Persamaan Schrödinger menjelaskan perilaku elektron dalam atom sebagai gelombang. Dokumen ini menjelaskan bagaimana fungsi Hamilton dapat digunakan untuk menggambarkan energi elektron dan mengembangkan operator momentum dan energi. Hal ini memungkinkan pengembangan persamaan Schrödinger satu dan tiga dimensi, baik yang bergantung waktu maupun bebas waktu.
1. BAB 3
Persamaan Gelombang Schrödinger
Schrödinger menyatakan bahwa perilaku elektron, termasuk tingkat-tingkat energi
elektron yang diskrit dalam atom, mengikuti suatu persamaan diferensial untuk
gelombang, yang kemudian dikenal sebagai persamaan Schrödinger. Persamaan ini
biasanya tidak dibahas secara mendalam jika membicarakan masalah material, lebih-
lebih pada buku ajar tingkat sarjana. Daniel D Pollock membahas hal ini lebih
mendalam dalam bukunya, namun ada satu langkah yang dihilangkan dalam
mengintroduksi operator momentum maupun energi. Di sini kita akan mencoba
menelusurinya dalam pembahasan yang agak terurai namun tetap sederhana.
3.1. Fungsi Hamilton
Jika gelombang dapat mewakili elektron maka energi gelombang dan energi partikel
elektron yang diwakilinya haruslah sama. Sebagai partikel, satu elektron mempunyai
energi total yang terdiri dari energi potensial dan energi kinetik. Seperti kita ketahui,
energi potensial merupakan fungsi posisi x (dengan referensi koordinat tertentu) dan
kita sebut Ep(x), sedangkan energi kinetik adalah Ek = ½mv2 dengan m adalah massa
elektron dan v adalah kecepatannya. Energi total electron sebagai partikel menjadi E
= Ep + Ek
mv 2 p2
E= + E p ( x) atau E= + E p ( x) (3.1)
2 2m
di mana p = mv adalah momentum elektron.
Jika kita pandang persamaan (3.1) ini sebagai persamaan matematis biasa, kita dapat
menuliskannya sebagai
p2
E ≡ H ( p, x ) = + E p ( x) (3.2)
2m
H(p,x) adalah sebuah fungsi yang disebut fungsi Hamilton (dari William Rowan
Hamilton 1805 – 1865; matematikawan Irlandia), dengan p dan x adalah peubah-
peubah bebas.[4]. Turunan parsial fungsi ini terhadap p dan x masing-masing adalah
∂H ( p, x) p ∂H ( p, x) dE p ( x)
= dan = (3.3)
∂p m ∂x dx
Kalau kita memandang (3.1) kembali sebagai suatu persamaan besaran fisika dengan
p dan x adalah momentum dan posisi¸ maka kita peroleh
∂H ( p, x) p dx
= = ve = dan (3.4.a)
∂p m dt
Persamaan Gelombang Schrödinger 23
2. ∂H ( p, x) ∂E p ( x) dv dp
− =− = F ( x) = m = (3.4.b)
∂x ∂x dt dt
Jadi turunan H(p,x) terhadap p memberikan turunan x terhadap t dan turunan H(p,x)
terhadap x memberikan turunan p terhadap t; dan kita pahami bahwa p di sini
adalah momentum, suatu besaran fisis dan bukan lagi hanya sebuah peubah-bebas
seperti dalam fungsi Hamilton.
Dalam relasi fisik, dx / dt = v adalah kecepatan, dan dp / dt = F adalah gaya. Dengan
demikian maka fungsi Hamilton, yang menetapkan hubungan antara peubah-peubah
bebas p dan x untuk memperoleh E, dapat kita gunakan untuk menggantikan
hubungan-hubungan fisik mengenai momentum, kecepatan, dan gaya yang biasa
dx p d 2x dv dp
kita nyatakan sebagai : p = mv ; v = = ; F=m
2
=m =
dt m dt dt dt
Perhatikan: sekali lagi p dan x dalam fungsi Hamilton adalah peubah-peubah
sedangkan p dan x dalam persamaan fisis adalah momentum dan posisi.
3.2. Fungsi Hamilton dalam Mekanika Kuantum
Dalam mekanika kuantum, elektron dinyatakan sebagai gelombang. Jika fungsi
Hamilton dapat diterapkan untuk elektron sebagai partikel, maka ia harus dapat
diterapkan pula untuk elektron sebagai gelombang. Hal ini akan kita lihat sebagai
berikut.
• Peubah p pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator momentum
agar jika dioperasikan terhadap suatu fungsi gelombang dapat menyatakan
momentum elektron yang tidak lagi dipandang sebagai partikel melainkan
sebagai gelombang.
• E pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator energi yang jika
beroperasi pada fungsi gelombang dari electron akan memberikan energi.
