Makalah ini membahas tentang nikah mut'ah dalam perspektif Islam. Nikah mut'ah adalah pernikahan untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Islam melarang nikah mut'ah karena bertentangan dengan hukum-hukum pernikahan dalam Al-Quran dan hadis Rasulullah. Para ulama sepakat bahwa nikah mut'ah adalah bathil karena tujuannya hanya untuk kesenangan semata."
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
1. NIKAH MUT’AH DALAM PANDANGAN ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Masail Fiqhiyyah
Dosen Pengampu : DR. Muhammad Sarbini, MH.I
Disusun Oleh :
Indra Prayoga
NIM 201321048
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIDAYAH
BOGOR
2016 M/ 1437 H
Alamat : JL. Raya Dramaga Km 6, Gg. Radar Baru, Kel.Margajaya,
Kec. Bogor Barat – Bogor. Telp./ Fax : (0251)-8625187
2. i
KATA PENGANTAR
Assalamulaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh
Maha suci Allah l dan segala puji hanya milik-Nya.Penggenggam segala
sesuatu yang telah memberikan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya dalam
melakukan segala aktivitas. Shalawat beserta salam semoga di limpahkan selalu
kepada sebaik-baiknya manusia yaitu Nabi Muhammad n, dan kepada para
sahabatnya, keluarganya, Thabi‟in, Thabi‟ut-thabiin dan pada umatnya yang tetap
berpegang teguh memegang risalahnya.
Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah l, kami dapat
menyelesaikan penulisan tugas makalah “Nikah Mut’ah dalam Pandangan Islam”
ini sesuai dengan waktu yang telah di tentukan serta sebagai syarat untuk
memenuhi nilai mata kuliah Masail Fiqhiyyah di Semester VI Perkuliahan STAI
Al-Hidayah Bogor.
Kami menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
banyak kekurangan.untuk itu dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan
kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun. Semoga segala
partisipasi dan bantuan dari semua pihak dalam penyusunan makalah ini baik itu
secara materil ataupun formil menjadi amal ibadah di sisi Allah ldan mendapat
balasan yang tak terhingga. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami khususnya dan umumnya bagi seluruh mahasiswa.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi. Wabarokatuh.
Bogor, Agustus 2016
Penyusun
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................... 2
D. Metode Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
A. Definisi Nikah Mut‟ah ................................................................. 3
B. Hukum Nikah Mut‟ah .................................................................. 4
C. Hikmah Dilarangnya Nikah Mut‟ah............................................. 5
BAB III PENUTUP......................................................................................... 14
A. Kesimpulan .................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 15
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berjalannya waktu, fenomena dan segala permasalahan yang timbul
dalam kehidupan social manusia semakin kompleks. Banayak permasalahan yang
terjadi pada dewasa ini belum atau bahkan tidak terjadi sama sekali pada zaman
Rasulullah dan para ulama ahli fiqh lainnya. Sehingga sering sekali terjadi
silang pendapat untuk menyelesaikannya. Dalam kehidupan manusia, pada usia
tertentu, bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup
bersama dengan lawan jenisnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita
tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis semata,
namun terkadang juga keinginan untuk mendapat anak keturunannya, ataupun
hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia.
Tujuannya untuk menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia
tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, menikah dengan lawan jenis
semaunya. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu
dengan syari‟at yang terdapat dalam kitab-Nya dan hadits rasul-Nya dengan
hukum-hukum pernikahan. Pernikahan adalah sunnatullah, hukum alam dunia dan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita. Namun, dewasa ini
mulai popular adanya kawin kontrak, atau dalam istilah fiqh disebut dengan nikah
mut’ah. Bagaimanakah Islam menanggapi fenomena tersebut? Oleh karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai kawin kontrak menurut sudut pandang
Islam.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di
rumuskan beberapa rumusan masalah tentang Nikah Mut’ah dalam Perspektif,
diantaranya :
