Makalah ini mengkaji metode pembuktian KPPU terhadap kasus penetapan fuel surcharge pada pasar penerbangan domestik di Indonesia dan kaitannya dengan kegagalan pasar
Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge
1. 0
ANALISIS KEGAGALAN PASAR
AKIBAT PENETAPAN FUEL SURCHARGE
PADA PASAR PENERBANGAN DOMESTIK INDONESIA
TAHUN 2006 - 2009
Sastyo Aji Darmawan
1306355422
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
2. 1Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
ANALISIS KEGAGALAN PASAR
AKIBAT PENETAPAN FUEL SURCHARGE
PADA PASAR PENERBANGAN DOMESTIK INDONESIA
TAHUN 2006 – 2009
GAMBARAN UMUM1
Fuel surcharge merupakan sebuah komponen tarif baru dalam maskapai penerbangan
yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang signifikan
sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Fenomena pemberlakuan fuel surcharge dalam
industri penerbangan sesungguhnya merupakan sebuah fenomena yang juga berlaku di beberapa
belahan dunia. Hal ini bisa dipahami mengingat biaya yang diakibatkan oleh kenaikan avtur
sangat signifikan bagi maskapai penerbangan.
Semua stakeholder penerbangan telah bersepakat bahwa implementasi fuel surcharge
sebagai komponen tarif penerbangan merupakan sebuah hal yang bisa “dipahami”, selama fuel
surcharge tersebut memang ditujukan untuk menutup kenaikan biaya yang diakibatkan oleh
kenaikan harga avtur semata.
Berdasarkan keterangan dari Departemen Perhubungan, pada saat ditetapkannya fuel
surcharge oleh maskapai penerbangan belum ada dasar hukum tentang diberlakukannya fuel
surcharge, namun terdapat peraturan yang mengatur tentang pungutan terkait dengan tarif
angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan komponen tarif penumpang
pelayanan kelas ekonomi, yaitu: Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002
tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara
Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:
1
Dikutip dari Positioning Paper KPPU Terhadap Fuel Surcharge Maskapai Penerbangan, 2009.
3. 2Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri
Kelas Ekonomi.
Gambar 1 menunjukan kondisi harga avtur dipasaran pada periode Mei 2006 sampai Juni
2009 dan posisi harga avtur yang menjadi diakomodir dalam komponen tarif dasar tiket pesawat.
Gambar 1. Harga avtur dipasaran dan harga avtur tarif dasar
Sumber: KPPU
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) KM 9 Tahun 2002 diatas, apabila dirinci komponen dari
harga tiket pesawat adalah sebagai berikut:
a. Basic Fare (Tarif dasar);
b. IWJR (Iuran Wajib Jasa Raharja);
c. PPN; dan
d. Fuel Surcharge.
Pada penerapannya, penetapan fuel surcharge itu sendiri merupakan inisiatif yang
datangnya dari pihak maskapai penerbangan. Melalui INACA (Indonesia Natonal Air Carriers
Association), 11 maskapai penerbangan mengajukan usulan pemberlakuan fuel surcharge
Kepada Kementerian Perhubungan dengan didasari pada kondisi melemahnya nilai tukar Rupiah
terhadap US Dollar, sehingga harga avtur yang dijual oleh PT. Pertamina mengalami kenaikan
4. 3Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
sedangkan daya beli masyarakat menurun sehingga tingkat isian penumpang pesawat terbang
domestik (load factor) mengalami penurunan.
Menanggapi usulan tersebut, Departemen Perhubungan melalui Ditjen Perhubungan
Udara mengirimkan surat kepada INACA melalui Surat Nomor: AU/5581/DAU.1952/05 tanggal
31 Oktober 2005 perihal pengenaan fuel surcharge atas kenaikan harga avtur.
Kemudian pada tanggal 10 Mei 2006, seluruh maskapai penerbangan mulai menerapkan
penetapan fuel surcharge sebesar Rp. 20.000,- sebagaimana telah disepakati dalam Berita Acara
Persetujuan Pelaksanaan Fuel Surcharge yang ditandatangani oleh Ketua Dewan INACA,
Sekretaris Jenderal INACA dan 9 (sembilan) perusahaan angkutan udara niaga yaitu PT Mandala
Airlines, PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT. Dirgantara Air Service, PT. Srwijaya
Air, PT. Pelita Air Service, PT. Lion Mentari Air, PT. Batavia Air, PT. Indonesia Air Transport,
dan PT. Garuda Indonesia (Persero).
