Makalah ini membahas tentang penyakit pica yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat yang tidak bergizi selama satu bulan. Pica lebih sering ditemukan pada anak kecil daripada dewasa dan terjadi di berbagai negara. Makalah ini menjelaskan pengertian, penyebab, diagnosis, gejala, komplikasi, dan penatalaksanaan penyakit pica.
1. MAKALAH
PENYAKIT PICA
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Penulisan Ilmiah
Disusun Oleh :
Andriana Shinta Bella (A01401856)
TINGKAT IA
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2014/2015
1
2. ABSTRAK
Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat yang
tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Pica jauh lebih
sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Makalah ini
berisi tentang penyakit pica yang sedang populer di berbagai negara. Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang penyakit pica. Menurut Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), ingesti zat
tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica adalah hal
yang lazim terjadi di bagian barat Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pica juga
dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika.
Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia
sendiri belum ada data dan informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis
ini (Hagopian, 2011). Terapi yang dapat diberikan untuk penderita Pica
diantaranya dengan farmakologis yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
dan Bupropion, serta non farmakologis dengan respons effort dan respons
blocking.
Kata kunci: gangguan makanan, anak kecil, farmakologis
2
3. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami atas rahmat yang diberikan ALLAH SWT, karena dengan
karunia- Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang penyakit PICA.
Makalah ini saya buat untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Penulisan Ilmiah,
selain itu makalah ini juga bertujuan agar pembaca dapat mengetahui dan
memahami secara jelas mengenai penyakit PICA.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih belum sempurna, dan
tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan dan
bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Hendri Tamara Yuda,S.Kep.Ns selaku dosen pembimbing Mata
Kuliah Penulisan Ilmiah.
2. Kedua orang tua yang senantiasa memberi doa dan semangat.
3. Teman-teman yang memberi kritik dan saran pembuatan makalah ini.
4. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikian makalah ini saya susun, semoga dapat bermanfaat bagi
penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Gombong, Oktober 2014
Penulis
3
4. DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………. 1
ABSTRAK....................................................…………………………… 2
KATA PENGANTAR.....……………………….......………………….. 3
DAFTAR ISI..............………………………………………………….. 4
BAB I PENDAHULAUAN
A. Latar Belakang....…………………………………………… 5
B. Tujuan Penulisan……………………………………………. 6
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian....................……………………………………… 7
B. Faktor Penyebab..........……………………………………… 8
C. Penegakkan Diagnosis.....…………………………………… 10
D. Pemeriksaan Fisik....………………………………………… 10
E. Manifestasi Klinis....………………………………………… 12
F. Komplikasi...............………………………………………… 12
G. Penatalaksanaan...............…………………………………… 13
H. Pencegahan......................…………………………………… 17
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan........………….………….……………………… 19
B. Saran..................………….…………….…………………… 19
4
5. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat
yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Pica
jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan dewasa.
Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat non
pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku,
kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. gangguan makan ini adalah suatu hal
yang paling umum terjadi pada individu dengan retardasi mental. Dalam
beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya dan tidak
dianggap patologis (APA, 2000).
Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari
pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di
daerah tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian
barat Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia,
Kanada, Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa
Negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri
belum ada data dan informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis ini
(Hagopian, 2011).
Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara
usia 1 dan 6 tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pica
menyatakan angka kira-kira 10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier
seiring dengan bertambahnya usia. Pica kadang-kadang meluas ke golongan
remaja namun jarang ditemukan pada orang dewasa yang tidak cacat mental.
Pada individu dengan keterbelakangan mental, pica paling sering terjadi pada
mereka yang berusia 10-20 tahun (Hagopian, 2011).
