SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
Download to read offline
BAB 3
            Persamaan Gelombang Schrödinger
Schrödinger menyatakan bahwa perilaku elektron, termasuk tingkat-tingkat energi
elektron yang diskrit dalam atom, mengikuti suatu persamaan diferensial untuk
gelombang, yang kemudian dikenal sebagai persamaan Schrödinger. Persamaan ini
biasanya tidak dibahas secara mendalam jika membicarakan masalah material, lebih-
lebih pada buku ajar tingkat sarjana. Daniel D Pollock membahas hal ini lebih
mendalam dalam bukunya, namun ada satu langkah yang dihilangkan dalam
mengintroduksi operator momentum maupun energi. Di sini kita akan mencoba
menelusurinya dalam pembahasan yang agak terurai namun tetap sederhana.

3.1. Fungsi Hamilton
Jika gelombang dapat mewakili elektron maka energi gelombang dan energi partikel
elektron yang diwakilinya haruslah sama. Sebagai partikel, satu elektron mempunyai
energi total yang terdiri dari energi potensial dan energi kinetik. Seperti kita ketahui,
energi potensial merupakan fungsi posisi x (dengan referensi koordinat tertentu) dan
kita sebut Ep(x), sedangkan energi kinetik adalah Ek = ½mv2 dengan m adalah massa
elektron dan v adalah kecepatannya. Energi total electron sebagai partikel menjadi E
= Ep + Ek

                          mv 2                                p2
                     E=        + E p ( x)     atau       E=      + E p ( x)        (3.1)
                           2                                  2m
di mana p = mv adalah momentum elektron.
Jika kita pandang persamaan (3.1) ini sebagai persamaan matematis biasa, kita dapat
menuliskannya sebagai

                                                  p2
                               E ≡ H ( p, x ) =      + E p ( x)                    (3.2)
                                                  2m
H(p,x) adalah sebuah fungsi yang disebut fungsi Hamilton (dari William Rowan
Hamilton 1805 – 1865; matematikawan Irlandia), dengan p dan x adalah peubah-
peubah bebas.[4]. Turunan parsial fungsi ini terhadap p dan x masing-masing adalah
                        ∂H ( p, x) p                ∂H ( p, x) dE p ( x)
                                  =         dan               =                    (3.3)
                           ∂p       m                  ∂x        dx

Kalau kita memandang (3.1) kembali sebagai suatu persamaan besaran fisika dengan
p dan x adalah momentum dan posisi¸ maka kita peroleh
                            ∂H ( p, x) p       dx
                                      = = ve =              dan                   (3.4.a)
                               ∂p      m       dt




                                                   Persamaan Gelombang Schrödinger 23
∂H ( p, x)    ∂E p ( x)              dv dp
                     −              =−           = F ( x) = m   =                     (3.4.b)
                            ∂x           ∂x                   dt dt
Jadi turunan H(p,x) terhadap p memberikan turunan x terhadap t dan turunan H(p,x)
terhadap x memberikan turunan p terhadap t; dan kita pahami bahwa p di sini
adalah momentum, suatu besaran fisis dan bukan lagi hanya sebuah peubah-bebas
seperti dalam fungsi Hamilton.
Dalam relasi fisik, dx / dt = v adalah kecepatan, dan dp / dt = F adalah gaya. Dengan
demikian maka fungsi Hamilton, yang menetapkan hubungan antara peubah-peubah
bebas p dan x untuk memperoleh E, dapat kita gunakan untuk menggantikan
hubungan-hubungan fisik mengenai momentum, kecepatan, dan gaya yang biasa
                                              dx p      d 2x    dv dp
kita nyatakan sebagai : p = mv ; v =            = ; F=m
                                                           2
                                                             =m   =
                                              dt m      dt      dt dt

Perhatikan: sekali lagi p dan x dalam fungsi Hamilton adalah peubah-peubah
          sedangkan p dan x dalam persamaan fisis adalah momentum dan posisi.

3.2. Fungsi Hamilton dalam Mekanika Kuantum
Dalam mekanika kuantum, elektron dinyatakan sebagai gelombang. Jika fungsi
Hamilton dapat diterapkan untuk elektron sebagai partikel, maka ia harus dapat
diterapkan pula untuk elektron sebagai gelombang. Hal ini akan kita lihat sebagai
berikut.
      • Peubah p pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator momentum
         agar jika dioperasikan terhadap suatu fungsi gelombang dapat menyatakan
         momentum elektron yang tidak lagi dipandang sebagai partikel melainkan
         sebagai gelombang.
      • E pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator energi yang jika
         beroperasi pada fungsi gelombang dari electron akan memberikan energi.
      • Peubah x yang akan menentukan posisi elektron sebagai partikel, akan
         terkait dengan posisi elektron sebagai gelombang sehingga peubah ini tidak
         berubah pada fungsi gelombang dari elektron. Dalam kaitan ini perlu kita
         ingat bahwa jika elektron kita pandang sebagai partikel maka momentum
         dan posisi mempunyai nilai-nilai yang akurat. Jika elektron kita pandang
         sebagai gelombang, maka kita dibatasi oleh prinsip ketidakpastian
         Heisenberg.

Operator Momentum dan Operator Energi. Kita akan mencoba menelusuri
operator-operator yang diperlukan ini dengan memperhatikan bentuk fungsi
gelombang komposit, yaitu persamaan (2.5)
                                                           
                              n
                                 ∑
                          u =  e j[( ∆ωn )t − ( ∆k n ) x ]  A0 e j ( ω0t − k0 x )
                                                            
                                                           
Jika fungsi ini kita turunkan terhadap t kita peroleh


24 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
∂u                                    
                    =
                  ∂t  n
                          ∑
                         j∆ω n e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x ]  A0 e j (ω0t − k0 x)
                                                         
                                                        
                                                                 
                                     n
                                       ∑
                                   +  e j[( ∆ωn )t −( ∆k n ) x ]  jω 0 A0 e j (ω0t − k0 x)
                                                                  
                                                                 
yang dapat disederhanakan menjadi

                     ∂u         ∆ω                            
                     ∂t
                        = jω 0  n
                                ω0 n
                                            ∑
                                      e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x]  A0 e j (ω0t − k0 x)
                                                               
                                                                                               (3.5.a)
                                                              
Dalam selang sempit ∆k maka ω n / ω 0 ≈ 1 ; dan jika ruas kiri dan kanan (3.5.a)
dikalikan dengan h dan mengingat bahwa energi E = hω maka kita akan
memperoleh
                              ∂                                                    ∂
                          h      u = j (hω 0 )u = jEu           atau      − jh        u = Eu   (3.5.b)
                              ∂t                                                   ∂t
E adalah energi total elektron. Akan tetapi jika kita melihat (3.5.b) sebagai suatu
persamaan matematik biasa maka kita dapat mengatakan bahwa E merupakan
sebuah operator yang beroperasi pada fungsi gelombang u dan
                                                              ∂
                                                  E ≡ − jh                                     (3.5.c)
                                                              ∂t
Jika u kita turunkan terhadap x.

                   ∂u                                       
                     = ∑ (− j∆k n )e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x]  A0 e j (ω0t −k0 x )
                   ∂x  n
                                                            
                                                             
                                                           
                              + ∑ e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x]  (− jk 0 ) A0 e j ( ω0t −k0 x)
                                
                                n                          
                                                            
                               k                               
                      = − jk 0  n ∑ e j[( ∆ωn )t −( ∆k n ) x ]  A0 e j ( ω0t −k0 x)
                                k0 n
                                                               
                                                                
Untuk kn / k0 ≈ 1 , jika ruas kiri dan kanan kita kalikan dengan h akan kita peroleh
                             ∂                                                     ∂
                         h      u = − j (hk 0 )u = − jpu           atau       jh      u = pu   (3.5.d)
                             ∂x                                                    ∂x
Seperti halnya untuk E pada (3.5.b), p pada (3.3.5.d) kita pandang sebagai operator
                                                           ∂
                                                  p ≡ jh                                       (3.5.e)
                                                           ∂x
Dengan demikian kita mendapatkan operator untuk E pada (3.5.c) dan p pada
(3.5.e).



                                                          Persamaan Gelombang Schrödinger 25
Jika fungsi gelombang kita sebut Ψ dan mengoperasikan H(p,x) pada fungsi
gelombang ini, maka
                                                   p2             
                  H ( p, x)Ψ = EΨ        atau         + E p ( x )  Ψ = EΨ ;
                                                   2m
                                                                  
                                                                   
Dengan memasukkan operator p akan kita peroleh
                    1       ∂     ∂           
                        − jh  − jh  + E p ( x) Ψ = EΨ atau
                    2m      ∂x    ∂x          

                                   h 2 ∂ 2Ψ
                               −            + E p ( x ) Ψ = EΨ                   (3.6)
                                   2m ∂x 2

Inilah persamaan Schrödinger untuk satu dimensi. Untuk tiga dimensi, persamaan
Schrödinger itu menjadi
                                 h2 2
                             −      ∇ Ψ + E p ( x , y , z ) Ψ = EΨ               (3.7)
                                 2m

3.3. Persamaan Schrödinger Bebas-waktu
Aplikasi persamaan Schrödinger dalam banyak hal akan berkaitan dengan energi
potensial, yaitu besaran yang merupakan fungsi posisi dan tidak merupakan fungsi
waktu. Perhatian kita tidak tertuju pada keberadaan elektron dari waktu ke waktu,
melainkan tertuju pada kemungkinan dia berada dalam selang waktu yang cukup
panjang. Jadi jika faktor waktu dapat dipisahkan dari fungsi gelombang, maka hal
itu akan menyederhanakan persoalan. Kita tinjau kasus satu dimensi dan menuliskan
persamaan gelombang sebagai Ψ ( x, t ) = ψ ( x) T (t ) . Jika persamaan gelombang ini
kita masukkan ke persamaan (3.6) dan kedua ruas kita bagi dengan ψ ( x)T (t ) kita
memperoleh

                         h 2 1 ∂ 2 ψ ( x)                     1 ∂T (t )
                     −                    + E p ( x ) = − jh                     (3.8)
                         2m ψ ( x) ∂x 2                      T (t ) ∂t

Ruas kiri dari (3.8) merupakan fungsi x saja sedangkan ruas kanan merupakan
fungsi t saja. Karena kedua ruas merupakan fungsi dengan peubah yang berbeda
maka kedua ruas harus sama dengan suatu nilai konstan khusus, yang biasa disebut
eigenvalue.
Kita lihat lebih dahulu ruas kanan, yang akan memberikan persamaan Schrödinger
satu dimensi yang tergantung waktu:
                                       1 ∂ T (t )
                               − jh               = a = konstan                 (3.8.a)
                                      T (t ) ∂t

Mengingat bentuk gelombang yang mewakili elektron adalah (2.5)



26 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
u = S ( x, t ) A0e j (ω0t − k0 x ) = S ( x, t ) A0e jω0t e− jk0 x

sedangkan S ( x, t ) adalah

                                      S ( x, t ) = ∑ e j ( ∆ωn )t e − j ( ∆k n ) x
                                                     n

maka kita dapat mengambil bentuk T(t) sebagai T (t ) = B (t )e jωt untuk kita masukkan
ke (3.8.a), dan kita akan memperoleh

                                                              1     ∂B (t )e jωt
                                        a = − jh
                                                     B (t )e jωt         ∂t
                                                                                                          (3.8.b)
                                                         jωB (t )e jωt
                                            = − jh                       = hω = E
                                                          B (t )e jωt