Penerapan besaran fuel surcharge dari INACA tersebut tidak berlangsung lama, sebab
KPPU mengeluarkan Surat Nomor 207/K/V/2006 tanggal 30 Mei 2006, yang intinya agar
INACA mencabut penetapan mengenai fuel surcharge dan mengembalikan kewenangan
penetapan fuel surcharge kepada masing-masing maskapai penerbangan, karena dianggap
sebagai sebuah bentul kartel yang eksplisit.
Selepas INACA membatalkan penetapan harga fuel surcharge dan menyerahkannya
kepada mekanisme pasar, maka kemudian setiap maskapai melakukan penetapan masing-
masing. Setiap maskapai memiliki kebebasan untuk menetapkan tarif tanpa terpengaruh pihak
maskapai lain.
Dalam perkembangan di Indonesia, fuel surcharge memperlihatkan perkembangan yang
cukup mencengangkan. Dimulai dengan harga Rp 20.000/ liter pada Mei 2006 pada saat harga
5. 4Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
avtur Rp 5.920/liter kemudian merangkak naik dan menjadi Rp 160.000-480.000 pada saat harga
avtur Rp 8.206/liter pada bulan Desember 2008. Kenaikan 8-24 kali, adalah sebuah kenaikan
yang luar biasa besar, sementara pada saat yang sama kenaikan avtur tidak mencapai 2 kali
lipatnya.
Berdasarkan pengamatan KPPU terhadap perkembangan fuel surcharge di industri
penerbangan domestik tersebut, muncul dugaan adanya praktik persaingan usaha tidak sehat
antara maskapai-maskapai penerbangan terkait penetapan fuel surcharge. Dari hasil penyelidikan
KPPU, pada tahun 2009 dikeluarkan Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 yang menjatuhkan
hukuman kepada 9 Maskapai Penerbangan yang diduga kuat melakukan penetapan besaran fuel
surcharge secara bersama-sama dan melanggar Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Eksekusi dari Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 tersebut ternyata tidak bisa
dilakukan, pasalnya pihak maskapai penerbangan dalam pasar penerbangan domestik tidak serta
merta mengakui kesalahan dan membayar ganti kerugian yang ditimbulkan akibat dugaan
penetapan fuel surcharge sejak tahun 2006 hingga 2009. Tindakan maskapai penerbangan ini
diperkuat dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung No. 613 K/PDT.SUS/2011 yang
mencabut seluruh dakwaan KPPU pada Putusan Nomor: 25/KPPU-I/2009 dan menyatakan
bahwa penetapan fuel surcharge bukanlah suatu bentuk kartel ataupun penetapan harga yang
mengakibatkan adanya kerugian atau kehilangan kesejahteraan (welfare losses) dari konsumen.
Makalah ini mencoba menganalisa tentang potensi kegagalan pasar yang terjadi akibat
penetapan fuel surcharge yang eksesif oleh maskapai penerbangan. Kekalahan KPPU dalam
persidangan pada perkara terkait menjadi pertanyaan besar, sampai sejauh mana otoritas KPPU
untuk menegakan hukum persaingan usaha telah menyentuh elemen paling mendasar tentang
6. 5Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
perilaku para pelaku usaha yang selalu berupaya memaksimalkan keuntungan dengan
menghilangkan persaingan.
RUMUSAN MASALAH
Dilatar belakangi kasus penetapan besaran fuel surcharge yang terjadi pada industri
penerbangan domestik pada tahun 2006-2009, maka menurut penulis ada 3 permasalahan yang
yang perlu dianalisa dari sisi ilmu ekonomi, antara lain:
1. Bagaimana struktur pasar penerbangan domestik Indonesia pada tahun 2006-2009?
2. Apa yang menjadi kelemahan KPPU dalam melakukan pembuktian terhadap dugaan
penetapan harga pada kasus fuel surcharge ?
