Makalah ini membahas pemahaman mengenai fiqih ibadah. Ibadah dijelaskan sebagai taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya. Terdapat tiga jenis ibadah yaitu ibadah hati, lisan, dan badan. Ibadah hanya dapat diterima jika sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah.
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PEMAHAMAN FIQIH IBADAH
1. MAKALAH
PEMAHAMAN MENGENAI FIQIH IBADAH
PEMBINA : BAPAK ABDUL HAMID ALY, S.Pd., M.Pd
DISUSUN OLEH KELOMPOK 6:
1. ELISA ERICA A.R (21901083005)
2. ULFA MUAWIYAH (21901083010)
3. KHURIYATUL MAULIDA (21901083029)
4. EVITA NUR AISYAH (21901083032)
KELAS P.01
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puji
dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-
Nya sehingga kami bisa menyusun makalah ini tentang “PEMAHAMAN MENGENAI ILMU
FIQIH”
Makalah ini telah kami susun secara maksimal atas bantuan dari beberapa pihak sehingga
makalah ini bisa selesai dengan lancar. Untuk itu, kami selaku penyusun banyak berterimakasih
kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi
susunan serta cara penulisan laporan ini, karenanya saran dan kritik yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan laporan ini sangat kami harapkan.
Akhirnya, semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan juga
bermanfaat bagi penyusun pada khususnya.
Malang, 30 September 2019
Penyusun
3. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu yang tentunya memiliki sifat ilmiah, logis, memiliki
objek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan
perasaan. Juga bukan tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual. Pembekalan materi yang
baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan
memiliki budi pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan peserta didik dalam
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern sekarang semakin
banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan syariah. Oleh karena itu,
kita membutuhkan dasar ilmu dan hukum islam untuk menghadapi permasalahan di sekitar kita.
Tujuan pembelajaran fiqih adalah untuk membekali mahasiswa agar dapat mengetahui dan
memahami pokok-pokok hokum islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli
dan dalil aqli melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hokum Islam yang benar.
Fiqih merupakan cabang ilmu yang bersifat ilmiah, logis, serta memiliki objek dan kaidah
tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan
seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual. Pembekalan materi yang baik dalam
lingkup sekolah akan membentuk pribadi yang mandiri, tanggung jawab, dan memiliki budi
pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan mahasiswa dalam mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern sekarang semakin banyak masalah-masalah
muncul yang membutuhkan kajian fiqih dn syari’at. Oleh arena itu, mahasiswa perlu dasar ilmu
dan hokum islam untuk menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.
Dalam mempelajari fiqih, bukan sekedar teori yang berarti tentang ilmu yang jelas
pemeblajaran yang bersifat amaliyah, harus mengandung unsur teori dan praktek. Belajar fiqih
itu diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat dilaksanakan, bila berisi larangan,
harus ditinggalkan atau dijauhi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang kamu ketahui tentang ibadah?
2. Apa klasifikasi ibadah?
3. Apa ruang lingkup ibadah?
4. Apa motivasi dan tujuan ibadah?
5. Apa hikmah ibadah dalam kehidupan sehari-hari?
4. C. TUJUAN PENULISAN
Pada prinsipnya pelajaran fiqih yang diajarkan di universitas berbasis islam bertujuan
untuk membekali para mahasiswa agar memiliki pengetahuan tentang hukum Islam dan
mampu mengaplikasikannya dalam bentuk amal praktis. Dengan demikian, terlihat
bahwa sasaran yang diharapkan dari pembelajaran fiqih tidak hanya pada sisi kognitif,
tetapi juga pada perkembangan ranah efektif dan psikomotorik, dimana siswa harus
mampu bertanggung jawab dalam mengamalkan ajaran Islam yang diterimanya tersebut.
Dari uraian diatas, perlu kiranya dilakukan penyuluhan dan penjelasan kepada para
mahasiswa tentang kedudukan atau hierarki hukum Islam sebagai hukum positif dalam
tata hukum nasional di Negara Republik Indonesia. Bertitik tolak dari latar belakang ini,
maka diajukanlah usulan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang berjudul
Penyuluhan Pemberlakuan Hukum Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada
para mahasiswa di Universitas Islam Malang (UNISMA)
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini diharapkan bagi para pembaca makalah ini
bisa mendapatkan tambahan wawasan mengenai ilmu fiqih dan hokum syari’at Islam
yang baik dan benar. Dan diharapkan bagi para pembaca makalah ini bisa menjadi
merubah pola pikirnya menjadi lebih kritis tentang pendalaman mengenai ilmu fiqih dan
hokum syari’ah Islam.
5. BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN IBADAH
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut
syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu.
Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-
Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang
paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa
Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini
adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah
(takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta
masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
وَم َا خَلَقْت قْم ِنَّلوْم نِن ْتنإ وَم ْنايِنُلَُنْ َاْأ َِيْ ل م َا َ ْ ل م نرلٍََِّْ وَم َا ن نْدَ ل م ُْ َْنِّل م انإ نَمََََ م َْنا َ َمز َيْأ ْْين ُْلَّنن يَإ نِن ْتنإ
6. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi makan kepada-Ku.
Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
[Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar
mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak
membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena
ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah,
ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah
kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang
mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut),
raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’.
Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-
hamba-Nya yang mukmin:
نَُيُُّْ ْنمن َا لِنَُُّّ ْنمن
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
ْ َ قْز نوُنآ َُِّوَإ ْمنوَمح َ نِّْلَ م َا
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
َ نُْْوَوٍ َووَ ْمنيوَع َا َ ِوَُاَت َا ِوَُتَت َووَيْنولَِن َا ْغمََلنََل م بْا َْينو ْوتَونن ْمنيوَع لِنََّيْأ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan
dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-
orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
7. Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia
adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4].
Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5].
Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin
muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah
(bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مََت َْنََّا َوينَلمَإ ُْلنََْو َِلنَ ِرَ َو ََْ َو ل َم.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar
kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan
syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah
yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َل لٍَْ َا َا ُْقََْت َِوْو نُ نَلهَإ نََُْا َ ْولمنم َْنا َا ْ َ ْز نََُّله َا ََِْلهَإ ل َم َوَََْ َْينيَِلمَن لِنا َا َا لَِّْلنََْو
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya
dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
8. Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin
(berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya
kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan
bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman:
َآَإ ُْقََْت ََُْوََُُْْ ل َْل نن َا َا وِمْ وَْ ِرَ َو لََ لَُنلَْا ُْقََْت َ وَِّْ ْنهلََن َويَع َ َاِمِ
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan
amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.”
[Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha
illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya.
Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka,
beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ قنِْ م نَُ وِخْْلَنم َ َمز ِْنُلووَا
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
9. 2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak
Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara
yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat
tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh
bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya
sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian
halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya
karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan
kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut
syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya.
Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab
suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ٍْمََ ََِوَََّه َْينْنٍلَِنَه بَََْوَُْو ل َو َاينَُْلََّدلوَن َ نِّْلَ م َيْأ لِنََّ لا ْ َدلهَإ بْيْنولَم نِنَََُّّت َدوَخ َا َ ن َْ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan
tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan
untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
10. Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan
mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi
segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah
lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan
minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan
kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada
makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan
ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan
beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan
dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan
selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama,
bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang
tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan
yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni
ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang
merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan
kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati
melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah
hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang
lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan
berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika
dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit,
semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya
dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap
dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia
berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
11. Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih
keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
2. KLASIFIKASI IBADAH
Para ulama yang sholeh terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah
mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah
Landasan klasifikasi adalah
Ibadah mahdhah = KA + SS , Karena Allah + Sesuai Syariat
Ibadah ghairu mahdhah = BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah
Ibadah mahdhah atau ibadah bersifat khusus (khas, khashashah) adalah segala perkara yang
telah diwajibkanNya meliputi menjalankan apa yang telah diwajibkanNya jika ditinggalkan
berdosa dan menjauhi apa yang telah dilarangNya atau diharamkanNya jika dilanggar berdosa.
Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah terlarang.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal
ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah
adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Ibadah ghairu mahdhah atau ibadah bersifat umum (‘Amm, ‘ammah ) adalah segala perkara yang
diizinkanNya atau dibolehkanNya meliputi segala amal kebaikan yakni segala perkara yang jika
dikerjakan mendapatkan kebaikan (pahala) dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Pelaku bid’ah (perkara baru) dalam ibadah mahdhah seperti mereka yang mengada-ada dalam
syariat atau mengarang syariat atau mengada-ada dalam urusan agama (urusan kami)
Contoh mereka yang mengada-ada dalam syariat atau mengarang syariat atau bid’ah dalam
ibadah mahdhah adalah mereka yang melakukan sholat subuh 3 raka’at atau orang yang
menetapkan cara sholat berdasarkan pemahamannya sendiri secara otodidak (shahafi) terhadap
12. Al Qur’an dan As Sunnah padahal dia bukanlah ahli isitidlal atau dia tidak dikenal
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku
sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Oleh karenanya mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dalam perkara sholat mengikuti
hasil ijtihad dan istinbat (menetapkan hukum perkara) yang dilakukan oleh Imam Mazhab yang
empat karena mereka telah diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sebagai pemimpin atau
imam mujtahid mutlak.
Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya
ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar
ditemukan pada masa kini.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah
adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash.
Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat
disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara
pengambilan kesimpulannya berbeda.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan
adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman
semata yang dapat menyesatkan orang banyak.
Berikut contoh lain perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah yang merupakan bid’ah
dholalah
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya :
“Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu ?”
13. Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-
orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
(QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan
sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Kesimpulannya terlarang bid’ah dalam ibadah mahdhah yakni mewajibkan yang tidak
diwajibkanNya
Ibadah ghairu mahdhah meliputi muamalah, kebiasaan atau adat.
Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah)
dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan.
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta
yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh
saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang
atau mengharamkannya“.
Perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni dalam perkara muamalah, kebiasaan
atau adat hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama tidak melanggar laranganNya atau selama
tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh). Maksud dari prinsip ini adalah
bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada
yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu
yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan
keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
14. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah
[2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu
apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan
batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah
nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya. Dia hanya
mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu
sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan
wilayah halal sangatlah luas.
Begitupula kaidah yang serupa berbunyi,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhoh) kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak
dilarang suatu muamalah, kebiasaan atau adat (ibadah ghairu mahdah) kecuali yang diharamkan
oleh Allah.”
Jadi sesuatu perkara yang tidak dilakukan, dicontohkan atau disampaikan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam belum tentu bid’ah dholalah selama perkara tersebut termasuk ibadah
ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat dan tidak menyalahi laranganNya
atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Sehingga jika kita akan melakukan suatu perbuatan di luar pekara ibadah mahdhah atau jika kita
akan melakukan suatu perbuatan dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara
muamalah, kebiasaan atau adat yang menurut pengetahuan kita belum pernah dilakukan atau
dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita pergunakan hukum taklifi
yang lima yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram, barulah putuskan melakukan
atau tidak melakukan.
15. Jika perbuatan tersebut melanggar laranganNya maka tinggalkanlah dan jika perbuatan tersebut
tidak melanggar satupun laranganNya maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Jika ragu memasukkan kedalam hukum taklifi yang lima maka inilah yang disebut perkara
syubhat (perkara yang meragukan).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Tinggalkan perkara yg meragukanmu menuju
kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati
sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak
diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat,
maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang
menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya,
maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan
larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Namun ketika dalam keadaan ragu menetapkan ke dalam hukum taklifi yang lima maka tidak
boleh menghukum perbuatan orang lain.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin
Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai,
maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan
untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan
yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Begitulah nasehat ulama-ulama terdahulu bahwa jika kita mendengar perkataan atau melihat
perbuatan saudara muslim kita yang menurut kita tidak baik atau yang menurut kita tidak pernah
dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka janganlah cepat-
cepat menilai atau berprasangka buruk bahwa itu adalah bid’ah dholalah.
16. Contoh kebiasaan bersedekah untuk anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat jum’at adalah
kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya.