5
6. 1.2 Tujuan Penulisan
a. Mengetahui definisi Penyakit Pica.
b. Mengetahui faktor penyebab Penyakit Pica
c. Mengetahui faktor resiko Penyakit Pica
d. Mengetahui penegakan diagnosis untuk Penyakit Pica
e. Mengetahui manifestasi klinis Penyakit Pica
f. Mengetahui komplikasi Penyakit Pica
g. Mengetahui penatalaksanaan Penyakit Pica
h. Mengetahui pencegahan penyakit Pica
6
7. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Seseorang yang suka mengkonsumsi benda aneh dan tidak masuk akal
seperti pasir, tanah, kapur, lampu, puntung rokok, bulu, rumput, selimut wol,
pecahan kaca bahkan kotoran binatang, dalam dunia medis disebut sebagai
penderita Penyakit Pica atau dalam bahasa Inggrisnya Eatting Disorder
(penyakit pola makan yang aneh).
Pica merupakan keinginan kuat terhadap barang-barang yang bukan
makanan atau menelan benda-bedan bukan makanan. Keinginan kuat yang
ditemukan pada pasien yang didiagnosa dengan pica bisa terkait dengan
keadaan kekurangan gizi, seperti anemia defisiensi zat besi; juga bisa terkait
dengan kehamilan; atau dengan keterbelakangan mental atau penyakit jiwa.
Kata pica berasal dari bahasa latin yang berarti sejenis burung Gagak (burung
Magpie) yang memakan benda apa saja yang ditemuinya.
Buku penuntun profesional kesehatan jiwa, the Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, edisi keempat, revisi naskah (2000), yang
disingkat sebagai DSM-IV-TR, mengelompokkan pica dalam kategori
“Gangguan Makan dan Pemberian Makan Bayi atau Anak Kecil.” Seorang
pasien yang dapat didiagnosa dengan pica harus terus menerus memiliki
keigninan kuat untuk memakan benda-benda bukan makanan selama
sekurang-kurangnya satu bulan. Perilaku ini tidak pantas untuk tahap
pertumbuhan anak. Lebih jauh, perilaku ini tidak boleh disetujui atau
didorong oleh lingkungan sekitar anak.
7
8. 2.2 Faktor Penyebab
Penyakit gangguan makan adalah kondisi kompleks yang diakibatkan dari
kombinasi antara perilaku lama, biologis, emosi, psikologis, interpersonal dan
faktor sosial. Para ilmuwan dan ahli riset masih sedang mempelajari
penyebab dasar kondisi emosi dan fisik yang merusak ini.
2.2.1 Faktor Biologis
Yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan :
Para ilmuwan masih sedang meneliti segala biokimia dan biologis
penyebab ketidakaturan makan. Di sebagian individu yang mengalami
ketidakaturan makan, kimia tertentu diotak yang mengendalikan
kelaperan, selera dan pencernaan terbukti tidak seimbang. Arti dan
implikasi dari ketidakseimbangan tersebut masih dalam investigasi.
Beberapa peneliti menduga kurangnya zat besi dan anemia memicu
pola makan tersebut. Penyakit Pica tidak ada tanda maupun gejalanya.
Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan tes
darah guna mengetahui kandungan besi dan seng. Ketidakaturan makan
sering terbawa dalam keluarga. Riset terkini member indikasi adanya
penyebab genetik terhadap ketidakaturan makan.
2.2.2 Faktor Psikologis
Yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan :
· Harga diri yang rendah
· Rasa kekurangan atau kurang kendali hidup
· Depresi, kecemasan, kemarahan atau kesepian
8
9. 2.2.3 Faktor Interpersonal
Yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan :
· Hubungan keluarga dan pribadi yang bermasalah
· Kesulitan mengekspresikan emosi dan perasaan
· Sejarah diledek mengenai ukuran atau berat badan
· Sejarah pelecehan seksual atau fisikal
2.2.4 Faktor Sosial
Yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan :
· Tekanan budaya yang membanggakan “kelangsingan” dan member
nilai tinggi atas pencapaian tubuh yang sempurna
· Definisi kecantikan yang sempit yang hanya mencantumkan wanita
dan pria dengan ukuran dan bentuk tubuh tertentu
· Kebiasaan budaya yang menghargai orang atas dasar penampilan
fisik dan bukan kualitas dan kekuatan dalam
2.2.5 Faktor Resiko
Yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan :
· Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di
atas 1 tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak
sapihan wajar bila suka memasukkan benda-benda yang
dipegangnya ke dalam mulutnya.