• Peubah x yang akan menentukan posisi elektron sebagai partikel, akan
terkait dengan posisi elektron sebagai gelombang sehingga peubah ini tidak
berubah pada fungsi gelombang dari elektron. Dalam kaitan ini perlu kita
ingat bahwa jika elektron kita pandang sebagai partikel maka momentum
dan posisi mempunyai nilai-nilai yang akurat. Jika elektron kita pandang
sebagai gelombang, maka kita dibatasi oleh prinsip ketidakpastian
Heisenberg.
Operator Momentum dan Operator Energi. Kita akan mencoba menelusuri
operator-operator yang diperlukan ini dengan memperhatikan bentuk fungsi
gelombang komposit, yaitu persamaan (2.5)
n
∑
u = e j[( ∆ωn )t − ( ∆k n ) x ] A0 e j ( ω0t − k0 x )
Jika fungsi ini kita turunkan terhadap t kita peroleh
24 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
3. ∂u
=
∂t n
∑
j∆ω n e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x ] A0 e j (ω0t − k0 x)
n
∑
+ e j[( ∆ωn )t −( ∆k n ) x ] jω 0 A0 e j (ω0t − k0 x)
yang dapat disederhanakan menjadi
∂u ∆ω
∂t
= jω 0 n
ω0 n
∑
e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x] A0 e j (ω0t − k0 x)
(3.5.a)
Dalam selang sempit ∆k maka ω n / ω 0 ≈ 1 ; dan jika ruas kiri dan kanan (3.5.a)
dikalikan dengan h dan mengingat bahwa energi E = hω maka kita akan
memperoleh
∂ ∂
h u = j (hω 0 )u = jEu atau − jh u = Eu (3.5.b)
∂t ∂t
E adalah energi total elektron. Akan tetapi jika kita melihat (3.5.b) sebagai suatu
persamaan matematik biasa maka kita dapat mengatakan bahwa E merupakan
sebuah operator yang beroperasi pada fungsi gelombang u dan
∂
E ≡ − jh (3.5.c)
∂t
Jika u kita turunkan terhadap x.
∂u
= ∑ (− j∆k n )e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x] A0 e j (ω0t −k0 x )
∂x n
+ ∑ e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x] (− jk 0 ) A0 e j ( ω0t −k0 x)
n
k
= − jk 0 n ∑ e j[( ∆ωn )t −( ∆k n ) x ] A0 e j ( ω0t −k0 x)
k0 n
Untuk kn / k0 ≈ 1 , jika ruas kiri dan kanan kita kalikan dengan h akan kita peroleh
∂ ∂
h u = − j (hk 0 )u = − jpu atau jh u = pu (3.5.d)
∂x ∂x
Seperti halnya untuk E pada (3.5.b), p pada (3.3.5.d) kita pandang sebagai operator
∂
p ≡ jh (3.5.e)
∂x
Dengan demikian kita mendapatkan operator untuk E pada (3.5.c) dan p pada
(3.5.e).
Persamaan Gelombang Schrödinger 25
4. Jika fungsi gelombang kita sebut Ψ dan mengoperasikan H(p,x) pada fungsi
gelombang ini, maka
p2
H ( p, x)Ψ = EΨ atau + E p ( x ) Ψ = EΨ ;
2m
Dengan memasukkan operator p akan kita peroleh
1 ∂ ∂
− jh − jh + E p ( x) Ψ = EΨ atau
2m ∂x ∂x
h 2 ∂ 2Ψ
− + E p ( x ) Ψ = EΨ (3.6)
2m ∂x 2
Inilah persamaan Schrödinger untuk satu dimensi. Untuk tiga dimensi, persamaan
Schrödinger itu menjadi
h2 2
− ∇ Ψ + E p ( x , y , z ) Ψ = EΨ (3.7)
2m
3.3. Persamaan Schrödinger Bebas-waktu
Aplikasi persamaan Schrödinger dalam banyak hal akan berkaitan dengan energi
potensial, yaitu besaran yang merupakan fungsi posisi dan tidak merupakan fungsi
waktu. Perhatian kita tidak tertuju pada keberadaan elektron dari waktu ke waktu,
melainkan tertuju pada kemungkinan dia berada dalam selang waktu yang cukup
panjang. Jadi jika faktor waktu dapat dipisahkan dari fungsi gelombang, maka hal
itu akan menyederhanakan persoalan. Kita tinjau kasus satu dimensi dan menuliskan
persamaan gelombang sebagai Ψ ( x, t ) = ψ ( x) T (t ) . Jika persamaan gelombang ini
kita masukkan ke persamaan (3.6) dan kedua ruas kita bagi dengan ψ ( x)T (t ) kita
memperoleh
h 2 1 ∂ 2 ψ ( x) 1 ∂T (t )
− + E p ( x ) = − jh (3.8)
2m ψ ( x) ∂x 2 T (t ) ∂t
Ruas kiri dari (3.8) merupakan fungsi x saja sedangkan ruas kanan merupakan
fungsi t saja. Karena kedua ruas merupakan fungsi dengan peubah yang berbeda
maka kedua ruas harus sama dengan suatu nilai konstan khusus, yang biasa disebut
eigenvalue.
