1. Menurut Anda apa dasar berlakunya Hukum Adat dan sebutkan ciri-ciri hukum Adat yang Anda ketahui.
Diskusikan Jawaban Anda dengan teman-teman Anda!
Hukum adat adalah hukum yang berasal dari kebiasaan dan tradisi masyarakat yang diwariskan secara turun-
temurun dari generasi ke generasi, dan menjadi aturan hukum yang mengatur perilaku masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Dasar berlakunya hukum adat adalah adanya kepercayaan masyarakat pada nilai-nilai
dan norma-norma yang telah berlaku dalam suatu komunitas atau wilayah tertentu.
Beberapa ciri-ciri hukum adat antara lain:
1. Bersifat lokal: Hukum adat berlaku dalam lingkup komunitas tertentu, berbeda dari hukum positif yang
bersifat nasional dan diatur oleh negara.
2. Turun temurun: Hukum adat diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan terus berubah
seiring perubahan masyarakat.
3. Fleksibel: Hukum adat bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat, sehingga tidak kaku dan dapat beradaptasi dengan perubahan zaman.
4. Normatif: Hukum adat berisi norma-norma yang mengatur tata cara hidup dan perilaku masyarakat,
termasuk dalam hal adat istiadat, agama, sosial, dan budaya.
5. Dipimpin oleh tokoh adat: Pelaksanaan hukum adat seringkali dipimpin oleh tokoh adat atau pemuka
masyarakat yang diakui oleh komunitas setempat.
6. Sanksi sosial: Sanksi yang diberikan dalam hukum adat bersifat sosial, seperti pengucilan atau pengasingan
dari masyarakat, sehingga lebih mengutamakan pemulihan dan penyelesaian konflik secara kekeluargaan dan
damai.
Namun, perlu diingat bahwa hukum adat juga harus selalu berada dalam bingkai hukum positif atau hukum
nasional, sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar hukum yang berlaku di
Indonesia. Oleh karena itu, dalam penerapan hukum adat, harus tetap memperhatikan dan menghormati hak-
hak asasi manusia serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Menurut Anda apakah selama ini konsumen sudah terlindungi ? Jelaskan jawaban Anda dengan menyebutkan
dasar hukum dan contoh- contoh kasusnya! Lalu diskusikan dengan teman-teman Anda...
Undang-undang perlindungan konsumen telah diterapkan untuk menjaga kepentingan konsumen. Namun,
meskipun ada upaya tersebut, masih banyak tantangan dan masalah yang perlu diatasi. Di Indonesia,
perlindungan konsumen diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang
kemudian direvisi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019. Undang-undang ini menjelaskan hak-hak
konsumen untuk menerima informasi yang jelas, akurat, dan aman tentang produk atau jasa yang mereka
gunakan. Selain itu, undang-undang perlindungan konsumen juga menetapkan kewajiban bagi produsen,
distributor, dan pedagang untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen, seperti memastikan
keamanan produk atau jasa yang mereka tawarkan.
Namun, meskipun ada undang-undang perlindungan konsumen, masih banyak kasus pelanggaran hak
konsumen yang terjadi, seperti penipuan, diskriminasi, harga yang tidak wajar, atau produk yang cacat. Contoh
kasus yang terkenal adalah penjualan susu formula palsu pada tahun 2013, yang menunjukkan kurangnya
pengawasan dari pemerintah dan perlindungan yang lemah bagi konsumen.
Selain itu, ada masalah-masalah yang belum tercakup dalam undang-undang perlindungan konsumen, seperti
privasi data konsumen dan keamanan produk teknologi. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk terus
memperkuat perlindungan konsumen di Indonesia dengan mengatasi masalah-masalah tersebut dan
memastikan bahwa konsumen mendapatkan perlindungan yang memadai.
2. Amir dan Joni bersahabat. Mereka melakukan perjanjian jual beli secara tertulis di bawah tangan Lokasi
penandatanganan perjanjian di Rumah Amir, di Solo. Amir telah bersepakat dengan Joni untuk menjual
mobilnya sebesar Rp 500.000.000,- dengan janji akan diserahkan mobil tersebut setelah Joni melakukan
pembayaran secara transfer ke rekening Amir. Karena Joni percaya dengan Amir maka ditransferlah uang
tersebut. Joni telah menghubungi Amir dan Amir berjanji akan menyerahkan mobilnya keesokan harinya.
