisi rakyat tidak serta merta diabaikan.
Artinya, meski mengalami perkembangan dan perubahan bentuknya, demokrasi tidak
menghilangkan cirinya yang sangat esensial yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam
pemerintahan negara.
Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi
Seperti yang telah disebutkan bahwa dalam demokrasi posisi kedaulatan rakyat sangat
penting dalam pemerintahan, karena merekalah yang dianggap pemegang kekuasaan yang
sebenarnya. Maka perlu untuk memahami konsep kedaualatan yang merupakan pondasi atau
legitimasi dalam masalah kekuasaan dalam politik. Kedaulatan dan kekuasaan merupakan dua hal
yang sangat berkaitan dalam politik demokrasi, karena dengan kedaulatan kekuasaan bisa
mendapatkan legitimasi. Selanjutnya adalah mengenai siapa yang memegang kedaulatan dan dari
mana kedaulatan ini bisa didapatkan.27
Hal ini karena melihat negara adalah sebuah organisasi
23
Demokrasi Konstitusional memang jarang disebutkan secara bersamaan dengan demokrasi liberal maupun
perwakilan. Terkadang Demokrasi Perwakilan disebut bersamaan dengan Demokrasi Liberal, dikarenakan adanya
prinsip kebebasan yang terdapat dalam wakil-wakil masyarakat dalam pemerintahan dengan tetap dibatasi dengan
aturan-aturan hukum. (lih. David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan
Kosmopolitan, pent. Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to Cosmopolitan
Governance), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama, p.5-6). Dan Demokrasi Perwakilan disebut
bersamaan dengan Demokrasi Konstitusional, karena adanya batas-batas konstitusional dalam setiap wakil-wakil
rakyat, (lih. Prof Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik....., 107). Namun ketiganya terdapat kesamaan, yaitu
adanya kekuasaan terbatas dalam perwakilan rakyat.
24
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global......., p. 10-11
25
Ibid, p. 14
26
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,...p. 56.
27
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Cet. 3, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1991), h. 125-126.
5
hidup yang digerakkan oleh banyak orang, selain itu, kedaulatan merupakan sebuah kekuasaan
untuk memerintah dalam negara.28
Maka dari ini, perlu untuk memperjelas mengenai konsep
kedaulatan dan siapa yang berhak dalam memegang kedaulatan, serta dari mana kedaulatan itu
didapat. Dengan begini bisa diketahui bagaimana kekuasaan dalam sebuah negara dapat
dilaksanakan.
Secara etimologi, kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah,
dan lain sebagainya.29
Dalam bahasa Inggris, kedaulatan diterjemahkan dalam istilah soverereign
atau sovereignty yang berarti mempunyai kekuasaan yang besar dalam sebuah negara, having
complete power or the greatest power in the country. Dan „sovereignty‟ berarti kekuasaan penuh
untuk mengatur sebuah negara atau sebuah kondisi pada sebuah negara yang memiliki kebebasan
untuk memerintah negara itu sendiri.30
Sehingga bisa dipahami bahwa kedaulatan berkaitan dengan
masalah mengenai kekuasaan, dan selain itu, kedaulatan merupakan sebuah istilah yang berbicara
mengenai kekuasaan tertinggi dalam sebuah pemerintahan.
Mengenai definisi kedaulatan, terdapat beberapa pendapat. Dalam bukunya, Prof. Miriam
Budiardjo menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-
undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia.31
Dalam hal ini, negara mempunyai
kekuasaan tinggi untuk memaksa rakyatnya agar menaati undang-undang yang ada, dan juga
kekuasaan untuk mempertahankan kedaulatannya. Dalam buku A Law Dictionary, dicantumkan
bahwa kedaulatan (soveregnty) adalah suatu kombinasi dari seluruh kekuasaan masyarakat dalam
sebuah negara, yang digunakan untuk melakukan segala sesuatu demi negara, seperti membuat
undang-undang dan menerapkannya, membuat perjanjian dagang dengan negara lain dan lain
sebagainya.32
Dari sini terlihat bahwa kedaulatan sangat penting dalam negara sebagai legitimasi
pembuat segala keputusan.
Jean Bodin33
memberikan definisinya mengenai kedaulatan dengan menyatakan bahwa
kedaulatan adalah kekuasaan yang absolut dan abadi yang dimiliki dalam sebuah negara.34
Kekuasaan itu merupakan wewenang yang tidak dapat dibatasi oleh hukum dan dimiliki oleh
penguasa (pemerintahan negara) untuk mengatasi seluruh warga negara dan orang-orang lain dalam
ruang lingkup wilayahnya.35
Seperti yang dikatakan Bodin, dalam Encyclopedia of Philosophy juga
disebutkan bahwa seseorang atau sebuah institusi bisa dikatakan berdaulat bila ia melaksanakan
kewenangan (dalam sebuah permasalahan hak) atas orang lain atau institusi lain dalam sebuah
sistem hukum, dan tidak ada pejabat yang berwenang untuk menolaknya.36
Artinya, kedaulatan
adalah sebuah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam sebuah pemerintahan atau negara, yang itu
merupakan kekuasaan dan wewenang yang menyeluruh dalam memerintah negara dan dengannya
dapat dibentuk undang-undang dan segala sesuatu untuk kepentingan negara. Jika dikaitkan dengan
28
A. Hamid S Attamimi,“Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara ; suatu studi analisis mengenai keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun
waktu Pelita I – Pelita IV, Jakarta : (Desertasi doktor Universitas Indonesia, 1990), h. 84
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2012) cetakan
keempat, p. 298
30
„the state of being a country with freedom to govern it self‟. Oxford Advanced Learner‟s Dictionary,
International Student Edition, (Oxford, Oxford University Press, 2010), p.
31
Prof. Mriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik....., p. 54
32
John Bouvier, A Law Dictionary, Adopted to The Constitution and Laws of The United Stated of America
and of The Several States of The American Union with References to The Civil and Other System of Foreign Law, 2nd
edition, vol II, (Philadelpia, T & J. W Johnson Law Book Sellers, 1843), p. 520
33
Jean Bodin adalah seorang pemikir politik abad pertengahan berkebangsaan Prancis. Lahir pada tahun 1530
dan meninggal pada tahun 1596
34
Jean Bodin, Six Books of The Commonwealth, pent. M. J. Tooley, (Oxford, The Alden Press, 1755), p. 25
35
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,...p. 30
36
Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 9),....,p. 139
6
demokrasi, maka dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam
sebuah negara yang menganut sistem demokrasi adalah rakyat. Dalam hal ini rakyat menjadi
pemberi keputusan dalam berbagai macam permasalahan dalam urusan pemerintahan.
Dalam perjalanannya, kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini mengalami perubahan dalam
bentuknya dari bentuk langsung kepada bentuk perwakilan. Seperti yang telah disinggung di atas,
bahwa kedaulatan dalam demokrasi Yunani Kuno berbentuk langsung. Pada bentuk ini, rakyat
Athena berkumpul dalam sebuah tempat yang luas untuk membicarakan permasalahan publik
dengan cara diskusi dan dialog dan juga voting. Setiap individu masyarakat memiliki hak yang
sama dalam memberikan usulan yang dapat mempengaruhi keputusan politik. Keputusan suara
ditentukan dengan adanya voting dan suara terbanyaklah yang menjadi ukuran legitimasi keputusan
politik, dan kalangan yang pendapatnya kalah dalam voting, harus bisa menerima keputusan itu dan
menyetujui keputusan akhir yang dicapai.37
Lain halnya dalam bentuk perwakilan. Dalam bentuk
ini, kedaulatan rakyat diwakilkan kepada beberapa orang untuk duduk di parlemen sebagai
kelompok yang diberi kepercayaan rakyat untuk mewakili aspirasi mereka dalam masalah-masalah
politik.38
Wakil-wakil tersebut dipilih dalam pemilihan umum secara bebas oleh rakyat dengan asas
mayoritas. Maka dari itu, para wakil ini harus bisa menjadi suatu mikrokosmos dari kemajemukan
kepentingan para pemilihnya, di mana kemudian kepentingan-kepentingan itu akan disatukan
dengan kepentingan-kepentinagan lainnya sehingga dapat membuat sebuah keputusan yang bisa
mewakili kepentingan bersama.39
Pada masa modern ini, kedaulatan langsung sangat sulit untuk dilaksanakan. Wilayah yang
semakin luas dan juga tidak terdapatnya tempat untuk menampung seluruh rakyat pada waktu yang
bersamaan tidak memungkinkan terjadinya demokrasi langsung pada zaman modern.40
Pada saat
demokrasi langsung dijalankan pun, tidak semua warganegara dapat ikut serta dalam
permusyawaratan. Hal ini terbukti adanya diskriminasi bagi wanita dan budak pada masa Yunani
Kuno yang tidak mempunyai hak politik dalam konstitusi Athena. Dan yang berhak hanyalah
kalangan elit saja dalam partisipasinya di dalam pemerintahan.41
Kemudian, tidak semua
masyarakat mempunyai pengetahuan mengenai politik. Sehingga keputusan publik tetap dijalakan
oleh sekelompok orang yang diberi kewenangan untuk menjalankannya.42
Artinya, dalam bentuk
aslinya pun tetap saja bahwa kedaulatan rakyat ini tidak bisa dijalankan sepenuhnya kepada rakyat
secara keseluruhan. Kekuasaan yang dijalankan secara massal juga merupakan sebuah bentuk
kekuasaan yang abstrak. Joseph Schumpter menyatakan bahwa untuk mengatasi adanya kekuasaan
yang tidak beraturan, dan juga menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan yang telah terjadi
pada bentuk theokrasi ataupun monarki, maka kedaulatan rakyat didelegasikan kepada sebuah
bentuk pemerintahan perwakilan dengan adanya jaminan kebebasan dan kekuasaan pada rakyat.43
Kesimpulannya, bahwa zaman yang sudah berkembang pada era modern ini tidak memungkinkan
untuk menjalankan demokrasi secara langsung, dan memaksa untuk bertransformasi dalam bentuk
demokrasi perwakilan.
Dalam bukunya yang berjudul Democracy and The Global System, Fabian Biarcardi
mengatakan bahwa untuk pertama kalinya demokrasi perwakilan menjadi sebuah bentuk
pemerintahan yang begitu dominan untuk didistribusikan ke seluruh negara pada sistem global
37
Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 700
38
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 44
39
Ibid, p. 69
40
Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, S. H, M. H, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), cetakan pertama, p. 17
41
Ibid
42
Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2),....,p. 701
43
Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy, (New York, Routledge, 1994), p. 247
7
sekarang ini.44
Selain karena wilayah negara yang semakin luas, hal ini disebabkan karena adanya
gerakan revolusi pada era memasuki abad modern. Sebagai contoh adalah berhasilnya revolusi
kaum proletar, dan juga berakhirnya komunis yang diprakarsai oleh Lenin dan Bolsheviks.45
David
Held menjelaskan bahwa pada zaman modern ini, demokrasi perwakilan menjadi begitu penting
karena demokrasi perwakilan menjanjikan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan
yang memberi mandat pemerintahan, yaitu rakyat. Selain itu, demokrasi perwakilan liberal juga
tidak menjadi ancaman bagi masyarakat sipil ekonomi, karena akan menciptakan pasar modal yang
memisahkan ekonomi dari politik.46
Lyman Tower Sargent juga menyatakan bahwa dalam
demokrasi perwakilan, melalui asas persamaan, berarti bahwa rakyat yang berhak memilih
wakilnya, juga berhak untuk dipilih sebagai wakil rakyat.47
Dengan begitu, demokrasi perwakilan
bisa menjadi sistem pemerintahan yang menyeimbangkan antara kedaulatan rakyat dengan
kekuasaan pemerintah.
Namun tidak semua tokoh Barat menyetujui adanya sistem perwakilan ini. Seperti halnya
Rousseau yang menyatakan bahwa sistem perwakilan hanya akan menimbulkan sifat apatis bagi
rakyat karena hanya akan menyerahkan segala urusan politik kepada pemerintah, sedangkan ia tidak
peduli dan malas untuk ikut berpartisipasi dalam politik. Selain itu, sistem ini juga akan menjadikan
wakil rakyat yang duduk di parlemen mengorientasikan tugasnya hanya kepada uang, karena
pemerintah itu dibayar. 48
Fenomena apatis rakyat ini juga dinyatakan oleh Borchert dalam
encyclopedianya bahwa tidak semua rakyat dalam demokrasi merasa bahwa dirinyalah pemegang
kedaulatan. Kebanyakan dari mereka apatis atau tidak mau tahu mengenai hal tersebut.49
Selain
Rousseau, Karl Marx juga tidak setuju dengan adanya sistem perwakilan. Ia menyatakan bahwa
sistem perwakilan yang diajukan kaum liberal adalah alat untuk mempertahankan kekuasaan kaum
borjuis, dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni serta mampu mengartikulasikan
kepentingan kaum proletar.50
Artinya, bahwa sistem perwakilan sebagai bentuk kedaulatan rakyat yang kemudian
didelegasikan kepada wakil rakyat tidak sepenuhnya mendapatkan persetujuan dari semua
kalangan. Kalangan yang kurang setuju mendasarkan adanya aspek materialistis yang akan diadopsi
oleh para wakil rakyat, sehingga kedaulatan yang mereka peroleh tidak dijalankan dengan baik.
Maka dari itu mereka menginginkan adanya pemerintahan langsung dari rakyat. Namun dalam
kondisi negara yang begitu besar dengan permasalahan yang begitu kompleks, tidak memungkinkan
adanya pemerintahan langsung oleh masyarakat, sehingga pemerintahan akan tetap dipegang oleh
beberapa orang yang dipercaya bisa mewakili rakyat.
Problem Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi
Konsep dasar dari kedaulatan rakyat perwakilan dalam demokrasi adalah rakyat tidak
mampu dalam melaksanakan pemerintahan secara langsung, dan mengharuskan untuk
dilaksanakannya demokrasi tidak langsung. Demokrasi inilah yang kemudian dikonkretkan dalam
bentuk badan perwakilan rakyat.51
Rakyat menyalurkan partisipasinya dalam bentuk mengikuti
44
Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System, a Contribution to The Critique of Liberal
Internationalism, (New York, Palgrave Mcmillan, 2003), p. 10
45
Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System,........, p. 9-10
46
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global......., p. 82-83
47
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 48
48
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 73
49
Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 701
50
Ernest Mandel, Tesis-Tesis Pokok Marxisme, (Yogyakarta, Resist Book, 2006)
51
Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, S. H, M. H, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia,........, p. 18
8
organisasi-organisasi politik, atau menghadiri dan berpartisipasi dalam dengar pendapat publik atau
rapat-rapat politik lain, bahkan memberikan tindakan sederhana untuk membicarakan masalah
politik seperti menyampaikan ide pada pejabat politik juga termasuk dalam bentuk partisipasi rakyat
dalam politik.52
Partisipasi rakyat ini juga bisa disalurkan dengan cara mengikuti pemilihan umum
untuk memilih calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Bahkan pemilu merupakan ciri
khas dari setiap negara demokratis.53
Dengan kata lain, meski dalam bentuk perwakilan, rakyat bisa
menyalurkan aspirasinya dengan berbagai cara untuk menggunakan hak kedaulatannya, sehingga
kedaulatan rakyat tidak terpinggirkan.
Dalam demokrasi perwakilan atau demokrasi partisipasi ini kualitas masyarakat dan
pemerintah sangat penting. Montesquieu menyatakan bahwa kualifikasi seseorang dalam
pemerintahan sangat dibutuhkan dalam menegakkan keadilan.54
Shcumpeter juga menyatakan
adanya kualifikasi mengenai adanya kecerdasan dalam diri seseorang yang memegang
pemerintahan.55
Asas kebebasan dalam demokrasi kemudian merangsang munculnya kelompok-
kelompok elit yang menyatakan dirinya mempunyai kemampuan tersebut. Asumsinya bahwa
efisiensi dan ketidakmampuan pemilih untuk menetapkan keputusan yang memadai memaksa
mereka untuk menjadi sentral figur mewakili para pemilih tersebut.56
Maka kemudian, seperti yang
dipaparkan Peter Bachrach, bahwa pada masa modern ini, demokrasi berubah menjadi sebuah
proses di mana para kelompok-kelompok elit menggalang partisipasi para warganegara dalam
jumlah yang sebesar-besarnya.57
Fenomena ini kemudian memunculkan adanya, seperti yang
disebut Lyman Tower Sargent, dengan kontroversi pluralisme. Dalam masalah ini, masyarakat
dilihat sebagai kelompok-kelompok yang bersaing untuk memperebutkan kekuasaan politik.58
Yang
jadi permasalahan adalah, selama persaingan ini jujur maka tidak akan timbul dominansi satu
kelompok atas yang lain, namun apabila persaingan ini tidak jujur, maka dominasi antar kelompok
tidak bisa dihindarkan lagi. Dengan adanya prinsip mayoritas, maka persaingan politik ini
mejadikan setiap kelompok berusaha mencari suara sebanyak-banyaknya agar bisa memenangkan
kompetisi dan merebut kekuasaan, atau mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintah.59
Maka
tidak heran bila Schumpeter menyebut demokrasi ini dengan kompetisi merebut kekuasaan,
democracy as a method for the selection of leaders (“Democracy as Competition for Political
Leadership”).60
Persaingan seperti ini terkadang memuculkan tindakan yang kurang adil, sehingga
telah menyalahi asas kedilan dalam demokrasi.
Persaingan antar kelompok ini terlihat pada adanya persaingan antar partai dalam
memperebutkan kekuasaan politik. Robert Michels menyatakan bahwa adanya kelompok elit politik
menjadikan demokrasi disusupi oleh adanya unsur-unsur aristokrasi.61
Lanjutnya, unsur-unsur
aristokrasi dalam selubung demokrasi ini terkadang mengelabuhi rakyat dari bentuk sebenarnya dari
tindak oligarki partai-partai tersebut.62
Donal M. Borchert pun sependapat dengan ini. Menurutnya,
bahwa sebuah sistem politik tidak lepas dari adanya organisasi dalam pengaturan pemerintahannya,
dan oleh karena itu, setiap organisasi tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan tertentu dari
52
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 44
53
Diane Revitch dan Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik dan Modern, pent. Hermoyo, jdl asli: The
Democracy Reader: Classic and Modern Speeches, Essays, Poems, Declaration, and Document on Freedom and
Humand Rights Worlwidei, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005), edsi 2, p. xiii
54
Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws,...., p. 650
55
Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 205
56
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 46
57
Peter Bachrach, The Theory of Democratic Elitism: A Critique, (Boston, Little Brown & Co, 1967), p. 109
58
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 47
59
Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 269
60
Ibid, p. xix
61
Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, dalam Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, ed. Dr Ichlasul Amal,
(Yogyakarta, Tiara Wacana, 2012), p. 39
62
Ibid, 40
9
orang-orang yang berada dalam organisasi tersebut, sehingga sangat memungkinkan sekali
terjadinya bentuk oligarki dalam demokrasi.63
Hal ini terlihat di mana partisipasi rakyat cenderung
hanya terwujud dalam pemilihan umum.
Selain itu, sistem pemilihan umum yang mencakup daerah yang begitu luas membutuhkan
pembiayaan yang besar,64
sehingga pada kondisi seperti ini, partai-partai yang besar dan memiliki
dana yang mencukupi persainganlah yang mampu keluar sebagai pemenang dalam kompetisi ini.
Oleh karena itu, pada masalah ini Rousseau menyatakan bahwa demokrasi hanya cocok untuk
negara kecil lagi miskin.65
Maka tidak heran bila seorang calon wakil rakyat juga harus mempunyai
dana yang besar agar mampu duduk di parlemen dan memegang kekuasaan. Unsur kapitalisme
inilah yang mendistorsi asas persamaan dalam demokrasi, karena hanya yang mempunyai dana
yang besarlah yang bisa masuk dalam parlemen. Kemudian adanya praktik black campaign atau
kampanye hitam menjadikan persaingan politik menjadi tidak sehat. Pada praktik ini, setiap
kelompok politik melancarkan serangan kepada lawan politiknya dengan cara menyebarkan isu
mengenai kekurangan dan keburukan lawan politiknya agar menjatuhkan image di masyarakat
sehingga dengan begitu rakyat memalingkan pilihannya dan menjatuhkan pilihannya kepada yang
lain.66
Tujuannya adalah untuk mengurangi suara pemilih dalam pemilu.
Selain itu adanya praktik penggelapan suara dalam suatu wilayah pemilihan juga kerap
mewarnai kondisi pemilihan umum. Sebagai contoh, pada pemilihan presiden pada tahun 2000 di
Amerika. Ketika itu, George W Bush memenangi pemilu dan berhasil menjadi presiden. Namun
ternyata kemenangan tersebut diwarnai dengan kecurangan yang berbentuk penghilangan suara.
Dilaporkan bahwa lawan politik Bush ketika itu, yaitu Albert Gore kehilangan 22.000 suara di
Florida. Kehilangan suara ini disebabkan adanya praktik penghapusan hak pilih warga yang
kemudian dikarenakan statusnya sebagai kriminal. Namun anehnya bahwa yang terdaftar tersebut
adalah hampir seluruhnya warga kulit hitam dan warga hispanic. Hal ini menjadi kecurigaan bahwa
kemenangan Bush ini tidak terlepas dari manipulasi suara yang dilakukan oleh timnya.67
Kemudian, kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini terwakili dalam lembaga legislatif dari
konsep trias politika Montesquieu.68
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa wakil rakyat yang
duduk di parlemen sebagai anggota badan legislatif ini dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem
pemilu dengan asas prinsip suara mayoritas. Badan legislatif ini menjadi badan yang berhak
menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya
dalam undang-undang. Dan undang-undang ini yang nantinya akan dilaksanakan oleh badan
eksekutif.69
Maka, keputusan-keputusan yang diambil oleh badan legislatif ini harus sesuai dengan
apa yang diinginkan rakyat. Maka dari itu, seperti yang dinyatakan oleh Lyman Tower Sargent,
63
Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 702
64
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 54
65
Ibid. Fabian Biarcardi juga menyebutkan bahwa demokrasi pada era global ini sangat membutuhkan biaya
yang sangat tinggi. Lih: Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System, ......., p. 39
66
Epriatni EP, Etika dalam Pemasaran Politik, dalam Jurnal Forum, Majalah Pengembangan Ilmu Sosial,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, vol: 39, no: 1, Februaru 2011, p. 2
67
Greg Palast, The Best Democracy Money Can Buy, p. 8-9
68
Trias Politica adalah teori pembagian kekuasaan yang dicetuskan oleh Montesquieu, seorang pemikir politik
dari Perancis. Ia membagi kekuasaan dalam sebuah pemerintahan dalam 3 badan kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislatif, dan kekuasaan Yudikatif. Teori ini sebenarnya sudah pernah dicetuskan oleh Jihn Locke, namun
perbedaannya adalah kekuasaan Yudikatif dari Montesquieu ini, dalam konsep John Locke adalah kekuasaan Federal.
Alasan yang melandasi pembagian ini adalah bahwa bila kekuasan Yudikatif disatukan dalam sebuah badan kekuasaan
eksekutif, maka akan cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan. Maka kekuasaan Yudikatif haruslah sendiri yang
bertugas mengawasi dan memberikan hukuman kepada kedua kekuasaan yang lain apabila terjad penyalahgunaan
kekuasaan.
69
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ........, p. 315-316
10
bahwa para wakil rakyat harus bisa mewakili rakyat atau menjadi sebuah masyarakat kecil dari
kemajemukan kepentingan dalam diri para pemilih, di mana kepentingan itu merupakan hal yang
terpenting bagi para pemilihnya.70
Partisipasi rakyat yang telah tersalurkan akan menjadi bahan bagi badan perwakilan rakyat
dalam menentukan kebijakan dalam rapat parlemen. Dengan ini dewan perwakilan rakyat
mempunyai fungsi sebagai perancang dan pembentuk undang-undang. Undang-undang yang telah
terbentuk merupakan bentuk kekuasaan wakil rakyat dalam mengatur rakyat, oleh karena itu,
seharusnya semua keputusan wakil rakyat sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat. Dalam
mekanisme keputusannya, lembaga legislatif ini juga menggunakan prinsip suara mayoritas dengan
cara voting. Artinya, prinsip mayoritas ini sudah menjadi pedoman dalam menentukan keputusan-
keputusan dalam demokrasi.71
Tapi, seperti yang disebutkan oleh Hendra Nurtjahjo sebelumnya,
bahwa dalam prinsip mayoritas di demokrasi parlemen ini tidak ada pedoman yang tegas, sehingga
semua keputusannya didasarkan pada pedoman yang relatif. Jack Lively juga meragukan tentang
sistem voting bisa menjamin terwujudnya persamaan politik di antara warganegara. Menurutnya,
hal ini karena persamaan politik sangat bergantung pada persamaan pada bidan-bidang lain, yaitu
sumber daya sosial yang dapat mempengaruhi perumusan kebijakan publik.72
Artinya ada faktor
lain yang harus dipenuhi agar prinsip mayoritas bisa dijadikan mekanisme yang ideal dalam
pengambilan keputusan publik.
Selain itu, sangat jarang sekali ditemukan wakil yang merupakan agen independen dan
terbebas dari kepentingan kelompoknya. Pada praktisnya sebagian besar wakil menjadi agen bagi
para pemilihnya pada saat atau pada hal-hal tertentu yang itu bisa membuatnya terpilih kembali
sebagai wakil rakyat dalam parlemen.73
Kasus seperti ini juga dinyatakan oleh Goenawan
Muhammad, dengan mengatakan bahwa Indonesia telah memasuki era di mana para pemilih
(rakyat) mencemooh bahkan mencurigai pemimpin politiknya. Hal ini menurutnya dikarenakan
maraknya tindak korupsi dari para anggota DPR dan Partai yang tidak mempunyai tujuan yang jelas
dan hanya menginginkan kursi dalam parlemen.74
Ini menandakan bahwa para wakil rakyat ini tidak
mampu untuk memegang komitmennya sebagai wakil rakyat, yang harusnya mewakili rakyat.
Kenyataan yang lain, seperti yang diutarakan oleh Schumpeter bahwa adanya hubungan bisnis di
antara pemerintah sehingga pemerintah ini diatur oleh pemilik bisnis, “Our failure teaches us one
thing however. Beyond “direct” democracy lies an infinite wealth of possible forms in which the
“people” may partake in the business of ruling or influence or control those who actually do the
ruling”.75
Jika diartikan secara bebas, bahwa kegagalan demokrasi ini, juga dikarenakan adanya
hubungan bisnis yang terjadi diantara para penguasa yang dikarenakan keinginan kepada kekayaan,
sehingga bisnis tersebut bisa mempengaruhi bahkan mengendalikan orang-orang yang berkuasa
tersebut. Contoh dari kasus ini terjadi di Jepang. Seperti yang dinyatakan oleh Joji Watanuki bahwa
partai LDP yang mempunyai pengaruh besar di parlemen menerima sejumlah uang dari sebuah
70
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,..p. 68
71
Peter Jones, Politik dalam Perspektif Pemikiran, Filsafat, dan Teori, dalam: Persamaan Politik dan
Kekuasaan Mayoritas, ed: David Miller, Larry Siedentop, pent: Fakhruddin R. Lubis dkk, (Jakarta, CV. Rajawali,
1986), p. 255
72
Muslim Mufti Darojatun, Hj. Didah Durrotun Naafisah, M. Ag, Teori-Teori Demokrasi,........, p. 154
73
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,..p. 65
74
R. William Liddle, Demokrasi dan Kekecewaan, dalam Bagian Kedua: Tanggapan, (Jakarta, Democracy
Project, 2011) edisi digital, p. 14
75
Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 247
11
perusahaan. Tujuannya adalah agar partai LDP ini dapat membantu mereka dalam negosiasi di
parlemen agar bisnis perusahaan tersebut bisa lancar.76
Akhirnya, dari beberapa penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam teori
kedaulatan rakyat demokrasi ini mengandung beberapa kekurangan dan kelemahan yang darinya
masih terdapat celah untuk bisa terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Kelemahan yang pertama
adalah bahwa dalam demokrasi, kedaulatan rakyat dipahami sebaga sebuah pedoman yang absolut,
bahwa semua kebijakan ukurannya adalah rakyat atau manusia dengan prinsip mayoritas. Hal ini
menjadikan demokrasi bersifat Anthroposentris yang kemudian juga sekular. Akibatnya adalah
tidak ada pedoman yang pasti pada praktik demokrasi dalam menentukan kebijakan publik. Hal ini
telah diperingatkan oleh Rousseau bahwa peran agama dalam keutuhan negara sangatlah penting,
karena agama akan memperkuat negara. Bahkan ia memuji nabi Muhammad dan beberapa khalifah,
sebab menurutnya dalam sistem pemerintahan mereka sangat bagus karena terdapat perpaduan
kehidupan ruhaniah dan kehidupan duniawiyah yang mampu memperkuat sendi negara.77
Hal ini
juga disadari Benjamin Franklin yang menjadikan agama sebagai alat politik untuk menyatukan
rakyat Amerika, meski ia juga menjadikannya hanya sekedar alat untuk memobilisasi rakyat
Amerika agar patuh pada perintahnya dengan mencetuskan teori public religion, yaitu agama
publik.78
Namun paling tidak ia menyadari bahwa peran agama sangat krusial untuk menyatukan
masyarakat dan sikap loyal kepada pemerintahan.
Yang kedua adalah, demokrasi dalam menentukan wakil rakyatnya, tidak terdapat
kualifikasi yang proporsional sehingga mereka layak untuk menjadi wakil rakyat. Terbukti tidak
adanya kualifikasi moral dan penguasaan ilmu pengetahuan yang mumpuni dalam persyaratan calon
anggota legislatif,79
sehingga terjadi beberapa keputusan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat
dan juga adanya kecenderungan hanya pada orientasi kekuasaan saja dan materi. Plato juga telah
memberikan kritiknya pada masalah ini dengan menyatakan bahwa “if the purpose of the polis is to
make people good, democracy will fall short, because in a democracy the road to political power –
