Teks tersebut membahas tentang pengertian dan pembagian mantuq dan mafhum dalam ilmu ushul fiqih. Mantuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz berdasarkan bunyi ucapan, sedangkan mafhum adalah makna yang ditunjukkan tidak berdasarkan bunyi ucapan. Keduanya memiliki beberapa pembagian seperti nass, zahir, mu'awwal untuk mantuq dan mafhum muwafaqah, mafhum mukhalafah untuk
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
Bab i
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-
Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak
semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau
telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang
lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Ini
menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan
pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi ada ayat yang maknanya tersirat
didalam ayat tersebut.
Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa
faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan
tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama Usul dalam
memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis, melalui lafaz (turq dilalah al-
alfaz)
Oleh karena itu, agar kita semua dapat memahami dan mengetahui hukum
atau makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam makalah ini
akan dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca
mengenai ushul fiqih. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai Mantuq dan
Mafhum, meliputi pengertian serta pembagian-pembagiannya.
2. 2
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi mantuq dan mafhum?
2. Apa sajakah macam-macam pembagian dari mantuq dan mafhum?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini diantaranya bertujuan
untuk:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Qur’an.
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian Mantuq dan Mafhum.
3. Untuk mengetahui macam-macam pembagian dari Mantuq dan Mafhum.
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu banyaknya pembahasan masalah mengenai uraian
masalah diatas, maka penulis membatasi pembahasan tentang makalah ini
sesuai dengan yang terdapat dalam rumusan masalah diatas. Adapun hal-hal
yang tidak termasuk dalam pembahasan di atas, penulisan tidak
menguraiakannya secara detail.
E. Metode Penulisan
Adapun dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode telaah
kepustakaan yang mana dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan
referensi yang diperoleh dari perpustakaan dan referensi lain yang terkait
dengan pembahasan makalah ini.
3. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mantuq dan Mafhum
Petunjuk (dadalah) lafaz kepada makna ada kalanya berdasarkan pada
bunyi (mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas
maupun mengandung kemungkinan makna lain, dengan taqdir. dan ada
kalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhun,arti tersirat)-nya, baik
hukum-nya sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan. inilah yang
dinamakan dengan mantuq dan mafhum.1
B. Definisi Mantuq dan Macam-macamnya.
Mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut
ucapannya, yakni penunjukkan makna yang berdasarkan materi huruf-huruf
yang diucapkan.
Mantuq itu ada yang berupa nass, zahir dan mua’awwal.
1. Mantuq Nass ialah, lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan
makna yang dimaksud secara tegas (sarih), tidak mengandung
kemungkinan makna lain. Misalnya firman Allah:
Artinya: “Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali . itulah sepuluh (hari) yang
sempurna…..”(al-Baqarah (2):196).
Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan
kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain secara majas (metafora). Inilah
yang dimaksud dengan nass. Telah dinukil dari suatu kaum yang
mengatakan, jarang sekali terdapat mantuq nass dalam kitab dalam sunnah.
Akan tetapi Imam Haramain secara berlebihan menyanggah pendapat
1Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera Antarnusa, Bogor, 2009, Hlm. 358
4. 4
mereka tersebut. Ia berkata: “tujuan utama dari mantuq nass ialah
kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti dengan mematahkan
segala ta’wildan kemungkinan. Yang demikian ini sekalipun jarang
terjadibila dilihat dari bentuk lafaz yang mengacu kepada bahasa, akan
tetapi banyak lafaz tersebut karena ia disertai haliyah dan makaliyah.