3. Apakah ada kegagalan pasar disebabkan karena penetapan besaran fuel surcharge ?
TINJAUAN PUSTAKA2
Pasar Yang Bersangkutan
Definisi yang tepat dari pasar bersangkutan merupakan suatu fasilitas penting dari analisa
persaingan yang akurat. Pendefinisian pasar bersangkutan yang terlalu sempit dapat membawa
kepada hal-hal yang tidak berhubungan dengan persaingan, dan sebaliknya definisi pasar
bersangkutan yang terlalu lebar dapat menyamarkan permasalahan persaingan yang sebenarnya.
Ini tentu saja menjadi suatu kasus dimana penekanan terlalu banyak ditempatkan pada porsi
pasar yang muncul dari definisi pasar yang tidak tepat. Menurut UU No.5 Tahun 1999, pasar
bersangkutan didefinisikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
2
Dikutip dari: Andi Fahmi Lubis, et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Deutsche
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Oktober 2009.
7. 6Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.
Dalam pengertian tersebut terdapat dua dimensi, yaitu dimensi produk (set of products)
yang terlihat pada kalimat:”…atas barang dana/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut”, dan dimensi wilayah (relevant geographic market) yang
terlihat pada kalimat: “…berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu…”.
Struktur Pasar Oligopoli
Bentuk pasar oligopoli bukanlah merupakan hal yang luar biasa, oligopoli terjadi hampir
di semua negara. Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar,
dimana di dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan (few sellers). Setiap
perusahaan yang ada di dalam pasar tersebut memiliki kekuatan yang (cukup) besar untuk
mempengaruhi harga pasar dan perilaku setiap perusahaan akan mempengaruhi perilaku
perusahaan lainnya dalam pasar (Martin, 1994).
Namun demikian pada umumnya perjanjian oligopoli dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini disebabkan dalam oligopoli sangat
mungkin terjadi perusahaan-perusahaan yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan
harga pasar, menentukan angka produksi barang dan jasa, yang kemudian dapat mempengaruhi
perusahaan lainnya, baik yang sudah ada (existing firms) maupun yang masih di luar pasar
(potential firms). Terjadinya kerjasama atau kolusi pada pasar oligopoli dapat terjadi secara
sengaja atau secara diam-diam tanpa adanya kesepakatan diantara para pelaku usaha (tacit
collusion). Kolusi secara diam-diam dapat terjadi karena adanya ”meeting of mind” diantara para
pelaku usaha untuk kebaikan mereka bersama untuk menetapkan harga atau produksi suatu
8. 7Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
barang. Kolusi yang seperti ini disejajarkan dengan kolusi karenanya dilarang dalam Hukum
Persaingan Usaha (Devlin, 2007).
Areeda menyatakan bahwa penetapan harga pada pasar oligopoli mempunyai beberapa
elemen. Pertama, harga pada oligopoli tidak dapat dihentikan secara efektif tanpa merestrukrisasi
industri dimana harga tersebut terjadi. Oligopoli terjadi karena sedikit perusahaan, maka perlu
adanya usaha agar bertambahnya pelaku usaha. Kedua, oligopoli sebenarnya merupakan share
monopoli, karenanya perlu diperlakukan sebagai monopolisasi atau praktek monopoli. Ketiga,
karena pasar yang oligopoli mempunyai potensi untuk mencegah masuknya pemain baru, maka
proposal merger antar pelaku usaha perlu mendapat perhatian yang serius. Keempat, pelaku
usaha dalam pasar yang oligopoli mungkin akan menerapkan langkah-langkah tambahan atau
yang dikenal dengan ”facilitating devices” seperti standarisasi untuk mencegah variasi harga
karena variasi produk, dan biaya-biaya angkutan atau pemberitahuan rencana kenaikan harga
(Areeda, 1988)
Selanjutnya pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri yang membutuhkan capital
intensive dan keahlian tertentu, dimana di dalam proses produksinya baru akan tercapai tingkat
efisiensi (biaya rata-rata minimum) jika di produksi dalam skala besar. Dengan demikian,
perjanjian oligopoli dapat saja mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima dan tidak
menimbulkan akibat yang begitu merugikan. Oleh karena itu Pasal 4 Undang-undang No.5/1999
yang mengatur mengenai oligopoli dirumuskan secara Rule of Reason, agar penegak hukum
dalam menegakan Undang-undang Persaingan Usaha dapat mempertimbangkan secara baik,
apakah oligopoli yang terjadi merupakan suatu hal yang alamiah (industri yang memiliki capital
intensive yang tinggi), atau mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima, ataukah perjanjian
oligopoli tersebut dibuat hanya bertujuan sekedar untuk membatasi persaingan belaka.