Kita lihat lebih dahulu ruas kanan, yang akan memberikan persamaan Schrödinger
satu dimensi yang tergantung waktu:
1 ∂ T (t )
− jh = a = konstan (3.8.a)
T (t ) ∂t
Mengingat bentuk gelombang yang mewakili elektron adalah (2.5)
26 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
5. u = S ( x, t ) A0e j (ω0t − k0 x ) = S ( x, t ) A0e jω0t e− jk0 x
sedangkan S ( x, t ) adalah
S ( x, t ) = ∑ e j ( ∆ωn )t e − j ( ∆k n ) x
n
maka kita dapat mengambil bentuk T(t) sebagai T (t ) = B (t )e jωt untuk kita masukkan
ke (3.8.a), dan kita akan memperoleh
1 ∂B (t )e jωt
a = − jh
B (t )e jωt ∂t
(3.8.b)
jωB (t )e jωt
= − jh = hω = E
B (t )e jωt
Jadi konstanta a pada (3.8.a) adalah energi total elektron, E. Jika demikian halnya
maka ruas kiri (3.8) juga harus sama dengan E, sehingga dapat kita tuliskan sebagai
h 2 1 ∂ 2 ψ( x)
− + E p ( x) = E atau
2m ψ ( x) ∂x 2
h 2 ∂ 2 ψ ( x)
2m ∂x 2
( )
+ E − E p ( x) ψ ( x) = 0 (3.9)
Inilah persamaan Schrödinger satu dimensi yang bebas-waktu.
Untuk tiga dimensi persamaan itu menjadi
h2 2
2m
(
∇ Ψ + E − E p ( x, y , z ) Ψ = 0 ) (3.9.a)
Perlu kita sadari bahwa adanya persamaan Schrödinger bebas-waktu bukanlah
berarti bahwa elektron atau partikel yang ingin kita pelajari dengan mengaplikasikan
persamaan ini adalah partikel yang bebas-waktu. Partikel tersebut memiliki
kecepatan gerak, dan kecepatan adalah turunan terhadap waktu dari posisi. Oleh
karena itu dalam memberi arti pada penurunan matematis dari persamaan
Schrödinger bebas-waktu, dalam hal-hal tertentu kita perlu mempertimbangkan
masalah waktu, sesuai dengan logika.
Dengan persamaan Schrödinger bebas-waktu (3.9) atau (3.9.a) fungsi gelombang
yang dilibatkan dalam persamaan ini juga fungsi gelombang bebas-waktu, Ψ(x).
Dari bentuk gelombang komposit untuk electron (2.5)
u = S ( x, t ) A0 e j ( ω0t − k0 x ) dengan S ( x, t ) = ∑ e j ( ∆ωn )t e − j ( ∆k n ) x
n
kita dapat mengambil bentuk Ψ(x) sebagai Ψ ( x) = A( x)e − jkx , dengan A(x) adalah
selubung paket gelombang, untuk mencari solusi persamaan Schrödinger.
Persamaan Gelombang Schrödinger 27
6. Persamaan Schrödinger adalah persamaan gelombang dan yang kita maksudkan
adalah gelombang sebagai representasi elektron atau partikel. Mencari solusi
persamaan Schrödinger adalah untuk memperoleh fungsi gelombang yang
selanjutnya digunakan untuk melihat bagaimana perilaku atau keadaan elektron.
Hubungan antara momentum p dan energi E dengan besaran-besaran gelombang (k,
ω, f, λ) adalah
2π h
p = hk = h = E = hω = hf
λ λ
3.4. Fungsi Gelombang
Persamaan Schrödinger adalah persamaan diferensial parsial dengan Ψ adalah
fungsi gelombang, dengan pengertian bahwa
Ψ * Ψ dx dy dz (3.10)
adalah probabilitas keberadaan elektron pada waktu t tertentu dalam volume dx dy
dz di sekitar titik (x, y, z); Ψ * adalah konjugat dari Ψ . Jadi persamaan Schrödinger
tidak menentukan posisi elektron melainkan memberikan probabilitas bahwa ia akan
ditemukan di sekitar posisi tertentu. Kita juga tidak dapat mengatakan secara pasti
bagaimana elektron bergerak sebagai fungsi waktu karena posisi dan momentum
elektron dibatasi oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg.
Dalam kasus satu dimensi dengan bentuk gelombang
2 sin( x∆k/2) sin( x∆k/2)
Ψ ( x) = A0 e − jkx dan Ψ * ( x) = ∆kA0 e + jkx
x ( x∆k/2)
2
2 sin( x∆k / 2)
maka Ψ * Ψ = A0 (3.11)
x
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (3.11) adalah selubung paket gelombang
yang merupakan fungsi x sedangkan A0 memiliki nilai konstan. Jadi selubung paket
gelombang itulah yang menentukan probabilitas keberadaan elektron.
Persyaratan Fungsi Gelombang. Fungsi gelombang Ψ (x) hasil solusi persamaan
Schrödinger harus memenuhi beberapa persyaratan agar ia mempunyai arti fisis.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
• Elektron sebagai suatu yang nyata harus ada di suatu tempat. Oleh karena itu
∞
∫−∞Ψ
*
fungsi gelombang (untuk satu dimensi) harus memenuhi Ψdx = 1 .
