SlideShare a Scribd company logo
Laporan Kasus
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
KISTA EPIGLOTIS DENGAN EKSISI ENDOSKOPI
Oleh:
dr. Rian Hasni
Pembimbing:
dr. Lisa Apri Yanti, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Kelompok Staf Medik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2020
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
KISTA EPIGLOTIS DENGAN EKSISI ENDOSKOPI
Rian Hasni, Lisa Apri Yanti
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Kelompok Staf Medik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Abstrak
Kista epiglotis merupakan kasus yang jarang dijumpai dan terdiri dari 4,3%
sampai 6% dari semua tumor jinak laring. Kista epiglotis dikenal juga sebagai kista
valekula, kista retensi, kista dasar lidah, kista kongenital dan kista duktus. Pada orang
dewasa, kista yang berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista
berukuran besar dapat menyebabkan disfagia, serak atau obstruksi jalan napas total.
Kista laring yang besar dapat menimbulkan keluhan sensasi benda asing di
tenggorokan, perubahan suara, sulit menelan atau sesak napas. Kista ini berupa
massa kistik unilokular dengan ukuran bervariasi. Predileksi kista epiglotis yang
paling sering terletak di bagian lingual epiglotis. Modalitas yang digunakan untuk
penatalaksanaan kista epiglotis adalah aspirasi, marsupialisasi dan eksisi
perendoskopi. Penyebab kista epiglotis masih belum diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh malformasi embriologi atau obstruksi duktus kelenjar lendir.
Dilaporkan satu kasus kista epiglotis pada seorang laki-laki usia 59 tahun yang
dilakukan tindakan eksisi dengan endoskopi.
Kata kunci: Kista epiglotis, eksisi endoskopi
Abstract
Epiglottic cyst is a rare case and consists of 4.3% to 6% of all benign
laryngeal tumors. Epiglottic cysts are also known as valecular cysts, retention cysts,
tongue base cysts, congenital cysts and duct cysts. In adults, small cysts have no
symptoms, while large cysts can cause dysphagia, hoarseness or total airway
obstruction. Large laryngeal cysts can cause complaints of foreign body sensation
in the throat, dysphonia, difficulty swallowing or shortness of breath. These cysts are
unilocular cystic masses of varying sizes. Predilection of epiglottic cysts most often
located in the lingual epiglottis. The modalities used for the management of
epiglottic cysts are aspiration, marsupialisation and perendoscopic excision. The
cause of epiglottic cysts is still unknown with certainty, thought to be caused by
embryological malformations or obstruction of the mucous ducts. One case was
reported of an epiglottic cyst in a 59-year-old male who performed endoscopic
excision.
Keywords: Epiglottic cyst, endoscopic excision
1
PENDAHULUAN
Kista epiglotis merupakan kasus yang jarang dijumpai dan terdiri dari 4,3%
sampai 6% dari semua tumor jinak laring. Penyakit ini mengacu pada lesi kistik
pada epiglotis, diklasifikasikan sebagai tipe sakular, duktal dan kista tulang rawan
tiroid. Pertumbuhan kista dapat terjadi karena adanya sumbatan dari saluran
kelenjar di submukosa. Lokasi tersering dapat ditemukan pada plika vokalis (55%),
plika ventrikularis (25%), atau pada epiglotis (20%). Pada orang dewasa kista ini
lebih sering ditemui dan dapat berupa massa kistik unilokular dengan ukuran
bervariasi. Kista yang berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista
berukuran besar dapat menimbulkan keluhan sensasi benda asing di tenggorokan,
perubahan suara, sulit menelan atau sesak napas karena obsruksi jalan napas total.
Meskipun kista epiglotis merupakan lesi jinak, akan tetapi lokasinya di saluran
napas atas memerlukan tindakan segera sebelum terjadi komplikasi gangguan jalan
napas atas. Risiko obstruksi jalan napas cukup tinggi pada anak-anak karena saluran
napas atas pada anak-anak sempit. 1,2
Beberapa kasus dan literatur melaporkan kejadian kista ini dengan istilah
yang berbeda antara lain kista valekula, kista retensi, kista dasar lidah, kista
kongenital dan kista duktus. Verneuil, pada tahun 1852, pertama kali
menggambarkan adanya kista laring pada post mortem bayi. Pada tahun 1864,
Durham pertama kali melaporkan kasus kista epiglotis pada seorang anak laki-laki
berusia 11 tahun, yang berhasil diobati dengan pembedahan. Sejak itu, berbagai
kasus telah dilaporkan, tetapi kista laring termasuk kista epiglotis, masih
menunjukkan angka kejadian yang relatif jarang. Predileksi yang paling sering
terletak di bagian lingual epiglotis dan biasanya mengandung cairan serosa jernih
dan tidak terinfeksi. Penyebabnya masih belum diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh malformasi embriologi atau obstruksi duktus kelenjar lendir. Lesi
kistik lain yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada kista di
daerah ini termasuk tiroid lingual, kista saluran tiroglossal, malformasi limfatik dan
tumor kistik.3,4
Berger dkk pada tahun 1992 sampai 2004 menemukan 38 pasien dengan
kista epiglotis dengan jumlah pasien laki-laki 26 orang dan perempuan 12 orang.
Rentang usia 17 sampai 77 tahun, dengan rerata usia 38 tahun. Kista epiglotis pada
2
dewasa sering tanpa gejala dan ditemukan tanpa sengaja saat pemeriksaan fisik atau
pada saat intubasi untuk kepentingan operasi lainnya. Namun berdasarkan
penelitiannya gejala yang paling sering yaitu rasa mengganjal di tenggorokan
(73,7%), odinofagia (71,1%), disfagia (71%), perubahan suara (28,9%), dan
dyspnea (26,3%). Intervensi dini lebih baik meskipun penyakit ini belum
menimbulkan gejala dan berukuran kecil. Modalitas yang digunakan untuk
penatalaksanaan kista epiglotis adalah aspirasi, marsupialisasi dan eksisi
perendoskopi. Tindakan operasi dengan reseksi kista yang besar dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan disfagia atau dyspnea. Pemeriksaan
videofluoroscopic swallowing study (VFSS) merupakan gold standar penilaian
disfagia dengan mengamati langsung masuknya bolus makanan dan pergerakan
seluruh struktur saluran aerodigestif bagian atas.2,4,5
ANATOMI EPIGLOTIS
Secara embriologi epiglotis berkembang dari lengkung faring keempat. Ia
mulai terlihat pada usia kehamilan 5 minggu. Bentuk kartilago epiglotis seperti bet
pingpong dan membentuk dinding anterior aditus laringeus. Tangkainya disebut
petioles dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di
sebelah atas pita suara. Bagian atas epiglotis menjulur di belakang korpus hioid ke
dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis
mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke esofagus.
Struktur histologis laring sama dengan trakea. Secara skematik, terdiri dari
membran mukosa (epitel dan tunika propia), lamina elastik, membran submukosa
(jaringan fibroadiposa), dengan kelenjar seromukosa dan skeleton kartilago. Secara
histologis, kista mengandung epitel pernapasan dengan kelenjar mukus dan lapisan
eksternal epitel skuamosa. 6,7
Tulang rawan mendapatkan perlekatan dari permukaan dorsal kartilago
tiroid (melalui ligamentum thiroepiglotika), lidah (melalui lipatan epiglotis
median), faring (melalui lipatan epiglotis lateral) dan sisi-sisinya melekat pada
kartilago aritenoid oleh lipatan ariepiglotika. Bagian inferior permukaan anterior
memiliki ligamentum hipoepiglotika yang menghubungkannya dengan tulang
hyoid. Ruang antara akar lidah di depan dan permukaan lingual dari epiglotis
3
disebut valekula epiglotis yang hadir di setiap sisi lipatan median. Epiglotis
dipersarafi oleh serabut saraf vagus dari ganglion inferior. Nervus laringeus rekuren
memasuki laring dengan melewati alur antara trakea dan esofagus. Saraf ini
mempersarafi otot-otot laring (selain krikothiroid). Serabut sensorik epiglotis
berasal dari cabang laring internal saraf laring superior (cabang saraf vagus). 8
Gambar 1. Kartilago epiglotis 9
Bagian yang terletak di atas tulang hyoid disebut epiglotis suprahyoid dan
bagian bawahnya adalah epiglotis infrahyoid. Ujung epiglotis melekat pada tulang
rawan tiroid oleh ligamentum tiroepiglotik tepat di atas komisura anterior glotis.
Ada yang memiliki lingual (anterior) dan permukaan laring (posterior). Ruang
segitiga anterior epiglotis adalah ruang preepiglotis Boyer. Ruang ini, yang
mengandung lemak, dibatasi oleh membran thyrohyoid di bagian anterior, epiglotis
infrahyoid di posterior, dan ligamentum hioepiglotika superior. Ketika keganasan
laring primer telah menyusup ke ruang Boyer melalui epiglotis infrahyoid, itu
dianggap kurang sensitif terhadap radiasi saja. 8
Epiglotis memperoleh suplai darahnya dari arteri laring superior, yang
merupakan cabang dari arteri tiroid superior (cabang dari arteri karotis eksternal).
Ini memasuki laring dengan melewati celah membran thirohyoid. Drainase limfatik
epiglotis terjadi di sepanjang arteri laring superior yang mengalir ke kelenjar getah
bening serviks yang dalam. Drainase vena berasal dari vena laring superior dan
inferior yang mengikuti jalur yang sama dengan arteri dan mengalir ke v. jugularis
interna dan v. brakiosefalika kiri. Struktur histologis laring sama dengan trakea.
4
Secara skematik, terdiri dari membran mukosa (epitel dan tunika propia), lamina
elastik, membran submukosa (jaringan fibroadiposa, kelenjar seromukosa) dan
skeleton kartilago. Secara histologis, kista mengandung epitel pernapasan dengan
kelenjar mukus, dengan lapisan eksternal epitel skuamosa. Distribusi kelenjar
mukosa laring pada plika vokalis dianggap tidak memiliki kelenjar, sedangkan
konsentrasi terbesar kelenjar ini ditemukan pada plika ventrikularis dan permukaan
subglotis dari komisura anterior. Bagian bebas dari epiglotis mengandung beberapa
kelenjar terutama pada permukaan lingual.8
KEKERAPAN
Berger melakukan penelitian pada tahun 1992 sampai 2004 dengan
menggunakan data sekunder di Meir Medical Centre, didapatkan 38 pasien kista
epiglotis. Jumlah pasien laki-laki 26 orang dan perempuan 12 orang. Rentang usia
17 sampai 77 tahun, dengan rerata usia 38 tahun. Gejala yang paling sering adalah
rasa mengganjal di tenggorokan (73,7%), odinofagia (71,1%), disfagia (71%),
perubahan suara (28,9%), dan dispneu (26,3%). 5
Berbeda dengan hasil penelitian Singhal dkk di India pada tahun 2000
sampai 2010, didapatkan 24 kasus kista epiglotis. Dari 24 pasien tersebut jumlah
pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rentang usia 32 sampai 60
tahun, usia rata-rata 46 tahun. Semua pasien datang dengan keluhan rasa
mengganjal di tenggorokan seperti ada benda asing yang tersangkut. Dari 24 pasien,
66,67% disertai perubahan suara dan 9,52% rasa tercekik. Berdasarkan penelitian
ini lokasi tersering kista epiglotis adalah permukaan lingual epiglottis (61,9%),
ariepiglotis (23,8%), dasar lidah (9,5%) dan dinding lateral valekula (4,7%). Dari
hasil patologi anatomi 80,9% merupakan kista retensi mucus, lainnya adalah kista
limfoepitelial (2 kasus) dan kista miksolipoma (1 kasus). Dari 24 kasus, 2 pasien
mengalami rekurensi. 5
Penelitian Muslih dkk di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Januari 2004 sampai
Desember 2008 didapatkan 37 kista laring, 4 di antaranya adalah kista epiglotis.
Dari keempat kasus tersebut, 1 pasien merupakan kista kongenital dan 3 lainnya
kista yang didapat. Di RSMH Palembang, selama 2017 sampai 2019 didapatkan 9
kasus kista epiglotis pada pasien dewasa.
5
PATOFISIOLOGI
Beberapa teori menjelaskan patogenesis kista epiglotis, dua hipotesis
diantaranya menyebutkan kista muncul akibat obstruksi duktus atau malformasi
embriologi. Ada berbagai klasifikasi histopatologi kista laring termasuk kista
epiglotis. Pada tahun 1922, Myerson mengklasifikasikan kista ini menjadi tipe
retensi, embrionik, vaskular dan traumatik. Namun, klasifikasi ini komplek dan
tidak praktis. Pada tahun 1970, DeSanto membuat klasifikasi berdasarkan lokasi
dan permukaan mukosa, kista dibagi menjadi kista kartilago tiroid, kista duktal dan
kista sakular. 3,10
Kista kartilago tiroid terjadi akibat sisa pembuluh darah embrionik di tulang
rawan tiroid yang menonjol pada mukosa. Kista sakular adalah lesi submukosa dan
ditutupi oleh lapisan mukosa lengkap, dapat terjadi pada ventrikel laring, plika
vokalis, plika ventrikularis, dan lipatan ariepiglotis. Kista sakular terbentuk sebagai
hasil dari perluasan yang berlebihan dari sakula plika ventrikularis pada laring.
Kista ini sering terlihat pada neonatus, meskipun kadang-kadang pada orang
dewasa. Kista sakular lebih besar daripada kista duktal. Kista duktal merupakan
jenis kista yang paling sering. Kista terjadi akibat obstruksi saluran ekskresi dari
glandula submukosa. Kista duktal disebut juga kista retensi atau kista mukosa. Kista
ini dapat muncul di semua bagian dari laring terutama muncul pada membran
mukosa yang dilapisi epitel skuamosa atau epitel kolumner bersilia. Menurut
klasifikasi Handerson, ada tiga jenis kista laring yaitu kista duktal, kista sakular dan
kista tulang rawan tiroid foraminal, yang jarang terjadi. Klasifikasi ini merupakan
klasifikasi yang paling sering digunakan. Dalam sebuah penelitian histologis pada
tahun 1984, Newman mengkategorikan kista menjadi tiga jenis yaitu tipe epithelial
(terbagi menjadi sakular dan duktal), tipe tonsilar dan tipe onkositik. 3,10
DIAGNOSIS
Kista epiglotis biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat pemeriksaan
