2. 2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................2
PENDAHULUAN ...................................................................................................3
A. Deskripsi Materi ...............................................................................................3
B. Relevansi ..........................................................................................................3
C. Petunjuk Belajar ...............................................................................................3
INTI MATERI: KEGAWATDARURATAN TRAUMA .......................................4
1. CAPAIAN PEMBELAJARAN........................................................................4
2. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN...............................................................4
3. URAIAN MATERI ..........................................................................................4
A. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Fraktur ....................................5
B. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Hemothoraks.........................13
C. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Trauma Kepala .....................18
D. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Luka bakar............................27
4. TUGAS..........................................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
PENUTUP ............................................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
RANGKUMAN....................................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
TES FORMATIF ..................................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA...........................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
3. 3
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Materi
Kematian mungkin terjadi oleh karena trauma. Kegawatan kasus trauma
bisa terjadi pada berbagai sistem tubuh. Kasus-kasus pada trauma yang mungkin
muncul adalah pada system respirasi dan kardiovaskuler, syaraf, dan integument
muskuloskeletal merupakan kasus yang sering terjadi. Apabila kasus ini tidak
segera dilakukan pertolongan dapat menimbulkan kematian atau kecacatan. Untuk
itu perlunya tindakan segera yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka
mortalitas pada kasus-kasus trauma tersebut. Modul ini dikemas dalam empat
topik, dimana pada masing-masing modul mencerminkan adanya uraian atau
penjelasan materi sebagai representasi tatap muka, tugas terstruktur, tugas mandiri
dan tes formatif. Topik yang disusun dalam modul ini meliputi: fraktur,
hemothoraks, trauma kepala, dan luka bakar.
B. Relevansi
Kompetensi yang ingin dicapai setelah Anda mempelajari bab ini adalah
Anda dapat memahami tentang fraktur, hemothoraks, trauma kepala, dan luka
bakar.
C. Petunjuk Belajar
1) Agar kita berhasil dengan baik dalam mempelajari bahan ajar ini
berikut beberapa petunjuk yang dapat Anda ikuti :
2) Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan modul ini sampai Anda
memahami secara tuntas, untuk apa, dan bagaimana mempelajarinya.
3) Pahami garis besar materi-materi yang akan dipelajari atau dibahas secara
seksama apa yang akan dicapai.
4) Upayakan untuk dapat membaca sumber-sumber lain yang relevan untuk
menambahkan wawasan Anda menjadikan perbandingan jika pembahasan
dalam modul ini masih dianggap kurang.
5) Mantapkan pemahaman Anda dengan latihan dalam modul dan melalui
kegiatan diskusi dengan peserta PPG atau dosen.
4. 4
INTI MATERI: KEGAWATDARURATAN TRAUMA
1. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Menguasai teori dan aplikasi materi keahlian keperawatan, kompetensi
keahlian asisten keperawatan yang mencakup: (1) Komunikasi Keperawatan, (2)
Konsep Dasar Keperawatan (anatomi fisiologi, promosi kesehatan, pelayanan
prima), (3) Kebutuhan Dasar Manusia, (4) Keperawatan Medikal Bedah (ilmu
penyakit, penunjang diagnostic, kegawatdaruratan), (5), Ilmu Kesehatan
Masyarakat (Keperawatan Jiwa dan Keluarga, Keperawatan Geriatrik dan
Komunitas, Keperawatan Maternitas, (6) Keterampilan Dasar Tindakan
Keperawatan termasuk advance materials yang dapat menjelaskan aspek “apa”
(konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan
sehari-hari.
2. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
Menganalisis prinsip Keperawatan Medikal Bedah (ilmu penyakit, penunjang,
diagnostik, kegawatdaruratan) dan aplikasinya dalam pembelajaran asisten
keperawatan.
3. URAIAN MATERI
Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh. Selamat pagi para peserta
sekalian. Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan dimudahkan
segala urusannya. Aamiin.
Bapak Ibu Peserta PPG yang berbahagia, sebelum memulai pembelajaran,
marilah kita bersama-sama berdoa terlebih dahulu, semoga kita diberikan
kemudahan dan kelancaran serta diberikan ilmu yang barokah. Aamiin. Berdoa
mulai sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Selesai.
Setelah mempelajari kasus mengenai medikal bedah yang sering terjadi di
masyarakat, peserta PPG akan mampu membuat Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah pada pasien dengan: 1) fraktur; 2) hemothoraks; 3) trauma kepala; dan 4)
luka bakar.
5. 5
Pada modul ini, Anda akan mempelajari beberapa contoh kasus trauma yang
umum terjadi di masyarakat. Secara umum trauma didefiniskan sebagai
benturan, tekanan, atau gesekan yang mengakibatkan dampak berupa luka
terbuka, tertutup, maupun luka memar. Tekanan ini bisa berasal dari benda
tumpul maupun benda tajam.
A. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Fraktur
Saudara peserta PPG yang berbahagia, sebelum kita membahas lebih detail
mengenai fraktur. Marilah kita berdo’a bersama semoga kita diberikan
kemudahan dalam memahami pokok bahasan pada modul ini. Berdo’a
dipersilahkan. Selesai. Baiklah, marilah kita mulai membahsa pada topik pertama
tentang kedaruratan trauma.
1. Definisi Fraktur
Apakah itu fraktur? Fraktur umumnya cukup menyakitkan, dan kita harus
mempertimbangkan penggunaan obat analgesik bila situasinya memungkinkan.
Fraktur dapat terjadi terbuka, yaitu pada saat ujung tulang yang patah keluar
menembus kulit atau mungkin tertutup. Ujung tulang yang retak sangat tajam dan
sangat berbahaya bagi semua jaringan yang mengelilingi tulang. Hal ini
dikarenakan oleh saraf dan arteri berada diarea tulang, disisi fleksor sendi, atau
sangat dekat dengan kulit (tangan dan kaki) (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2015).
