1. Lomba Penulisan Naskah Buku
Untuk Guru Pendidikan Menengan Tahun 2017
Bikinlah Pengalaman
Sebanyak Mungkin
http://humancapitaljournal.com
Oleh: Marjohan, M.Pd
2. Lomba Penulisan Naskah Buku
Untuk Guru Pendidikan Menengan Tahun 2017
Identitas Penulis
Judul Naskah Buku : Bikinlah Pengalaman Sebanyak Mungkin- Pengalaman
Yang Luas Dan Bervariasi Akan Memudahkan Kehidupan
Jenis Penulisan : Pengayaan Keterampilan
Tema : Mandiri
(Kemandirian Pemuda Mewujudkan Indonesia Yang
Kompetitif)
Nama : Marjohan, M. Pd
Pekerjaan : Guru SMAN 3 Batusangkar- Kab. Tanah Datar
Sumatera Barat
Alamat : Perumnas Griya Alam Segar no.157
Bukitgombak- Batusangkar, Kab. Tanah Datar, 27211
Sumatera Barat
HP : 0823 9147 2498
Email : marjohanusman@yahoo.com
i
4. Kata Pengantar
Umumnya orang tahu bahwa untuk meraih masa depan perlu perjuangan,
salah satunya melalui pendidikan. Maka pendidikan berkualitas telah menjadi
incaran masyarakat. Para siswa dan orangtua mencari-cari sekolah dan perguruan
tinggi yang berkualitas. Dukungan para orangtua untuk membuat putra-putri
mereka menjadi cerdas (smart) bisa diacungkan jempol. Mereka mencarikan guru-
guru privat atau lembaga bimbel-buat belajar tambahan- agar putra-putri mereka
sukses di sekolah dan bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang bergengsi,
dengan anggapan “hanya bermodalkan kecerdasan akademik yang tinggi” putra-
putri mereka akan meraih sukses di masa depan.
Sayangnya sebagian guru dan orangtua hanya sebatas memotivasi anak
untuk cerdas secara akademik, dan kurang menyentuh pengembangan soft-skill
mereka, seperti berbagai keterampilan sosial. Adalah fenomena sosial bahwa banyak
dari mereka yang telah menjadi cerdas- kaya dengan informasi, mampu mengikuti
proses perkuliahan di perguruan tinggi. Namun begitu menjadi sarjana, ilmu
pengetahuan yang telah mereka raih ternyata belum mampu membuat mereka kuat.
Teori-teori dan pengetahuan yang dipelajari selama ini belum mampu digunakan
untuk mewujudkan aktualisasi diri mereka.
Dahulu populasi orang yang pergi kuliah ke perguruan tinggi masih sedikit.
Maka dari semua mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi, mereka mampu
memperoleh pekerjaan dan malah juga ada yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Karena kesadaran akan arti dari pendidikan, maka populasi mahasiswa bertambah
dari tahun ke tahun. Dan dikatakan bahwa dari 100% para lulusan perguruan tinggi,
maka 80% dari mereka akan mampu memperoleh pekerjaan, sementara yang 20%
akan menjadi job-seeker atau pengangguran.
Kesadaran orang untuk menuntut ilmu pengetahuan setinggi selalu
bertambah setiap tahun. Setelah itu dikatakan bahwa dari 100% populasi sarjana
yang baru lulusan dari perguruan tinggi, 20% mampu meperoleh pekerjaan dan
yang 80% akan menjadi penggangguran- jadi kondisinya sudah terbalik.
Fenomena selanjutnya bahwa dari 100% dari mereka yang lulus dari
perguruan tinggi maka total yang mengganggur semakin membengkak. Kecerdasan
iii
5. akademik,dengan indek prestasi yang tinggi, hingga predikat cum-laude sekalipun,
belum tentu bisa menjamin seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang mereka
impikan, apalagi untuk menciptakan lahan pekerjaan. Kecuali bagi mereka yang
memiliki soft-skill- yaitu pengalaman yang luas dan bervariasi.
Penulis mengikuti lomba penulisan naskah buku untuk guru pendidikan
menengan tahun 2017. Buku ini merupakan gagasan/ opini penulis yang mengupas
seputar masalah pendidikan, semangat dan motivasi menuntut ilmu. Buku ini diberi
judul: Bikinlah Pengalaman Sebanyak Mungkin- Pengalaman Yang Luas Dan
Bervariasi Akan Memudahkan Kehidupan.