2. Mantuq zahir ialah, lafaz yang menunjukkan suatu makna yang segera
dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah (marjuh). Jadi, zahir itu sama dengan nass dalam hal penunjukkan
kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia
berbeda dengannya karena nass hanya menunjukkan satu makna secara
tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain meskipun
lemah. Misalnya firman Allah:
(al-Baqarah (2)173). Lafaz “al-bag” digunakan untuk makna “al-Jahil”
(bodoh tidak tahu) dan ‘az-zalim” (melampui batas, zalim). Tetapi untuk
pemakain makna kedua lebih tegas dan popular sehingga makna inilah
yang kuat (Irajih), sedang makna yang pertama lemah (Imarjuh). Juga
seperti firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci…” (al-
Baqarah(2):222). Berhenti haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan
mandi pun disebut (tuhr). Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna
kedua lebih konkrit, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajah, sedang
penunjukan kepaa makna yang pertama adalah marjuh.
3. Mantuq Mu’awwal adalah lafaz yang diartikan dengan makna marjuh
karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang
rajih. Mu’awwal bebeda dengan zahir. Zahir diartikan dengan makna yang
razih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh,
sedang mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang
5. 5
memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua
makna itu ditunjukkan oleh lafaz menurut bunyi ucapnya. Misalnya firman
Allah:
Lafaz janah az-zulli ( ) diartikan dengan “tunduk,tawadu’dan
bergaul secara baik” dengan kedua orang tua, tidak diartikan “sayap”,
karena mustahil manusia mempunyai sayap.
Dalalah Iqtida’ dan Dalalah Isyarah
Kebenaran petunjuk (dalalah) sebuah lafaz kepada makna terkadang
bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Dalalah demikian disebut
dalalah iqtida’. Dan terkadang tidak bergantung pada hal tersebut tetapi lafaz
itu menunjukkan makna yang tidak dimaksud pada mulanya, yang demikian
disebut dalalah isyarah.
Seperti firman-Nya :
“Barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
dia berbuka puasa) maka (wajiblah dia berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkanya itupada hari yang lain (Q.S Al-Baqarah :184)
Artinya dia harus mengqadha sebanyak hari yang ditinggalkanya itu.
Mengqadha puasa bagi musyafir itu hanya diwajibkan apabila dia
membukakan puasanya itu waktu dalam perjalananya itu. Adapun apabila ia
masih berpuasa juga dalam waktu perjalananya itu, maka tidak diwajibkan
mengqadha.2
Dinamakan iqtida’ (memperlakukan) karena memperlakukan kata-kata
lalu ditambahkan kepada lafaz.
2Halimudin,Pembahasan Ilmu Al-Quran 2, PT Rineka Cipta, Jakarta,1994, hlm. 59
(al-Isra’()17:24).
6. 6
Seperti firman-Nya :
“Dihalalkan bagi kamu pada mlam hari puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu. Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan allah untukmu. Dan makanlah makanan dan minuman sampai jelas
kelihatanya bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Q.S Al-
Baqarah: 187)
Ayat ini menunjukan atas sahnya berpuasa bagi orang yang junub pagi
hari. Karena diperbolehkan bersetubuh sampai terbit fajar dimana waktu sudah
sempit untuk mandi. Ini sudah merupakan suatu kepastian bila junub diwaktu
bersetubuh sampai akhir malam. Sudah tidak lapang lagi waktu untuk mandi
sebelum fajar. Di perbolehkan junub diwaktu subuh.3
Kedua dalalah ini iqtida’ dan isyarah, juga didasarkan pada mantuq, maka
keduanya termasuk bagian dari mantuq. Dengan demikian, mantuq meliputi:
nass, zahir, mu’awwal, iqtida’, dan isyarah.
3Ibid., hlm. 60
7. 7
C. Definisi Mafhum dan Macam-macamnya
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan
pada bunyi ucapan. Ia terbagi menjadi dua, mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
1. Mafhum muwafaqah ialah makna yang hukumnya sesuai dengan mantuq.
Mafhum ini ada dua macam:
a. Fahwal Khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus
diambil hukumnya daripada mantuq. Misalnya keharaman mencaci-
maki dan memukul kedua orang tua yang dipahami dari ayat:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan ‘ah’…” (al-Isra’ (17):23). Mantuq ayat ini adalah
haramnya mengatakan “ah”, oleh karena itu keharaman mencaci maki
dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
b. Lahnul Khitab, yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan
hukum mantuq. Misalnya dalam firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya..”