Gambar 1 Jenis fraktur (Smeltzer et al., 2015)
6. 6
Cedera neurovaskular mungkin karena adanya laserasi dari fragmen tulang
atau dari tekanan karena pembengkakan atau hematoma. Fraktur tertutup bisa
sama bahayanya dengan fraktur terbuka karena jaringan lunak yang terluka sering
mengeluarkan banyak darah. Fraktur itu sendiri mempunyai banyak jenis,
tergantung dari arah tumbukan dan karakteristik patahan (Gambar 1) (Bishop,
Palanca, Bellino, & Lowenberg, 2012; Smeltzer et al., 2015).
2. Tanda dan Gejala
Bagaimanakah kita dapat mengetahui kalau seseorang mengalami fraktur
atau tidak? Nah, pada bagian ini kita akan berfokus pada fraktur anggota gerak
atas dan bawah. Pasien mungkin mengeluh nyeri tekan di atas tempat cedera atau
nyeri yang lebih parah ketika menggerakkan bagian tubuh yang terkena. Pasien
dengan patah tulang pinggul biasanya mengeluh sakit, baik di daerah
selangkangan (pinggul adalah sendi yang dalam) atau di belakang lutut
(Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
Selain rasa nyeri, pasien dengan fraktur yang lebih kompleks mengalami
rotasi anggota gerak atau deformitas (perubahan bentuk) dan pemendekan anggota
gerak (jika tulang tungkai yang rusak), dan rentang gerak menjadi menurun. Jika
bagian yang terkena digerakkan, suara gemeretak (crepitation) dapat didengar
dimana hal ini disebabkan oleh fragmen tulang yang saling bergesekan. Anggota
gerak tidak boleh digerakkan (untuk mencoba dan reposisi tulang) jika terdengar
suara krepitasi. Periksa integritas dari kulit. Seorang pasien dengan fraktur
tertutup mungkin memiliki ecchymosis (memar) diatas tulang yang retak dari
pendarahan ke dalam jaringan lunak di bawahnya. Ecchymosis mungkin tidak
muncul selama beberapa hari setelah cedera. Pembengkakan juga dapat terjadi dan
dapat mengganggu aliran darah, menyebabkan kompromi neurovaskular. Pada
fraktur terbuka, satu atau lebih ujung tulang menembus kulit, menyebabkan luka,
sehingga meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi (Haughton, Jordan,
Malahias, Hindocha, & Khan, 2012; Smeltzer et al., 2015).
7. 7
3. Patofisiologi
Tulang adalah jaringan yang dinamis dan dapat berubah. Ketika tulang rusak,
maka tubuh mulai segera memperbaiki cedera. Pada orang dewasa, dalam waktu
48 hingga 72 jam setelah cedera, hematoma akan terbentuk di area fraktur karena
tulang kaya suplai darah. Sekitar satu minggu atau lebih, callus akan berkembang
atau terbentuk, dan dapat dilihat pada pemeriksaan sinar-X. Saat penyembuhan
berlanjut, osteoclast (sel-sel perusak tulang) mengabsorbsi jaringan tulang
nekrotik, sementara itu osteoblast (sel pembentuk tulang) akan membentuk tulang
baru sebagai penggantinya. Proses ini disebut sebagai remodelling tulang. Pada
orang dewasa muda dan sehat, tulang benar-benar sembuh dalam waktu sekitar 6
minggu. Namun, itu bisa memakan waktu hingga satu tahun sebelum seluruh
proses remodelling selesai. Orang yang lebih tua membutuhkan waktu lebih lama
untuk sembuh, sementara itu pada anak-anak cenderung lebih banyak sembuh
dengan cepat (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
4. Penatalaksanaan Kedaruratan
Saudara peserta PPG, berikutnya kita perlu mengetahui apa saja tindakan
awal/kedaruratan yang harus diambil apabila menemukan kasus patah tulang
(Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015). Tindakan-
tindakan tersebut diantaranya:
1) Kaji terlebih dulu ABC (jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi)
2) Segera immobilisasi anggota tubuh yang terkena. Pasang bidai di atas dan
di bawah fraktur (lebih bagus lagi di samping area fraktur).
3) Jika ada perdarahan, pasang splint dan padding (di atas dan di bawah area
fraktur) langsung di atas pakaian. Jaga agar pasien tertutup untuk
mempertahankan panas tubuh.
4) Jika fraktur anggota gerak adalah tulang kaki, anggota gerak yang tidak
terpengaruh dapat digunakan sebagai penyangga dengan membalut kedua
kaki secara bersamaan.
5) Kaji warna, kehangatan, sirkulasi, dan gerakan dari anggota gerak distal ke
fraktur sebelum dan sesudah pemasangan bidai.
8. 8
6) Pada fraktur terbuka tutupi area tulang yang menonjol dengan kassa bersih
(steril).
7) Jangan mencoba “meluruskan” atau meluruskan kembali anggota gerak
yang retak.
8) Pindahkan anggota tubuh yang terkena seminimal yang diperlukan.
9) Transportasi ke rumah sakit sesegera mungkin
5. Sindroma kompartemen
Pokok bahasan berikutnya adalah kemungkinan komplikasi yang muncul
pada kasus fraktur. Tahukah Bapak/Ibu apa sajakah itu? Ya, betul sekali,
sindroma kompartemen. Kompartemen adalah selubung jaringan fibrosa yang
mendukung dan menyekat saraf, otot, dan pembuluh darah, terutama di anggota
gerak. Ada beberapa kompartemen di setiap anggota gerak. Sindrom
kompartemen akut adalah masalah serius dimana tekanan dalam satu atau lebih
kompartemen anggota gerak meningkat, menyebabkan gangguan sirkulasi besar-
besaran ke daerah tersebut. Pemasangan gips dapat juga meningkatkan tekanan
didalam kompartemen ketika terdapat pembengkakan atau penekanan jaringan di
area tersebut (Clarke, Santy-Tomlinson, McDonald, & Moore, 2014; Haughton et
al., 2012; Smeltzer et al., 2015).
Gejala awal sindroma kompartemen akut adalah pasien mengeluh
mengalami nyeri yang hebat dan yang tidak hilang dengan obat-obatan golongan
narkotika dan lebih banyak terjadi pada gerakan aktif daripada gerakan pasif.
Sensasi yang menurun mengikuti sebelum iskemia menjadi berat (Clarke et al.,
2014).