· Penderita defisiensi gizi
· Penderita retardasi mental (Hasan dan Alatas, 1985).
· Ibu hamil
· Orang yang dietnya rendah mineral
· Orang yang memiliki gangguan kejiwaan seperti histeria
9
10. · Orang dengan cacat perkembangan atau gangguan serupa
· Orang-orang yang keluarga atau etnisnya memakan zat non-makanan
· Orang yang diet, menjadi lapar, dan mencoba untuk meringankan
kelaparan dan ngidam dengan zat rendah kalori (zat non-makanan)
(HopeInterprises Inc)
2.3 Penegakkan Diagnosis
Presentasi klinis pica sangat bervariasi dan berhubungan dengan sifat
spesifik dari kondisi medis yang dihasilkan dan zat tertelan. Pada keracunan
atau paparan agen infeksi, gejala dilaporkan sangat bervariasi dan
berhubungan dengan jenis toksin atau agen infeksi tertelan. Gejala pada
saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut
yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan
kehilangan nafsu makan.
Pasien mungkin menyembunyikan informasi mengenai perilaku pica dan
menyangkal adanya pica ketika ditanya. Kerahasiaan ini sering mengganggu
diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif. Kisaran luas komplikasi
yang timbul dari berbagai bentuk pica dan keterlambatan diagnosis yang
akurat dapat menyebabkan gejala ringan sampai mengancam nyawa.
2.4 Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan berhubungan
langsung dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis
selanjutnya. Temuan ini seperti berikut:
10
11. 1. Tanda keracunan
2. Tanda infeksi atau infestasi dari parasit
3. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI)
4. Manifestasi pada gigi
Toksisitas iasna adalah keracunan yang paling umum yang terkait dengan
pica. Tanda fisiknya tidak spesifik dan iasn tak terlihat, dan kebanyakan anak
dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari
keracunan iasna dapat seperti gejala neurologis (misalnya, mudah
tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi, sakit kepala, kelumpuhan saraf
iasna, papilledema , ensefalopati, kejang, koma, atau kematian) dan gejala
pada saluran GI (misalnya, sembelit, sakit perut, kolik , muntah, anoreksia,
atau diare).
Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva migrans)
dan ascariasis merupakan infeksi parasit paling sering yang terkait dengan
pica. Gejala Toxocariasis beragam dan tampaknya terkait dengan jumlah
larva yang tertelan dan organ mana tempat larva bermigrasi. Temuan fisik
yang terkait dengan migrans larva visceral adalah demam, hepatomegali,
malaise, batuk, miokarditis , dan encephalitis. Ocular larva migrans dapat
menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan.
Manifestasi pada saluran cerna berupa kelainan mekanik usus, sembelit,
ulserasi, perforasi, dan pengahalang usus yang disebabkan oleh pembentukan
bezoar dan konsumsi bahan yang dicerna ke dalam saluran pencernaan.
Kelainan gigi dapat terlihat pada pemeriksaan fisik, termasuk abrasi gigi yang
parah, abfraksi, dan kehilangan permukaan gigi.
11
12. 2.5 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala pica berbeda-beda menurut benda yang dimakan :
1. Pasir atau tanah terkait dengan nyeri lambung dan perdarahan sesekali.
2. Mengunyah batu es bisa menyebabkan kenampakan yang abnormal pada
gigi.
3. Memakan tanah liat bisa menyebabkan sembelit (konstipasi)
4. Menelan benda-benda logam bisa menyebabkan perforasi usus
5. Memakan benda kotoran sering mengarah pada penyakit infeksi seperti
toksocariasis, toksoplasmosis, dan trichuriasis.