Buku ini sangat layak untuk dibaca oleh para orangtua dan masyarakat, agar
mereka mengetahui pernak-pernik seputar pendidikan. Bahwa keberhasilan putra-
putri mereka di masa depan tidak hanya ditentukan oleh nilai akademik yang
tinggi, namun juga oleh faktor soft-skill, yaitu pengalaman yang bervariasi dan yang
luas, juga karakter-karakter positif lainnya. Buku ini sangat direkomendasikan buat
dibaca para siswa dan mahasiswa, dengan harapan mereka bisa memiliki gambaran
futuristik.
Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah Swt karena buku ini bisa
terwujud. Itu semua berkat rahmat-Nya. Kemudian ucapan terima kasih kepada
Bapak Drs. Asrul, selaku Kepala SMAN 3 Batusangkar dan teman-teman majelis
guru, serta berbagai pihak yang telah memberi kontribusinya atas selesainya buku
ini. Selanjutnya, terimakasih buat Emi Surya (istri penulis), Muhammad Fachrul
Anshar dan Nadhila Azzahra (anak-anak penulis) yang mana waktu kebersamaan
buat mereka telah tersita selama penyelesaian naskah buku ini. Tidak ada gading
yang tidak rentak, tentu saja buku ini mempunyai beberapa kelemahan dan
kekurangan. Untuk itu penulis menunggu saran dan kontribusi perbaikan buku ini
dari pihak pembaca melalui email- marjohanusman@yahoo.com. Moga-moga buku
ini bisa memberi manfaat.
Batusangkar, Juli 2017
Marjohan, M.Pd
iv
6. Daftar Isi
Identitas Penulis.......................................................................................................................i
Surat Pernyataan ....................................................................................................................ii
Kata Pengantar ...................................................................................................................... iii
Daftar Isi ..................................................................................................................................v
1. Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill) Memudahkan Masa Depan ........................1
2. Lima Kekuatan Untuk Menunjang Sukses Dalam Belajar .........................................10
3. Pentingnya Menjadi Siswa Yang Smart Book dan Smart Street .................................17
4. Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas .........................................26
5. Hidup Butuh Proses dan Bukan Sekedar Berteori ......................................................33
6. Keterampilan Dan Keberanian Buat Kehidupan .........................................................39
7. Melejitkan Kecerdasan Yang Berimbang ......................................................................46
8. Kemampuan Akademik Dan Pengalaman Kerja Sebagai Jalan Toll Menuju Masa
Depan ...............................................................................................................................53
9. Bagaimana Proses Memilih Sebuah Profesi .................................................................59
10. Membangun Pengalaman Sambil Menuntut Ilmu ....................................................68
Daftar Pustaka ................................................................................................................73
Biografi Penulis ..............................................................................................................74
v
7. 1. Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill) Memudahkan Masa Depan
Buat apa orang harus bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya?
Pada umumnya masyarakat telah tahu bahwa sekolah berguna untuk mengubah
nasib. Masyarakat di lapisan bawah sekalipun yakin bahwa sekolah berguna untuk
bisa jadi cerdas, bisa jadi pegawai atau bekerja di perusahaan sehingga mudah
mendapatkan duit.. Jadinya mereka semua memotivasi anak-anak untuk bersekolah.
Belajar dengan sungguh- sungguh dalam menuntut ilmu, agar kelak mereka bisa
memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila bekerja di tempat yang basah
maka hidup akan berubah- menjadi sejahtera. Sebagai konsekuensi maka sekolah
yang puya kualitas selalu diserbu dan diidolakan, karena diyakini akan mampu
mengubah nasib mereka. Dan mereka yang sedang menuntut ilmu di sekolah- di
bangku SMA- sangat yakin bahwa sekolah bermutu akan membantu untuk bisa
jebol ke perguruan tinggi yang favorit:
“Kuliah di jurusan favorit dan perguruan tinggi favorit akan bisa membuat
kita menjadi orang yang hebat. Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang
untuk mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan dan punya uang yang banyak”.
Itulah mimpi-mimpi positif yang memotivasi mereka buat belajar serius. Mimpi ini
dipegang teguh oleh banyak siswa dan juga oleh orangtua mereka.