Jadi konstanta a pada (3.8.a) adalah energi total elektron, E. Jika demikian halnya
maka ruas kiri (3.8) juga harus sama dengan E, sehingga dapat kita tuliskan sebagai

                                  h 2 1 ∂ 2 ψ( x)
                              −                   + E p ( x) = E                     atau
                                  2m ψ ( x) ∂x 2

                                   h 2 ∂ 2 ψ ( x)
                                   2m ∂x 2
                                                          (              )
                                                  + E − E p ( x) ψ ( x) = 0                                (3.9)

Inilah persamaan Schrödinger satu dimensi yang bebas-waktu.
Untuk tiga dimensi persamaan itu menjadi
                                   h2 2
                                   2m
                                                   (
                                      ∇ Ψ + E − E p ( x, y , z ) Ψ = 0       )                            (3.9.a)

Perlu kita sadari bahwa adanya persamaan Schrödinger bebas-waktu bukanlah
berarti bahwa elektron atau partikel yang ingin kita pelajari dengan mengaplikasikan
persamaan ini adalah partikel yang bebas-waktu. Partikel tersebut memiliki
kecepatan gerak, dan kecepatan adalah turunan terhadap waktu dari posisi. Oleh
karena itu dalam memberi arti pada penurunan matematis dari persamaan
Schrödinger bebas-waktu, dalam hal-hal tertentu kita perlu mempertimbangkan
masalah waktu, sesuai dengan logika.
Dengan persamaan Schrödinger bebas-waktu (3.9) atau (3.9.a) fungsi gelombang
yang dilibatkan dalam persamaan ini juga fungsi gelombang bebas-waktu, Ψ(x).
Dari bentuk gelombang komposit untuk electron (2.5)
               u = S ( x, t ) A0 e j ( ω0t − k0 x ) dengan S ( x, t ) = ∑ e j ( ∆ωn )t e − j ( ∆k n ) x
                                                                                 n
kita dapat mengambil bentuk Ψ(x) sebagai Ψ ( x) = A( x)e − jkx , dengan A(x) adalah
selubung paket gelombang, untuk mencari solusi persamaan Schrödinger.


                                                                  Persamaan Gelombang Schrödinger 27
Persamaan Schrödinger adalah persamaan gelombang dan yang kita maksudkan
adalah gelombang sebagai representasi elektron atau partikel. Mencari solusi
persamaan Schrödinger adalah untuk memperoleh fungsi gelombang yang
selanjutnya digunakan untuk melihat bagaimana perilaku atau keadaan elektron.
Hubungan antara momentum p dan energi E dengan besaran-besaran gelombang (k,
ω, f, λ) adalah
                                          2π h
                             p = hk = h     =               E = hω = hf
                                          λ   λ

3.4. Fungsi Gelombang
Persamaan Schrödinger adalah persamaan diferensial parsial dengan Ψ adalah
fungsi gelombang, dengan pengertian bahwa
                                           Ψ * Ψ dx dy dz                                            (3.10)
adalah probabilitas keberadaan elektron pada waktu t tertentu dalam volume dx dy
dz di sekitar titik (x, y, z); Ψ * adalah konjugat dari Ψ . Jadi persamaan Schrödinger
tidak menentukan posisi elektron melainkan memberikan probabilitas bahwa ia akan
ditemukan di sekitar posisi tertentu. Kita juga tidak dapat mengatakan secara pasti
bagaimana elektron bergerak sebagai fungsi waktu karena posisi dan momentum
elektron dibatasi oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg.
Dalam kasus satu dimensi dengan bentuk gelombang
                      2 sin( x∆k/2)                               sin( x∆k/2)
           Ψ ( x) =                 A0 e − jkx   dan Ψ * ( x) =               ∆kA0 e + jkx
                             x                                      ( x∆k/2)
                                                                     2
                                               2  sin( x∆k / 2) 
maka                                  Ψ * Ψ = A0                                               (3.11)
                                                        x       
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (3.11) adalah selubung paket gelombang
yang merupakan fungsi x sedangkan A0 memiliki nilai konstan. Jadi selubung paket
gelombang itulah yang menentukan probabilitas keberadaan elektron.
Persyaratan Fungsi Gelombang. Fungsi gelombang Ψ (x) hasil solusi persamaan
Schrödinger harus memenuhi beberapa persyaratan agar ia mempunyai arti fisis.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
  •    Elektron sebagai suatu yang nyata harus ada di suatu tempat. Oleh karena itu
                                                                               ∞
                                                                              ∫−∞Ψ
                                                                                     *
       fungsi gelombang (untuk satu dimensi) harus memenuhi                              Ψdx = 1 .

  •    Fungsi gelombang Ψ (x) , harus kontinyu sebab jika terjadi ketidak-
       kontinyuan hal itu dapat ditafsirkan sebagai rusaknya elektron, suatu hal
       yang tidak dapat diterima.



28 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
•    Turunan fungsi gelombang terhadap posisi, dΨ / dx , juga harus kontinyu.
       Kita telah melihat bahwa turunan fungsi gelombang terhadap posisi terkait
       dengan momentum elektron sebagai gelombang. Oleh karena itu persyaratan
       ini dapat diartikan sebagai persayaratan kekontinyuan momentum.
  •    Fungsi gelombang harus bernilai tunggal dan terbatas sebab jika tidak akan
       berarti ada lebih dari satu kemungkinan keberadaan elektron.
  •    Fungsi gelombang tidak boleh sama dengan nol di semua posisi sebab
       kemungkinan keberadaan elektron haruslah nyata, betapapun kecilnya.

3.5. Aplikasi Persamaan Schrödinger - Tinjauan Satu Dimensi
3.5.1. Elektron-bebas
Yang dimaksud dengan elektron-bebas adalah elektron yang tidak mendapat
pengaruh luar sehingga energi potensialnya nol. Dengan V(x) = 0 persamaan
Schrödinger menjadi

                              h 2 ∂ 2 ψ( x)
                                            + Eψ ( x ) = 0                              (3.12)
                              2m ∂x 2

Solusi persamaan Schrödinger satu dimensi ini bisa kita duga berbentuk
ψ ( x) = Ae sx . (Bandingkan solusi dugaan ini dengan persamaan paket gelombang di
bab sebelumnya, yaitu persamaan (2.9) u t = A( x)e − jk0 x = A( x)e sx ). Jika solusi
dugaan ini kita masukkan ke (3.12) akan kita peroleh persamaan karakteristik yang
                              2mE                                  2mE
memberikan nilai s: s = ± j            = ± j α , dengan α =              dan fungsi gelombang
                                   2
                               h                                    h2
                                        αx
yang kita cari adalah ψ ( x) = A1e j         + A2e − j   αx
                                                              .   α tidak lain adalah bilangan
gelombang, k, dengan nilai
                                                2mE
                               k= α=                                                    (3.13)
                                                 h2
Jadi solusi yang kita peroleh dapat kita tuliskan sebagai
                              ψ ( x) = A1e jkx + A2e− jkx                               (3.14)
Ruas kanan persamaan (3.14) terdiri dari dua suku, gelombang maju dan gelombang
mundur. Hal ini tentu tidak kita tafsirkan bahwa kita memperoleh dua elektron, satu
bergerak ke kiri dan satu bergerak ke kanan, melainkan bahwa probabilitas
keberadaan elektron ditentukan oleh ψ * ψ yang mempunyai nilai nyata.
Persamaan (3.13) memberikan hubungan antara energi elektron, E, dan bilangan
gelombang k yaitu
                                               h 2k 2
                                         E=                                             (3.15)
                                                2m



                                                      Persamaan Gelombang Schrödinger 29
3.5.2. Pantulan Elektron
Dalam percobaan Davisson dan Germer berkas elektron dengan energi tertentu
ditembakkan pada permukaan kristal tunggal. Terjadinya pantulan mudah dipahami
jika kita bayangkan elektron sebagai partikel. Namun pantulan berkas elektron oleh
permukaan kristal ternyata mencapai nilai maksimum pada sudut tertentu, dan hal
ini diterangkan melalui gejala pantulan gelombang.
Elektron adalah partikel bermuatan. Oleh karena itu pantulan elektron tidak hanya
terjadi pada waktu ia membentur permukaan fisik (kristal pada percobaan Davisson
dan Germer), tetapi juga akan terjadi jika ia bertemu dengan suatu daerah yang
mendapat pengaruh medan listrik. Elektron yang bergerak bebas di suatu daerah
yang tidak mendapat pengaruh medan listrik, hanya memiliki energi kinetik; ia akan
berubah arah atau terpantul jika ia bertemu daerah yang mendapat pengaruh medan
listrik. Kita katakan bahwa di perbatasan kedua daerah itu elektron bertemu dinding
potensial.
Jika kita pandang elektron sebagai gelombang, dalam peristiwa pantulan seperti
tersebut di atas, seluruh komponen paket gelombang mengalami peristiwa pantulan
sehingga gelombang pantulan juga merupakan paket gelombang. Sebagaimana telah
kita pelajari, “posisi” elektron dibatasi oleh lebar paket gelombang. Dengan
demikian maka dalam melihat peristiwa pantulan elektron, sesungguhnya kita
berhadapan dengan selubung paket gelombang.

3.5.3. Elektron Bertemu Dinding Potensial
Kita bayangkan sebuah elektron-bebas bergerak ke arah x positif dan di suatu titik (x
= 0) ia memasuki daerah yang mendapat pengaruh medan potensial., artinya mulai
dari x = 0 ke arah positif, energi potensialnya tidak lagi nol. Kita katakan bahwa
elektron bertemu dinding potensial di x = 0. Keadaan ini kita gambarkan seperti
pada Gb.3.1. untuk kasus satu dimensi. Perlu         Ep(x)=0      Ep(x)=V
kita sadari, walaupun kita membayangkan
elektron bergerak ke kanan, kita tetap akan
menggunakan persamaan Schrödinger yang                    I         II
bebas-waktu untuk melihat kemungkinan                                      V
keberadaan elektron di daerah I dan II pada
                                                                0                 x
Gb.3.1.
                                                                      Gb.3.1. Dinding potensial.
Energi potensial Ep(x) untuk x < 0 (daerah I)
bernilai nol. Solusi persamaan Schrödinger untuk x < 0 ini adalah solusi untuk
elektron-bebas yang telah kita bahas yaitu
                                                                              2mE
                     ψ1 ( x) = A1e− jk1 x + A2e jk1 x    dengan k1 =                           (3.16)
                                                                               h2
Untuk x > 0 (daerah II), solusi yang akan kita peroleh mirip bentuknya dengan (3.5)
hanya berbeda nilai k, yaitu
                                ψ 2 ( x) = B1e− jk 2 x + B2e jk 2 x                            (3.17)



30 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
2m
                              dengan k 2 =                 (E − V )
                                                      h2
Walaupun kita akan menyelesaikan persamaan yang bebas-waktu namun kita akan
mempertimbangkan hal yang terkait dengan waktu dalam melihat persamaan (3.17)
ini. Sesuai logika, jika elektron berasal dari daerah I, maka ketika ia sampai di
daerah II ia haruslah bergerak ke kanan dan oleh karena itu fungsi gelombang di
daerah II haruslah gelombang maju, dan tidak mungkin gelombang mundur. Hal ini
berarti bahwa nilai B1 pada (3.17) haruslah nol.
Perbandingan amplitudo B2 dan A2 terhadap amplitudo gelombang maju di daerah I
yaitu A1 akan memberikan gambaran keadaan elektron. Dengan menerapkan
persyaratan kekontinyuan gelombang di x = 0, yaitu ψ 1 (0) = ψ 2 (0) dan
dψ1 (0) dψ 2 (0)
       =         kita peroleh
  dx      dx
                          B2   2k1                     A2 k1 + k2
                             =       A1      ;           =                        (3.18)
                          A1 k1 − k2                   A1 k1 − k2