rutin THT, laringoskopi, intubasi dan endoskopi gastrointestinal atas. Pada orang
dewasa, kista berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista berukuran
besar menyebabkan disfagia, suara serak atau obstruksi jalan napas total. Beberapa
kista dapat menyebabkan epiglotitis akut. Obstruksi jalan napas adalah gejala pada
6
anak usia dini karena kista kongenital. Bayi dengan kista berukuran kecil dapat
tidak menimbulkan gejala, tetapi bila kista berukuran besar gejala klinis muncul
berupa sianosis, dispnea dan tersedak. Bayi dapat dengan mudah tersedak sampai
menimbulkan kematian jika tidak terdiagnosis cepat dan mendapatkan
penatalaksanaan bedah. Sebagian besar kista epiglotis pada orang dewasa bersifat
jinak dan asimptomatik. Oleh karena itu, intervensi dini lebih baik pada kasus kista
yang ditemukan secara kebetulan pada orang dewasa. 2,3,7
Gambar 3. Kista epiglotis pada anak laki-laki, 7 tahun, dengan keluhan rasa mengganjal di
tenggorokan dan kesulitan menelan makanan padat.10
Diagnosis kista epiglotis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, radiologi dan patologi anatomi. Dari anamnesis didapatkan berbagai keluhan
dan gejala, mulai dari asimptomatik hingga berat. Gejala dapat berupa rasa
mengganjal di tenggorokan seperti ada benda asing, odinofagia, disfagia, perubahan
suara, dan dispneu akibat obstruksi saluran nafas. Pada pemeriksaan fisik, lesi dapat
dilihat dengan laringoskopi indirek, videolaringoskopi, laringoskopi fleksibel atau
bronkoskopi fleksibel. Lesi tampak sebagai massa kistik unilokular dengan
berbagai ukuran, paling sering muncul di permukaan lingual epiglottis, berwarna
kekuningan, berisi cairan serosa jernih dan tidak terinfeksi. Pemeriksaan penunjang
seperti foto polos leher lateral, USG tiroid, dan tomografi komputer juga
memberikan informasi yang berguna untuk diagnosis. Walaupun demikian
pemeriksaan penunjang bukanlah hal rutin yang dilakukan pada penegakkan
diagnosis kista epiglotis.10,11
7
Gambar 4. Kista epiglotis pada wanita 55 tahun, asimtomatik. A. Lidah (panah), C. Uvula,
D. Massa kistik pada sisi kanan bagian sublingual epiglotis, E. Epiglotis (panah), kista epiglotis 3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil aspirasi dan tindakan
marsupialisasi dalam narkose umum. Jika massa tidak berbentuk kistik, evaluasi
lebih lanjut dengan CT scan, MRI, sonogram leher dan esofagogram. Radiografi
lateral leher dapat memperlihatkan kista epiglotis sebagai massa jaringan lunak
pada hipofaring dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan laringoskopi. Pada CT scan
terlihat gambaran dinding kista yang tipis dan densitas isi kista yang homogen.
Kemungkinan suatu nodul tiroid lingual ektopik harus selalu dianggap sebagai
diagnosis banding untuk setiap pembengkakan yang timbul pada sepertiga posterior
dari lidah. Diagnosis banding yang lain adalah kista duktus tiroglosus,
limfangioma, hemangioma, kondroma, tiroid lingual dan papiloma. Sehingga untuk
diagnosis pasti kista epiglotis adalah hasil pemeriksaan patologi anatomi.
Kemungkinan suatu nodul tiroid lingual ektopik harus selalu dianggap sebagai
diagnosis banding untuk setiap pembengkakan yang timbul pada di sepertiga
posterior dari lidah. Diagnosis banding yang lain adalah meliputi kista duktus
tiroglosus, limfangioma, hemangioma, kondroma, tiroid lingual dan papiloma.2,10,12
PENATALAKSANAAN
Intervensi dini lebih baik meskipun kista epiglotis belum menimbulkan
gejala dan berukuran kecil. Modalitas yang digunakan untuk penatalaksanaan kista
epiglotis adalah aspirasi, marsupialisasi dan eksisi perendoskopi. Kista berukuran
besar dapat direseksi dengan reseksi eksternal melalui leher. Aspirasi tidak
dianjurkan karena berisiko mengalami rekurensi tetapi dapat digunakan untuk
8
mengurangi volume kista sebelum pembedahan. Kekambuhan lokal kista epiglotis
dapat diminimalkan dengan pengangkatan lengkap dari dinding kista. Baru-baru
ini, laser CO2 telah berhasil diaplikasikan pada semua kasus karena kelebihan laser
terletak pada faktor koagulasinya yang tinggi dan waktu pemulihannya yang lebih
singkat. Aspirasi sederhana tidak lagi dianjurkan karena tingkat kekambuhan tinggi,
tetapi dapat digunakan untuk mengurangi volume kista sebelum pembedahan atau
reseksi dengan laser CO2. Operasi pengangkatan kista menggunakan elektrokauter,
laser atau mikrodebrider adalah pilihan utama. Marsupialisasi adalah prosedur yang
aman ketika dilakukan dengan laser CO2. Saat ini, pembedahan dengan bantuan
endoskopi, dan instrumen operasi minimal invasif sering digunakan untuk operasi
minimal invasif pada tenggorok. Antibiotik dianjurkan setelah operasi untuk
menghindari epiglotitis akut.2, 3,10
Gambar 5. A. Massa kistik sebelum tindakan reseksi dengan laser CO2, B. Setelah tindakan
reseksi kista dengan laser CO2
3
KOMPLIKASI
Kista epiglotis sendiri memiliki risiko menimbulkan obstruksi jalan nafas.
Sebagai contoh saat induksi anestesi, kista yang asimtomatik dan tidak terdiagnosis
dapat menyebabkan gagal nafas karena saat relaksasi otot dapat mendorong kista
ke arah laring menyebabkan obstruksi parsial atau total dari jalan nafas sehingga
menyulitkan proses ventilasi dan intubasi. Dengan demikian lesi dapat berpotensi
mengancam nyawa dan mungkin memerlukan trakeostomi emergensi. Komplikasi
lain adalah potensi terjadinya infeksi sekunder dari kista. Hal ini dapat berlanjut ke
epiglotitis dan abses epiglotis, yang bisa menjadi penyebab obstruksi jalan napas
dan gagal napas. Bila terjadi infeksi sekunder, maka tindakan eksisi kista epiglotis
9
dianjurkan setelah inflamasi teratasi untuk mengurangi kekambuhan.
Penatalaksanaan kista epiglotis antara lain aspirasi, marsupialisasi dan eksisi
perendoskopi. Aspirasi sederhana tidak lagi direkomendasikan karena tingkat
rekurensinya tinggi. Pengangkatan yang tidak lengkap dari dinding kista dapat
menyebabkan timbulnya kista secara berulang. 3,7
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki usia 59 tahun, bekerja sebagai petani kebun karet dan
tinggal di luar kota Palembang datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tanggal 28 Februari 2019 dengan keluhan utama
rasa mengganjal saat menelan sejak 3 bulan yang lalu, rasa mengganjal dirasakan
makin lama makin bertambah. Keluhan nyeri tenggorokan, nyeri menelan, sulit
menelan, tersedak saat menelan, perubahan suara, sesak nafas, batuk dan bengkak
pada leher tidak dirasakan oleh pasien. Riwayat ketulangan, radang tenggorokan,
atau infeksi saluran nafas atas sebelumnya disangkal. Riwayat kebiasaan merokok
ada dan minum alkohol disangkal. Pasien berobat ke rumah sakit di daerahnya lalu
dirujuk ke RSMH Palembang.
Gambar 6. Foto pasien
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82 x/menit, temperatur dan pernafasan
dalam batas normal, tidak ada tanda obstruksi jalan nafas. Pemeriksaan leher tidak
ditemukan adanya benjolan ataupun pembesaran kelenjar getah bening. Pada
pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok juga tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan telelaringoskopi indirek tampak massa kistik kekuningan bentuk
10
globular dengan permukaan licin dan terlihat pembuluh darah di permukaan pada
sisi kanan epiglotis bagian lingual, massa ini tidak menutupi jalan napas.
Pergerakan plika vokalis dan plika ventrikularis baik dan simetris, tidak ada
perlengketan, aritenoid tenang, sinus piriformis tenang, standing secretion tidak
ada.
Gambar 7. Pemeriksaan Laringoskopi Indirek. A. Massa epiglotis bentuk globular warna
kekuningan. B. Epiglotis, tampak massa melekat pada sisi kanan epiglotis bagian lingual.
Pada gambaran radiologis foto polos servikal anteroposterior dan lateral
tanggal 12 Maret 2019 tampak soft tissue mass pada regio coli setinggi vertebrae
C3-C4. Diagnosis kerja pada saat ini ditegakkan massa epiglotis suspek kista
epiglotis. Kemudian direncanakan untuk dilakukan operasi eksisi endoskopi kista
epiglotis dalam narkose umum. Dilakukan persiapan operasi dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium darah dan rontgen thorax. Hasil laboratorium darah
tanggal 13 Maret 2019 sebagai berikut hemoglobin 12,2 g/dl, leukosit 7.060/mm3
,
trombosit 137.000/mm3
, waktu pembekuan 9 menit, waktu perdarahan 2 menit,
BSS 99 mg/dl, ureum 32 mg/dL, kreatinin 0,72 mg/dL. Hasil rontgen thorax, kesan
cor pulmo dalam batas normal. Pasien dikonsulkan ke bagian Anestesi kesan setuju
tindakan operasi dengan status fisik ASA 1.
Gambar 8. Rontgen Soft Tissue Cervical AP/L, tampak soft tissue mass pada regio coli
setinggi vertebrae C3-C4.
11
Pada tanggal 15 Maret 2019 dilakukan operasi eksisi endoskopi kista
epiglotis. Dilakukan pemasangan mouth gag, tampak massa berwarna kuning
dengan permukaan rata dan dasar melekat pada epiglotis bagian lingual kanan.
Massa epiglotis dijepit dengan forsep dan dilakukan eksisi kista secara tajam
dengan gunting. Evaluasi perdarahan dan kontrol perdarahan dengan menggunakan
kaustik. Didapatkan massa ukuran 2,8cm x 1,7cm x 0,9cm. Jaringan dikirim ke
bagian Patologi Anatomi untuk diperiksa. Terdapat vulnus laseratum pada epiglotis
bagian kanan lalu dilakukan penjahitan dengan benang PGA 3.0 sebanyak 1 jahitan.
Diagnosis paska operasi massa epiglotis suspek kista epiglotis, post eksisi massa
epiglotis.
Gambar 9. Prosedur operasi. A. Tampak kista epiglotis, B. Eksisi kista secara tajam dengan
gunting, C. Kista diangkat secara utuh, D. Terdapat vulnus laseratum pada epiglotis bagian kanan,
E. Dilakukan penjahitan dengan benang PGA 3.0 sebanyak 1 jahitan, F. Massa kistik ukuran
2,8cm x 1,7cm x 0,9cm.
Paska operasi pasien diberikan terapi antibiotik seftriaksone 1 gram
intravena tiap 12 jam, metronidazole 500 mg tiap 8 jam, methylprednisolone 125
mg tiap 12 jam, sukralfat sirup 15 ml tiap 8 jam, omeprazole 20 mg tiap 12 jam dan
natrium diklofenak 50 mg tiap 12 jam. Diet cair melalui selang NGT. Hari pertama
paska operasi, keluhan nyeri dan rasa kering pada tenggorokan ada, tidak ada rasa
mengganjal, tidak ada darah keluar dari mulut, tidak ada sesak, terapi dilanjutkan.
12
Hari keempat paska operasi, dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi daerah operasi
pada epiglotis bagian lingual tampak jaringan fibrin, massa tidak ada, bekuan darah
tidak ada, darah mengalir tidak ada, pus tidak ada, plika vokalis dan plika
ventrikularis pergerakan simetris bilateral, sinus piriformis standing sekresi tidak
ada. Pasien dipulangkan dan diberikan terapi cefixime 100 mg tiap 12 jam, natrium
diklofenak 50 mg tiap 12 jam dan sukralfat sirup 15cc tiap 8 jam dalam 50cc air
kumur telan. Pasien diminta untuk kontrol 1 minggu lagi ke poliklinik THT-KL
RSUP. Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Gambar 10. Gambaran laringoskopi post operasi hari ke-4
Pada kontrol tanggal 25 Maret 2019, hari ke-10 paska operasi, keadaan
umum pasien baik, keluhan tidak ada. Dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi,
epiglotis bagian lingual tampak jaringan fibrin, epiglotis tampak mengalami
hipolplasia, pus tidak ada, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris
bilateral, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Pasien membawa hasil
pemeriksaan histopatologi dengan gambaran mikroskopik dijumpai kista berlapis
skuamous kompleks tidak berkeratin, kesan kista tonsilar pada regio epiglotis.
Gambar 11. Gambaran laringoskopi post operasi hari ke-10
Pada kontrol tanggal 1 Mei 2019, 1,5 bulan paska operasi, keadaan umum
pasien baik, keluhan tidak ada, pasien dapat makan dan minum seperti biasa,
13
keluhan tersedak saat makan atau minum tidak ada, sesak napas tidak ada,
perubahan suara tidak ada. Dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi, luka operasi
pada epiglotis tidak tampak lagi, epiglotis tampak mengalami hipolplasia, mukosa
sudah kembali utuh, aritenoid tenang, plika vokalis dan plika ventrikularis
pergerakan simetris, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Pasien didiagnosis
dengan kista epiglotis post eksisi dan fibrosis epiglotis.
Gambar 12. Gambaran laringoskopi post operasi 1.5 bulan
Pada tanggal 3 Mei 2019 dilakukan operasi kedua yaitu injeksi steroid pada
epiglotis. Dilakukan pemasangan klainsesser sampai tampak epiglotis. Dilakukan
evaluasi, tampak epiglotis yang mengalami hipoplasia dan teraba konsistensi keras
seperti jaringan fibrotik. Lalu dilakukan injeksi dexametason sebanyak 0.5 ml pada
epiglotis. Evaluasi perdarahan dan kontrol perdarahan dengan menggunakan kapas
efedrin. Diagnosis paska operasi fibrosis epiglotis post injeksi epiglotis. Pasien juga
dikonsulkan ke divisi bronkoesofagologi untuk dilakukan pemeriksaan fungsi
menelan, FEES.
Pada preswallowing assessment, tonsil lingual derajat 2 tidak menutupi
valekula, epiglotis tenang, pergerakan plika vokalis normal, standing secretion
tidak ada, penetrasi tidak ada, silent aspirasi tidak ada, tonus otot dinding lateral
faring simetris. Pada pemberian bubur saring (purae), bubur nasi (gastric rice),
bubur tepung (havermout), susu cair (thick liquid), air putih (thin liquid) dan biscuit
(crackers) didapatkan residu minimal, penetrasi tidak ada, leakage tidak ada,
aspirasi tidak ada. Dari hasil pemeriksaan FEES didapatkan kesan kelainan bentuk
epiglotis dan tidak ada disfagia, pasien disarankan diet makan seperti biasa.
14
Gambar 13. Gambaran laringoskopi hari ke-1 post operasi kedua
