Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas berbagai pengertian dan sistem penyelesaian sengketa secara damai melalui mediasi, minitrial, konkiliasi, dan adjudikasi.
2. Metode-metode tersebut dianggap lebih efisien dibanding litigasi di pengadilan.
3. Salah satu keuntungan utama metode-metode ini adalah prosesnya lebih cepat dan biayanya lebih rendah.
Hbl 2, risna dwi cahyani, hapzi ali, alternatif resolusi sengketa atau resolusi sengketa ekonomi, universitas mercu buana, 2018
1. Nama : Risna Dwi Cahyani
NIM : 43216010161
DosenPengampu : Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA
Kuis Minggu Ke-2
Pengertian Sengketa menurut Jhon Collier adalah perselisihan khusus mengenai fakta,
hukum atau kebijakan di mana klaim atau pernyataan dari salah satu pihak bertemu dengan
penolakan, gugatan balik atau penolakan oleh orang lain.
Menurut Merrils, Pengertian Sengketa ialah ketidaksepahaman mengenai sesuatu.
Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa
menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan
antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa
membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua
belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Mediasi merupakan tata cara berdasarkan “itikad
baik” dimana para pihak yang bersengketa menyampaikan saran-saran melalui jalur yang
bagaimana sengketa akan diselesaikan oleh mediator, karena mereka sendiri tidak mampu
melakukannya. Melalui kebebasan ini dimungkinkan kepada mediator memberikan penyelesaian
yang inovatif melalui suatu bentuk penyelesaian yang tidak dapat dilakukan oleh pengadilan,
akan tetapi para pihak yang bersengketa memperoleh manfaat yang saling
menguntungkan. Priyatna Abdurrasyid, op cit, hal. 34-45
Dalam kaitan dengan mediasi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan:
”Dalam hal sengketa atau beda pendapat setelah diadakan pertemuan langsung oleh para pihak
(negosiasi) dalam 14 (empat belas) hari juga tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator”Pasal 6 ayat (2) jo (3) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa.
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan
atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1
(Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB
penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk
menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari
fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat
menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
2. Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada
lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara
di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator).
Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah).
Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai
terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan).
Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan
antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga
yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas
penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi
adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator
memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab
kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe
Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing
pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi
jalan buntu (there is no the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat
terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian
kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak
yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun,
tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun
3. hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya
atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses
pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat
tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan
(there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan
penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi
kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi
keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum
yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan.
Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling
menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c)
memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak
awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation)
dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh
sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak
semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila
perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa
kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada
yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all.
Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang.
Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak
pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama
untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot
mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan
mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak
ditunggangi emosi.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di
Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang
bisnis, masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima
persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat
diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai.
Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada
hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
4. 1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai
conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa
dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan
yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja.
Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka
hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific
seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat
menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada
mengajukan ke pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian
mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. penyelesaian diajukan dulu pada mediasi,
2. bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial,
3. apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
4. bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan
perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung
mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang
jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif,
daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-
benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi
sebagai the first resort.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase,
arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator
adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. Sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa
bisnis,
2. Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award
(verdict),
3. Oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi
ke pengadilan,
4. Dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada
para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta
eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus
mengajukan gugatan ke pengadilan.
5. d). Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang
baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya. Para
pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas
sengketa yang timbul diantara mereka:
1. orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator,
2. dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa
yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat
menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis
profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan
seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan
lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-
benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar
profesional,
3. dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada
adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah
pihak (binding to each party),
4. sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah
pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada
tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu
sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua
negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya
sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang
terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi,
seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara
profesional.
6. Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental,
sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication.
Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan
penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat
beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar
biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen
biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya
transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang
seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus
dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal
cost.
2. 2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly.
Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa
mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90
hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang
bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai
penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan
(governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak,
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administrative,
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur
dan adil,
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase,
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3
(tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung
(negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
internasional,
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang
terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata,
namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa
kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi :
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang
dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
7. 2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi
ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact
and law).
Forum Minggu Ke-2
Kasus Sengketa Ekonomi - Bank Indonesia (BI)
Selama periode 2011, Bank Indonesia (BI) mencatat kasus sengketa antara bank dengan
nasabah di bidang sistem pembayaran, paling banyak didominasi sengketa kartu kredit. Hal itu terjadi
karena banyak kartu kredit yang hilang dan digunakan orang lain yang tidak berhak. Demikian
disampaikan Ketua Tim Mediasi Perbankan Bank Indonesia, Sondang Martha Samosir dalam keterangan
tertulis, Jumat (6/1) “Data penyelesaian sengketa bank dengan nasabah tahun ini meningkat 83%
dibandingkan tahun 2010 lalu. Dari total permohonan penyelesaian sengketa yang diterima pada tahun
2010 sebanyak 278 sengketa menjadi 510 kasus. Paling banyak di penyaluran dana 246 kasus dan
sistem pembayaran 204 kasus,” kata Sondang.