9. 8Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999 diatur
di dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5 Tahun 1999 terdiri dari perjanjian
penetapan harga (Price Fixing Agreement), diskriminasi harga (Price Discrimination), harga
pemangsa atau jual rugi (Predatory Pricing), dan pengaturan harga jual kembali (Resale Price
Maintenance).
Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang
dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang setingi-
tingginya. Dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau
penjual), maka akan meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau
pasarkan, yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang seharusnya dinikmati
oleh pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatan untuk mengatur
harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan menguasai pasar dan menentukan
harga yang tidak masuk akal (Areeda, 1981).
STRUKTUR PASAR
Jika diasumsikan memang benar ada penetapan harga yang dilakukan oleh sejumlah
maskapai penerbangan, maka menurut hemat penulis struktur pasar penerbangan domestik
Indonesia seharusnya berbentuk oligopoli.
Pada kenyataannya di dalam pasar penerbangan domestik berjadwal antara maskapai
penerbangan sejak tahun 2006 hingga 2009 tidak mengkarakteristikan pasar tersebut sebagai
pasar oligopoli, karena kecenderungan pangsa pasar maskapai penerbangan besar yang semakin
menurun seiring berjalannya waktu. Persentase pangsa pasar pada industir penerbangan domestik
dapat dicermati pada tabel 1 dibawah ini.
10. 9Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
Tabel 1. Pangsa Pasar Maskapai Penerbangan 2004 - 2009
Sumber: Kementerian Perhubungan
Data pada tabel 1 menunjukan bahwa pangsa pasar penerbangan domestik di Indonesia
sejak tahun 2006 sampai 2009 bergerak dinamis. Maskapai Garuda Indonesia yang notabene
adalah maskapai terbesar di Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar sejak tahun 2004. Hal
serupa dialami oleh maskapai Lion Air, jika di tahun 2004, Lion Air memiliki pangsa pasar
26,61%, di 2009 pangsa pasarnya turun menjadi 22,53% meskipun lebih besar dari pangsa pasar
Garuda Indonesia yaitu 19,16% di 2009.
Apabila KPPU menggunakan pendekatan struktur pasar pada kasus penetapan fuel
surcharge, sebenarnya dinamika persaingan pada jasa penerbangan domestik sudah memberikan
asumsi dasar yang menguatkan bahwa persaingan dalam jasa penerbangan domestik cukup
kompetitif. Ketidak seimbangan yang nampak pada pangsa pasar masing-masing maskapai
penerbangan bukan disebabkan karena adanya market power, namun dipengaruhi oleh faktor
jumlah rute penerbangan yang dimiliki oleh setiap maskapai penerbangan.
Lantas asumsi apa yang menjadi dasar KPPU untuk menyimpulkan bahwa penetapan fuel
surcharge memiliki implikasi praktik persaingan usaha yang tidak sehat dan menimbulkan
kegagalan pasar pada industri jasa penerbangan domestik Indonesia.
11. 10Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
Kerugian Konsumen
Pergerakan besaran fuel surcharge yang ditetapkan oleh setiap maskapai penerbangan
memang menunjukan kecenderungan yang sama pada setiap penerbangan domestik dengan lama
perjalanan < 1 jam, 1- 2 jam, dan 2 – 3 jam. Jika pada bulan Mei 2006 besaran fuel surcharge
adalah sama, yaitu sebesar Rp 20.000,- per penumpang, namun menurut data yang diterima oleh
KPPU sejak bulan September 2007 besaran fuel surcharge masing-masing maskapai
penerbangan mulai berbeda-beda.