Paska operasi pasien diberikan terapi antibiotik sistemik seftriaxone 1 gram
intravena tiap 12 jam, methylprednisolone 125 mg injeksi tiap 8 jam, ketorolac 30
mg injeksi tiap 8 jam, omeprazole 40 mg tiap 12 jam per oral. Diet nasi lunak. Hari
pertama paska operasi, keluhan nyeri dan rasa kering pada tenggorokan ada, tidak
ada rasa mengganjal, tidak ada darah keluar dari mulut, tidak ada sesak, terapi
dilanjutkan. Hari keempat paska operasi, dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi
daerah operasi pada epiglotis, bekuan darah tidak ada, darah mengalir tidak ada,
pus tidak ada, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris bilateral,
sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Pasien dipulangkan dan diberikan terapi
omeprazole 20 mg tiap 12 jam per oral dan mecobalamin 500 mg tiap 12 jam per
oral. Pasien diminta untuk kontrol 1 minggu lagi ke poliklinik THT-KL RSUP. Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Pada hari ke-18 paska operasi pasien kontrol ulang ke klinik THTKL
RSMH. Didapatkan keluhan nyeri dan rasa kering pada tenggorokan tidak ada,
tidak ada rasa mengganjal, tidak ada sesak, terapi dilanjutkan. Dilakukan
pemeriksaan telelaringoskopi daerah operasi pada epiglotis, epiglotis tampak
mengalami hipolplasia, aritenoid tenang, plika vokalis dan plika ventrikularis
pergerakan simetris, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. diberikan terapi
omeprazole 20 mg tiap 24 jam per oral dan mecobalamin 500 mg tiap 12 jam per
oral. Epiglotis yang mengalami hipoplasia dicurigai sebagai suatu kelainan
autoimun yaitu suspect relapsing polychondritis. Akan tetapi pasien menolak saat
akan dikonsulkan ke bagian imunologi departemen penyakit dalam untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
15
Gambar 14. Gambaran laringoskopi hari ke-18 post operasi kedua
Pada kontrol bulan Desember 2019 (6 bulan) paska operasi kedua, keadaan
umum pasien baik, keluhan tidak ada, pasien dapat makan dan minum seperti biasa,
keluhan tersedak saat makan atau minum tidak ada, sesak napas tidak ada,
perubahan suara tidak ada. Dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi, epiglotis
tampak mengalami hipolplasia, aritenoid tenang, plika vokalis dan plika
ventrikularis pergerakan simetris, sinus piriformis standing sekresi tidak ada.
Gambar 15. Gambaran laringoskopi post operasi 6 bulan
DISKUSI KASUS
Telah dilaporkan satu kasus kista epiglotis pada seorang laki-laki usia 59
tahun. Insiden puncak pada orang dewasa terlihat pada dekade ke-5 dan ke-6 dan
mayoritas pasien adalah laki-laki. Kista epiglotis lebih sering terjadi pada dekade
ke-6 kehidupan, sesuai dengan usia pasien pada kasus ini, tetapi kista epiglotis bisa
terjadi pada semua kelompok usia. Kista epiglotis biasanya ditemukan secara tidak
sengaja saat pemeriksaan rutin THT, laringoskopi, intubasi dan endoskopi
gastrointestinal atas. Berdasarkan literatur angka kejadian pada laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan. Pada kasus ini pasien mempunyai kebiasaan
merokok. Peradangan kronis diduga menjadi faktor dalam pembentukan kista
16
epiglotis, kebiasaan merokok dan adanya iritasi lainnya dapat meningkatkan angka
kejadiannya. 3
Gejala dari kista epiglotis ini tergantung pada ukuran. Pada orang dewasa,
kista berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista berukuran besar
dapat menyebabkan sensasi benda asing, disfagia, perubahan suara, batuk bahkan
hingga obstruksi jalan napas total. Pada kasus ini, keluhan utama pasien adalah rasa
mengganjal saat menelan sejak 3 bulan yang lalu. Menurut Berger gejala yang
paling sering adalah rasa mengganjal di tenggorokan (73,7%), odinofagia (71,1%),
disfagia (71%), perubahan suara (28,9%), dan dispneu (26,3%). Abnormalitas dari
epiglotis menyebabkan sensasi globus. Adanya kista pada epiglotis menyebabkan
sensasi dari rasa mengganjal di tenggorokan.3,5,13
Kista laring termasuk kasus yang jarang, angka kejadiannya sekitar 4,3%
sampai 6% dari semua tumor jinak laring. Kista epiglotis muncul pada regio
epiglotis yang berlokasi di belakang dasar lidah. Bagian lingual epiglotis adalah
lokasi tersering pada kista ini. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Handerson dkk
yang menyatakan bahwa 52% kista laring berlokasi di sisi lingual epiglotis. Pada
kasus ini, lesi juga tampak berada di sisi lingual dari epiglotis. Selain pada sisi
lingual, kista juga dapat berlokasi pada tepi lateral epiglotis. Berdasarkan penelitian
Singhal, dkk lokasi tersering kista epiglotis adalah permukaan lingual epiglottis
(61,9%), ariepiglotis (23,8%), dasar lidah (9,5%) dan dinding lateral valekula
(4,7%). Secara histologis, kista mengandung epitel pernapasan dengan kelenjar
mukus, dengan lapisan eksternal epitel skuamosa. Distribusi kelenjar mukosa laring
pada plika vokalis dianggap tidak memiliki kelenjar, sedangkan konsentrasi
terbesar kelenjar ini ditemukan pada plika ventricular dan permukaan subglotis dari
komisura anterior. Bagian bebas dari epiglotis mengandung beberapa kelenjar
terutama pada permukaan lingual. 3,6,13,14
Pada pemeriksaan telelaringoskopi indirek yang dilakukan pada pasien,
didapatkan kesan tampak massa kistik kekuningan bentuk globular dengan
permukaan licin dan terlihat pembuluh darah di permukaan pada sisi kanan epiglotis
bagian lingual, massa ini tidak menutupi jalan napas. Diameter traktus respiratorius
lebih kecil pada bayi dan anak-anak, kista epiglotis sangat mungkin menyebabkan
obstrusi jalan napas pada kelompok usia ini dan kista yang besar dapat
17
menyebabkan timbulnya stridor, sianosis saat makan, kesulitan bernapas dan
berpotensi mengancam nyawa. 3
Rontgen soft tissue leher adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada kasus ini sedangkan pemeriksaan CT scan atau MRI tidak dilakukan. Pada
pemeriksaan rontgen tampak gambaran soft tissue mass pada regio coli setinggi
vertebrae C3-C4. Pada kista epiglotis yang tampak secara klinis, penting untuk
dilakukan pemeriksaan laringoskopi direk dan tindakan marsupialisasi pada kista.
Pada kasus ini, saat dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi indirek tampak massa
kistik kekuningan bentuk globular dengan permukaan licin di permukaan pada sisi
kanan epiglotis bagian lingual. Pemeriksaan CT scan atau MRI hanya dilakukan
untuk mendeteksi kista epiglotis yang tidak tampak secara klinis atau pada
pemeriksaan endoskopi tampak normal dan dipertimbangkan pada pasien dengan
infeksi epiglotis akut rekuren atau abses.5
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa tindakan eksisi endoskopi pada
kista epiglotisnya. Pembedahan dengan eksisi merupakan terapi pilihan dengan
kekambuhan yang rendah. Keterbatasan lapangan pandang terkadang menyebabkan
sulit melakukan eksisi atau marsupialisasi. Pada pasien ini kista berukuran kecil,
tetapi karena keterbatasan mobilitas, marsupialisasi sulit dilakukan. Pilihan lain
adalah penggunaan microdebrider atau laser CO2. Microdebrider telah digunakan
secara luas pada penatalaksanaan penyakit di bidang THT dengan pisau yang secara
khusus dirancang untuk lesi di laring. Microdebrider efektif untuk kista epiglotis
yang luas. Eksisi kista dengan laser CO2 memberikan manfaat vaporasi pada garis
epitel yang menurunkan kekambuhan dan memberikan efek hemostasis yang baik.
Penelitian di Philadelpia, menunjukkan bahwa kebanyakan kista epiglotis dapat
secara baik ditatalaksana dengan menggunakan pendekatan endoskopi transoral.
Kekambuhan tidak tergantung pada apakah kista di eksisi secara lengkap atau
marsupialisasi. Ada kecenderungan angka kekambuhan lebih tinggi pada patologi
dengan pseudokista. 10,11,15
Hasil pemeriksaan histopatologi pada pasien memberikan gambaran
mikroskopik dijumpai kista berlapis skuamous kompleks tidak berkeratin, kesan
kista tonsilar pada regio epiglotis. Ada berbagai klasifikasi histopatologi kista laring
termasuk kista epiglotis. Pada tahun 1922, Myerson mengklasifikasikan kista ini
18
menjadi tipe retensi, embrio, pembuluh darah dan traumatik. Namun, klasifikasi ini
komplek dan tidak praktis. Pada tahun 1970, Desanto et al membagi kista ini
menjadi dua jenis yaitu tipe duktal dan tipe sakular. Menurut klasifikasi Handerson,
ada tiga jenis kista laring yaitu kista duktal, kista sakular dan kista tulang rawan
tiroid foraminal, yang jarang terjadi. Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang
paling sering digunakan. Dalam sebuah penelitian histologis pada tahun 1984,
Newman mengkategorikan kista menjadi tiga jenis yaitu tipe epithelial (terbagi
menjadi sakular dan duktal), tipe tonsilar dan tipe onkositik. 3,10
Evaluasi pasien 6 bulan setelah operasi keluhan tidak ada. Keluhan sulit
menelan tidak ada. Tersedak saat menelan tidak ada. Pemeriksaan menunjukkan
terdapat kelainan bentuk pada epiglotis. Tidak tampak kekambuhan kista epiglotis
pada pasien ini. Epiglotis yang mengalami hipoplasia dicurigai sebagai suatu
kelainan autoimun yaitu suspect relapsing polychondritis. Akan tetapi pasien
menolak saat akan dikonsulkan ke bagian imunologi departemen penyakit dalam
untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Relapsing polychondritis (RP) adalah kondisi inflamasi berat, bersifat
episodik, dan progresif yang melibatkan struktur tulang rawan. Kartilago telinga,
hidung, dan laryngotracheobronchial paling sering terkena. Meskipun penyebabnya
tidak diketahui, penyakit ini diyakini sebagai penyakit autoimun terhadap kolagen
tipe II. Tidak ada kecenderungan pada jenis kelamin. RP lebih sering terjadi pada
kulit putih dengan onset biasanya pada dekade kelima kehidupan, meskipun dapat
terjadi pada usia berapa pun. RP di masa kanak-kanak bisa menjadi kondisi yang
mengancam jiwa. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala dispnea akut, stridor dan
poliartritis. Diagnosis lebih mudah ditegakkan ketika chondritis aurikular atau
septum terjadi secara bersamaan. Frekuensi chondritis dan manifestasi sistemik RP
pada anak-anak hamper sama pada dewasa. 16
Ada hubungan RP yang diketahui dengan penyakit autoimun lainnya
termasuk rheumatoid arthritis, sindrom Sjogren dan SLE. Keterlibatan aurikula
bilateral adalah manifestasi di bagian THT yang paling umum. Abnormalitas laring
dapat terjadi pada sekitar setengah dari pasien dengan RP. Ketika terjadi pada
kartilago laring maka proses peradangan, fibrosis dan kerusakan tulang rawan
laring semuanya mungkin terjadi. Selain gejala demam, malaise, dan kelelahan
19
yang tidak spesifik, gejala lain dapat berupa suara serak, aphonia, wheezing, stridor
inspirasi, batuk, nyeri dan dispnea. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
spesifik untuk RP. Diagnosis dibuat secara klinis dengan beberapa kriteria penting
yang diperlukan termasuk biopsi. Pada laringoskopi, bisa ditemukan adanya edema
dan eritema glotis dan subglotis. Pengobatan bervariasi tergantung pada tingkat
keparahan penyakit termasuk penggunaan NSAID, metotreksat dan kortikosteroid
sistemik. Trakeostomi dipertimbangkan pada obstruksi jalan napas yang berat atau
berulang. 16
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Pandian S, Govarthanaraj A. Symptomatic vallecular cyst- how i do it? Int J
Pharm Bio Sci. 2014. 5(2): 348 - 51
2. Ramanathan G, Shalini G, Karunanithi. Rigid endoscope-assisted tracheal
intubation in a case of epiglottic cyst. South Afr J Anaesth Analg.
2011;17(2):190-2
3. Seung L et al. Epiglottic cyst incidentally discovered during screening
endoscopy: A case report and review of literature. Korean J Fam Med.
2014;35:160-66.
4. Sunghwa ko, Euisuk S. Large epiglottic cyst detected on videofluoroscopic
swallowing study. South Korea. 2018: 392: 311.
5. Berger G et al. Adult vallecular cyst: Thirteen Year Experience. American
academy of otolaryngology head and neck surgery foundation. 2008. 138: 321-
27.
6. Wackym PA, Snow JB. Ballenger’s Otorhinolaryngology. Anatomy of the
larynx . In : Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 18th
ed. USA.
2016. 3474-79.
7. Q. Xu, J.P. Xu, Wang. Anesthesia treatment in cases of infant epiglottis cyst
emergency extirpation operations. Genetics and Molecular Research 2014:
13(2): 4523-8
8. Snell R. Head and Neck. Clinical Anatomy by Regions. Philadelphia. 2011.
527-41.
9. Sadler TW. Head and Neck. Langmans’s Medical Embryology. 14th
ED.
Philadelphia. 2019. 632-45.
10. Sanjeev M, Gopinath M. Endoscopic assisted therapeutic marsupialisation of
vallecular cyst in a seven year old Boy –A rarity in modern Clinical Practice.
Journal of Evolution of Medical and Dental Science. 2013; Vol2, Issue 24,
June 17; 4320-24.
11. Ming L, Wei Y, Tai C. Treatment of wide-based epiglottic cyst by
microdebrider. Medical Devices: Evidence and Research. 2009:2 41–45
21
12. Bushan L, Rajagopal K, Lathika S. Vallecular cyst. Indian J Othorhinol. 2013:
55 (2) :130-1
13. Polat B, Karahatay S, Gerek M. Epiglottic cyst as an etiological factor of
globus sensation. Turkey. 2015. 26: 363-6.
14. Nur, Gülben, Sinan. Papillary adenocarcinoma of the epiglottis. Turk J Med
Sci. 2012 (32) : 185-7
15. Carlucci C, Ricci M. Exolaryngoscopy: a new technique for laryngeal surgery.
Acta Otorhinolaryngol Ital. 2012; 32(5): 326–8
16. Wackym PA, Snow JB. Ballenger’s Otorhinolaryngology. Immune and
Idiopathic disorders. Relapsing Polychondritis. 18th
ed. USA. 2016. 3203-04.