Jika E > V maka nilai k 2 adalah nyata seperti halnya k1 akan tetapi k2 < k1 . Oleh
                 B2            A
karena itu 0 <      < 1 dan 0 < 2 < 1 . Amplitudo gelombang maju di daerah II lebih
                 A1             A1
kecil dari amplitudo gelombang maju di daerah I sedangkan amplitudo gelombang
mundur di daerah I juga lebih kecil dari gelombang maju di daerah I, sedangkan
jumlah amplitudo gelombang maju dan gelombang mundur di daerah I sama dengan
amplitudo gelombang maju di daerah II. Keadaan ini kita tafsirkan bahwa pada saat
elektron bertemu dinding potensial, ada kemungkinan bahwa elektron dipantulkan.
Kesimpulan ini berbeda dengan pernyataan dalam analisa klasik yang secara pasti
akan mengatakan bahwa elektron akan berada di daerah II karena E > V .
Jika E < V , bilangan gelombang di daerah II adalah
                                        2m(V − E )
                              k2 = −                              ′
                                                           = ± jk 2 .
                                             h2
Dalam bentuk eksponensial, solusi untuk daerah II menjadi
                                                  ′               ′
                                ψ 2 ( x) = B1ek 2 x + B2e− k 2 x                  (3.19)
Suku pertama (3.19) menuju tak hingga jika x makin besar. Secara fisis hal ini tak
dapat diterima sehingga kita tidak akan meninjaunya, jadi kita buat B1 = 0 sehingga
fungsi gelombang di daerah II menjadi
                                                              ′
                                       ψ 2 ( x) = B2e −k 2 x                      (3.20)
Fungsi gelombang yang berbentuk fungsi eksponensial dengan eksponen negatif ini
menunjukkan bahwa amplitudo gelombang menurun secara eksponensial. Makin




                                                      Persamaan Gelombang Schrödinger 31
besar V dibandingkan terhadap E akan semakin besar k 2 dan semakin cepat pula ψ2
                                                     ′
menuju nol.
Walaupun nilainya semakin kecil, tetapi probabilitas keberadaan elektron di daerah
II tetap ada. Hal ini berbeda dengan pengertian klasik yang akan mengatakan bahwa
tidak mungkin elektron mencapai daerah II karena E < V .
Jika V makin besar menuju ∞ maka k 2 = ∞ . Untuk x = 0, maka (3.20) menjadi
                                   ′
                                         ′
ψ 2 ( x) = B2 dan dψ2(x) / dx = −k2B2e−k2 x = ∞ . Hal ini tak dapat kita terima maka haruslan
                                  ′
B 2 = 0 , sehingga ψ 2 ( x) = 0 . Hal ini kita tafsirkan bahwa jika dinding potensial
sangat tinggi maka elektron akan dipantulkan dan kemungkinan elektron berada di
daerah II hampir tidak ada.

3.5.4. Elektron Berada Dalam Sumur Potensial
Pembahasan masalah ini dilakukan oleh Daniel D. Pollock dalam buku jilid
pertamanya [1]. Di sub-bab ini kita akan mencoba memahaminya melalui
pendekatan yang lebih sederhana.
Sumur potensial adalah daerah yang tidak mendapat pengaruh potensial sedangkan
daerah mendapat pengaruh potensial. Hal ini berarti bahwa elektron, selama ia
berada berada dalam sumur potensial, merupakan elektron-bebas. Kita katakan
bahwa elektron terjebak di sumur potensial, dan kita anggap bahwa dinding
potensial sangat tinggi menuju ∞, atau kita katakan sumur potensial sangat dalam.
Gb.3.2. menggambarkan keadaan ini secara dua dimensi. Daerah I dan daerah III
adalah daerah-daerah dengan V = ∞, sedangkan di daerah II, yaitu antara 0 dan L,
V = 0. Kita katakan bahwa lebar sumur potensial ini adalah L.

                                   I             II             III
                                E p= ∞         Ep=0           E p= ∞
                                   ψ1           ψ2              ψ3

                                      0          L       x
                    Gb.3.2. Elektron dalam sumur potensial (daerah II).

Pada sumur potensial yang dalam, daerah I dan III adalah daerah dimana
kemungkinan keberadaan elektron bisa dianggap nol, ψ 1 ( x) = 0 dan ψ 3 ( x) = 0 .
Solusi persamaan Schrödinger untuk daerah II adalah solusi untuk elektron-bebas
                                   ψ 2 ( x) = B1e− jk 2 x + B2e jk 2 x                (3.21)
Persyaratan kekontinyuan di x = 0 mengharuskan
                          ψ 2 (0) = B1 + B2 = ψ1 (0) = 0 → B1 = − B2

dan persyaratan kekontinyuan di L mengharuskan
                    ψ 2 ( L) = B1e − jk 2 L + B2e jk 2 L = ψ 3 (0) = 0 , sehingga



32 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
(
                                      ψ 2 ( L) = B2 − e − jk 2 L + e jk2 L                     )
                                                              −e            − jk 2 L          jk 2 L      
                                                                         +e
                                                    = 2 jB 2                                                                    (3.22)
                                                                     2j                                   
                                                                                                          
                                                    = 2 jB 2 sin(k 2 L) = 0

                                                                                                           nπ
Persamaan (3.22) mengharuskan k 2 L = nπ atau k 2 =                                                           (dengan n bilangan bulat),
                                                                                                           L
sehingga fungsi gelombang di daerah II menjadi
                                           − e − jk 2 x + e jk 2 x 
                         ψ 2 ( x) = 2 jB2                           = 2 jB sin nπ x                                             (3.23)
                                                     2j                   2
                                                                                 L
                                                                   
Probabilitas keberadaan elektron di daerah II ini adalah sebanding dengan
                                                                              nπ             nπ
                                ψ* ( x)ψ 2 ( x) = 4 B2 sin 2
                                 2
                                                     2
                                                                                 x = K sin 2                                      (3.24)
                                                                              L              L
Untuk n = 1, fungsi ini bernilai nol di x = 0 dan x = L , dan maksimum di x = L/ 2 .
Untuk n = 2, nilai nol terjadi di x = 0, L/2, dan L. Untuk n = 3, nilai nol terjadi di x =
0, L/3, 2L/3, dan L; dan seterusnya, seperti terlihat pada Gb.3.3. Selain di x = 0,
jumlah titik simpul gelombang, yaitu titik di mana fungsinya bernilai nol, sama
dengan nilai n.
                                                                       ψ*ψ                                 ψ*ψ
               4                                                                               4




                                ψ                                  ψ                                       ψ

               0                                      0                                        0

                   0                         3.16         0                             3.16       0                       3.16



                   0              x          L            0                             L          0                       L
                       a). n =1                               b). n =2                             c). n =3
                                  h   2                                  4h 2                                     9h 2
                         E1 =                                  E2 =              = 4 E1                    E3 =          = 9 E1
                                8mL2                                    8mL2                                      8mL2

          Gb.3.3. Probabilitas keberadaan electron dalam sumur potensial.

Karena di daerah II V = 0, maka k2 = 2mE / h 2 atau E = h 2 k2 / 2m . Dengan
                                                             2

memasukkan nilai k2 kita peroleh energi elektron:
                                                                                                       2
                                                      n2π2h 2                  h 2  nπ 
                                            E=                            =                                                     (3.25)
                                                              2mL2             2m  L 

Kita lihat di sini bahwa energi elektron mempunyai nilai-nilai tertentu yang diskrit,
yang ditentukan oleh bilangan bulat n. Nilai diskrit ini terjadi karena pembatasan
yang harus dialami oleh ψ2, yaitu bahwa ia harus berada dalam sumur potensial. Ia
harus bernilai nol di batas-batas dinding potensial dan hal itu akan terjadi bila lebar
sumur potensial L sama dengan bilangan bulat kali setengah panjang gelombang.
Jika tingkat energi untuk n = 1 kita sebut tingkat energi yang pertama, maka tingkat


                                                                                Persamaan Gelombang Schrödinger 33
energi yang kedua pada n = 2, tingkat energi yang ketiga pada n = 3 dan seterusnya.
Jika kita kaitkan dengan bentuk gelombangnya, dapat kita katakan bahwa tingkat-
tingkat energi tersebut sesuai dengan jumlah titik simpul gelombang.
Dengan demikian maka diskritisasi energi elektron terjadi secara wajar melalui
pemecahan persamaan Schödinger. Hal ini berbeda dari pendekatan Bohr yang harus
membuat postulat mengenai momentum sudut yang harus diskrit agar kuantisasi
energi terjadi.
Persamaan (3.25) memperlihatkan bahwa selisih energi antara satu tingkat dengan
tingkat berikutnya, misalnya antara n = 1 dan n = 2, berbanding terbalik dengan
kwadrat lebar sumur potensial. Makin lebar sumur ini, makin kecil selisih energi
tersebut, artinya tingkat-tingkat energi semakin rapat. Untuk L sama dengan satu
satuan misalnya, selisih energi untuk n=2 dan n=1 adalah E 2 − E1 = 3 h 2 / 8 m dan jika
L 10 kali lebih lebar maka selisih ini menjadi E 2 − E1 = 0,03 h 2 / 8 m . (Gb.3.4).

                                             n=3

                       V
                                             n=2
                                             n=1
                           0             L                  0                L′
                                    Gb.3.4. Pengaruh lebar sumur .
Jadi makin besar L maka perbedaan nilai tingkat-tingkat energi akan semakin kecil
dan untuk L yang lebar maka tingkat-tingkat energi tersebut akan akan sangat rapat
sehingga mendekati kontinyu.

3.5.5. Elektron Di Dalam Sumur Potensial Dangkal
Kita tidak akan membahas hal ini secara rinci akan tetapi dengan pengertian yang
kita peroleh pada pembahasan mengenai elektron yang bertemu dengan dinding
potensial (sub-bab 3.5.3) kita akan mengerti kondisi berikut ini. Jika V tidak tinggi
akan tetapi tetap masih V > E maka fungsi gelombang di luar sumur berupa fungsi
eksponensial yang menurun menuju nol. Hal ini diperlihatkan pada Gb.3.5.



                   V
                           ψ*ψ                         ψ*ψ              ψ*ψ

                           E                            E                E
                       0             L             0            L   0         L
                               a)                      b)               c)
     Gb.3.5. Pengaruh kedalaman sumur pada probabilitas keberadaan elektron.
Di x = 0 dan x = L amplitudo gelombang tidak lagi nol dan demikian juga
probabilitas keberadaan elektronnya. Selain itu penurunan amplitudo akan makin
lambat jika sumur potensial makin dangkal. Hal ini berarti bahwa makin dangkal

34 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
sumur potensial makin besar kemungkinan kita menemukan elektron di luar sumur,
seperti diperlihatkan secara berturut-turut oleh Gb.3.5.a, b, dan c.