and so the ability to gratify – one‟s own desires – depends on the favor of the mob”,80
artinya bahwa
bila tujuan dari polis (masyarakat) adalah untuk membuat rakyat menjadi baik, maka demokrasi
akan gagal, karena jalan menuju kekuasaan politik dan juga dalam rangka untuk memuaskan dirinya
sendiri bagi para penguasa adalah dengan mengumpulkan dukungan masa sebanyak-banyaknya.
Maka dari itu dalam demokrasi menurutnya orang-orang yang pandai berbicara atau pandai pidato
mengambil kesempatan untuk mengelabuhi masyarakat yang telah dibutakan nafsunya sehingga
tidak mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, dengan mengambil dukungan mereka
agar bisa berkuasa.81
76
Joji Watanuki, The Crisis of Democracy, (United Stated of America, New York University Press, 1975), p.
180
77
“Mahomet held very sane views, and linked his political system well together; and, as long as the form of
his government continued under the caliphs who succeeded him, that government was indeed one, and so far good”,
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 105
78
Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakrta, Perspektif, 2007), cetakan ketiga, p. 58-59
79
Contohnya: di Indonesia, dalam UU No. 8/2012, BAB VII, Bagian Kesatu, Pasal 51 tersurat Balon (Bakal
Calon) calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang
memenuhi 16 persyaratan. Pada syarat no 5, tingkat akademis calon legislatif minimal hanya lulusan tingkat SMA
sederajat. Kemudian di Amerika, untuk menjadi anggota House of Representatives dalam Konstitusi AS Peltason 2004,
25 pasal 1(2) disebutkan syaratnya hanyalah minimal umur 25, kemudian warga tetap salah satu negara bagian di
Amerika.
80
George Klosko, History of Political Theory an Introduction, volume I, .........., p. 91
81
“because people are blinded by their appetites, they are not able to perceive their true interest. And so the
rethor takes advantage of them by appealing to their appetites”, Ibid, p. 90
12
Yang ketiga, berkaitan dengan dua hal di atas, adalah faktor kapitalisme yang sudah sangat
merebak dan bahkan menjadi ciri dari demokrasi, bahwa sistem demokrasi mengadopsi sistem
kapitalisme dalam ekonominya. Hal ini diutarakan oleh Schumpeter yang menyatakan bahwa “tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa kebangkitan demokrasi tidak bisa dilepaskan dari paham kapitalisme,
baik kapitalisme klasik maupun modern.82
Hal ini juga dinyatakan oleh Fabian Biarcardi, bahkan ia
menambahkan bahwa perkembangan demokrasi yang dibarengi dengan kapitalisme ini disebabkan
karena tidak sebanding dengan perkembangan moral dan budaya.83
Sebagai akibatnya, kata
Schumpeter, pembedaan kelas dalam masyarakat tidak lagi hanya berdasar pada status
kebangsawanan atau keagamaan, melainkan juga status ekonomi.84
Dari situ, mulai muncul
golongan-golongan yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Mereka perlahan mulai menguasai
kelas-kelas masyarakat yang ada di bawahnya. Bila demikian, maka kapitalisme akan menjadikan
masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas, maka kalau begitu, kritikan Karl Marx dalam demokrasi
perwakilan tepat karena dengan ini demokrasi perwakilan hanya dijadikan alat untuk
mempertahankan kekuasaan kaum borjuis.
Dengan adanya beberapa pendapat yang menyatakan ini, bisa difahami bahwa pemahaman
kedaulatan rakyat dalam demokrasi Barat ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaki agar
bisa menjadi model pemerintahan yang benar-benar membawa kepada kesejahteraan rakyat yang
sebenarnya. Lalu apakah Islam memiliki sistem perpolitikan? Dan bagaimana sistem perpolitikan
Islam memberikan solusi terhadap maslah ini?
Konsep Politik Islam
Tidak diragukan lagi bahwa politik sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Tanpa adanya politik setiap manusia akan menjadi mangsa manusia yang lain. Kebebasan manusia
akan sangat berbahaya karena tidak terbatas, yang akhirnya akan membahayakan manusia yang
lain. Imam Al Ghozali mengatakan bahwa bila kehidupan manusia kosong dari politik atau
kekuasaan, maka kekacauan akan terjadi. Industri akan macet, kantor-kantor kosong dan manusia
akan kacau hingga perebutan kekuasaan akan terjadi, yang berakibat pada kehancuran.85
Maka dari
itu beliau juga menambahkan bahwa tanpa adanya kekuasaan atau politik, suatu peradaban tidak
akan berkembang, bahkan tidak akan muncul. Dr. Dhiyauddin Rais menggolongkan masalah
mendirikan institusi pemerintahan merupakan fardhu kifayah.86
Maksudnya adalah, berdirinya
institusi pemerintahan merupakan sebuah kewajiban, namun kewajiban tersebut hanya dibutuhkan
kepada sebagian orang saja dan tidak membebani umat secara keseluruhan. Namun bila tidak ada
yang mengerjakan, maka seluruh umat atau masyarakat mendapatkan dosa. Artinya, urgensi adanya
pemerintahan atau politik adalah untuk mencegah adanya kekacauan dalam kehidupan manusia, dan
mengatur kehidupan tersebut agar menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.
Tujuan untuk mengatur kehidupan manusia ini sejalan dengan ajaran Islam, sehingga dalam
Islam terdapat konsep mengenai politik. Dalam ajaran Islam, terdapat konsep yang lengkap dan
sempurna. Kesempurnaan ajaran Islam meliputi segala macam segi kehidupan, dan termasuk di
dalamnya adalah perihal mengenai politik. Dalam bukunya yang berjudul Fiqhu ad Daulah fi al
Islam, Dr. Yusuf Qordhowi menyebutkan bahwa Islam mempunyai hubungan erat dengan politik.
82
Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 126
83
Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System,........, p. 6, 53
84
Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 125
85
Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518), p. 197
86
Dr. M. Dhiauddin Rais, an Nazhariyyatu as Siyasatul-Islamiyyah, (Kairo, Maktabatu Dar- Turats), cetakan
ketujuh, p. 129
13
Jika Islam tidak memiliki konsep perpolitkan, maka Islam sama saja dengan agama yang lain,
seperti Budha atau Kristen, atau agama yang lain.87
Hal ini dikarenakan Islam bukan hanya sekedar
agama, namun merupakan sekumpulan ajaran yang berisi aturan-aturan umum tentang kehidupan,
serta karena umat muslim merupakan masyarakat politis dengan adanya seruan untuk menyeru
kepada „amar ma‟ruf nahi munkar.88
Dr. Dhiyauddin Rais juga menyebutkan bukti keterkaitan antar
Islam dengan politik, dengan menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang dibangun Rasulullah di
Madinah merupakan bukti nyata kesuksesan perpolitikan Islam.89
Karena kesempurnaan ajaran
Islam ini, maka Islam juga mempunyai konsep mengenai perpolitikan.
Kata politik dalam bahasa Arab sering dinyatakan dengan kata siyasah ( ),90
seperti
yang disebutkan oleh Dr Muhammad Kurdi dalam pernyataannya mengenai pentingnya politik atau
siyasah bagi manusia: .91
Dalam kamus Munjid,
kata siyasah berasal dari kata saasa ( ), yang berarti sebuah istilah mengenai seni dalam
hukum, yang berkaitan dengan manajemen atau pengaturan negara.92
Sedangkan kata saasa sendiri
berarti memerintah, to govern.93
Dalam kamus Lisanul „Arab berarti memerintah atas sesuatu yang
membawa kepada kebaikan.94
Sehingga bisa diartikan bahwa siyasah merupakan seni atau ilmu
yang menjelaskan bagaimana pengaturan sebuah pemerintahan negara yang bertujuan membawanya
kepada yang baik.
Definisi politik dalam Islam sebenarnya tidak jauh berbeda diantara para ulama. Imam al
Ghazali menyatakan bahwa politik atau as Siyaasah adalah sebuah pembicaraan mengenai
kemaslahatan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan kekuasaan, yang bersumber dari al Qur‟an
dan sunnah para nabi-nabi dan rasul.95
Tujuan dari politik ini adalah membimbing manusia kepada
jalan yang lurus dan membuatnya selamat di dunia dan akhirat.96
Al Farabi pun hampir sama
dengan mengatakan bahwa politik merupakan sebuah bentuk masyarakat yang berusaha menuju
kebahagiaan yang ia formulasikan dalam bentuk teori al Madinah al Fadhillah.97
Dalam teorinya
ini al Farabi bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang
dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan.98
Dari dua pendapat tersebut,
bisa disimpulkan bahwa politik dalam Islam adalah sebuah bentuk pemerintahan yang bertujuan
87
Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam, Makanatuha, Ma‟alimuha, Thobi‟atuha, Mauqi‟uha
min ad Dimuqrathiyyah wa at Ta‟addudiyyah, wa al Mar‟ah wa Ghoiri al Muslimiin, (Kairo, Dar Syuruq, 1997),
cetakan pertama, p. 89
88
Ibid, p.90-91
89
Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, diterjemakan dari buku “an Nazhariyyat as Siyasiyyah al
Islamiyyah” pent. Abdul Hayyie al Kattani dkk. (Jakarta, Gema Insano Press, 2001) p. 7
90
Istilah lain yang juga dipakai diantaranya, daulah, shultooniyyah, khilafah dan lain sebagainya.
91
Dr. Muhammd Kurdi Ali, Aqwaluna wa Af‟aluna, (Kairo, 1946), p. 244
92
Munjid fi al Lughoh, (Beirut, Dar al Masyriq, 1977) cetakan ke dua puluh tujuh, bab siin dalam siin wawu
siin . p. 362
93
Dr. Rohi Baalbaki, Kamus al Mawrid, Qamus „Arabi-English, (Beirut-Libanon, Dar al „Ilmi Lil Malayin,
1990), cetakan ketujuh, p. 617
94
Teks aslinya , Muhammad Ibnu Mukrim Ibnu Mandzur al Afriqy al Mishry, Lisanul
„Arab, juz 6, bab siin wawu siin, (Beirut, Daru Shodir), p. 107
95
Abu Hamid al Ghazali, al Munqidz min adh Dholaal, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo, Percetakan
Hasan), p. 124
96
Ibid
97
Abu Nashr al Farabi, Kitab as Siyaasah al Madaniyyah: al Mulaqqob bi Mabadi‟ al Maujuudaat, tahqiq Dr.
Fauzi Matri Najar, (Beirut, Dar Syarq, 1993), cetakan kedua, p. 72-73
98
Al-Farabi, as-Siyasah al-Madaniyah, ta‟liq Dr. Ali Bumajim, (Beirut-Libanon, Dar wa Maktabah al-Hilal,
1995), p. 86
14
untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat dengan berlandaskan al Qur‟an
dan sunnah para nabi terdahulu.
Kedaulatan Rakyat dalam Islam
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa antara Islam dan politik mempunyai
keterkaitan yang sangat erat. Imam Ghozali dalam bukunya al Iqtishaad fi al I‟tiqaad menyebutkan
bahwa agama dan kekuasaan (politik) merupakan saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan
kekuasaan adalah penjaganya, maka setiap pondasi yang tidak mempunyai penjaga akan hilang,
begitu juga segala hal yang tidak mempunyai penjaga maka akan mengalami kehancuran.99
Senada
dengan Imam Ghozali, Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa menyelenggarakan perpolitikan
merupakan kewajiban yang utama dalam agama, bahkan beliau menambahkan bahwa tegaknya
agama tergantung tegaknya perpolitikan.100
Ibnu Kholdun dalam Muqoddimah-nya juga
menyatakan, bahwa politik (khilafah) sangat penting bagi manusia dan seluruh makhluk hidup
sebagai tempat perlindungan dari adanya perselisihan, serta membawa seluruh makhluk hidup
menuju kebahagiaan di akhirat, dengan menjadikan syari‟at sebagai panduan dalam beribadah dan
bermuamalah.101
Sehingga, bisa dikatakan bahwa dalam Islam tidak mengenal adanya pemisahan
antara urusan perpolitikan dan urusan agama, bahkan keduanya saling terkait dan saling menjaga.
Inilah yang menjadi ciri pertama dalam perpolitikan Islam, yang menjadikan ajaran agama sebagai
pondasi berdirinya pemerintahan dalam Islam.
Dari penjelasan di atas, satu hal yang pasti dalam pemerintahan Islam bahwa pondasi dari
bangunan perpolitikannya adalah agama. Dalam hal ini, Allah SWT sebagai Sang Pemegang
kedaulatan tertinggi. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa, dengan menjadikan Allah sebagai Penguasa
Tertinggi, maka kesatuan misi akan terwujud. Sikap tunduk kepada Sang Penguasa Tunggal pun
akan menjadikan manusia terbebas dari sikap tunduk kepada sesuatu yang lain,102
yang belum tentu
berkuasa atas manusia. Ismail Raji al Faruqi pun menambahkan, dengan kesatuan aqidah ini juga
akan membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan dari sesama manusia dan
bersatu dalam mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, sehingga segala macam bentuk
perbuatan dan keputusan yang terselenggara dalam masyarakat merupakan cerminan sikap tunduk
dan ta‟at kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.103
Hal ini juga disampaikan oleh Abul A‟la al
Maududi dengan mengatakan bahwa jika kepercayaan kepada Allah SWT hilang, maka tuhan-tuhan
palsu akan mengambil tempat-Nya dalam pemikiran dan kelakuan rakyat.104
Dengan kata lain,
dalam sistem perpolitikan Islam, kekuasaan tertinggi dan kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT,
sehingga segala macam hukum syari‟at yang datang dari-Nya harus dijadikan landasan dalam
perpolitikan. Selain itu, aspek penghambaan diri kepada Allah menyeru kepada rakyat untuk bersatu
dan menjauhi perpecahan.
99
Abu Hamid al Ghozali, al Iqtishaad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518), p. 197
100
Teks aslinya: , lih: Taqiyuddin Abu al „Abbas Ahmad
Ibn Taimiyyah, as Siyaasah as Syar‟iyyah Fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar Raa‟iyyah, tahqiq: Lajnatu Ihnya‟ at Turats al
„Arabi fi Dar al Afaq al Jadidah, (Beirut, Dar al Afaq al Jadidah, 1983) cetakan pertama, p. 138
101
Abdurrahman Ibn Kholdun, Miqoddimatu Ibn Kholdun, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al „Ilmiyyah, 2003),
cetakan kedelapan, p. 150
102
Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan dari al „Adaalh al Ijtimaa‟iyyah fil Islam, pent.
Afif Mohammad, (Bandung, Pustaka, 1984), p. 49-50
103
Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988), p. 147
104
S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari Pholitical Theory of Islam, pent:
Salahuddin Abdullah Abbad, (Bandung, P.T al Ma‟arif) p. 8-15
15
Namun bukan berarti bahwa politik Islam adalah berbentuk theokrasi seperti yang terjadi di
Barat. Dalam bentuk ini, kedaulatan Tuhan dianggap diwakilkan kepada para pejabat gereja,
sehingga segala keputusan gereja adalah keputusan Tuhan, dan rakyat wajib untuk menta‟atinya
tanpa ada kompromi. Dengan begini kedaulatan yang dipegang Paus atau pejabat gereja adalah
absolut karena dianggap berasal dari Tuhan.105
Dr Yusuf Qardhawi menyatakan penolakannya bila
politik Islam dianggap semisal dengan bentuk theokrasi ala Barat. Beliau menyatakan bahwa sistem
pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan Madani atau sistem pemerintahan yang
berperadaban dengan menjadikan hukum Islam sebagai landasannya. Dijalankan atas dasar
perjanjian (bai‟ah) dan musyawarah (syura), dan para pemimpinnya dipilih dari yang paling kuat
dan dapat dipercaya, serta berilmu. Dalam Islam tidak dikenal adanya kekuasaan para pemuka
agama, karena dalam agama Islam, setiap orang merupakan orang yang bertanggung jawab atas
agamanya.106
S. Abul A‟la al Maududi juga menyatakan bahwa kekhalifahan Tuhan bukanlah hak asasi
istimewa individu, klan, atau kelompok orang manapun, namun hak kolektif bagi semua yang
mengakui kedaulatan Allah SWT.107
Kedudukan rakyat dalam perpolitikan Islam adalah hanya
menikmati hak Kekhalifahan Tuhan Yang Esa. Pada taraf inilah al Maududi menyatakan adanya sisi
kedaulatan rakyat dalam Islam. Ia membedakan antara demokrasi sebagai sebuah filsafat dengan
demokrasi sebagai sebuah organisasi.108
Perbedaannya dengan demokrasi ala Barat adalah bahwa
dalam Islam, kekhalifahan manusia ini ditetapkan untuk dibatasi oleh batasan-batasan yang telah
digariskan oleh Hukum Ilahi.109
Dengan kata lain, kedaulatan manusia hanyalah sekadar Ijtihadi.
Kedaulatan Allah SWT dalam politik sangat absolut dan tidak bisa diganggu gugat. Namun
kedaulatan Allah ini terdapat pada masalah „aqidah, seperti ke-Esaan Allah, kemudian Rububiyyah
Allah, dengan artian bahwa manusia sebagai masyarakat politis tidak boleh membuat hukum di luar
ketentuan-keteentuan yang telah Allah gariskan dalam al Qur‟an dan yang telah dijelaskan
Rasulullah SAW dalam haditsnya.110
Yusuf Qardhawi mengutip penjelasan Imam al Ghazali bahwa
dalam bukunya yang berjudul al Musthofa fi „Ilmi Ushul beliau menyatakan, mengenai masalah
kedaulatan atau yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT, laa hukmu illa lillah,111
dan
tidak ada yang berhak membuat hukum meskipun Rasul ataupun tuan atau siapapun dari makhluk-
Nya berhak menggantikan kedaulatan Allah.112
Namun untuk masalah detil tentang pemerintahan
dan juga bentuk pemerintahan Islam, Dr Dhiyauddin Rais menjelaskan bahwa Islam memberikan
wewenang kepada umat untuk mengkaji dan berfikir sebagai wujud hak berijtihad dalam masalah-
masalah keduniaan.113
Beliau juga menyatakan bahwa Islam tidak mewariskan sebuah bentuk
pemerintahan yang siap pakai seperti halnya dalam bidang „aqidah yang sudah paten dan tidak
boleh dirubah, inilah salah satu keistimewaan Islam dari agama-agama lain.114
Mengenai yang berhak membuat hukum adalah Allah, semua cendekiawan muslim tidak ada
yang membantahnya. Sebagai seorang muslim hukumnya wajib dalam mentaati hukum yang
berasal dari Allah dan sunnah Rasul-Nya. Namun bukan berarti Islam tidak memberikan wewenang
105
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000),p. 123
106
Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 30
107
Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, diterjemahkan dari The Islamic Law and
Constitution, pent: Drs. Asep Hikmat, (Bandung, Mizan, 1998), cetakan keenam, p. 243
108
S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......, p. 25
109
Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 243
110
Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 64
111
Q. S. Yusuf: 40
112
Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 61-62
113
Dr. M. Dhiauddin Rais, an Nazhariyyatu as Siyasatul-Islamiyyah, (Kairo, Maktabatu Dar- Turats), cetakan
ketujuh, p. 32
114
Ibid, p. 33
16
kepada umat untuk melakukan legislasi hukum sendiri. Al Maududi menjelaskan bahwa dalam hal
mentaati hukum Allah adalah wajib. Namun ada beberapa hal yang itu bisa menjadi wilayah
manusia untuk melakukan legislasi hukum. Di wilayah inilah Islam memberikan hak kedaulatan
kepada manusia atau rakyat. Wilayah tersebut meliputi mencari hakikat dan isi hukum syari‟at,
menjelaskan syarat-syarat dalam mempraktekkan hukum tersebut.115
Kemudian memahami prinsip-
prinsip dasar dalam hukum tersebut, pada masalah ini al Maududi menyadari bahwa dengan
memahami prinsip-prinsip tersebut syari‟at bisa disesuaikan dengan perubahan zaman tanpa harus
meninggalkan esensi dasar hukum tersebut.116
Artinya, manusia dalam beberapa hal, mendapatkan
wewenang untuk membuat hukum sendiri asal tidak keluar dari garis-garis besar dalam syari‟at.
Kedaulatan Rakyat Perwakilan dalam Islam
Seperti yang disebutkan oleh al Farabi mengenai konsepnya tentang al madinah al fadhilah,
bahwa konsep kepemimpinan merupakan hal yang pertama untuk diketahui. Ibnu Taimiyyah dalam
bukunya as Siyaasah asy Syar‟iyyah menyatakan bahwa kepemimpinan adalah wajib dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau menjelaskan bahwa dengan sebuah kepemimpinan
(imarah), pendekatan diri kepada Allah dengan menta‟ati-Nya dan juga menta‟ati Rasul-Nya
merupakan bentuk pendekatan diri yang paling utama.117
Imam al Ghazali juga menambahkan
bahwa keteraturan agama dalam hal ini syari‟at, tidak akan tercapai kecuali dengan adanya
pemimpin yang layak untuk dita‟ati. Maka dari itu, pengangkatan seseorang menjadi wajib untuk
kepentingan agama.118
Maka tugas penguasa pun tidak lepas dari penegakkan agama. Seperti yang
dinyatakan al Mawardi bahwa imamah adalah sebuah permasalahan mengenai pengganti Rasul
dalam mengawal agama dan mengatur dunia.119
Kemudian, siapakah yang layak menjadi pemimpin?. Imam al Ghazali menjelaskan bahwa
seorang pemimpin adalah yang mempunyai kelebihan di antara yang lainnya. Kelebihan tersebut
merupakan kelebihan pribadinya, seperti memiliki kemapuan dalam mengatur masyarakat dan
lainnya, kemudian juga kemampuan membawa mereka kepada hal yang benar. Dan itu semua
dibarengi dengan kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan rakyatnya, berilmu dan juga
berakhlak mulia.120
Dr. Dhiyauddin Rais juga menjelaskan mengenai syarat-syarat kepemimpinan.
Pertama, berilmu, yaitu kemampuan untuk melakukan ijtihad. Kemampuan ini diperlukan untuk
mengetahui mengenai hukum-hukum Islam, khususnya tentang halal dan haram. Kedua, ialah
megetahui ilmu politik dan administrasinya serta ilmu perang. Dalam hal ini al Mawardi
menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mengetahui politik kepemimpinan dan mampu
mengurusi kemaslahatan negara.121
Ketiga, kondisi jiwa yang baik, seperti keberanian, kecekatan,
kemudian kesehatan jasmani yang baik. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kesehatan jasmani yang
baik mempengaruhi kesempurnaan tugas seorang pemimpin.122
115
Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 95
116
Ibid, p. 95-96
117
Ahmad Ibn „Abdil Halim Ibn Taimiyyah al Hirani, as Siyaasah asy Syar‟iyyah fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar
Raa‟iyyah, (Beirut, Darul Ma‟rifah), p. 217
118
Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad,......., p. 197
119
Teks aslinya adalah: , Abi al Hasan ibn Muhammad ibn Habib al
Bishri al baghdadi al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah wa al Wilayat ad Diiniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Kutub
al „Ilmiyyah, 450 H), p. 5
120
Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad,......., p. 199
121
Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 5
122
Abdurrahman Ibn Kholdun, Miqoddimatu Ibn Kholdun,......., p. 161
17
Kemudian yang keempat, berlaku adil dan berakhlaq mulia. Al Mawardi menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan berakhlaq mulia adalah perkataannya dapat dipercaya, kemudian menjauhi
perbuatan dosa, menghindari perbuatan yang memunculkan keraguan, selalu mencari keridhaan
Allah SWT dan dapat dijadikan contoh dalam beragama dan kehidupan dunia yang baik.123
Kelima,
memiliki kualifikasi pemimpin yang penuh. Yang dimaksud dengan kualifikiasi tersebut adalah
beragama Islam, seorang laki-laki dan berakal.124
Al Maududi juga sependapat dengan syarat
kelima tersebut dengan menambahkan bahwa seorang pemimpin harus merupakan warga dari
negara Islam.125
Sehingga bisa disimpulkan bahwa syarat-syarat seorang pemimpin dalam Islam
tidak hanya memenuhi syarat keilmuan saja, melainkan juga kualitas akhlaq dan keimanan, karena
tugas seorang pemimpin juga termasuk di dalamnya menegakkan syari‟at Allah SWT.
Selain adanya seorang pemimpin, dalam teori politik Islam dikenal adanya ahlu halli wa al
„aqdi. Para sejarawan muslim kebanyakan menyandarkan pengertian mereka mengenai ahlu halli
wa al „aqdi ini dengan peristiwa pertemuan Tsaqifah. Yaitu pertemuan kaum Anshar setelah
wafatnya Rasulullah SAW, yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar as Shiddiq r.a sebagai
khalifah.126
Prof. H. A. Djazuli menjelaskan bahwa pertemuan ini mengindikasikan bahwa dalam
teori politik Islam mengenal yang namanya sistem perwakilan.127
Dalam tafsir al Manar, Rasyid
Ridha mengatakan bahwa dalam kalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan
kecerdasan di dalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu menyelesaikan
masalah-masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah-masalah kemasyarakatan dan politik.
Itulah yang disebut dengan ahlu syuro atau ahl al hall wa al „aqdi di dalam Islam.128
Dr.
Dhiyauddin Rais mengatakan bahwa ahl al hall wa al „aqdi adalah istilah yang dirumuskan oleh
ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan
hati nurani mereka.129
Dalam istilah al Mawardi adalah ahl al ikhtiyaar atau orang-orang yang
memiliki kulifikasi untuk memilih.130
Al Maududi mendefinisikan ahl hall wa al „aqdi ini sebagai lembaga legislatif. Beliau
menjelaskan bahwa dalam al Qur‟an S. Al Ahzab: 36, dikatakan jika Allah dan Rasul-Nya telah
memberikan peraturan dalam suatu masalah, tak seorang muslim pun yang berhak untuk
memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri. kemudian bahwa sudah jelas tidak ada yang
boleh membuat hukum selain hukum Allah, maka dengan demikian tugas dari lembaga legislatif ini
adalah membuat hukum-hukum yang sesuai dengan hukum Allah SWT.131
Yang termasuk dalam
ahl al hall wa al „aqdi ini, seperti yang dikutip oleh Dr. J. Suyuthi Pulungan, M. A dari Rasyid
Ridha dalam tafsir al Manaar, mereka adalah para pemuka masyarakat, fuqaha‟, para ulama, para
pemimipin militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik, para pemimpin perusahaan,
para pemimpin partai politik, dan juga para tokoh wartawan.132
Namun tidak semua orang-orang tersebut mampu untuk menjadi bagian dari ahl al hall wa
al „aqdi. Ada beberapa syarat untuk bisa menjadi bagian dari lembaga ini. Al Mawardi menyatakan
123
Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah, ...., p. 62
124
Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 232-237
125
Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 267
126
Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 10-14
127
Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu
Syari‟ah, (Jakarta, Prenada Media, 2003), edisi revisi, cetakan pertama, p. 116
128
Rasyid Ridha, Tafsir al Manaar, juz 3, (Mesir-al Azhar, Maktabah al Qaahirah, 1960), cetakan keempat, p.
11
129
Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 176
130
Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 6
131
Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ..........., p. 247
132
Dr. J. Suyuthi Pulungan , M. A, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), cetakan keempat, p. 69
18
ada 3 syarat yang harus dipenuhi seseorang yang akan menjadi ahl hall wa al „aqdi. Pertama,
berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan, kedua, berpengetahuan ilmu, khususunya mengetahui
kriteria pemimpin yang berhak untuk dipilih, ketiga, memiliki wawasan dan kearifan, yang juga
dengannya mampu untuk menentukan siapa yang paling berhak untuk menjadi pemimpin.133
Dari
beberapa penjelasan di atas maka sekaligus bisa disimpulkan beberapa fungsi dari ahl hall wa al
„aqdi adalah, pertama, mereka yang berhak untuk menentukan dan mem-bai‟at pemimpin. Yang
kedua, sebagai lembaga legislatif, mereka mempunyai wewenang membuat undang-undang yang
mengikat kepada seluruh ummat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh al Qur‟an dan
Hadits sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat syari‟ah. Ketiga adalah tempat
konsultasi pemimpin di dalam menentukan kebijaksanaannya.134
Sehingga di sini jelas, bahwa
kedudukan ahl hall wa al „aqdi sangat penting sekali dalam pemerintahan Islam. Selain sebagai
wakil rakyat dalam membuat undang-undang, mereka juga memiliki tugas untuk menentukan siapa
yang berhak untuk dijadikan pemimpin.
Mekanisme Pemerintahan Islam
Mengenai pengangkatan pemimpin, terdapat beberapa pendapat. Al Baqillani menyatakan
bahwa pemimpin dipilih melalui pemilihan, lebih khusus lagi beliau menjelaskan pemilihan tersbut
dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi.135
Prof. H. A. Djazuli menambahkan bahwa pengangkatan
pemimpin juga bisa dilaksanakan dengan cara penunjukan atau penyerahan kekuasaan dari
pemimpin sebelumnya.136
Pendapat ini juga dinyatakan oleh al Mawardi bahwa pengangkatan
seorang imam bisa melalui salah satu dari kedua cara tersebut.137
Namun al Maududi menyatakan
bahwa pengangkatan kepala negara melalui pemilihan umum dari kaum muslimin yang harus
dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah al Qur‟an.138
Mekanisme pemilihan umum ini juga
disepakati Dr. Yusuf Qardhawi, dengan memisalkan pemilihan umum dengan kesaksian rakyat
terhadap pemimpin.139
Bila dikumpulkan beberapa pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa
dalam Islam pengangkatan pemimpin tidak memiliki sistem yang baku, namun meski demikian,
kualifikasi pemimpin harus sesuai dengan apa yang telah disebutkan di atas dan telah melalui
persetujuan ahl hall wa al „aqdi. Dan setelah terpilih, kemudian dilakukan bai‟at atau sumpah yang
pertama-tama dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi, baru setelah itu masyarakat secara
keseluruhan.140
Dalam tugasnya, termasuk pemimpin dan ahl hall wa al „aqdi, mereka melakukan
mekanisme syuro atau musyawarah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem politik Islam
dibangun di atas mekanisme bai‟ah dan syuro. Dr. Taufiq Asy Syawi menjelaskan bahwa secara
umum syuro mencakup segala macam musyawarah dan tukar pendapat. Dalam mekanisme tukar
pendapat ini terjadi adanya dialog dengan setiap orang yang mukallaf dan termasuk di dalam syuro
mendapatkan kebebasan dalam berpendapat dan juga membantah pendapat orang lain. Setiap orang
133
Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 6
134
Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu
Syari‟ah,......, p. 118
135
Dikutip dari: Dr. J. Suyuthi Pulungan, M. A, Fiqih Siyasah, ......, p. 242
136
Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu
Syari‟ah,......, p. 105
137
Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 7
138
Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ..........., p. 247