More Related Content

What's hot

3. laring
3. laring3. laring
3. laring
fikri asyura
 
Perforasi gaster
Perforasi gasterPerforasi gaster
Perforasi gaster
Ahmad Rizzqi
 
2. airway and breathing management 11
2. airway and breathing management 112. airway and breathing management 11
2. airway and breathing management 11Benny Gustian
 
Ppt edema paru referat rifki
Ppt edema paru referat rifkiPpt edema paru referat rifki
Ppt edema paru referat rifki
rifkikholis
 
Penatalaksanaan Jalan Nafas
Penatalaksanaan Jalan NafasPenatalaksanaan Jalan Nafas
Penatalaksanaan Jalan Nafastandangsusanto
 
Insisi abdomen pada anak
Insisi abdomen pada anak Insisi abdomen pada anak
Insisi abdomen pada anak
satyadr25
 
Anatomi hidung dan tenggorokan
Anatomi hidung dan tenggorokanAnatomi hidung dan tenggorokan
Anatomi hidung dan tenggorokan
Brenda Panjaitan
 
EKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptx
EKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptxEKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptx
EKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptx
ssuserf7f400
 
CBD otitis eksterna
CBD otitis eksternaCBD otitis eksterna
CBD otitis eksterna
CoassTHT
 
Epistaksis
EpistaksisEpistaksis
Epistaksis
fikri asyura
 
Hernia diafragmatika
Hernia diafragmatikaHernia diafragmatika
Hernia diafragmatika
Meri Fitri
 
Tatalaksana WSD.pptx
Tatalaksana WSD.pptxTatalaksana WSD.pptx
Tatalaksana WSD.pptx
theoronaldo1
 
BIBIR SUMBING by Rakhel Sagrim
BIBIR SUMBING by Rakhel SagrimBIBIR SUMBING by Rakhel Sagrim
BIBIR SUMBING by Rakhel Sagrim
dr. Rachel Sagrim
 
Anatomi dan fisiologi tht kl
Anatomi dan fisiologi tht klAnatomi dan fisiologi tht kl
Anatomi dan fisiologi tht klSry Surniaty
 
Modul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokan
Modul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokanModul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokan
Modul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokanUwes Chaeruman
 
Atresia Esofagus
Atresia EsofagusAtresia Esofagus
Atresia Esofagus
Hanifa Rahmadilla
 
Pemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada AnakPemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada Anak
Syscha Lumempouw
 
Inguinal Hernia
Inguinal HerniaInguinal Hernia
Inguinal Hernia
Alda Simbolon
 

What's hot (20)

Faringitis
FaringitisFaringitis
Faringitis
 
3. laring
3. laring3. laring
3. laring
 
Perforasi gaster
Perforasi gasterPerforasi gaster
Perforasi gaster
 
2. airway and breathing management 11
2. airway and breathing management 112. airway and breathing management 11
2. airway and breathing management 11
 
Ppt edema paru referat rifki
Ppt edema paru referat rifkiPpt edema paru referat rifki
Ppt edema paru referat rifki
 
Penatalaksanaan Jalan Nafas
Penatalaksanaan Jalan NafasPenatalaksanaan Jalan Nafas
Penatalaksanaan Jalan Nafas
 
Insisi abdomen pada anak
Insisi abdomen pada anak Insisi abdomen pada anak
Insisi abdomen pada anak
 
Anatomi hidung dan tenggorokan
Anatomi hidung dan tenggorokanAnatomi hidung dan tenggorokan
Anatomi hidung dan tenggorokan
 
EKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptx
EKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptxEKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptx
EKG_Dasar_dan_Cara_Interpretasi.pptx
 
CBD otitis eksterna
CBD otitis eksternaCBD otitis eksterna
CBD otitis eksterna
 
Epistaksis
EpistaksisEpistaksis
Epistaksis
 
Hernia diafragmatika
Hernia diafragmatikaHernia diafragmatika
Hernia diafragmatika
 
Tatalaksana WSD.pptx
Tatalaksana WSD.pptxTatalaksana WSD.pptx
Tatalaksana WSD.pptx
 
BIBIR SUMBING by Rakhel Sagrim
BIBIR SUMBING by Rakhel SagrimBIBIR SUMBING by Rakhel Sagrim
BIBIR SUMBING by Rakhel Sagrim
 
Anatomi dan fisiologi tht kl
Anatomi dan fisiologi tht klAnatomi dan fisiologi tht kl
Anatomi dan fisiologi tht kl
 
Modul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokan
Modul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokanModul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokan
Modul 4 kb1 pemeriksaan telinga hidung tenggorokan
 
Atresia Esofagus
Atresia EsofagusAtresia Esofagus
Atresia Esofagus
 
Pemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada AnakPemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada Anak
 
Wsd
WsdWsd
Wsd
 
Inguinal Hernia
Inguinal HerniaInguinal Hernia
Inguinal Hernia
 

Similar to Case rian hasni (kista epiglotis) (1)

362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
AzwarArifkiSurg
 
[Tara] sken 1 pertemuan 2
[Tara] sken 1 pertemuan 2[Tara] sken 1 pertemuan 2
[Tara] sken 1 pertemuan 2
Taranida Hanifah
 