3.5.6. Dinding Potensial Tipis Antara Dua Sumur Potensial
Situasi yang menarik adalah jika sumur potensial mempunyai dinding yang tidak
terlalu tebal, misalnya a. Dengan perkataan lain sumur potensial ini berdekatan
dengan sumur lain dan di antara keduanya terdapat dinding
potensial dinding V yang tipis. Situasi seperti ini                        a
diperlihatkan oleh Gb.3.6. Di luar dinding, probabilitas             ψψ
                                                                      *

keberadaan elektron tidak nol. Dalam kasus ini kita masih
memiliki probabilitas menemukan elektron di sumur lain
tersebut walaupun energinya lebih rendah dari dinding              0     L
potensial. Gejala ini disebut penembusan elektron pada    Gb.3.6. Sumur potensial
dinding potensial (electron tunneling).                      berdinding tipis.

3.5.7. Dua Sumur Potensial Tumpang-Tindih
Jika dua sumur potensial tumpang-tindih, kedua sumur ini akan membentuk satu
sumur yang lebih lebar. Akibatnya adalah tingkat-tingkat energi akan lebih banyak,
sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mengenai pengaruh lebar sumur. Hal
ini diperlihatkan pada Gb.3.7.


              ψ*ψ                              ψ*ψ


                    sumur-1    sumur-2             sumur-1   sumur-2
                    Gb.3.7. Dua sumur potensial tumpang-tindih.

3.6. Elektron Dalam Sumur Potensial Tiga Dimensi
Kita akan melihat keadaan yang agak mendekati kenyataan, yaitu elektron yang
terjebak dalam sumur potensial tiga dimensi. Sumur ini dibatasi oleh dinding
potensial di arah sumbu x, y, z, dan akan lebih tepat jika kita sebut kotak potensial,
seperti terlihat pada Gb.3.7. Elektron terjebak di dalam kotak potensial ini dan kita
mengambil nilai V = 0 di dalam kotak dan V = ∞ di luar kotak.
                                      z

                                          Lz
                                                         y
                                          Lx Ly

                                x
                              Gb.3.7. Sumur tiga dimensi.
Karena V = 0, persamaan Schrödinger tiga dimensi yang bebas-waktu di dalam
kotak menjadi


                                                  Persamaan Gelombang Schrödinger 35
h 2  ∂ 2ψ ∂ 2ψ ∂ 2ψ 
                                                    + Eψ = 0
                                         +    +                                          (3.26)
                               2m  ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 
                                                   

dengan ψ adalah fungsi dari x, y, dan z. Kita akan melihat fungsi ini dalam bentuk
peubah terpisah ψ ( x, y, z ) = X ( x)Y ( y ) Z ( z ) . Hal ini tidak selalu dapat terjadi, akan
tetapi kita mengambil langkah ini agar persamaan yang tidak mudah dipecahkan ini
menjadi agak sederhana. Jika turunan kedua fungsi ini kita masukkan ke (3.26)
kemudian kedua ruas dibagi dengan ψ ( x, y, z ) , dan dikalikan dengan 2m / h 2 maka
akan kita peroleh

                       1 ∂ 2 X ( x)     1 ∂ 2Y ( y)     1 ∂ 2 Z ( z)    2m
                                    +               +                =−    E             (3.27)
                               2                 2               2
                     X ( x) ∂x        Y ( y ) ∂y      Z ( z ) ∂z        h2

Setiap suku di ruas kiri hanya merupakan fungsi dari satu peubah dan berbeda satu
sama lain; jumlah ketiganya sama dengan suatu nilai konstan. Hal ini hanya akan
terjadi jika masing-masing suku juga sama dengan suatu nilai konstan. Jadi

                                     1 ∂ 2 X ( x)    2m
                                                  =−    Ex ;
                                   X ( x) ∂x 2       h2

                                         1 ∂ 2Y ( y )    2m
                                                      =−    Ey ;                         (3.28)
                                                  2
                                       Y ( y ) ∂y        h2

                                         1 ∂ 2Z ( z)    2m
                                                     = − 2 Ez
                                       Z ( z ) ∂z 2     h
dengan Ex, Ey, dan Ez adalah nilai-nilai konstan dan E = E x + E y + Ez . Salah satu
persamaan dari (3.28) dapat kita tuliskan sebagai
                                       ∂ 2 X ( x)       2m
                                                    +        E x X ( x) = 0              (3.29)
                                              2
                                         ∂x             h2
Persamaan ini adalah persamaan diferensial linier homogen orde kedua yang telah
pernah kita temui pada waktu kita membahas elektron yang terjebak dalam sumur
potensial satu dimensi. Dengan cara pemecahan yang serupa, kita dapatkan

                              nx h 2
                               2                             n2h 2
                                                              y               nz h 2
                                                                               2
                       Ex =              dan E y =                   ; Ez =              (3.30)
                              8mL2
                                 x                        8mL2
                                                             y                8mL2
                                                                                 z

dengan nx, ny, dan nz adalah bilangan-bilangan bulat.
Energi total elektron adalah

                                                        h 2  nx n y nz 
                                                               2   2   2
                         E = Ex + E y + Ez =                    +   +                  (3.31)
                                                        8m  L x L y Lz 
                                                                        


36 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
Persamaan (3.31) menunjukkan bahwa energi elektron ditentukan oleh tiga macam
bilangan bulat yang kita sebut bilangan kuantum, yaitu n x , n y , n z .

Bentuk fungsi gelombang dalam kotak potensial adalah
                                          n x πx     n y πy    n πz
                            ψ = K sin            sin        sin z                 (3.32)
                                           Lx         Ly        Lz

Jika kotak potensial berbentuk kubus,
                               L x = L y = L z = L , maka

                         E = Ex + E y + Ez =
                                                   h2
                                                 8mL2
                                                        (n   2
                                                             x   + n 2 + nz
                                                                     y
                                                                          2
                                                                              )   (3.33)


Pada persamaan (3.33) terlihat bahwa makin kecil ukuran kotak potensial, makin
jauh jarak antara satu tingkat energi dengan tingkat energi berikutnya. Tetapi pada
kotak potensial yang besar, misalnya elektron dalam metal, tingkat-tingkat energi
energi yang berurutan menjadi sangat berdekatan sehingga mereka dapat dianggap
membentuk spektrum tingkat energi yang kontinyu. Hal ini diperlihatkan pada
Gb.3.8.
                                    12E1
                                    11E1

                                    9E1                             dE

                                    6E1

                                    3E1

                                          E1
                        Kotak Potensial        Kotak Potensial
                             kecil                 besar
          Gb.3.8. Tingkat-tingkat energi elektron dalam kotak potensial.

3.8. Degenerasi
Persamaan (3.33) menunjukkan bahwa energi tergantung dari (nx + n2 + nz ) . Hal ini
                                                            2
                                                                 y
                                                                      2

berarti bahwa semua status yang ditentukan oleh semua nilai nx, ny, dan nz yang
memberikan jumlah nilai yang sama akan memberikan nilai energi yang sama pula.
Akan tetapi setiap perubahan nilai nx, ny, dan nx akan memberikan fungsi gelombang
yang berbeda. Jadi satu tingkat energi mungkin berkaitan dengan beberapa fungsi
gelombang. Jika hal ini terjadi kita katakan bahwa terjadi degenerasi. Orde
degenerasi suatu tingkat energi ditentukan oleh berapa banyak fungsi gelombang
yang berbeda pada tingkat energi tersebut. Contoh untuk enam tingkat energi dari
kotak potensial kubus diberikan pada Tabel 3.1.




                                                  Persamaan Gelombang Schrödinger 37
Tabel 3.1. Tingkat Energi dan Degenerasi Dalam Kotak Potensial Kubus. [3].
                                   E1 = h 2 / 8mL2

                Energi    Kombinasi nx, ny, dan nz   Degenerasi
                 3 E1    (1,1,1)                             1
                 6 E1    (2,1,1) (1,2,1) (1,1,2)             3
                 9 E1    (2,2,1) (2,1,2) (1,2,2)             3
                11 E1    (3,1,1) (1,3,1) (1,1,3)             3
                12 E1    (2,2,2)                             1
                14 E1    (1,2,3) (3,2,1) (2,3,1)             6
                         (1,3,2) (2,1,3) (3,1,2)




38 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material

More Related Content

What's hot

Fisika Zat Padat "Model Einstein"
Fisika Zat Padat "Model Einstein"Fisika Zat Padat "Model Einstein"
Fisika Zat Padat "Model Einstein"Hendra Trisurya
 
Fisika Inti
Fisika IntiFisika Inti
Fisika IntiFKIP UHO
 
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannyaContoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannyaAyuShaleha
 
Statistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang Entropi
Statistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang EntropiStatistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang Entropi
Statistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang EntropiSamantars17
 
Potensial Termodinamika
 Potensial Termodinamika Potensial Termodinamika
Potensial TermodinamikaMutiara Cess
 
Statistik Fermi dirac
Statistik Fermi diracStatistik Fermi dirac
Statistik Fermi diracAyuShaleha
 
FISIKA DASAR_04 hukum newton
FISIKA DASAR_04 hukum newtonFISIKA DASAR_04 hukum newton
FISIKA DASAR_04 hukum newtonEko Efendi
 
Persamaan lagrange dan hamilton
Persamaan lagrange dan hamiltonPersamaan lagrange dan hamilton
Persamaan lagrange dan hamiltonKira R. Yamato
 
Tugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodinger
Tugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodingerTugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodinger
Tugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodingerSucinurmatin S
 
Turunan parsial (pertemuan iv)
Turunan parsial (pertemuan iv)Turunan parsial (pertemuan iv)
Turunan parsial (pertemuan iv)FKIP UHO
 
Bab ii atom hidrogen
Bab ii atom hidrogenBab ii atom hidrogen
Bab ii atom hidrogenDwi Karyani
 
Fisika kuantum part 4
Fisika kuantum part 4Fisika kuantum part 4
Fisika kuantum part 4radar radius
 
Model inti atom (asti dewi n.)
Model inti atom (asti dewi n.)Model inti atom (asti dewi n.)
Model inti atom (asti dewi n.)kemenag
 
Penerapan defrensial
Penerapan defrensialPenerapan defrensial
Penerapan defrensialFKIP UHO
 

What's hot (20)

Fisika Zat Padat "Model Einstein"
Fisika Zat Padat "Model Einstein"Fisika Zat Padat "Model Einstein"
Fisika Zat Padat "Model Einstein"
 
Kel 9 Gaya Sentral.pptx
Kel 9 Gaya Sentral.pptxKel 9 Gaya Sentral.pptx
Kel 9 Gaya Sentral.pptx
 
Fisika Inti
Fisika IntiFisika Inti
Fisika Inti
 
Energetika Gelombang
Energetika GelombangEnergetika Gelombang
Energetika Gelombang
 
Sifat gelombang de broglie
Sifat gelombang de broglieSifat gelombang de broglie
Sifat gelombang de broglie
 
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannyaContoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
 
Statistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang Entropi
Statistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang EntropiStatistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang Entropi
Statistik Maxwell-Boltzmann & Interpretasi Statistik tentang Entropi
 
Potensial Termodinamika
 Potensial Termodinamika Potensial Termodinamika
Potensial Termodinamika
 
MODUL FISIKA KUANTUM
MODUL FISIKA KUANTUMMODUL FISIKA KUANTUM
MODUL FISIKA KUANTUM
 
Statistik Fermi dirac
Statistik Fermi diracStatistik Fermi dirac
Statistik Fermi dirac
 
Fisika inti diktat
Fisika inti diktatFisika inti diktat
Fisika inti diktat
 
FISIKA DASAR_04 hukum newton
FISIKA DASAR_04 hukum newtonFISIKA DASAR_04 hukum newton
FISIKA DASAR_04 hukum newton
 
Persamaan lagrange dan hamilton
Persamaan lagrange dan hamiltonPersamaan lagrange dan hamilton
Persamaan lagrange dan hamilton
 
Atom berelektron banyak
Atom berelektron banyakAtom berelektron banyak
Atom berelektron banyak
 
Tugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodinger
Tugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodingerTugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodinger
Tugas 1 penurunan persamaan bohr dan scrhodinger
 
Turunan parsial (pertemuan iv)
Turunan parsial (pertemuan iv)Turunan parsial (pertemuan iv)
Turunan parsial (pertemuan iv)
 
Bab ii atom hidrogen
Bab ii atom hidrogenBab ii atom hidrogen
Bab ii atom hidrogen
 
Fisika kuantum part 4
Fisika kuantum part 4Fisika kuantum part 4
Fisika kuantum part 4
 
Model inti atom (asti dewi n.)
Model inti atom (asti dewi n.)Model inti atom (asti dewi n.)
Model inti atom (asti dewi n.)
 
