Dokumen tersebut membahas pentingnya pendekatan metodologi ushul fiqh dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam agar lebih sistematis dan terstruktur seperti ekonomi konvensional. Penulis berargumen bahwa ekonomi Islam perlu menggunakan logika dan alat analisis ekonomi bersamaan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh untuk menghasilkan teori-teori ekonomi Islam yang dapat diterima oleh berbagai kalangan.
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Perlunya ushl fiqh dalam ekonomi islam
1. Perlunya Ushl Fiqh Dalam Perilaku Ekonomi
Oleh: Salman Munthe*
Pendahuluan
Sistem pada hakikatnya adalah organisasi besar yang menjalin hubungan
beterkaitan antara subjek dan objek dalam suatu tatanan kelembagaan tertentu.
Sebagai suatu organisasi, sistem sudah barang tentu memiliki tujuan yang ingin
dicapai oleh organisasi tersebut. Himpunan antara Subjek dan objek saja belum
bisa dikatakan sebagai sebuah sistem, harus ada suatu tatanan, mekanisme,
aturan, norma-norma, perangkat peraturan dan kelembagaan atau wadah
sebagai tempat bagi subjek dan objek itu untuk saling berhubungan. Tatanan
kelembagaan ini merupakan syarat mutlak bagi berjalannya sebuah sistem agar
hubungan antar subjek dan objek bisa berjalan secara serasi dan harmonis dalam
mencapai tujuan yang akan dicapai.
Subjek dalam sistem ekonomi adalah para pelaku ekonomi yang disebut
ekonomi 4 (empat) sektor meliputi individu, perusahaan, pemerintah dan
masyarakat luar negeri. Sedangkan objek dalam sistem ekonomi adalah barang-barang
ekonomi. Sedangkan tatanan kelembagaan, sangat terkait erat dengan
keyakinan yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat. Sistem ekonomi
apapun yang berlangsung harus bisa menjawab permasalahan Apa (What),
Bagaimana (How), dan untuk siapa, (For whom). Sistem ekonomi kapitalis yakin
sepenuhnya terhadap mekanisme pasar atau mekanisme harga dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi, ini yang diistilahkan oleh
Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth
of Nations, Buku ini diterbitkan pada tanggal 9 Maret 1776, dan biasanya dikenal
sebagai The Wealth of Nations saja. Dari arti judulnya sendiri, maka ia
menjelaskan apa yang menjadi sumber kekayaan bangsa-bangsa. Pandangan
orang pada masa itu adalah bahwa uang emas dan logam mulia yang menjadi
sumber kekayaan bangsa-bangsa. Pandangan tersebut runtuh oleh karya Adam
Smith ini. Kekayaan bangsa-bangsa ditentukan oleh jumlah seluruh nilai produksi
barang dan jasa yang dapat diperjual-belikan. Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa negara yang punya sedikit emas tetapi sangat produktif
adalah negara yang lebih kaya dalam jangka panjang daripada negara yang
punya banyak emas tetapi tidak produktif. Sedangakan sistem ekonomi sosialis
menyerahkan sepenuhnya kepada perananan pemerintah dalam menjawab
ketiga permasalahan itu ini juga dikemukan aktor ekonomi Kal Marx dalam
bukunya das capital analisis Marx dalam Das Kapital, difokuskan terutama pada
kontradiksi-kontradiksi struktural, daripada antagonisme kelas, yang mencirikan
masyarakat kapitalis – “gerakan kontradiktif” gegensätzliche Bewegung yang
berasal pada sifat ganda pekerjaan,” bukannya dalam perjuangan antara tenaga
buruh dan modal, atau antara kelas pemilik dan kelas pekerja. Lebih jauh,
2. kontradiksi-kontradiksi ini beroperasi (seperti yang digambarkan oleh Marx
dengan menggunakan suatu ungkapan yang dipinjam dari Hegel) “di belakang
punggung” kaum kapitalis maupun buruh, artinya, sebagai akibat dari aktivitas -
aktivitas mereka, namun demikian tidak dapat diminimalkan ke dalam
kesadaran mereka baik sebagai individu maupun sebagai kelas. Oleh karena itu,
Das Kapital, tidak mengusulkan suatu teori revolusi (yang dipimpin oleh kelas
buruh dan wakil-wakilnya) melainkan teori tentang krisis sebagai kondisi untuk
potensi revolusi, atau apa yang dirujuk oleh Marx dalam Manifesto Komunis
sebagai "senjata" potensial, "ditempa" oleh para pemilik modal, "berbalik
memukul kaum borjuis sendiri" oleh kelas pekerja. Krisis seperti itu, menurut
Marx, berakar dalam sifat komoditi yang kontradiktif, lalu satu pertanyaan yang
muncul kemudian adalah bagimana dengan sisitem ekonomi Islam?
Sebagai sebuah sistem yang mandiri, tentunya sistem ekonomi Islam
memilki landasan yang harus menjadi keyakinan bagi para pelaku ekonomi
berkaitan dengan tatanan kelembagaan itu. Dan landasan bagi berlakunya sistem
ekonomi Islam sudah barang tentu adalah Al Qur’an dan As - Sunnah. Subjek atau
pelaku ekonomi dalam kegiatan aktivitas ekonominya harus didasarkan atas
prinsip-prinsip Syari’at sedangkan objek ekonominya pun harus yang terlegitimasi
oleh hukum-hukum Syar’i, artinya bahwa objek yang dijadikan sarana ekonomi ini
tidak dilarang oleh prinsip-prinsip agama. Sedangkan mekanisme, aturan, norma-norma
perangkat perundang-undangan dan perangkat kelembagaannya juga
harus bersumber dari Perlunya Pendekatan Metodologi Ushul-Fiqh dalam
mengembangkan Ilmu ekonomi Islam.