Untuk merespon mimpi-mimpi positif tersebut, sejak tahap awal pendidikan,
banyak orangtua telah merancang konsep-konsep buat menyukseskan pendidikan
anak-anak mereka. Kebijakan orangtua yang begini tidak salah karena mereka bisa
dikategorikan sebagai orangtua yang punya tanggungjawab terhadap pendidikan
anak. Dengan demikian mereka telah punya visi dan misi buat masa depan anak-
anak mereka. Jadinya sejak anak-anak masih kecil orangtua telah rajin merangsang
kognitif mereka.
Mereka mengantarkan anak ke pendidikan pra-sekolah. Selama belajar di
PAUD dan TK, mereka memberi pujian- tepuk tangan- bila anak- anak mereka bisa
mengucapkan doa-doa, mengucapkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan
beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Dan pujian juga akan ditumpahkan bila
anak-anak mereka bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
1
8. Ketika memasuki pendidikan SD, maka orangtua juga akan mensetting
waktu buat anak-anak agar mereka bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti
“caslistung (membaca-menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus
sukses UN (ujian nasional). Pokoknya sejak kelas 1 hingga kelas 6 sekolah dasar,
waktu anak juga habis di ruangan les privat.
Terus begitu anak-anak masuk ke pendidikan di tingkat SMP dan SMA, maka
terasa beban materi pelajaran lebih berat lagi, lebih sulit bagi anak. Orangtua yang
lebih mengerti tentang penjurusan mencaritahu tentang penjurusan tersebut, misal
bagaimana penjurusan di tingkat SMA. Namun kenyataanya orangtua akan
berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite karena akan memberi peluang yang
luas bagi anak-anak bila ingin kuliah kelak. Maka lagi-lagi para orangtua akan
menggiring anak-anak mereka untuk bisa belajar tambahan. Mengirim anak ke
rumah guru, mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan anak mereka pada
lembaga bimbel (bimbingan belajar).
Begitulah anak-anak sekarang dibisikan dan dimotivasi buat persiapan ke
masa depan mereka. Kadangkala didesak buat belajar tambahan bukan berdasarkan
bakat dan potensi, namun karena memperturutkan ambisi orangtua. Dalam sebuah
artikel pendidikan saya pernah membaca bahwa banyak anak-anak sekarang yang
disetting untuk menjadi manusia karbitan, yaitu menjadi pintar yang dipaksakan.
Anak yang cerdasnya karbitan akan memiliki karakter yang “instant”, maksudnya
karakter yang ingin serba cepat sukses.
Adalah fenomena sosial, bahwa dewasa ini juga banyak tawaran belajar
dengan paket program instant- “cepat pintar”. Paket ini dirancang oleh pebisnis
pendidikan. Membaca tawaran ini membuat banyak orangtua yang tergiur. Mereka
menyerbu tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa
Inggris buat anak, agar anak bisa “cas-cis-cus” segera. Pada hal menurut paedagogi
bahwa semua pelajaran butuh waktu agar terjadi proses pembelajaran yang lebih
benar. Kualitas-kualitas berlabel instant, hanya akan memberikan hasil yang abal-
abal.
Lain generasi dulu dan lain pula generasi sekarang. Generasi dulu lebih
terkenal dengan kemandiriannya. Mereka mencari keterampilan sendiri-sendiri.
2
9. Mencari ilmu sendiri, dan juga mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart
karena usaha sendiri- usaha secara mandiri. Kontra dengan generasi sekarang, yang
banyak menjadi “generasi anak mami”. Mereka dibanjiri dengan berbagai pelayanan
atau servis, hingga mereka juga dijuluki sebagai “generasi servis”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi cerdas dengan
prestasi akademik yang tinggi bukan semata-mata murni oleh kemandiriannya.
Kehidupan mereka banyak diprogram dan banyak diberi servis sejak usia dini
(Rhenald Kasali, 2016).
Saat masih berusia balita orangtua mereka mendatangkan babby-sitter buat
mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat sudah lebih besar- bersekolah di SD,
dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orang tua menyewa
(membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam
mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua
bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
Generasi sekarang banyak yang telah menjadi “generasi anak mami”.
Generasi yang begini maksudnya bahwa “mami atau ibu mereka”, atas nama kasih
sayang dan demi keberhasilan sekolah mereka, maka para mami membebaskan
mereka dari tuntutan ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut
merapikan dan mengurus rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika,
memasak nasi. Itu semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya
uang lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan
semua pekerjaan tersebut.
Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius
agar anak-anak bisa menjadi hebat di sekolah. Disana anak-anak dipaksa dan
dikondisikan buat belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam anak-
anak terbelenggu- duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari
guru bimbel. Terlihat bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik
semata. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri- seperti makan, pakaian dan pernak
pernik kecil lainnya, mereka juga serba dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana
bisa mencapai target jadi orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan
belajar, makan, nonton, dan kemudian kalau sudah bosan baru main game- online.
3
10. Akibatnya anak-anak sekarang jadi tidak punya soft-skill atau kecakapan
hidup. Mereka hanya jadi manusia yang suka bergantung pada orangtua, kurang
mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah mereka sebagai
anak-anak yang miskin dengan soft skill- miskin dengan pengalaman. Tidak mampu
buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika
pakaian, hingga mengurus hal-hal kecil lainnya, karena semua pekerjaan sudah
diambil alih oleh mami atau asisten rumah tangga.
Kalau demikian maka anak-anak sekarang tidak obahnya ibarat “seorang raja
kecil di rumah” karena semua kebutuhannya harus dilayani. Mereka juga menjadi
manusia instant dan manusia robot, karena telah diprogram agar bisa pintar-
ya...pintar yang tidak bisa memberi kebaikannya yang banyak. Al-hasil memang
mereka mampu meraih peringkat akademik yang baik- peringkat 1, 2 dan 3 atau
termasuk peringkat 5 besar di kelas, namun prestasi akademik tersebut bersifat
fatamorgana- hanya sebatas cerdas di atas kertas. Bisa dilihat namun tidak terpakai.
Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena maminya rajin memberi guru
cendera mata, hingga sang guru jadi merasa berutang budi atas kebaikan hati mami
dan memberikan nilai servis buat anaknya.
Memang ada para orangtua (ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram
pendidikan sang anak untuk mejadi bintang pelajar di sekolah. Hingga nilainya
begitu cemerlang dalam rapor dan dalam ijazah. Namun sayangnya banyak
orangtua yang belum memahami konsep parenting yang benar. Para orangtua telah
mengambil alih “peran guru dari sekolah” untuk urusan pengajaran atau teaching.
Peran orangtua sebetulnya lebih fokus untuk urusan educating (seperti soft skill atau
pengalaman sosial) dan peran guru fokus buat urusan teaching (kemampuan
akademik).
Banyak orangtua yang terlalu mendewa-dewakan kecerdasan otak anak,
sayangnya mereka kurang memahami bagaimana seharusnya menumbuhkan anak
agar bisa memiliki karakter-karakter positif (dan juga pengalaman sosial/ soft skill),
yaitu seperti bagaimana anak-anak bisa “peduli dengan tetangga, bisa beramah
tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja sama dengan orang lain, terampil
dalam membantu diri sendiri, tidak berkarakter individu, dll”.
4
11. Walau pada akhirnya putra-putri mereka mampu memasuki perguruan
tinggi favorit, karena perguruan tinggi juga lebih banyak merekrut calon mahasiswa
berdasar skor akademik itu sendiri, dan menyingkirkan karakter-karakter positif
yang menunjang kehidupan. Proses perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat
besar fokusnya untuk mencapai target agademik. Walau banyak mereka yang bisa
menjadi cerdas dalam ranah akademik, itu hanya sekedar cerdas dengan kertas.
Namun begitu diwisuda dan menjadi seorang sarjana baru, mereka seolah-olah
terbangun dari mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman
akademik saja dari kampus belum mencukupi. Jdinya mereka melangkah menatap
kehidupan yang nyata penuh dengan rasa gamang.
Sebagaimana yang ditulis oleh Ruth Callaghan (2016), dia mengatakan
bahwa: “Employers want graduates with more than just good marks, while good grades may
be the only goal for many students. Employers are looking for much more from graduates”.
Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa berlomba buat mencari nilai
akademik setinggi mungkin dan berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk
membuat orangtua mereka bisa jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan sudah
menjadi fenomena di dunia pendidikan. Namun dunia kerja (perusahaan) lebih
mencari orang-orang yang tidak sekedar hanya bagus nilai akademiknya, namun
juga harus memiliki soft-skill, keterampil dan pengalaman hidup, yang bervariasi.