Gambar 2. Pergerakan Fuel Surcharge Pada Penerbangan < 1 jam
Sumber: KPPU
Dalam menghitung besarnya kerugian konsumen yang diakibatkan oleh penetapan fuel
surcharge secara eksesif oleh maskapai penerbangan. KPPU melakukan perbandingan antara
fuel surcharge aktual dan fuel surcharge acuan estimasi serta fuel surcharge aktual dan fuel
surcharge acuan Departemen Perhubungan.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa tahun 2006, INACA pernah mengeluarkan
acuan besaran fuel surcharge sebesar Rp 20.000,-. Acuan ini digunakan KPPU sebagai bahan
estimasi acuan besaran fuel surcharge dari tahun 2006 sampai 2009. Grafik 1 dibawah ini
menggambarkan acuan besaran fuel surcharge yang seharusnya digunakan maskapai
penerbangan selama kenaikan harga avtur.
12. 11Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
Gambar 3. Estimasi Fuel Surcharge KPPU Berdasarkan INACA
Sumber: KPPU
Dari hasil estimasi tersebut, KPPU beranggapan bahwa sewajarnya besaran fuel
surcharge paling tinggi hanya sebesar Rp 60.000,- per penumpang ketika harga avtur diatas Rp
12.000 per liter di Agustus 2008, namun pada praktiknya kenaikan fuel surcharge mencapai 8
sampai 24 kali sejak Bulan Mei 2006.
Estimasi ini selanjutnya digunakan oleh KPPU sebagai salah satu metode untuk
menghitung selisih fuel surcharge yang seharusnya dibayar konsumen dengan yang telah dibayar
konsumen. Sementara acuan Departemen Perhubungan dikeluarkan pada bulan Februari tahun
2008 melalui Surat Edaran Dirjen Perhubungan Udara. Hasil perbandingan dengan
menggunakan kedua acuan tersebut menunjukan adanya selisih antara Fuel Surcharge aktual
dengan fuel surcharge acuan estimasi dan fuel surcharge acuan Departemen Perhubungan,
dimana besaran fuel surcharge aktual relatif lebih besar.
Berikut ini adalah gambaran dari selisih antara penetapan fuel surcharge aktual dan fuel
surcharge acuan estimasi yang dilakukan oleh KPPU.
13. 12Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
Gambar 4. Fuel Surcharge aktual dan Fuel Surcharge acuan estimasi
Sumber: KPPU
Dari hasil perbandingan tersebut diatas terlihat sejak Bulan November 2006 pergerakan
fuel surcharge mengalami peningkatan dan puncaknya terjadi pada Bulan Agustus 2008. Di
tahun 2006 dan 2007, besaran fuel surcharge tertinggi ditetapkan oleh maskapai Express Air
dengan persentase terhadap fuel surcharge acuan estimasi sebesar 64% pada tahun 2006 dan
182% pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008, Mandala Airlines menetapkan fuel
surcharge tertinggi dengan persentase 3.825% diatas fuel surcharge acuan estimasi. Sementara
pada tahun 2009, persentase tertinggi dialami oleh Merpati Airlines yaitu sebesar 989%.
Gambar 5. Fuel Surcharge aktual dan Fuel Surcharge acuan Dephub
Sumber: KPPU
14. 13Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
Pada gambar 5 ditunjukan bahwa selisih antara penetapan besaran fuel surcharge aktual
dan fuel surcharge acuan Departemen Perhubungan tidak sama dengan selisih fuel surcharge
aktual dengan fuel surcharge acuan estimasi. Selain itu perbandingan ini dilakukan hanya untuk
penetapan fuel surcharge aktual sejak tahun 2008 sampai 2009. Karena formula fuel surcharge
acuan Departemen Perhubungan baru dikeluarkan pada bulan Februari 2008.
Pada tahun 2008, persentase selisih tertinggi dialami oleh maskapai Garuda Indonesia
sebesar 50% lebih tinggi dari fuel surcharge acuan departemen Perhubungan. Sementara pada
tahun 2009 fuel surcharge aktual tertinggi dilakukan oleh Merpati Airlines dengan persentase
sebesar 62% diatas fuel surcharge acuan departemen Perhubungan.
Berdasarkan data hasil perbandingan ini KPPU menilai bahwa terdapat excessive fuel
surcharge yang dinikmati oleh 9 maskapai penerbangan sejak tahun 2006 hingga 2009 yang
merupakan kerugian atau kehilangan kesejahteraan (welfare losses) dari konsumen yang nilainya
berkisar antara 5 trilyun Rupiah sampai 13,8 trilyun Rupiah.