Penerapan defrensial
Penerapan defrensialPenerapan defrensial
Penerapan defrensial
 

Viewers also liked

Fisika Kuantum (5) schoedinger
Fisika Kuantum (5) schoedingerFisika Kuantum (5) schoedinger
Fisika Kuantum (5) schoedingerjayamartha
 
Pert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 d
Pert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 dPert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 d
Pert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 djayamartha
 
Bab 7 Struktur Elektron Atom
Bab 7 Struktur Elektron AtomBab 7 Struktur Elektron Atom
Bab 7 Struktur Elektron AtomJajang Sulaeman
 
Model atom mekanika gelombang
Model atom mekanika gelombangModel atom mekanika gelombang
Model atom mekanika gelombangMuhammad Adnan
 
Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..
Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..
Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..Fanimanalu
 
teori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom Hidrogenteori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom HidrogenKhotim U
 
Diferensial parsial
Diferensial parsialDiferensial parsial
Diferensial parsialyenisaja
 
Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)
Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)
Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)Gressi Dwiretno
 
Teori bohr mengenai atom hidrogen
Teori bohr mengenai atom hidrogenTeori bohr mengenai atom hidrogen
Teori bohr mengenai atom hidrogenEco Chem
 
Energi Atom dan Inti, NIRSAM
Energi Atom dan Inti, NIRSAMEnergi Atom dan Inti, NIRSAM
Energi Atom dan Inti, NIRSAMkemenag
 

Viewers also liked (20)

Fisika Kuantum (5) schoedinger
Fisika Kuantum (5) schoedingerFisika Kuantum (5) schoedinger
Fisika Kuantum (5) schoedinger
 
Pert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 d
Pert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 dPert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 d
Pert 9 persamaan schrodinger dalam koordinat bola 3 d
 
Bab 7 Struktur Elektron Atom
Bab 7 Struktur Elektron AtomBab 7 Struktur Elektron Atom
Bab 7 Struktur Elektron Atom
 
Model atom mekanika gelombang
Model atom mekanika gelombangModel atom mekanika gelombang
Model atom mekanika gelombang
 
Bahan ajar modul-lks-rev
Bahan ajar modul-lks-revBahan ajar modul-lks-rev
Bahan ajar modul-lks-rev
 
Ketdakpastian heisenberg
Ketdakpastian  heisenbergKetdakpastian  heisenberg
Ketdakpastian heisenberg
 
O5
O5O5
O5
 
Ketidakpastian Heisenberg
Ketidakpastian HeisenbergKetidakpastian Heisenberg
Ketidakpastian Heisenberg
 
Struktur atom
Struktur atomStruktur atom
Struktur atom
 
Pemisahan variabel
Pemisahan variabelPemisahan variabel
Pemisahan variabel
 
Ringkasan zat padat
Ringkasan zat padatRingkasan zat padat
Ringkasan zat padat
 
Ppt pkn PERS..
Ppt pkn PERS..Ppt pkn PERS..
Ppt pkn PERS..
 
Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..
Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..
Fisika teori Atom Modern Mekanika Kuantum ..
 
teori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom Hidrogenteori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom Hidrogen
 
Diferensial parsial
Diferensial parsialDiferensial parsial
Diferensial parsial
 
Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)
Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)
Media Pembelajaran (RPP, Silabus, LKS, Buku Siswa, Lembar Penilaian)
 
teori kuantum
teori kuantumteori kuantum
teori kuantum
 
Teori bohr mengenai atom hidrogen
Teori bohr mengenai atom hidrogenTeori bohr mengenai atom hidrogen
Teori bohr mengenai atom hidrogen
 
Energi Atom dan Inti, NIRSAM
Energi Atom dan Inti, NIRSAMEnergi Atom dan Inti, NIRSAM
Energi Atom dan Inti, NIRSAM
 
Fisika atom sma kelas 12
Fisika atom sma kelas 12Fisika atom sma kelas 12
Fisika atom sma kelas 12
 

Similar to Persamaan Gelombang Schrödinger

Similar to Persamaan Gelombang Schrödinger (20)

1. persamaan schrodinger
1. persamaan schrodinger1. persamaan schrodinger
1. persamaan schrodinger
 
2 f08634fd01
2 f08634fd012 f08634fd01
2 f08634fd01
 
Mekanika (fungsi hamilton)
Mekanika (fungsi hamilton)Mekanika (fungsi hamilton)
Mekanika (fungsi hamilton)
 
Persamaan Diferensial
Persamaan DiferensialPersamaan Diferensial
Persamaan Diferensial
 
2_Persamaan_Gerak.pptx
2_Persamaan_Gerak.pptx2_Persamaan_Gerak.pptx
2_Persamaan_Gerak.pptx
 
Gelombang Berjalan
Gelombang BerjalanGelombang Berjalan
Gelombang Berjalan
 
Rumus-rumus untuk IPhO
Rumus-rumus untuk IPhORumus-rumus untuk IPhO
Rumus-rumus untuk IPhO
 
Fungsi transenden
Fungsi transendenFungsi transenden
Fungsi transenden
 
Fisika Kuantum1.pptx
Fisika Kuantum1.pptxFisika Kuantum1.pptx
Fisika Kuantum1.pptx
 
Pdp jadi
Pdp jadiPdp jadi
Pdp jadi
 
Materi 9
Materi 9Materi 9
Materi 9
 
Fisika kuantum
Fisika kuantumFisika kuantum
Fisika kuantum
 
Fisika kuantum edit
Fisika kuantum editFisika kuantum edit
Fisika kuantum edit
 
Diferensial Parsial
Diferensial ParsialDiferensial Parsial
Diferensial Parsial
 
Mekanika 2
Mekanika 2Mekanika 2
Mekanika 2
 
Mekanika II
Mekanika IIMekanika II
Mekanika II
 
K alkulus perumuman teorema stokes
K alkulus   perumuman teorema stokesK alkulus   perumuman teorema stokes
K alkulus perumuman teorema stokes
 
Atom hidrogen-final-doc2
Atom hidrogen-final-doc2Atom hidrogen-final-doc2
Atom hidrogen-final-doc2
 
Bab 11 getaran
Bab 11 getaranBab 11 getaran
Bab 11 getaran
 
pertemuan 9 matek2.pptx
pertemuan 9 matek2.pptxpertemuan 9 matek2.pptx
pertemuan 9 matek2.pptx
 

Recently uploaded

Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatArfiGraphy
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7IwanSumantri7
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxSlasiWidasmara1
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxRizkyPratiwi19
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 

Recently uploaded (20)

Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 

Persamaan Gelombang Schrödinger

  • 1. BAB 3 Persamaan Gelombang Schrödinger Schrödinger menyatakan bahwa perilaku elektron, termasuk tingkat-tingkat energi elektron yang diskrit dalam atom, mengikuti suatu persamaan diferensial untuk gelombang, yang kemudian dikenal sebagai persamaan Schrödinger. Persamaan ini biasanya tidak dibahas secara mendalam jika membicarakan masalah material, lebih- lebih pada buku ajar tingkat sarjana. Daniel D Pollock membahas hal ini lebih mendalam dalam bukunya, namun ada satu langkah yang dihilangkan dalam mengintroduksi operator momentum maupun energi. Di sini kita akan mencoba menelusurinya dalam pembahasan yang agak terurai namun tetap sederhana. 3.1. Fungsi Hamilton Jika gelombang dapat mewakili elektron maka energi gelombang dan energi partikel elektron yang diwakilinya haruslah sama. Sebagai partikel, satu elektron mempunyai energi total yang terdiri dari energi potensial dan energi kinetik. Seperti kita ketahui, energi potensial merupakan fungsi posisi x (dengan referensi koordinat tertentu) dan kita sebut Ep(x), sedangkan energi kinetik adalah Ek = ½mv2 dengan m adalah massa elektron dan v adalah kecepatannya. Energi total electron sebagai partikel menjadi E = Ep + Ek mv 2 p2 E= + E p ( x) atau E= + E p ( x) (3.1) 2 2m di mana p = mv adalah momentum elektron. Jika kita pandang persamaan (3.1) ini sebagai persamaan matematis biasa, kita dapat menuliskannya sebagai p2 E ≡ H ( p, x ) = + E p ( x) (3.2) 2m H(p,x) adalah sebuah fungsi yang disebut fungsi Hamilton (dari William Rowan Hamilton 1805 – 1865; matematikawan Irlandia), dengan p dan x adalah peubah- peubah bebas.[4]. Turunan parsial fungsi ini terhadap p dan x masing-masing adalah ∂H ( p, x) p ∂H ( p, x) dE p ( x) = dan = (3.3) ∂p m ∂x dx Kalau kita memandang (3.1) kembali sebagai suatu persamaan besaran fisika dengan p dan x adalah momentum dan posisi¸ maka kita peroleh ∂H ( p, x) p dx = = ve = dan (3.4.a) ∂p m dt Persamaan Gelombang Schrödinger 23
  • 2. ∂H ( p, x) ∂E p ( x) dv dp − =− = F ( x) = m = (3.4.b) ∂x ∂x dt dt Jadi turunan H(p,x) terhadap p memberikan turunan x terhadap t dan turunan H(p,x) terhadap x memberikan turunan p terhadap t; dan kita pahami bahwa p di sini adalah momentum, suatu besaran fisis dan bukan lagi hanya sebuah peubah-bebas seperti dalam fungsi Hamilton. Dalam relasi fisik, dx / dt = v adalah kecepatan, dan dp / dt = F adalah gaya. Dengan demikian maka fungsi Hamilton, yang menetapkan hubungan antara peubah-peubah bebas p dan x untuk memperoleh E, dapat kita gunakan untuk menggantikan hubungan-hubungan fisik mengenai momentum, kecepatan, dan gaya yang biasa dx p d 2x dv dp kita nyatakan sebagai : p = mv ; v = = ; F=m 2 =m = dt m dt dt dt Perhatikan: sekali lagi p dan x dalam fungsi Hamilton adalah peubah-peubah sedangkan p dan x dalam persamaan fisis adalah momentum dan posisi. 3.2. Fungsi Hamilton dalam Mekanika Kuantum Dalam mekanika kuantum, elektron dinyatakan sebagai gelombang. Jika fungsi Hamilton dapat diterapkan untuk elektron sebagai partikel, maka ia harus dapat diterapkan pula untuk elektron sebagai gelombang. Hal ini akan kita lihat sebagai berikut. • Peubah p pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator momentum agar jika dioperasikan terhadap suatu fungsi gelombang dapat menyatakan momentum elektron yang tidak lagi dipandang sebagai partikel melainkan sebagai gelombang. • E pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator energi yang jika beroperasi pada fungsi gelombang dari electron akan memberikan energi. • Peubah x yang akan menentukan posisi elektron sebagai partikel, akan terkait dengan posisi elektron sebagai gelombang sehingga peubah ini tidak berubah pada fungsi gelombang dari elektron. Dalam kaitan ini perlu kita ingat bahwa jika elektron kita pandang sebagai partikel maka momentum dan posisi mempunyai nilai-nilai yang akurat. Jika elektron kita pandang sebagai gelombang, maka kita dibatasi oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg. Operator Momentum dan Operator Energi. Kita akan mencoba menelusuri operator-operator yang diperlukan ini dengan memperhatikan bentuk fungsi gelombang komposit, yaitu persamaan (2.5)   n ∑ u =  e j[( ∆ωn )t − ( ∆k n ) x ]  A0 e j ( ω0t − k0 x )    Jika fungsi ini kita turunkan terhadap t kita peroleh 24 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
  • 3. ∂u   = ∂t  n ∑ j∆ω n e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x ]  A0 e j (ω0t − k0 x)      n ∑ +  e j[( ∆ωn )t −( ∆k n ) x ]  jω 0 A0 e j (ω0t − k0 x)    yang dapat disederhanakan menjadi ∂u  ∆ω  ∂t = jω 0  n  ω0 n ∑ e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x]  A0 e j (ω0t − k0 x)  (3.5.a)   Dalam selang sempit ∆k maka ω n / ω 0 ≈ 1 ; dan jika ruas kiri dan kanan (3.5.a) dikalikan dengan h dan mengingat bahwa energi E = hω maka kita akan memperoleh ∂ ∂ h u = j (hω 0 )u = jEu atau − jh u = Eu (3.5.b) ∂t ∂t E adalah energi total elektron. Akan tetapi jika kita melihat (3.5.b) sebagai suatu persamaan matematik biasa maka kita dapat mengatakan bahwa E merupakan sebuah operator yang beroperasi pada fungsi gelombang u dan ∂ E ≡ − jh (3.5.c) ∂t Jika u kita turunkan terhadap x. ∂u   = ∑ (− j∆k n )e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x]  A0 e j (ω0t −k0 x ) ∂x  n      + ∑ e j[( ∆ωn )t −( ∆kn ) x]  (− jk 0 ) A0 e j ( ω0t −k0 x)  n   k  = − jk 0  n ∑ e j[( ∆ωn )t −( ∆k n ) x ]  A0 e j ( ω0t −k0 x)  k0 n    Untuk kn / k0 ≈ 1 , jika ruas kiri dan kanan kita kalikan dengan h akan kita peroleh ∂ ∂ h u = − j (hk 0 )u = − jpu atau jh u = pu (3.5.d) ∂x ∂x Seperti halnya untuk E pada (3.5.b), p pada (3.3.5.d) kita pandang sebagai operator ∂ p ≡ jh (3.5.e) ∂x Dengan demikian kita mendapatkan operator untuk E pada (3.5.c) dan p pada (3.5.e). Persamaan Gelombang Schrödinger 25
  • 4. Jika fungsi gelombang kita sebut Ψ dan mengoperasikan H(p,x) pada fungsi gelombang ini, maka  p2  H ( p, x)Ψ = EΨ atau  + E p ( x )  Ψ = EΨ ;  2m    Dengan memasukkan operator p akan kita peroleh  1  ∂  ∂     − jh  − jh  + E p ( x) Ψ = EΨ atau  2m  ∂x  ∂x   h 2 ∂ 2Ψ − + E p ( x ) Ψ = EΨ (3.6) 2m ∂x 2 Inilah persamaan Schrödinger untuk satu dimensi. Untuk tiga dimensi, persamaan Schrödinger itu menjadi h2 2 − ∇ Ψ + E p ( x , y , z ) Ψ = EΨ (3.7) 2m 3.3. Persamaan Schrödinger Bebas-waktu Aplikasi persamaan Schrödinger dalam banyak hal akan berkaitan dengan energi potensial, yaitu besaran yang merupakan fungsi posisi dan tidak merupakan fungsi waktu. Perhatian kita tidak tertuju pada keberadaan elektron dari waktu ke waktu, melainkan tertuju pada kemungkinan dia berada dalam selang waktu yang cukup panjang. Jadi jika faktor waktu dapat dipisahkan dari fungsi gelombang, maka hal itu akan menyederhanakan persoalan. Kita tinjau kasus satu dimensi dan menuliskan persamaan gelombang sebagai Ψ ( x, t ) = ψ ( x) T (t ) . Jika persamaan gelombang ini kita masukkan ke persamaan (3.6) dan kedua ruas kita bagi dengan ψ ( x)T (t ) kita memperoleh h 2 1 ∂ 2 ψ ( x) 1 ∂T (t ) − + E p ( x ) = − jh (3.8) 2m ψ ( x) ∂x 2 T (t ) ∂t Ruas kiri dari (3.8) merupakan fungsi x saja sedangkan ruas kanan merupakan fungsi t saja. Karena kedua ruas merupakan fungsi dengan peubah yang berbeda maka kedua ruas harus sama dengan suatu nilai konstan khusus, yang biasa disebut eigenvalue. Kita lihat lebih dahulu ruas kanan, yang akan memberikan persamaan Schrödinger satu dimensi yang tergantung waktu: 1 ∂ T (t ) − jh = a = konstan (3.8.a) T (t ) ∂t Mengingat bentuk gelombang yang mewakili elektron adalah (2.5) 26 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
  • 5. u = S ( x, t ) A0e j (ω0t − k0 x ) = S ( x, t ) A0e jω0t e− jk0 x sedangkan S ( x, t ) adalah S ( x, t ) = ∑ e j ( ∆ωn )t e − j ( ∆k n ) x n maka kita dapat mengambil bentuk T(t) sebagai T (t ) = B (t )e jωt untuk kita masukkan ke (3.8.a), dan kita akan memperoleh 1 ∂B (t )e jωt a = − jh B (t )e jωt ∂t (3.8.b) jωB (t )e jωt = − jh = hω = E B (t )e jωt Jadi konstanta a pada (3.8.a) adalah energi total elektron, E. Jika demikian halnya maka ruas kiri (3.8) juga harus sama dengan E, sehingga dapat kita tuliskan sebagai h 2 1 ∂ 2 ψ( x) − + E p ( x) = E atau 2m ψ ( x) ∂x 2 h 2 ∂ 2 ψ ( x) 2m ∂x 2 ( ) + E − E p ( x) ψ ( x) = 0 (3.9) Inilah persamaan Schrödinger satu dimensi yang bebas-waktu. Untuk tiga dimensi persamaan itu menjadi h2 2 2m ( ∇ Ψ + E − E p ( x, y , z ) Ψ = 0 ) (3.9.a) Perlu kita sadari bahwa adanya persamaan Schrödinger bebas-waktu bukanlah berarti bahwa elektron atau partikel yang ingin kita pelajari dengan mengaplikasikan persamaan ini adalah partikel yang bebas-waktu. Partikel tersebut memiliki kecepatan gerak, dan kecepatan adalah turunan terhadap waktu dari posisi. Oleh karena itu dalam memberi arti pada penurunan matematis dari persamaan Schrödinger bebas-waktu, dalam hal-hal tertentu kita perlu mempertimbangkan masalah waktu, sesuai dengan logika. Dengan persamaan Schrödinger bebas-waktu (3.9) atau (3.9.a) fungsi gelombang yang dilibatkan dalam persamaan ini juga fungsi gelombang bebas-waktu, Ψ(x). Dari bentuk gelombang komposit untuk electron (2.5) u = S ( x, t ) A0 e j ( ω0t − k0 x ) dengan S ( x, t ) = ∑ e j ( ∆ωn )t e − j ( ∆k n ) x n kita dapat mengambil bentuk Ψ(x) sebagai Ψ ( x) = A( x)e − jkx , dengan A(x) adalah selubung paket gelombang, untuk mencari solusi persamaan Schrödinger. Persamaan Gelombang Schrödinger 27