1. Apa itu Nikah Mut‟ah?
2. Bagaimana Islam memandang status hokum Nikah Mut‟ah?
3. Apa saja faktor dilarangnya Nikah Mut‟ah?
5. 2
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah
mempelajari tentang Nikah Mut’ah dalam Perpektif Hukum Islam) serta
pembahasan yang mencakup ruang lingkup di dalamnya seperti Dalil-dalil dan
hikmah atas pelarangannya.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan
metode pustaka (Library research) yaitu mencari dan mengumpulkan data-data
ilmiah yang relevan dengan tema yang akan dibahas, terutama yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqh yang mempelajari tentang Bab Bentuk Pernikahan yang
dilarang syariat Islam.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Nikah Mut’ah
Membahas nikah mut‟ah tidal lepas dari penegrtian nikah dan mut‟ah. Ulama
fiqh pengikut madzhab yang empat (Syafi‟I, Hanafi, Maliki, dan Hambali) pada
umumnya mendefinisikan nikah (perkawinan) dengan: “ Akad yang membawa
kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang
perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna
yang serupa denagn kedua kata tersebut.” Sedangkan menurut UU No.1 Tahun
1974 tentang perkwinan, nikah atau perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Adapun definisi mut‟ah berasal dari mata‟a
(tamatta‟a) yang berarti bersenang-senang.1
Dikatakan kawin kontrak atau nikah mut‟ah, yaitu apabila seorang laki-laki
menikahi seorang perempuan dengan menentukan lamanya masa pernikahan
mereka, baik sehari, seminggu, maupun sebulan.2
Nikah mut‟ah disebut juga
zawaj muaqqat (kawin sementara) dan zawaj mungqathi (kawin kontrak), yaitu
seorang laki-laki menyelenggarakan akad nikah dengan seseorang perempuan
untuk jangka waktu sehari, atau sepekan, sebulan, atau batasan-batasan waktu
lainnya yang telah diketahui.3
Dan ini adalah perkawinan yang sudah disepakati akan keharamannya dan jika
seseorang mengadakan akad nikah semacam ini berarti ia terjerumus pada
perbuatan yang bathil4
Kawin kontrak juga dinamakan nikah mut‟ah (berasal dari bahasa Arab,
“istamta’a” yang artinya menikmati) karena tujuan laki-laki yang melakukanya
adalah untuk memanfaatkan dan menajdikan pernikahan sebagai sarana mencari
1
Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Kudus: STAIN Kudus, 2011, hlm. 83-86.
2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3. Jakarta: Penerbit Pundi Aksara, 2013. Hlm. 247.
3
Abdul Azhim, Al Wajiz Ensiklopedi Fiqh Islam . Jakarta: Penerbit Pustaka Sunnah,
2011. Hlm. 579.
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 2. Jakarta: Penerbit Pundi Aksara, 2013. Hlm. 35.
7. 4
kenikmatan dan kepuasan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau telah
disepakati.5
Adapun perbedaan nikah da‟im (nikah biasa untuk waktu yang tidak dibatasi)
dan nikah mut‟ah dalam beberapa hal:
a. Aspek akad; ada pembatasan waktu dalam kawin kontrak. Sedangkan
daim, tidak ada pembatasan waktu.
b. Aspek tanggung jawab; tidak ada beban tanggung jawab (nafkah dan
tempat tinggal) bagi suami terhadap istri dan anak-anak hasil nikah
mut‟ahnya.
c. Aspek konsekuensi hukum; tidak ada saling mewarisi, sekiranya ada yang
meninggal dalam masa perkawinan tersebut.
Tujuan utama dari nikah mut‟ah adalah pelampiasan hawa nafsu, bukan untuk
mendapatkan keturunan dan menjaga serta mendidik mereka yang merupakan
tujuan sebenarnya dari pernikahan. Nikah mut‟ah dapat dipadankan dengan zina
dari sisi tujuan yaitu mencari kenikmatan yang pada akhirnya merugikan
perempuan. Perempuan dalam pernikahan ini ibarat barang dagangan yang dapat
berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Nikah mut‟ah juga merugikan
anak-anak yang lahir dari pernikahan itu karena mereka tidak akan mendapatkan
rumah tempat mereka bernaung dan keluarga yang akan mendidik, serta menjaga
mereka.6
B. Hukum Nikah Mut’ah dalam Perspektif Islam
Para ulama sepakat atas haramnya pernikahan ini. Mereka menegaskan,
“Apabila pernikahan ini dilaksanakan, maka pernikahan ini merupakan
pernikahan yang tidak sah.”
Kesepakatan para ulama itu berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
Bentuk pernikahan seperti ini tidak memiliki kaitan dengan hokum-hukum
yang telah ditetapkan didalam Al-Qur‟an, baik hukumyang berkenaan
dengan pernikahan, talak, iddah, maupun waris, sehingga pelakasanaan
nikah dengan cara seperti itu tidak sah.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3. Jakarta: Penerbit Pundi Aksara, 2013. Hlm. 247.