Sondang menjelaskan bahwa di bidang penyaluran dana, permohonan penyelesaian sengketa
didominasi dengan permohonan restrukturisasi kredit baik kredit konsumsi maupun kredit modal kerja.
Menurutnya, peningkatan permohonan meningkatnya informasi mengenai keberadaan mediasi
perbankan yang difasilitasi Bank Indonesia dikarenakan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap
eksistensi Bank Indonesia terkait perlindungan nasabah.
Selain itu, kekurangpahaman nasabah mengenai karakteristik sengketa yang dapat dimediasi.
Berikuat data lengkap BI terkait permohonan sengketa nasabah dengan bank, antara lain : penyaluran
dana 246 kasus, sistem pembayaran 206 kasus, penghimpunan dana 47 kasus, produk kerjasama 4
kasus, produk lainnya 4 kasus, di luar permasalahan produk perbanakan 3 kasus.
Sebenarnya, masyarakat dapat mengupayakan sengketanya dengan bank melalui Mediasi Perbankan.
Namun masalah yang menjadi sengketa merupakan sengketa keperdataan antara nasabah dengan
bank. Untuk nilai tuntutan finansial paling banyak Rp500 juta.
Selain itu nasabah atau pengadu juga tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan
keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga mediasi lainnya, Pernah diupayakan
penyelesaiannya oleh bank (melalui mekanisme pengaduan nasabah), dan belum pernah diproses dalam
mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia.
PENYELESAIAN
Masalah tersebut bisa dilakukan dengan cara mediasi, yaitu dengan jalan perundingan
dan memberikan pemahaman kepada para nasabah tentang kasus atau kendala dari masalah
tersebut tentang kasus penyaluran dana, kasus sistem pembayaran, kasus penghimpunan dana,
kasus produk kerjasama, kasus produk lainnya, dan kasus diluar permasalahan perbankan.
Mediasi dilakukan dengan cara memberikan informasi atau pengertian mengenai apa itu
penyaluran dana, bagaimana dana terkumpul dan lain sebagainya. Mediasi dilakukan dengan
menggunakan mediator yang netral dalam kasus tersebut sampai ditemukan titik terang dan
persetujuan bersama antara pihak bank dengan nasabah bank yang bersengketa secara adil dan
dengan keputusan yang efektif untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
KESIMPULAN
Dari kasus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kasus antara nasabah dan pihak bank
sebenarnya dapat dilakukan penyelesaian dengan cara mediasi, namun penyelesaian sengketa
tersebut belum dilakukan dan belum diproses. Mediasi dilakukan agar nasabah mengerti dan
lebih paham tentang hal-hal yang mereka belum ketahui seperti kasus penyaluran dana, kasus
system pembayaran, kartu kredit dan lainnya. Nasabah juga harus lebih berhati-hati dalam
8. menjaga kartu kredit yang mereka miliki agar tidak hilang. Mediasi dengan menggunakan
mediator sebagai pihak ketiga yang netral diharapkan dapat menemukan titik terang dari masalah
sengketa tersebut yang diselesaikan dengan cara mediasi. Mediasi perbankan tersebut diatas
dilaksanakan untuk setiap sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling banyak Rp
500.000.000. tuntutan finansial sendiri memiliki pengertian sebagai potensi finansial nasabah
yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank sebagaimana dimaksud pada peraturan BI
tentang penyelesaian pengadilan.
SARAN
Sebaiknya pihak bank memberikan informasi ataupun sosialisasi terlebih dahulu kepada
para nasabah mengenai pengertian penyaluran dana, apa itu system pembayaran, apa itu kartu
kredit, bagaiman proses penyaluran dana dan pembayaran itu, dan lain sebagainya agar
masyarakat atau nasabah mengerti. Dari kasus diatas sebenarnya dapat diselesaikan dengan
penyelesaian sengketa melalui mediasi, yaitu dengan cara perundingan diantara pihak bank dan
nasabah dengan bantuan mediator sebagai pihak netral. Selain itu, pihak mediator juga harus
memiliki pemahaman tentang ilmu perbankan, keuangan dan hukum. Dan keputusan yang
diambil harus merupakan keputusan bersama dan sifatnya tidak boleh memaksa, hingga
ditemukan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Sebagaimana
dikatakan oleh Priatna Abdurrasyid bahwa mediasi adalah proses damai dimana para pihak yang
bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator untuk mencapai hasil akhir
yang adil tanpa biaya besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnyaoleh kedua belah pihak
yang bersengketa, dimana pihak ketiga sebagai pendamping dan penasehat.
Sumber :
Sefriani, 2011. HUKUM INTERNASIONAL Suatu Pengantar. Penerbit PT Raja Grafindo Persada :
Jakarta.
http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html
https://aliesaja.wordpress.com/2010/06/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi/
http://uwievirgo.blogspot.com/2013/06/contoh-
kasus.html http://handikosuharso.blogspot.com/2011/04/penyelesaian-sengketa-ekonomi.html
http://www.academia.edu/4769761/BAB_MEDIASI