  • 6. Persamaan Schrödinger adalah persamaan gelombang dan yang kita maksudkan adalah gelombang sebagai representasi elektron atau partikel. Mencari solusi persamaan Schrödinger adalah untuk memperoleh fungsi gelombang yang selanjutnya digunakan untuk melihat bagaimana perilaku atau keadaan elektron. Hubungan antara momentum p dan energi E dengan besaran-besaran gelombang (k, ω, f, λ) adalah 2π h p = hk = h = E = hω = hf λ λ 3.4. Fungsi Gelombang Persamaan Schrödinger adalah persamaan diferensial parsial dengan Ψ adalah fungsi gelombang, dengan pengertian bahwa Ψ * Ψ dx dy dz (3.10) adalah probabilitas keberadaan elektron pada waktu t tertentu dalam volume dx dy dz di sekitar titik (x, y, z); Ψ * adalah konjugat dari Ψ . Jadi persamaan Schrödinger tidak menentukan posisi elektron melainkan memberikan probabilitas bahwa ia akan ditemukan di sekitar posisi tertentu. Kita juga tidak dapat mengatakan secara pasti bagaimana elektron bergerak sebagai fungsi waktu karena posisi dan momentum elektron dibatasi oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg. Dalam kasus satu dimensi dengan bentuk gelombang 2 sin( x∆k/2) sin( x∆k/2) Ψ ( x) = A0 e − jkx dan Ψ * ( x) = ∆kA0 e + jkx x ( x∆k/2) 2 2  sin( x∆k / 2)  maka Ψ * Ψ = A0   (3.11)  x  Apa yang berada dalam tanda kurung pada (3.11) adalah selubung paket gelombang yang merupakan fungsi x sedangkan A0 memiliki nilai konstan. Jadi selubung paket gelombang itulah yang menentukan probabilitas keberadaan elektron. Persyaratan Fungsi Gelombang. Fungsi gelombang Ψ (x) hasil solusi persamaan Schrödinger harus memenuhi beberapa persyaratan agar ia mempunyai arti fisis. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut. • Elektron sebagai suatu yang nyata harus ada di suatu tempat. Oleh karena itu ∞ ∫−∞Ψ * fungsi gelombang (untuk satu dimensi) harus memenuhi Ψdx = 1 . • Fungsi gelombang Ψ (x) , harus kontinyu sebab jika terjadi ketidak- kontinyuan hal itu dapat ditafsirkan sebagai rusaknya elektron, suatu hal yang tidak dapat diterima. 28 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
  • 7. Turunan fungsi gelombang terhadap posisi, dΨ / dx , juga harus kontinyu. Kita telah melihat bahwa turunan fungsi gelombang terhadap posisi terkait dengan momentum elektron sebagai gelombang. Oleh karena itu persyaratan ini dapat diartikan sebagai persayaratan kekontinyuan momentum. • Fungsi gelombang harus bernilai tunggal dan terbatas sebab jika tidak akan berarti ada lebih dari satu kemungkinan keberadaan elektron. • Fungsi gelombang tidak boleh sama dengan nol di semua posisi sebab kemungkinan keberadaan elektron haruslah nyata, betapapun kecilnya. 3.5. Aplikasi Persamaan Schrödinger - Tinjauan Satu Dimensi 3.5.1. Elektron-bebas Yang dimaksud dengan elektron-bebas adalah elektron yang tidak mendapat pengaruh luar sehingga energi potensialnya nol. Dengan V(x) = 0 persamaan Schrödinger menjadi h 2 ∂ 2 ψ( x) + Eψ ( x ) = 0 (3.12) 2m ∂x 2 Solusi persamaan Schrödinger satu dimensi ini bisa kita duga berbentuk ψ ( x) = Ae sx . (Bandingkan solusi dugaan ini dengan persamaan paket gelombang di bab sebelumnya, yaitu persamaan (2.9) u t = A( x)e − jk0 x = A( x)e sx ). Jika solusi dugaan ini kita masukkan ke (3.12) akan kita peroleh persamaan karakteristik yang 2mE 2mE memberikan nilai s: s = ± j = ± j α , dengan α = dan fungsi gelombang 2 h h2 αx yang kita cari adalah ψ ( x) = A1e j + A2e − j αx . α tidak lain adalah bilangan gelombang, k, dengan nilai 2mE k= α= (3.13) h2 Jadi solusi yang kita peroleh dapat kita tuliskan sebagai ψ ( x) = A1e jkx + A2e− jkx (3.14) Ruas kanan persamaan (3.14) terdiri dari dua suku, gelombang maju dan gelombang mundur. Hal ini tentu tidak kita tafsirkan bahwa kita memperoleh dua elektron, satu bergerak ke kiri dan satu bergerak ke kanan, melainkan bahwa probabilitas keberadaan elektron ditentukan oleh ψ * ψ yang mempunyai nilai nyata. Persamaan (3.13) memberikan hubungan antara energi elektron, E, dan bilangan gelombang k yaitu h 2k 2 E= (3.15) 2m Persamaan Gelombang Schrödinger 29
  • 8. 3.5.2. Pantulan Elektron Dalam percobaan Davisson dan Germer berkas elektron dengan energi tertentu ditembakkan pada permukaan kristal tunggal. Terjadinya pantulan mudah dipahami jika kita bayangkan elektron sebagai partikel. Namun pantulan berkas elektron oleh permukaan kristal ternyata mencapai nilai maksimum pada sudut tertentu, dan hal ini diterangkan melalui gejala pantulan gelombang. Elektron adalah partikel bermuatan. Oleh karena itu pantulan elektron tidak hanya terjadi pada waktu ia membentur permukaan fisik (kristal pada percobaan Davisson dan Germer), tetapi juga akan terjadi jika ia bertemu dengan suatu daerah yang mendapat pengaruh medan listrik. Elektron yang bergerak bebas di suatu daerah yang tidak mendapat pengaruh medan listrik, hanya memiliki energi kinetik; ia akan berubah arah atau terpantul jika ia bertemu daerah yang mendapat pengaruh medan listrik. Kita katakan bahwa di perbatasan kedua daerah itu elektron bertemu dinding potensial. Jika kita pandang elektron sebagai gelombang, dalam peristiwa pantulan seperti tersebut di atas, seluruh komponen paket gelombang mengalami peristiwa pantulan sehingga gelombang pantulan juga merupakan paket gelombang. Sebagaimana telah kita pelajari, “posisi” elektron dibatasi oleh lebar paket gelombang. Dengan demikian maka dalam melihat peristiwa pantulan elektron, sesungguhnya kita berhadapan dengan selubung paket gelombang. 3.5.3. Elektron Bertemu Dinding Potensial Kita bayangkan sebuah elektron-bebas bergerak ke arah x positif dan di suatu titik (x = 0) ia memasuki daerah yang mendapat pengaruh medan potensial., artinya mulai dari x = 0 ke arah positif, energi potensialnya tidak lagi nol. Kita katakan bahwa elektron bertemu dinding potensial di x = 0. Keadaan ini kita gambarkan seperti pada Gb.3.1. untuk kasus satu dimensi. Perlu Ep(x)=0 Ep(x)=V kita sadari, walaupun kita membayangkan elektron bergerak ke kanan, kita tetap akan menggunakan persamaan Schrödinger yang I II bebas-waktu untuk melihat kemungkinan V keberadaan elektron di daerah I dan II pada 0 x Gb.3.1. Gb.3.1. Dinding potensial. Energi potensial Ep(x) untuk x < 0 (daerah I) bernilai nol. Solusi persamaan Schrödinger untuk x < 0 ini adalah solusi untuk elektron-bebas yang telah kita bahas yaitu 2mE ψ1 ( x) = A1e− jk1 x + A2e jk1 x dengan k1 = (3.16) h2 Untuk x > 0 (daerah II), solusi yang akan kita peroleh mirip bentuknya dengan (3.5) hanya berbeda nilai k, yaitu ψ 2 ( x) = B1e− jk 2 x + B2e jk 2 x (3.17) 30 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
  • 9. 2m dengan k 2 = (E − V ) h2 Walaupun kita akan menyelesaikan persamaan yang bebas-waktu namun kita akan mempertimbangkan hal yang terkait dengan waktu dalam melihat persamaan (3.17) ini. Sesuai logika, jika elektron berasal dari daerah I, maka ketika ia sampai di daerah II ia haruslah bergerak ke kanan dan oleh karena itu fungsi gelombang di daerah II haruslah gelombang maju, dan tidak mungkin gelombang mundur. Hal ini berarti bahwa nilai B1 pada (3.17) haruslah nol. Perbandingan amplitudo B2 dan A2 terhadap amplitudo gelombang maju di daerah I yaitu A1 akan memberikan gambaran keadaan elektron. Dengan menerapkan persyaratan kekontinyuan gelombang di x = 0, yaitu ψ 1 (0) = ψ 2 (0) dan dψ1 (0) dψ 2 (0) = kita peroleh dx dx B2 2k1 A2 k1 + k2 = A1 ; = (3.18) A1 k1 − k2 A1 k1 − k2 Jika E > V maka nilai k 2 adalah nyata seperti halnya k1 akan tetapi k2 < k1 . Oleh B2 A karena itu 0 < < 1 dan 0 < 2 < 1 . Amplitudo gelombang maju di daerah II lebih A1 A1 kecil dari amplitudo gelombang maju di daerah I sedangkan amplitudo gelombang mundur di daerah I juga lebih kecil dari gelombang maju di daerah I, sedangkan jumlah amplitudo gelombang maju dan gelombang mundur di daerah I sama dengan amplitudo gelombang maju di daerah II. Keadaan ini kita tafsirkan bahwa pada saat elektron bertemu dinding potensial, ada kemungkinan bahwa elektron dipantulkan. Kesimpulan ini berbeda dengan pernyataan dalam analisa klasik yang secara pasti akan mengatakan bahwa elektron akan berada di daerah II karena E > V . Jika E < V , bilangan gelombang di daerah II adalah 2m(V − E ) k2 = − ′ = ± jk 2 . h2 Dalam bentuk eksponensial, solusi untuk daerah II menjadi ′ ′ ψ 2 ( x) = B1ek 2 x + B2e− k 2 x (3.19) Suku pertama (3.19) menuju tak hingga jika x makin besar. Secara fisis hal ini tak dapat diterima sehingga kita tidak akan meninjaunya, jadi kita buat B1 = 0 sehingga fungsi gelombang di daerah II menjadi ′ ψ 2 ( x) = B2e −k 2 x (3.20) Fungsi gelombang yang berbentuk fungsi eksponensial dengan eksponen negatif ini menunjukkan bahwa amplitudo gelombang menurun secara eksponensial. Makin Persamaan Gelombang Schrödinger 31
  • 10. besar V dibandingkan terhadap E akan semakin besar k 2 dan semakin cepat pula ψ2 ′ menuju nol. Walaupun nilainya semakin kecil, tetapi probabilitas keberadaan elektron di daerah II tetap ada. Hal ini berbeda dengan pengertian klasik yang akan mengatakan bahwa tidak mungkin elektron mencapai daerah II karena E < V . Jika V makin besar menuju ∞ maka k 2 = ∞ . Untuk x = 0, maka (3.20) menjadi ′ ′ ψ 2 ( x) = B2 dan dψ2(x) / dx = −k2B2e−k2 x = ∞ . Hal ini tak dapat kita terima maka haruslan ′ B 2 = 0 , sehingga ψ 2 ( x) = 0 . Hal ini kita tafsirkan bahwa jika dinding potensial sangat tinggi maka elektron akan dipantulkan dan kemungkinan elektron berada di daerah II hampir tidak ada. 3.5.4. Elektron Berada Dalam Sumur Potensial Pembahasan masalah ini dilakukan oleh Daniel D. Pollock dalam buku jilid pertamanya [1]. Di sub-bab ini kita akan mencoba memahaminya melalui pendekatan yang lebih sederhana. Sumur potensial adalah daerah yang tidak mendapat pengaruh potensial sedangkan daerah mendapat pengaruh potensial. Hal ini berarti bahwa elektron, selama ia berada berada dalam sumur potensial, merupakan elektron-bebas. Kita katakan bahwa elektron terjebak di sumur potensial, dan kita anggap bahwa dinding potensial sangat tinggi menuju ∞, atau kita katakan sumur potensial sangat dalam. Gb.3.2. menggambarkan keadaan ini secara dua dimensi. Daerah I dan daerah III adalah daerah-daerah dengan V = ∞, sedangkan di daerah II, yaitu antara 0 dan L, V = 0. Kita katakan bahwa lebar sumur potensial ini adalah L. I II III E p= ∞ Ep=0 E p= ∞ ψ1 ψ2 ψ3 0 L x Gb.3.2. Elektron dalam sumur potensial (daerah II). Pada sumur potensial yang dalam, daerah I dan III adalah daerah dimana kemungkinan keberadaan elektron bisa dianggap nol, ψ 1 ( x) = 0 dan ψ 3 ( x) = 0 . Solusi persamaan Schrödinger untuk daerah II adalah solusi untuk elektron-bebas ψ 2 ( x) = B1e− jk 2 x + B2e jk 2 x (3.21) Persyaratan kekontinyuan di x = 0 mengharuskan ψ 2 (0) = B1 + B2 = ψ1 (0) = 0 → B1 = − B2 dan persyaratan kekontinyuan di L mengharuskan ψ 2 ( L) = B1e − jk 2 L + B2e jk 2 L = ψ 3 (0) = 0 , sehingga 32 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