Begitupula Sayyidina Abu Bakar radhiyallahuanhu tentang pengumpulan Al Qur’an adalah suatu
kebaikan maksudnya perkara baru (bid’ah) dalam kebaikan atau perkara baru (bid’ah) dalam
kebiasaan atau adat yang baik
Dalam suatu riwayat Sayyidina Abu Bakar radhiyallahuanhu memanggil Zaid bin Tsabit sembari
berkata padanya : “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang berakal cerdas dan
konsisten. Engkau telah menulis wahyu di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka
aku memintamu untuk mengumpulkannya”. Zaid menjawab : “Demi Allah, seandainya engkau
memaksaku untuk memindahkan satu gunung dari gunung yang lain maka itu tidak lebih berat
bagiku daripada perintahmu kepadaku mengumpulkan Al – Qur’an”. Aku berkata : “Bagaimana
engkau melakukan sesuatu yang belum pernah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Dia
menjawab : “Demi Allah, itu membawa kebaikan”. Abu Bakar senantiasa “membujukku” hingga
Allah melapangkan dadaku, sebagaimana sebelumnya Dia melapangkan dada Abu Bakar dan
Umar. Maka akupun mulai mencari Al – Qur’an, kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan
– kepingan batu dan dari hafalan – hafalan para penghapal, sampai akhirnya akan mendapatkan
akhir surat Taubah berada pada Abu Khuzaimah Al – Ansari. Zaid bin Tsabit bertindak sangat
teliti dan hati – hati.
Begitupula perkataan Sayyidina Umar radhiyallahuanhu “Alangkah bagusnya bid’ah ini!” yang
diucapkan pada malam berikutnya adalah berkesinambungannya orang-orang melakukan sholat
tarawih berjama’ah di belakang seorang imam walaupun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mencontohkan meninggalkannya beberapa malam.
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia
berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan
menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada
yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang
dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat
berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan
17. keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin
Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang
shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Alangkah
bagusnya bid’ah ini!” (atau diterjemahkan juga sebagai “sebaik-baik bid’ah adalah ini”)
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu
pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat
tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270).
Hal yang dikhawatirkan atau dihindari oleh Rasulullah adalah sholat tarawih menjadi suatu
kewajiban atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga beliau mencontohkan
meninggalkan sholat tarawih pada beberapa malam.
Contoh lain, perintahnya adalah berdoalah dan bersholawatlah. Namun berdoa dan bersholawat
tidak wajib sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Berdoa dan bersholawat boleh
mempergunakan bahasa kita sendiri yakni bahasa Indonesia atau bahasa daerah.
Contoh untaian doa dan dzikir atau ratib Al Haddad , tentulah Rasulullah tidak pernah membaca
ratib Al Haddad karena ratib Al Haddad dibuat oleh Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad
sekitar 1071 H namun ratib Al Haddad tidak termasuk bid’ah sayyiah ataupun bid’ah dholalah.
Untaian doa dan dzikir, Ratib Al Haddad termasuk perkara baru dalah ibadah ghairu mahdhah
atau perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan.
Contoh bid’ah hasanah yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ~rahimahullah adalah beliau sering
bersholawat dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Al- Mazani bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam Al-Syafi’i. Lalu saya
bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah terhadap diri Anda?”
18. Beliau menjawab, Allah telah mengampuni diriku berkat shalawat yang aku cantumkan di dalam
kitab Al-Risalah, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammadin kullama dzakaraka al-Dzakiruna
wa Shalli ‘ala Muhammadin kullama ghafala ‘an dzikrik al-Ghafiluna.”
Sementara itu, Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Ihya’ menuturkan hal berkut: Abu Al-Hasan
Al-Syafi’i menuturkan, “Saya telah bermimpi melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
lalu saya bertanya, “Ya Rasulullah, dengan apa Al-Syafi’i diberi pahala dari sebab ucapannya
dalam kitab Al-Risalah: Washallallahu ‘ala muhammaddin kullama dzakara al-Dzdakirun
waghafala ‘an dzikrik al-ghafilun?’ Rasulullah menjawab: ‘la tidak ditahan untuk dihisab.”‘
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ishaq bin Abdullah bin
Abi Thalhah dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Mimpi baik
yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian
kenabian.” (HR Bukhari 6468)
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim; Telah menceritakan kepada kami
Rauh; Telah menceritakan kepada kami Zakaria bin Ishaq; Telah menceritakan kepadaku Abu
Az Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Barang siapa bermimpi melihatku dalam tidurnya, maka sesungguhnya dia
benar-benar melihatku; karena setan itu tidak dapat menyerupai bentukku.” (HR Muslim 4210)
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Shabbah Telah menceritakan kepada kami