6
Ibid, Hlm. 249.
8. 5
Ada beberapa hadits yang menegaskan bahwa nikah mut‟ah adalah harm,
yaitu akan duraikan dibawah ini.
Subrah al-Juhni meriwayatkan bahwa ketika dia mengikuti gazwah
penaklukan mekah, Rasulullah saw. Mengizinkan Subrah dan sahabat
yang lain untuk melakukan pernikahan mut‟ah. Dia berkata, “Tidak ada
seorang pun dari kami yang meninggalkannya sampai Rasulullah saw,
melarangnya.”
Didalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. Melarang nikah
mut‟ah. Beliau bersabda,
القيامة يىم إلى حرمها قد هللا وإن أال ،اإلستمتاع في لكم أذوت كىت إوي ،اسّىأيهاال
“Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah
mut‟ah, tapi ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari
kiamat. (HR. Muslim didalam shahih Muslim)
Ali bin Abu Thalib r.a meriwayatkan bahwa pada masa Perang Khaibar,
Rasulullah saw, melarang umatnya untuk melakukan nikah mut‟ah dan
makan daging keledai.
Umar bin Khattab r.a menegaskan larangan nikah mut‟ah pada masa
kekhalifahannya. Begitu pula para sahabat r.a., mereka menetapkan
larangan nikah mut‟ah dan sangat tidak mungkin bagi mereka untuk
menetapkan sesuatu secara tidak benar jika memang larangan itu
merupakan suatu kesalahan.
Khaththabi berkata. “Para ulama mengharamkan nikah mut‟ah secara
ijma‟, kecuali beberapa golongan dari kaum syi‟ah. Dalam hal ini mereka
tidak mendasarkan pendapat mereka kepada Ali bin Abu Thalib r.a karena
dia turut menegaskan penghapusan nikah mut‟ah.
Baihaqi meriwayatkan bahwa Ja‟far bin Muhammad pernah ditanya
mengenai nikah mut‟ah dan dia menjawab, “Nikah mut‟ah merupakan
salah satu praktik zina.”7
Disisi lain, sebagian dari para sahabat dan tabi‟in meriwatkan bahwa hukum
nikah mut‟ah adalah halal. Salah seorang dari mereka adalah Ibnu Abbas r.a
7
Ibid, Hlm. 249.
9. 6
Di dalam Tahdzib as-Sunan disebutkan, “Ibnu Abbas menghalalkan nikah
mut‟ah dalam keadaan darurat, tapi ia tidak menghalalkannya secara mutlak.
Ketika hampir semua orang melakukannya, ia menarik kembali ucapannya
(fatwanya) dan mengharamkannya bagi mereka yang tidak benar-benar
membutuhkan.”
Khathtabi meriwayatkan bahwa Sa‟id bin Jubair berkata, “Telah kukatakan
kepada Ibnu Abbas, „Tahukah kamu apa yang telah kamu lakukan dan fatwakan?
Banyak orang telah terlena dengan fatwamu, begitu juga para penyair.‟ Ibnu
Abbas bertanya,‟Apa yang telah mereka katakana?‟ Aku menjawab, „Para penyair
itu mengatakan, Aku berkata kepada seorang yang lama terpenjara Wahai kawan,
adakah kamu tahu fatwa Ibnu Abbas Adakah kamu memiliki seorang pendaping
sementara Tempat berlabuhmu sebelum mereka kembali
Ibnu Abbas pun berkata, “Inna Lillahi wa inna ilaihi rajiun. Demi Allah, aku
tidak pernah mengeluarkan fatwa seperti itu. Lagi pula, bukan itu yang kumaksud.
Aku tidak memperbolehkan nikah mut‟ah, kecuali sebagai mana Allah
memperbolehkan manusia untuk makan bangkai, darah, dan daging babi.
Kesemuanya tidak dihalalkan, kecuali jika benar-benar terpaksa (dalam keadaan
mendesak).
Nikah mut‟ah ibarat bangkai, darah, dan daging babi.‟” Adapun para imam
dari aliran Syi‟ah memperbolehkan nikah mut‟ah untuk dilaksanakan. Bagi
mereka yang memperbolehkannya, rukun nikah mut‟ah adalah sebagai berikut :
Shigah
Shigah adalah akad nikah sah dengan lafal زوجتك (aku nikahkan kamu),
أوكحتك (aku nikahkan kamu), atau متعتك (aku mut‟ahkan kamu).