• Fungsi gelombang Ψ (x) , harus kontinyu sebab jika terjadi ketidak-
kontinyuan hal itu dapat ditafsirkan sebagai rusaknya elektron, suatu hal
yang tidak dapat diterima.
28 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
7. • Turunan fungsi gelombang terhadap posisi, dΨ / dx , juga harus kontinyu.
Kita telah melihat bahwa turunan fungsi gelombang terhadap posisi terkait
dengan momentum elektron sebagai gelombang. Oleh karena itu persyaratan
ini dapat diartikan sebagai persayaratan kekontinyuan momentum.
• Fungsi gelombang harus bernilai tunggal dan terbatas sebab jika tidak akan
berarti ada lebih dari satu kemungkinan keberadaan elektron.
• Fungsi gelombang tidak boleh sama dengan nol di semua posisi sebab
kemungkinan keberadaan elektron haruslah nyata, betapapun kecilnya.
3.5. Aplikasi Persamaan Schrödinger - Tinjauan Satu Dimensi
3.5.1. Elektron-bebas
Yang dimaksud dengan elektron-bebas adalah elektron yang tidak mendapat
pengaruh luar sehingga energi potensialnya nol. Dengan V(x) = 0 persamaan
Schrödinger menjadi
h 2 ∂ 2 ψ( x)
+ Eψ ( x ) = 0 (3.12)
2m ∂x 2
Solusi persamaan Schrödinger satu dimensi ini bisa kita duga berbentuk
ψ ( x) = Ae sx . (Bandingkan solusi dugaan ini dengan persamaan paket gelombang di
bab sebelumnya, yaitu persamaan (2.9) u t = A( x)e − jk0 x = A( x)e sx ). Jika solusi
dugaan ini kita masukkan ke (3.12) akan kita peroleh persamaan karakteristik yang
2mE 2mE
memberikan nilai s: s = ± j = ± j α , dengan α = dan fungsi gelombang
2
h h2
αx
yang kita cari adalah ψ ( x) = A1e j + A2e − j αx
. α tidak lain adalah bilangan
gelombang, k, dengan nilai
2mE
k= α= (3.13)
h2
Jadi solusi yang kita peroleh dapat kita tuliskan sebagai
ψ ( x) = A1e jkx + A2e− jkx (3.14)
Ruas kanan persamaan (3.14) terdiri dari dua suku, gelombang maju dan gelombang
mundur. Hal ini tentu tidak kita tafsirkan bahwa kita memperoleh dua elektron, satu
bergerak ke kiri dan satu bergerak ke kanan, melainkan bahwa probabilitas
keberadaan elektron ditentukan oleh ψ * ψ yang mempunyai nilai nyata.
Persamaan (3.13) memberikan hubungan antara energi elektron, E, dan bilangan
gelombang k yaitu
h 2k 2
E= (3.15)
2m
Persamaan Gelombang Schrödinger 29
8. 3.5.2. Pantulan Elektron
Dalam percobaan Davisson dan Germer berkas elektron dengan energi tertentu
ditembakkan pada permukaan kristal tunggal. Terjadinya pantulan mudah dipahami
jika kita bayangkan elektron sebagai partikel. Namun pantulan berkas elektron oleh
permukaan kristal ternyata mencapai nilai maksimum pada sudut tertentu, dan hal
ini diterangkan melalui gejala pantulan gelombang.
Elektron adalah partikel bermuatan. Oleh karena itu pantulan elektron tidak hanya
terjadi pada waktu ia membentur permukaan fisik (kristal pada percobaan Davisson
dan Germer), tetapi juga akan terjadi jika ia bertemu dengan suatu daerah yang
mendapat pengaruh medan listrik. Elektron yang bergerak bebas di suatu daerah
yang tidak mendapat pengaruh medan listrik, hanya memiliki energi kinetik; ia akan
berubah arah atau terpantul jika ia bertemu daerah yang mendapat pengaruh medan
listrik. Kita katakan bahwa di perbatasan kedua daerah itu elektron bertemu dinding
potensial.
Jika kita pandang elektron sebagai gelombang, dalam peristiwa pantulan seperti
tersebut di atas, seluruh komponen paket gelombang mengalami peristiwa pantulan
sehingga gelombang pantulan juga merupakan paket gelombang. Sebagaimana telah
kita pelajari, “posisi” elektron dibatasi oleh lebar paket gelombang. Dengan
demikian maka dalam melihat peristiwa pantulan elektron, sesungguhnya kita
berhadapan dengan selubung paket gelombang.