139
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Daulah fi al Islam,......., p. 138
140
Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu
Syari‟ah,......, p. 105. Pendapat lain menyatakan bahwa bai‟at hanya cukup dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi, seperti
yang diutarakan al Mawardi. Lih: al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 7-8
19
ini termasuk dalam jama‟ah yang merupakan pertanggung jawaban yang diambil dari solidaritas
seluruh individu dalam masyarakat. Sehingga setiap ketetapan yang ditentukan dalam jama‟ah harus
merupakan bukti dari kehendak jumhurul jama‟ah atau segenap individunya. Dalam mekanisme ini,
prinsip mayoritas tidak menjadi prinsip yang mutlak, tapi yang menjadi pedoman adalah syari‟at
Allah yang dianggap sebagai syari‟at fitrah manusia.141
Pentingnya Musyawarah dalam sebuah
negara adalah sebagai media yang sehat untuk menghasilkan pendapat dan pemecahan masalah
yang paling baik, guna merealisasikan maslahat-masalahat individu, jama‟ah dan negara.142
Musyawarah ini telah dicontohkan Rasulullah dalam pemerintahannya. Dalam bukunya
mengenai politik syar‟i, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang paling banyak melakukan
musyawarah adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut, beliau mengutip sebuah riwayat
bahwa Allah SWT telah menyuruh Rasul-Nya untuk melakukan musyawarah dengan para
sahabatnya untuk menyatukan hati mereka dan sebagai contoh bagi generasi selanjutnya. Tujuan
musyawarah adalah agar mereka saling bertukar pikiran mengenai hal-hal yang belum secara jelas
terdapat dalam wahyu. Dan dari berbagai macam pendapat tersebut yang paling mendekati hukum
yang terdapat dalam al Qur‟an dan Hadits, maka pendapat itulah yang dijadikan ketetapan untuk
menjadi sebuah hukum atau undang-undang.143
Ibnu Kholdun menjelaskan dalam Muqoddimah-nya
bahwa diantara para sahabat banyak terdapat perselisihan pendapat mengenai masalah agama yang
memang perlu dilakukan ijtihad, seperti masalah kepemimpinan Mua‟wiyah dan Ali. Seperti halnya
juga mengenai pengganti Utsman r.a sebagai kholifah, hingga para sahabat melakukan musyawarah
(syuro) dan ditetapkannya Ali r.a sebagai pengganti Utsman.144
Dari penjelasan ini, maka jelas
bahwa pemerintahan dalam Islam tidak boleh terlepas dari mekanisme syuro atau musyawarah di
antara pemuka atau wakil masyarakat yang dalam hal ini disebut ahl hall wa al „aqdi atau seperti
yang dipermisalkan al Maududi sebagai lembaga legislatif.
Nilai – Nilai Utama dalam Politik Islam
Mekanisme pemerintahan dalam Islam, seperti yang telah dijelaskna di awal bahwa
semuanya berlandaskan pada keilmuan dan kemampuan setiap komponen dalam merealisasikan
kedaulatan Allah sehingga tercapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Maka, al
Farabi menegaskan bahwa barang siapa yang tidak mempunyai kemampuan dalam merealisasikan
kesejahteraan ini, tidak layak untuk menjadi bagian dari sistem pemerintahan Islam, apalagi sebagai
pemimpin dalam pemerintahan.145
Menurutnya, bagi yang tidak mempunyai kemampuan tersebut ia
harus mencari seorang guru atau mursyid yang mengajarinya kemampuan tersebut, karena apabila
ia tidak memiliki kemampuan tersebut, selamanya ia hanya akan jadi seorang rakyat jelata yang
tidak berpengetahuan. Jika kondisinya seperti ini, maka dalam teorinya, masyarakat tersebut sudah
berada dalam kondisi al madiinah al jaahilah atau sebuah komunitas bodoh di mana semua
penduduknya tidak mengetahui hakikat kebahagiaan, sehingga yang terjadi adalah kesengsaraan
141
Dr. Taufiq as Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cetakan pertama, p. 15-
17
142
Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam, judl asli an Nizahmu as Siyasi fi al
Islam, pent: Hery Noer Aly dan Agus Hilmi, (Yogyakarta, Bidang Penerbit PLP2M, 1987), p. 98
143
Ahmad Ibn „Abdil Halim Ibn Taimiyyah al Hirani, as Siyaasah asy Syar‟iyyah fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar
Raa‟iyyah,..........., p. 213
144
Abdurrahman Ibnu Kholdun, Muqoddimatu Ibni Kholdun, ......., p. 287
145
Teks aslinya:
, Abu Nashr al Faarabi, Kitabu as Siyaasah al Madaniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Masyriq,
1993), cetakan kedua, p. 78
20
dan kehancuran.146
Hal ini seperti yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari, bahwa Rasulullah
memeperingatkan kehancuran suatu kaum adalah karena hilangnya amanat, dan hilangnya amanat
adalah karena menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya:
Dalam pemahaman teori politik Islam telah disebutkan pula bahwa tidak ada pemisahan
antara agama dan negara. Kemudian, selain karena manusia adalah makhluk sosial, mereka juga
hidup untuk menuju sebuah kebahagiaan. Maka dari itu, manusia membutuhkan pertolongan dari
sesama manusia yang lain.148
Dalam hal ini Allah telah menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya
penciptaan.149
Kemudian Allah telah memberikan manusia akal untuk membedakannya dengan
makhluk lain dan juga untuk membedakannya antara yang baik dan yang buruk, karena dalam
kehidupannya manusia harus mencerminkan semua sifat Allah seperti adil, jujur, menjauhkan diri
dari hal yang buruk secara syar‟i.150
Dan Allah telah menunjukan jalan yang baik dan benar untuk
merealisasikan kehidupan baik bagi manusia. Manusia bebas untuk memlih jalan tersebut atau
berpaling yang tentu ada akibatnya. Dan yang bisa menentukan hal tersebut adalah akhlaq atau
moral.151
Maka dari itu, politik Islam adalah sebuah konsep politik yang sangat mengutamakan
akhlaq dalam pemerintahannya.
Nilai-nilai moral inilah yang dijadikan pedoman dalam sistem perpolitikan Islam. Dalam
risalahnya pun Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa misinya adalah untuk menyempurnakan
akhlak manusia, “innama bu‟itstu liutammima makarima al akhlaq”. Maka nilai moral inilah yang
menjadi pedoman untuk menjadikan politik sebagai maslahat bagi rakyat, dan mewujudkan rasa
gotong royong karena adanya persatuan, sehingga Dr. Dhiyauddin Rais menyatakan bahwa etika
atau moral berpolitik ini disebut sebagai intinya berpolitik,152
yang menjadi pembimbing atau guide
bagi para pelaksana pemerintahan dalam berpolitik. Dan nilai-nilai etika atau moral ini sudah
dijelaskan dalam al Qur‟an maupun Hadits.
Kalimat politik atau siyaasah dalam al Qur‟an memang tidak disebutkan, namun bukan
berarti dalam al Qur‟an tidak menyinggung masalah-masalah yang berkaitan dengan politik.
sebagaimana Kalimat „aqidah dalam al Qur‟an pun tidak ada, namun bukan berarti ajaran mengenai
„aqidah juga tidak ada. Dalam al Qur‟an telah disebutkan nilai-nilai yang seharusnya terdapat dalam
sistem perpolitikan. Dalam al Qur‟an surat an Nisa‟ ayat 58-59 Allah SWT berfirman:
146
Ibid
147
Abu Abdillah Muhammad Ibnu Isma‟il Ibnu Ibrahim Ibnu al Mughiroh al Ja‟fi al Bukhori, Shahih al
Bukhori, bab fadhlul‟ilmi, juz 1, hadits no 59, muhaqqiq: Muhammad Zuhair an Nashir Nashir, (Dar an Nuthqi an
Najaah, 1422), p. 63
148
Muchtar Lintang, Kuliah Islam Tenang Etika dan Keadilan Sosial, seri 1, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), p.
8
149
Q. S. At Tiin: 4
150
Ahmad Muslim, Esensi al Qur‟an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, (Bandung, Mizan, 1984), cetakan
pertama, p. 39
151
Ibid, p. 40
152
Dr. Dhiyauddin Rais, an Nazhariyyat as Siyaasiyyah al Islaamiyyah,........, p. 308
21
Mengenai kedua ayat di atas, dalam tafsir al Wasith li az Zuhaili dijelaskan bahwa untuk
menjaga hak-hak manusia dan menjaga kebebasan dalam kehidupannya serta menjaga kehormatan
jiwa setiap manusia, Islam telah mengatur aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap manusia.
Aturan-aturan tersebut adalah menjalankan amanat, menegakkan keadilan, mentaati Allah SWT dan
mematuhi Rasul-Nya SAW dan juga mematuhi pemimpin-pemimpin dalam urusan agama dan
politik.153
Setiap individu dari umat muslim diharuskan untuk melaksanakan dan menunaikan
amanat yang telah dberikan kepadanya. Amanat ini bisa berbentuk kewajiban kepada Allah SWT
atau kewajiban kepada sesama manusia. Perbuatan ataupun perkataan, dan juga bisa berbentuk
ilmu, harta dan lain sebagainya yang termasuk dalam amanat yang harus ditunaikan dan
dilaksanakan.
Dan dalam menegakkan hukum haruslah dibangun atas dasar kebenaran dan keadilan,
karena sesungguhnya Allah SWT menegakkan hukum dan kerajaan-Nya juga atas dasar kedua hal
tersebut, dan juga karena apabila hukum tidak dibangun atas dasar kebenaran dan keadilan dan
dilaksanakan oleh tangan orang yang tidak tepat dan zholim, maka akan mendatangkan
kesengsaraan bagi rakyat.154
Mengenai ayat yang pertama, at Thabari menjelaskan bahwa ayat
tersebut ditujukan kepada siapa pun yang mengemban tugas sebagai pemimpin umat untuk selalu
menunaikan amanat dengan sebaik-baiknya dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya
hingga ia tidak mengkhianati amanat yang telah diberikan rakyatnya kepadanya. Kemudian juga
jangan sampai para pemimpin tersebut mengambil sesuatu yang bukan miliknya, kecuali yang
sudah diizinkan untuk mengambilnya.155
Kesimpulannya dari ayat ini adalah bahwa Islam telah
merumuskan aturan-aturan dalam mengatur pemerintahan kehidupan manusia di dunia ini dengan
tujuan menjaga hak dan kehidupan mereka dari kesengsaraan dan kehancuran. Yaitu dengan
membangun pemerintahan di atas dasar amanah, keadilan, ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-
Nya dan juga kepada Ulil Amri atau kepala pemerintahan rakyat, serta menjadikan hukum Allah
dan sunnah Rasul-Nya sebagai pedoman dalam menyelesaikan perselisihan antara manusia. Tiga
nilai pertama inilah yang harus diperhatikan dalam pemerintahan Islam.
Nilai yang keempat adalah adanya persamaan di depan hukum. Al Maududi telah
menjelaskan dalam hal kedaulatan Allah, bahwa manusia semuanya memiliki hak kekhilafahan
dalam dirinya untuk melaksanakan syari‟at Allah dalam kehidupan. Maka tidak ada keistimweaan
dalam diri seseorang individu meskipun ia adalah seorang raja atau pemimpin, karena pada
hakikatnya Allah telah menyatakan dalam firmannya bahwa semua manusia adalah sama
derajatnya, dan menjadikan ia istimewa adalah taqwanya kepada Allah.156
Masalah ini juga pernah
ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadits yang Bukhori dari „Aisyah r.a: “.......telah binasa orang-
orang sebelum kalian karena apabila ada orang terhormat mencuri mereka membiarkannya, dan
153
Dr. Wahbah Ibn Mushtofa az Zuhaili, at Tafsir al Wasiith li az Zuhaili, juz 1, (Damaskus, Darul Fikr, 1422),
cetakan pertama, p. 334
154
Dr. Sayyid Tanthowi, at Tafsir al Wasiith li al Qur‟an al Kariim, Surat an Nisa‟, juz 3, (Kairo, Dar al
Ma‟arif, 1119), p. 188-189
155
Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath Thabari, Jaami‟ul Bayaan „An Ta‟wiili al Qur‟an, juz 5, (Mesir,
Syirkatu Maktabati wa Mathba‟ati Mushtofa al Baabi al Jalii wa Aulaaduhu, 1968), cetakan ketiga, p. 146
156
Q. S. Al Hujuraat: 13
22
apabila orang yang lemah mencuri mereka jatuhkan atasnya hukum had. Demi Allah, andaikan
Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya”.157
Inilah gambaran
persamaan hukum dalam Islam.
Kelima adalah pengelolaan harta negara yang baik. Dalam al Qur‟an dijelaskan dalam surat
al Hasyr ayat 7, yang artinya adalah “supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang
kaya di antara kamu”. Ar Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata “duulatun” dalam ayat ini
juga bermakan harta yang harus diperedarkan kepada para faqir miskin agar mereka juga bisa hidup
dengannya secara sejahtera dengan adanya pertolongan lewat para orang-orang kaya tersebut.158
Artinya pemberdayaan manusia dalam sebuah negara harus berbanding lurus dengan tingkat
kesejahteraannya, hingga tidak ada tindak eksploitasi manusia dengan upah yang tidak sepadan
dengan jasanya, seperti yang terjadi dalam rumusan kapitalisme. Ibnu Kholdun memperingatkan hal
ini sebagai sebuah bentuk kezaliman yang besar. Ia menyatakan bahwa: “dan diantara kezaliman
yang terbesar dan yang paling merusak pembangunan adalah kerja paksa dan eksploitasi rakyat
secara tidak benar, karena berkerja termasuk jasa yang harus mendapatkan penghargaan yang
sesuai”.159
Beliau juga menjelaskan dalam bukunya Muqoddimah bahwa “Kezaliman dan
pengrusakan pembangunan serta negara yang paling terbesar dari itu semua adalah
mencampuradukkan keuangan negara dan kepentingan pribadi: pembelian barang yang dilakukan
oleh penguasa dan kalangannya dengan harga paling murah, sementara ketika ditawarkan pada
masyarakat dengan harga cukup tinggi, dengan paksaan dalam jual belinya”.160
Dengan ini sangat
jelas bahwa dalam Islam tidak ada ajaran yang membolehkan praktik kapitalisme dengan berbagai
macam bentuknya.
Nilai prinsip yang keenam adalah musyawarah atau syuro. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa musyawarah sangat penting dalam mekanisme pemerintahan dalam politik
Islam. Dasar perintah syuro adalah ayat al Qur‟an dalam surat al Syuro ayat 38, dan surat Ali
„Imron ayat 159. Dr Dhiyauddin Rais menjelaskan bahwa dalam surat asy Syura ayat 36-38
dijelaskan bahwa salah satu sifat orang mukmin adalah musyawarah. Dalam ayat tersebut beliau
mengatakan bahwa perintah bermusyawarah disebutkan setelah perintah mendirikan sholat. Ini
berarti menerangkan akan pentingnya musyawarah bagi orang mukmin.161
Dr. Taufiq asy Syawi
pun menjelaskan salah satu pentingnya syuro atau musyawarah adalah sebagai bimbingan dan
pemuliaan bagi seluruh rakyat. Alasannya adalah dalam musyawarah, syari‟at Islam harus dijadikan
pedoman, dan karena kesempurnaan syari‟at Islam, sudah sewajarnya itu merupakan hak istimewa
bagi seluruh umat muslim untuk menta‟atinya. Oleh karena itu beliau menambahkan bahwa Islam
mewajibkan syuro dalam segala segi kehidupan sosial. Kewajiban itu tidak hanya pada pemilihan
pemimpin dan urusan-urusan politik semata, melainkan juga dalam hal ekonomi, keuangan,
kebudayaan dan lainnya.162
Maka, sangat jelas urgensi atau pentingnya musyawarah bagi politik
Islam khususnya dan bagi kehidupan sosial manusia umumnya.
Nilai yang ketujuh dan yang paling penting adalah menjadikan hukum Allah sebagai
pedoman dalam berpolitik. Dalam tafsir al Maraghi disebutkan bahwa kaum muslimiin wajib untuk
berpegang teguh dengan al Qur‟an di setiap urusan mereka. Menjadikan al Qur‟an sebagai landasan
157
Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn Mughirah al Bukhori, al Jaami‟u as Shahih, hasba tarqiimi fathu
al Baari, juz 4,kitab bad‟i al wahyi, hadits no3475, (Kairo, Dar Syu‟ub, 1987) cetakan pertama, p. 213
158
Imam Muhammad ar Raazi Fakhruddin Ibn al „Allamah Dhiyauddin, Tafsir fakhru ar Razi, jilid 15,
(Beirut-Libanon, Darul Fikr, 1985), cetakan ketiga, p. 286-287
159
Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam, ......., p. 270
160
Teks aslinya :
, lihat: Abdurrahman Ibnu Kholdun, Muqoddimatu Ibnu Kholdun, ......., p. 392
161
Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam, ........, p. 274
162
Dr. Taufiq as Syawi, Syuro Bukan Demokrasi,........., p. 28-31
23
dalam menghukumi di antara manusia secara adil.163
Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam
surat an Nisa‟ ayat 105:
Artinya bahwa, hendaknya manusia menjadikan al Qur‟an sebagai pedoman dalam
menegakkan hukum di antara manusia dan janganlah manusia menjadi yang mengingkari dan
menghianatinya.164
Ath Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa nabi Muhammad SAW telah
diperintahkan Allah SWT untuk selalu berpegang teguh kepada al Qur‟an dalam menghukumi di
antara manusia. Dan jangalah menjadikan orang-orang yang memusuhi orang yang memusuhi
muslim hingga nabi SAW menolak memberikan apa yang menjadi hak mereka.165
Artinya, dalam
berpegang teguh dengan al Qur‟an ini harus dibarengi dengan sifat ramah dan adil pada rakyat atau
umat. Seperi yang telah dijelaskan dalam penjelasan-penjelasan sebelumnya, khususnya penjelasan
dari al Maududi bahwa sebagai manusia tidak boleh membuat hukum di luar dari yang telah
digariskan Allah dalam al Qur‟an. Beliau juga mengajukan sebuah istilah dengan mengganti
popular sovereignty (kedaulatan rakyat) dengan popular vicegerency (kekhalifahan manusia/
rakyat).166
Yang maksudnya adalah bahwa dalam kedaulatannya sebagai manusia, mereka hanya
menikmati hak ke-khilafahan tersebut tanpa melanggar batas-batas syari‟at Allah yang telah
dijelaskan dalam al Qur‟an.
Nilai yang kedelapan adalah tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Keimanan dan
ketaqwaan seorang pemimpin sangat menentukan sikap tanggung jawabnya kepada Allah maupun
kepada rakyatnya. Maka dari itu kriteria pemimpin haruslah betul-betul orang yang beriman kepada
Allah dan taqwa kepada-Nya senantiasa menegakkan hukum-Nya. Seperti yang telah Allah
firmankan dalam surat an Nuur ayat 55:
Al Maududi menjelaskan bahwa ayat tersebut menyatakan mengenai kekuasaan untuk
memerintah di dunia telah dijanjikan bagi orang-orang yang beriman, dan tidak dinyatakan bahwa
seorang atau suatu golongan kelas tertentu di antara mereka akan diangkat kepada kedudukan
tersebut. Karena hanyalah orang-orang yang telah menguatkan hukum Allah di dunia lah yang
sepatutnya dinyatakan bahwa mereka harus dihormati sebagai wakil-wakil dari kekuasaan
tertinggi.167
Maka artinya bahwa hak kekuasaan bukanlah hak istimewa golongan tertentu, namun
hanya bagi orang yang beriman dan bertaqwa saja.
Kedelapan nilai inilah yang harus menjadi jiwa dalam praktik perpolitikan Islam. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak menyebutkan secara detil mengenai
bentuk pemerintahan Islam. Artinya bahwa, teori pemerintahan apapun yang dianggap paling baik
dalam membawa manusia menuju kesejateraan bisa dilaksanakan, dengan catatan bahwa sistem itu
harus mengandung nilai-nilai politik Islam, dan sejalan degan jiwa syari‟at Islam.
163
Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz 4, (Beirut, Dar Ihya‟ at Turats al „Arabi), p. 148
164
Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz 4,.....,p. 148
165
Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath Thabari, Jaami‟u al Bayaan „an Ta‟wili Aayi Qur‟an,....., p. 264-265
166
S. Abu A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......., p. 40
167
Ibid, p. 39-40
24
Islam dan Demokrasi
Kemudian bila dibandingkan dengan sistem demokrasi yang sekarang sangat banyak
diadopsi oleh beberapa negara di dunia, bahkan hampir semua negara, bisa terlihat ada beberapa
persamaan antara sistem perpolitikan Islam dengan demokrasi, meski juga ada banyak perbedaan
yang sangat fundamental di antara keduanya. Secara umum bisa dilihat bahwa mengenai persamaan
antara keduanya ada beberapa hal yang sejalan, seperti adanya kebebasan dalam pemilihan umum,
adanya badan legislatif dalam membuat undang-undang meski ada perbedaan yang mendasar
mengenai mekanisme dan dasar dalam pembuatan undang-undang. Kemudian persamaan di depan
hukum dan lain sebagainya. Namun ada banyak perbedaan antara keduanya hingga al Maududi
mengajukan sebuah istilah baru yaitu “theo-demokrasi”, sebuah istilah yang menyatakan bahwa ke-
demokrasi-an dalam Islam didasarkan pada kedaulatan akan hukum-hukum dari Allah SWT.168
Dr. Yusuf Qardhawi mengutip pernyataan Dr. Taufiq as Syawi dalam sebuah artikel yang
beliau tulis pada sebuah majalah yang terbit di Kairo tanggal 11/9/1986. Dalam artikel tersebut Dr.
Taufiq as Syawi menyatakan keunggulan sistem politik Islam di atas sistem demokrasi. Dalam
pernyataannya itu beliau menyatakan keunggulan Islam atas demokrasi dalam dua hal. Pertama,
bahwa Islam merupakan sebuah sistem yang mempunyai undang-undang paling modern yang lebih
dulu ada dibanding demokrasi lebih dari seribu tahun. Kedua, bahwa apa yang telah dinyatakan
Islam dalam hal politik telah begitu sempurna dan belum ada yang mampu menandingi
kesempurnaan tersebut meski pada zaman modern sekarang ini termasuk demokrasi, dan bahkan
meskipun seribu tahun yang akan datang.169
Dr. Yusuf Qardhawi pun menyatakan bahwa perbedaan pertama dan yang paling medasar
dan disepakati para fuqaha‟ adalah mengenai dasar konstitusi antara Islam dan demokrasi. Dalam
Islam, dasar konstitusinya jelas, yaitu syari‟at Islam. Syari‟at mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam sistem perpolitikan Islam, dan dengannya didasarkan segala hukum-hukum baru, sehingga
kedudukan syari‟at dalam politik Islam tidak boleh diganti ataupun dirubah. Sedangkan dalam
demokrasi tidak ada batas kriteria hukum yang bisa dijadikan pedoman dalam pembuatan keputusan
hukum.170
Dr. Dhiyauddin Rais menambahkan bahwa adanya konsep ijma‟ yang merupakan salah
satu keistimewaan syari‟at Islam, dan yang hanya diakui oleh Islam, memberikan tempat khusus
bagi umat dan aspirasinya dalam sistem Islam, dan lebih tinggi daripada apa yang mungkin dapat
dicapai dalam sistem demokrasi manapun.171
Imam al Ghazali juga menyatakan bahwa
kepemimpinan dalam Islam adalah untuk menegakkan syari‟at Islam di negara sehingga segala
hukum darinya berlandaskan syari‟at Islam.172
Kemudian dalam bukunya Imam al Ghazali yang berjudul al Munqidz min adh Dholal, Dr.
Abdul Halim Mahmud mengkritisi demokrasi dalam segi persamaan liberal yang menyatakan
bahwa semua manusia adalah sama dan mempunyai hak yang sama secara buta. Beliau menyatakan
bahwa persamaan tanpa batas seperti yang dinyatakan John Locke ini merupakan mitos belaka,
karena secara alami di dunia ini tidak ada persamaan secara bebas, tidak ada pula di hutan, apalagi
di antara manusia meski ia di kota atau di desa. Dan menurutnya bahwa Allah tidak menyamakan
manusia dari segi warnanya, dari segi kekuatan jasmaninya, dari segi kecerdasan dan kejeniusannya
dan rizkinya.173
Maka untuk itu, dalam teori Islam persamaan dalam kedaulatan rakyat tidak
168
S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......., p. 26
169
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh ad Daulah fi al Islam, ......., p. 37
170
Ibid, p. 38
171
Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 308
172
Abu Hamid al Ghazali, at Tibru al Masbuk fi Nasihati al Mulk, (Beirut, Dar Ibnu Zaidun, 1987), cetakan
pertama, p. 1-4
173
Abu Hamid al Ghazali, al Munqidz min adh Dholal, tahqiq: Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo, Mathba‟atu
Hasan), p. 377-378
25
menjadi pedoman yang sifatnya mutlak seperti yang terdapat dalam demokrasi sekular ala Barat,
namun kedaulatan rakyat ini dibatasi dengan batas-batas yang telah digariskan dalam Hukum Allah
SWT.174
Kedaulatan rakyat dalam Islam juga mencakup wilayah yang luas secara internasional,175
karena yang dimaksud dengan warganegara Islam adalah seluruh umat Islam yang dipersatukan
dalam kesatuan „aqidah yang tidak terbatas pada batas teritorial negara, ras, suku dan lainnya
sebagaimana yang terjadi pada demokrasi.176
Selian itu, perbedaan yang paling jelas adalah bahwa dalam demokrasi, kedaulatan rakyat
adalah absolut sehingga terjadi pemisahan antara otoritas negara dengan otoritas agama. Dalam
Islam tidak seperti itu, seperti yang dijelaskan di awal pembahasan bahwa dalam teori politik Islam
menjadikan agama dan negara sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, bahkan saling
menjaga antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Dr. Amir Abdul Aziz
bahwa dalam demokrasi Barat, rakyatlah yang berperan sebagai pembuat hukum mutlak, sedangkan
dalam Islam, hanya Allah lah yang berhak membuat hukum, dan manusia atau rakyat hanya berhak
menginterpretasikannya dengan cara-cara yang benar menurut syari‟at.177
Sehingga bisa
disimpulkan bahwa kedudukan rakyat ini tidak absolut dalam Islam.
Dari beberapa penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa Islam telah mempunyai sistem
perpolitikan yang sempurna karena Islam merupakan agama yang berperadaban maju. Antara Islam
dan negara tidak ada pemisahan otoritas seperti yang terjadi dalam sejarah perpolitikan Barat. Islam
sangat menghargai peran rakyat dalam politik dengan syarat bahwa setiap komponen mempunyai
kriteria keilmuan dan pengetahuan akan syari‟at Islam, karena itulah yang menjaga konstitusai
negara tidak goyah karena terjadinya penyelewengan kekuasaan. Atas beberapa prinsip dalam
sistemnya inilah Islam mempunyai persamaan dengan demokrasi, meskipun mempunyai perbedaan
yang sangat mendasar, disebabkan perbedaan dasar konstitusi antara keduanya.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, bisa diketahui bahwa pada masa modern sekarang ini demokrasi
sudah menjadi sistem pemerintahan yang dianggap baik dan telah diadopsi oleh banyak negara di
dunia. Kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dan ciri khas dari demokrasi pun berubah menjadi
sistem perwakilan di mana rakyat tidak lagi bisa berpartisipasi secara langsung dalam
permusyawaratan publik, namun mereka memilih beberapa orang yang mereka percayai untuk
mewakili mereka di pemerintahan guna membicarakan mengenai kebijakan-kebijakan publik yang
akan menjadi undang-undang sebagai aturan dan manifestasi dari aspirasi mereka.
Meski begitu, ada semacam problem yang paling mendasar dalam demokrasi, yang darinya
membuat demokrasi bisa berubah bentuk menjadi sebuah sistem pemerintahan yang kadang
berlawanan dengan demokrasi sendiri. Prinsip mayoritas yang menjadi ciri khas bahkan pedoman
tunggal dalam demokrasi dianggap sebagai sebuah alat ukur legitimasi yang final. Namun, prinsip
mayoritas ini akan sangat ditentukan pada sumber daya sosial yang ada dalam masyarakat. Artinya,
kualitas masyarakat dan sumber daya manusia yang menjadi aktor dalam demokrasi ini yang
menentukan bagaimana kedaulatan rakyat terselenggara. Jika mayoritas ini tidak dibarengi dengan
kualitas yang baik, maka dalam demokrasi cenderung kedaulatan rakyat disalah artikan dan
berubah-ubah, sehingga hukum yang dihasilkan juga pasti relatif, atau dengan kata lain pedoman ini
174
Abul A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,........, p. 243
175
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh ad Daulah fi al Islam,......., p. 38
176
Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988), p. 147
177
Dr. Amir Abdul Aziz, Iftira‟aat „ala al Islam wa al Muslimiin, (Palestina, Darussalam, 2002), cetakan
pertama, p. 124
26
tidak pasti, tergantung pemenang mayoritas. Sehingga prinsip ini pun tidak bisa selalu
mengartikulasikan kesejateraan rakyat seluruhnya.
Hal ini berbeda dengan pemahaman kedaulatan rakyat dalam Islam. Dalam Islam,
kedaulatan tertinggi hanya pada Allah SWT, sebagai Sang Maha Pencipta semesta. Syari‟at yang
telah ditetapkan-Nya dalam al Qur‟an dan yang telah dijelaskan Rasul-Nya dalam Hadits
mempunyai kedudukan tinggi dalam tata hukum politik Islam. Adanya dalil yang menyatakan
posisi manusia sebagas khalifah atau wakil Allah di Bumi mengindikasikan adanya hak kedaulatan
pada manusia untuk melakukan legislasi hukum dalam bentuk Ijtihadi. Artinya dalam
kedaulatannya, manusia hanya bisa membuat sebuah hukum yang tidak menyeleweng dari syari‟at
Islam, khususnya pada masalah halal dan haram. Singkatnya, bahwa kedaulatan rakyat (manusia)
dalam politik Islam, kedudukannya di bawah kedaulatan tertinggi yang hanya milik Allah SWT.
Dan sebagai pedomannya syari‟at yang sifatnya tetap dan universal, sehingga konsep politik Islam
ini tidak berubah-ubah dan sesuai untuk diselenggarakan di semua tempat dan wilayah.
Sehingga dengan ini jelas, bahwa kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini tidak sempurna
karena hanya mendasarkan pondasinya pada prinsip mayoritas yang sifatnya relatif. Berbeda
dengan politik Islam yang mendasarkan pada ketentuan syari‟at yang sifatnya tetap dan universal,
sehingga kedaulatan rakyat dalam politik Islam inilah yang bisa menjamin dalam mendatangkan
keadilan bagi rakyat. Dengan syarat kualitas keilmuan dan moral rakyat sudah baik. Wallahu a‟lam
bi as showaab.
Bibliography
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 1996), cetakan pertama
Al Farabi, Abu Nashr, Kitab as Siyaasah al Madaniyyah: al Mulaqqob bi Mabadi‟ al Maujuudaat,
tahqiq Dr. Fauzi Matri Najar, (Beirut, Dar Syarq, 1993), cetakan kedua
Al Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988)
Al Ghazali, Abu Hamid, al Iqtishad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518)
___________________, al Munqidz min adh Dholaal, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo,
Percetakan Hasan)
___________________, at Tibru al Masbuk fi Nasihati al Mulk, (Beirut, Dar Ibnu Zaidun, 1987),
cetakan pertama
Al Maududi, Abul A‟la, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari Pholitical Theory of Islam, pent:
Salahuddin Abdullah Abbad, (Bandung, P.T al Ma‟arif)
___________________, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, diterjemahkan dari The
Islamic Law and Constitution, pent: Drs. Asep Hikmat, (Bandung, Mizan, 1998), cetakan
keenam
Al Mawardi, Abi al Hasan ibn Muhammad ibn Habib al Bishri al baghdadi, al Ahkam as
Shulthaniyyah wa al Wilayat ad Diiniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al „Ilmiyyah,
450 H)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