Tibalah saatnya sampai dengan satu minggu menunggu Amir tidak juga menyerahkan mobil tersebut kepada
Joni, bahkan Amir sulit dihubungi. Merasa dirinya dirugikan, maka Joni menunjuk kuasa hukum untuk mewakili
dirinya mengajukan somasi terlebih dahulu kepada Amir. Namun somasi diabaikan oleh Amir. Amir tidak juga
melaksanakan kewajibannya, bahkan tidak ada itikad baik dari Amir untuk berdamai. Joni akhirnya
memutuskan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Pertanyaan:
Silahkan Anda analisis asas hukum acara perdata apa saja yang dapat diterapkan pada kasus posisi di atas ? dan
berikan alasannya
Berdasarkan fakta yang disajikan, dapat dianalisis bahwa terdapat permasalahan dalam pelaksanaan perjanjian
jual beli antara Amir dan Joni. Joni sebagai pembeli telah melakukan pembayaran penuh kepada Amir sebagai
penjual, namun Amir tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan mobil yang dijualnya kepada Joni.
Oleh karena itu, Joni mengambil langkah hukum dengan menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya dalam
mengajukan somasi terlebih dahulu kepada Amir. Namun somasi diabaikan oleh Amir dan Joni memutuskan
untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Dalam hal ini, asas hukum acara perdata yang dapat diterapkan pada kasus ini antara lain:
1. Asas kewenangan pengadilan (jurisdiction)
Pertama, asas kewenangan pengadilan (jurisdiction) yang berlaku dalam kasus ini adalah kewenangan absolut
atau yurisdiksi absolut. Kewenangan absolut adalah kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus
suatu perkara secara mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun. Kewenangan absolut ini
didasarkan pada subjek sengketa yang berkaitan dengan wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan. Dalam
hal ini, sengketa yang terjadi antara Amir dan Joni berkaitan dengan jual beli mobil yang dilakukan di Solo. Oleh
karena itu, wilayah hukum pengadilan yang berwenang menangani perkara ini adalah Pengadilan Negeri Solo.
2. Asas pembuktian (burden of proof)
Kedua, asas pembuktian (burden of proof) juga berlaku dalam kasus ini. Menurut asas ini, beban pembuktian
suatu perkara berada pada pihak yang mengajukan gugatan atau menuntut, yaitu Joni sebagai pihak
penggugat. Oleh karena itu, Joni harus membuktikan bahwa ia telah melakukan pembayaran sebesar Rp
500.000.000,- kepada Amir, serta bahwa Amir tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan mobil
yang dijualnya kepada Joni.
3. Asas kepastian hukum (legal certainty)
Asas kepastian hukum (legal certainty) juga berlaku dalam kasus ini. Asas ini menuntut adanya kepastian
hukum dalam setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh individu, termasuk dalam hal pembayaran dan
pelaksanaan perjanjian jual beli. Dalam hal ini, Joni telah melakukan pembayaran penuh kepada Amir dan
menandatangani perjanjian jual beli secara tertulis di bawah tangan. Oleh karena itu, Joni berhak mendapatkan
kepastian hukum bahwa Amir harus menyerahkan mobil yang dijualnya kepada Joni, sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat.
3. Dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan, Joni dapat menggunakan asas-asas hukum acara perdata yang telah
dijelaskan di atas untuk memperkuat argumentasi hukumnya. Hal ini diharapkan dapat membantu Joni dalam
memenangkan perkara.
Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia merupakan hukum formil dalam penegakan hukum pidana,
Hukum Acara Pidana diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
menurut saudara apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana masih relevan
untuk dipergunakan sebagai hukum formil dalam penegakan hukum pidana, kemudian berikan analisa saudara
tentang bagaimana urgensi pembaharuan hukum acara pidana dalam sistem hukum di Indonesia?
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih menjadi dasar dalam
penegakan hukum pidana di Indonesia saat ini. Meskipun telah mengalami beberapa kali perubahan, KUHAP
masih digunakan secara luas oleh aparat penegak hukum, pengacara, dan pihak-pihak terkait dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia.
Namun, dalam perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan hukum masyarakat yang semakin kompleks,
terdapat beberapa urgensi pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia. Beberapa urgensi tersebut antara
lain:
1. Meningkatnya tuntutan efektivitas dan efisiensi dalam penegakan hukum pidana, sehingga perlu adanya
penyempurnaan mekanisme penyidikan dan penuntutan dalam KUHAP.
2. Perlu adanya peningkatan perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana, terutama dalam
hal hak atas akses keadilan dan hak atas perlindungan terhadap tindakan kekerasan atau pelecehan dari pihak
aparat penegak hukum.