6. Memakan timah bisa menyebabkan kerusakan ginjal dan keterbelakangan
mental.
Pica lebih umum pada anak-anak dibanding dewasa. Anak-anak antara
usia 2 sampai 6 tahun telah diketahui mengalami Pica. Bayi dan anak-anak
sampai usia 18 bulan tidak dianggap mengalami Pica utamanya karena bayi
selama usia ini akan sering memasukkan apa saja ke dalam mulutnya, dan
kebiasaan ini adalah kebiasaan normal bagi bayi. Beberapa anak-anak yang
mengalami Pica dikatakan karena meniru hewan piaraan keluarga (seperti
anjing dan kucing) yang mereka lihat memakan benda tertentu. Anak-anak
perlu diawasi dan setiap benda berbahaya harus dijauhkan dari jangkauan
mereka.
2.6 Komplikasi
(Ravinder, 2005) :
1. Infeksi
2. Obstruksi usus
3. Menyebabkan
keracunan
4. Malnutrisi
5. Diare
6. Anemia
7. Konstipasi
8. Kecacingan
12
13. 2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Terapi Lama
Menurut ADAManual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica
didefinisikan sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan
keinginan-keinginan (ngidam) yang abnormal untuk memakan sesuatu
yang sebenarnya bukan merupakan makanan yang lazim dikonsumsi
seperti tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah perhatian
karena substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu
dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang
sesungguhnya dan hal ini ias menjadi berbahaya. Menurut Andrews,
1998 sebenarnya tidak ada suatu panduan yang spesifik mengenai
rencana terapi pada pica, tetapi pendekatan personal dan pemberian
edukasi serta saran-saran yang baik mengenai nutrisi yang seimbang
pada pasien pica menjadi suatu hal penting untuk upaya mengurangi
keinginan-keinginan mengkonsumsi benda-benda yang aneh sehingga
dapat tercipta keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Rose, 2000
menyatakan bahwa penatalaksanaan pasien pica dengan cara yang sama
belum tentu mendapatkan hasil yang sama, kesadaran dari praktisi
kesehatan adalah hal yang paling penting dalam manajemen pasien pica
(Cunningham dan Marcason, 2001).
2.7.2 Terapi Baru
1) Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (Farmakologis)
Terapi baru yang kemungkinan ias digunakan dan telah
direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba pada
pasien pica adalah terapi farmakologis dengan selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRi) dan neuroleptic atipikal lain. Terapi baru ini bekerja
13
14. dengan memblok reuptake atau reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di
otak. Beberapa jenis SSRi ini antara lain adalah fluvoxamin, zimelidin,
paroxetin, fluoxetin, dan citalopram (Morrow, 2010).
2) Bupropion (Farmakologis)
Bupropion merupakan golongan obat dari aminoketone
norepinephrine and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti ias
digunakan sebagai terapi pada gangguan pica yang persisten, kronik, dan
mengalami ketergantungan nikotin yang parah (Ginsberg, 2006).
Intervensi perilaku pada pasien pica dengan tujuan untuk
mengalihkan perhatian, seperti menyusun ulang llingkungannya,
konseling, dan terapi-terapi perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi
farmakologis merupakan opsi selanjutnya seperti bupropion (Ginsberg,
2006).
Pada juli 2003, bupropion dikeluarkan dengan regimen 100 mg
dua kali sehari ditambah dengan lamotrigin 200 mg tiga kali sehari,
gabapentin 600 mg tiga kali sehari, topiramat 200 mg tiga kali sehari,
zonisamide 300 mg, loratadin 10 mg/hari, naltrexon 50 mg/hari,
propanolol 60 mg dua kali sehari, paroxetin 40 mg/hari, risperidone 3 mg
dua kali sehari, multivitamin setiap hari, dan vitamin E 800 IU dua kali
sehari. Pada penelitian yang telah dikakukan, pemberian bupropion selama
12 bulan, pasien mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali
setiap bulan, dan penurunan iasn 0.9 kali episode per bulan dalam 11 bulan
pemakaian obat (Ginsberg, 2006).