Mu’tamir aku mendengar Auf telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sirin
bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Jika akhir zaman semakin mendekat, mimpi seorang mukmin nyaris tidak bohong, dan
mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh bagian kenabian, dan apa yang
berasal dari kenabian tentu tidaklah bohong. (HR Bukhari 6499)
Jadi boleh kita membuat sholawat sebagaimana kita ingin mengungkapkan kecintaan kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama matan atau redaksi sholawat tidak bertentangan
dengan Al Qur’an dan As Sunnah
19. Perkara baru (bid’ah) dalam perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi
laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka termasuk bid’ah yang
sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
نُلوَو نّ َب ْع َت بُْْاَوق م َدَو-خ َا أ نََْو م نَْولُِْ م َْنََّا مَََُِإ لاَإ ِوووَ لهْأ لاَإ َِْونه لاَإِوََودْع َََْوٍ َا َََِلآَإَوم لَِ َا َْلنََ م َ ْم َََِلآَإَوم
نََُ لْن لمَ م نَْولُِْ م َْنََّا ََْ َإ ل ْمِولانَو نَْْوَنن-(ُيشمح ُيمعأ 313 ص 1ييبدمطدم - ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa
Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat
Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala
kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak
menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah
mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
م َاَ ْم لَريوَع ليْأ َا أََْوَوَآ َبََّْا ْعلََ م لبْا خ َولمَدلونم َرلمََ نج ْتَِلوََ وَ ْم لَريوَع ليْأ وَََّيَإ نلننِّْلمَد َبََّْا ْعلََ م لبْا خَُْلَِّدلونم َرلمََ نج ْتَِلوََ و
ََْمَُلَِّدلونم .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa
jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti
termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah
yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang
membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan
pokok-pokok syar’i “ maksudnya perbedaan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah tidak
bertentangan atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Dalam sebuah hadist qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku
20. wajibkan (ibadah mahdhah), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan
amal kebaikan (ibadah ghairu mahdah) maka Aku mencintai dia” . (HR Bukhari 6021)
Jadi ibadah mahdhah tujuannya sebagai bukti ketaatan kepada Allah ta’ala yakni menjalankan
apa yang telah diwajibkanNya yakni menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
yang dilakukan atas dasar ketentuanNya sedangkan ibadah ghairu mahdhah tujuannya untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan atas dasar kesadaran sendiri untuk meraih ridho
Allah ta’ala.
Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah, “Seandainya Anda tidak dapat sampai (berjumpa) kehadhirat
Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang
melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya. Tetapi
apabila Allah menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya, maka Allah akan menutupi
sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-
Nya. Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan
karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Lan yadhula
ahadukumul jannata bi ‘amalihi”. Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya semata-
mata.
Kemudian salah seorang bertanya, “Wa laa anta yaa Rasuulallaahi?” Tidak pula engkau ya
Rasulullah?
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Wa laa anaa illa an yataghamada
niiyallaahu bi rahmatihi.” Tidak juga aku, melainkan Allah mengkaruniai aku dengan rahmat-
Nya
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun
dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
21. “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)
akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling
baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat
kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
REPORT THIS AD
3. RUANG LINGKUP IBADAH
Sebelum membicarakan mengenai ruang lingkup ibadah, tentu kita harus mengetahui terlebih
dahulu apasih ruang lingkup itu?.. Menurut Ibnu Taimiyah (661-728 H/1262-1327 M) yang
dikemukakan oleh Ritonga, ruang lingkup ibadah merupakan mencakup semua bentuk cinta dan
kerelaan kepada Allah, baik itu dalam perkataan maupun dalam perbuatan, lahir maupun batin.
Yang termasuk dalam pengertian ini adalah shalat, zakat, haji, baik dan benar dalam
pembicaraan, amanah, berlaku baik kepada kedua orang tua, menepati janji, menjalin
silaturrahmi, jihad terhadap orang kafir, berbuat baik pada anak yatim, tetangga, fakir miskin dan
ibnu sabil, amar ma’ruf nahi munkar, berdzikir, berdo’a, membaca Al-Qur’an menerima qada
dan qadar Allah, dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu Taimiyah, ruang lingkup ibadah cakupannya sangatlah luas. Bahkan menurut
Ibnu Taimiyah, semua ajaran agama termasuk kedalam ibadah. Akan tetapi untuk mempermudah
akan diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:
1. Kewajiban-kewajiban atau rukun-rukun syari’at, yakni shalat, zakat, puasa, dan haji.
2. Tambahan dari kewajiban-kewajiban dalam bentuk ibadah sunnah, yakni berdzikir, membaca
Al-Qur’an, berdo’a dan istighfar.