3. Perlu adanya peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, pengacara, dan
hakim, sehingga mampu mengimplementasikan ketentuan-ketentuan KUHAP secara tepat dan akurat.
4. Adanya tuntutan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana, terutama dalam hal pencegahan dan
penanggulangan terorisme, korupsi, dan kejahatan transnasional.
Oleh karena itu, perlu adanya pembaharuan hukum acara pidana dalam sistem hukum di Indonesia untuk
memenuhi tuntutan kebutuhan hukum masyarakat yang semakin kompleks. Pembaharuan tersebut dapat
dilakukan melalui revisi atau penggantian KUHAP dengan undang-undang baru yang lebih sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan hukum saat ini.
1. Semakin kuatnya perekonomian suatu negara turut memberikan dampak bagi meningkatnya volume
transaksi bisnis. Sengketa bisnis pun akhirnya menjadi hal yang tidak terelakkan. Menurut saudara, hal-hal
mendasar apakah yang dapat melahirkan suatu sengketa antar pelaku bisnis? Jelaskan jenis sengketa yang
bisa diselesaikan pada lembaga arbitrase, serta dasar hukum berikut contohnya.
2. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) pada dasarnya memiliki kelebihan tersendiri jika dibandingkan
dengan upaya penyelesaian sengketa lewat jalur pengadilan. Pelaku bisnis semakin banyak menyadari
bahwa APS dan Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang efektif. Menurut saudara, faktor-faktor
apa sajakah yang mendukung penyelesaian sengketa melalui APS dan Arbitrase menjadi efektif?
1. Beberapa hal yang dapat melahirkan sengketa antar pelaku bisnis antara lain:
a. Pelanggaran kontrak: Sengketa dapat terjadi apabila salah satu pihak melanggar ketentuan dalam
kontrak yang telah disepakati.
b. Persaingan bisnis: Sengketa dapat terjadi antara dua perusahaan yang bersaing dalam pasar yang
sama, seperti persaingan harga atau peniru produk.
4. c. Kekeliruan dalam penerapan hukum dan regulasi: Sengketa dapat terjadi apabila salah satu pihak
salah menerapkan atau tidak mematuhi peraturan yang berlaku.
d. Perbedaan interpretasi kontrak: Sengketa dapat terjadi apabila terdapat perbedaan pendapat atau
interpretasi antara dua belah pihak mengenai isi kontrak yang telah disepakati.
Untuk menyelesaikan sengketa bisnis, salah satu opsi yang dapat diambil adalah melalui lembaga
arbitrase. Arbitrase adalah suatu cara alternatif penyelesaian sengketa bisnis di mana sengketa tersebut
diselesaikan di luar pengadilan melalui suatu lembaga arbitrase yang biasanya terdiri dari para ahli dan
profesional di bidang hukum dan bisnis.
Jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dapat meliputi sengketa kontrak,
sengketa kepemilikan, sengketa kerja sama usaha, dan sengketa investasi. Dasar hukum penggunaan
lembaga arbitrase biasanya diatur dalam kontrak antara dua belah pihak yang bersengketa, di mana kedua
belah pihak telah menyetujui untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Contoh dari dasar hukum penggunaan lembaga arbitrase adalah Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa sengketa
yang telah disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase, harus diselesaikan melalui arbitrase. Selain itu,
contoh lembaga arbitrase yang terkenal adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan
pada tahun 1977 dan menangani berbagai sengketa bisnis yang terjadi di Indonesia.
2. Beberapa faktor yang mendukung penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
dan Arbitrase menjadi efektif adalah sebagai berikut:
a. Lebih cepat: Penyelesaian sengketa melalui APS dan Arbitrase cenderung lebih cepat
dibandingkan dengan melalui jalur pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui APS dan
Arbitrase biasanya hanya memakan waktu beberapa bulan, sedangkan dalam pengadilan dapat
memakan waktu bertahun-tahun.
b. Lebih murah: Biaya penyelesaian sengketa melalui APS dan Arbitrase cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan melalui pengadilan. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan untuk
penyelesaian sengketa melalui APS dan Arbitrase hanya terbatas pada biaya administrasi dan
honorarium arbiter, sedangkan dalam pengadilan biaya yang dikeluarkan lebih tinggi karena
terdapat berbagai macam biaya lain seperti biaya pengacara, biaya saksi ahli, dan biaya
persidangan.
c. Keputusan yang bersifat final: Keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa melalui
APS dan Arbitrase bersifat final dan mengikat kedua belah pihak, sehingga tidak terdapat ruang
untuk melakukan banding atau kasasi seperti dalam jalur pengadilan.
d. Keahlian arbiter: Arbiter atau mediator yang bertanggung jawab dalam penyelesaian sengketa
melalui APS dan Arbitrase biasanya memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang hukum dan
bisnis, sehingga mereka dapat memberikan solusi yang lebih terkait dengan masalah yang sedang
dihadapi oleh kedua belah pihak.
e. Kerahasiaan: Proses penyelesaian sengketa melalui APS dan Arbitrase bersifat rahasia dan tidak
dipublikasikan, sehingga kedua belah pihak dapat menjaga kerahasiaan informasi dan menjaga
reputasi mereka.