Ada mempelai perempuan.
Mempelai perempuan yang disyaratkan adalah seorang perempuan muslim
atau Ahlul Kitab. Dianjurkan juga untuk memilih perempuan mukmin
yang iffah dan sangat dibenci, apabila perempuan itu pezina.
Mahar
Mahar harus disebutkan sebagai bentuk kesaksian, Besarnya mahar diukur
berdasarkan kerelaan, meskipun itu hanya dengan segenggam gandum.
Jangka Waktu
10. 7
Jangka waktu pernikahan merupakan salah satu syarat utama didalam
nikah mut‟ah. Jangka waktu ditetapkan sesuai kesepakatan dua pihak yang
akan melaksanakan pernikahan, baik dalam hitungan hari, bulan, maupun
tahun. Jangka waktu harus ditentukan secara pasti.
Adapun hukum yang berlaku sebagai konsekuensi terlaksanannya nikah
mut‟ah adalah sebagai berikut.
1. Terabaikannya penetapan mahar (karena lupa) dapat membatalkan
akad, meskipun penetapan jangka waktu telah disebutkan. Begitu pula
sebaliknya.
2. Keturunan yang lahir adalah anak dari pasangan yang menikah.
3. Di dalam nikah mut‟ah, tidak berlaku talak maupun lian (Fasakh dari
pihak perempuan)
4. Hukum waris tidak berlaku bagi kedua pasangan.
5. Sementara itu, anak berhak mewarisi harta kedua orang tuanya dan
mewariskan hartanya kepada mereka.
6. Apabila jangka waktu yang disepakati telah berakhir, masa iddah bagi
perempuan adalah dua kali haid (bagi mereka yang haid).
Sementara itu, bagi mereka yang tidak haid ataupun haid, tapi dengan
masa yang tidak menentu, maka masa iddahnya adalah empat puluh
lima hari.8
PENDAPAT SYAUKANI TENTANG KAWIN KONTRAK
Sementara itu, Syaukani menjelaskan bahwa bagaimanapun,
sebagai umat islam, kita harus meyakini dan menaati apa yang telah
diterapkan didalam syariat. Sebagimana kita ketahui, nikah mut‟ah
diharamkan untuk waktu yang tidak terbatas (selamanya). Perilaku
pelanggaran yang pernah dilakukan oleh sebagian sahabat, tidak lantas
mengurangi hukum larangan itu dan bukan pula celah bagi kita untuk
dapat melakukannya, meskipun sebagian besar dari para sahabat
Rasulullah telah menjaga dan melestarikan budaya nikah mut‟ah,
bahkan meriwayatkannya.
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3. Jakarta: Penerbit Pundi Aksara, 2013. Hlm. 249-251.
11. 8
Sebagai contoh Ibnu Umar meriwayatkan,”Rasulullah shalallahu
alaihi wa salam. Mengizinkan kami untuk melaksanakan nikah mut‟ah
sebanyak tiga kali, kemudian ia melarangnya. Demi Allah, aku tidak
pernah mengetahui seorang muslim taat untuk melakukan nikah
mut‟ah, kecuali ia dirajam dengan bebatuan.
Diriwayatkan juga bahwa Rosulullah shalallahu alaihi wa salam
bersabda,
الطالق،وال المتعة هدمعدة،والميراث
“Nikah mut‟ah telah dihapuskan oleh talak, iddah, dan waris.
Al-Hafizh menggolongkan hadits ini ke dalam hadits hasan, walaupun
di dalam urutan sanadnya ada Muhammad bin Ismail. Hadits itu tetap
digolongkan sebagai hadits hasan karena perbedaan yang ada di
susunan sanad itu tidak mengubah derajat hadits hasan dari posisinya
jika ada riwayat lain yang menguatkannya, sebagaimana hadits hasan
ligairihi.
Mengenai pernyataan bahwa nikah mut‟ah diperbolehkan secara
ijma dan ijma menetapkan hukum yang pasti (qath‟i), terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama dalam pengharamannya. Perbedaan
pendapat atas hal itu pun melahirkan hukum yang masih simpang siur
(zhanni), dan hukum zhanni tidak dapat menghapus hukum qath’i.