More Related Content

What's hot

MASS COMMUNICATION THEORY
MASS COMMUNICATION THEORYMASS COMMUNICATION THEORY
MASS COMMUNICATION THEORY
Evry Purrba
 
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen Habermas
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen HabermasTeori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen Habermas
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen Habermas
Angga Prawadika Aji
 
PPT Demokrasipancasila
PPT DemokrasipancasilaPPT Demokrasipancasila
PPT Demokrasipancasilaanharmasbro
 
Ideologi pancasila__dan_konstitusi
Ideologi  pancasila__dan_konstitusiIdeologi  pancasila__dan_konstitusi
Ideologi pancasila__dan_konstitusiBayu Prasetyo
 
Teori hakikat negara
Teori hakikat negaraTeori hakikat negara
Teori hakikat negara
RiasNara
 
Numpang ta
Numpang taNumpang ta
Numpang ta33335
 
5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis
5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis
5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis
HamzahBiding
 
Paham Liberalisme dan Perkembangannya
Paham Liberalisme dan PerkembangannyaPaham Liberalisme dan Perkembangannya
Paham Liberalisme dan Perkembangannya
Washfa Aulia
 
2 politik & negara
2  politik & negara2  politik & negara
2 politik & negaraNur Az
 
Demokrasi sistem gagal
Demokrasi  sistem gagalDemokrasi  sistem gagal
Demokrasi sistem gagalRizky Faisal
 
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakatHukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Amulilikawa
 
Mengapa orang mentaati hukum
Mengapa orang mentaati hukumMengapa orang mentaati hukum
Mengapa orang mentaati hukumNovita Ekasari
 
Penutup
PenutupPenutup
Penutup
febri samar
 
Hak siapa yang ingin ditegakkan
Hak siapa yang ingin ditegakkanHak siapa yang ingin ditegakkan
Hak siapa yang ingin ditegakkan
jselv
 
Kekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politik
Kekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politikKekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politik
Kekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politik
Muhammad Indrayana
 
Sejarah Konstitusi: Yunani - Modern
Sejarah Konstitusi: Yunani - ModernSejarah Konstitusi: Yunani - Modern
Sejarah Konstitusi: Yunani - Modern
Izzatul Ulya
 

What's hot (20)

Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
MASS COMMUNICATION THEORY
MASS COMMUNICATION THEORYMASS COMMUNICATION THEORY
MASS COMMUNICATION THEORY
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
 
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen Habermas
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen HabermasTeori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen Habermas
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen Habermas
 
PPT Demokrasipancasila
PPT DemokrasipancasilaPPT Demokrasipancasila
PPT Demokrasipancasila
 
Ideologi pancasila__dan_konstitusi
Ideologi  pancasila__dan_konstitusiIdeologi  pancasila__dan_konstitusi
Ideologi pancasila__dan_konstitusi
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
 
Teori hakikat negara
Teori hakikat negaraTeori hakikat negara
Teori hakikat negara
 
Numpang ta
Numpang taNumpang ta
Numpang ta
 
5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis
5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis
5018 id-hak-asasi-manusia-tinjauan-dari-aspek-historis-dan-yuridis
 
Paham Liberalisme dan Perkembangannya
Paham Liberalisme dan PerkembangannyaPaham Liberalisme dan Perkembangannya
Paham Liberalisme dan Perkembangannya
 
2 politik & negara
2  politik & negara2  politik & negara
2 politik & negara
 
Demokrasi sistem gagal
Demokrasi  sistem gagalDemokrasi  sistem gagal
Demokrasi sistem gagal
 
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakatHukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
 
Mengapa orang mentaati hukum
Mengapa orang mentaati hukumMengapa orang mentaati hukum
Mengapa orang mentaati hukum
 
Penutup
PenutupPenutup
Penutup
 
Hak siapa yang ingin ditegakkan
Hak siapa yang ingin ditegakkanHak siapa yang ingin ditegakkan
Hak siapa yang ingin ditegakkan
 
Kekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politik
Kekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politikKekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politik
Kekuasaan negara dan_struktur_ekonomi_politik
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
 
Sejarah Konstitusi: Yunani - Modern
Sejarah Konstitusi: Yunani - ModernSejarah Konstitusi: Yunani - Modern
Sejarah Konstitusi: Yunani - Modern
 

Viewers also liked

Musni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan Elit
Musni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan ElitMusni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan Elit
Musni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan Elit
musniumar
 
Tasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarijTasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarijMarhamah Saleh
 
Hubungan antara kekuasaan dan pengaruh
Hubungan antara kekuasaan dan pengaruhHubungan antara kekuasaan dan pengaruh
Hubungan antara kekuasaan dan pengaruh
Ridho D'vhavoline
 
Makalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negara
Makalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negaraMakalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negara
Makalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negara
Muhammad Agung
 
Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasRikza Adhia
 
Teori dan filsafat politik pemerintahan
Teori dan filsafat politik pemerintahanTeori dan filsafat politik pemerintahan
Teori dan filsafat politik pemerintahanBKPP kabupaten Bandung
 
Modul Kepimpinan dalam pengurusan awam
Modul Kepimpinan dalam pengurusan awamModul Kepimpinan dalam pengurusan awam
Modul Kepimpinan dalam pengurusan awamCt Hussen
 
Bab 2-Fungsi Pengurusan
Bab 2-Fungsi PengurusanBab 2-Fungsi Pengurusan
Bab 2-Fungsi PengurusanCkg Nizam
 

Viewers also liked (10)

Musni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan Elit
Musni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan ElitMusni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan Elit
Musni Umar: Demokrasi Kedaulatan Rakyat Versus Kedaulatan Elit
 
Kekuasaan dan politik
Kekuasaan dan politikKekuasaan dan politik
Kekuasaan dan politik
 
Tasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarijTasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarij
 
Hubungan antara kekuasaan dan pengaruh
Hubungan antara kekuasaan dan pengaruhHubungan antara kekuasaan dan pengaruh
Hubungan antara kekuasaan dan pengaruh
 
Makalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negara
Makalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negaraMakalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negara
Makalah Bentuk Republk, berdasarkan Pancasila, dan kedaulatan negara
 
Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyas
 
Kuasa
KuasaKuasa
Kuasa
 
Teori dan filsafat politik pemerintahan
Teori dan filsafat politik pemerintahanTeori dan filsafat politik pemerintahan
Teori dan filsafat politik pemerintahan
 
Modul Kepimpinan dalam pengurusan awam
Modul Kepimpinan dalam pengurusan awamModul Kepimpinan dalam pengurusan awam
Modul Kepimpinan dalam pengurusan awam
 
Bab 2-Fungsi Pengurusan
Bab 2-Fungsi PengurusanBab 2-Fungsi Pengurusan
Bab 2-Fungsi Pengurusan
 

Similar to PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

Pai demokrasi dlm islam
Pai demokrasi dlm islamPai demokrasi dlm islam
Pai demokrasi dlm islam
Kartika Dwi Rachmawati
 
Bab vi demokrasi ps hasil
Bab vi demokrasi ps hasilBab vi demokrasi ps hasil
Bab vi demokrasi ps hasil
Edi Ison
 
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Syaiful Ahdan
 
1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc
1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc
1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc
nabilakpum
 
Ppt demokrasi indonesia
Ppt demokrasi  indonesiaPpt demokrasi  indonesia
Ppt demokrasi indonesiaSri Hartati
 
Ppt demokrasi indonesia
Ppt demokrasi  indonesiaPpt demokrasi  indonesia
Ppt demokrasi indonesiaSri Hartati
 
riyandita pagestuti.pptx
riyandita pagestuti.pptxriyandita pagestuti.pptx
riyandita pagestuti.pptx
AhlunNaza4
 
PKN "Hakikat Demokrasi"
PKN "Hakikat Demokrasi"PKN "Hakikat Demokrasi"
PKN "Hakikat Demokrasi"
Syifa Sahaliya
 
Makalah tentang demokrasi
Makalah tentang demokrasiMakalah tentang demokrasi
Makalah tentang demokrasi
Septian Muna Barakati
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
DRAmotovlog
 
Bab 09 demokrasi (kwn)
Bab 09 demokrasi (kwn)Bab 09 demokrasi (kwn)
Bab 09 demokrasi (kwn)
Felicia Amanda
 
DEMOKRASI.ppt
DEMOKRASI.pptDEMOKRASI.ppt
DEMOKRASI.ppt
DiniNurhayati8
 
1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx
1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx
1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx
perpuspdbi
 
DEMOKRASI - PPKN - DJOKO AW
DEMOKRASI - PPKN - DJOKO AWDEMOKRASI - PPKN - DJOKO AW
DEMOKRASI - PPKN - DJOKO AW
Djoko Adi Walujo
 
DEMOKRASI PANCASILA
DEMOKRASI PANCASILADEMOKRASI PANCASILA
DEMOKRASI PANCASILA
Wulan Arum
 
Perkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Perkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di IndonesiaPerkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Perkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Yogyakarta State University
 

Similar to PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi) (20)

Pai demokrasi dlm islam
Pai demokrasi dlm islamPai demokrasi dlm islam
Pai demokrasi dlm islam
 
Bab vi demokrasi ps hasil
Bab vi demokrasi ps hasilBab vi demokrasi ps hasil
Bab vi demokrasi ps hasil
 
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
 
1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc
1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc
1. Sistem dan Dinamika Demokrasi.doc
 
Ppt demokrasi indonesia
Ppt demokrasi  indonesiaPpt demokrasi  indonesia
Ppt demokrasi indonesia
 
Ppt demokrasi indonesia
Ppt demokrasi  indonesiaPpt demokrasi  indonesia
Ppt demokrasi indonesia
 
Pknnew
PknnewPknnew
Pknnew
 
riyandita pagestuti.pptx
riyandita pagestuti.pptxriyandita pagestuti.pptx
riyandita pagestuti.pptx
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
PKN "Hakikat Demokrasi"
PKN "Hakikat Demokrasi"PKN "Hakikat Demokrasi"
PKN "Hakikat Demokrasi"
 
Makalah tentang demokrasi
Makalah tentang demokrasiMakalah tentang demokrasi
Makalah tentang demokrasi
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
 
Bab 09 demokrasi (kwn)
Bab 09 demokrasi (kwn)Bab 09 demokrasi (kwn)
Bab 09 demokrasi (kwn)
 
DEMOKRASI.ppt
DEMOKRASI.pptDEMOKRASI.ppt
DEMOKRASI.ppt
 
1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx
1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx
1_Ilmu_Politik_dan_Sejarah_Perkembangann.pptx
 
Kwn bab 4
Kwn bab 4Kwn bab 4
Kwn bab 4
 
DEMOKRASI - PPKN - DJOKO AW
DEMOKRASI - PPKN - DJOKO AWDEMOKRASI - PPKN - DJOKO AW
DEMOKRASI - PPKN - DJOKO AW
 
DEMOKRASI PANCASILA
DEMOKRASI PANCASILADEMOKRASI PANCASILA
DEMOKRASI PANCASILA
 
Demokrasi dan HAM
Demokrasi dan HAMDemokrasi dan HAM
Demokrasi dan HAM
 
Perkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Perkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di IndonesiaPerkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Perkembangan Konsep Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
 

More from Edi Awaludin

Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016
Edi Awaludin
 
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wpEbook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Edi Awaludin
 
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Edi Awaludin
 
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Edi Awaludin
 
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Edi Awaludin
 
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
Edi Awaludin
 
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
Edi Awaludin
 
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
Edi Awaludin
 
Ensiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEnsiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEdi Awaludin
 