Pada sindroma kompartemen berat, pasien memunculkan tanda gejala 6Ps
(Gambar 2):
1) Nyeri (parah, tak henti-hentinya, dan meningkat dengan peregangan pasif)
2) Parestesia (nyeri kesemutan atau terbakar)
3) Kelumpuhan (gejala lanjut)
4) Pallor (tetapi mungkin ada kehangatan atau kemerahan di atas area yang
patah)
5) Pulselessness (tanda terlambat dan tidak menyenangkan)
9. 9
6) Poikilothermia (suhu cocok dengan lingkungan; yaitu, anggota gerak adalah
dingin untuk disentuh)
Mengurangi tekanan dalam kompartemen adalah terapi yang sesuai untuk
kasus ini. Cara ini dapat dicapai dengan menghilangkan sumber tekanan, seperti
melepas gips, atau dengan melakukan fasciotomy, yaitu berupa sayatan ke fasia
yang membungkus kompartemen. Sayatan ini memungkinkan ruang jaringan
kompartemen untuk memperluas dan mengurangi tekanan. Jika lebih dari satu
kompartemen mengalami peningkatan tekanan, diperlukan banyak fasciotomi.
Luka bedah ini dipertahankan tetap terbuka sampai tekanan dalam kompartemen
menurun. Untuk selanjutnya, kemudian area ini ditutup dan mungkin
membutuhkan pencangkokan kulit. Jika kondisi ini berlanjut tanpa bantuan
tekanan, nekrosis jaringan, infeksi, kontraktur anggota gerak, atau gagal ginjal
dapat terjadi. Gagal ginjal merupakan komplikasi yang fatal dari sindroma
kompartemen akut (Bishop et al., 2012; Clarke et al., 2014; Haughton et al.,
2012).
Gambar 2 Tanda gejala sindroma kompartemen (Tintinalli, 2011)
10. 10
6. Diagnosa dan Intervensi keperawatan
Setelah mengetahui tentang konsep teorinya, maka kita perlu belajar mengenai
asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur (Sue Moorhead, PhD, RN Marion
Johnson, PhD & Meridean L. Maas, PhD, 2013).
a. Pengkajian
1) Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah
tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut
berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan
menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma
rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas darat.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, pasien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, pasien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko
mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat
penyembuhan tulang.
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik.
4) Pola kesehatan fungsional
a) Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan
jaringan, nyeri)
b) Sirkulasi
11. 11
• Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
• Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
• Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera,pengisian
kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
• Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c) Neurosensori
• Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
• Kebas/ kesemutan (parestesia)
• Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
• Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
d) Nyeri / kenyamanan
• Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat
kerusakan syaraf .
• Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
e) Keamanan
• Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
• Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba- tiba).
f) Pola hubungan dan peran Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga
dan dalam masyarakat karena pasien harus menjalani rawat inap.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari pasien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan pandangan
terhadap dirinya yang salah.
h) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selain
itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
i) Pola nilai dan keyakinan
12. 12
Pasien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan
gerak yang di alami pasien.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi,
stress, ansietas.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak nyamanan,
kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas, penurunan
kekuatan / tahanan.
3. Resiko disfungsi neurovascular perifer berhubungan dengan peningkatan
volume jaringan
c. Kriteria hasil dan intervensi
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan
terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada
jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress,
ansietas.
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, diharapkan nyeri akut
pada pasien dapat teratasi, dengan
kriteria hasil :
Pasien memverbalkan adanya penurunan
nyeri
1. Berikan analgesik dan anti inflamasi
sesuai dengan instruksi dokter
2. Pastikan posisi ekstremitas yang
patah di posisi yang sesuai
3. Kaji adanya tanda sindroma
kompartemen terutama pada pasien
yang terpasang gips
4. Berikan kompres es sesuai dengan
instruksi
5. Ajari metode penatalaksanaan nyeri
Hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan nyeri / ketidak nyamanan,
1. Mengidentifikasi masalah,
memudahkan intervensi
13. 13
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
kerusakan musculoskeletal, terapi
pembatasan aktifitas, penurunan
kekuatan / tahanan.
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, diharapkan hambatan
mobilitas fisik pada pasien dapat teratasi,
dengan kriteria hasil :
Pasien menunjukkan peningkatan
kemampuan mobilitas
2. Mempengaruhi penilaian terhadap
kemampuan aktifitas apakah karena
ketidakmampuan atau ketidakmauan.
3. Menilai batasan kemampuan aktivitas
optimal
4. Agar pasien mampu mengikuti
latihan dan bisa bergerak secara
perlahan
5. Sebagai suatu sumber untuk
mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan atau meningkatkan
mobilitas pasien.
Resiko disfungsi neurovascular perifer
berhubungan dengan peningkatan
volume jaringan
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, diharapkan resiko
disfungsi neurovascular perifer pada
pasien dapat teratasi, dengan kriteria
hasil :
Pasien mampu mempertahankan arteri
perifer, kulit hangat, sensasi dan mampu
untuk menggerakkan ekstremitas
1. Kaji dan monitor secara berkala tanda
tanda sindrom kompartemen
2. Kaji adanya pembengkakan pada area
injuri, terutama pada pasien yang
dipasang gips
3. Jaga ekstremitas tetap elevasi diatas
jantung
4. Berikan obat anti inflamasi sesuai
order
5. Monitor adanya nyeri yang semakin
berat meskipun sudah diberikan
analgesik
B. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Hemothoraks
Saudara peserta PPG yang berbahagia, sebelum kita membahas lebih detail
mengenai pokok bahasan berikutnya. Apakah Saudara ada pertanyaan terkait
materi sebelumnya? Tidak? Alhamdulillah, kalau begitu kita bisa masuk ke pokok
bahasan berikutnya ya.
14. 14
Penatalaksanaan kegawatan kasus trauma diperlukan seiring dengan
meningkatnya angka kejadian kasus trauma dan meningkatkan harapan hidup.