Mengenai hal itu, kida dapat menjawabnya sebagai berikut,
1. Pernyataan berikut tidak dapat di terima ( pernyataan bahwa zhanni
tidak dapat menghapus qath‟i. Dalil yang digunakan dalam hal ini
adalah bahwa posisinya sebagai ijma‟ para ulama tidak cukup untuk
dapat dijadikan acuan. Karena itu, bagi kelompok yang berbeda
pendapat atas hal itu dapat menanyakan dalil mendasari, baik secara
akal maupun tertulis di dalam sumber syari‟at (Al-Qur‟an dan Hadits)
yang diketahui oleh keseluruhan umat muslim.
2. Teori penghapusan yang diterapkan adalah zhanni karena hal itu
dimaksudkan untuk melanjutkan atau mengekalkan penghalalannya.
Dan, kelanjutan yang dimaksud adalah zhanni, bukan qath’i.
Mengenai pembacaan yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, Ibnu
12. 9
Mas‟ud, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Zubair, yaitu “Maka apa saja yang
dapat kalian lakukan dan nikmati dalam jangka waktu yang telah di
tentukan.” Bukanlah redaksi Al-Qur‟an menurut kelompok yang
mensyaratkan tawatur (Kesinambungan), dan hal itu bukan penafsiran
ayat al-Qur‟an dan ia tidak dapat dijadikan sebagai acuan ataupun
dalil.
Menurut mereka yang tidak mensyaratkan tawatur, mereka
memperbolehkan nasakh zhanni Al-Qur‟an oleh zhanni hadits,
sebagaimana hal itu ditetapkan didalam ushul fiqih.9
HUKUM AKAD NIKAH YANG DISERTAI NIAT TALAK
SEWATU-WAKTU
Para ulama sepakat bahwa ketika seorang laki-laki menikahi
perempuan tanpa mensyaratkan lamanya pernikahan, tapi ia meniatkan
talak setelah jangka waktu tertentu atau setelah ia menyelesaikan
urusannya di daerah tempat ia tinggal, pernikahan yang dilakukannya
adalah sah.
Tetapi, Auza‟I berpendapat bahwa pernikahan itu tidak sah, dan ia
menyamakan praktik nikah seperti ini dengan nikah mut‟ah.
Rasyid Ridha mengomentari hal ini di dalam buku tafsirnya, al-
manar, “Keteguhan prinsip yang dipegang oleh para ulama salaf dan
khalaf mengenai larangan niah mut‟ah memberikan bias kepada
larangan melakukan nikah dengan disertai niat talak, walaupun para,
ulama fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang disertai dengan niat
penetapan jangka waktu tertentu adalah sah apabila niat itu tidak
disebutkan di dalam kalimat akad.
Namun begitu, tindakan suami yang memiliki niat untuk mencerai
istrinya pada waktu tertentu dikategorikan penipuan dan kebohongan,
karena itu, tindakan tersebut lebih berbahaya daripada akad yang
disertai dengan syarat penetapan jangka waktu yang disepakati oleh
suami, istri dan wali dari istri itu. Hal itu tidak menimbulkan bahaya
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3. Jakarta: Penerbit Pundi Aksara, 2013. Hlm. 251-252.
13. 10
atau kerugian apa pun, selain mengabaikan ikatan suci yang paling
agung antar manusia (baca:pernikahan)ini, dan mengedepankan
kepuasan birahi nafsu yang disalurkan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan dengan gonta ganti pasanga, serta dampak negative
lainnya.
Ketika laki-laki yang menikah tidak menyebutkan syarat penetapan
waktu, tapi ia meniatkannya, maka yang ia lakukan dianggap sebagai
upaya penipuan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan hal-hal
negative (kerugian) seperti perpecahan, kedengkian, dan hilangnya
kepercayaan.