Mengapa sistem ekonomi kapitalis sangat dominan dan menjadi landasan
bagi tatanan perekonomian saat ini ? Hal itu disebabkan karena ekonomi sebagai
sebuah ilmu yang lahir dari barat telah dikembangkan dengan menggunakan
metodologi yang sistematis dan terstruktur sehingga perkembangannya demikian
pesat dalam merespon perkembangan dinamika masyarakat karena ekonomi
konvensional dikembangkan berdasarkan logika-logika rasional.
Islam sebagai sebuah agama yang universal dan mampu merespon
perkembangan dinamis yang ada di masyarakat juga memiliki metodologi -
metodologi dalam penetapan hukum yang yaitu metodologi ushul fiqh untuk
istinbat. Akan tetapi nampaknya metodologi ini belum digunakan secara optimal
dalam upaya pengembangan ekonomi Islam. Literatur ekonomi Islam yang ada
masih lebih banyak menekankan pada kritik-kritik terhadap tatanan ekonomi
yang berlangsung saat ini, dan biasanya kritik-kritik itu berkaitan dengan moral
dan etika perilaku ekonomi yang memang sebagaian ada ketidak sesuaian
dengan prinsip-prinsip Syar’at Islam. Oleh karena itu memandang perlunya
penggunaan metodologi yang berasal dari kaidah kaidah Ushul Fiqh untuk
mengembangkan ekonomi Islam agar Sistem ekonomi Islam bisa disajikan
dengan lebih terstruktur dan sistematis dengan menggunakan metodologi yang
juga berasal dari kaidah-kaidah Islam.
3. Sebagai contoh misalnya ketika membahas perilaku konsumen, bagaimana
sistem ekonomi Islam seharusnya juga bisa menyajikan pembahasan perilaku
konsumen yang komprehensif dengan grafik-grafik yang sederhana dan mudah
dimengerti, tidak hanya mengemukakan prinsip-prinsip konsumsi yang sifatnya
normatif yang biasanya tidak ubahnya seperti khotbah yang lebih banyak bersifat
etika normatif. Analisis yang berdasarkan kaidah ushul fiqh dengan digabungkan
dengan alat-alat analisis ekonomi konvensional diharapkan bisa menghasilkan
teori-teori ekonomi, dan Analisis ilmiah seharusnya mencakup pembentukan
teori-teori atau model yang sebaik mungkin menyederhanakan permasalahan
yang nyata. Kemudian dari teori-teori ini dapat digunakan sebagai gambaran
idelaisasi.
Hal ini perlu dilakukan jika kita mencita-citakan tawaran sistem ekonomi
Islam bisa diterima oleh khalayak masayarakat tidak terbatas kepada mereka
yang berminat terhadap kajian Islam saja tetapi bisa juga kepada para ahli-ahli
ekonomi yang selama ini hanya mempelajarai ekonomi konvensional, bahkan
bisa pula diterima oleh para ekonom barat sendiri.
Perilaku konsumen dengan pendekatan Ushul – Fiqh Tujuan seorang
konsumen dalam sistem ekonomi Islam adalah tercapainya “kepuasan” yang
berdimensi ganda yaitu dimensi duniawi dan ukhrowi. Berbeda dengan perilaku
konsumen konvensional bahwa tujunnya hanya berdimensi duniawi sehingga
kemudian hukum aksioma perbandingan dan aksioma transitifitas dari perilaku
konsumen ini hanya mempertimbangkan aspek kuantitas, aspek kualitas dan
aspek selera yang seringkali mengabaikan dan lepas dari hokum Syar’i. Hukum
preferensi seorang konsumen dalam ekonomi Islam seharusnya mengikuti kaidah
Ushul Fiqh :
Al – aadatu muhakkamatun, artinya bahwa tradisi, kebiasaan bisa dijadikan
dasar bagi penetapan sebuah hukum teori. Al - Ashlu fi Al – Asyaa’i Al - Ibahah.
Artinya bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini pada awalnya atau pada
dasarnya adalah halal, sampai kemudian turun ayat yang melarangnya.
Idzajtama’a Al – halal, wal haram, Ghulibat Al – haram, artinya jika berkumpul
antara barang yang haram dan barang yang halal, maka semuanya menjadi
haram.
Penutup
Hukum Islam (Fiqh) adalah satu dari sistem hukum yang sangat
berkembang dalam sejarah manusia, baik dalam hal kedalamannya maupun
keluasan aplikasinya. Fiqh menduduki tempat yang penting dalam budaya hukum
ummat manusia secara keseluruhan . Tidak seperti banyak tradisi hukum lainnya,
Fiqh telah memulai sistemasi hukum dan formulasi kaidah-kaidah hukum-hukumnya
sendiri pada awal mula dari tahap perkembangannya.
Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, hukum Islam (Fiqh) ini
merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah
4. fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga
menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil
mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimih a” (hukum asal dalam
urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini
berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada
ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Alquran
maupun Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Perlunya Ushl Fiqh Dalam Perilaku Ekonomi yang ditulis di atas
memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-
an, manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa
memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya,
selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini
didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid
dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan
kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam
memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan
hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini
memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada
umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini,
khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh
(wakil Allah di bumi). *Salman Munthe; adalah Mahasiswa Program Doktor
Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Beasiswa Studi (BS)
Dirjen Diktis. Ketua Prodi Ekonomi Pembangunan UTND dan Dosen FEBI-IAIN
Sumatera Utara.
Penulis
Salman Munthe, S.Pd,SE.M.Si