(an-Nisa’(4):10). Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar
harta anak yatim atau menyia-nyiakannya dengan cara pengrusakan
yang bagaimanapun juga. Dalalah demikian disebut lahnul Khitab,
karena ia sama nilainya dengan memakannya sampai habis.
Kedua mafhum ini disebut mafhum muwafaqah karena makna yang tidak
disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum yang diucapkan, meskipun
8. 8
hukum itu memiliki nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang
kedua4. Dalalah dalam mafhum muwafaqah itu termasuk dalam kategori
“mengingatkan kepada yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah atau
kepada yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi.” Kedua macam ini
terkumpul dalam firman Allah:
“Dan diantara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan diantara
mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepada satu dinar, tidak
dikembalikannya kepadamu…” (Ali ‘Imran (3):75).
2. Mafhum mukhaafah, ialah makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.
Mafhum ini ada empat macam:
a. Mafhum sifat. Yang dimaksud ialah sifat Ma’nawi, seperti musytaq
(kata turunan) dalam ayat:
“Hai orang-orang beriman, jika dating kepadamu orang fasik
membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti…” (al-
Hujarat(49):6). Pengertian yang dipahami dari ungkapan kata “fasik”
(orang fasik) ialah bahwa oang yang tidak fasik tidak wajib diteliti
beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seorang
yang adil wajib diterima.
b. Mafhum syarat, seperti firman Allah:
4Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera Antarnusa,Bogor, 2009, Hlm. 362
9. 9
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.” (at-Talaq(65):6).
Makna atau mafhumnya ialah istri yang dicerai tetapi tidak sedang
hamil, tidak wajib diberi nafkah.
c. Mafhum gayah (maksimalitas). Misalnya:
“kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan
suami yang lain…” (al-Baqarah (2):230). Mafhumnya ialah istri
tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang
lain dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan.
d. Mafhum Hasr (pembatasan, hanya). Misalnya :
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepa
Engkaulah kami memohon pertolongan.” (al-Fatihah (1):5).
Mafhumnya ialah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak
dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat tersebut menunjukkan
bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
D. Berhujjah dengan Mafhum
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat
paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil,
argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain :
a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum.
Maka kata-kata “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam ayat :
10. 10
“…dan anak-anak perempuan dari istri-istrimu yang ada dalam
pemeliharaanmu…” (an-Nisa’ (4):23), tidak ada mafhumnya, (maksudnya,
ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi – peny.), sebab pada umum nya
anak-anak perempuan istri itu berada dalam pemeliharaan suami.
b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Maka tidak
ada mafhum bagi firman Allah:
“Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah,
padahal tidak ada satu dalil pun baginya tentang itu..” (al-mukminun
(23):117). Sebab dalam kenyataannya tuhan mana pun selain dari Allah
tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “padahal tidak ada satu dalil pun baginya
tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk
memperkuat realita dan menghinakan orang yang menyembah tuhan di
samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah tuhan-tuhan
itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
11. 11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
menurut ucapannya, yakni penunjukan makna yang berdasarkan materi huruf-
huruf yang diucapakan. Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh
lafadz itu sendiri di tempat pembicaraannya.
Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
tidak berdasarkan bunyi ucapan ( makna tersirat). Dengan kata lain mafhum ialah
pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan,
tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut.
Mantuq terdiri atas 3 macam yaitu nass, dzahir dan mu’awwal. Sedangkan
mafhum terbagi atas dua macam yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukholafah. Mafhum muwafaqah terdiri dari fahwal khittab dan lahnal khittab,
sedangkan mafhum mukholafah terdiri dari mafhum sifat, mafhum syarat,
mafhum ghayah, mafhum hasr.