Cedera berat di dada sering terjadi, terhitung 25% dari semua kematian karena
trauma. Cedera thoraks ini mungkin melibatkan paru-paru, jantung, pembuluh
darah besar atau struktur tulang, dimana dapat disebabkan oleh trauma tumpul dan
tembus. Beberapa cedera thoraks akan menyebabkan kematian dengan segera,
seperti diseksi aorta traumatik. Cedera thoraks yang mengancam jiwa lainnya
termasuk obstruksi saluran napas, pneumothoraks, perdarahan mayor dan
tamponade jantung memerlukan penilaian dan intervensi yang tepat. Cedera
thoraks difokuskan pada penilaian yang cermat, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan diagnostic (Ludwig & Koryllos, 2017).
1. Definisi Hemothoraks
Hemothoraks adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan
paru-paru (rongga pleura) (Gambar 3). Penyebab paling umum dari homothoraks
adalah trauma dada (Smeltzer et al., 2015). Trauma misalnya:
a. Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
b. Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax
oleh pembuluh internal
c. Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura
Henoch-Schonlein dapat menyebabkan spontan hemothoraks.
2. Etiologi Hemothoraks
Penyebab paling umum dari hemothoraks adalah trauma dada. Dapat juga
terjadi pada pasien yang memiliki: trauma tumpul dada, kematian jaringan paru-
paru, kanker paru-paru atau pleura, trauma penetrasi pada thoraks, operasi jantung,
dan tuberkulosis (Ludwig & Koryllos, 2017).
15. 15
Gambar 3 Hemothorax (Campbell, Alson, & Alabama, 2018)
3. Penanganan hemothoraks
Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan
perdarahan, dan menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura (Calder &
Boyd, 2014; Smeltzer et al., 2015). Penanganan pada hemothoraks adalah:
a. Resusitasi Cairan. Terapi awal hemothoraks adalah dengan penggantin
volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura.
Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan
pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya.
b. Pemasangan chest tube/selang dada (water seal drainage/WSD) ukuran besar
agar darah pada thoraks tersebut dapat cepat keluar sehingga tidak membeku
didalam pleura.
4. Komplikasi
Apabila penanganan pada kasus hemothoraks tidak dilakukan dengan segera,
maka kondisi pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah
di rongga thoraks yang nantinya dapat menyebabkan paru menjadi kolaps dan
mendorong mediastinum serta trakhea ke sisi yang sehat, sehingga terjadi gagal
nafas dan meninggal, fibrosis atau jaringan parut pada membrane pleura,
atelektasis, shock, pneumothoraks, pneumonia dan septisemia (Smeltzer et al.,
2015).
16. 16
5. Asuhan Keperawatan
Setelah mengetahui tentang konsep teorinya, maka kita perlu belajar mengenai
asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma dada (Sue Moorhead, PhD, RN
Marion Johnson, PhD & Meridean L. Maas, PhD, 2013).
a. Pengkajian
1) Airway
Trauma laring dapat bersamaan dengan trauma thorax.walaupun gejala kinis
yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena trauma laring merupakan
cidera laring yang mengancam nyawa. Trauma pada dada bagian atas, dapat
menyebabkan dislokasi ke area posterior atau fraktur dislokasi dari sendi
sternoclavicular. Penanganan trauma ini dapat menyebabkan sumbatan airway
atas. Trauma ini diketahui apabila ada sumbatan napas atas (stridor), adanya
tanda perubahan kualitas suara dan trauma yang luas pada daerah leher akan
menyebabkan terabanya defek pada regio sendi sternoclavikula. penanganan
trauma ini paling baik dengan reposisitertutup fraktur dan jika perlu dengan
intubasi endotracheal
2) Breathing
Dada dan leher penderita harus terbuka selama dilakukan penilaian breathing
dan vena-vena leher. Pergerakan pernapasan dan kualitas pernapasan
pernapasan dinilai dengan diobservasi, palpasi dan didengarkan. Gejala yang
terpenting dari trauma thorax adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi
dan perubahan pada pola pernapasan, terutama pernapasan yang dengan
lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita.
Jenis trauma yang mempengaruhi breathing harus dikenal dan diketahui
selama primary survey.
3) Circulation
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturannya.
Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai
melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Adnya tanda-
tanda syok dapat disebebkan oleh hematothorax masif maupun tension
17. 17
pneumothorax. Penderita trauma thorax didaerah sternum yang menunjukkan
adanya disritmia harus dicurigai adanya trauma miokard.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya adalah:
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena trauma, hipoventilasi.
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia, tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan.
3) Resiko terjadinya syok hipovolemia berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
c. Kriteria hasil dan Intervensi
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena trauma, hipoventilasi.
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, diharapkan pola nafas
tidak efektif pada pasien dapat teratasi,
dengan kriteria hasil :
Pasien mampu mempertahankan pola
nafas yang efektif dan menunjukkan
peningkatan pertukaran gas di paru
Mandiri :
1. Jaga posisi leher tetap in line
2. Berikan oksigen sesuai dengan
indikasi
3. Pasang alat bantu oksigen
misalnya endotracheal tube bila
diindikasikan
4. Pasang selang dada (WSD)
sesuai indikasi dan monitor
haluarannya
5. Rawat luka disekitar pemasangan
selang dada
Gangguan perfusi jaringan berhubungan
dengan hipoksia, tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan.
1. Kaji faktor penyebab dari
situasi/keadaan
individu/penyebab penurunan
18. 18
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, diharapkan gangguan
perfusi jaringan pada pasien dapat
teratasi, dengan kriteria hasil :
Pasien mampu mempertahankan tanda
tanda vital yang stabil
perfusi jaringan.
