Tema cerpen ini adalah keinginan seorang wanita bernama Novia yang menderita leukimia untuk mendapatkan mawar berwarna biru. Norhuda berusaha mencarikan mawar biru sebagai permintaan terakhir Novia. Setelah berhari-hari mencari, akhirnya Norhuda dibantu oleh seorang lelaki tua gembel untuk menemukan mawar biru di tepi Kali Ciliwung.
3. Udara seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat
inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang
serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku.
Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu
melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal
menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena
leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya
adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah
atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda,
sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah,
putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman
rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru
yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan
persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
“Bukan dalam mimpi?”
“Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di
4. Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan,
dan itu ditangkap oleh Novia.
“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta
darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa
cinta.” Novia berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari
sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung
menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh
sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri
semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga.
Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks
perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah
dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke
sana kemari, mencari mawar berwarna biru.
“Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang
membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan
kenalnya.
“Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun
enggak bakal ada.”
5. “Tapi, Novia pernah melihatnya.”
“Bunga kertas kali!”
“Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya
sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.”
“Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?”
Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak
akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika
Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan
Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan
ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?
* * *
Norhuda duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut
Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut
taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia
masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah
keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah
hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun
fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!’ maka ‘jadilah’. Ya, kenapa aku
tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.
6. “Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah
sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda
tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke
langit.
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan
kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di
sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan
membuatnya mau muntah. Gembel ini pasti tak pernah mandi,
pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera
pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara
parau:
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani
menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan
meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.
7. “Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan.
Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular
berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada
di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban
mereka.”
“Bapak mau pulang sekarang?”
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”
Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru
belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta
diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu
ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua
itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa
menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering
menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki
tua itu.
8. “Bapak tinggal di kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang,
tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak
takut kebablasan lagi.”
Norhuda terpaksa mengantar orang tua tuna netra itu,
dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam
gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya,
mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari
penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis
bersama tuna netra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas
kalau-kalau kepergok kawannya
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini
untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari
pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang
pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,”
kilah lelaki gembel itu.
***
9. ***
Turun dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah
sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah
timur, kemudian mengajak menyusuri sebuah gang. Tiap
ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa
dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur,
hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat
itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman
dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir
sebuah hamparan rerumputan.
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”
Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul,
bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan
rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusuri lereng
Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh
suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya
dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu
menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah,
tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi
bersamanya dari arah belakangnya:
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.”
10. Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada
siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis
di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki
tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya.
Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.
Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak
siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib
begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah
mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di
sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel.
Norhuda merinding memikirkannya.
***
Setelah mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang
terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada
kekasihnya, Novia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia
sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .
Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus
darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya
terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis
duduk di dekatnya dengan wajah cemas.
11. Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Novia
dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah
menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan
untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan
tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.
“Ini.”
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu
menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan
penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat
dalam mimpi. Ini pasti bunga dari surga. Syukurlah, kau dapat
menemukannya. Aku akan memakannya.”
Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai
kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan
senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur
dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.
12. UNSUR INTRINSIK CERPEN
TEMA
Keiinginan seorang wanita yang
menderita leukimia untuk
mendapatkan mawar biru.
14. UNSUR INTRINSIK CERPEN
WATAK
Novia : Lembut, Optimis
Norhuda : Peduli, bertanggung jawab,
kurang sopan, pantang
menyerah.
Lelaki Tua : Sopan, baik, bijaksana.
Mahasiswa :Pesimis, keras kepala.
15. UNSUR INTRINSIK CERPEN
LATAR
Tempat :
Adelweis Room (kamar rawat inap
RS Fatmawati)
Taman MONAS
KRL Stasiun Lenteng Agung
Tepi kali Ciliwung
16. UNSUR INTRINSIK CERPEN
LATAR
Waktu :
Sore hari di Stasiun Lenteng Agung
Dua minggu setelah permintaan
Novia pada Norhuda
17. UNSUR INTRINSIK CERPEN
LATAR
Suasana:
Mengharukan (Norhuda yang
berjuang untuk mencari apa yang
menjadi permintaan terakhir
kekasihnya)
Menyedihkan (Novia yang berjuang
bertahan hidup dari penyakitnya)
Misterius (Lelaki tua gembel datang
dan pergi dengan tiba-tiba)
18. UNSUR INTRINSIK CERPEN
ALUR
Maju (perjalanan Norhuda mencarikan
Novia sekuntum mawar biru)
20. UNSUR INTRINSIK CERPEN
AMANAT
Jangan menyerah untuk melakukan
sesuatu meskipun kemungkinan
untuk berhasil sangat kecil.
21. UNSUR EKSTRINSIK CERPEN
• Nilai Moral
Perbuatan baik akan dibalas oleh
kebaikan, seperti perbuatan Norhuda
yang mengantar si Lelaki Tua tunanetra
untuk pulang ke rumahnya, dan dibalas
dengan diberi petunjuk untuk
menemukan bunga mawar biru yang
sudah lama ia cari.
22. UNSUR EKSTRINSIK CERPEN
• Nilai Keagamaan
Seperti yang dikutip pada monolog berikut:
“Bukankah Tuhan memiliki kekuatan
kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!’
maka ‘jadilah’. Ya, kenapa aku tidak
berdoa, memohon padaNya saja?”
pikirnya.
“Ya Allah, dengan kekuatan kun fa
yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar
biru di depanku saat ini juga,” teriak
Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri,
menadahkan tangan dan mendongak ke
23. UNSUR EKSTRINSIK CERPEN
• Nilai Sosial
Perjuangan Norhuda yang berusaha
memenuhi keinginan kekasihnya yang
di ambang maut, meskipun tahu
permintaan tersebut agak mustahil
dikabulkan.
24. UNSUR EKSTRINSIK CERPEN
• Nilai Budaya
Saling tolong menolong antara
Norhuda dengan si Lelaki Tua biarpun
Norhuda agak berat hati dengan
penampilan lelaki yang gembel dan
lusuh itu.