14
15. 3) Response Effort (Pendekatan perilaku)
Response effort merupakan salah satu terapi pada pica dengan
pendekatan metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha
pasien untuk berusaha memakan sesuatu yang menjadi objek pica dan
iasnative lain yang bukan objek pica. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Piazza et al (2002), penelitian ini menggunakan tiga orang yang
mengalami gangguan kejiwaan dan iasn ke klinik
Neurobehavioral di Kennedy Krieger Institute. Pasien pertama
memiliki riwayat memakan kunci mobil, batu, tongkat penunjuk, kotoran,
sarung tangan, dan baterai. Pasien kedua memiliki riwayat memakan batu,
tongkat penunjuk, plastic, dan kotoran. Pasien ketiga memiliki riwayat
memakan batu, tongkat penunjuk, kotoran, pakaian, sabun, dan feces
(Piazza, 2002).
Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan
yang aman jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan
(seperti kunci mobil, kotoran, dll) dan benda lain yang menjadi iasnative),
dari kedua benda tersebut akan diletakkan sedemikian caranya sehingga
pasien akan menggunakan low effort atau high effort untuk menjangkau
benda-benda tersebut. Penelitian dilakukan dengan mengamati response
effort pada pica dan benda iasnative. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa pada usaha untuk mendapatkan benda iasnative itu tinggi (high
effort) sedangkan usaha untuk mendapatkan objek pica mudah (low effort)
maka pasien akan menjangkau objek pica dan memakannya. Sehingga,
jika kita menurunkan usaha untuk menjangkau benda iasnative akan
menurunkan frekuensi kejadian pica. Pada keadaan objek pica mudah
dijangkau (low effort) misalnya benda-benda yang didapat bebas ketika
sedang bermain; dan benda iasnative disimpan susah untuk dijangkau
(misalnya di saku seseorang di sekitar anak) maka akan menurunkan
15
16. kejadian pica. Sehingga kesimpulannya, para orang tua atau yang merawat
pasien pica harus ias menyimpan benda-benda yang berbahaya untuk
dimakan di tempat-tempat yang aman, dan meletakkan benda-benda
pengalih perhatian (benda iasnative) di tempat-tempat yang menarik untuk
pasien sehingga ias mengurangi frekuensi pica pada pasien (Piazza, 2002).
4) Response Blocking
Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh
individu yang merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil
benda (bukan makanan) untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005)
melakukan penelitian tentang response blocking pada pasien pica yang
dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan 5 hari setiap minggu.
Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup yang di
dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai dan di atas
kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan) yang ias dimakan
oleh pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada di ujung ruangan
berjarak 3.1 m dari benda yang ada di atas lantai. Pada percobaan pertama,
terapis tidak bereaksi apa-apa (tidak mencegah/mem-block) pasien saat
akan mengambil benda di atas kertas. Percobaan kedua, terapis mencegah
ketika benda sudah berjarak 0.3 m dari mulut pasien, pada percobaan
ketiga, terapis mencegah pasien mengambil benda di atas kertas (McCord
dan Grosser, 2005).
Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah
maka pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan makanan
tersebut, walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan sudah
diambil maka efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak mau menjatuhkan
makanan tersebut.
16
17. Hasil dari pencegahan ini akan efektif jika perawat atau
seseorang yang menjaga pasien mencegah pasien mengambil benda-benda
berbahaya untuk dimakan. Sehingga, kesimpulannya adalah pencegahan
tidak efektif jika dilakukan setelah pasien mengambil benda untuk
dimakan, tetapi harus dilakukan usaha untuk mencegah pasien menjangkau
benda-benda berbahaya untuk dimakan tersebut (McCord dan Grosser,
2005).
2.8 Pencegahan
Cara efektif untuk mencegah agar anak tidak memiliki perilaku pica tidak
lain adalah peran orang tua. Orang tua harus aktif menjaga anaknya yang
masih dalam tahap pengenalan dari benda-benda yang berbahaya, dan
mengenalkannya dengan benda-benda yang aman untuk anak seusia tersebut.