KPPU menduga bahwa selisih tersebut bukan lagi digunakan untuk menutupi kekurangan
biaya kenaikan harga avtur pada tarif dasar melainkan untuk menutupi kekurangan cost lain atau
bahkan meraup keuntungan.
Keyakinan KPPU bahwa perilaku maskapai penerbangan dalam industri penerbangan
domestik mengarah pada praktik persaingan usaha tidak sehat mendorong dikeluarkannya
Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 yang menjatuhkan hukuman kepada seluruh maskapai
penerbangan dengan denda ganti rugi yang besarnya berbeda-beda sesuai dengan perhitungan
selisih besaran fuel surcharge yang telah dilakukan KPPU. Tetapi pada perkembangannya
Putusan KPPU tersebut dianggap tidak memiliki pembuktian yang kuat baik dari sisi hukum
maupun dilihat dari kaidah ilmu ekonomi.
15. 14Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
KELEMAHAN DALAM PEMBUKTIAN
Dalam melakukan pembuktian pada kasus penetapan fuel surcharge pada pasar
penerbangan domestik Indonesia tahun 2006 sampai 2009, KPPU melakukan beberapa metode
pengujian statistik, untuk mendapatkan indirect evidence terhadap kasus terkait.
Tindakan KPPU tersebut dilakukan karena pada dasarnya KPPU tidak memiliki bukti
yang eksplisit bahwa seluruh maskapai penerbangan melakukan kesepakatan secara bersama-
sama dalam menentukan besaran fuel surcharge selama kenaikan harga avtur.
Adapun metode uji statistik yang dilakukan KPPU tersebut antara lain adalah: uji korelasi
dan uji homogenity of varians. Hasil uji korelasi menunjukan bahwa terdapat hubungan liner
yang positif, dimana terdapat korelasi yang tinggi dengan nilai rata-rata 0,90 atas pergerakan fuel
surcharge yang ditetapkan oleh setiap maskapai penerbangan. Sedangkan dari hasil uji
homogenity of varians menunjukan bahwa terdapat variasi yang sama dari seluruh pergerakan
fuel surcharge maskapai penerbangan dengan signifikansi yang tinggi.
Kedua hasil uji stastistik tersebut menguatkan dugaan KPPU bahwa memang terjadi
praktik penetapan harga pada pergerakan fuel surcharge. Namun upaya pembuktian yang telah
dilakukan KPPU pada saat itu memiliki beberapa kelemahan. Menurut penulis ada 3 kelemahan
dari pembuktian pada kasus terkait, antara lain:
a. Kelemahan pada definisi pasar yang bersangkutan;
b. Kelemahan pada data yang digunakan; dan
c. Kelemahan pada uji statistik.
Definisi Pasar Yang Bersangkutan
Pasal 1 angka 10 Undang-undang No.5 Tahun 1999 mendefinisikan pasar bersangkutan
sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku
16. 15Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa
tersebut.
Jika dicermati dari dimensi produk maka sesungguhnya produk jasa yang ditawarkan
oleh setiap maskapai penerbangan bukanlah jasa yang sama dan menjadi subtitusi satu sama lain.
Hal ini disebabkan karena tidak semua maskapai penerbangan memiliki rute penerbangan yang
sama. Selain itu kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan juga berbeda-
beda. Contohnya pada rute penerbangan Jakarta – Surabaya, maskapai Garuda Indonesia dan
maskapai Lion Air sama-sama beroperasi pada rute tersebut, namun tingkat kualitas pelayanan
selama penerbangan yang diberikan kepada konsumen oleh kedua maskapai tersebut berbeda.
Jika Garuda Indonesia menerapkan Full Service pada setiap rute penerbangannya, sementara
Lion Air menerapkan pelayanan Low Cost Carrier.
Anggapan yang senada juga terlihat jika mencermati definisi pasar yang bersangkutan
dari dimensi wilayah. Jasa penerbangan domestik pada setiap maskapai penerbangan tidak semua
memiliki daerah pemasaran yang sama. Hal ini juga disebabkan karena rute penerbangan yang
dimiliki oleh masing-masing maskapai penerbangan berbeda-beda.