3. Segala hal yang dalam bentuk hubungan sosial yang baik dan pemenuhan hak-hak manusia,
seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil,
menjalin silaturrahmi, dan lain sebagainya.
22. 4. Akhlak Insaniyah, yakni yang bersifat kemanusiaan. Contoh menjalankan amanah, menepati
janji, benar dalam berbicara, dan lain sebagainya.
5. Akhlak Rabbaniyah (bersifat ketuhanan) yakni mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada
Allah, ikhlas dan sabar terhadap hukum-Nya.
Dari kelima kelompok diatas, dapat diklasifikasikan lebih khusus, yakni ibadah umum dan
ibadah khusus. Ibadah umu ini memiliki cakupan yang sangat luas, yakni segala bentuk amal
kebajikan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan sulit untuk mengemukakan sistematikanya.
Sedangkan ibadah khusus ditentukan oleh syara’ (nas) tentang bentuk dan caranya.
Sistematika Ibadah
Adapun sistematika ibadah sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhayli, adalah
sebagai berikut:
1. Thaharoh
2. Shalat
3. Penyelenggaraan jenazah
4. Zakat
5. Puasa
6. Haji dan Umrah
7. I’tikaf
8. Sumpah dan Kaffarah
9. Nadzar
10. Qurban dan Aqiqah
4. MOTIVASI DAN TUJUAN IBADAH
Pertama, dia melaksanakan ibadah karena ia takut dosa apabila dia tidak mengerjakannya.
Dampak motivasi pertama ini adalah seseorang menganggap ibadah ini hanya sebagai beban, ia
melakukannya hanya karena untuk menggugurkan kewajibannya. Motivasi ini ibaratnya seperti
seorang budak, ketika dia disuruh, baru dia mengerjakannya.
Kedua, dia melaksanakan ibadah karena ia mengharapkan pahala dari apa yang ia kerjakan.
Dampak motivasi kedua ini adalah seseorang melakukan ibadah hanya pada waktu tertentu saja,
contohnya di Bulan Ramadhan yang dijanjikan berkali-kali lipat pahalanya, ketika bulan
Ramadhan telah lewat, maka ia mengurangi ibadahnya, bahkan meninggalkannya naudzubillah..
Motivasi ini ibaratnya seperti seorang anak-anak, yang ketika mengerjakan sesuatu, pasti ingin
mendapatkan imbalan.
23. Ketiga, dia melaksanakan ibadah karena ia mengharapkan ridho Allah SWT. Apa itu ridho?
Ridho artinya rela, mengharapkan Ridho Allah SWT artinya kita mencari apa yang membuat
Allah SWT rela kepada kita. Seseorang yang memiliki motivasi ini memiliki semangat untuk
menjamin kualitas ibadahnya, bukan kuantitas. Ia mencoba untuk merenungi setiap makna dari
ibadah, apa makna setiap gerakan dalam solat, apa makna setiap bacaan Al Qur’an. Banyak
saudara kita yang hanya membaca Al Qur’an (mungkin termasuk saya) tanpa memahami atau
bahkan tidak mengetahui apa artinya (memang benar, membaca saja kita sudah mendapatkan
pahala). Tetapi, implementasi atau pengaplikasian dalam kehidupan sehari lah yang seharusnya
kita tanamkan dalam diri kita melalui pemahaman ibadah-ibadah yang kita lakukan setiap hari.
Dan yang paling utama adalah seseorang beribadah karena ia cinta kepada Allah SWT dan agama
yang di ridhoi-Nya, agama Islam. Seseorang yang cinta pada sesuatu pasti akan melakukan segala
sesuatu demi apa yang dicintainya. Begitu pun seseorang yang beribadah karena cinta kepada
Allah SWT dan Islam, ia melakukannya karena pikiran dan tubuhnya tergerak oleh yang namanya
cinta. Ibarat bobotoh yang cinta kepada Persib, dimanapun Persib bertanding, pasti akan ada
bobotoh yang akan setia menonton dan mendukung Persib. Begitu pula seseorang yang beribadah
karena telah merasakan cinta kepada Allah SWT dan Islam, semua yang dilakukan oleh dirinya
semata-mata hanya untuk Allah SWT dan Islam.