  • 11. ( ψ 2 ( L) = B2 − e − jk 2 L + e jk2 L )  −e − jk 2 L jk 2 L  +e = 2 jB 2   (3.22)  2j    = 2 jB 2 sin(k 2 L) = 0 nπ Persamaan (3.22) mengharuskan k 2 L = nπ atau k 2 = (dengan n bilangan bulat), L sehingga fungsi gelombang di daerah II menjadi  − e − jk 2 x + e jk 2 x  ψ 2 ( x) = 2 jB2   = 2 jB sin nπ x (3.23)  2j  2 L   Probabilitas keberadaan elektron di daerah II ini adalah sebanding dengan nπ nπ ψ* ( x)ψ 2 ( x) = 4 B2 sin 2 2 2 x = K sin 2 (3.24) L L Untuk n = 1, fungsi ini bernilai nol di x = 0 dan x = L , dan maksimum di x = L/ 2 . Untuk n = 2, nilai nol terjadi di x = 0, L/2, dan L. Untuk n = 3, nilai nol terjadi di x = 0, L/3, 2L/3, dan L; dan seterusnya, seperti terlihat pada Gb.3.3. Selain di x = 0, jumlah titik simpul gelombang, yaitu titik di mana fungsinya bernilai nol, sama dengan nilai n. ψ*ψ ψ*ψ 4 4 ψ ψ ψ 0 0 0 0 3.16 0 3.16 0 3.16 0 x L 0 L 0 L a). n =1 b). n =2 c). n =3 h 2 4h 2 9h 2 E1 = E2 = = 4 E1 E3 = = 9 E1 8mL2 8mL2 8mL2 Gb.3.3. Probabilitas keberadaan electron dalam sumur potensial. Karena di daerah II V = 0, maka k2 = 2mE / h 2 atau E = h 2 k2 / 2m . Dengan 2 memasukkan nilai k2 kita peroleh energi elektron: 2 n2π2h 2 h 2  nπ  E= =   (3.25) 2mL2 2m  L  Kita lihat di sini bahwa energi elektron mempunyai nilai-nilai tertentu yang diskrit, yang ditentukan oleh bilangan bulat n. Nilai diskrit ini terjadi karena pembatasan yang harus dialami oleh ψ2, yaitu bahwa ia harus berada dalam sumur potensial. Ia harus bernilai nol di batas-batas dinding potensial dan hal itu akan terjadi bila lebar sumur potensial L sama dengan bilangan bulat kali setengah panjang gelombang. Jika tingkat energi untuk n = 1 kita sebut tingkat energi yang pertama, maka tingkat Persamaan Gelombang Schrödinger 33
  • 12. energi yang kedua pada n = 2, tingkat energi yang ketiga pada n = 3 dan seterusnya. Jika kita kaitkan dengan bentuk gelombangnya, dapat kita katakan bahwa tingkat- tingkat energi tersebut sesuai dengan jumlah titik simpul gelombang. Dengan demikian maka diskritisasi energi elektron terjadi secara wajar melalui pemecahan persamaan Schödinger. Hal ini berbeda dari pendekatan Bohr yang harus membuat postulat mengenai momentum sudut yang harus diskrit agar kuantisasi energi terjadi. Persamaan (3.25) memperlihatkan bahwa selisih energi antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya, misalnya antara n = 1 dan n = 2, berbanding terbalik dengan kwadrat lebar sumur potensial. Makin lebar sumur ini, makin kecil selisih energi tersebut, artinya tingkat-tingkat energi semakin rapat. Untuk L sama dengan satu satuan misalnya, selisih energi untuk n=2 dan n=1 adalah E 2 − E1 = 3 h 2 / 8 m dan jika L 10 kali lebih lebar maka selisih ini menjadi E 2 − E1 = 0,03 h 2 / 8 m . (Gb.3.4). n=3 V n=2 n=1 0 L 0 L′ Gb.3.4. Pengaruh lebar sumur . Jadi makin besar L maka perbedaan nilai tingkat-tingkat energi akan semakin kecil dan untuk L yang lebar maka tingkat-tingkat energi tersebut akan akan sangat rapat sehingga mendekati kontinyu. 3.5.5. Elektron Di Dalam Sumur Potensial Dangkal Kita tidak akan membahas hal ini secara rinci akan tetapi dengan pengertian yang kita peroleh pada pembahasan mengenai elektron yang bertemu dengan dinding potensial (sub-bab 3.5.3) kita akan mengerti kondisi berikut ini. Jika V tidak tinggi akan tetapi tetap masih V > E maka fungsi gelombang di luar sumur berupa fungsi eksponensial yang menurun menuju nol. Hal ini diperlihatkan pada Gb.3.5. V ψ*ψ ψ*ψ ψ*ψ E E E 0 L 0 L 0 L a) b) c) Gb.3.5. Pengaruh kedalaman sumur pada probabilitas keberadaan elektron. Di x = 0 dan x = L amplitudo gelombang tidak lagi nol dan demikian juga probabilitas keberadaan elektronnya. Selain itu penurunan amplitudo akan makin lambat jika sumur potensial makin dangkal. Hal ini berarti bahwa makin dangkal 34 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
  • 13. sumur potensial makin besar kemungkinan kita menemukan elektron di luar sumur, seperti diperlihatkan secara berturut-turut oleh Gb.3.5.a, b, dan c. 3.5.6. Dinding Potensial Tipis Antara Dua Sumur Potensial Situasi yang menarik adalah jika sumur potensial mempunyai dinding yang tidak terlalu tebal, misalnya a. Dengan perkataan lain sumur potensial ini berdekatan dengan sumur lain dan di antara keduanya terdapat dinding potensial dinding V yang tipis. Situasi seperti ini a diperlihatkan oleh Gb.3.6. Di luar dinding, probabilitas ψψ * keberadaan elektron tidak nol. Dalam kasus ini kita masih memiliki probabilitas menemukan elektron di sumur lain tersebut walaupun energinya lebih rendah dari dinding 0 L potensial. Gejala ini disebut penembusan elektron pada Gb.3.6. Sumur potensial dinding potensial (electron tunneling). berdinding tipis. 3.5.7. Dua Sumur Potensial Tumpang-Tindih Jika dua sumur potensial tumpang-tindih, kedua sumur ini akan membentuk satu sumur yang lebih lebar. Akibatnya adalah tingkat-tingkat energi akan lebih banyak, sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mengenai pengaruh lebar sumur. Hal ini diperlihatkan pada Gb.3.7. ψ*ψ ψ*ψ sumur-1 sumur-2 sumur-1 sumur-2 Gb.3.7. Dua sumur potensial tumpang-tindih. 3.6. Elektron Dalam Sumur Potensial Tiga Dimensi Kita akan melihat keadaan yang agak mendekati kenyataan, yaitu elektron yang terjebak dalam sumur potensial tiga dimensi. Sumur ini dibatasi oleh dinding potensial di arah sumbu x, y, z, dan akan lebih tepat jika kita sebut kotak potensial, seperti terlihat pada Gb.3.7. Elektron terjebak di dalam kotak potensial ini dan kita mengambil nilai V = 0 di dalam kotak dan V = ∞ di luar kotak. z Lz y Lx Ly x Gb.3.7. Sumur tiga dimensi. Karena V = 0, persamaan Schrödinger tiga dimensi yang bebas-waktu di dalam kotak menjadi Persamaan Gelombang Schrödinger 35
  • 14. h 2  ∂ 2ψ ∂ 2ψ ∂ 2ψ    + Eψ = 0 + + (3.26) 2m  ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2    dengan ψ adalah fungsi dari x, y, dan z. Kita akan melihat fungsi ini dalam bentuk peubah terpisah ψ ( x, y, z ) = X ( x)Y ( y ) Z ( z ) . Hal ini tidak selalu dapat terjadi, akan tetapi kita mengambil langkah ini agar persamaan yang tidak mudah dipecahkan ini menjadi agak sederhana. Jika turunan kedua fungsi ini kita masukkan ke (3.26) kemudian kedua ruas dibagi dengan ψ ( x, y, z ) , dan dikalikan dengan 2m / h 2 maka akan kita peroleh 1 ∂ 2 X ( x) 1 ∂ 2Y ( y) 1 ∂ 2 Z ( z) 2m + + =− E (3.27) 2 2 2 X ( x) ∂x Y ( y ) ∂y Z ( z ) ∂z h2 Setiap suku di ruas kiri hanya merupakan fungsi dari satu peubah dan berbeda satu sama lain; jumlah ketiganya sama dengan suatu nilai konstan. Hal ini hanya akan terjadi jika masing-masing suku juga sama dengan suatu nilai konstan. Jadi 1 ∂ 2 X ( x) 2m =− Ex ; X ( x) ∂x 2 h2 1 ∂ 2Y ( y ) 2m =− Ey ; (3.28) 2 Y ( y ) ∂y h2 1 ∂ 2Z ( z) 2m = − 2 Ez Z ( z ) ∂z 2 h dengan Ex, Ey, dan Ez adalah nilai-nilai konstan dan E = E x + E y + Ez . Salah satu persamaan dari (3.28) dapat kita tuliskan sebagai ∂ 2 X ( x) 2m + E x X ( x) = 0 (3.29) 2 ∂x h2 Persamaan ini adalah persamaan diferensial linier homogen orde kedua yang telah pernah kita temui pada waktu kita membahas elektron yang terjebak dalam sumur potensial satu dimensi. Dengan cara pemecahan yang serupa, kita dapatkan nx h 2 2 n2h 2 y nz h 2 2 Ex = dan E y = ; Ez = (3.30) 8mL2 x 8mL2 y 8mL2 z dengan nx, ny, dan nz adalah bilangan-bilangan bulat. Energi total elektron adalah h 2  nx n y nz  2 2 2 E = Ex + E y + Ez =  + +  (3.31) 8m  L x L y Lz    36 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
  • 15. Persamaan (3.31) menunjukkan bahwa energi elektron ditentukan oleh tiga macam bilangan bulat yang kita sebut bilangan kuantum, yaitu n x , n y , n z . Bentuk fungsi gelombang dalam kotak potensial adalah n x πx n y πy n πz ψ = K sin sin sin z (3.32) Lx Ly Lz Jika kotak potensial berbentuk kubus, L x = L y = L z = L , maka E = Ex + E y + Ez = h2 8mL2 (n 2 x + n 2 + nz y 2 ) (3.33) Pada persamaan (3.33) terlihat bahwa makin kecil ukuran kotak potensial, makin jauh jarak antara satu tingkat energi dengan tingkat energi berikutnya. Tetapi pada kotak potensial yang besar, misalnya elektron dalam metal, tingkat-tingkat energi energi yang berurutan menjadi sangat berdekatan sehingga mereka dapat dianggap membentuk spektrum tingkat energi yang kontinyu. Hal ini diperlihatkan pada Gb.3.8. 12E1 11E1 9E1 dE 6E1 3E1 E1 Kotak Potensial Kotak Potensial kecil besar Gb.3.8. Tingkat-tingkat energi elektron dalam kotak potensial. 3.8. Degenerasi Persamaan (3.33) menunjukkan bahwa energi tergantung dari (nx + n2 + nz ) . Hal ini 2 y 2 berarti bahwa semua status yang ditentukan oleh semua nilai nx, ny, dan nz yang memberikan jumlah nilai yang sama akan memberikan nilai energi yang sama pula. Akan tetapi setiap perubahan nilai nx, ny, dan nx akan memberikan fungsi gelombang yang berbeda. Jadi satu tingkat energi mungkin berkaitan dengan beberapa fungsi gelombang. Jika hal ini terjadi kita katakan bahwa terjadi degenerasi. Orde degenerasi suatu tingkat energi ditentukan oleh berapa banyak fungsi gelombang yang berbeda pada tingkat energi tersebut. Contoh untuk enam tingkat energi dari kotak potensial kubus diberikan pada Tabel 3.1. Persamaan Gelombang Schrödinger 37
  • 16. Tabel 3.1. Tingkat Energi dan Degenerasi Dalam Kotak Potensial Kubus. [3]. E1 = h 2 / 8mL2 Energi Kombinasi nx, ny, dan nz Degenerasi 3 E1 (1,1,1) 1 6 E1 (2,1,1) (1,2,1) (1,1,2) 3 9 E1 (2,2,1) (2,1,2) (1,2,2) 3 11 E1 (3,1,1) (1,3,1) (1,1,3) 3 12 E1 (2,2,2) 1 14 E1 (1,2,3) (3,2,1) (2,3,1) 6 (1,3,2) (2,1,3) (3,1,2) 38 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material