Ruth Callaghan (2016) lebih lanjut mengatakan bahwa banyak pimpinan
perusahan yang ngetop di Australia telah berbicara dengan banyak mahasiswa di
universitas-universitas Australia. Mereka menemukan bahwa banyak mahasiswa
yang yakin prestasi akademik sebagai indikator utama yang dicari oleh dunia kerja-
atau perusahaan. Ternyata keyakinan ini salah. Memang untuk masuk universitas
yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat nilai
akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah mereka diwisuda,
yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan semata-mata terbatas pada
nilai akademik yang tinggi, namun bagaimana mahasiswa juga memiliki
kemampuan dibalik nilai akademik tersebut, yaitu seperti:
“Leadership, communication skill, problem solving and customer service-
keterampilan dalam bidang kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan
5
12. dalam mengatasi masalah dan kemampuan melayani pelanggan”. Ini semuanya
merupakan kriteria yang direkomendasi agar bisa dimiliki oleh mahasiswa- sebagai
calon pelamar kerja- saat mereka ikut dalam proses rekruitmen di berbagai
perusahaan.
Jadi kriteria-kriteria tersebut tidak banyak berhubungan dengan bagaimana
tingginya nilai akademik seseorang yang dia peroleh dari perguruan tinggi. Kalau
sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari
orang yang cerdas otaknya dalam belajar, mampu bekerja dan nilai akademis bagus.
Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena sekarang
banyak perusahaan yang punya kriteria tersendiri dalam melakukan rekruitmen.
Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun rekruitmen yang
bertahap, gunanya untuk mendapatkan personalia yang sangat cocok bagi atmosfir
perusahaan.
Bagaimana dengan faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat
berpengaruh atas kesuksesan seseorang? Jawaban ini dapat kita temui dengan
membaca profil orang-orang sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno,
Gubernur Sumatera Barat, yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat
wisuda dari jururan psikologi di Universitas Indonesia tidak begitu
menggembirakan. Namun belakangan dia bisa merajut kesuksesan, hingga menjadi
anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi,
MSc. Ia datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah
di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orang tua
yang sama-sama dosen. Jadi orang tua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu
mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman
geografi dan pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani
pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA,
menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3
Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu
dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sekedar jago akademik,
6
13. namun ia juga punya soft-skill yang lain , yaitu peduli pada berorganisasi dan
tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata anak-anak yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki
kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini
dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya
Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan
setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina.
Teman saya yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA
ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok), dan setelah
dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan
kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor Kedutaan Besar RI- Kuala Lumpur. Jadi
betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih
kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses
dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan
melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena
mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia.
Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan
kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah,
mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar-
untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak
lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata,
tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah
dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada
jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah.
Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia
memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar
7
14. kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis
yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi
UNP) dan saya juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada
Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana
saya berkenalan dengan Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya.
Dan saya mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan
konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang
diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar- Padang. Yayasan ini
dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan
mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih
professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari
kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang
secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara
bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman
kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam
pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku
kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan
hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan
mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya.
Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman
sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor
UPM (Iniversity Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan
kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah
S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor.
Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia
melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
8
15. Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia
telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu.
Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10
sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia
menunaikan dakwah sampai ke London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-
tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya
mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan
propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur
Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan
Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun
untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual,
mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan komunikasinya serta
keberanian enterpreurship-nya.
Jadi para pemuda- siswa dan mahasiswa- di zaman sekarang perlu tahu
bahwa betapa pentingnya memiliki soft skill atau keterampilan-keterampilan yang
bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill
seperti “kerjasama, ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan/ leadership, keampuan
berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada
pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka
perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya sendiri-sendiri. Ada
perusahaan yang bersifat sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga
ada perusahaan yang suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari/ membutuhkan orang yang berpribadi
attraktif dan punya soft skill- keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk
mengetahui ini dunia kerja akan memberikan penilaian melalui: “action oriented,
willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have the opinion”.
Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft skill -
kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan memudahkan jalan bagi kita
dalam mendapatkan karir di masa depan.
9
16. 2. Lima Kekuatan Untuk Menunjang Sukses Dalam Belajar
Menuntut ilmu dan mendapatkan pengalaman sudah menjadi kebutuhan
banyak orang. Dewasa ini banyak pelajar yang memburu sekolah dan perguruan
tinggi yang bergengsi (karena kualitasnya). Mereka menuntut ilmu dan berburu
perguruan tinggi: pergi kuliah ke pulau Jawa, universitas yang berlokasi di ibu kota
Propinsi sampai kepada tempat kuliah di kota-kota kecil yang juga memiliki
universitas, sekolah tinggi, politeknik atau akademi. Sukses kuliah itu ada di mana-
mana dan cara untuk memperoleh kualitas pendidikan tentu saja tergantung pada
proses pribadi yang kita lakukan.