Sebenarnya, apapun motivasi kita dalam beribadah tidak masalah, selama ibadah yang kita
lakukan tidak diniatkan hanya untuk riya. Namun, terdapat keutamaan yang dapat kita peroleh
ketika kita menaikan kadar motivasi kita dalam beribadah. Karena, sesungguhnya yang hanya bisa
menilai ibadah kita diterima atau tudak, ialah hanya Allah SWT, dan kita berharap dan saling
mendoakan agar ibadah kita dapat diterima oleh Allah SWT dan hidup kita ini senantiasa
diberikan petunjuk agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin ya Rabbal Alamiin.
5. HIKMAH IBADAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
1. Tidak Syirik, م لناِن لهم َا ْلل ِْ لَِّّْلَ م َ نٍََََِّّْ لْيم لِندلونع نَُونْم َي لناِنُلََُ ..dan melainkan bersujudlah
kepada Allah, yang telah menciptakan mereka, jika benar-benar hanya kepada
Nya kamu menyembah (beribadah) [Ha Mim As Sajdah 41:38]. Seorang hamba
yang sudah berketapan hati untuk senantiasa beribadah menyembah kepada Nya,
maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala
sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga
tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli Nya dan dapat dijadikan tempat
bernaung.
2. Memiliki ketakwaan, وََُّّنَون نونَو م م لناِنُلوم نِنََََّت لَِّّْلَ م لِنٍََََِّّْ َا َ لنِّْلَ م ل ْم لِنَّْْلَُخ لِنََََُّْ َي لْنَِّدََ Hai
manusia, sembahlah Tuhan mu yang telah menjadikan kamu dan juga orang-
orang sebelummu supaya kamu bertakwa [Al Baqarah 2:22]. Ada dua hal yang
melandasi manusia menjadi bertakwa, yaitu karena cinta atau karena takut.
Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia
setelah merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia
melihat kemurahan dan keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah
kepada Nya. Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena
manusia menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai
24. kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban
adakalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan balasan dari
pelanggaran karena tidak menjalankan kewajiban.
3. Terhindar dari kemaksiatan, ...مي ُْْ خ م وَّو َ و و فم م ََّ و ..ام
Sesungguhnya shalat mencegah orang dari kekejian dan kejahatan yang nyata [Al
Ankabut 29:46]. Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat
menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa
dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang
harus selalu dipakai dimanapun manusia berada.
4. Berjiwa sosial, ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan
keadaan lingkungan disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari
ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia
merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan orang-orang yang kekurangan.
Sehingga mendorong hamba tersebut lebih memperhatikan orang-orang dalam
kondisi ini.
5. Tidak kikir, وََم َا َدوَ ل م ْوَو ُقُْنآ َّْاَإ َولَنِّل م و دَنل م َا َ لنَّْوَ ل م َا ْ لَم َا ا َِْْلنَُْو م َ لنِْْْوَو م َا َا وْا
اَْوَخ َْق م dan karena cinta kepada Nya memberikan harta benda kepada ahli kerabat,
dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, dan kaum musafir, dan mereka
yang meminta sedekah dan untuk memerdekakan sahaya. [Al Baqarah 2:178].
Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah
SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena
kecintaan manusia yang begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa
dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT,
senantiasa dawam menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari
bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk
keperluanya semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk
pengorbanan harta untuk keperluan umat.
6. Merasakan keberadaan Allah SWT, َِّّْلََم َ مَََن َ لن ْآ نق لْنََِّ ََََََُُِّّْ َا وْا َ لنِْ ْوهَو م Yang Dia
melihatmu sewaktu kamu berdiri (shalat) dan bolak balik dalam sujud Ketika
seorang hamba beribadah, Allah SWT benar-benar berada berada dihadapannya,
maka harus dapat merasakan/melihat kehadiran Nya atau setidaknya dia tahu
bahwa Allah SWT sedang memperhatikannya.
7. Meraih martabat liqa Illah, .....نَِن ّْ ََ لَْا ال ْاِْلنَم Tangan Allah ada diatas tangan
mereka [Al Fath 48:11]. Dengan ibadah seorang hamba meleburkan diri dalam
sifat-sifat Allah SWT, menghanguskan seluruh hawa nafsunya dan lahir kembali
dalam kehidupan baru yang dipenuhi ilham Ilahi. Dalam martabat ini manusia
memiliki pertautan dengan Tuhan yaitu ketika manusia seolah-olah dapat melihat
Tuhan dengan mata kepalanya sendiri. Sehingga segala inderanya memiliki
kemampuan batin yang sangat kuat memancarkan daya tarik kehidupan suci.