Apalagi, jika niat itu terjadi di antara dua orang yang benar-benar
menginginkan pernikahan sejati yang berdasarkan unsur saling
menjaga, ketulusan, dan kerja sama dalam membangun sebuah
keluarga yang islami.10
Diriwayatkan dari Sairah Al Jahmi RA, ia berkata “Rasulullah
shallallahu alaihi wa salam melarang nikah mut‟ah pada masa Fathu
Makkah, dan beliau bersabda,
القيامة يىم إلى هرا يىمكم مه حرام أالإوها
“Ingatlah! Sesungguhnya nikah itu diharamkan dari harimu ini
sampai hari kiamat (HR. Muslim [4/134]
Saya (Syaikh) katakan, “ Hadits ini merupakan nash yang jelas
dalam pengharaman nikah mut‟ah, maka hendaknya tidak seorangpun
terpedaya dengan fatwa sebagian ulama yang membolehkannya
karena darurat, lebih-lebih membolehkannya secara mutlak seperti
perkawinan, sebagaimana mazhab syi‟ah. Kitab Ash-Shahihah (8/3)
Imam Syafi’I berkata: Malik telah mengabarkan kepada kami dari
Ibnu Syihab, Dari Urwah bahwa Khaulah binti Hakim masuk
menemui Umar bin Khathab lalu berkata,”Sesungguhnya rabi‟ah bin
Umayah bersenang-senang dengan seorang wanita peranakan Arab
hingga wanita itu hamil.”
10
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3. Jakarta: Penerbit Pundi Aksara, 2013. Hlm. 253.
14. 11
Umar keluar sambil menyeret selendangnya dengan sedikit panik lalu
berkata,”Ini adalah mut‟ah. Sekiranya aku lebih maju dalam masalah
itu, niscaya aku akan merajamnya.”
Imam Syafi’i berkata: Terdapat kemiripan antara pandangan
Umar pada masalah pertama dan madzhabnya di tempat ini.
Sesungguhnya mut‟ah, meski menurutnya adalah haram, akan tetapi
karena manusia melakukannya atas dasar persepsi bahwa perbuatan
itu halal atau karena mereka tidak mengetahui hukum sebenarnya
(sebab mut‟ah dinamakan pula sebagai pernikahan), maka hukuman
tidak ditegakkan atas mereka. Namun seandainya Umar sebelumnya
telah memberitahukan kepada manusia bahwa perbuatan itu
hukumnya adalah haram, lalu mereka melakukannya, niscaya ia akan
menegakkan hukuman rajam dan memaksa mereka untuk menaati
keputusannya, meskipun mereka beranggapan perbuatan tersebut
dihalalkan. Sama seperti suatu kaum yang mengalalkan jual-beli
(barter) dinar dengan dinar secara tunai dengan kelebihan pada salah
satunya. Transaksi mereka bisa saja dibatalkan oleh mereka yang
berpendapat bahwa hukum hal itu adalah haram..
Adapun kamu telah menyelisihi pandangan Umar pada kedua
masalahnya ini sekaligus. Kamu mengatakan tidak ada hukuman atas
seseorang yang menikah hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan
seorang wanita, dan tidak ada pula hukuman bagi seseorang yang
menikah dengan system mut‟ah.
Imam Syafi’I berkata: Malik telah mengabarkan kepada kami
dari Yahya bin Sa‟id, dari Sa‟id bin Al Musayyib, ia berkata,”Umar
bin Khattab berkata‟ Siapa saja di antara laki-laki yang menikahi
wanita yang mengidap penyakit gila, kusta atau belangm lalu si laki-
laki telah menetapkan maharnya, maka wanita itu berhak
mendapatkan mahar secara sempurna, namun suami dapat menuntut
ganti rugi atas mahar kepada wali si wanita‟.”
15. 12
Imam Malik berkata,”Hanya saja si laki-laki dapat menuntut ganti
rugi kepada wali si wanita apabila wali yang menikahkan adalah
bapak, saudara atau orang yang diduga megetahui adanya hal-hal
tersebut pada diri si wanita. Bila tidak demikian, maka tidak ada hak
bagi laki-laki menuntut ganti rugi dari si wali, namun si wanita harus
mengembalikan mahar yang telah ia terima. Hanya saja disisakan dari
mahar itu sekedar imbalan atas penghalalan kemluannya jika suami
telah mencampurinya.”
Ar-Rabi’berkata: Sesungguhnya keputusan Imran dalam masalah
ini adalah, si wanita mendapatkan mahar atas imbalan hubungan intim
yang terjadi. Lalu si laki-laki berhak menuntut ganti rugi kepada wali
si wanita karena dirinya telah ditipu. Adapun penipu harus
bertangung.
Nikah Mut‟ah: seseorang menikahi perempuan dalam tempo waktu
sehari, seminggu,sebulan,kurang setahun atau lebih, dengan
memberikan sejumlah mahar tertentu, dan saat jatuh tempo yang
ditentukan maka laki-laki tersebut menalaknya.
