Cerita rakyat Madura mengisahkan tentang Ke' Lesap, putra Pangeran Sosro Diningrat yang melakukan pemberontakan melawan kerajaan-kerajaan di Madura pada tahun 1749-1750. Ia berhasil menaklukan Sumenep dan Pamekasan sebelum akhirnya dikalahkan oleh Adipati Pamekasan. Ke' Lesap kemudian menyerang Bangkalan namun dapat dikalahkan oleh Cakraningrat V dengan mengirim wanita
1. Cerita Rakyat Madura
“Pemberontakan Ke’Lesap”
Ke' Lesap adalah putera Madura keturunan dari Pangeran Sosro Diningrat / Pangeran
Tjokro Diningrat III / Pangeran Cakraningrat III (1707-1718) dengan isteri selir.
Pada suatu waktu ia diberitahu oleh ibunya tentang siapa sebenarnya ayahnya.
Sebagai seorang pemuda ia merasa kesal dan berusaha untuk tampil ke depan dengan
berbagai macam keahliannya. Kek Lesap muda memiliki kebiasaan suka sekali bertapa di
Gunung-gunung dan di kuburan-kuburan yang keramat. Pada suatu waktu ia bertapa di
gunung Geger (di Bangkalan) dengan waktu yang cukup lama, hingga setelah bertapa ia
mempunyai beberapa macam keahlian dan terutama keahliannya sebagai dukun untuk
menyembuhkan bermacam-macam penyakit yang diderita oleh orang-orang.
Hal itu terdengar oleh Raja Bangkalan yang bernama Suro Diningrat / Pangeran
Tjokro Diningrat IV / Pangeran Cakraningrat IV (1718-1736). lalu ia dipanggil dan
diperkenankan untuk tinggal di Bangkalan dan diberi hadiah berupa rumah di Desa Pejagan,
selain itu Raja juga mengijinkan ia untuk menjalankan prakteknya sebagai dukun. Sebagai
dukun ia tak segan untuk memberi berbagai macam obat-obatan kepada siapapun yang
menderita sakit.
Diceritakan bahwa Ke' Lesap mempunyai sebuah Calok atau golok yang dinamai
dengan Kodhi' Crancang yang dapat disuruh untuk mengamuk sendiri tanpa ada seorang pun
yang memegangnya, karena kesaktian-kesaktian yang dimilikinya, maka ia makin dikenal
sampai ke seluruh pelosok Madura.
Pemberontakan
Akhirnya Ke' Lesap merasa yakin pada dirinya sendiri bahwa ia sudah cukup mampu
untuk mengobarkan api pemberontakan, keahlian dan kemasyhurannya banyak membawa
simpati pada rakyat, sehingga ketika ia turun dari pertapaannya di gunung Pajuddan dan ia
mulai dapat menaklukan desa-desa yang ia datangi.
Dengan bantuan pengikutnya Ke' Lesap yang dikomandoi oleh panglima perangnya
yang bernama oleh Raden Buka mulai menyerang kerajaan Sumenep pada tahun 1749 - 1750
M. Pertempuran terjadi dimana-mana dan tak lama kemudian Sumenep dapat didudukinya.
Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro IV atau Raden Alza atau Adipati Sumenep XXVIII (
1744 - 1749) sebagai Bupati Sumenep merasa sangat ketakutan, dan ia melarikan diri
bersama-sama keluarganya ke Surabaya dan melaporkan adanya pemberontakan itu kepada
Kompeni Belanda - VOC (1749 M) yang berada di Surabaya.
Setelah keraton Sumenep dapat diduduki, Ke' Lesap menempatkan Raden Buka
sebagai Adipati Sumenep (1749 - 1750).
Selanjutnya Kek Lesap menuju ke Pamekasan melalui jalan sebelah selatan ialah
Bluto, Prenduan, Kaduaradan seterusnya. Dimanapun tempat yang ia lalui, dia selalu
disambut oleh rakyat dengan penuh simpati dan terus rakyat menggabungkan diri sebagai
pasukan pemberontak, Pamekasan dengan mudah pula dapat dikalahkan karena pada waktu
itu Bupati Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro IV (R. Ismail) tidak ada di tempat, karena
ia sedang bepergian ke Semarang.
Raden Adikoro IV tak lain adalah menantu Cakraningrat V yang bertahta di
Bangkalan, sewaktu Adikoro IV kembali dari Semarang dan singgah di Bangkalan ia lalu
mendengar dari mertuanya bahwa Ke' Lesap melakukan pemberontakan, setelah mendengar
berita itu Adikoro IV meminta diri kepada ayahnya untuk berangkat berperang melawan Ke'
Lesap. Ia sangat marah karena memikirkan nasib rakyat pamekasan yang tentunya kocar
kacir karena ditinggal pemimpinnya.
2. Dengan diiringi pengikutnya yang masih setia Adikoro IV terus menuju ke Sampang,
Di kota ini ia berhenti untuk beristirahat sebentar, pada saat makan siang datanglah seorang
utusan Ke' Lesap dengan membawa sepucuk surat yang isinya menantang untuk berperang.