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamKompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamEdi Awaludin
 
Ayat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusAyat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusEdi Awaludin
 
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Edi Awaludin
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamEdi Awaludin
 
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabPendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabEdi Awaludin
 
Konsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamKonsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamEdi Awaludin
 
Jatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanJatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanEdi Awaludin
 
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi  sejarah makna dan respon muslimDemokrasi  sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi sejarah makna dan respon muslimEdi Awaludin
 
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupPendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupEdi Awaludin
 
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraBulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraEdi Awaludin
 

More from Edi Awaludin (20)

Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016
 
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wpEbook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
 
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
 
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
 
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
 
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
 
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
 
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
 
Ensiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEnsiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islam
 
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamKompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
 
Ayat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusAyat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plus
 
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islam
 
Ayat ayat syifa
Ayat ayat syifaAyat ayat syifa
Ayat ayat syifa
 
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabPendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
 
Konsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamKonsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islam
 
Jatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanJatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradaban
 
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi  sejarah makna dan respon muslimDemokrasi  sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
 
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupPendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
 
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraBulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
 

PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

  • 1. 1 Problem Teori Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi Oleh: Fuad Muhammad Zein Ideologi kebebasan yang berdasarkan aspirasi rakyat menjadi isu sentral dalam sistem demokrasi. Rakyat menjadi pedoman kedaulatan dalam kegiatan perpolitikan1 , sehingga rakyat mempunyai kuasa dalam pemerintahan negara. Abraham Lincoln pada tahun 1863 menyebut demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.2 Maksudnya, pemerintahan demokrasi adalah berasal dari usulan rakyat, dilaksanakan oleh rakyat demi kesejahteraan rakyat. Rakyat mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berpolitik,3 dengan cara partisispasi langsung dalam kegiatan politik entah secara individu atau pun perwakilan.4 Secara umum bisa disimpulkan bahwa dalam demokrasi rakyat lah pemegang kedaulatan dalam negara. Namun, ideologi kerakyatan ini ternyata tidak selalu membawa pada sebuah kesejahteraan yang bisa diterima oleh semua pihak. Permasalahannya adalah, ketika ideologi kerakyatan ini dihadapkan pada kenyataan pluralitas masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan ideologi, tidak semuanya memiliki prinsip yang sama dalam merealisasikan kedaulatan rakyat tersebut. Artinya bahwa standar keadilan yang dilahirkan oleh kedaulatan rakyat yang mampu diterima oleh semua pihak menjadi penting. Maka yang jadi permasalahan bagaimana kedaulatan rakyat mampu menyatukan berbagai macam ideologi tersebut sehingga mampu diterima oleh semua pihak. Seperti yang dinyatakan oleh David Held, bahwa dalam setiap komunitas politik atau negara harus ada suatu badan kedaulatan tetap yang kekuasaannya diakui oleh komunitas sebagai otoritas yang benar dan sah.5 Pedoman ini yang banyak diragukan para filosof dan cendekiawan mengenai demokrasi. Misalnya Plato yang meragukan demokrasi yang tidak mampu mendatangkan kedilan hanya dengan prinsip kesetaraan.6 Menurutnya juga, dalam soal pemerintahan demokrasi sulit untuk mengetahui siapakah yang memiliki keahlian terbaik, dan lebih sulit lagi dipastikan apakah seorang politisi akan lebih menggunakan keahliannya demi kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pribadinya sendiri, atau kepentingan kelasnya, partainya, dan keyakinannya.7 Hal yang mirip dijelaskan oleh kaum Marxis, mereka menambahkan bahwa demokrasi gagal bila dilihat dari janji-janjinya.8 Rousseau juga mengkritik sistem perwakilan dalam demokrasi. Seperti yang dikutip oleh Deliar Noer dalam bukunya, Rousseau menyatakan bahwa sistem demokrasi perwakilan adalah sistem yang menurutnya berasal dari kemalasan orang untuk menaruh perhatian terhadap masalah bersama, 1 Ideologi ini menjadi asas dalam demokrasi yaitu pembebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wenang baik di bidang agama maupun di bidang pemikiran serta di bidang politik. Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ,(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) cetakan keempat, p. 108 2 Dikutip dari: Drs. Muhammad Azhar, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996), cetakan pertama, p. 58 3 Prof Mirian Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, p. 111-112. 4 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, judul asli: Contemporary Political Ideologies, pent: Drs. Sahat Simamora, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986), p. 44 5 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, pent. Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to Cosmopolitan Governance), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama, p. 47 6 Bernard Lewis, Sejarah Filsafat Barat, (Chicago and London: The University of Chicago Press., 1974), p. 154 7 Ibid. 155 8 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan,...., p. 15
  • 2. 2 dan juga dari nafsu akan uang.9 Artinya, dalam demokrasi, konsep dan partisipasi rakyat pun memiliki masalah. Dari beberapa kritik di atas, dapat disimpulkan bahwa perlunya mengetahui apakah pedoman yang dipakai dalam kedaulatan rakyat demokrasi yang bisa dijadikan standar untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat itu sendiri. Kemudian sebagai sebuah agama yang sempurna, apakah Islam juga memiliki konsep kedaulatan rakyat? Dan apa yang dijadikan pedoman dalam hal ini. Dalam makalah singkat ini, akan dibahas mengai problem kedaulatan rakyat dalam demokrasi dan konsep Islam mengenai kedaulatan rakyat. Konsep Demokrasi Secara etimologi, kata demokrasi terdiri dari dua kata bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos / kratein. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos / kratein berarti kekuasaan atau berkuasa. Jadi bisa diartikan bahwa demokrasi adalah kekuasaan rakyat, government by people.10 Namun perlu untuk diketahui bahwa arti asli dari demos sendiri adalah rakyat miskin, sehingga, dalam Encyclopedia of Philosophy, Donald M. Borchert menyatakan bahwa dalam demokrasi, rakyat miskin lah yang berkuasa.11 Pendapat ini juga dinyatakan oleh Aristoteles yang mengatakan, bahwa dalam demokrasi kepentingan yang selalu diutamakan adalah kepentingan masyarakat miskin saja, dan tidak ada satu pun keputusan untuk kebaikan bersama. “...and democracy the interest only of the poorer classes, none of these aims at the common good of all”12 , meski begitu, yang menjadi pemahaman kebanyakan adalah demokrasi sebagai pemerintahan rakyat dan bukan rakyat miskin. Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan demokrasi. Dalam kamus Filsafat karya Lorens Bagus dijelaskan, bahwa demokrasi adalah bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik.13 Penjelasan lain terdapat dalam buku A Law Dictionary, yang menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sebuah bentuk pemerintahan di mana kedaulatan berada dalam dan dilaksanakan oleh seluruh warga yang merdeka, dan yang membedakan dari bentuk monarki, aristokrasi, atau oligarki.14 Montesquieu juga memberikan 9 Pernyataan Rosseau ini didasarkan pada pendapatnya bahwa negara itu tidak harus terlalu besar atau terlalu kecil, karena menurutnya, negara yang luas menyukarkan penyertaan rakyat dalam bidang pemerintahan secara langsung, tetapi negara yang terlalu kecil akan sulit mempertahankan diri. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung, Penerbit Mizan, 1998) cetakan ketiga, p. 156. 10 Prof. Miriam Budiarjo, Ilmu Politik, p. 105. Perlu dipahami bahwa kata „people‟ atau „rakyat‟ pada pemahaman Yunani waktu itu tidak sama dengan pemahaman pada zaman sekarang. Robert A. Dahl mengatakan bahwa yang dimaksud dengan „rakyat‟ waktu itu adalah sekumpulan manusia dari sebuah polis atau kota kecil. Lih. Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta, Mizan, 2007), cetakan pertama, p. 3. 11 “In ancient Greece, the demos was the poorer people; democracy meant rule of the poor over the rich”. Lih, Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), p. 699 12 Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, vol I, Ancient Philosophy, (Oxford, Clarendon Press, 2004), p. 84 13 Pada awalnya dalam pemikiran Yunani, demokrasi diusulkan untuk menantang pemerintahan oleh satu orang (monarki) atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari kedua jenis pemerintahan ini yaitu tirani dan oligarki. Lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) cetakan keempat, p. 154. 14 “Democracy: that form of government in which the sovereign power resides in and is exercised by the whole body of free citizens, as distinguished from a monarchy, aristocracy and oligarchy.” Lih. Henry Campbell Black, M. A, A Law Dictionary 2nd edition, (New Jersey, The Law Book Exchange, Ltd. Union, 1995), p. 351.
  • 3. 3 pendapatnya mengenai definisi demokrasi dengan menyatakan:“When the body of the people is possessed of the supreme power, it is called a democracy”.15 Bila diartikan secara bebas, ketika seluruh masyarakat memegang kekuasaan atas pemerintahan negara, maka inilah yang dimaksud dengan demokrasi menurut Montesquieu. Pendapat lain dari John Locke yang menjelaskan, pemerintahan disebut demokrasi, yaitu ketika seluruh kekuasaan yang secara alami terdapat dalam masyarakat digunakan untuk membuat hukum dari waktu ke waktu, kemudian memilih petugas untuk menjalankan hukum-hukum tersebut. Model seperti ini ia sebut dengan demokrasi yang sempurna.16 Dari beberapa pendapat tersebut, bisa difahami, sebenarnya demokrasi merupakan sebuah bentuk atau sistem pemerintahan yang berbeda dengan monarki, yaitu pemerintahan dengan kedaulatan yang dikuasai oleh satu orang, dan aristokrasi, yaitu kedaulatan negara yang dikuasai oleh beberapa orang.17 Jadi bisa disimpulkan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dengan kedaulatan yang dikuasai oleh seluruh warga. Bila dibandingkan pengertian demokrasi pada masa Yunani dan Modern, maka bisa diketahui bahwa dalam demokrasi setidaknya memiliki dua model pemerintahan. Pertama, adalah model demokrasi langsung, direct democracy. Dan Kedua, adalah demokrasi perwakilan, representative democracy. Demokrasi langsung adalah demokrasi di mana para warganegara berperan serta secara pribadi dan langsung dalam pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan dalam segala urusan pemerintahan. Demokrasi semacam inilah yang terlaksana pada masa Yunani Kuno.18 Sifat langsung ini bisa terselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, kemudian wilayah yang hanya berbentuk polis,19 dengan penduduk yang sedikit.20 Sedangkan dalam demokrasi perwakilan, para warganegara memilih warga yang lain untuk mewakili mereka dalam mengikuti pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan dalam segala urusan pemerintahan.21 Perbedaan ini disebabkan karena perubahan ukuran negara yang lebih besar dan luas serta jumlah warganegara dalam setiap negara yang semakin banyak. Demokrasi juga sering dikaitkan dengan bentuk negara republik. Merujuk kepada konsep Machiavelli dalam bentuk negara, republik merupakan kebalikan dari monarki. Republik diartikan dengan negara yang mempunyai ciri kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, maka disebut juga negara kerakyatan. Ciri yang lain adalah ketika kehendak negara, staatswill, terjadi secara yuridis melalui suatu majelis atau melalui suatu dewan.22 Jadi, kaitan antara demokrasi dan republik terletak pada 15 Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws, pent. Thomas Nugent, (Canada, Batoche Books, 2001) p. 25 16 John Locke, Second Treatise of Government, (Cambridge, Hackett Publishing Company, 1980), p. 52 17 Sebenarnya pembagian bentuk pemerintahan ini sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Namun perbedaan keduanya adalah, bila Plato menjadikan aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang paling ideal, sedangkan Aristoteles menganggap politea / polity sebagai bentuk yang paling ideal. Lih Anthony Kenny, A New History Of Western Philosophy, vol I, Ancient Philosophy, (Oxford, Clarendon Press, 2004), p. 60, 84. John Jacques Rousseau, The Social Contract or The Principles of Political Right, p. 50. John Locke, Second Treatise of Government, p. 52 18 Lih: Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), p. 700 19 Kata polis ini berasal dari kata Yunani, yang dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai negara (state) dan kota (city). Namun dalam pengertian Yunani polis adalah sebuah masyarakat yang berjumlah sedikit, dan biasanya disebut dengan „negara kota‟. George Klosko, History of Political Theory, an Introduction, vol I, Ancient and Medieval Political Theory, (Orlando, Harcourt Brace & Company Publisher, 1993), p. 1-2 20 Prof. Miriam Budiarjo, Ilmu Politik, p. 109 21 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, pent. Drs. Sahat Simamora, judul asli: Contemporary Political Ideologies, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986), p. 44 22 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2006), cetakan pertama, p.49-50
  • 4. 4 posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, oleh karena itu, banyak negara-negara penganut demokrasi menamakan dirinya sebagai negara republik demokratis. Selain itu, demokrasi perwakilan juga disebut dengan demokrasi konstitusional atau demokrasi liberal.23 . Demokrasi ini merupakan pembaruan kelembagaan pokok untuk mengatasi problem keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasan. Namun kebebasan ini hanya diberikan kepada semua orang dewasa.24 Kebebasan tersebut tercerminkan dalam bentuk undang- undang dan lembaga-lembaga yang memungkinkan partisipasi paling luas dari mayoritas warganegara dalam pemilihan wakil-wakil yang bisa membuat keputusan-keputusan politik sendiri, yakni keputusan-keputusan yang mempengaruhi seluruh komunitas.25 Namun yang menjadi kelemahan demokrasi semacam ini adalah adanya pertentangan dan pertemuan pendapat dalam masyarakat, sehingga berdasarkan pada kebenaran yang relatif bukan pada kebenaran yang mutlak. Oleh sebab itulah demokrasi ini tidak mempunyai pegangan dan pedoman yang tegas.26 Demokrasi ini banyak dianut oleh negara-negara Barat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem yang mempunyai ciri lain dari sistem lainnya seperti monarki dan aristokrasi dengan menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan dalam negara. Demokrasi merupkan sistem pemerintahan kerakyatan di mana rakyat mempunyai posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan pembuat keputusan. Dalam perkembangannya, demokrasi mengalami perubahan bentuk dan sistem dari asalanya. Perubahan tersebut ialah perubahan demokrasi yang sebelumnya berbentuk langsung, direct democracy, menjadi demokrasi perwakilan, representative democracy, di mana rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam sebuah majlis permusyawaratan atau parlemen untuk mewakili dan menyampaikan aspirasi rakyat dalam pemerintahan. Dalam hal ini posisi rakyat tidak serta merta diabaikan. Artinya, meski mengalami perkembangan dan perubahan bentuknya, demokrasi tidak menghilangkan cirinya yang sangat esensial yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pemerintahan negara. Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi Seperti yang telah disebutkan bahwa dalam demokrasi posisi kedaulatan rakyat sangat penting dalam pemerintahan, karena merekalah yang dianggap pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Maka perlu untuk memahami konsep kedaualatan yang merupakan pondasi atau legitimasi dalam masalah kekuasaan dalam politik. Kedaulatan dan kekuasaan merupakan dua hal yang sangat berkaitan dalam politik demokrasi, karena dengan kedaulatan kekuasaan bisa mendapatkan legitimasi. Selanjutnya adalah mengenai siapa yang memegang kedaulatan dan dari mana kedaulatan ini bisa didapatkan.27 Hal ini karena melihat negara adalah sebuah organisasi 23 Demokrasi Konstitusional memang jarang disebutkan secara bersamaan dengan demokrasi liberal maupun perwakilan. Terkadang Demokrasi Perwakilan disebut bersamaan dengan Demokrasi Liberal, dikarenakan adanya prinsip kebebasan yang terdapat dalam wakil-wakil masyarakat dalam pemerintahan dengan tetap dibatasi dengan aturan-aturan hukum. (lih. David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, pent. Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to Cosmopolitan Governance), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama, p.5-6). Dan Demokrasi Perwakilan disebut bersamaan dengan Demokrasi Konstitusional, karena adanya batas-batas konstitusional dalam setiap wakil-wakil rakyat, (lih. Prof Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik....., 107). Namun ketiganya terdapat kesamaan, yaitu adanya kekuasaan terbatas dalam perwakilan rakyat. 24 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global......., p. 10-11 25 Ibid, p. 14 26 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,...p. 56. 27 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Cet. 3, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), h. 125-126.
  • 5. 5 hidup yang digerakkan oleh banyak orang, selain itu, kedaulatan merupakan sebuah kekuasaan untuk memerintah dalam negara.28 Maka dari ini, perlu untuk memperjelas mengenai konsep kedaulatan dan siapa yang berhak dalam memegang kedaulatan, serta dari mana kedaulatan itu didapat. Dengan begini bisa diketahui bagaimana kekuasaan dalam sebuah negara dapat dilaksanakan. Secara etimologi, kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan lain sebagainya.29 Dalam bahasa Inggris, kedaulatan diterjemahkan dalam istilah soverereign atau sovereignty yang berarti mempunyai kekuasaan yang besar dalam sebuah negara, having complete power or the greatest power in the country. Dan „sovereignty‟ berarti kekuasaan penuh untuk mengatur sebuah negara atau sebuah kondisi pada sebuah negara yang memiliki kebebasan untuk memerintah negara itu sendiri.30 Sehingga bisa dipahami bahwa kedaulatan berkaitan dengan masalah mengenai kekuasaan, dan selain itu, kedaulatan merupakan sebuah istilah yang berbicara mengenai kekuasaan tertinggi dalam sebuah pemerintahan. Mengenai definisi kedaulatan, terdapat beberapa pendapat. Dalam bukunya, Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang- undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia.31 Dalam hal ini, negara mempunyai kekuasaan tinggi untuk memaksa rakyatnya agar menaati undang-undang yang ada, dan juga kekuasaan untuk mempertahankan kedaulatannya. Dalam buku A Law Dictionary, dicantumkan bahwa kedaulatan (soveregnty) adalah suatu kombinasi dari seluruh kekuasaan masyarakat dalam sebuah negara, yang digunakan untuk melakukan segala sesuatu demi negara, seperti membuat undang-undang dan menerapkannya, membuat perjanjian dagang dengan negara lain dan lain sebagainya.32 Dari sini terlihat bahwa kedaulatan sangat penting dalam negara sebagai legitimasi pembuat segala keputusan. Jean Bodin33 memberikan definisinya mengenai kedaulatan dengan menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan yang absolut dan abadi yang dimiliki dalam sebuah negara.34 Kekuasaan itu merupakan wewenang yang tidak dapat dibatasi oleh hukum dan dimiliki oleh penguasa (pemerintahan negara) untuk mengatasi seluruh warga negara dan orang-orang lain dalam ruang lingkup wilayahnya.35 Seperti yang dikatakan Bodin, dalam Encyclopedia of Philosophy juga disebutkan bahwa seseorang atau sebuah institusi bisa dikatakan berdaulat bila ia melaksanakan kewenangan (dalam sebuah permasalahan hak) atas orang lain atau institusi lain dalam sebuah sistem hukum, dan tidak ada pejabat yang berwenang untuk menolaknya.36 Artinya, kedaulatan adalah sebuah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam sebuah pemerintahan atau negara, yang itu merupakan kekuasaan dan wewenang yang menyeluruh dalam memerintah negara dan dengannya dapat dibentuk undang-undang dan segala sesuatu untuk kepentingan negara. Jika dikaitkan dengan 28 A. Hamid S Attamimi,“Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara ; suatu studi analisis mengenai keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I – Pelita IV, Jakarta : (Desertasi doktor Universitas Indonesia, 1990), h. 84 29 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2012) cetakan keempat, p. 298 30 „the state of being a country with freedom to govern it self‟. Oxford Advanced Learner‟s Dictionary, International Student Edition, (Oxford, Oxford University Press, 2010), p. 31 Prof. Mriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik....., p. 54 32 John Bouvier, A Law Dictionary, Adopted to The Constitution and Laws of The United Stated of America and of The Several States of The American Union with References to The Civil and Other System of Foreign Law, 2nd edition, vol II, (Philadelpia, T & J. W Johnson Law Book Sellers, 1843), p. 520 33 Jean Bodin adalah seorang pemikir politik abad pertengahan berkebangsaan Prancis. Lahir pada tahun 1530 dan meninggal pada tahun 1596 34 Jean Bodin, Six Books of The Commonwealth, pent. M. J. Tooley, (Oxford, The Alden Press, 1755), p. 25 35 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,...p. 30 36 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 9),....,p. 139
  • 6. 6 demokrasi, maka dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi adalah rakyat. Dalam hal ini rakyat menjadi pemberi keputusan dalam berbagai macam permasalahan dalam urusan pemerintahan. Dalam perjalanannya, kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini mengalami perubahan dalam bentuknya dari bentuk langsung kepada bentuk perwakilan. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa kedaulatan dalam demokrasi Yunani Kuno berbentuk langsung. Pada bentuk ini, rakyat Athena berkumpul dalam sebuah tempat yang luas untuk membicarakan permasalahan publik dengan cara diskusi dan dialog dan juga voting. Setiap individu masyarakat memiliki hak yang sama dalam memberikan usulan yang dapat mempengaruhi keputusan politik. Keputusan suara ditentukan dengan adanya voting dan suara terbanyaklah yang menjadi ukuran legitimasi keputusan politik, dan kalangan yang pendapatnya kalah dalam voting, harus bisa menerima keputusan itu dan menyetujui keputusan akhir yang dicapai.37 Lain halnya dalam bentuk perwakilan. Dalam bentuk ini, kedaulatan rakyat diwakilkan kepada beberapa orang untuk duduk di parlemen sebagai kelompok yang diberi kepercayaan rakyat untuk mewakili aspirasi mereka dalam masalah-masalah politik.38 Wakil-wakil tersebut dipilih dalam pemilihan umum secara bebas oleh rakyat dengan asas mayoritas. Maka dari itu, para wakil ini harus bisa menjadi suatu mikrokosmos dari kemajemukan kepentingan para pemilihnya, di mana kemudian kepentingan-kepentingan itu akan disatukan dengan kepentingan-kepentinagan lainnya sehingga dapat membuat sebuah keputusan yang bisa mewakili kepentingan bersama.39 Pada masa modern ini, kedaulatan langsung sangat sulit untuk dilaksanakan. Wilayah yang semakin luas dan juga tidak terdapatnya tempat untuk menampung seluruh rakyat pada waktu yang bersamaan tidak memungkinkan terjadinya demokrasi langsung pada zaman modern.40 Pada saat demokrasi langsung dijalankan pun, tidak semua warganegara dapat ikut serta dalam permusyawaratan. Hal ini terbukti adanya diskriminasi bagi wanita dan budak pada masa Yunani Kuno yang tidak mempunyai hak politik dalam konstitusi Athena. Dan yang berhak hanyalah kalangan elit saja dalam partisipasinya di dalam pemerintahan.41 Kemudian, tidak semua masyarakat mempunyai pengetahuan mengenai politik. Sehingga keputusan publik tetap dijalakan oleh sekelompok orang yang diberi kewenangan untuk menjalankannya.42 Artinya, dalam bentuk aslinya pun tetap saja bahwa kedaulatan rakyat ini tidak bisa dijalankan sepenuhnya kepada rakyat secara keseluruhan. Kekuasaan yang dijalankan secara massal juga merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang abstrak. Joseph Schumpter menyatakan bahwa untuk mengatasi adanya kekuasaan yang tidak beraturan, dan juga menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan yang telah terjadi pada bentuk theokrasi ataupun monarki, maka kedaulatan rakyat didelegasikan kepada sebuah bentuk pemerintahan perwakilan dengan adanya jaminan kebebasan dan kekuasaan pada rakyat.43 Kesimpulannya, bahwa zaman yang sudah berkembang pada era modern ini tidak memungkinkan untuk menjalankan demokrasi secara langsung, dan memaksa untuk bertransformasi dalam bentuk demokrasi perwakilan. Dalam bukunya yang berjudul Democracy and The Global System, Fabian Biarcardi mengatakan bahwa untuk pertama kalinya demokrasi perwakilan menjadi sebuah bentuk pemerintahan yang begitu dominan untuk didistribusikan ke seluruh negara pada sistem global 37 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 700 38 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 44 39 Ibid, p. 69 40 Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, S. H, M. H, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), cetakan pertama, p. 17 41 Ibid 42 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2),....,p. 701 43 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy, (New York, Routledge, 1994), p. 247