Nikah semacam ini fasid dan tidak boleh, karena akan
mendatangkan mudharat bagi perempuan, dan menjadikan perempuan
sebagai barang dagangan yang berpindah pindah dari satu tangan ke
tangan laki-laki lain. Dan juga mendatangkan mudharat bagi anak-
anak lain, karena mereka tidak akan mendapatkan rumah sebagai
tempat tinggal dan tempat belajar (pendidikan) bagi mereka.
Nikah semacam ini bertujuan melampiaskan hawa nafsu belaka,
bukan untuk mendapatkan keturunan dan juga pendidikan. Nikah
mut‟ah seperti ini pernah dihalalkan pada periode awal islam dalam
jangka waktu tertentu, kemudian diharamkan untuk selamanya.
Diriwayatkan dari Sabarah Al-Juhani Radhiyallahu Anhu, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Wahai umat manusia sesungguhnya aku pernah mengizinkan
kalian bersenang-senang dengan perempuan (mut‟ah). Sungguh Allah
telah mengharamkan hal itu hingga hari kiamat. Barangsiapa yang
16. 13
memiliki hak sesuatu atas mereka (perempuan- perempuan), maka
hendaklah ia membiarkannya (meninggalkannya), dan janganlah
kalian mengambil sesuatu apapun atas apa yang telah kamu berikan
kepada mereka.”
Siapa yang telah mempnyai empat istri, kemudian menikah lagi
dengan istri yang kelima, maka nikahnya batal (fasid) dan wajib
dicegah.
C. Hikmah dilarangnya Nikah Mut’ah
1. Hikmah pengharaman nikah mut‟ah adalah tidak terealisasinya tujuan-
tujuan dasar pernikahan abadi dan langeng, serta tidak bertujuan keluarga
yang langgeng. Sehingga diharamkan tidak akan lahir anak-anak hasil zina
dan lelakinya yang memanfaatkan nikah mut‟ah untuk berbuat zina.
2. Hikmah dilarangnya mut‟ah lebih menjamin terhindarinya promiskuitas
atau pencampur adukan benih yang berdampak negatif seperti ketiddak
jelasan nasab dan timbulnya penyakit kelamin yaitu yang paling berbahaya
adalah Aids.
3. Menghormati lima hal prinsip utama yaitu perlindungan atas agama, jiwa,
akal, keturunan ,akal dan harta.
17. 14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Definisi mut‟ah berasal dari mata‟a (tamatta‟a) yang berarti bersenang-
senang. Dikatakan nikah mut‟ah, yaitu apabila seorang laki-laki menikahi
seorang perempuan dengan menentukan lamanya masa pernikahan
mereka, baik sehari, seminggu, maupun sebulan. Nikah mut‟ah disebut
juga zawaj muaqqat (kawin sementara) dan zawaj mungqathi (kawin
kontrak), yaitu seorang laki-laki menyelenggarakan akad nikah dengan
seseorang perempuan untuk jangka waktu sehari, atau sepekan, sebulan,
atau batasan-batasan waktu lainnya yang telah diketahui.
2. Ijma bersepakat atas keharaman nikah mut‟ah berlandaskan sabda
Rasulullah :
إوي ،اسّىأيهاالالقيامة يىم إلى حرمها قد هللا وإن أال ،اإلستمتاع في لكم أذوت كىت
“Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah
mut‟ah, tapi ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari
kiamat. (HR. Muslim didalam shahih Muslim)
3. Diantara hikmah pengharaman nikah mut‟ah adalah tidak terealisasinya
tujuan-tujuan dasar pernikahan abadi dan langeng, serta tidak bertujuan
keluarga yang langgeng. Sehingga diharamkan tidak akan lahir anak-anak
hasil zina dan lelakinya yang memanfaatkan nikah mut‟ah untuk berbuat
zina.
18. 15
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, 2013. Fiqh Sunnah Vol. 3. Jakarta: Penerbit Pundi Aksara.
Abdul Azhim, 2011. Al-Wajiz Ensiklopedi Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka
Sunnah.
Imam Syafi‟i, 2008. Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta: Penerbit Pustaka Azzam.
Kasdi Abdurrahman, 2011. Masail Fiqhiyyah; Kajian Fiqh atas Masalah-masalah
Kontemporer. Kudus: STAIN Kudus.