Dalam martabat ini Allah SWT menjadi mata manusia yang dengan itu ia melihat,
menjadi lidahnya yang dengan itu ia bertutur kata, menjadi tangannya yang
dengan itu ia memegang, menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar,
menjadi kakinya yang dengan itu ia melangkah.
8. Terkabul Doa-doanya, نلان ْهنم َُ َْلوََ َْمعِ م مَإْم وَوََرْي وْ م لْنُلن ْ َدلوَنلَْا م لْنوْمنْلنل م َا وَْ لِنََََُّْ َي لناِنو لََن
Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia mendoa kepada Ku. Maka
hendaklah mereka menyambut seruan Ku dan beriman kepada Ku supaya mereka
25. mengikuti jalan yang benar [Al Baqarah 2:187]. Hamba yang didengar dan
dikabulkan doa-doanya hanyalah mereka yang dekat dengan Nya melalui ibadah
untuk selalu menyeru kepada Nya.
9. Banyak saudara, لَنملم َا َََْلاَم َُْْْخ وَْ لَََُّْلْم َا وطََّلنََْو..... Ibadah selayaknya dikerjakan
secara berjamaah, karena setiap individu pasti memerlukan individu yang lain dan
ibadah yang dikerjakan secara berjamaah memiliki derajat yang lebih tinggi dari
berbagai seginya terutama terciptanya jalinan tali silaturahim. Dampak dari
ibadah tidak hanya untuk individu tetapi untuk kemajuan semua manusia, jangan
pernah putus asa untuk mengajak orang lain untuk beribadah, karena ia sedang
memperluas lingkungan ibadah dan memperpanjang masanya.
10. Memiliki kejujuran, إمَم َِ ْل نِندن ِل َمَخ ََُِْْمَخ م م لانَنعلإوَا َ مَُ وِ َنْخ ِمَ لْنُنخ َا ْوَو َا ال نََّْ لْنونه ...
Dan apabila kamu telah selesai mengerjakan shalat, maka ingat lah kepada Allah
sambil berdiri, sambil duduk dan sambil berbaring atas rusuk kamu. [An Nisa
4:104]. Ibadah berarti berdzikir (ingat) kepada Allah SWT, hamba yang
menjalankan ibadah berarti ia selalu ingat Allah SWT dan merasa bahwa Allah
SWT selalu mengawasinya sehingga tidak ada kesempatan untuk berbohong. َْيم
ََلِق ْخ م َِّْلََّن وَ ْم ََُْلم َْيم َا ََُْلم لَِّْلََّن وَ ْم َْْوَ لم... Kejujuran mengantarkan orang kepada
kebaikan dan kebaikan mengantarkan orang ke surga [HR Bukhari & Muslim]
11. Berhati ikhlas, وَم َا م لانَْمنم َاْم م لناِنُلَُنْ َّ َ لن ْخْْلَنم نَُ َرولنقِْ م َ وَفَونآ.... Dan mereka tidak
diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas
dalam ketaatan kepada Nya dengan lurus. [Al Bayyinah 98:6]. Allah SWT
menilai amal ibadah hambanya dari apa yang diniatkan, lakukanlah dengan ikhlas
dan berkwalitas. Jangan berlebihan karena Allah SWT tidak menyukainya. َ ََََِا
َي لْنُقََّْوَدن ل ,م َدوَخ وَُِرَُ Binasalah orang yang keterlaluan dalam beribadah, beliau ulang
hingga tiga kali. [HR Muslim]
12. Memiliki kedisiplinan, Ibadah harus dilakukan dengan ْي َِم dawam (rutin
dan teratur), ُْي و ٍو khusyu (sempurna), ظْي موا ن terjaga dan semangat.
13. Sehat jasmani dan rohani, hamba yang beribadah menjadikan gerakan shalat
sebagai senamnya, puasa menjadi sarana diet yang sehat, membaca Al Qur an
sebagai sarana terapi kesehatan mata dan jiwa. Insya Allah hamba yang tekun
dalam ibadah dikaruniakan kesehatan.