Namun ada juga sebagian orang yang berkarakter ikut-ikutan, “orang kuliah
maka kita juga kuliah”. Sebahagian dari mereka mengikuti proses kuliah begitu
simple- hanya sekedar datang, duduk, dengar dan diam saja di dalam kelas.
Sementara itu di tempat kost aktivitas atau kerja mereka juga simple, yaitu hanya
sekeda rutinitas makan, minum, menghafal, menghayal, hura-hura, main game,
sampai begadang tidak karuan. Padahal sang dosen di kampus mungkin pernah
berkata:
“Anda sebagai seorang mahasiswa telah menjadi kaum intelektual dan
berfungsi sebagai “agent of change” atau agen perubahan sosial di tengah
masyarakat”.
Tapi kalau demikian gaya belajar dan gaya hidup mereka apakah pantas
disebut sebagai agent of change? Oh tentu saja belum pantas.
Namun tentang prilaku mahasiswa dalam belajar atau kuliah juga bermacam-
macam. Tentu saja ada yang rajin dalam mengikuti kuliah. Semua waktu mereka
curahkan untuk kegiatan akademik. Tentu saja ada yang hanya sebatas kutu-buku-
terbenam dalam tumpukan buku-buku teks- hingga tidak punya kesempatan untuk
bergaul. Mereka yang malas bergaul pada akhirnya akan memiliki karakter yang
kaku , dingin, serta kurang peka terhadap orang lain. Kelak walau mereka bisa
meraih prestasi tinggi dalam pekerjaan namun mereka akan menjadi orang yang
kaku.
10
17. Sebagaimana yang telah kita nyatakan bahwa gaya belajar siswa dan
mahasiswa sangat bervariasi. Misal, ada yang bergaya study oriented atau academic
oriented. Masa muda mereka dihabiskan hanya untuk berkutat dengan diktat dan
buku-buku pelajaran, tujuannya agar bisa memperoleh nilai sempurna pada setiap
mata pelajaran. Ada pula yang hanya senang berorganisasi, namun masa bodoh
dengan urusan belajar. Ya ujung-ujungnya jadi gagal dalam bidang akademik.
Selanjutnya ada yang telah berkarakter produktif. Yaitu bagi mereka yang
telah memiliki agenda hidup- punya banyak aktifitas, mulai dari membaca buku,
kuliah/ bersekolah, berolahraga, beribadah sampai merencanakan agenda-agenda
hidup lainnya. Namun juga ada yang bengong saja sehingga tidak tahu apa yang
mau dikerjakan. Mereka hanya pandai menghabiskan waktu dalam box warnet-
duduk terpaku di depan komputer untuk bermain game atau kecanduan nonton TV
selama ber jam-jam.
Memang terasa bahwa saat kita tidak punya aktivitas maka akan sulit bagi
kita untuk memulai sebuah aktivitas yang bermanfaat, misalnya mengerjakan tugas
sekolah, mencuci pakaian, atau membantu orang tua. Ada gejala penyakit yang
sering melanda remaja (pelajar dan mahasiswa), yaitu banyak tidur, boros (buang
buang uang terhadap hal yang tidak perlu), menganggap sepele terhadap tugas-
tugas sekolah, kecanduan talk maniac (gila ngobrol pake HP), gila main game, dan
senang hura-hura. Namun kita harus berhati-hati, bahwa kebiasaan ini kalau selalu
kita biasakan maka akan berubah menjadi karakter kita.
Gejala yang kita jelaskan tadi bisa menjadi indikasi bahwa seseorang sedang
mengalami demotivasi (merosotnya motivasi seseorang). Dan sebetulnya ada
beberapa tips untuk mengcounter (mencegah) gejala-gejala demotivasi tersebut:
a). Segera melakukan silaturahmi kepada sahabat dan orang orang yang
memiliki inspirasai dan motivasi hidup.
b) Kemudian, bacalah buku-buku untuk penambah semangat hidup atau
motivasi.
c) Kalau ingin sukses, maka cobalah membuat agenda hidup- target kegiatan
harian, mingguan dan bulanan.
d) Juga perlu melakukan hijrah (andai lingkungan menjadi penyebab
11
18. kemalasan kita), karena lingkungan teman yang santai akan juga
membuat kita santai.