3.5.3. Elektron Bertemu Dinding Potensial
Kita bayangkan sebuah elektron-bebas bergerak ke arah x positif dan di suatu titik (x
= 0) ia memasuki daerah yang mendapat pengaruh medan potensial., artinya mulai
dari x = 0 ke arah positif, energi potensialnya tidak lagi nol. Kita katakan bahwa
elektron bertemu dinding potensial di x = 0. Keadaan ini kita gambarkan seperti
pada Gb.3.1. untuk kasus satu dimensi. Perlu Ep(x)=0 Ep(x)=V
kita sadari, walaupun kita membayangkan
elektron bergerak ke kanan, kita tetap akan
menggunakan persamaan Schrödinger yang I II
bebas-waktu untuk melihat kemungkinan V
keberadaan elektron di daerah I dan II pada
0 x
Gb.3.1.
Gb.3.1. Dinding potensial.
Energi potensial Ep(x) untuk x < 0 (daerah I)
bernilai nol. Solusi persamaan Schrödinger untuk x < 0 ini adalah solusi untuk
elektron-bebas yang telah kita bahas yaitu
2mE
ψ1 ( x) = A1e− jk1 x + A2e jk1 x dengan k1 = (3.16)
h2
Untuk x > 0 (daerah II), solusi yang akan kita peroleh mirip bentuknya dengan (3.5)
hanya berbeda nilai k, yaitu
ψ 2 ( x) = B1e− jk 2 x + B2e jk 2 x (3.17)
30 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
9. 2m
dengan k 2 = (E − V )
h2
Walaupun kita akan menyelesaikan persamaan yang bebas-waktu namun kita akan
mempertimbangkan hal yang terkait dengan waktu dalam melihat persamaan (3.17)
ini. Sesuai logika, jika elektron berasal dari daerah I, maka ketika ia sampai di
daerah II ia haruslah bergerak ke kanan dan oleh karena itu fungsi gelombang di
daerah II haruslah gelombang maju, dan tidak mungkin gelombang mundur. Hal ini
berarti bahwa nilai B1 pada (3.17) haruslah nol.
Perbandingan amplitudo B2 dan A2 terhadap amplitudo gelombang maju di daerah I
yaitu A1 akan memberikan gambaran keadaan elektron. Dengan menerapkan
persyaratan kekontinyuan gelombang di x = 0, yaitu ψ 1 (0) = ψ 2 (0) dan
dψ1 (0) dψ 2 (0)
= kita peroleh
dx dx
B2 2k1 A2 k1 + k2
= A1 ; = (3.18)
A1 k1 − k2 A1 k1 − k2
Jika E > V maka nilai k 2 adalah nyata seperti halnya k1 akan tetapi k2 < k1 . Oleh
B2 A
karena itu 0 < < 1 dan 0 < 2 < 1 . Amplitudo gelombang maju di daerah II lebih
A1 A1
kecil dari amplitudo gelombang maju di daerah I sedangkan amplitudo gelombang
mundur di daerah I juga lebih kecil dari gelombang maju di daerah I, sedangkan
jumlah amplitudo gelombang maju dan gelombang mundur di daerah I sama dengan
amplitudo gelombang maju di daerah II. Keadaan ini kita tafsirkan bahwa pada saat
elektron bertemu dinding potensial, ada kemungkinan bahwa elektron dipantulkan.
Kesimpulan ini berbeda dengan pernyataan dalam analisa klasik yang secara pasti
akan mengatakan bahwa elektron akan berada di daerah II karena E > V .
Jika E < V , bilangan gelombang di daerah II adalah
2m(V − E )
k2 = − ′
= ± jk 2 .
h2
Dalam bentuk eksponensial, solusi untuk daerah II menjadi
′ ′
ψ 2 ( x) = B1ek 2 x + B2e− k 2 x (3.19)
Suku pertama (3.19) menuju tak hingga jika x makin besar. Secara fisis hal ini tak
dapat diterima sehingga kita tidak akan meninjaunya, jadi kita buat B1 = 0 sehingga
fungsi gelombang di daerah II menjadi
′
ψ 2 ( x) = B2e −k 2 x (3.20)
Fungsi gelombang yang berbentuk fungsi eksponensial dengan eksponen negatif ini
menunjukkan bahwa amplitudo gelombang menurun secara eksponensial. Makin
Persamaan Gelombang Schrödinger 31
10. besar V dibandingkan terhadap E akan semakin besar k 2 dan semakin cepat pula ψ2
′
menuju nol.
Walaupun nilainya semakin kecil, tetapi probabilitas keberadaan elektron di daerah
II tetap ada. Hal ini berbeda dengan pengertian klasik yang akan mengatakan bahwa
tidak mungkin elektron mencapai daerah II karena E < V .
Jika V makin besar menuju ∞ maka k 2 = ∞ . Untuk x = 0, maka (3.20) menjadi
′
′
ψ 2 ( x) = B2 dan dψ2(x) / dx = −k2B2e−k2 x = ∞ . Hal ini tak dapat kita terima maka haruslan
′
B 2 = 0 , sehingga ψ 2 ( x) = 0 . Hal ini kita tafsirkan bahwa jika dinding potensial
sangat tinggi maka elektron akan dipantulkan dan kemungkinan elektron berada di
daerah II hampir tidak ada.