  • 7. 7 sekarang ini.44 Selain karena wilayah negara yang semakin luas, hal ini disebabkan karena adanya gerakan revolusi pada era memasuki abad modern. Sebagai contoh adalah berhasilnya revolusi kaum proletar, dan juga berakhirnya komunis yang diprakarsai oleh Lenin dan Bolsheviks.45 David Held menjelaskan bahwa pada zaman modern ini, demokrasi perwakilan menjadi begitu penting karena demokrasi perwakilan menjanjikan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan yang memberi mandat pemerintahan, yaitu rakyat. Selain itu, demokrasi perwakilan liberal juga tidak menjadi ancaman bagi masyarakat sipil ekonomi, karena akan menciptakan pasar modal yang memisahkan ekonomi dari politik.46 Lyman Tower Sargent juga menyatakan bahwa dalam demokrasi perwakilan, melalui asas persamaan, berarti bahwa rakyat yang berhak memilih wakilnya, juga berhak untuk dipilih sebagai wakil rakyat.47 Dengan begitu, demokrasi perwakilan bisa menjadi sistem pemerintahan yang menyeimbangkan antara kedaulatan rakyat dengan kekuasaan pemerintah. Namun tidak semua tokoh Barat menyetujui adanya sistem perwakilan ini. Seperti halnya Rousseau yang menyatakan bahwa sistem perwakilan hanya akan menimbulkan sifat apatis bagi rakyat karena hanya akan menyerahkan segala urusan politik kepada pemerintah, sedangkan ia tidak peduli dan malas untuk ikut berpartisipasi dalam politik. Selain itu, sistem ini juga akan menjadikan wakil rakyat yang duduk di parlemen mengorientasikan tugasnya hanya kepada uang, karena pemerintah itu dibayar. 48 Fenomena apatis rakyat ini juga dinyatakan oleh Borchert dalam encyclopedianya bahwa tidak semua rakyat dalam demokrasi merasa bahwa dirinyalah pemegang kedaulatan. Kebanyakan dari mereka apatis atau tidak mau tahu mengenai hal tersebut.49 Selain Rousseau, Karl Marx juga tidak setuju dengan adanya sistem perwakilan. Ia menyatakan bahwa sistem perwakilan yang diajukan kaum liberal adalah alat untuk mempertahankan kekuasaan kaum borjuis, dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.50 Artinya, bahwa sistem perwakilan sebagai bentuk kedaulatan rakyat yang kemudian didelegasikan kepada wakil rakyat tidak sepenuhnya mendapatkan persetujuan dari semua kalangan. Kalangan yang kurang setuju mendasarkan adanya aspek materialistis yang akan diadopsi oleh para wakil rakyat, sehingga kedaulatan yang mereka peroleh tidak dijalankan dengan baik. Maka dari itu mereka menginginkan adanya pemerintahan langsung dari rakyat. Namun dalam kondisi negara yang begitu besar dengan permasalahan yang begitu kompleks, tidak memungkinkan adanya pemerintahan langsung oleh masyarakat, sehingga pemerintahan akan tetap dipegang oleh beberapa orang yang dipercaya bisa mewakili rakyat. Problem Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi Konsep dasar dari kedaulatan rakyat perwakilan dalam demokrasi adalah rakyat tidak mampu dalam melaksanakan pemerintahan secara langsung, dan mengharuskan untuk dilaksanakannya demokrasi tidak langsung. Demokrasi inilah yang kemudian dikonkretkan dalam bentuk badan perwakilan rakyat.51 Rakyat menyalurkan partisipasinya dalam bentuk mengikuti 44 Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System, a Contribution to The Critique of Liberal Internationalism, (New York, Palgrave Mcmillan, 2003), p. 10 45 Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System,........, p. 9-10 46 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global......., p. 82-83 47 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 48 48 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 73 49 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 701 50 Ernest Mandel, Tesis-Tesis Pokok Marxisme, (Yogyakarta, Resist Book, 2006) 51 Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, S. H, M. H, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,........, p. 18
  • 8. 8 organisasi-organisasi politik, atau menghadiri dan berpartisipasi dalam dengar pendapat publik atau rapat-rapat politik lain, bahkan memberikan tindakan sederhana untuk membicarakan masalah politik seperti menyampaikan ide pada pejabat politik juga termasuk dalam bentuk partisipasi rakyat dalam politik.52 Partisipasi rakyat ini juga bisa disalurkan dengan cara mengikuti pemilihan umum untuk memilih calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Bahkan pemilu merupakan ciri khas dari setiap negara demokratis.53 Dengan kata lain, meski dalam bentuk perwakilan, rakyat bisa menyalurkan aspirasinya dengan berbagai cara untuk menggunakan hak kedaulatannya, sehingga kedaulatan rakyat tidak terpinggirkan. Dalam demokrasi perwakilan atau demokrasi partisipasi ini kualitas masyarakat dan pemerintah sangat penting. Montesquieu menyatakan bahwa kualifikasi seseorang dalam pemerintahan sangat dibutuhkan dalam menegakkan keadilan.54 Shcumpeter juga menyatakan adanya kualifikasi mengenai adanya kecerdasan dalam diri seseorang yang memegang pemerintahan.55 Asas kebebasan dalam demokrasi kemudian merangsang munculnya kelompok- kelompok elit yang menyatakan dirinya mempunyai kemampuan tersebut. Asumsinya bahwa efisiensi dan ketidakmampuan pemilih untuk menetapkan keputusan yang memadai memaksa mereka untuk menjadi sentral figur mewakili para pemilih tersebut.56 Maka kemudian, seperti yang dipaparkan Peter Bachrach, bahwa pada masa modern ini, demokrasi berubah menjadi sebuah proses di mana para kelompok-kelompok elit menggalang partisipasi para warganegara dalam jumlah yang sebesar-besarnya.57 Fenomena ini kemudian memunculkan adanya, seperti yang disebut Lyman Tower Sargent, dengan kontroversi pluralisme. Dalam masalah ini, masyarakat dilihat sebagai kelompok-kelompok yang bersaing untuk memperebutkan kekuasaan politik.58 Yang jadi permasalahan adalah, selama persaingan ini jujur maka tidak akan timbul dominansi satu kelompok atas yang lain, namun apabila persaingan ini tidak jujur, maka dominasi antar kelompok tidak bisa dihindarkan lagi. Dengan adanya prinsip mayoritas, maka persaingan politik ini mejadikan setiap kelompok berusaha mencari suara sebanyak-banyaknya agar bisa memenangkan kompetisi dan merebut kekuasaan, atau mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintah.59 Maka tidak heran bila Schumpeter menyebut demokrasi ini dengan kompetisi merebut kekuasaan, democracy as a method for the selection of leaders (“Democracy as Competition for Political Leadership”).60 Persaingan seperti ini terkadang memuculkan tindakan yang kurang adil, sehingga telah menyalahi asas kedilan dalam demokrasi. Persaingan antar kelompok ini terlihat pada adanya persaingan antar partai dalam memperebutkan kekuasaan politik. Robert Michels menyatakan bahwa adanya kelompok elit politik menjadikan demokrasi disusupi oleh adanya unsur-unsur aristokrasi.61 Lanjutnya, unsur-unsur aristokrasi dalam selubung demokrasi ini terkadang mengelabuhi rakyat dari bentuk sebenarnya dari tindak oligarki partai-partai tersebut.62 Donal M. Borchert pun sependapat dengan ini. Menurutnya, bahwa sebuah sistem politik tidak lepas dari adanya organisasi dalam pengaturan pemerintahannya, dan oleh karena itu, setiap organisasi tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan tertentu dari 52 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 44 53 Diane Revitch dan Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik dan Modern, pent. Hermoyo, jdl asli: The Democracy Reader: Classic and Modern Speeches, Essays, Poems, Declaration, and Document on Freedom and Humand Rights Worlwidei, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005), edsi 2, p. xiii 54 Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws,...., p. 650 55 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 205 56 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 46 57 Peter Bachrach, The Theory of Democratic Elitism: A Critique, (Boston, Little Brown & Co, 1967), p. 109 58 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 47 59 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 269 60 Ibid, p. xix 61 Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, dalam Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, ed. Dr Ichlasul Amal, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2012), p. 39 62 Ibid, 40
  • 9. 9 orang-orang yang berada dalam organisasi tersebut, sehingga sangat memungkinkan sekali terjadinya bentuk oligarki dalam demokrasi.63 Hal ini terlihat di mana partisipasi rakyat cenderung hanya terwujud dalam pemilihan umum. Selain itu, sistem pemilihan umum yang mencakup daerah yang begitu luas membutuhkan pembiayaan yang besar,64 sehingga pada kondisi seperti ini, partai-partai yang besar dan memiliki dana yang mencukupi persainganlah yang mampu keluar sebagai pemenang dalam kompetisi ini. Oleh karena itu, pada masalah ini Rousseau menyatakan bahwa demokrasi hanya cocok untuk negara kecil lagi miskin.65 Maka tidak heran bila seorang calon wakil rakyat juga harus mempunyai dana yang besar agar mampu duduk di parlemen dan memegang kekuasaan. Unsur kapitalisme inilah yang mendistorsi asas persamaan dalam demokrasi, karena hanya yang mempunyai dana yang besarlah yang bisa masuk dalam parlemen. Kemudian adanya praktik black campaign atau kampanye hitam menjadikan persaingan politik menjadi tidak sehat. Pada praktik ini, setiap kelompok politik melancarkan serangan kepada lawan politiknya dengan cara menyebarkan isu mengenai kekurangan dan keburukan lawan politiknya agar menjatuhkan image di masyarakat sehingga dengan begitu rakyat memalingkan pilihannya dan menjatuhkan pilihannya kepada yang lain.66 Tujuannya adalah untuk mengurangi suara pemilih dalam pemilu. Selain itu adanya praktik penggelapan suara dalam suatu wilayah pemilihan juga kerap mewarnai kondisi pemilihan umum. Sebagai contoh, pada pemilihan presiden pada tahun 2000 di Amerika. Ketika itu, George W Bush memenangi pemilu dan berhasil menjadi presiden. Namun ternyata kemenangan tersebut diwarnai dengan kecurangan yang berbentuk penghilangan suara. Dilaporkan bahwa lawan politik Bush ketika itu, yaitu Albert Gore kehilangan 22.000 suara di Florida. Kehilangan suara ini disebabkan adanya praktik penghapusan hak pilih warga yang kemudian dikarenakan statusnya sebagai kriminal. Namun anehnya bahwa yang terdaftar tersebut adalah hampir seluruhnya warga kulit hitam dan warga hispanic. Hal ini menjadi kecurigaan bahwa kemenangan Bush ini tidak terlepas dari manipulasi suara yang dilakukan oleh timnya.67 Kemudian, kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini terwakili dalam lembaga legislatif dari konsep trias politika Montesquieu.68 Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa wakil rakyat yang duduk di parlemen sebagai anggota badan legislatif ini dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem pemilu dengan asas prinsip suara mayoritas. Badan legislatif ini menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang. Dan undang-undang ini yang nantinya akan dilaksanakan oleh badan eksekutif.69 Maka, keputusan-keputusan yang diambil oleh badan legislatif ini harus sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat. Maka dari itu, seperti yang dinyatakan oleh Lyman Tower Sargent, 63 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 702 64 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 54 65 Ibid. Fabian Biarcardi juga menyebutkan bahwa demokrasi pada era global ini sangat membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Lih: Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System, ......., p. 39 66 Epriatni EP, Etika dalam Pemasaran Politik, dalam Jurnal Forum, Majalah Pengembangan Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, vol: 39, no: 1, Februaru 2011, p. 2 67 Greg Palast, The Best Democracy Money Can Buy, p. 8-9 68 Trias Politica adalah teori pembagian kekuasaan yang dicetuskan oleh Montesquieu, seorang pemikir politik dari Perancis. Ia membagi kekuasaan dalam sebuah pemerintahan dalam 3 badan kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan Yudikatif. Teori ini sebenarnya sudah pernah dicetuskan oleh Jihn Locke, namun perbedaannya adalah kekuasaan Yudikatif dari Montesquieu ini, dalam konsep John Locke adalah kekuasaan Federal. Alasan yang melandasi pembagian ini adalah bahwa bila kekuasan Yudikatif disatukan dalam sebuah badan kekuasaan eksekutif, maka akan cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan. Maka kekuasaan Yudikatif haruslah sendiri yang bertugas mengawasi dan memberikan hukuman kepada kedua kekuasaan yang lain apabila terjad penyalahgunaan kekuasaan. 69 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ........, p. 315-316
  • 10. 10 bahwa para wakil rakyat harus bisa mewakili rakyat atau menjadi sebuah masyarakat kecil dari kemajemukan kepentingan dalam diri para pemilih, di mana kepentingan itu merupakan hal yang terpenting bagi para pemilihnya.70 Partisipasi rakyat yang telah tersalurkan akan menjadi bahan bagi badan perwakilan rakyat dalam menentukan kebijakan dalam rapat parlemen. Dengan ini dewan perwakilan rakyat mempunyai fungsi sebagai perancang dan pembentuk undang-undang. Undang-undang yang telah terbentuk merupakan bentuk kekuasaan wakil rakyat dalam mengatur rakyat, oleh karena itu, seharusnya semua keputusan wakil rakyat sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat. Dalam mekanisme keputusannya, lembaga legislatif ini juga menggunakan prinsip suara mayoritas dengan cara voting. Artinya, prinsip mayoritas ini sudah menjadi pedoman dalam menentukan keputusan- keputusan dalam demokrasi.71 Tapi, seperti yang disebutkan oleh Hendra Nurtjahjo sebelumnya, bahwa dalam prinsip mayoritas di demokrasi parlemen ini tidak ada pedoman yang tegas, sehingga semua keputusannya didasarkan pada pedoman yang relatif. Jack Lively juga meragukan tentang sistem voting bisa menjamin terwujudnya persamaan politik di antara warganegara. Menurutnya, hal ini karena persamaan politik sangat bergantung pada persamaan pada bidan-bidang lain, yaitu sumber daya sosial yang dapat mempengaruhi perumusan kebijakan publik.72 Artinya ada faktor lain yang harus dipenuhi agar prinsip mayoritas bisa dijadikan mekanisme yang ideal dalam pengambilan keputusan publik. Selain itu, sangat jarang sekali ditemukan wakil yang merupakan agen independen dan terbebas dari kepentingan kelompoknya. Pada praktisnya sebagian besar wakil menjadi agen bagi para pemilihnya pada saat atau pada hal-hal tertentu yang itu bisa membuatnya terpilih kembali sebagai wakil rakyat dalam parlemen.73 Kasus seperti ini juga dinyatakan oleh Goenawan Muhammad, dengan mengatakan bahwa Indonesia telah memasuki era di mana para pemilih (rakyat) mencemooh bahkan mencurigai pemimpin politiknya. Hal ini menurutnya dikarenakan maraknya tindak korupsi dari para anggota DPR dan Partai yang tidak mempunyai tujuan yang jelas dan hanya menginginkan kursi dalam parlemen.74 Ini menandakan bahwa para wakil rakyat ini tidak mampu untuk memegang komitmennya sebagai wakil rakyat, yang harusnya mewakili rakyat. Kenyataan yang lain, seperti yang diutarakan oleh Schumpeter bahwa adanya hubungan bisnis di antara pemerintah sehingga pemerintah ini diatur oleh pemilik bisnis, “Our failure teaches us one thing however. Beyond “direct” democracy lies an infinite wealth of possible forms in which the “people” may partake in the business of ruling or influence or control those who actually do the ruling”.75 Jika diartikan secara bebas, bahwa kegagalan demokrasi ini, juga dikarenakan adanya hubungan bisnis yang terjadi diantara para penguasa yang dikarenakan keinginan kepada kekayaan, sehingga bisnis tersebut bisa mempengaruhi bahkan mengendalikan orang-orang yang berkuasa tersebut. Contoh dari kasus ini terjadi di Jepang. Seperti yang dinyatakan oleh Joji Watanuki bahwa partai LDP yang mempunyai pengaruh besar di parlemen menerima sejumlah uang dari sebuah 70 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,..p. 68 71 Peter Jones, Politik dalam Perspektif Pemikiran, Filsafat, dan Teori, dalam: Persamaan Politik dan Kekuasaan Mayoritas, ed: David Miller, Larry Siedentop, pent: Fakhruddin R. Lubis dkk, (Jakarta, CV. Rajawali, 1986), p. 255 72 Muslim Mufti Darojatun, Hj. Didah Durrotun Naafisah, M. Ag, Teori-Teori Demokrasi,........, p. 154 73 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,..p. 65 74 R. William Liddle, Demokrasi dan Kekecewaan, dalam Bagian Kedua: Tanggapan, (Jakarta, Democracy Project, 2011) edisi digital, p. 14 75 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 247
  • 11. 11 perusahaan. Tujuannya adalah agar partai LDP ini dapat membantu mereka dalam negosiasi di parlemen agar bisnis perusahaan tersebut bisa lancar.76 Akhirnya, dari beberapa penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam teori kedaulatan rakyat demokrasi ini mengandung beberapa kekurangan dan kelemahan yang darinya masih terdapat celah untuk bisa terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Kelemahan yang pertama adalah bahwa dalam demokrasi, kedaulatan rakyat dipahami sebaga sebuah pedoman yang absolut, bahwa semua kebijakan ukurannya adalah rakyat atau manusia dengan prinsip mayoritas. Hal ini menjadikan demokrasi bersifat Anthroposentris yang kemudian juga sekular. Akibatnya adalah tidak ada pedoman yang pasti pada praktik demokrasi dalam menentukan kebijakan publik. Hal ini telah diperingatkan oleh Rousseau bahwa peran agama dalam keutuhan negara sangatlah penting, karena agama akan memperkuat negara. Bahkan ia memuji nabi Muhammad dan beberapa khalifah, sebab menurutnya dalam sistem pemerintahan mereka sangat bagus karena terdapat perpaduan kehidupan ruhaniah dan kehidupan duniawiyah yang mampu memperkuat sendi negara.77 Hal ini juga disadari Benjamin Franklin yang menjadikan agama sebagai alat politik untuk menyatukan rakyat Amerika, meski ia juga menjadikannya hanya sekedar alat untuk memobilisasi rakyat Amerika agar patuh pada perintahnya dengan mencetuskan teori public religion, yaitu agama publik.78 Namun paling tidak ia menyadari bahwa peran agama sangat krusial untuk menyatukan masyarakat dan sikap loyal kepada pemerintahan. Yang kedua adalah, demokrasi dalam menentukan wakil rakyatnya, tidak terdapat kualifikasi yang proporsional sehingga mereka layak untuk menjadi wakil rakyat. Terbukti tidak adanya kualifikasi moral dan penguasaan ilmu pengetahuan yang mumpuni dalam persyaratan calon anggota legislatif,79 sehingga terjadi beberapa keputusan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat dan juga adanya kecenderungan hanya pada orientasi kekuasaan saja dan materi. Plato juga telah memberikan kritiknya pada masalah ini dengan menyatakan bahwa “if the purpose of the polis is to make people good, democracy will fall short, because in a democracy the road to political power – and so the ability to gratify – one‟s own desires – depends on the favor of the mob”,80 artinya bahwa bila tujuan dari polis (masyarakat) adalah untuk membuat rakyat menjadi baik, maka demokrasi akan gagal, karena jalan menuju kekuasaan politik dan juga dalam rangka untuk memuaskan dirinya sendiri bagi para penguasa adalah dengan mengumpulkan dukungan masa sebanyak-banyaknya. Maka dari itu dalam demokrasi menurutnya orang-orang yang pandai berbicara atau pandai pidato mengambil kesempatan untuk mengelabuhi masyarakat yang telah dibutakan nafsunya sehingga tidak mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, dengan mengambil dukungan mereka agar bisa berkuasa.81 76 Joji Watanuki, The Crisis of Democracy, (United Stated of America, New York University Press, 1975), p. 180 77 “Mahomet held very sane views, and linked his political system well together; and, as long as the form of his government continued under the caliphs who succeeded him, that government was indeed one, and so far good”, Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 105 78 Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakrta, Perspektif, 2007), cetakan ketiga, p. 58-59 79 Contohnya: di Indonesia, dalam UU No. 8/2012, BAB VII, Bagian Kesatu, Pasal 51 tersurat Balon (Bakal Calon) calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi 16 persyaratan. Pada syarat no 5, tingkat akademis calon legislatif minimal hanya lulusan tingkat SMA sederajat. Kemudian di Amerika, untuk menjadi anggota House of Representatives dalam Konstitusi AS Peltason 2004, 25 pasal 1(2) disebutkan syaratnya hanyalah minimal umur 25, kemudian warga tetap salah satu negara bagian di Amerika. 80 George Klosko, History of Political Theory an Introduction, volume I, .........., p. 91 81 “because people are blinded by their appetites, they are not able to perceive their true interest. And so the rethor takes advantage of them by appealing to their appetites”, Ibid, p. 90
  • 12. 12 Yang ketiga, berkaitan dengan dua hal di atas, adalah faktor kapitalisme yang sudah sangat merebak dan bahkan menjadi ciri dari demokrasi, bahwa sistem demokrasi mengadopsi sistem kapitalisme dalam ekonominya. Hal ini diutarakan oleh Schumpeter yang menyatakan bahwa “tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kebangkitan demokrasi tidak bisa dilepaskan dari paham kapitalisme, baik kapitalisme klasik maupun modern.82 Hal ini juga dinyatakan oleh Fabian Biarcardi, bahkan ia menambahkan bahwa perkembangan demokrasi yang dibarengi dengan kapitalisme ini disebabkan karena tidak sebanding dengan perkembangan moral dan budaya.83 Sebagai akibatnya, kata Schumpeter, pembedaan kelas dalam masyarakat tidak lagi hanya berdasar pada status kebangsawanan atau keagamaan, melainkan juga status ekonomi.84 Dari situ, mulai muncul golongan-golongan yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Mereka perlahan mulai menguasai kelas-kelas masyarakat yang ada di bawahnya. Bila demikian, maka kapitalisme akan menjadikan masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas, maka kalau begitu, kritikan Karl Marx dalam demokrasi perwakilan tepat karena dengan ini demokrasi perwakilan hanya dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan kaum borjuis. Dengan adanya beberapa pendapat yang menyatakan ini, bisa difahami bahwa pemahaman kedaulatan rakyat dalam demokrasi Barat ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaki agar bisa menjadi model pemerintahan yang benar-benar membawa kepada kesejahteraan rakyat yang sebenarnya. Lalu apakah Islam memiliki sistem perpolitikan? Dan bagaimana sistem perpolitikan Islam memberikan solusi terhadap maslah ini? Konsep Politik Islam Tidak diragukan lagi bahwa politik sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Tanpa adanya politik setiap manusia akan menjadi mangsa manusia yang lain. Kebebasan manusia akan sangat berbahaya karena tidak terbatas, yang akhirnya akan membahayakan manusia yang lain. Imam Al Ghozali mengatakan bahwa bila kehidupan manusia kosong dari politik atau kekuasaan, maka kekacauan akan terjadi. Industri akan macet, kantor-kantor kosong dan manusia akan kacau hingga perebutan kekuasaan akan terjadi, yang berakibat pada kehancuran.85 Maka dari itu beliau juga menambahkan bahwa tanpa adanya kekuasaan atau politik, suatu peradaban tidak akan berkembang, bahkan tidak akan muncul. Dr. Dhiyauddin Rais menggolongkan masalah mendirikan institusi pemerintahan merupakan fardhu kifayah.86 Maksudnya adalah, berdirinya institusi pemerintahan merupakan sebuah kewajiban, namun kewajiban tersebut hanya dibutuhkan kepada sebagian orang saja dan tidak membebani umat secara keseluruhan. Namun bila tidak ada yang mengerjakan, maka seluruh umat atau masyarakat mendapatkan dosa. Artinya, urgensi adanya pemerintahan atau politik adalah untuk mencegah adanya kekacauan dalam kehidupan manusia, dan mengatur kehidupan tersebut agar menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Tujuan untuk mengatur kehidupan manusia ini sejalan dengan ajaran Islam, sehingga dalam Islam terdapat konsep mengenai politik. Dalam ajaran Islam, terdapat konsep yang lengkap dan sempurna. Kesempurnaan ajaran Islam meliputi segala macam segi kehidupan, dan termasuk di dalamnya adalah perihal mengenai politik. Dalam bukunya yang berjudul Fiqhu ad Daulah fi al Islam, Dr. Yusuf Qordhowi menyebutkan bahwa Islam mempunyai hubungan erat dengan politik. 82 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 126 83 Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System,........, p. 6, 53 84 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 125 85 Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518), p. 197 86 Dr. M. Dhiauddin Rais, an Nazhariyyatu as Siyasatul-Islamiyyah, (Kairo, Maktabatu Dar- Turats), cetakan ketujuh, p. 129