2. Monitor GCS dan mencatatnya
3. Monitor tanda tanda vital dan
saturasi oksigen secara berkala
Resiko terjadinya syok hipovolemia
berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan
intravaskuler ke ekstravaskuler
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, diharapkan resiko
terjadinya syok hipovolemia pada pasien
dapat teratasi, dengan kriteria hasil :
Pasien mampu mempertahankan tanda
tanda vital yang stabil
1. Monitor keadaan umum pasien,
untuk memonitor kondisi pasien
selama perawatan terutama saat
terjadi perdarahan. Perawat
segera mengetahui tanda-tanda
pre syok / syok
2. Observasi vital sign setiap 3 jam
atau lebih
3. Jelaskan pada pasien dan
keluarga tanda perdarahan, dan
segera laporkan jika terjadi
perdarahan
4. Kolaborasi : Pemberian cairan
intravena
5. Kolaborasi : pemeriksaan : HB,
PCV, trombosit
C. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Trauma Kepala
Saudara peserta PPG yang berbahagia, sebelum kita membahas lebih detail
mengenai pokok bahasan berikutnya. Apakah Saudara ada pertanyaan terkait
materi sebelumnya? Tidak? Alhamdulillah, kalau begitu kita bisa masuk ke pokok
bahasan berikutnya ya.
19. 19
Cedera kepala adalah umum dengan insiden 0, 3% dari populasi dan angka
kematian 25 per 100.000 di Amerika Utara dan 9 per 100.000 di Inggris. Cedera
kepala parah dikaitkan dengan tinggi tingkat kematian (30-50%) dan banyak
korban akan bertahan lama kecacatan neurologis yang parah. Identifikasi yang
cepat dan tepat manajemen dini dari pasien tersebut diperlukan untuk memastikan
hasil jangka panjang yang optimal. Mengelola cedera seperti itu di lapangan dapat
menimbulkan banyak tantangan. Pasien mungkin memerlukan pelepasan dari
kendaraan, mungkin gelisah dan agresif, atau mungkin perlu maju manajemen
jalan napas di lingkungan yang sulit. Cedera yang ada bersamaan sering terjadi
pada pasien dengan cedera kepala parah. Koordinasi antara berbagai layanan
darurat sangat penting untuk memastikan hal itu pasien dikelola secara tepat
waktu (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
1. Definisi
Apakah trauma kepala itu? Trauma kepala adalah kerusakan pada kulit kepala,
tengkorak atau otak yang disebabkan oleh cedera. Cedera kepala dapat
diklasifikasikan dalam berbagai cara yang berbeda sesuai dengan jenis cedera,
struktur di kepala yang rusak atau seberapa parah trauma.
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi cedera kepala terbuka atau cedera
kepala tertutup. Pada cedera tertutup, terjadi kerusakan yang tidak merusak
tengkorak kepala ataupun menembus jaringan otak. Meskipun tengkorak tidak
patah, jenis cedera ini masih dapat menyebabkan kerusakan otak dalam bentuk
pembengkakan atau memar. Sementara itu, cedera terbuka mengacu pada
kerusakan yang menembus tulang tengkorak yang menyebabkan masalah seperti
pendarahan di otak, patah tulang tengkorak atau menekan tulang terhadap struktur
di otak. Jenis cedera ini lebih mungkin terjadi ketika seseorang bergerak dengan
kecepatan tinggi, ketika bertabrakan dengan kaca depan saat kecelakaan mobil,
atapun tembakan ke kepala (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et
al., 2015).
Cedera kepala dapat disebabkan baik oleh trauma dengan kecepatan yang
relatif kecil maupun tinggi. Cedera otak primer terjadi pada saat terjadi benturan
dan termasuk cedera seperti hematomata subdural dan ekstradural, memar otak,
20. 20
dan cedera aksonal. Gangguan pada otak ini berlanjut sehingga dapat berkembang
dan mengakibatkan cedera otak sekunder yang ditandai dengan gangguan regulasi
aliran darah otak dan metabolisme. Cedera ini bahkan diperburuk oleh faktor-
faktor eksogen yang mengurangi suplai oksigen otak dan meningkatkan tekanan
intrakranial (TIK). TIK ini akan naik dengan peningkatan volume salah satu isi
kranial (darah, otak, cairan serebrospinal) sebagai kranium adalah ‘kotak yang
kaku’ (hukum Monro-Kelly) (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et
al., 2015).
2. Gejala
Cedera kepala dapat menyebabkan pendarahan di jaringan otak dan lapisan
yang mengelilingi otak (subarachnoid hemorrhage, subdural hematoma,
hematoma epidural). Gejala cedera kepala dapat langsung terjadi atau dapat
berkembang perlahan selama beberapa jam atau beberapa hari. Bahkan jika
tengkoraknya tidak retak, otak bisa terkena dan mengalami memar. Kepala
mungkin terlihat baik-baik saja, tetapi masalah bisa terjadi akibat pendarahan atau
pembengkakan di dalam tengkorak. Sumsum tulang belakang juga mungkin juga
akan terkena pada kasus trauma yang serius. Beberapa cedera kepala dapat
menyebabkan perubahan fungsi otak, dimana kondisi inilah yang disebut cedera
otak traumatis. Gegar otak adalah cedera otak traumatis ringan. Gejala gegar otak
dapat berkisar dari ringan hingga berat (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011;
Smeltzer et al., 2015).
Gambar 4 Karakteristik cedera kepala (Smeltzer, et al, 2015)
21. 21
3. Manajemen jalan nafas dan ventilasi
Obstruksi jalan napas dan hipoventilasi sering terjadi pada pasien yang
mengalami cedera kepala. Hal ini dapat dengan cepat menyebabkan hipoksemia
dan hiperkapnia, kedua hal tersebut dapat berkontribusi pada pengembangan
sekunder kerusakan otak. Manajemen jalan nafas dasar (jaw thrust dan
pemasangan orofaringeal tube) harus dilakukan bersamaan dengan pemberian
oksigen aliran tinggi pada pasien yang tidak stabil atau memiliki SpO2 94%.
Laryngeal mask airway (LMA) dapat dipasang pada pasien yang tidak sadar.
Petugas medis harus selalu mendokumentasikan GCS dan ukuran pupil sebelum
pemberian obat-obatan sedative. Kondisi hiperventilasi post intubasi harus
dicegah, karena kondisi tersebut akan menyebabkan vasokontriksi serebral dan
iskemia. Pasien dengan trauma kepala yang mengalami hiperventilasi kadang
menunjukkan hasil yang memburuk dibanding pasien yang mendapatkan ventilasi
pada PaCO2 4.5 kPa (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al.,
2015).