Adikoro IV sangat marah dan serta merta nasinya tidak dimakannya bahkan ia terus berdiri
dan menanyakan kepada orang-orang banyak siapa yang sanggup mengikuti dirinya untuk
berperang dengan Ke' Lesap. Penghulu Bagandan tidak menyetujui untuk berangkat segera
karena hari itu adalah hari naas dan menasehatkan untuk berangkat keesokan harinya saja.
Tetapi adikoro tidak sabar untuk menunggu semalam saja, ia menanyakan lagi siapa
yang sanggup mati bersama-bersama dengan dirinya. Penghulu Bagandan menyahut bahwa ia
yang pertama bersedia untuk mati bersama pemimpinnya karena itu tanpa ditunda-tunda lagi
Adikoro berangkat dengan diikuti penghulu Bagandan dan pengiring-pengiring menuju ke
Pamekasan, Adikoro IV dan pasukannya mengamuk sedemikian rupa sehingga musuhnya
dapat dipukul mundur sampai ke Pangantenan di daerah Pamekasan, namun karena jumlah
pasukan Adikoro sangat sedikit dan ia sendiri sudah amat lelah maka tidak lama kemudian
perutnya terkena senjata sampai ususnya keluar. Tetapi semangatnya tidak padam, dengan
melilitkan tangkai ususnya pada tangkai kerisnya, ia terus mengamuk dengan tombaknya,
rupanya ia kehabisan tenaga juga dan terus jatuh dan meninggal dunia. Demikian pula
Penghulu Bagandan gugur di Medan pertempuran bersama Adikoro IV.
Setelah Adikoro IV dapat dikalahkan maka Ke' Lesap beserta pasukannya terus
menuju ke Bangkalan. Saat itu Bangkalan dipimpin oleh Raden Adipati Sejo Adi Ningrat I /
Panembahan Tjokro Diningrat V / Pangeran Cakraningrat V (1736-1769).
di Bangkalan pertempuran hebat pun dimulai, sebab pasukan Cakraningrat V mengadakan
perlawanan-perlawanan yang cukup berkobar tetapi lama kelamaan pasukan Bangkalan dapat
dipukul mundur dan saat bantuan Kumpeni Belanda telah didatangkan dari Surabaya,
pertempuran terus berkobar kembali.
Bantuan dari Kumpeni belanda tidak dapat bertahan dan terpaksa mundur pula.
Merasa hampir kalah, Cakraningrat V akhirnya mengungsi ke daerah Malajah, sedangkan
Benteng masih dipertahankan oleh Pasukan Kompeni Belanda (VOC), dan waktu itu Ke'
Lesap membuat Pesanggrahan di desa Tonjung.
Pada suatu malam Cakraningrat V bermimpi supaya Ke' Lesap dikirimi seorang
perempuan dengan disuruh memegang bendera putih yang maksudnya Bangkalan akan
menyerah, tipu muslihat itu keesokan harinya dijalankan seorang perempuan diberinya
pakaian Keraton serta disuruh memegang bendera putih dan terus dikirimkan kepada Ke'
Lesap. Ke' Lesap menerima pemberian itu dan wanita si pemberi hadiah itupun dibawa ke
Pesanggrahannya dengan keyakinan bahwa Bangkalan sudah menyerah.
Pada waktu Cakraningrat V menunggu reaksi, Ke' Lesap dengan dikirimkannya
seorang wanita yang memegang bendera putih, tiba-tiba terlihatlah tombak pusaka Bangkalan
yang bernama Ki Nenggolo gemetar dan bersinar-sinar seolah mengeluarkan api,
Cakraningrat V bangkit dari tempat duduknya dan langsung mengambil tombak itu, ia lalu
mengajak pasukannya untuk berangkat berperang guna menumpas pemberontakan Ke' Lesap.
Sesampainya di Desa Tonjung Ke' Lesap sangat terkejut karena Cakraningrat V
datang menyerang dengan tiba-tiba dengan tidak menunggu lama Cakraningrat V mendatangi
pempinan pemberontak itu dan menancapkan tombaknya, pada seketika itu Ke' Lesap
meninggal, Rakyat Bangkalan yang mengikuti Rajanya berseru "Bengkah la'an" yang artinya
sudah matilah. Karena itu sebagian orang Madura mengatakan bahwa nama Bangkalan itu
berasal dari kalimat itu.
Sumber: Wikipedia
3. Nama: Oki Feri Juniawan
NIM: 120210402021
PBSI – FKIP – Universitas Jember
2014
Motif yang ditemukan dalam cerita:
1. Meskipun sudah mendapat penghormatan sebagai dukun, Ke' Lesap masih merasa
belum puas. Ia mempunyai motif untuk memegang pemerintahan di Seluruh Madura.
Ia merasa pantas menjadi penguasa karena mengetahui bahwa dia adalah putera dari
Pangeran Sosro Diningrat / Pangeran Tjokro Diningrat III / Pangeran
Cakraningrat III. Walaupun lahir dari seorang selir, ia tetap berambisi menjadi
penguasa di tanah Madura.
2. Cakraningrat V mengirim seorang perempuan yang diberinya pakaian Keraton serta
disuruh memegang bendera putih dan terus dikirimkan kepada Ke' Lesap (modus).
Hal ini dilakukan dengan motif ingin membunuh Ke’ Lesap ketika ia sedang lengah.