Dengan adanya faktor-faktor tersebut, pelaku bisnis semakin menyadari bahwa penyelesaian sengketa
melalui APS dan Arbitrase merupakan pilihan yang efektif dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang
mungkin terjadi. Oleh karena itu, pelaku bisnis harus mempertimbangkan untuk menyelesaikan sengketa
bisnis melalui APS dan Arbitrase untuk mendapatkan solusi yang lebih cepat, murah, dan efektif.
5. Seperti yang diketahui bersama, pendidikan kewarganegaraan adalah pembelajaran yang selalu diberikan
kepada setiap warga negara Indonesia melalui pendidikan formal, mulai dari pendidikan dasar, menengah,
atas, hingga pendidikan tinggi.
Namun demikian, dalam beberapa kasus, kesadaran warga negara tentang hak dan kewajibannya masih
belum sesuai dengan harapan. Misalnya dalam bentuk masih terjadinya perilaku melanggar hukum
dilakukan oleh warga negara. Pelanggaran peraturan lalu lintas masih sering terjadi. Aksi kejahatan yang
dilakukan oleh anak di bawah umur atau remaja. Perilaku korupsi masih terus berlangsung. Kejahatan
terorisme juga masih ada di negara kita. Menurut pendapat Anda, mengapa hal ini bisa terjadi?
Indikator penilaian :
Kemukakan pendapat Anda dengan mendasarkan pada teori yang terdapat di dalam BMP, serta kaitkan
dengan data yang ada di masyarakat. Tuliskan juga referensi yang Anda gunakan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kesadaran warga negara tentang hak dan kewajiban masih
belum optimal, meskipun mereka telah menerima pendidikan kewarganegaraan. Beberapa faktor tersebut
antara lain:
1. Kurangnya pelaksanaan dan penegakan hukum yang efektif: Bila pelanggaran hukum tidak
ditindak tegas atau hukumannya tidak proporsional, maka masyarakat akan cenderung
meremehkan pentingnya aturan dan hukum. Ini dapat menyebabkan timbulnya perilaku
melanggar hukum.
2. Ketidakadilan dan ketimpangan sosial-ekonomi: Bila masyarakat merasa tidak adil atau
mendapatkan perlakuan yang tidak seimbang dalam hal ekonomi, sosial, atau politik, maka hal ini
dapat menyebabkan rasa tidak percaya terhadap sistem, serta timbulnya perilaku yang melanggar
hukum atau norma sosial.
3. Kurangnya pendidikan dan keterampilan: Bila seseorang kurang mendapatkan pendidikan atau
keterampilan yang memadai, maka hal ini dapat menyebabkan mereka tidak memahami
pentingnya aturan dan hukum, serta tidak memiliki keterampilan untuk mengatasi masalah secara
konstruktif.
4. Pengaruh lingkungan dan kelompok sosial: Bila lingkungan atau kelompok sosial yang seseorang
terlibat di dalamnya tidak menghargai norma-norma sosial atau hukum, maka hal ini dapat
mempengaruhi perilaku mereka dan membuat mereka cenderung melanggar hukum.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius dan terintegrasi dari pemerintah, keluarga, dan
masyarakat untuk meningkatkan kesadaran warga negara tentang hak dan kewajiban, serta mendorong
mereka untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dengan baik. Ini dapat
dilakukan melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang efektif, serta melalui upaya-upaya
penguatan sistem hukum dan pemberantasan korupsi.
Purwanto, N. (2014). Pendidikan kewarganegaraan: Konsep, tujuan, dan implementasi.
Yogyakarta: Gava Media.
Nurhadi, D. (2016). Pendidikan kewarganegaraan: Konsep, problem, dan strategi pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ramdani, A., & Dewi, R. K. (2017). Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan moral:
Perspektif filosofis. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 12(1), 91-108.
Sundari, S. (2019). Pendidikan kewarganegaraan dan pembentukan karakter warga negara yang
demokratis. Cakrawala Pendidikan, 38(3), 435-447.