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docxreview jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
AuliaDwiJuanita
 
Pneumonia 131028101758-phpapp01
Pneumonia 131028101758-phpapp01Pneumonia 131028101758-phpapp01
Pneumonia 131028101758-phpapp01Egla Aliu
 
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra ReponibilisLaporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Tenri Ashari Wanahari
 
Referat vicki
Referat vickiReferat vicki
Referat vicki
Vicky Jessica Effendi
 
Asuhan Keperawatan pada Anak Dengan Hipospadia
Asuhan Keperawatan pada Anak Dengan HipospadiaAsuhan Keperawatan pada Anak Dengan Hipospadia
Asuhan Keperawatan pada Anak Dengan Hipospadia
Fransiska Oktafiani
 
c_fisiologi_rektum_dan_anus.doc
c_fisiologi_rektum_dan_anus.docc_fisiologi_rektum_dan_anus.doc
c_fisiologi_rektum_dan_anus.doc
ipung24
 
Ppt hipospadia
Ppt hipospadiaPpt hipospadia
Ppt hipospadiaMidwife
 
2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx
2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx
2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx
FitriHSudiamin
 
178664185 intubasi-pdf
178664185 intubasi-pdf178664185 intubasi-pdf
178664185 intubasi-pdf
Iir Irma Suryani
 
CASE REPORT THT
CASE REPORT THT CASE REPORT THT
CASE REPORT THT
RahayuNovianti1
 
Infeksi Odontogenik
Infeksi OdontogenikInfeksi Odontogenik
Infeksi Odontogenik
Vina Widya Putri
 
fisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdf
fisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdffisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdf
fisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdf
Anisyah Dewi Syah Fitri,M.Pd
 
Management Airway PPT.pptx
Management Airway PPT.pptxManagement Airway PPT.pptx
Management Airway PPT.pptx
theoronaldo1
 
Case report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergiCase report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergijelly hariyati
 

Similar to Case rian hasni (kista epiglotis) (1) (20)

362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
 
[Tara] sken 1 pertemuan 2
[Tara] sken 1 pertemuan 2[Tara] sken 1 pertemuan 2
[Tara] sken 1 pertemuan 2
 
Pneumonia
PneumoniaPneumonia
Pneumonia
 
Pneumonia
PneumoniaPneumonia
Pneumonia
 
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docxreview jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
 
Pneumonia 131028101758-phpapp01
Pneumonia 131028101758-phpapp01Pneumonia 131028101758-phpapp01
Pneumonia 131028101758-phpapp01
 
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra ReponibilisLaporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
 
Referat vicki
Referat vickiReferat vicki
Referat vicki
 
Asuhan Keperawatan pada Anak Dengan Hipospadia
Asuhan Keperawatan pada Anak Dengan HipospadiaAsuhan Keperawatan pada Anak Dengan Hipospadia
Asuhan Keperawatan pada Anak Dengan Hipospadia
 
c_fisiologi_rektum_dan_anus.doc
c_fisiologi_rektum_dan_anus.docc_fisiologi_rektum_dan_anus.doc
c_fisiologi_rektum_dan_anus.doc
 
Ppt hipospadia
Ppt hipospadiaPpt hipospadia
Ppt hipospadia
 
2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx
2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx
2. PANDUAN PRAKTIKUM 2.docx
 
178664185 intubasi-pdf
178664185 intubasi-pdf178664185 intubasi-pdf
178664185 intubasi-pdf
 
CASE REPORT THT
CASE REPORT THT CASE REPORT THT
CASE REPORT THT
 
Infeksi Odontogenik
Infeksi OdontogenikInfeksi Odontogenik
Infeksi Odontogenik
 
fisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdf
fisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdffisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdf
fisiologi -patofisiologi sistem fonasi.pdf
 
Management Airway PPT.pptx
Management Airway PPT.pptxManagement Airway PPT.pptx
Management Airway PPT.pptx
 
Makalah labio palato
Makalah labio palatoMakalah labio palato
Makalah labio palato
 
OMSK
OMSKOMSK
OMSK
 
Case report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergiCase report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergi
 

Recently uploaded

Implan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdf
Implan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdfImplan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdf
Implan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdf
uncinbatuu
 
Kelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan gizi
Kelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan giziKelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan gizi
Kelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan gizi
Syartiwidya Syariful
 
Penanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.ppt
Penanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.pptPenanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.ppt
Penanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.ppt
SuryaniAnggun2
 
342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx
342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx
342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx
serdangahmad
 
Konsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdf
Konsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdfKonsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdf
Konsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdf
roomahmentari
 
25 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 2024
25 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 202425 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 2024
25 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 2024
SriyantiSulaiman
 
Buku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdf
Buku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdfBuku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdf
Buku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdf
SIMRS Cendana
 
MATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptx
MATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptxMATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptx
MATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptx
MeiLia12
 
peran desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptx
peran desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptxperan desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptx
peran desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptx
DionFranata2
 

Recently uploaded (9)

Implan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdf
Implan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdfImplan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdf
Implan di Indonesia - pemasangan efek samping komplikasi Mei 2024.pdf
 
Kelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan gizi
Kelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan giziKelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan gizi
Kelompok rentan gizi dsn penyakit terkait kekurangan gizi
 
Penanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.ppt
Penanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.pptPenanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.ppt
Penanggulangan Penyakit FLU SINGAPURA.ppt
 
342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx
342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx
342048743-MATERI-KONSELING-MENYUSUI.pptx
 
Konsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdf
Konsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdfKonsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdf
Konsep Dasar Keperawatan Komplementer 2020.pdf
 
25 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 2024
25 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 202425 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 2024
25 Kecakapan Kader.pptx Puskesmas Kota Ratu Tahun 2024
 
Buku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdf
Buku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdfBuku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdf
Buku Panduan Penggunaan Terminologi LOINC.pdf
 
MATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptx
MATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptxMATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptx
MATERI KEBIJAKAN DAN EVALUAS PPROGRAM KIA - GIZI.pptx
 
peran desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptx
peran desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptxperan desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptx
peran desa dalam narkoba dan pencegahannya.pptx
 

Case rian hasni (kista epiglotis) (1)