Data yang digunakan
KPPU menginventarisir data dari setiap maskapai penerbangan untuk melakukan estimasi
besaran fuel surcharge yang seharusnya dibayar oleh konsumen. Namun pada masa pemeriksaan
kasus terkait, data yang diterima oleh KPPU tidak lengkap. Beberapa maskapai penerbangan
tidak menyampaikan data-data yang diminta oleh KPPU untuk kepentingan pemeriksaan
perkara, sehingga KPPU berinisiatif melakukan estimasi sendiri data besaran fuel surcharge
yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan untuk melengkapi kekurangan data tersebut.
17. 16Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
Estimasi yang dilakukan KPPU mengabaikan fakta bahwa sesungguhnya besaran fuel
surcharge dipengaruhi oleh jenis mesin pesawat, usia pesawat, beban angkut pesawat dan lain
sebagainya.
Akibat dari penggunaan data yang tidak faktual ini juga menjadi titik kelemahan pada uji
statistik yang dilakukan KPPU. Karena data yang digunakan tidak aktual, hasil uji menjadi
diragukan keakuratan dan kekuatan hukumnya dalam memutus perkara.
Uji Statistik
Meskipun telah dijelaskan sebelumnya bahwa data yang digunakan untuk melakukan
pengujian statistik bukanlah data yang faktual, melainkan data hasil estimasi KPPU, maka
sesungguhnya hasil uji statistik KPPU diragukan signifikansinya. Namun jika kita lihat dari
kaidah ilmu statistik, tahapan pengujian yang dilakukan oleh KPPU belum komprehensif. Ada
beberapa metode pengujian lain yang tidak dilakukan, padahal jika dilakukan hasil uji yang
muncul membantah seluruh dugaan adanya penetapan besaran fuel surcharge secara bersama-
sama oleh maskapai penerbangan.
KPPU hanya menggunakan uji statistik: uji korelasi dan uji varians Bartlette, padahal
berdasarkan kaidah ilmu statistik sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No.
613 K/PDT.SUS/2011, metode pengujian standar yang umum dilakukan untuk mengetahui ada
atau tidaknya kesamaan perilaku yang saling berkaitan adalah dengan melakukan beberapa
metode pengujian, antara lain:
a. Uji Varians Bartlette, Levenne, dan Borwn-Forysthe, untuk mengetahui keragaman dari
sejumlah sampel;
b. Uji korelasi, untuk mengetahui hubungan antara satu variabel dengan variable lainnya,
dan
18. 17Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
c. Granger Test, untuk menentukan apakah suatu rangkaian data dapat digunakan untuk
mengetahui adanya sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya.
Maskapai Garuda Indonesia dalam eksepsinya di persidangan menunjukan hasil uji
statistik yang dilakukan sesuai dengan tahapan yang dijelaskan diatas dan data yang faktual. Dari
keseluruhan pengujian menunjukan bahwa pergerakan fuel surcharge tidak menunjukan adanya
variasi yang sama dan tidak memiliki hubungan sebab akibat satu sama lain.
KEGAGALAN PASAR
Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung No. 613 K/PDT.SUS/2011, maka
dakwaan KPPU terhadap 9 maskapai penerbangan dalam Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-
I/2009 dicabut. Begitu juga hukuman yang berupa ganti kerugian berdasarkan estimasi yang
telah dilakukan oleh KPPU tidak dipenuhi oleh seluruh maskapai penerbangan.
Lantas apakah dengan dicabutnya Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 tersebut, serta
merta menghilangkan dugaan adanya kegagalan pasar pada kasus penetapan besaran fuel
surcharge secara bersama-sama oleh maskapai penerbangan. Apakah benar konsumen
menanggung kerugian akibat penetapan besaran fuel surcharge yang eksesif?
Meskipun pergerakan fuel surcharge memang menunjukan adanya kecenderungan yang
sama karena terdapat korelasi yang positif dan variasi yang seragam, tanpa adanya bukti
koordinasi atau pertemuan yang bersifat kolusif (direct evidence) diantara para perusahaan
penerbangan bukan merupakan bukti yang memadai untuk menyatakan adanya perjanjian dalam
penetapan besaran fuel surcharge.