  • 13. 13 Jika Islam tidak memiliki konsep perpolitkan, maka Islam sama saja dengan agama yang lain, seperti Budha atau Kristen, atau agama yang lain.87 Hal ini dikarenakan Islam bukan hanya sekedar agama, namun merupakan sekumpulan ajaran yang berisi aturan-aturan umum tentang kehidupan, serta karena umat muslim merupakan masyarakat politis dengan adanya seruan untuk menyeru kepada „amar ma‟ruf nahi munkar.88 Dr. Dhiyauddin Rais juga menyebutkan bukti keterkaitan antar Islam dengan politik, dengan menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang dibangun Rasulullah di Madinah merupakan bukti nyata kesuksesan perpolitikan Islam.89 Karena kesempurnaan ajaran Islam ini, maka Islam juga mempunyai konsep mengenai perpolitikan. Kata politik dalam bahasa Arab sering dinyatakan dengan kata siyasah ( ),90 seperti yang disebutkan oleh Dr Muhammad Kurdi dalam pernyataannya mengenai pentingnya politik atau siyasah bagi manusia: .91 Dalam kamus Munjid, kata siyasah berasal dari kata saasa ( ), yang berarti sebuah istilah mengenai seni dalam hukum, yang berkaitan dengan manajemen atau pengaturan negara.92 Sedangkan kata saasa sendiri berarti memerintah, to govern.93 Dalam kamus Lisanul „Arab berarti memerintah atas sesuatu yang membawa kepada kebaikan.94 Sehingga bisa diartikan bahwa siyasah merupakan seni atau ilmu yang menjelaskan bagaimana pengaturan sebuah pemerintahan negara yang bertujuan membawanya kepada yang baik. Definisi politik dalam Islam sebenarnya tidak jauh berbeda diantara para ulama. Imam al Ghazali menyatakan bahwa politik atau as Siyaasah adalah sebuah pembicaraan mengenai kemaslahatan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan kekuasaan, yang bersumber dari al Qur‟an dan sunnah para nabi-nabi dan rasul.95 Tujuan dari politik ini adalah membimbing manusia kepada jalan yang lurus dan membuatnya selamat di dunia dan akhirat.96 Al Farabi pun hampir sama dengan mengatakan bahwa politik merupakan sebuah bentuk masyarakat yang berusaha menuju kebahagiaan yang ia formulasikan dalam bentuk teori al Madinah al Fadhillah.97 Dalam teorinya ini al Farabi bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan.98 Dari dua pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa politik dalam Islam adalah sebuah bentuk pemerintahan yang bertujuan 87 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam, Makanatuha, Ma‟alimuha, Thobi‟atuha, Mauqi‟uha min ad Dimuqrathiyyah wa at Ta‟addudiyyah, wa al Mar‟ah wa Ghoiri al Muslimiin, (Kairo, Dar Syuruq, 1997), cetakan pertama, p. 89 88 Ibid, p.90-91 89 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, diterjemakan dari buku “an Nazhariyyat as Siyasiyyah al Islamiyyah” pent. Abdul Hayyie al Kattani dkk. (Jakarta, Gema Insano Press, 2001) p. 7 90 Istilah lain yang juga dipakai diantaranya, daulah, shultooniyyah, khilafah dan lain sebagainya. 91 Dr. Muhammd Kurdi Ali, Aqwaluna wa Af‟aluna, (Kairo, 1946), p. 244 92 Munjid fi al Lughoh, (Beirut, Dar al Masyriq, 1977) cetakan ke dua puluh tujuh, bab siin dalam siin wawu siin . p. 362 93 Dr. Rohi Baalbaki, Kamus al Mawrid, Qamus „Arabi-English, (Beirut-Libanon, Dar al „Ilmi Lil Malayin, 1990), cetakan ketujuh, p. 617 94 Teks aslinya , Muhammad Ibnu Mukrim Ibnu Mandzur al Afriqy al Mishry, Lisanul „Arab, juz 6, bab siin wawu siin, (Beirut, Daru Shodir), p. 107 95 Abu Hamid al Ghazali, al Munqidz min adh Dholaal, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo, Percetakan Hasan), p. 124 96 Ibid 97 Abu Nashr al Farabi, Kitab as Siyaasah al Madaniyyah: al Mulaqqob bi Mabadi‟ al Maujuudaat, tahqiq Dr. Fauzi Matri Najar, (Beirut, Dar Syarq, 1993), cetakan kedua, p. 72-73 98 Al-Farabi, as-Siyasah al-Madaniyah, ta‟liq Dr. Ali Bumajim, (Beirut-Libanon, Dar wa Maktabah al-Hilal, 1995), p. 86
  • 14. 14 untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat dengan berlandaskan al Qur‟an dan sunnah para nabi terdahulu. Kedaulatan Rakyat dalam Islam Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa antara Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Imam Ghozali dalam bukunya al Iqtishaad fi al I‟tiqaad menyebutkan bahwa agama dan kekuasaan (politik) merupakan saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya, maka setiap pondasi yang tidak mempunyai penjaga akan hilang, begitu juga segala hal yang tidak mempunyai penjaga maka akan mengalami kehancuran.99 Senada dengan Imam Ghozali, Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa menyelenggarakan perpolitikan merupakan kewajiban yang utama dalam agama, bahkan beliau menambahkan bahwa tegaknya agama tergantung tegaknya perpolitikan.100 Ibnu Kholdun dalam Muqoddimah-nya juga menyatakan, bahwa politik (khilafah) sangat penting bagi manusia dan seluruh makhluk hidup sebagai tempat perlindungan dari adanya perselisihan, serta membawa seluruh makhluk hidup menuju kebahagiaan di akhirat, dengan menjadikan syari‟at sebagai panduan dalam beribadah dan bermuamalah.101 Sehingga, bisa dikatakan bahwa dalam Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan perpolitikan dan urusan agama, bahkan keduanya saling terkait dan saling menjaga. Inilah yang menjadi ciri pertama dalam perpolitikan Islam, yang menjadikan ajaran agama sebagai pondasi berdirinya pemerintahan dalam Islam. Dari penjelasan di atas, satu hal yang pasti dalam pemerintahan Islam bahwa pondasi dari bangunan perpolitikannya adalah agama. Dalam hal ini, Allah SWT sebagai Sang Pemegang kedaulatan tertinggi. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa, dengan menjadikan Allah sebagai Penguasa Tertinggi, maka kesatuan misi akan terwujud. Sikap tunduk kepada Sang Penguasa Tunggal pun akan menjadikan manusia terbebas dari sikap tunduk kepada sesuatu yang lain,102 yang belum tentu berkuasa atas manusia. Ismail Raji al Faruqi pun menambahkan, dengan kesatuan aqidah ini juga akan membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan dari sesama manusia dan bersatu dalam mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, sehingga segala macam bentuk perbuatan dan keputusan yang terselenggara dalam masyarakat merupakan cerminan sikap tunduk dan ta‟at kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.103 Hal ini juga disampaikan oleh Abul A‟la al Maududi dengan mengatakan bahwa jika kepercayaan kepada Allah SWT hilang, maka tuhan-tuhan palsu akan mengambil tempat-Nya dalam pemikiran dan kelakuan rakyat.104 Dengan kata lain, dalam sistem perpolitikan Islam, kekuasaan tertinggi dan kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga segala macam hukum syari‟at yang datang dari-Nya harus dijadikan landasan dalam perpolitikan. Selain itu, aspek penghambaan diri kepada Allah menyeru kepada rakyat untuk bersatu dan menjauhi perpecahan. 99 Abu Hamid al Ghozali, al Iqtishaad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518), p. 197 100 Teks aslinya: , lih: Taqiyuddin Abu al „Abbas Ahmad Ibn Taimiyyah, as Siyaasah as Syar‟iyyah Fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar Raa‟iyyah, tahqiq: Lajnatu Ihnya‟ at Turats al „Arabi fi Dar al Afaq al Jadidah, (Beirut, Dar al Afaq al Jadidah, 1983) cetakan pertama, p. 138 101 Abdurrahman Ibn Kholdun, Miqoddimatu Ibn Kholdun, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al „Ilmiyyah, 2003), cetakan kedelapan, p. 150 102 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan dari al „Adaalh al Ijtimaa‟iyyah fil Islam, pent. Afif Mohammad, (Bandung, Pustaka, 1984), p. 49-50 103 Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988), p. 147 104 S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari Pholitical Theory of Islam, pent: Salahuddin Abdullah Abbad, (Bandung, P.T al Ma‟arif) p. 8-15
  • 15. 15 Namun bukan berarti bahwa politik Islam adalah berbentuk theokrasi seperti yang terjadi di Barat. Dalam bentuk ini, kedaulatan Tuhan dianggap diwakilkan kepada para pejabat gereja, sehingga segala keputusan gereja adalah keputusan Tuhan, dan rakyat wajib untuk menta‟atinya tanpa ada kompromi. Dengan begini kedaulatan yang dipegang Paus atau pejabat gereja adalah absolut karena dianggap berasal dari Tuhan.105 Dr Yusuf Qardhawi menyatakan penolakannya bila politik Islam dianggap semisal dengan bentuk theokrasi ala Barat. Beliau menyatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan Madani atau sistem pemerintahan yang berperadaban dengan menjadikan hukum Islam sebagai landasannya. Dijalankan atas dasar perjanjian (bai‟ah) dan musyawarah (syura), dan para pemimpinnya dipilih dari yang paling kuat dan dapat dipercaya, serta berilmu. Dalam Islam tidak dikenal adanya kekuasaan para pemuka agama, karena dalam agama Islam, setiap orang merupakan orang yang bertanggung jawab atas agamanya.106 S. Abul A‟la al Maududi juga menyatakan bahwa kekhalifahan Tuhan bukanlah hak asasi istimewa individu, klan, atau kelompok orang manapun, namun hak kolektif bagi semua yang mengakui kedaulatan Allah SWT.107 Kedudukan rakyat dalam perpolitikan Islam adalah hanya menikmati hak Kekhalifahan Tuhan Yang Esa. Pada taraf inilah al Maududi menyatakan adanya sisi kedaulatan rakyat dalam Islam. Ia membedakan antara demokrasi sebagai sebuah filsafat dengan demokrasi sebagai sebuah organisasi.108 Perbedaannya dengan demokrasi ala Barat adalah bahwa dalam Islam, kekhalifahan manusia ini ditetapkan untuk dibatasi oleh batasan-batasan yang telah digariskan oleh Hukum Ilahi.109 Dengan kata lain, kedaulatan manusia hanyalah sekadar Ijtihadi. Kedaulatan Allah SWT dalam politik sangat absolut dan tidak bisa diganggu gugat. Namun kedaulatan Allah ini terdapat pada masalah „aqidah, seperti ke-Esaan Allah, kemudian Rububiyyah Allah, dengan artian bahwa manusia sebagai masyarakat politis tidak boleh membuat hukum di luar ketentuan-keteentuan yang telah Allah gariskan dalam al Qur‟an dan yang telah dijelaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya.110 Yusuf Qardhawi mengutip penjelasan Imam al Ghazali bahwa dalam bukunya yang berjudul al Musthofa fi „Ilmi Ushul beliau menyatakan, mengenai masalah kedaulatan atau yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT, laa hukmu illa lillah,111 dan tidak ada yang berhak membuat hukum meskipun Rasul ataupun tuan atau siapapun dari makhluk- Nya berhak menggantikan kedaulatan Allah.112 Namun untuk masalah detil tentang pemerintahan dan juga bentuk pemerintahan Islam, Dr Dhiyauddin Rais menjelaskan bahwa Islam memberikan wewenang kepada umat untuk mengkaji dan berfikir sebagai wujud hak berijtihad dalam masalah- masalah keduniaan.113 Beliau juga menyatakan bahwa Islam tidak mewariskan sebuah bentuk pemerintahan yang siap pakai seperti halnya dalam bidang „aqidah yang sudah paten dan tidak boleh dirubah, inilah salah satu keistimewaan Islam dari agama-agama lain.114 Mengenai yang berhak membuat hukum adalah Allah, semua cendekiawan muslim tidak ada yang membantahnya. Sebagai seorang muslim hukumnya wajib dalam mentaati hukum yang berasal dari Allah dan sunnah Rasul-Nya. Namun bukan berarti Islam tidak memberikan wewenang 105 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000),p. 123 106 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 30 107 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, diterjemahkan dari The Islamic Law and Constitution, pent: Drs. Asep Hikmat, (Bandung, Mizan, 1998), cetakan keenam, p. 243 108 S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......, p. 25 109 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 243 110 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 64 111 Q. S. Yusuf: 40 112 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 61-62 113 Dr. M. Dhiauddin Rais, an Nazhariyyatu as Siyasatul-Islamiyyah, (Kairo, Maktabatu Dar- Turats), cetakan ketujuh, p. 32 114 Ibid, p. 33
  • 16. 16 kepada umat untuk melakukan legislasi hukum sendiri. Al Maududi menjelaskan bahwa dalam hal mentaati hukum Allah adalah wajib. Namun ada beberapa hal yang itu bisa menjadi wilayah manusia untuk melakukan legislasi hukum. Di wilayah inilah Islam memberikan hak kedaulatan kepada manusia atau rakyat. Wilayah tersebut meliputi mencari hakikat dan isi hukum syari‟at, menjelaskan syarat-syarat dalam mempraktekkan hukum tersebut.115 Kemudian memahami prinsip- prinsip dasar dalam hukum tersebut, pada masalah ini al Maududi menyadari bahwa dengan memahami prinsip-prinsip tersebut syari‟at bisa disesuaikan dengan perubahan zaman tanpa harus meninggalkan esensi dasar hukum tersebut.116 Artinya, manusia dalam beberapa hal, mendapatkan wewenang untuk membuat hukum sendiri asal tidak keluar dari garis-garis besar dalam syari‟at. Kedaulatan Rakyat Perwakilan dalam Islam Seperti yang disebutkan oleh al Farabi mengenai konsepnya tentang al madinah al fadhilah, bahwa konsep kepemimpinan merupakan hal yang pertama untuk diketahui. Ibnu Taimiyyah dalam bukunya as Siyaasah asy Syar‟iyyah menyatakan bahwa kepemimpinan adalah wajib dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau menjelaskan bahwa dengan sebuah kepemimpinan (imarah), pendekatan diri kepada Allah dengan menta‟ati-Nya dan juga menta‟ati Rasul-Nya merupakan bentuk pendekatan diri yang paling utama.117 Imam al Ghazali juga menambahkan bahwa keteraturan agama dalam hal ini syari‟at, tidak akan tercapai kecuali dengan adanya pemimpin yang layak untuk dita‟ati. Maka dari itu, pengangkatan seseorang menjadi wajib untuk kepentingan agama.118 Maka tugas penguasa pun tidak lepas dari penegakkan agama. Seperti yang dinyatakan al Mawardi bahwa imamah adalah sebuah permasalahan mengenai pengganti Rasul dalam mengawal agama dan mengatur dunia.119 Kemudian, siapakah yang layak menjadi pemimpin?. Imam al Ghazali menjelaskan bahwa seorang pemimpin adalah yang mempunyai kelebihan di antara yang lainnya. Kelebihan tersebut merupakan kelebihan pribadinya, seperti memiliki kemapuan dalam mengatur masyarakat dan lainnya, kemudian juga kemampuan membawa mereka kepada hal yang benar. Dan itu semua dibarengi dengan kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan rakyatnya, berilmu dan juga berakhlak mulia.120 Dr. Dhiyauddin Rais juga menjelaskan mengenai syarat-syarat kepemimpinan. Pertama, berilmu, yaitu kemampuan untuk melakukan ijtihad. Kemampuan ini diperlukan untuk mengetahui mengenai hukum-hukum Islam, khususnya tentang halal dan haram. Kedua, ialah megetahui ilmu politik dan administrasinya serta ilmu perang. Dalam hal ini al Mawardi menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mengetahui politik kepemimpinan dan mampu mengurusi kemaslahatan negara.121 Ketiga, kondisi jiwa yang baik, seperti keberanian, kecekatan, kemudian kesehatan jasmani yang baik. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kesehatan jasmani yang baik mempengaruhi kesempurnaan tugas seorang pemimpin.122 115 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 95 116 Ibid, p. 95-96 117 Ahmad Ibn „Abdil Halim Ibn Taimiyyah al Hirani, as Siyaasah asy Syar‟iyyah fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar Raa‟iyyah, (Beirut, Darul Ma‟rifah), p. 217 118 Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad,......., p. 197 119 Teks aslinya adalah: , Abi al Hasan ibn Muhammad ibn Habib al Bishri al baghdadi al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah wa al Wilayat ad Diiniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al „Ilmiyyah, 450 H), p. 5 120 Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad,......., p. 199 121 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 5 122 Abdurrahman Ibn Kholdun, Miqoddimatu Ibn Kholdun,......., p. 161
  • 17. 17 Kemudian yang keempat, berlaku adil dan berakhlaq mulia. Al Mawardi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan berakhlaq mulia adalah perkataannya dapat dipercaya, kemudian menjauhi perbuatan dosa, menghindari perbuatan yang memunculkan keraguan, selalu mencari keridhaan Allah SWT dan dapat dijadikan contoh dalam beragama dan kehidupan dunia yang baik.123 Kelima, memiliki kualifikasi pemimpin yang penuh. Yang dimaksud dengan kualifikiasi tersebut adalah beragama Islam, seorang laki-laki dan berakal.124 Al Maududi juga sependapat dengan syarat kelima tersebut dengan menambahkan bahwa seorang pemimpin harus merupakan warga dari negara Islam.125 Sehingga bisa disimpulkan bahwa syarat-syarat seorang pemimpin dalam Islam tidak hanya memenuhi syarat keilmuan saja, melainkan juga kualitas akhlaq dan keimanan, karena tugas seorang pemimpin juga termasuk di dalamnya menegakkan syari‟at Allah SWT. Selain adanya seorang pemimpin, dalam teori politik Islam dikenal adanya ahlu halli wa al „aqdi. Para sejarawan muslim kebanyakan menyandarkan pengertian mereka mengenai ahlu halli wa al „aqdi ini dengan peristiwa pertemuan Tsaqifah. Yaitu pertemuan kaum Anshar setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar as Shiddiq r.a sebagai khalifah.126 Prof. H. A. Djazuli menjelaskan bahwa pertemuan ini mengindikasikan bahwa dalam teori politik Islam mengenal yang namanya sistem perwakilan.127 Dalam tafsir al Manar, Rasyid Ridha mengatakan bahwa dalam kalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan di dalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu menyelesaikan masalah-masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah-masalah kemasyarakatan dan politik. Itulah yang disebut dengan ahlu syuro atau ahl al hall wa al „aqdi di dalam Islam.128 Dr. Dhiyauddin Rais mengatakan bahwa ahl al hall wa al „aqdi adalah istilah yang dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.129 Dalam istilah al Mawardi adalah ahl al ikhtiyaar atau orang-orang yang memiliki kulifikasi untuk memilih.130 Al Maududi mendefinisikan ahl hall wa al „aqdi ini sebagai lembaga legislatif. Beliau menjelaskan bahwa dalam al Qur‟an S. Al Ahzab: 36, dikatakan jika Allah dan Rasul-Nya telah memberikan peraturan dalam suatu masalah, tak seorang muslim pun yang berhak untuk memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri. kemudian bahwa sudah jelas tidak ada yang boleh membuat hukum selain hukum Allah, maka dengan demikian tugas dari lembaga legislatif ini adalah membuat hukum-hukum yang sesuai dengan hukum Allah SWT.131 Yang termasuk dalam ahl al hall wa al „aqdi ini, seperti yang dikutip oleh Dr. J. Suyuthi Pulungan, M. A dari Rasyid Ridha dalam tafsir al Manaar, mereka adalah para pemuka masyarakat, fuqaha‟, para ulama, para pemimipin militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik, para pemimpin perusahaan, para pemimpin partai politik, dan juga para tokoh wartawan.132 Namun tidak semua orang-orang tersebut mampu untuk menjadi bagian dari ahl al hall wa al „aqdi. Ada beberapa syarat untuk bisa menjadi bagian dari lembaga ini. Al Mawardi menyatakan 123 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah, ...., p. 62 124 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 232-237 125 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 267 126 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 10-14 127 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari‟ah, (Jakarta, Prenada Media, 2003), edisi revisi, cetakan pertama, p. 116 128 Rasyid Ridha, Tafsir al Manaar, juz 3, (Mesir-al Azhar, Maktabah al Qaahirah, 1960), cetakan keempat, p. 11 129 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 176 130 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 6 131 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ..........., p. 247 132 Dr. J. Suyuthi Pulungan , M. A, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999), cetakan keempat, p. 69
  • 18. 18 ada 3 syarat yang harus dipenuhi seseorang yang akan menjadi ahl hall wa al „aqdi. Pertama, berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan, kedua, berpengetahuan ilmu, khususunya mengetahui kriteria pemimpin yang berhak untuk dipilih, ketiga, memiliki wawasan dan kearifan, yang juga dengannya mampu untuk menentukan siapa yang paling berhak untuk menjadi pemimpin.133 Dari beberapa penjelasan di atas maka sekaligus bisa disimpulkan beberapa fungsi dari ahl hall wa al „aqdi adalah, pertama, mereka yang berhak untuk menentukan dan mem-bai‟at pemimpin. Yang kedua, sebagai lembaga legislatif, mereka mempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat kepada seluruh ummat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh al Qur‟an dan Hadits sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat syari‟ah. Ketiga adalah tempat konsultasi pemimpin di dalam menentukan kebijaksanaannya.134 Sehingga di sini jelas, bahwa kedudukan ahl hall wa al „aqdi sangat penting sekali dalam pemerintahan Islam. Selain sebagai wakil rakyat dalam membuat undang-undang, mereka juga memiliki tugas untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan pemimpin. Mekanisme Pemerintahan Islam Mengenai pengangkatan pemimpin, terdapat beberapa pendapat. Al Baqillani menyatakan bahwa pemimpin dipilih melalui pemilihan, lebih khusus lagi beliau menjelaskan pemilihan tersbut dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi.135 Prof. H. A. Djazuli menambahkan bahwa pengangkatan pemimpin juga bisa dilaksanakan dengan cara penunjukan atau penyerahan kekuasaan dari pemimpin sebelumnya.136 Pendapat ini juga dinyatakan oleh al Mawardi bahwa pengangkatan seorang imam bisa melalui salah satu dari kedua cara tersebut.137 Namun al Maududi menyatakan bahwa pengangkatan kepala negara melalui pemilihan umum dari kaum muslimin yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah al Qur‟an.138 Mekanisme pemilihan umum ini juga disepakati Dr. Yusuf Qardhawi, dengan memisalkan pemilihan umum dengan kesaksian rakyat terhadap pemimpin.139 Bila dikumpulkan beberapa pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa dalam Islam pengangkatan pemimpin tidak memiliki sistem yang baku, namun meski demikian, kualifikasi pemimpin harus sesuai dengan apa yang telah disebutkan di atas dan telah melalui persetujuan ahl hall wa al „aqdi. Dan setelah terpilih, kemudian dilakukan bai‟at atau sumpah yang pertama-tama dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi, baru setelah itu masyarakat secara keseluruhan.140 Dalam tugasnya, termasuk pemimpin dan ahl hall wa al „aqdi, mereka melakukan mekanisme syuro atau musyawarah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem politik Islam dibangun di atas mekanisme bai‟ah dan syuro. Dr. Taufiq Asy Syawi menjelaskan bahwa secara umum syuro mencakup segala macam musyawarah dan tukar pendapat. Dalam mekanisme tukar pendapat ini terjadi adanya dialog dengan setiap orang yang mukallaf dan termasuk di dalam syuro mendapatkan kebebasan dalam berpendapat dan juga membantah pendapat orang lain. Setiap orang 133 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 6 134 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari‟ah,......, p. 118 135 Dikutip dari: Dr. J. Suyuthi Pulungan, M. A, Fiqih Siyasah, ......, p. 242 136 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari‟ah,......, p. 105 137 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 7 138 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ..........., p. 247 139 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Daulah fi al Islam,......., p. 138 140 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari‟ah,......, p. 105. Pendapat lain menyatakan bahwa bai‟at hanya cukup dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi, seperti yang diutarakan al Mawardi. Lih: al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 7-8
  • 19. 19 ini termasuk dalam jama‟ah yang merupakan pertanggung jawaban yang diambil dari solidaritas seluruh individu dalam masyarakat. Sehingga setiap ketetapan yang ditentukan dalam jama‟ah harus merupakan bukti dari kehendak jumhurul jama‟ah atau segenap individunya. Dalam mekanisme ini, prinsip mayoritas tidak menjadi prinsip yang mutlak, tapi yang menjadi pedoman adalah syari‟at Allah yang dianggap sebagai syari‟at fitrah manusia.141 Pentingnya Musyawarah dalam sebuah negara adalah sebagai media yang sehat untuk menghasilkan pendapat dan pemecahan masalah yang paling baik, guna merealisasikan maslahat-masalahat individu, jama‟ah dan negara.142 Musyawarah ini telah dicontohkan Rasulullah dalam pemerintahannya. Dalam bukunya mengenai politik syar‟i, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang paling banyak melakukan musyawarah adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut, beliau mengutip sebuah riwayat bahwa Allah SWT telah menyuruh Rasul-Nya untuk melakukan musyawarah dengan para sahabatnya untuk menyatukan hati mereka dan sebagai contoh bagi generasi selanjutnya. Tujuan musyawarah adalah agar mereka saling bertukar pikiran mengenai hal-hal yang belum secara jelas terdapat dalam wahyu. Dan dari berbagai macam pendapat tersebut yang paling mendekati hukum yang terdapat dalam al Qur‟an dan Hadits, maka pendapat itulah yang dijadikan ketetapan untuk menjadi sebuah hukum atau undang-undang.143 Ibnu Kholdun menjelaskan dalam Muqoddimah-nya bahwa diantara para sahabat banyak terdapat perselisihan pendapat mengenai masalah agama yang memang perlu dilakukan ijtihad, seperti masalah kepemimpinan Mua‟wiyah dan Ali. Seperti halnya juga mengenai pengganti Utsman r.a sebagai kholifah, hingga para sahabat melakukan musyawarah (syuro) dan ditetapkannya Ali r.a sebagai pengganti Utsman.144 Dari penjelasan ini, maka jelas bahwa pemerintahan dalam Islam tidak boleh terlepas dari mekanisme syuro atau musyawarah di antara pemuka atau wakil masyarakat yang dalam hal ini disebut ahl hall wa al „aqdi atau seperti yang dipermisalkan al Maududi sebagai lembaga legislatif. Nilai – Nilai Utama dalam Politik Islam Mekanisme pemerintahan dalam Islam, seperti yang telah dijelaskna di awal bahwa semuanya berlandaskan pada keilmuan dan kemampuan setiap komponen dalam merealisasikan kedaulatan Allah sehingga tercapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Maka, al Farabi menegaskan bahwa barang siapa yang tidak mempunyai kemampuan dalam merealisasikan kesejahteraan ini, tidak layak untuk menjadi bagian dari sistem pemerintahan Islam, apalagi sebagai pemimpin dalam pemerintahan.145 Menurutnya, bagi yang tidak mempunyai kemampuan tersebut ia harus mencari seorang guru atau mursyid yang mengajarinya kemampuan tersebut, karena apabila ia tidak memiliki kemampuan tersebut, selamanya ia hanya akan jadi seorang rakyat jelata yang tidak berpengetahuan. Jika kondisinya seperti ini, maka dalam teorinya, masyarakat tersebut sudah berada dalam kondisi al madiinah al jaahilah atau sebuah komunitas bodoh di mana semua penduduknya tidak mengetahui hakikat kebahagiaan, sehingga yang terjadi adalah kesengsaraan 141 Dr. Taufiq as Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cetakan pertama, p. 15- 17 142 Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam, judl asli an Nizahmu as Siyasi fi al Islam, pent: Hery Noer Aly dan Agus Hilmi, (Yogyakarta, Bidang Penerbit PLP2M, 1987), p. 98 143 Ahmad Ibn „Abdil Halim Ibn Taimiyyah al Hirani, as Siyaasah asy Syar‟iyyah fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar Raa‟iyyah,..........., p. 213 144 Abdurrahman Ibnu Kholdun, Muqoddimatu Ibni Kholdun, ......., p. 287 145 Teks aslinya: , Abu Nashr al Faarabi, Kitabu as Siyaasah al Madaniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Masyriq, 1993), cetakan kedua, p. 78