4. Manajemen sirkulasi
Mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat merupakan tujuan
utama manajemen trauma kepala. Mempertahankan tekanan perfusi serebral pada
angka 60-70 mmHg adalah target akhir pada pasien dengan cedera kepala berat.
Pada tekanan intra kranial/TIK > 20 mmHg, biasanya dibutuhkan MAP 80 mmHg
atau lebih. Pasien dengan cedera kepala yang parah dan mengalami hipotensi
memiliki risiko kematian dua kali lipat dibandingkan dengan pasien normotensif
(bahkan setelah satu pun episode hipotensi). Hipotensi dapat menyebabkan
berkurangnya perfusi otak dan iskemia neuronal dan sering juga terjadi
multifaktorial pada pasien trauma. Kita harus selalu berasumsi bahwa hipotensi
terjadi untuk hipovolemia sampai terbukti sebaliknya dan perlu mencari
area/sumber kehilangan darah (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer
et al., 2015).
Tekanan darah sistolik (systolic blood pressure/SBP) minimal 90 mmHg
sangat direkomendasikan pada orang dewasa. Nilai SBP yang lebih tinggi (> 100
mmHg) mungkin bisa dicapai pada pasien dengan cedera otak traumatis berat.
22. 22
Pada pasien dengan banyak luka dan terjadi hipovolemia terdapat konflik antara
resusitasi hipotensi permisif untuk meminimalkan kehilangan darah dan
kebutuhan untuk mempertahankan otak pada tekanan perfusi yang memadai untuk
mencegah cedera otak sekunder. Target SBP 90 mmHg harus dicapai. Cairan
resusitasi yang ideal tidak dapat diketahui untuk pasien dengan cedera otak
traumatis yang parah. Saat ini, bolus kecil (250-500 mL) cairan kristaloid,
misalnya 0, 9% natrium klorida, digunakan untuk menjaga tekanan darah yang
memadai di lapangan, karena penggunaan vasopresor sering tidak praktis
digunakan selama transportasi. Cairan kristaloid hipertonik mungkin memiliki
potensi yang baik di masa depan sebagai cairan resusitasi yang utama pada
kelompok pasien ini karena efeknya pada mengurangi tekanan intracranial
(Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
5. Penanganan pertama
1) Periksa saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi orang itu. Jika perlu,
mulailah melakukan RJP.
2) Jika pernapasan dan detak jantung pasien normal, tetapi dalam kondisi
tidak sadar, maka perlakukan pasien seolah-olah mengalami cedera tulang
belakang. Stabilkan kepala dan leher dengan meletakkan tangan di kedua
sisi kepala orang tersebut. Jaga kepala agar sejajar dengan tulang belakang
dan mencegah gerakan.
3) Hentikan pendarahan dengan menekan kuat pada area yang mengalami
perdarahan dengan menggunakan kain bersih. Jika cedera serius, berhati-
hatilah untuk tidak menggerakkan kepala orang tersebut.
4) Jika pasien dicurigai mengalami patah tulang tengkorak, jangan berikan
tekanan langsung ke tempat perdarahan. Tutupi luka dengan kasa steril.
5) Jika orang tersebut muntah, untuk mencegah tersedak, miringkan kepala,
leher, dan tubuh seseorang menggunakan metode log roll. Tindakan ini
digunakan untuk melindungi tulang belakang. Pada pasien anak-anak,
mungkin akan mengalami sering muntah satu kali setelah terjadi cedera
kepala.
23. 23
(Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
6. Asuhan Keperawatan
Setelah mengetahui tentang konsep teorinya, maka kita perlu belajar mengenai
asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma kepala (Sue Moorhead, PhD, RN
Marion Johnson, PhD & Meridean L. Maas, PhD, 2013).
a. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu
didapati adalah sebagai berikut:
1) Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2) Riwayat kesehatan :
a) Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea,
sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise,
akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan kejang
b) Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular.
c) Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS
< 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski
yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk,
hemiparese.
24. 24
b) Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai
batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji
nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
4) Pemeriksaan Penujang
a) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan: Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b) MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
c) Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
d) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e) X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
f) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h) CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
i) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
j) Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
k) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya adalah:
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi pada pusat napas
di otak.
25. 25
2) Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan
sputum.
3) Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan edema otak
c. Kriteria hasil dan Intervensi:
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan depresi
pada pusat napas di otak.
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan pola nafas tidak
efektif pada pasien dapat
teratasi, dengan kriteria hasil :
Pasien mampu
mempertahankan pola nafas
yang efektif dan menunjukkan
peningkatan pertukaran gas di
paru
1. Hitung pernapasan pasien dalam satu
menit. Pernapasan yang cepat dari pasien
dapat menimbulkan alkalosis respiratori
dan pernapasan lambat meningkatkan
tekanan Pa Co2 dan menyebabkan
asidosis respiratorik.
2. Cek pemasangan tube, untuk memberikan
ventilasi yang adekuat dalam pemberian
tidal volume.
3. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi
pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih
panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih
panjang sebagai kompensasi
terperangkapnya udara terhadap gangguan
pertukaran gas.
4. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien
keadaan dehidrasi dapat mengeringkan
sekresi / cairan paru sehingga menjadi
kental dan meningkatkan resiko infeksi.
5. Cek selang ventilator setiap waktu (15
menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran
volume dan menimbulkan penyebaran
udara yang tidak adekuat.
6. Siapkan BVM tetap berada di dekat
pasien, membantu membarikan ventilasi
26. 26
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
yang adekuat bila ada gangguan pada
ventilator.
Tidak efektifnya kebersihan
jalan napas sehubungan
dengan penumpukan sputum.
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan tidak efektifnya
kebersihan jalan napas pada
pasien dapat teratasi, dengan
kriteria hasil :
Suara napas bersih, tidak
terdapat suara sekret pada
selang dan bunyi alarm karena
peninggian suara mesin,
sianosis tidak ada.
1. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit)
kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat
disebabkan pengumpulan sputum,
perdarahan, bronchospasme atau masalah
terhadap tube.
2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi
dada (tiap 1 jam). Pergerakan yang
simetris dan suara napas yang bersih
indikasi pemasangan tube yang tepat dan
tidak adanya penumpukan sputum.
3. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu
kurang dari 15 detik bila sputum banyak.
Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan
waktu harus dibatasi untuk mencegah
hipoksia.
4. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.
Meningkatkan ventilasi untuk semua
bagian paru dan memberikan kelancaran
aliran serta pelepasan sputum.
Gangguan perfusi jaringan
otak sehubungan dengan
edema otak
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan gangguan perfusi
jaringan serebral pada pasien
dapat teratasi, dengan kriteria
1. Monitor dan catat status neurologis
dengan menggunakan metode GCS.
a. Refleks membuka mata menentukan
pemulihan tingkat kesadaran.
b. Respon motorik menentukan
kemampuan berespon terhadap
stimulus eksternal dan indikasi
keadaan kesadaran yang baik.
c. Reaksi pupil digerakan oleh saraf
kranial oculus motorius dan untuk
27. 27
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak
ada peningkatan intrakranial.
menentukan refleks batang otak.
d. Pergerakan mata membantu
menentukan area cedera dan tanda
awal peningkatan tekanan intracranial
adalah terganggunya abduksi mata.
2. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
a. Peningkatan sistolik dan penurunan
diastolik serta penurunan tingkat
kesadaran dan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
b. Adanya pernapasan yang irreguler
indikasi terhadap adanya peningkatan
metabolisme sebagai reaksi terhadap
infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda
keadaan syok akibat perdarahan.
3. Pertahankan posisi kepala yang sejajar
dan tidak menekan. Perubahan kepala
pada satu sisi dapat menimbulkan
penekanan pada vena jugularis dan
menghambat aliran darah otak, untuk itu
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
D. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Luka bakar
Saudara peserta PPG yang berbahagia, sebelum kita membahas lebih detail
mengenai pokok bahasan berikutnya. Apakah Saudara ada pertanyaan terkait
materi sebelumnya? Tidak? Alhamdulillah, kalau begitu kita bisa masuk ke pokok
bahasan berikutnya ya.
1. Definisi
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh transfer energi dari sumber
panas ke tubuh menyebabkan kerusakan pada jaringan. Secara lokal, panas
28. 28
mengubah sifat protein seluler dan mengganggu suplai darah. Jumlah kerusakan
kulit terkait dengan (1) suhu agen yang terbakar, (2) bahan yang terbakar, (3)
durasi paparan, (4) konduktivitas jaringan, dan (5) ketebalan yang terlibat struktur
dermal (Martin & Silvain, 2018). Perubahan dalam fungsi kulit normal yang
dihasilkan dari luka bakar utama termasuk diantaranya adalah: hilangnya fungsi
pelindung, gangguan kemampuan untuk mengatur suhu, peningkatan risiko
infeksi, perubahan fungsi sensorik, kehilangan cairan, gangguan regenerasi kulit,
dan gangguan fungsi sekretorik dan ekskretoris. Tingkat kerusakan jaringan akibat
luka bakar bervariasi tergantung dari derajat luka bakarnya (Gambar 5)
(Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
Gambar 5 Derajat luka bakar (Campbell, Alson, & Alabama, 2018)
Ukuran luka bakar diperkirakan berdasarkan bagian tubuh yang terkena.
Metode yang umum digunakan adalah Rule of Nines. Metode ini dilakukan
dengan cara membagi tubuh menjadi segmen-segmen yang areanya baik 9% atau
kelipatan 9% dari total permukaan tubuh, dengan area perineum dihitung sebagai
1% (Gambar 6). Rumus ini sangat mudah digunakan, tetapi tidak akurat untuk
digunakan dalam mengkaji luka bakar pada anak-anak. Metode yang lebih akurat
adalah menggunakan tabel dengan skala anatomi relatif atau diagram yang
29. 29
memperkirakan total area terbakar menurut umur dan menurut area anatomi tubuh
yang lebih kecil (Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
Gambar 6 Rule of Nine (Williams & Hopper, 2015)
2. Komplikasi
Komplikasi utama yang dapat terjadi pada luka bakar terbakar yang terjadi di
ruang tertutup adalah cedera inhalasi. Infeksi adalah komplikasi umum lainnya
pada kasus dengan luka bakar yang luas. Insiden infeksi meningkat dengan
adanya ukuran luka bakar karena garis pertahanan pertama terhadap
mikroorganisme adalah kulit (Martin & Silvain, 2018; Shank, Coté, & Jeevendra
Martyn, 2018). Gangguan neurovaskular juga dapat terjadi dengan luka bakar
yang luas. Pembentukan eschar menciptakan tekanan dan berkontribusi terhadap
penurunan aliran darah ke daerah distal ke area yang terbakar (Basavanthappa &
Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
3. Penatalaksanaan
1) Fase Krisis
Pada saat cedera, proses pembakaran harus dihentikan. Pakaian
dilepaskan, dan lukanya didinginkan dengan air bersuhu ruangan mengalir dan
30. 30
ditutup dengan kain bersih untuk mengurangi menggigil dan kontaminasi. Pasien
harus distabilkan dalam hal patah tulang, perdarahan, imobilisasi tulang belakang,
dan cedera lainnya. Cedera inhalasi dicurigai jika pasien menderita luka bakar dari
api di ruang tertutup atau terkena bahan membara, jika wajah dan leher terkena,
jika ada perubahan vokal, dan jika pasien batuk partikel karbon (Martin & Silvain,
2018; Shank et al., 2018).
Cairan intravena dapat diberikan untuk mencegah dan mengatasi masalah
syok hipovolemik. Pasien dapat diberikan analgesik opioid untuk mengurangi
nyerinya. Riwayat cedera yang akurat diperoleh untuk menentukan tingkat
keparahan, kemungkinan komplikasi, dan trauma terkait (Smeltzer et al., 2015).
2) Fase akut
Jika pasien berada di rumah sakit yang mempunyai unit luka bakar khusus,
perawatan multidisipliner dari tim perawatan luka bakar diberikan selama fase
akut. Tujuan manajemen fase akut adalah termasuk menutup luka tanpa adanya
infeksi, bekas luka yang minimal, fungsi maksimal, pemeliharaan kenyamanan
sebanyak mungkin, dukungan nutrisi yang memadai, dan pemeliharaan cairan,
elektrolit, dan mempertahankan keseimbangan asam-basa (Martin & Silvain,
2018; Shank et al., 2018).