KPPU sendiri mengakui bahwa suatu dugaan penetapan harga memang sulit dibuktikan,
karena keberadaan teori ekonomi maka terdapat kecenderungan para pelaku usaha yang bersaing
19. 18Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
akan mengeluarkan harga yang sama, baik pada pasar kompetitif maupun kartel, sehingga
adanya harga yang sama tidak dapat dianggap sebagai indikasi pelanggaran terhadap hukum
persaingan usaha.
Mengutip pernyataan persidangan di European Court of Justice pada kasus serupa bahwa
harga yang paralel dalam pasar oligopoli yang memproduksi barang sejenis belum menjadi bukti
yang cukup adanya concerted practice. Dengandemikian perilaku paralel yang nampak dengan
adanya price leadership yang dijadikan patokan belum dapat menjadi bukti yang cukup. Selain
itu, meskipun memang kolusi dilarang dalam persaingan, hal ini tidak mengurangi hak pelaku
usaha untuk beradaptasi dengan perilaku pesaingnya (European Court of Justice).
KESIMPULAN
Dari hasil analisa yang dilakukan berdasarkan teori-teori ekonomi yang terkait dalam
perilaku perusahaan dan persaingan usaha, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Struktur pasar industri penerbangan domestik Indonesia pada tahun 2006 hingga 2009
mencirikan pasar yang kompetitif, dibuktikan dengan data pangsa pasar industri
penerbangan domestik yang tidak menunjukan pasar yang terkonsentrasi dan tidak
adanya barrier to entry bagi perusahaan baru yang ingin masuk ke pasar;
b. Kelemahan KPPU dalam melakukan pembuktian terkait dugaan adanya penetapan
besaran fuel surcharge secara bersama-sama oleh maskapai penerbangan, yaitu:
kekeliruan dalam mendefinisikan pasar yang bersangkutan, pengolahan data yang tidak
berdasarkan kondisi faktual, dan uji statistik yang tidak komprehensif.
20. 19Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
c. Penetapan besaran fuel surcharge yang eksesif sangat berpotensi mengakibatkan
kegagalan pasar pada industri penerbangan domestik. Dengan kondisi regulasi yang ada
perilaku perusahaan yang berupaya menghilangkan persaingan antar pelaku usaha sangat
mungkin terjadi, namun pada kasus terkait dakwaan yang dikenakan KPPU kepada
seluruh maskapai penerbangan tidak cukup bukti. Selain itu konsumen jasa penerbangan
tidak pernah menyatakan kerugiannya akibat adanya penetapan besaran fuel surcharge.
SARAN KEBIJAKAN
Beberapa saran kebijakan yang mungkin bisa dijadikan masukan bagi KPPU dan aparatur
hukum terkait ketika menangani kasus serupa di masa mendatang, antara lain:
a. Penguatan kelembagaan KPPU agar memiliki otoritas penuh ketika melakukan
penyelidikan terhadap perilaku dunia usaha yang bertentangan dengan hukum persaingan
usaha, terutama dalam hal pemeriksaan atau penggeledahan untuk memperoleh data atau
bukti-bukti yang dibutuhkan selama proses persidangan
b. KPPU dalam mendalami kasus yang serupa harus melakukan analisa dengan rule of
reason, dan jika melakukan pengujian untuk dapat menghadirkan indirect evidence yang
bisa menguatkan pembuktian di persidangan harus dilakukan sesuai dengan kaidah ilmu
yang digunakan dan data yang faktual.
21. 20Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2009), Putusan Nomor 25/KPPU-I/2009, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, Jakarta.
Mahkamah Agung (2011), Putusan Nomor 613 K/PDT.SUS/2011, Mahkamah Agung, Jakarta.
Literatur
Areeda, P. (1981). “Antitrust Analysis, Problems, Text, Cases”. Little Brown and Company.
Devlin, A. (2007). [Stanford Law Review]. “A Proposed Solution to Problem of Parallel:
Pricing in Oligopolistic Market”.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2009), “Position Paper KPPU Terhadap Fuel Surcharge
Maskapai Penerbangan”, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta.
Lubis, Andi Fahmi, et.al. (2009), “Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks”.
Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, Jakarta
Martin, S. (1994). “Industrial Economics, Economic Analysis and Public Policy (2nded.)”.
Oxford: Blackwell Publishers.