  • 20. 20 dan kehancuran.146 Hal ini seperti yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari, bahwa Rasulullah memeperingatkan kehancuran suatu kaum adalah karena hilangnya amanat, dan hilangnya amanat adalah karena menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya: Dalam pemahaman teori politik Islam telah disebutkan pula bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Kemudian, selain karena manusia adalah makhluk sosial, mereka juga hidup untuk menuju sebuah kebahagiaan. Maka dari itu, manusia membutuhkan pertolongan dari sesama manusia yang lain.148 Dalam hal ini Allah telah menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya penciptaan.149 Kemudian Allah telah memberikan manusia akal untuk membedakannya dengan makhluk lain dan juga untuk membedakannya antara yang baik dan yang buruk, karena dalam kehidupannya manusia harus mencerminkan semua sifat Allah seperti adil, jujur, menjauhkan diri dari hal yang buruk secara syar‟i.150 Dan Allah telah menunjukan jalan yang baik dan benar untuk merealisasikan kehidupan baik bagi manusia. Manusia bebas untuk memlih jalan tersebut atau berpaling yang tentu ada akibatnya. Dan yang bisa menentukan hal tersebut adalah akhlaq atau moral.151 Maka dari itu, politik Islam adalah sebuah konsep politik yang sangat mengutamakan akhlaq dalam pemerintahannya. Nilai-nilai moral inilah yang dijadikan pedoman dalam sistem perpolitikan Islam. Dalam risalahnya pun Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa misinya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, “innama bu‟itstu liutammima makarima al akhlaq”. Maka nilai moral inilah yang menjadi pedoman untuk menjadikan politik sebagai maslahat bagi rakyat, dan mewujudkan rasa gotong royong karena adanya persatuan, sehingga Dr. Dhiyauddin Rais menyatakan bahwa etika atau moral berpolitik ini disebut sebagai intinya berpolitik,152 yang menjadi pembimbing atau guide bagi para pelaksana pemerintahan dalam berpolitik. Dan nilai-nilai etika atau moral ini sudah dijelaskan dalam al Qur‟an maupun Hadits. Kalimat politik atau siyaasah dalam al Qur‟an memang tidak disebutkan, namun bukan berarti dalam al Qur‟an tidak menyinggung masalah-masalah yang berkaitan dengan politik. sebagaimana Kalimat „aqidah dalam al Qur‟an pun tidak ada, namun bukan berarti ajaran mengenai „aqidah juga tidak ada. Dalam al Qur‟an telah disebutkan nilai-nilai yang seharusnya terdapat dalam sistem perpolitikan. Dalam al Qur‟an surat an Nisa‟ ayat 58-59 Allah SWT berfirman: 146 Ibid 147 Abu Abdillah Muhammad Ibnu Isma‟il Ibnu Ibrahim Ibnu al Mughiroh al Ja‟fi al Bukhori, Shahih al Bukhori, bab fadhlul‟ilmi, juz 1, hadits no 59, muhaqqiq: Muhammad Zuhair an Nashir Nashir, (Dar an Nuthqi an Najaah, 1422), p. 63 148 Muchtar Lintang, Kuliah Islam Tenang Etika dan Keadilan Sosial, seri 1, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), p. 8 149 Q. S. At Tiin: 4 150 Ahmad Muslim, Esensi al Qur‟an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, (Bandung, Mizan, 1984), cetakan pertama, p. 39 151 Ibid, p. 40 152 Dr. Dhiyauddin Rais, an Nazhariyyat as Siyaasiyyah al Islaamiyyah,........, p. 308
  • 21. 21 Mengenai kedua ayat di atas, dalam tafsir al Wasith li az Zuhaili dijelaskan bahwa untuk menjaga hak-hak manusia dan menjaga kebebasan dalam kehidupannya serta menjaga kehormatan jiwa setiap manusia, Islam telah mengatur aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap manusia. Aturan-aturan tersebut adalah menjalankan amanat, menegakkan keadilan, mentaati Allah SWT dan mematuhi Rasul-Nya SAW dan juga mematuhi pemimpin-pemimpin dalam urusan agama dan politik.153 Setiap individu dari umat muslim diharuskan untuk melaksanakan dan menunaikan amanat yang telah dberikan kepadanya. Amanat ini bisa berbentuk kewajiban kepada Allah SWT atau kewajiban kepada sesama manusia. Perbuatan ataupun perkataan, dan juga bisa berbentuk ilmu, harta dan lain sebagainya yang termasuk dalam amanat yang harus ditunaikan dan dilaksanakan. Dan dalam menegakkan hukum haruslah dibangun atas dasar kebenaran dan keadilan, karena sesungguhnya Allah SWT menegakkan hukum dan kerajaan-Nya juga atas dasar kedua hal tersebut, dan juga karena apabila hukum tidak dibangun atas dasar kebenaran dan keadilan dan dilaksanakan oleh tangan orang yang tidak tepat dan zholim, maka akan mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat.154 Mengenai ayat yang pertama, at Thabari menjelaskan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada siapa pun yang mengemban tugas sebagai pemimpin umat untuk selalu menunaikan amanat dengan sebaik-baiknya dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya hingga ia tidak mengkhianati amanat yang telah diberikan rakyatnya kepadanya. Kemudian juga jangan sampai para pemimpin tersebut mengambil sesuatu yang bukan miliknya, kecuali yang sudah diizinkan untuk mengambilnya.155 Kesimpulannya dari ayat ini adalah bahwa Islam telah merumuskan aturan-aturan dalam mengatur pemerintahan kehidupan manusia di dunia ini dengan tujuan menjaga hak dan kehidupan mereka dari kesengsaraan dan kehancuran. Yaitu dengan membangun pemerintahan di atas dasar amanah, keadilan, ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul- Nya dan juga kepada Ulil Amri atau kepala pemerintahan rakyat, serta menjadikan hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya sebagai pedoman dalam menyelesaikan perselisihan antara manusia. Tiga nilai pertama inilah yang harus diperhatikan dalam pemerintahan Islam. Nilai yang keempat adalah adanya persamaan di depan hukum. Al Maududi telah menjelaskan dalam hal kedaulatan Allah, bahwa manusia semuanya memiliki hak kekhilafahan dalam dirinya untuk melaksanakan syari‟at Allah dalam kehidupan. Maka tidak ada keistimweaan dalam diri seseorang individu meskipun ia adalah seorang raja atau pemimpin, karena pada hakikatnya Allah telah menyatakan dalam firmannya bahwa semua manusia adalah sama derajatnya, dan menjadikan ia istimewa adalah taqwanya kepada Allah.156 Masalah ini juga pernah ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadits yang Bukhori dari „Aisyah r.a: “.......telah binasa orang- orang sebelum kalian karena apabila ada orang terhormat mencuri mereka membiarkannya, dan 153 Dr. Wahbah Ibn Mushtofa az Zuhaili, at Tafsir al Wasiith li az Zuhaili, juz 1, (Damaskus, Darul Fikr, 1422), cetakan pertama, p. 334 154 Dr. Sayyid Tanthowi, at Tafsir al Wasiith li al Qur‟an al Kariim, Surat an Nisa‟, juz 3, (Kairo, Dar al Ma‟arif, 1119), p. 188-189 155 Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath Thabari, Jaami‟ul Bayaan „An Ta‟wiili al Qur‟an, juz 5, (Mesir, Syirkatu Maktabati wa Mathba‟ati Mushtofa al Baabi al Jalii wa Aulaaduhu, 1968), cetakan ketiga, p. 146 156 Q. S. Al Hujuraat: 13
  • 22. 22 apabila orang yang lemah mencuri mereka jatuhkan atasnya hukum had. Demi Allah, andaikan Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya”.157 Inilah gambaran persamaan hukum dalam Islam. Kelima adalah pengelolaan harta negara yang baik. Dalam al Qur‟an dijelaskan dalam surat al Hasyr ayat 7, yang artinya adalah “supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu”. Ar Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata “duulatun” dalam ayat ini juga bermakan harta yang harus diperedarkan kepada para faqir miskin agar mereka juga bisa hidup dengannya secara sejahtera dengan adanya pertolongan lewat para orang-orang kaya tersebut.158 Artinya pemberdayaan manusia dalam sebuah negara harus berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraannya, hingga tidak ada tindak eksploitasi manusia dengan upah yang tidak sepadan dengan jasanya, seperti yang terjadi dalam rumusan kapitalisme. Ibnu Kholdun memperingatkan hal ini sebagai sebuah bentuk kezaliman yang besar. Ia menyatakan bahwa: “dan diantara kezaliman yang terbesar dan yang paling merusak pembangunan adalah kerja paksa dan eksploitasi rakyat secara tidak benar, karena berkerja termasuk jasa yang harus mendapatkan penghargaan yang sesuai”.159 Beliau juga menjelaskan dalam bukunya Muqoddimah bahwa “Kezaliman dan pengrusakan pembangunan serta negara yang paling terbesar dari itu semua adalah mencampuradukkan keuangan negara dan kepentingan pribadi: pembelian barang yang dilakukan oleh penguasa dan kalangannya dengan harga paling murah, sementara ketika ditawarkan pada masyarakat dengan harga cukup tinggi, dengan paksaan dalam jual belinya”.160 Dengan ini sangat jelas bahwa dalam Islam tidak ada ajaran yang membolehkan praktik kapitalisme dengan berbagai macam bentuknya. Nilai prinsip yang keenam adalah musyawarah atau syuro. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa musyawarah sangat penting dalam mekanisme pemerintahan dalam politik Islam. Dasar perintah syuro adalah ayat al Qur‟an dalam surat al Syuro ayat 38, dan surat Ali „Imron ayat 159. Dr Dhiyauddin Rais menjelaskan bahwa dalam surat asy Syura ayat 36-38 dijelaskan bahwa salah satu sifat orang mukmin adalah musyawarah. Dalam ayat tersebut beliau mengatakan bahwa perintah bermusyawarah disebutkan setelah perintah mendirikan sholat. Ini berarti menerangkan akan pentingnya musyawarah bagi orang mukmin.161 Dr. Taufiq asy Syawi pun menjelaskan salah satu pentingnya syuro atau musyawarah adalah sebagai bimbingan dan pemuliaan bagi seluruh rakyat. Alasannya adalah dalam musyawarah, syari‟at Islam harus dijadikan pedoman, dan karena kesempurnaan syari‟at Islam, sudah sewajarnya itu merupakan hak istimewa bagi seluruh umat muslim untuk menta‟atinya. Oleh karena itu beliau menambahkan bahwa Islam mewajibkan syuro dalam segala segi kehidupan sosial. Kewajiban itu tidak hanya pada pemilihan pemimpin dan urusan-urusan politik semata, melainkan juga dalam hal ekonomi, keuangan, kebudayaan dan lainnya.162 Maka, sangat jelas urgensi atau pentingnya musyawarah bagi politik Islam khususnya dan bagi kehidupan sosial manusia umumnya. Nilai yang ketujuh dan yang paling penting adalah menjadikan hukum Allah sebagai pedoman dalam berpolitik. Dalam tafsir al Maraghi disebutkan bahwa kaum muslimiin wajib untuk berpegang teguh dengan al Qur‟an di setiap urusan mereka. Menjadikan al Qur‟an sebagai landasan 157 Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn Mughirah al Bukhori, al Jaami‟u as Shahih, hasba tarqiimi fathu al Baari, juz 4,kitab bad‟i al wahyi, hadits no3475, (Kairo, Dar Syu‟ub, 1987) cetakan pertama, p. 213 158 Imam Muhammad ar Raazi Fakhruddin Ibn al „Allamah Dhiyauddin, Tafsir fakhru ar Razi, jilid 15, (Beirut-Libanon, Darul Fikr, 1985), cetakan ketiga, p. 286-287 159 Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam, ......., p. 270 160 Teks aslinya : , lihat: Abdurrahman Ibnu Kholdun, Muqoddimatu Ibnu Kholdun, ......., p. 392 161 Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam, ........, p. 274 162 Dr. Taufiq as Syawi, Syuro Bukan Demokrasi,........., p. 28-31
  • 23. 23 dalam menghukumi di antara manusia secara adil.163 Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat an Nisa‟ ayat 105: Artinya bahwa, hendaknya manusia menjadikan al Qur‟an sebagai pedoman dalam menegakkan hukum di antara manusia dan janganlah manusia menjadi yang mengingkari dan menghianatinya.164 Ath Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa nabi Muhammad SAW telah diperintahkan Allah SWT untuk selalu berpegang teguh kepada al Qur‟an dalam menghukumi di antara manusia. Dan jangalah menjadikan orang-orang yang memusuhi orang yang memusuhi muslim hingga nabi SAW menolak memberikan apa yang menjadi hak mereka.165 Artinya, dalam berpegang teguh dengan al Qur‟an ini harus dibarengi dengan sifat ramah dan adil pada rakyat atau umat. Seperi yang telah dijelaskan dalam penjelasan-penjelasan sebelumnya, khususnya penjelasan dari al Maududi bahwa sebagai manusia tidak boleh membuat hukum di luar dari yang telah digariskan Allah dalam al Qur‟an. Beliau juga mengajukan sebuah istilah dengan mengganti popular sovereignty (kedaulatan rakyat) dengan popular vicegerency (kekhalifahan manusia/ rakyat).166 Yang maksudnya adalah bahwa dalam kedaulatannya sebagai manusia, mereka hanya menikmati hak ke-khilafahan tersebut tanpa melanggar batas-batas syari‟at Allah yang telah dijelaskan dalam al Qur‟an. Nilai yang kedelapan adalah tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Keimanan dan ketaqwaan seorang pemimpin sangat menentukan sikap tanggung jawabnya kepada Allah maupun kepada rakyatnya. Maka dari itu kriteria pemimpin haruslah betul-betul orang yang beriman kepada Allah dan taqwa kepada-Nya senantiasa menegakkan hukum-Nya. Seperti yang telah Allah firmankan dalam surat an Nuur ayat 55: Al Maududi menjelaskan bahwa ayat tersebut menyatakan mengenai kekuasaan untuk memerintah di dunia telah dijanjikan bagi orang-orang yang beriman, dan tidak dinyatakan bahwa seorang atau suatu golongan kelas tertentu di antara mereka akan diangkat kepada kedudukan tersebut. Karena hanyalah orang-orang yang telah menguatkan hukum Allah di dunia lah yang sepatutnya dinyatakan bahwa mereka harus dihormati sebagai wakil-wakil dari kekuasaan tertinggi.167 Maka artinya bahwa hak kekuasaan bukanlah hak istimewa golongan tertentu, namun hanya bagi orang yang beriman dan bertaqwa saja. Kedelapan nilai inilah yang harus menjadi jiwa dalam praktik perpolitikan Islam. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak menyebutkan secara detil mengenai bentuk pemerintahan Islam. Artinya bahwa, teori pemerintahan apapun yang dianggap paling baik dalam membawa manusia menuju kesejateraan bisa dilaksanakan, dengan catatan bahwa sistem itu harus mengandung nilai-nilai politik Islam, dan sejalan degan jiwa syari‟at Islam. 163 Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz 4, (Beirut, Dar Ihya‟ at Turats al „Arabi), p. 148 164 Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz 4,.....,p. 148 165 Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath Thabari, Jaami‟u al Bayaan „an Ta‟wili Aayi Qur‟an,....., p. 264-265 166 S. Abu A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......., p. 40 167 Ibid, p. 39-40
  • 24. 24 Islam dan Demokrasi Kemudian bila dibandingkan dengan sistem demokrasi yang sekarang sangat banyak diadopsi oleh beberapa negara di dunia, bahkan hampir semua negara, bisa terlihat ada beberapa persamaan antara sistem perpolitikan Islam dengan demokrasi, meski juga ada banyak perbedaan yang sangat fundamental di antara keduanya. Secara umum bisa dilihat bahwa mengenai persamaan antara keduanya ada beberapa hal yang sejalan, seperti adanya kebebasan dalam pemilihan umum, adanya badan legislatif dalam membuat undang-undang meski ada perbedaan yang mendasar mengenai mekanisme dan dasar dalam pembuatan undang-undang. Kemudian persamaan di depan hukum dan lain sebagainya. Namun ada banyak perbedaan antara keduanya hingga al Maududi mengajukan sebuah istilah baru yaitu “theo-demokrasi”, sebuah istilah yang menyatakan bahwa ke- demokrasi-an dalam Islam didasarkan pada kedaulatan akan hukum-hukum dari Allah SWT.168 Dr. Yusuf Qardhawi mengutip pernyataan Dr. Taufiq as Syawi dalam sebuah artikel yang beliau tulis pada sebuah majalah yang terbit di Kairo tanggal 11/9/1986. Dalam artikel tersebut Dr. Taufiq as Syawi menyatakan keunggulan sistem politik Islam di atas sistem demokrasi. Dalam pernyataannya itu beliau menyatakan keunggulan Islam atas demokrasi dalam dua hal. Pertama, bahwa Islam merupakan sebuah sistem yang mempunyai undang-undang paling modern yang lebih dulu ada dibanding demokrasi lebih dari seribu tahun. Kedua, bahwa apa yang telah dinyatakan Islam dalam hal politik telah begitu sempurna dan belum ada yang mampu menandingi kesempurnaan tersebut meski pada zaman modern sekarang ini termasuk demokrasi, dan bahkan meskipun seribu tahun yang akan datang.169 Dr. Yusuf Qardhawi pun menyatakan bahwa perbedaan pertama dan yang paling medasar dan disepakati para fuqaha‟ adalah mengenai dasar konstitusi antara Islam dan demokrasi. Dalam Islam, dasar konstitusinya jelas, yaitu syari‟at Islam. Syari‟at mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem perpolitikan Islam, dan dengannya didasarkan segala hukum-hukum baru, sehingga kedudukan syari‟at dalam politik Islam tidak boleh diganti ataupun dirubah. Sedangkan dalam demokrasi tidak ada batas kriteria hukum yang bisa dijadikan pedoman dalam pembuatan keputusan hukum.170 Dr. Dhiyauddin Rais menambahkan bahwa adanya konsep ijma‟ yang merupakan salah satu keistimewaan syari‟at Islam, dan yang hanya diakui oleh Islam, memberikan tempat khusus bagi umat dan aspirasinya dalam sistem Islam, dan lebih tinggi daripada apa yang mungkin dapat dicapai dalam sistem demokrasi manapun.171 Imam al Ghazali juga menyatakan bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah untuk menegakkan syari‟at Islam di negara sehingga segala hukum darinya berlandaskan syari‟at Islam.172 Kemudian dalam bukunya Imam al Ghazali yang berjudul al Munqidz min adh Dholal, Dr. Abdul Halim Mahmud mengkritisi demokrasi dalam segi persamaan liberal yang menyatakan bahwa semua manusia adalah sama dan mempunyai hak yang sama secara buta. Beliau menyatakan bahwa persamaan tanpa batas seperti yang dinyatakan John Locke ini merupakan mitos belaka, karena secara alami di dunia ini tidak ada persamaan secara bebas, tidak ada pula di hutan, apalagi di antara manusia meski ia di kota atau di desa. Dan menurutnya bahwa Allah tidak menyamakan manusia dari segi warnanya, dari segi kekuatan jasmaninya, dari segi kecerdasan dan kejeniusannya dan rizkinya.173 Maka untuk itu, dalam teori Islam persamaan dalam kedaulatan rakyat tidak 168 S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......., p. 26 169 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh ad Daulah fi al Islam, ......., p. 37 170 Ibid, p. 38 171 Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 308 172 Abu Hamid al Ghazali, at Tibru al Masbuk fi Nasihati al Mulk, (Beirut, Dar Ibnu Zaidun, 1987), cetakan pertama, p. 1-4 173 Abu Hamid al Ghazali, al Munqidz min adh Dholal, tahqiq: Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo, Mathba‟atu Hasan), p. 377-378
  • 25. 25 menjadi pedoman yang sifatnya mutlak seperti yang terdapat dalam demokrasi sekular ala Barat, namun kedaulatan rakyat ini dibatasi dengan batas-batas yang telah digariskan dalam Hukum Allah SWT.174 Kedaulatan rakyat dalam Islam juga mencakup wilayah yang luas secara internasional,175 karena yang dimaksud dengan warganegara Islam adalah seluruh umat Islam yang dipersatukan dalam kesatuan „aqidah yang tidak terbatas pada batas teritorial negara, ras, suku dan lainnya sebagaimana yang terjadi pada demokrasi.176 Selian itu, perbedaan yang paling jelas adalah bahwa dalam demokrasi, kedaulatan rakyat adalah absolut sehingga terjadi pemisahan antara otoritas negara dengan otoritas agama. Dalam Islam tidak seperti itu, seperti yang dijelaskan di awal pembahasan bahwa dalam teori politik Islam menjadikan agama dan negara sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, bahkan saling menjaga antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Dr. Amir Abdul Aziz bahwa dalam demokrasi Barat, rakyatlah yang berperan sebagai pembuat hukum mutlak, sedangkan dalam Islam, hanya Allah lah yang berhak membuat hukum, dan manusia atau rakyat hanya berhak menginterpretasikannya dengan cara-cara yang benar menurut syari‟at.177 Sehingga bisa disimpulkan bahwa kedudukan rakyat ini tidak absolut dalam Islam. Dari beberapa penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa Islam telah mempunyai sistem perpolitikan yang sempurna karena Islam merupakan agama yang berperadaban maju. Antara Islam dan negara tidak ada pemisahan otoritas seperti yang terjadi dalam sejarah perpolitikan Barat. Islam sangat menghargai peran rakyat dalam politik dengan syarat bahwa setiap komponen mempunyai kriteria keilmuan dan pengetahuan akan syari‟at Islam, karena itulah yang menjaga konstitusai negara tidak goyah karena terjadinya penyelewengan kekuasaan. Atas beberapa prinsip dalam sistemnya inilah Islam mempunyai persamaan dengan demokrasi, meskipun mempunyai perbedaan yang sangat mendasar, disebabkan perbedaan dasar konstitusi antara keduanya. Kesimpulan Dari penjelasan di atas, bisa diketahui bahwa pada masa modern sekarang ini demokrasi sudah menjadi sistem pemerintahan yang dianggap baik dan telah diadopsi oleh banyak negara di dunia. Kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dan ciri khas dari demokrasi pun berubah menjadi sistem perwakilan di mana rakyat tidak lagi bisa berpartisipasi secara langsung dalam permusyawaratan publik, namun mereka memilih beberapa orang yang mereka percayai untuk mewakili mereka di pemerintahan guna membicarakan mengenai kebijakan-kebijakan publik yang akan menjadi undang-undang sebagai aturan dan manifestasi dari aspirasi mereka. Meski begitu, ada semacam problem yang paling mendasar dalam demokrasi, yang darinya membuat demokrasi bisa berubah bentuk menjadi sebuah sistem pemerintahan yang kadang berlawanan dengan demokrasi sendiri. Prinsip mayoritas yang menjadi ciri khas bahkan pedoman tunggal dalam demokrasi dianggap sebagai sebuah alat ukur legitimasi yang final. Namun, prinsip mayoritas ini akan sangat ditentukan pada sumber daya sosial yang ada dalam masyarakat. Artinya, kualitas masyarakat dan sumber daya manusia yang menjadi aktor dalam demokrasi ini yang menentukan bagaimana kedaulatan rakyat terselenggara. Jika mayoritas ini tidak dibarengi dengan kualitas yang baik, maka dalam demokrasi cenderung kedaulatan rakyat disalah artikan dan berubah-ubah, sehingga hukum yang dihasilkan juga pasti relatif, atau dengan kata lain pedoman ini 174 Abul A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,........, p. 243 175 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh ad Daulah fi al Islam,......., p. 38 176 Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988), p. 147 177 Dr. Amir Abdul Aziz, Iftira‟aat „ala al Islam wa al Muslimiin, (Palestina, Darussalam, 2002), cetakan pertama, p. 124
  • 26. 26 tidak pasti, tergantung pemenang mayoritas. Sehingga prinsip ini pun tidak bisa selalu mengartikulasikan kesejateraan rakyat seluruhnya. Hal ini berbeda dengan pemahaman kedaulatan rakyat dalam Islam. Dalam Islam, kedaulatan tertinggi hanya pada Allah SWT, sebagai Sang Maha Pencipta semesta. Syari‟at yang telah ditetapkan-Nya dalam al Qur‟an dan yang telah dijelaskan Rasul-Nya dalam Hadits mempunyai kedudukan tinggi dalam tata hukum politik Islam. Adanya dalil yang menyatakan posisi manusia sebagas khalifah atau wakil Allah di Bumi mengindikasikan adanya hak kedaulatan pada manusia untuk melakukan legislasi hukum dalam bentuk Ijtihadi. Artinya dalam kedaulatannya, manusia hanya bisa membuat sebuah hukum yang tidak menyeleweng dari syari‟at Islam, khususnya pada masalah halal dan haram. Singkatnya, bahwa kedaulatan rakyat (manusia) dalam politik Islam, kedudukannya di bawah kedaulatan tertinggi yang hanya milik Allah SWT. Dan sebagai pedomannya syari‟at yang sifatnya tetap dan universal, sehingga konsep politik Islam ini tidak berubah-ubah dan sesuai untuk diselenggarakan di semua tempat dan wilayah. Sehingga dengan ini jelas, bahwa kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini tidak sempurna karena hanya mendasarkan pondasinya pada prinsip mayoritas yang sifatnya relatif. Berbeda dengan politik Islam yang mendasarkan pada ketentuan syari‟at yang sifatnya tetap dan universal, sehingga kedaulatan rakyat dalam politik Islam inilah yang bisa menjamin dalam mendatangkan keadilan bagi rakyat. Dengan syarat kualitas keilmuan dan moral rakyat sudah baik. Wallahu a‟lam bi as showaab. Bibliography Azhar, Muhammad, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996), cetakan pertama Al Farabi, Abu Nashr, Kitab as Siyaasah al Madaniyyah: al Mulaqqob bi Mabadi‟ al Maujuudaat, tahqiq Dr. Fauzi Matri Najar, (Beirut, Dar Syarq, 1993), cetakan kedua Al Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988) Al Ghazali, Abu Hamid, al Iqtishad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518) ___________________, al Munqidz min adh Dholaal, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo, Percetakan Hasan) ___________________, at Tibru al Masbuk fi Nasihati al Mulk, (Beirut, Dar Ibnu Zaidun, 1987), cetakan pertama Al Maududi, Abul A‟la, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari Pholitical Theory of Islam, pent: Salahuddin Abdullah Abbad, (Bandung, P.T al Ma‟arif) ___________________, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, diterjemahkan dari The Islamic Law and Constitution, pent: Drs. Asep Hikmat, (Bandung, Mizan, 1998), cetakan keenam Al Mawardi, Abi al Hasan ibn Muhammad ibn Habib al Bishri al baghdadi, al Ahkam as Shulthaniyyah wa al Wilayat ad Diiniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al „Ilmiyyah, 450 H)