  • 1. Laporan Kasus DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KISTA EPIGLOTIS DENGAN EKSISI ENDOSKOPI Oleh: dr. Rian Hasni Pembimbing: dr. Lisa Apri Yanti, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Kelompok Staf Medik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2020
  • 2. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KISTA EPIGLOTIS DENGAN EKSISI ENDOSKOPI Rian Hasni, Lisa Apri Yanti Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Kelompok Staf Medik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Kista epiglotis merupakan kasus yang jarang dijumpai dan terdiri dari 4,3% sampai 6% dari semua tumor jinak laring. Kista epiglotis dikenal juga sebagai kista valekula, kista retensi, kista dasar lidah, kista kongenital dan kista duktus. Pada orang dewasa, kista yang berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista berukuran besar dapat menyebabkan disfagia, serak atau obstruksi jalan napas total. Kista laring yang besar dapat menimbulkan keluhan sensasi benda asing di tenggorokan, perubahan suara, sulit menelan atau sesak napas. Kista ini berupa massa kistik unilokular dengan ukuran bervariasi. Predileksi kista epiglotis yang paling sering terletak di bagian lingual epiglotis. Modalitas yang digunakan untuk penatalaksanaan kista epiglotis adalah aspirasi, marsupialisasi dan eksisi perendoskopi. Penyebab kista epiglotis masih belum diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh malformasi embriologi atau obstruksi duktus kelenjar lendir. Dilaporkan satu kasus kista epiglotis pada seorang laki-laki usia 59 tahun yang dilakukan tindakan eksisi dengan endoskopi. Kata kunci: Kista epiglotis, eksisi endoskopi Abstract Epiglottic cyst is a rare case and consists of 4.3% to 6% of all benign laryngeal tumors. Epiglottic cysts are also known as valecular cysts, retention cysts, tongue base cysts, congenital cysts and duct cysts. In adults, small cysts have no symptoms, while large cysts can cause dysphagia, hoarseness or total airway obstruction. Large laryngeal cysts can cause complaints of foreign body sensation in the throat, dysphonia, difficulty swallowing or shortness of breath. These cysts are unilocular cystic masses of varying sizes. Predilection of epiglottic cysts most often located in the lingual epiglottis. The modalities used for the management of epiglottic cysts are aspiration, marsupialisation and perendoscopic excision. The cause of epiglottic cysts is still unknown with certainty, thought to be caused by embryological malformations or obstruction of the mucous ducts. One case was reported of an epiglottic cyst in a 59-year-old male who performed endoscopic excision. Keywords: Epiglottic cyst, endoscopic excision
  • 3. 1 PENDAHULUAN Kista epiglotis merupakan kasus yang jarang dijumpai dan terdiri dari 4,3% sampai 6% dari semua tumor jinak laring. Penyakit ini mengacu pada lesi kistik pada epiglotis, diklasifikasikan sebagai tipe sakular, duktal dan kista tulang rawan tiroid. Pertumbuhan kista dapat terjadi karena adanya sumbatan dari saluran kelenjar di submukosa. Lokasi tersering dapat ditemukan pada plika vokalis (55%), plika ventrikularis (25%), atau pada epiglotis (20%). Pada orang dewasa kista ini lebih sering ditemui dan dapat berupa massa kistik unilokular dengan ukuran bervariasi. Kista yang berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista berukuran besar dapat menimbulkan keluhan sensasi benda asing di tenggorokan, perubahan suara, sulit menelan atau sesak napas karena obsruksi jalan napas total. Meskipun kista epiglotis merupakan lesi jinak, akan tetapi lokasinya di saluran napas atas memerlukan tindakan segera sebelum terjadi komplikasi gangguan jalan napas atas. Risiko obstruksi jalan napas cukup tinggi pada anak-anak karena saluran napas atas pada anak-anak sempit. 1,2 Beberapa kasus dan literatur melaporkan kejadian kista ini dengan istilah yang berbeda antara lain kista valekula, kista retensi, kista dasar lidah, kista kongenital dan kista duktus. Verneuil, pada tahun 1852, pertama kali menggambarkan adanya kista laring pada post mortem bayi. Pada tahun 1864, Durham pertama kali melaporkan kasus kista epiglotis pada seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, yang berhasil diobati dengan pembedahan. Sejak itu, berbagai kasus telah dilaporkan, tetapi kista laring termasuk kista epiglotis, masih menunjukkan angka kejadian yang relatif jarang. Predileksi yang paling sering terletak di bagian lingual epiglotis dan biasanya mengandung cairan serosa jernih dan tidak terinfeksi. Penyebabnya masih belum diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh malformasi embriologi atau obstruksi duktus kelenjar lendir. Lesi kistik lain yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada kista di daerah ini termasuk tiroid lingual, kista saluran tiroglossal, malformasi limfatik dan tumor kistik.3,4 Berger dkk pada tahun 1992 sampai 2004 menemukan 38 pasien dengan kista epiglotis dengan jumlah pasien laki-laki 26 orang dan perempuan 12 orang. Rentang usia 17 sampai 77 tahun, dengan rerata usia 38 tahun. Kista epiglotis pada
  • 4. 2 dewasa sering tanpa gejala dan ditemukan tanpa sengaja saat pemeriksaan fisik atau pada saat intubasi untuk kepentingan operasi lainnya. Namun berdasarkan penelitiannya gejala yang paling sering yaitu rasa mengganjal di tenggorokan (73,7%), odinofagia (71,1%), disfagia (71%), perubahan suara (28,9%), dan dyspnea (26,3%). Intervensi dini lebih baik meskipun penyakit ini belum menimbulkan gejala dan berukuran kecil. Modalitas yang digunakan untuk penatalaksanaan kista epiglotis adalah aspirasi, marsupialisasi dan eksisi perendoskopi. Tindakan operasi dengan reseksi kista yang besar dapat dipertimbangkan pada pasien dengan disfagia atau dyspnea. Pemeriksaan videofluoroscopic swallowing study (VFSS) merupakan gold standar penilaian disfagia dengan mengamati langsung masuknya bolus makanan dan pergerakan seluruh struktur saluran aerodigestif bagian atas.2,4,5 ANATOMI EPIGLOTIS Secara embriologi epiglotis berkembang dari lengkung faring keempat. Ia mulai terlihat pada usia kehamilan 5 minggu. Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus laringeus. Tangkainya disebut petioles dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Bagian atas epiglotis menjulur di belakang korpus hioid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke esofagus. Struktur histologis laring sama dengan trakea. Secara skematik, terdiri dari membran mukosa (epitel dan tunika propia), lamina elastik, membran submukosa (jaringan fibroadiposa), dengan kelenjar seromukosa dan skeleton kartilago. Secara histologis, kista mengandung epitel pernapasan dengan kelenjar mukus dan lapisan eksternal epitel skuamosa. 6,7 Tulang rawan mendapatkan perlekatan dari permukaan dorsal kartilago tiroid (melalui ligamentum thiroepiglotika), lidah (melalui lipatan epiglotis median), faring (melalui lipatan epiglotis lateral) dan sisi-sisinya melekat pada kartilago aritenoid oleh lipatan ariepiglotika. Bagian inferior permukaan anterior memiliki ligamentum hipoepiglotika yang menghubungkannya dengan tulang hyoid. Ruang antara akar lidah di depan dan permukaan lingual dari epiglotis
  • 5. 3 disebut valekula epiglotis yang hadir di setiap sisi lipatan median. Epiglotis dipersarafi oleh serabut saraf vagus dari ganglion inferior. Nervus laringeus rekuren memasuki laring dengan melewati alur antara trakea dan esofagus. Saraf ini mempersarafi otot-otot laring (selain krikothiroid). Serabut sensorik epiglotis berasal dari cabang laring internal saraf laring superior (cabang saraf vagus). 8 Gambar 1. Kartilago epiglotis 9 Bagian yang terletak di atas tulang hyoid disebut epiglotis suprahyoid dan bagian bawahnya adalah epiglotis infrahyoid. Ujung epiglotis melekat pada tulang rawan tiroid oleh ligamentum tiroepiglotik tepat di atas komisura anterior glotis. Ada yang memiliki lingual (anterior) dan permukaan laring (posterior). Ruang segitiga anterior epiglotis adalah ruang preepiglotis Boyer. Ruang ini, yang mengandung lemak, dibatasi oleh membran thyrohyoid di bagian anterior, epiglotis infrahyoid di posterior, dan ligamentum hioepiglotika superior. Ketika keganasan laring primer telah menyusup ke ruang Boyer melalui epiglotis infrahyoid, itu dianggap kurang sensitif terhadap radiasi saja. 8 Epiglotis memperoleh suplai darahnya dari arteri laring superior, yang merupakan cabang dari arteri tiroid superior (cabang dari arteri karotis eksternal). Ini memasuki laring dengan melewati celah membran thirohyoid. Drainase limfatik epiglotis terjadi di sepanjang arteri laring superior yang mengalir ke kelenjar getah bening serviks yang dalam. Drainase vena berasal dari vena laring superior dan inferior yang mengikuti jalur yang sama dengan arteri dan mengalir ke v. jugularis interna dan v. brakiosefalika kiri. Struktur histologis laring sama dengan trakea.
  • 6. 4 Secara skematik, terdiri dari membran mukosa (epitel dan tunika propia), lamina elastik, membran submukosa (jaringan fibroadiposa, kelenjar seromukosa) dan skeleton kartilago. Secara histologis, kista mengandung epitel pernapasan dengan kelenjar mukus, dengan lapisan eksternal epitel skuamosa. Distribusi kelenjar mukosa laring pada plika vokalis dianggap tidak memiliki kelenjar, sedangkan konsentrasi terbesar kelenjar ini ditemukan pada plika ventrikularis dan permukaan subglotis dari komisura anterior. Bagian bebas dari epiglotis mengandung beberapa kelenjar terutama pada permukaan lingual.8 KEKERAPAN Berger melakukan penelitian pada tahun 1992 sampai 2004 dengan menggunakan data sekunder di Meir Medical Centre, didapatkan 38 pasien kista epiglotis. Jumlah pasien laki-laki 26 orang dan perempuan 12 orang. Rentang usia 17 sampai 77 tahun, dengan rerata usia 38 tahun. Gejala yang paling sering adalah rasa mengganjal di tenggorokan (73,7%), odinofagia (71,1%), disfagia (71%), perubahan suara (28,9%), dan dispneu (26,3%). 5 Berbeda dengan hasil penelitian Singhal dkk di India pada tahun 2000 sampai 2010, didapatkan 24 kasus kista epiglotis. Dari 24 pasien tersebut jumlah pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rentang usia 32 sampai 60 tahun, usia rata-rata 46 tahun. Semua pasien datang dengan keluhan rasa mengganjal di tenggorokan seperti ada benda asing yang tersangkut. Dari 24 pasien, 66,67% disertai perubahan suara dan 9,52% rasa tercekik. Berdasarkan penelitian ini lokasi tersering kista epiglotis adalah permukaan lingual epiglottis (61,9%), ariepiglotis (23,8%), dasar lidah (9,5%) dan dinding lateral valekula (4,7%). Dari hasil patologi anatomi 80,9% merupakan kista retensi mucus, lainnya adalah kista limfoepitelial (2 kasus) dan kista miksolipoma (1 kasus). Dari 24 kasus, 2 pasien mengalami rekurensi. 5 Penelitian Muslih dkk di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Januari 2004 sampai Desember 2008 didapatkan 37 kista laring, 4 di antaranya adalah kista epiglotis. Dari keempat kasus tersebut, 1 pasien merupakan kista kongenital dan 3 lainnya kista yang didapat. Di RSMH Palembang, selama 2017 sampai 2019 didapatkan 9 kasus kista epiglotis pada pasien dewasa.
  • 7. 5 PATOFISIOLOGI Beberapa teori menjelaskan patogenesis kista epiglotis, dua hipotesis diantaranya menyebutkan kista muncul akibat obstruksi duktus atau malformasi embriologi. Ada berbagai klasifikasi histopatologi kista laring termasuk kista epiglotis. Pada tahun 1922, Myerson mengklasifikasikan kista ini menjadi tipe retensi, embrionik, vaskular dan traumatik. Namun, klasifikasi ini komplek dan tidak praktis. Pada tahun 1970, DeSanto membuat klasifikasi berdasarkan lokasi dan permukaan mukosa, kista dibagi menjadi kista kartilago tiroid, kista duktal dan kista sakular. 3,10 Kista kartilago tiroid terjadi akibat sisa pembuluh darah embrionik di tulang rawan tiroid yang menonjol pada mukosa. Kista sakular adalah lesi submukosa dan ditutupi oleh lapisan mukosa lengkap, dapat terjadi pada ventrikel laring, plika vokalis, plika ventrikularis, dan lipatan ariepiglotis. Kista sakular terbentuk sebagai hasil dari perluasan yang berlebihan dari sakula plika ventrikularis pada laring. Kista ini sering terlihat pada neonatus, meskipun kadang-kadang pada orang dewasa. Kista sakular lebih besar daripada kista duktal. Kista duktal merupakan jenis kista yang paling sering. Kista terjadi akibat obstruksi saluran ekskresi dari glandula submukosa. Kista duktal disebut juga kista retensi atau kista mukosa. Kista ini dapat muncul di semua bagian dari laring terutama muncul pada membran mukosa yang dilapisi epitel skuamosa atau epitel kolumner bersilia. Menurut klasifikasi Handerson, ada tiga jenis kista laring yaitu kista duktal, kista sakular dan kista tulang rawan tiroid foraminal, yang jarang terjadi. Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang paling sering digunakan. Dalam sebuah penelitian histologis pada tahun 1984, Newman mengkategorikan kista menjadi tiga jenis yaitu tipe epithelial (terbagi menjadi sakular dan duktal), tipe tonsilar dan tipe onkositik. 3,10 DIAGNOSIS Kista epiglotis biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat pemeriksaan rutin THT, laringoskopi, intubasi dan endoskopi gastrointestinal atas. Pada orang dewasa, kista berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista berukuran besar menyebabkan disfagia, suara serak atau obstruksi jalan napas total. Beberapa kista dapat menyebabkan epiglotitis akut. Obstruksi jalan napas adalah gejala pada