3.5.4. Elektron Berada Dalam Sumur Potensial
Pembahasan masalah ini dilakukan oleh Daniel D. Pollock dalam buku jilid
pertamanya [1]. Di sub-bab ini kita akan mencoba memahaminya melalui
pendekatan yang lebih sederhana.
Sumur potensial adalah daerah yang tidak mendapat pengaruh potensial sedangkan
daerah mendapat pengaruh potensial. Hal ini berarti bahwa elektron, selama ia
berada berada dalam sumur potensial, merupakan elektron-bebas. Kita katakan
bahwa elektron terjebak di sumur potensial, dan kita anggap bahwa dinding
potensial sangat tinggi menuju ∞, atau kita katakan sumur potensial sangat dalam.
Gb.3.2. menggambarkan keadaan ini secara dua dimensi. Daerah I dan daerah III
adalah daerah-daerah dengan V = ∞, sedangkan di daerah II, yaitu antara 0 dan L,
V = 0. Kita katakan bahwa lebar sumur potensial ini adalah L.
I II III
E p= ∞ Ep=0 E p= ∞
ψ1 ψ2 ψ3
0 L x
Gb.3.2. Elektron dalam sumur potensial (daerah II).
Pada sumur potensial yang dalam, daerah I dan III adalah daerah dimana
kemungkinan keberadaan elektron bisa dianggap nol, ψ 1 ( x) = 0 dan ψ 3 ( x) = 0 .
Solusi persamaan Schrödinger untuk daerah II adalah solusi untuk elektron-bebas
ψ 2 ( x) = B1e− jk 2 x + B2e jk 2 x (3.21)
Persyaratan kekontinyuan di x = 0 mengharuskan
ψ 2 (0) = B1 + B2 = ψ1 (0) = 0 → B1 = − B2
dan persyaratan kekontinyuan di L mengharuskan
ψ 2 ( L) = B1e − jk 2 L + B2e jk 2 L = ψ 3 (0) = 0 , sehingga
32 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
11. (
ψ 2 ( L) = B2 − e − jk 2 L + e jk2 L )
−e − jk 2 L jk 2 L
+e
= 2 jB 2 (3.22)
2j
= 2 jB 2 sin(k 2 L) = 0
nπ
Persamaan (3.22) mengharuskan k 2 L = nπ atau k 2 = (dengan n bilangan bulat),
L
sehingga fungsi gelombang di daerah II menjadi
− e − jk 2 x + e jk 2 x
ψ 2 ( x) = 2 jB2 = 2 jB sin nπ x (3.23)
2j 2
L
Probabilitas keberadaan elektron di daerah II ini adalah sebanding dengan
nπ nπ
ψ* ( x)ψ 2 ( x) = 4 B2 sin 2
2
2
x = K sin 2 (3.24)
L L
Untuk n = 1, fungsi ini bernilai nol di x = 0 dan x = L , dan maksimum di x = L/ 2 .
Untuk n = 2, nilai nol terjadi di x = 0, L/2, dan L. Untuk n = 3, nilai nol terjadi di x =
0, L/3, 2L/3, dan L; dan seterusnya, seperti terlihat pada Gb.3.3. Selain di x = 0,
jumlah titik simpul gelombang, yaitu titik di mana fungsinya bernilai nol, sama
dengan nilai n.
ψ*ψ ψ*ψ
4 4
ψ ψ ψ
0 0 0
0 3.16 0 3.16 0 3.16
0 x L 0 L 0 L
a). n =1 b). n =2 c). n =3
h 2 4h 2 9h 2
E1 = E2 = = 4 E1 E3 = = 9 E1
8mL2 8mL2 8mL2
Gb.3.3. Probabilitas keberadaan electron dalam sumur potensial.
Karena di daerah II V = 0, maka k2 = 2mE / h 2 atau E = h 2 k2 / 2m . Dengan
2
memasukkan nilai k2 kita peroleh energi elektron:
2
n2π2h 2 h 2 nπ
E= = (3.25)
2mL2 2m L
Kita lihat di sini bahwa energi elektron mempunyai nilai-nilai tertentu yang diskrit,
yang ditentukan oleh bilangan bulat n. Nilai diskrit ini terjadi karena pembatasan
yang harus dialami oleh ψ2, yaitu bahwa ia harus berada dalam sumur potensial. Ia
harus bernilai nol di batas-batas dinding potensial dan hal itu akan terjadi bila lebar
sumur potensial L sama dengan bilangan bulat kali setengah panjang gelombang.
Jika tingkat energi untuk n = 1 kita sebut tingkat energi yang pertama, maka tingkat
Persamaan Gelombang Schrödinger 33
12. energi yang kedua pada n = 2, tingkat energi yang ketiga pada n = 3 dan seterusnya.
Jika kita kaitkan dengan bentuk gelombangnya, dapat kita katakan bahwa tingkat-
tingkat energi tersebut sesuai dengan jumlah titik simpul gelombang.