Pasien dapat terus diberi obat untuk nyeri yang diperlukan, terutama
sebelum perawatan yang biasanya menyakitkan. Luka dibersihkan dan disterilkan
setiap hari untuk mempercepat proses penyembuhan, dan mencegah infeksi
(Basavanthappa & Basavanthappa, 2011; Smeltzer et al., 2015).
4. Asuhan keperawatan
Setelah mengetahui tentang konsep teorinya, maka kita perlu belajar mengenai
asuhan keperawatan pada pasien dengan luka bakar (Sue Moorhead, PhD, RN
Marion Johnson, PhD & Meridean L. Maas, PhD, 2013).
a. Pengkajian
1) Aktifitas/istirahat:
Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area yang
sakit; gangguan massa otot, perubahan tonus.
31. 31
2) Sirkulasi:
Pada cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): Hipotensi (syok);
takikardia (syok/ansietas/nyeri); pembentukan oedema jaringan (semua
luka bakar).
3) Integritas ego:
Ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
4) Eliminasi:
Haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna mungkin
hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot
dalam; diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam
sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada; khususnya pada luka bakar
kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik
gastrik.
5) Makanan/cairan:
Oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.
6) Neurosensori:
Area batas; kesemutan.
Perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam
(RTD) pada cedera ekstremitas.
7) Nyeri/kenyamanan:
Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara ekstern sensitif
untuk disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka bakar
ketebalan sedang derajat kedua sangat nyeri; sementara respon pada luka
bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan ujung saraf; luka
bakar derajat tiga tidak nyeri.
8) Pernafasan:
Serak; batuk mengi; partikel karbon dalam sputum; ketidakmampuan
menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi. Pengembangan
torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas
atau stridor/mengi (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, oedema
laringeal); bunyi nafas: gemericik (oedema paru); stridor (oedema
laringeal); sekret jalan nafas dalam (ronkhi).
32. 32
9) Keamanan:
Kulit umum: Destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5
hari sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa
luka. Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan
pengisian kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung
sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.
Cedera Api: Terdapat area cedera campuran dalam sehubungan dengan
variase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung
gosong, mukosa hidung dan mulut kering, merah; lepuh pada faring
posterior; edema lingkar mulut dan / atau lingkar nasal.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya adalah:
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema jalan nafas bagian
atas, edema di membrane kapiler alveoli
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan injuri thermal
3) Deficit volume cairan berhubungan dengan area luka bakar yang luas,
cairan kapiler yang merembes keluar, dan penurunan intake cairan
4) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kehilangan
darah dan penurunan cardiac output
c. Kriteria hasil dan Intervensi:
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan edema jalan
nafas bagian atas, edema di membrane
kapiler alveoli
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan gangguan pertukaran gas
Mandiri :
1. Kaji status pernapasan; auskultasi
suara nafas tiap 15 menit sekali;
monitor kemampuan ekspansi paru
2. Monitor gas darah arteri dan kadar
CO
3. Monitor adanya suara nafas
tambahan
4. Berikan oksigen melalui non
33. 33
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
pada pasien dapat teratasi, dengan
kriteria hasil :
1. Pertukaran gas meningkat
2. Kadar CO berkurang
3. Suara paru bersih
4. PaO2 80 – 100 mmHg
5. PaCO2 35 – 45 mmHg
rebreathing mask dengan
konsentrasi 100%
5. Elevasikan bagian kepala tempat
tidur
6. Berikan perawatan paru; misalkan
batuk efektif, tehnik nafas dalam 2-4
jam
7. Ambil kultur sputum
8. Berikan bronkodilator dan antibiotik
Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan injuri thermal
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan kerusakan integritas kulit
pada pasien dapat teratasi, dengan
kriteria hasil :
1. Area luka bakar sembuh
2. Tidak ada infeksi
Mandiri :
1. Kaji proses injuri; bila masih teraba
panas, dinginkan dengan air
mengalir atau air steril
2. Kaji area luka bakar untuk menilai
prosentase luka bakar dan
kedalaman luka bakar
3. Lepas pakaian dan perhiasan
4. Jangan berikan es secara langsung
pada area luka bakar
5. Tutup area tubuh pasien dengan
kain bersih
6. Bersihkan luka bakar dengan selang
air mengalir
7. Berikan/oleskan salep topical
8. Balut area dari distal ke proksimal
Deficit volume cairan berhubungan
dengan area luka bakar yang luas,
cairan kapiler yang merembes keluar,
dan penurunan intake cairan
Kriteria Hasil
Mandiri :
1. Dapatkan data BB sebelum dan
sesudah
2. Catat intake dan output cairan
3. Kaji tanda dan gejala hypovolemia
(hipotensi, takhikardia, takipneu,
34. 34
Diagnosa dan Kriteria Hasil Intervensi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan deficit volume cairan pada
pasien dapat teratasi, dengan kriteria
hasil :
1. Pasien mempertahankan volume
sirkulasi adekuat
2. Urine output 50 ml/jam
3. Tekanan darah dalam batas normal
4. Nadi 60 – 100x/menit
5. Mempertahankan berat badan
stabil
rasa haus yang berlebih, kelemahan,
disorientasi)
4. Monitor elektrolit
5. Berikan cairan IV
6. Pasang kateter urine
7. Berikan agen diuretic osmosis
sesuai dengan instruksi
8. Kaji fungsi gastrointestinal
Ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan
kehilangan darah dan penurunan
cardiac output
Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer pada pasien dapat
teratasi, dengan kriteria hasil :
1. Pasien mampu mempertahankan
perfusi jaringan yang adekuat
2. Teraba nadi perifer
3. Ekstremitas teraba hangat
1. Elevasikan area yang injuri diatas
jantung
2. Kaji nadi pada ekstremitas yang
injuri tiap 15 menit sekali
3. Kaji adanya kesemutan, dan
peningkatan rasa nyeri di area yang
injuri
4. Berikan perban atau kassa di area
injuri