  • 8. 6 anak usia dini karena kista kongenital. Bayi dengan kista berukuran kecil dapat tidak menimbulkan gejala, tetapi bila kista berukuran besar gejala klinis muncul berupa sianosis, dispnea dan tersedak. Bayi dapat dengan mudah tersedak sampai menimbulkan kematian jika tidak terdiagnosis cepat dan mendapatkan penatalaksanaan bedah. Sebagian besar kista epiglotis pada orang dewasa bersifat jinak dan asimptomatik. Oleh karena itu, intervensi dini lebih baik pada kasus kista yang ditemukan secara kebetulan pada orang dewasa. 2,3,7 Gambar 3. Kista epiglotis pada anak laki-laki, 7 tahun, dengan keluhan rasa mengganjal di tenggorokan dan kesulitan menelan makanan padat.10 Diagnosis kista epiglotis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, radiologi dan patologi anatomi. Dari anamnesis didapatkan berbagai keluhan dan gejala, mulai dari asimptomatik hingga berat. Gejala dapat berupa rasa mengganjal di tenggorokan seperti ada benda asing, odinofagia, disfagia, perubahan suara, dan dispneu akibat obstruksi saluran nafas. Pada pemeriksaan fisik, lesi dapat dilihat dengan laringoskopi indirek, videolaringoskopi, laringoskopi fleksibel atau bronkoskopi fleksibel. Lesi tampak sebagai massa kistik unilokular dengan berbagai ukuran, paling sering muncul di permukaan lingual epiglottis, berwarna kekuningan, berisi cairan serosa jernih dan tidak terinfeksi. Pemeriksaan penunjang seperti foto polos leher lateral, USG tiroid, dan tomografi komputer juga memberikan informasi yang berguna untuk diagnosis. Walaupun demikian pemeriksaan penunjang bukanlah hal rutin yang dilakukan pada penegakkan diagnosis kista epiglotis.10,11
  • 9. 7 Gambar 4. Kista epiglotis pada wanita 55 tahun, asimtomatik. A. Lidah (panah), C. Uvula, D. Massa kistik pada sisi kanan bagian sublingual epiglotis, E. Epiglotis (panah), kista epiglotis 3 Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil aspirasi dan tindakan marsupialisasi dalam narkose umum. Jika massa tidak berbentuk kistik, evaluasi lebih lanjut dengan CT scan, MRI, sonogram leher dan esofagogram. Radiografi lateral leher dapat memperlihatkan kista epiglotis sebagai massa jaringan lunak pada hipofaring dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan laringoskopi. Pada CT scan terlihat gambaran dinding kista yang tipis dan densitas isi kista yang homogen. Kemungkinan suatu nodul tiroid lingual ektopik harus selalu dianggap sebagai diagnosis banding untuk setiap pembengkakan yang timbul pada sepertiga posterior dari lidah. Diagnosis banding yang lain adalah kista duktus tiroglosus, limfangioma, hemangioma, kondroma, tiroid lingual dan papiloma. Sehingga untuk diagnosis pasti kista epiglotis adalah hasil pemeriksaan patologi anatomi. Kemungkinan suatu nodul tiroid lingual ektopik harus selalu dianggap sebagai diagnosis banding untuk setiap pembengkakan yang timbul pada di sepertiga posterior dari lidah. Diagnosis banding yang lain adalah meliputi kista duktus tiroglosus, limfangioma, hemangioma, kondroma, tiroid lingual dan papiloma.2,10,12 PENATALAKSANAAN Intervensi dini lebih baik meskipun kista epiglotis belum menimbulkan gejala dan berukuran kecil. Modalitas yang digunakan untuk penatalaksanaan kista epiglotis adalah aspirasi, marsupialisasi dan eksisi perendoskopi. Kista berukuran besar dapat direseksi dengan reseksi eksternal melalui leher. Aspirasi tidak dianjurkan karena berisiko mengalami rekurensi tetapi dapat digunakan untuk
  • 10. 8 mengurangi volume kista sebelum pembedahan. Kekambuhan lokal kista epiglotis dapat diminimalkan dengan pengangkatan lengkap dari dinding kista. Baru-baru ini, laser CO2 telah berhasil diaplikasikan pada semua kasus karena kelebihan laser terletak pada faktor koagulasinya yang tinggi dan waktu pemulihannya yang lebih singkat. Aspirasi sederhana tidak lagi dianjurkan karena tingkat kekambuhan tinggi, tetapi dapat digunakan untuk mengurangi volume kista sebelum pembedahan atau reseksi dengan laser CO2. Operasi pengangkatan kista menggunakan elektrokauter, laser atau mikrodebrider adalah pilihan utama. Marsupialisasi adalah prosedur yang aman ketika dilakukan dengan laser CO2. Saat ini, pembedahan dengan bantuan endoskopi, dan instrumen operasi minimal invasif sering digunakan untuk operasi minimal invasif pada tenggorok. Antibiotik dianjurkan setelah operasi untuk menghindari epiglotitis akut.2, 3,10 Gambar 5. A. Massa kistik sebelum tindakan reseksi dengan laser CO2, B. Setelah tindakan reseksi kista dengan laser CO2 3 KOMPLIKASI Kista epiglotis sendiri memiliki risiko menimbulkan obstruksi jalan nafas. Sebagai contoh saat induksi anestesi, kista yang asimtomatik dan tidak terdiagnosis dapat menyebabkan gagal nafas karena saat relaksasi otot dapat mendorong kista ke arah laring menyebabkan obstruksi parsial atau total dari jalan nafas sehingga menyulitkan proses ventilasi dan intubasi. Dengan demikian lesi dapat berpotensi mengancam nyawa dan mungkin memerlukan trakeostomi emergensi. Komplikasi lain adalah potensi terjadinya infeksi sekunder dari kista. Hal ini dapat berlanjut ke epiglotitis dan abses epiglotis, yang bisa menjadi penyebab obstruksi jalan napas dan gagal napas. Bila terjadi infeksi sekunder, maka tindakan eksisi kista epiglotis
  • 11. 9 dianjurkan setelah inflamasi teratasi untuk mengurangi kekambuhan. Penatalaksanaan kista epiglotis antara lain aspirasi, marsupialisasi dan eksisi perendoskopi. Aspirasi sederhana tidak lagi direkomendasikan karena tingkat rekurensinya tinggi. Pengangkatan yang tidak lengkap dari dinding kista dapat menyebabkan timbulnya kista secara berulang. 3,7 LAPORAN KASUS Seorang laki-laki usia 59 tahun, bekerja sebagai petani kebun karet dan tinggal di luar kota Palembang datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tanggal 28 Februari 2019 dengan keluhan utama rasa mengganjal saat menelan sejak 3 bulan yang lalu, rasa mengganjal dirasakan makin lama makin bertambah. Keluhan nyeri tenggorokan, nyeri menelan, sulit menelan, tersedak saat menelan, perubahan suara, sesak nafas, batuk dan bengkak pada leher tidak dirasakan oleh pasien. Riwayat ketulangan, radang tenggorokan, atau infeksi saluran nafas atas sebelumnya disangkal. Riwayat kebiasaan merokok ada dan minum alkohol disangkal. Pasien berobat ke rumah sakit di daerahnya lalu dirujuk ke RSMH Palembang. Gambar 6. Foto pasien Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82 x/menit, temperatur dan pernafasan dalam batas normal, tidak ada tanda obstruksi jalan nafas. Pemeriksaan leher tidak ditemukan adanya benjolan ataupun pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok juga tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan telelaringoskopi indirek tampak massa kistik kekuningan bentuk
  • 12. 10 globular dengan permukaan licin dan terlihat pembuluh darah di permukaan pada sisi kanan epiglotis bagian lingual, massa ini tidak menutupi jalan napas. Pergerakan plika vokalis dan plika ventrikularis baik dan simetris, tidak ada perlengketan, aritenoid tenang, sinus piriformis tenang, standing secretion tidak ada. Gambar 7. Pemeriksaan Laringoskopi Indirek. A. Massa epiglotis bentuk globular warna kekuningan. B. Epiglotis, tampak massa melekat pada sisi kanan epiglotis bagian lingual. Pada gambaran radiologis foto polos servikal anteroposterior dan lateral tanggal 12 Maret 2019 tampak soft tissue mass pada regio coli setinggi vertebrae C3-C4. Diagnosis kerja pada saat ini ditegakkan massa epiglotis suspek kista epiglotis. Kemudian direncanakan untuk dilakukan operasi eksisi endoskopi kista epiglotis dalam narkose umum. Dilakukan persiapan operasi dengan melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan rontgen thorax. Hasil laboratorium darah tanggal 13 Maret 2019 sebagai berikut hemoglobin 12,2 g/dl, leukosit 7.060/mm3 , trombosit 137.000/mm3 , waktu pembekuan 9 menit, waktu perdarahan 2 menit, BSS 99 mg/dl, ureum 32 mg/dL, kreatinin 0,72 mg/dL. Hasil rontgen thorax, kesan cor pulmo dalam batas normal. Pasien dikonsulkan ke bagian Anestesi kesan setuju tindakan operasi dengan status fisik ASA 1. Gambar 8. Rontgen Soft Tissue Cervical AP/L, tampak soft tissue mass pada regio coli setinggi vertebrae C3-C4.
  • 13. 11 Pada tanggal 15 Maret 2019 dilakukan operasi eksisi endoskopi kista epiglotis. Dilakukan pemasangan mouth gag, tampak massa berwarna kuning dengan permukaan rata dan dasar melekat pada epiglotis bagian lingual kanan. Massa epiglotis dijepit dengan forsep dan dilakukan eksisi kista secara tajam dengan gunting. Evaluasi perdarahan dan kontrol perdarahan dengan menggunakan kaustik. Didapatkan massa ukuran 2,8cm x 1,7cm x 0,9cm. Jaringan dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk diperiksa. Terdapat vulnus laseratum pada epiglotis bagian kanan lalu dilakukan penjahitan dengan benang PGA 3.0 sebanyak 1 jahitan. Diagnosis paska operasi massa epiglotis suspek kista epiglotis, post eksisi massa epiglotis. Gambar 9. Prosedur operasi. A. Tampak kista epiglotis, B. Eksisi kista secara tajam dengan gunting, C. Kista diangkat secara utuh, D. Terdapat vulnus laseratum pada epiglotis bagian kanan, E. Dilakukan penjahitan dengan benang PGA 3.0 sebanyak 1 jahitan, F. Massa kistik ukuran 2,8cm x 1,7cm x 0,9cm. Paska operasi pasien diberikan terapi antibiotik seftriaksone 1 gram intravena tiap 12 jam, metronidazole 500 mg tiap 8 jam, methylprednisolone 125 mg tiap 12 jam, sukralfat sirup 15 ml tiap 8 jam, omeprazole 20 mg tiap 12 jam dan natrium diklofenak 50 mg tiap 12 jam. Diet cair melalui selang NGT. Hari pertama paska operasi, keluhan nyeri dan rasa kering pada tenggorokan ada, tidak ada rasa mengganjal, tidak ada darah keluar dari mulut, tidak ada sesak, terapi dilanjutkan.
  • 14. 12 Hari keempat paska operasi, dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi daerah operasi pada epiglotis bagian lingual tampak jaringan fibrin, massa tidak ada, bekuan darah tidak ada, darah mengalir tidak ada, pus tidak ada, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris bilateral, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Pasien dipulangkan dan diberikan terapi cefixime 100 mg tiap 12 jam, natrium diklofenak 50 mg tiap 12 jam dan sukralfat sirup 15cc tiap 8 jam dalam 50cc air kumur telan. Pasien diminta untuk kontrol 1 minggu lagi ke poliklinik THT-KL RSUP. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Gambar 10. Gambaran laringoskopi post operasi hari ke-4 Pada kontrol tanggal 25 Maret 2019, hari ke-10 paska operasi, keadaan umum pasien baik, keluhan tidak ada. Dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi, epiglotis bagian lingual tampak jaringan fibrin, epiglotis tampak mengalami hipolplasia, pus tidak ada, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris bilateral, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Pasien membawa hasil pemeriksaan histopatologi dengan gambaran mikroskopik dijumpai kista berlapis skuamous kompleks tidak berkeratin, kesan kista tonsilar pada regio epiglotis. Gambar 11. Gambaran laringoskopi post operasi hari ke-10 Pada kontrol tanggal 1 Mei 2019, 1,5 bulan paska operasi, keadaan umum pasien baik, keluhan tidak ada, pasien dapat makan dan minum seperti biasa,
  • 15. 13 keluhan tersedak saat makan atau minum tidak ada, sesak napas tidak ada, perubahan suara tidak ada. Dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi, luka operasi pada epiglotis tidak tampak lagi, epiglotis tampak mengalami hipolplasia, mukosa sudah kembali utuh, aritenoid tenang, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Pasien didiagnosis dengan kista epiglotis post eksisi dan fibrosis epiglotis. Gambar 12. Gambaran laringoskopi post operasi 1.5 bulan Pada tanggal 3 Mei 2019 dilakukan operasi kedua yaitu injeksi steroid pada epiglotis. Dilakukan pemasangan klainsesser sampai tampak epiglotis. Dilakukan evaluasi, tampak epiglotis yang mengalami hipoplasia dan teraba konsistensi keras seperti jaringan fibrotik. Lalu dilakukan injeksi dexametason sebanyak 0.5 ml pada epiglotis. Evaluasi perdarahan dan kontrol perdarahan dengan menggunakan kapas efedrin. Diagnosis paska operasi fibrosis epiglotis post injeksi epiglotis. Pasien juga dikonsulkan ke divisi bronkoesofagologi untuk dilakukan pemeriksaan fungsi menelan, FEES. Pada preswallowing assessment, tonsil lingual derajat 2 tidak menutupi valekula, epiglotis tenang, pergerakan plika vokalis normal, standing secretion tidak ada, penetrasi tidak ada, silent aspirasi tidak ada, tonus otot dinding lateral faring simetris. Pada pemberian bubur saring (purae), bubur nasi (gastric rice), bubur tepung (havermout), susu cair (thick liquid), air putih (thin liquid) dan biscuit (crackers) didapatkan residu minimal, penetrasi tidak ada, leakage tidak ada, aspirasi tidak ada. Dari hasil pemeriksaan FEES didapatkan kesan kelainan bentuk epiglotis dan tidak ada disfagia, pasien disarankan diet makan seperti biasa.