Dengan demikian maka diskritisasi energi elektron terjadi secara wajar melalui
pemecahan persamaan Schödinger. Hal ini berbeda dari pendekatan Bohr yang harus
membuat postulat mengenai momentum sudut yang harus diskrit agar kuantisasi
energi terjadi.
Persamaan (3.25) memperlihatkan bahwa selisih energi antara satu tingkat dengan
tingkat berikutnya, misalnya antara n = 1 dan n = 2, berbanding terbalik dengan
kwadrat lebar sumur potensial. Makin lebar sumur ini, makin kecil selisih energi
tersebut, artinya tingkat-tingkat energi semakin rapat. Untuk L sama dengan satu
satuan misalnya, selisih energi untuk n=2 dan n=1 adalah E 2 − E1 = 3 h 2 / 8 m dan jika
L 10 kali lebih lebar maka selisih ini menjadi E 2 − E1 = 0,03 h 2 / 8 m . (Gb.3.4).
n=3
V
n=2
n=1
0 L 0 L′
Gb.3.4. Pengaruh lebar sumur .
Jadi makin besar L maka perbedaan nilai tingkat-tingkat energi akan semakin kecil
dan untuk L yang lebar maka tingkat-tingkat energi tersebut akan akan sangat rapat
sehingga mendekati kontinyu.
3.5.5. Elektron Di Dalam Sumur Potensial Dangkal
Kita tidak akan membahas hal ini secara rinci akan tetapi dengan pengertian yang
kita peroleh pada pembahasan mengenai elektron yang bertemu dengan dinding
potensial (sub-bab 3.5.3) kita akan mengerti kondisi berikut ini. Jika V tidak tinggi
akan tetapi tetap masih V > E maka fungsi gelombang di luar sumur berupa fungsi
eksponensial yang menurun menuju nol. Hal ini diperlihatkan pada Gb.3.5.
V
ψ*ψ ψ*ψ ψ*ψ
E E E
0 L 0 L 0 L
a) b) c)
Gb.3.5. Pengaruh kedalaman sumur pada probabilitas keberadaan elektron.
Di x = 0 dan x = L amplitudo gelombang tidak lagi nol dan demikian juga
probabilitas keberadaan elektronnya. Selain itu penurunan amplitudo akan makin
lambat jika sumur potensial makin dangkal. Hal ini berarti bahwa makin dangkal
34 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
13. sumur potensial makin besar kemungkinan kita menemukan elektron di luar sumur,
seperti diperlihatkan secara berturut-turut oleh Gb.3.5.a, b, dan c.
3.5.6. Dinding Potensial Tipis Antara Dua Sumur Potensial
Situasi yang menarik adalah jika sumur potensial mempunyai dinding yang tidak
terlalu tebal, misalnya a. Dengan perkataan lain sumur potensial ini berdekatan
dengan sumur lain dan di antara keduanya terdapat dinding
potensial dinding V yang tipis. Situasi seperti ini a
diperlihatkan oleh Gb.3.6. Di luar dinding, probabilitas ψψ
*
keberadaan elektron tidak nol. Dalam kasus ini kita masih
memiliki probabilitas menemukan elektron di sumur lain
tersebut walaupun energinya lebih rendah dari dinding 0 L
potensial. Gejala ini disebut penembusan elektron pada Gb.3.6. Sumur potensial
dinding potensial (electron tunneling). berdinding tipis.
3.5.7. Dua Sumur Potensial Tumpang-Tindih
Jika dua sumur potensial tumpang-tindih, kedua sumur ini akan membentuk satu
sumur yang lebih lebar. Akibatnya adalah tingkat-tingkat energi akan lebih banyak,
sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mengenai pengaruh lebar sumur. Hal
ini diperlihatkan pada Gb.3.7.
ψ*ψ ψ*ψ
sumur-1 sumur-2 sumur-1 sumur-2
Gb.3.7. Dua sumur potensial tumpang-tindih.
3.6. Elektron Dalam Sumur Potensial Tiga Dimensi
Kita akan melihat keadaan yang agak mendekati kenyataan, yaitu elektron yang
terjebak dalam sumur potensial tiga dimensi. Sumur ini dibatasi oleh dinding
potensial di arah sumbu x, y, z, dan akan lebih tepat jika kita sebut kotak potensial,
seperti terlihat pada Gb.3.7. Elektron terjebak di dalam kotak potensial ini dan kita
mengambil nilai V = 0 di dalam kotak dan V = ∞ di luar kotak.
z
Lz
y
Lx Ly
x
Gb.3.7. Sumur tiga dimensi.