Hal seperti itu sangat perlu sebagai upaya pencegahan agar pica tidak terjadi
pada anak. Orang tua juga sebaiknya rutin memeriksakan anak untuk
mengecek apakah tidak ada bahan berbahaya yang pernah ditelan oleh anak.
Namun jika anak sudah memiliki kebiasaan itu, maka orang tua harus bisa
tegas dan intensif untuk menyembuhkan kebiasaan anak. Kenyataannya
sekarang banyak orang tua yang kasian melihat anaknya menangis karena
ingin makan serbuk bata atau bedak sehingga mereka membiarkannya makan
sekehendak anak. Cara tersebut jelas salah dan merupakan pengejewantahan
dari wujud ketidaktahuan orang tua dalam mendidik anaknya. Karena bentuk
rasa kasihan seperti itu bukanlah wujud kasih sayang orang tua kepada anak,
melainkan justru malah membahayakan kesehatan anaknya.
Sekali lagi orang tua harus tegas! Orang tua tidak boleh menuruti
keinginan anaknya jika meminta benda-benda asing untuk dimakan, orang tua
juga harus mengawasi anak ketika bermain. Ketika anak lapar dan ingin
makan, orang tua bisa memanfaatkan hal tersebut untuk mengenalkannya
jenis-jenis makanan yang sehat dan bergizi dengan tujuan untuk mengalihkan
perhatian anak pada benda yang ingin dimakan ke makanan yang betul-betul
17
18. layak untuk dimakan. Rangsang otak anak dengan makanan-makanan yang
bergizi ketika dirinya lapar, ketika otak terbiasa dengan rangsangan dari
makanan maka lama kelamaan perhatian anak akan teralihkan dari benda-benda
asing yang ingin dia makan.
Jadi intinya adalah fokus perhatian orang tua terhadap perilaku anak,
kebiasaan anak, dan tumbuh kembang anak karena kewajiban orang tua
memang mengasuh anaknya. Untuk mencegah dan mengobati pica, orang tua
perlu meluangkan waktunya untuk menemani anak bermain, mengajarkannya
makanan yang baik, menjauhkannya dari benda-benda keras dan berbahaya,
serta menjaga kebiasaan tidur anak sehingga anak dapat tumbuh dengan sehat
dan jauh dari pica eating disorder.
18
19. BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu
makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan,
misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran
hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya. Gejala pada saluran
Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang
mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan
kehilangan nafsu makan. Terapi yang dapat diberikan diantaranya dengan
farmakologis yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion,
serta non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.
3.2 Saran
Cara efektif untuk mencegah agar anak tidak memiliki perilaku pica tidak
lain adalah peran orang tua. Orang tua harus aktif menjaga anaknya yang
masih dalam tahap pengenalan dari benda-benda yang berbahaya, dan
mengenalkannya dengan benda-benda yang aman untuk anak seusia tersebut.
Hal seperti itu sangat perlu sebagai upaya pencegahan agar pica tidak terjadi
pada anak. Orang tua juga sebaiknya rutin memeriksakan anak untuk
mengecek apakah tidak ada bahan berbahaya yang pernah ditelan oleh anak.
Namun jika anak sudah memiliki kebiasaan itu, maka orang tua harus bisa
tegas dan intensif untuk menyembuhkan kebiasaan anak. Kenyataannya
sekarang banyak orang tua yang kasian melihat anaknya menangis karena
ingin makan serbuk bata atau bedak sehingga mereka membiarkannya makan
sekehendak anak. Cara tersebut jelas salah dan merupakan wujud dari
ketidaktahuan orang tua dalam mendidik anaknya. Karena bentuk rasa
kasihan seperti itu bukanlah wujud kasih sayang orang tua kepada anak,
melainkan justru malah membahayakan kesehatan anaknya.
19