  • 16. 14 Gambar 13. Gambaran laringoskopi hari ke-1 post operasi kedua Paska operasi pasien diberikan terapi antibiotik sistemik seftriaxone 1 gram intravena tiap 12 jam, methylprednisolone 125 mg injeksi tiap 8 jam, ketorolac 30 mg injeksi tiap 8 jam, omeprazole 40 mg tiap 12 jam per oral. Diet nasi lunak. Hari pertama paska operasi, keluhan nyeri dan rasa kering pada tenggorokan ada, tidak ada rasa mengganjal, tidak ada darah keluar dari mulut, tidak ada sesak, terapi dilanjutkan. Hari keempat paska operasi, dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi daerah operasi pada epiglotis, bekuan darah tidak ada, darah mengalir tidak ada, pus tidak ada, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris bilateral, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Pasien dipulangkan dan diberikan terapi omeprazole 20 mg tiap 12 jam per oral dan mecobalamin 500 mg tiap 12 jam per oral. Pasien diminta untuk kontrol 1 minggu lagi ke poliklinik THT-KL RSUP. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Pada hari ke-18 paska operasi pasien kontrol ulang ke klinik THTKL RSMH. Didapatkan keluhan nyeri dan rasa kering pada tenggorokan tidak ada, tidak ada rasa mengganjal, tidak ada sesak, terapi dilanjutkan. Dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi daerah operasi pada epiglotis, epiglotis tampak mengalami hipolplasia, aritenoid tenang, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. diberikan terapi omeprazole 20 mg tiap 24 jam per oral dan mecobalamin 500 mg tiap 12 jam per oral. Epiglotis yang mengalami hipoplasia dicurigai sebagai suatu kelainan autoimun yaitu suspect relapsing polychondritis. Akan tetapi pasien menolak saat akan dikonsulkan ke bagian imunologi departemen penyakit dalam untuk pemeriksaan lebih lanjut.
  • 17. 15 Gambar 14. Gambaran laringoskopi hari ke-18 post operasi kedua Pada kontrol bulan Desember 2019 (6 bulan) paska operasi kedua, keadaan umum pasien baik, keluhan tidak ada, pasien dapat makan dan minum seperti biasa, keluhan tersedak saat makan atau minum tidak ada, sesak napas tidak ada, perubahan suara tidak ada. Dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi, epiglotis tampak mengalami hipolplasia, aritenoid tenang, plika vokalis dan plika ventrikularis pergerakan simetris, sinus piriformis standing sekresi tidak ada. Gambar 15. Gambaran laringoskopi post operasi 6 bulan DISKUSI KASUS Telah dilaporkan satu kasus kista epiglotis pada seorang laki-laki usia 59 tahun. Insiden puncak pada orang dewasa terlihat pada dekade ke-5 dan ke-6 dan mayoritas pasien adalah laki-laki. Kista epiglotis lebih sering terjadi pada dekade ke-6 kehidupan, sesuai dengan usia pasien pada kasus ini, tetapi kista epiglotis bisa terjadi pada semua kelompok usia. Kista epiglotis biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat pemeriksaan rutin THT, laringoskopi, intubasi dan endoskopi gastrointestinal atas. Berdasarkan literatur angka kejadian pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Pada kasus ini pasien mempunyai kebiasaan merokok. Peradangan kronis diduga menjadi faktor dalam pembentukan kista
  • 18. 16 epiglotis, kebiasaan merokok dan adanya iritasi lainnya dapat meningkatkan angka kejadiannya. 3 Gejala dari kista epiglotis ini tergantung pada ukuran. Pada orang dewasa, kista berukuran kecil tidak menunjukkan gejala, sedangkan kista berukuran besar dapat menyebabkan sensasi benda asing, disfagia, perubahan suara, batuk bahkan hingga obstruksi jalan napas total. Pada kasus ini, keluhan utama pasien adalah rasa mengganjal saat menelan sejak 3 bulan yang lalu. Menurut Berger gejala yang paling sering adalah rasa mengganjal di tenggorokan (73,7%), odinofagia (71,1%), disfagia (71%), perubahan suara (28,9%), dan dispneu (26,3%). Abnormalitas dari epiglotis menyebabkan sensasi globus. Adanya kista pada epiglotis menyebabkan sensasi dari rasa mengganjal di tenggorokan.3,5,13 Kista laring termasuk kasus yang jarang, angka kejadiannya sekitar 4,3% sampai 6% dari semua tumor jinak laring. Kista epiglotis muncul pada regio epiglotis yang berlokasi di belakang dasar lidah. Bagian lingual epiglotis adalah lokasi tersering pada kista ini. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Handerson dkk yang menyatakan bahwa 52% kista laring berlokasi di sisi lingual epiglotis. Pada kasus ini, lesi juga tampak berada di sisi lingual dari epiglotis. Selain pada sisi lingual, kista juga dapat berlokasi pada tepi lateral epiglotis. Berdasarkan penelitian Singhal, dkk lokasi tersering kista epiglotis adalah permukaan lingual epiglottis (61,9%), ariepiglotis (23,8%), dasar lidah (9,5%) dan dinding lateral valekula (4,7%). Secara histologis, kista mengandung epitel pernapasan dengan kelenjar mukus, dengan lapisan eksternal epitel skuamosa. Distribusi kelenjar mukosa laring pada plika vokalis dianggap tidak memiliki kelenjar, sedangkan konsentrasi terbesar kelenjar ini ditemukan pada plika ventricular dan permukaan subglotis dari komisura anterior. Bagian bebas dari epiglotis mengandung beberapa kelenjar terutama pada permukaan lingual. 3,6,13,14 Pada pemeriksaan telelaringoskopi indirek yang dilakukan pada pasien, didapatkan kesan tampak massa kistik kekuningan bentuk globular dengan permukaan licin dan terlihat pembuluh darah di permukaan pada sisi kanan epiglotis bagian lingual, massa ini tidak menutupi jalan napas. Diameter traktus respiratorius lebih kecil pada bayi dan anak-anak, kista epiglotis sangat mungkin menyebabkan obstrusi jalan napas pada kelompok usia ini dan kista yang besar dapat
  • 19. 17 menyebabkan timbulnya stridor, sianosis saat makan, kesulitan bernapas dan berpotensi mengancam nyawa. 3 Rontgen soft tissue leher adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini sedangkan pemeriksaan CT scan atau MRI tidak dilakukan. Pada pemeriksaan rontgen tampak gambaran soft tissue mass pada regio coli setinggi vertebrae C3-C4. Pada kista epiglotis yang tampak secara klinis, penting untuk dilakukan pemeriksaan laringoskopi direk dan tindakan marsupialisasi pada kista. Pada kasus ini, saat dilakukan pemeriksaan telelaringoskopi indirek tampak massa kistik kekuningan bentuk globular dengan permukaan licin di permukaan pada sisi kanan epiglotis bagian lingual. Pemeriksaan CT scan atau MRI hanya dilakukan untuk mendeteksi kista epiglotis yang tidak tampak secara klinis atau pada pemeriksaan endoskopi tampak normal dan dipertimbangkan pada pasien dengan infeksi epiglotis akut rekuren atau abses.5 Penatalaksanaan pada pasien ini berupa tindakan eksisi endoskopi pada kista epiglotisnya. Pembedahan dengan eksisi merupakan terapi pilihan dengan kekambuhan yang rendah. Keterbatasan lapangan pandang terkadang menyebabkan sulit melakukan eksisi atau marsupialisasi. Pada pasien ini kista berukuran kecil, tetapi karena keterbatasan mobilitas, marsupialisasi sulit dilakukan. Pilihan lain adalah penggunaan microdebrider atau laser CO2. Microdebrider telah digunakan secara luas pada penatalaksanaan penyakit di bidang THT dengan pisau yang secara khusus dirancang untuk lesi di laring. Microdebrider efektif untuk kista epiglotis yang luas. Eksisi kista dengan laser CO2 memberikan manfaat vaporasi pada garis epitel yang menurunkan kekambuhan dan memberikan efek hemostasis yang baik. Penelitian di Philadelpia, menunjukkan bahwa kebanyakan kista epiglotis dapat secara baik ditatalaksana dengan menggunakan pendekatan endoskopi transoral. Kekambuhan tidak tergantung pada apakah kista di eksisi secara lengkap atau marsupialisasi. Ada kecenderungan angka kekambuhan lebih tinggi pada patologi dengan pseudokista. 10,11,15 Hasil pemeriksaan histopatologi pada pasien memberikan gambaran mikroskopik dijumpai kista berlapis skuamous kompleks tidak berkeratin, kesan kista tonsilar pada regio epiglotis. Ada berbagai klasifikasi histopatologi kista laring termasuk kista epiglotis. Pada tahun 1922, Myerson mengklasifikasikan kista ini
  • 20. 18 menjadi tipe retensi, embrio, pembuluh darah dan traumatik. Namun, klasifikasi ini komplek dan tidak praktis. Pada tahun 1970, Desanto et al membagi kista ini menjadi dua jenis yaitu tipe duktal dan tipe sakular. Menurut klasifikasi Handerson, ada tiga jenis kista laring yaitu kista duktal, kista sakular dan kista tulang rawan tiroid foraminal, yang jarang terjadi. Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang paling sering digunakan. Dalam sebuah penelitian histologis pada tahun 1984, Newman mengkategorikan kista menjadi tiga jenis yaitu tipe epithelial (terbagi menjadi sakular dan duktal), tipe tonsilar dan tipe onkositik. 3,10 Evaluasi pasien 6 bulan setelah operasi keluhan tidak ada. Keluhan sulit menelan tidak ada. Tersedak saat menelan tidak ada. Pemeriksaan menunjukkan terdapat kelainan bentuk pada epiglotis. Tidak tampak kekambuhan kista epiglotis pada pasien ini. Epiglotis yang mengalami hipoplasia dicurigai sebagai suatu kelainan autoimun yaitu suspect relapsing polychondritis. Akan tetapi pasien menolak saat akan dikonsulkan ke bagian imunologi departemen penyakit dalam untuk pemeriksaan lebih lanjut. Relapsing polychondritis (RP) adalah kondisi inflamasi berat, bersifat episodik, dan progresif yang melibatkan struktur tulang rawan. Kartilago telinga, hidung, dan laryngotracheobronchial paling sering terkena. Meskipun penyebabnya tidak diketahui, penyakit ini diyakini sebagai penyakit autoimun terhadap kolagen tipe II. Tidak ada kecenderungan pada jenis kelamin. RP lebih sering terjadi pada kulit putih dengan onset biasanya pada dekade kelima kehidupan, meskipun dapat terjadi pada usia berapa pun. RP di masa kanak-kanak bisa menjadi kondisi yang mengancam jiwa. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala dispnea akut, stridor dan poliartritis. Diagnosis lebih mudah ditegakkan ketika chondritis aurikular atau septum terjadi secara bersamaan. Frekuensi chondritis dan manifestasi sistemik RP pada anak-anak hamper sama pada dewasa. 16 Ada hubungan RP yang diketahui dengan penyakit autoimun lainnya termasuk rheumatoid arthritis, sindrom Sjogren dan SLE. Keterlibatan aurikula bilateral adalah manifestasi di bagian THT yang paling umum. Abnormalitas laring dapat terjadi pada sekitar setengah dari pasien dengan RP. Ketika terjadi pada kartilago laring maka proses peradangan, fibrosis dan kerusakan tulang rawan laring semuanya mungkin terjadi. Selain gejala demam, malaise, dan kelelahan
  • 21. 19 yang tidak spesifik, gejala lain dapat berupa suara serak, aphonia, wheezing, stridor inspirasi, batuk, nyeri dan dispnea. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk RP. Diagnosis dibuat secara klinis dengan beberapa kriteria penting yang diperlukan termasuk biopsi. Pada laringoskopi, bisa ditemukan adanya edema dan eritema glotis dan subglotis. Pengobatan bervariasi tergantung pada tingkat keparahan penyakit termasuk penggunaan NSAID, metotreksat dan kortikosteroid sistemik. Trakeostomi dipertimbangkan pada obstruksi jalan napas yang berat atau berulang. 16
  • 22. 20 DAFTAR PUSTAKA 1. Pandian S, Govarthanaraj A. Symptomatic vallecular cyst- how i do it? Int J Pharm Bio Sci. 2014. 5(2): 348 - 51 2. Ramanathan G, Shalini G, Karunanithi. Rigid endoscope-assisted tracheal intubation in a case of epiglottic cyst. South Afr J Anaesth Analg. 2011;17(2):190-2 3. Seung L et al. Epiglottic cyst incidentally discovered during screening endoscopy: A case report and review of literature. Korean J Fam Med. 2014;35:160-66. 4. Sunghwa ko, Euisuk S. Large epiglottic cyst detected on videofluoroscopic swallowing study. South Korea. 2018: 392: 311. 5. Berger G et al. Adult vallecular cyst: Thirteen Year Experience. American academy of otolaryngology head and neck surgery foundation. 2008. 138: 321- 27. 6. Wackym PA, Snow JB. Ballenger’s Otorhinolaryngology. Anatomy of the larynx . In : Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 18th ed. USA. 2016. 3474-79. 7. Q. Xu, J.P. Xu, Wang. Anesthesia treatment in cases of infant epiglottis cyst emergency extirpation operations. Genetics and Molecular Research 2014: 13(2): 4523-8 8. Snell R. Head and Neck. Clinical Anatomy by Regions. Philadelphia. 2011. 527-41. 9. Sadler TW. Head and Neck. Langmans’s Medical Embryology. 14th ED. Philadelphia. 2019. 632-45. 10. Sanjeev M, Gopinath M. Endoscopic assisted therapeutic marsupialisation of vallecular cyst in a seven year old Boy –A rarity in modern Clinical Practice. Journal of Evolution of Medical and Dental Science. 2013; Vol2, Issue 24, June 17; 4320-24. 11. Ming L, Wei Y, Tai C. Treatment of wide-based epiglottic cyst by microdebrider. Medical Devices: Evidence and Research. 2009:2 41–45
  • 23. 21 12. Bushan L, Rajagopal K, Lathika S. Vallecular cyst. Indian J Othorhinol. 2013: 55 (2) :130-1 13. Polat B, Karahatay S, Gerek M. Epiglottic cyst as an etiological factor of globus sensation. Turkey. 2015. 26: 363-6. 14. Nur, Gülben, Sinan. Papillary adenocarcinoma of the epiglottis. Turk J Med Sci. 2012 (32) : 185-7 15. Carlucci C, Ricci M. Exolaryngoscopy: a new technique for laryngeal surgery. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2012; 32(5): 326–8 16. Wackym PA, Snow JB. Ballenger’s Otorhinolaryngology. Immune and Idiopathic disorders. Relapsing Polychondritis. 18th ed. USA. 2016. 3203-04.