Karena V = 0, persamaan Schrödinger tiga dimensi yang bebas-waktu di dalam
kotak menjadi
Persamaan Gelombang Schrödinger 35
14. h 2 ∂ 2ψ ∂ 2ψ ∂ 2ψ
+ Eψ = 0
+ + (3.26)
2m ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
dengan ψ adalah fungsi dari x, y, dan z. Kita akan melihat fungsi ini dalam bentuk
peubah terpisah ψ ( x, y, z ) = X ( x)Y ( y ) Z ( z ) . Hal ini tidak selalu dapat terjadi, akan
tetapi kita mengambil langkah ini agar persamaan yang tidak mudah dipecahkan ini
menjadi agak sederhana. Jika turunan kedua fungsi ini kita masukkan ke (3.26)
kemudian kedua ruas dibagi dengan ψ ( x, y, z ) , dan dikalikan dengan 2m / h 2 maka
akan kita peroleh
1 ∂ 2 X ( x) 1 ∂ 2Y ( y) 1 ∂ 2 Z ( z) 2m
+ + =− E (3.27)
2 2 2
X ( x) ∂x Y ( y ) ∂y Z ( z ) ∂z h2
Setiap suku di ruas kiri hanya merupakan fungsi dari satu peubah dan berbeda satu
sama lain; jumlah ketiganya sama dengan suatu nilai konstan. Hal ini hanya akan
terjadi jika masing-masing suku juga sama dengan suatu nilai konstan. Jadi
1 ∂ 2 X ( x) 2m
=− Ex ;
X ( x) ∂x 2 h2
1 ∂ 2Y ( y ) 2m
=− Ey ; (3.28)
2
Y ( y ) ∂y h2
1 ∂ 2Z ( z) 2m
= − 2 Ez
Z ( z ) ∂z 2 h
dengan Ex, Ey, dan Ez adalah nilai-nilai konstan dan E = E x + E y + Ez . Salah satu
persamaan dari (3.28) dapat kita tuliskan sebagai
∂ 2 X ( x) 2m
+ E x X ( x) = 0 (3.29)
2
∂x h2
Persamaan ini adalah persamaan diferensial linier homogen orde kedua yang telah
pernah kita temui pada waktu kita membahas elektron yang terjebak dalam sumur
potensial satu dimensi. Dengan cara pemecahan yang serupa, kita dapatkan
nx h 2
2 n2h 2
y nz h 2
2
Ex = dan E y = ; Ez = (3.30)
8mL2
x 8mL2
y 8mL2
z
dengan nx, ny, dan nz adalah bilangan-bilangan bulat.
Energi total elektron adalah
h 2 nx n y nz
2 2 2
E = Ex + E y + Ez = + + (3.31)
8m L x L y Lz
36 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
15. Persamaan (3.31) menunjukkan bahwa energi elektron ditentukan oleh tiga macam
bilangan bulat yang kita sebut bilangan kuantum, yaitu n x , n y , n z .
Bentuk fungsi gelombang dalam kotak potensial adalah
n x πx n y πy n πz
ψ = K sin sin sin z (3.32)
Lx Ly Lz
Jika kotak potensial berbentuk kubus,
L x = L y = L z = L , maka
E = Ex + E y + Ez =
h2
8mL2
(n 2
x + n 2 + nz
y
2
) (3.33)
Pada persamaan (3.33) terlihat bahwa makin kecil ukuran kotak potensial, makin
jauh jarak antara satu tingkat energi dengan tingkat energi berikutnya. Tetapi pada
kotak potensial yang besar, misalnya elektron dalam metal, tingkat-tingkat energi
energi yang berurutan menjadi sangat berdekatan sehingga mereka dapat dianggap
membentuk spektrum tingkat energi yang kontinyu. Hal ini diperlihatkan pada
Gb.3.8.
12E1
11E1
9E1 dE
6E1
3E1
E1
Kotak Potensial Kotak Potensial
kecil besar
Gb.3.8. Tingkat-tingkat energi elektron dalam kotak potensial.
3.8. Degenerasi
Persamaan (3.33) menunjukkan bahwa energi tergantung dari (nx + n2 + nz ) . Hal ini
2
y
2
berarti bahwa semua status yang ditentukan oleh semua nilai nx, ny, dan nz yang
memberikan jumlah nilai yang sama akan memberikan nilai energi yang sama pula.
Akan tetapi setiap perubahan nilai nx, ny, dan nx akan memberikan fungsi gelombang
yang berbeda. Jadi satu tingkat energi mungkin berkaitan dengan beberapa fungsi
gelombang. Jika hal ini terjadi kita katakan bahwa terjadi degenerasi. Orde
degenerasi suatu tingkat energi ditentukan oleh berapa banyak fungsi gelombang
yang berbeda pada tingkat energi tersebut. Contoh untuk enam tingkat energi dari
kotak potensial kubus diberikan pada Tabel 3.1.
Persamaan Gelombang Schrödinger 37
16. Tabel 3.1. Tingkat Energi dan Degenerasi Dalam Kotak Potensial Kubus. [3].
E1 = h 2 / 8mL2
Energi Kombinasi nx, ny, dan nz Degenerasi
3 E1 (1,1,1) 1
6 E1 (2,1,1) (1,2,1) (1,1,2) 3
9 E1 (2,2,1) (2,1,2) (1,2,2) 3
11 E1 (3,1,1) (1,3,1) (1,1,3) 3
12 E1 (2,2,2) 1
14 E1 (1,2,3) (3,2,1) (2,3,1) 6
(1,3,2) (2,1,3) (3,1,2)
38 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material