Untuk itu kita perlu mencari teman yang smart dalam hidupnya. Kalau
demikian, kita perlu mencari komunitas di mana berkumpulnya orang-orang yang
punya semangat hidup, produktif dan suka berbagi pengalaman.
Sebenarnya hidup ini juga dipengaruhi oleh hukum sebab akibat. Hukum
sebab akibat tidak hanya ada dalam pelajaran sains, tetapi juga ada dalam pribahasa:
siapa yang menanam dia yang akan menuai (memetik). Cepat atau lambat maka
setiap kebaikan yang kita lakukan akan membuahkan hasil.
Kejelekan yang sering kita kerjakan juga akan kembali pada kita. Oleh sebab
itu kita perlu banyak-banyak menanam kebaikan. Barang siapa yang bersungguh-
sungguh maka ia akan mendapatkannya. Ya seperti pepatah dalam bahasa Arab
yang berbunyi : man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh-sunggu akan
berhasil.
Dan semua kebiasaan atau karakter yang kita miliki, penyebabnya adalah kita
sendiri. Siklus pembentukan karakter tersebut adalah sebagai berikut: Bermula dari
pola berpikir, pikiran akan jadi perkataan, perkataan jadi perbuatan, perbuatan jadi
kebiasaan, kebiasaan akan menjadi karakter, dan karakter menjadi budaya”.
Tentang kebarhasilan, bahwa kadang-kadang keberhasilan seseorang sangat
ditentukan oleh faktor kesempatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa itu kadang
kala hanya datang sekali saja. Jadi kalau ada datang kesempatan, maka kita harus
memanfaatkannya. Contohnya, ada orang yang sangat jenius, namun mendapatkan
nasib yang tidak terlalu bagus. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak punya
antusias dan usaha yang besar untuk mengambil kesempatan yang datang. Untuk
itu kita harus mencari kesempatan dan peluang. Kita sendiri juga harus rajin
mencari informasi.
Sekali lagi bahwa di negara kita banyak orang yang cerdas dan memiliki nilai
akademik, namun mengapa menjadi pengangguran? Penyebabnya adalah akibat
gaya belajar yang hanya sekedar study oriented- pintarnya hanya belajar melulu.
Idealnya mereka harus cerdas dalam belajar dan juga cerdas dalam kehidupan. Total
learning bisa menjadi solusi bagi kita.
12
19. Total learning dapat kita lakukan dengan mengembangkan potensi atau
kekuatan yang ada pada diri kita. Tulisan yang saya tulis ini terinspirasi oleh
training yang diberikan Setia Furqon (2010) untuk memotivasi banyak anak muda-
terutama para pelajar dan mahasiswa- catatan training tersebut dijadikannya buku
yang berjudul “Jangan kuliah kalau gak sukses”.
Ia sendiri adalah seorang penulis dan motivator berusia muda. Ia
mengatakan bahwa untuk sukses dalam belajar, maka kita memerlukan lima
fondasi dasar sebagai kekuatan kita, yaitu : kekuatan spiritual, kekuatan emosional,
kekuatan finansial, kekuatan intelektual dan kekuatan aksi.
Istilah dari lima kekuatan tersebut dalam bahasa Inggris adalah “spiritual
power, emotional power, financial power, intellectual power dan actional power”. Saya akan
merefleksikan pemikirannya tentang kiat-kiat sukses dalam belajar, dengan judul:
Lima Kekuatan Untuk Menunjang Sukses Dalam Belajar. Pembahasannya sebagai
berikut:
1) Spiritual power
Ini berarti kekuatan spiritual. Bahwa kesuksesan sejati adalah saat kita
merasa dekat dengan sumber kesuksesan itu sendiri, yaitu Allah- Sang Khalik.
Untuk itu ada beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar hidayah/ petunjuk bisa
datang. Bahwa hidayah (petunjuk hidup) itu sendiri harus dijemput, bukan
ditunggu. Kemudian kita harus mencari lingkungan yang kondusif, karena sangat
sulit bagi kita untuk keluar dari lingkaran kemalasan jika lingkungan itu sendiri
mendorong kita untuk jadi pemalas. Untuk mengatasinya, maka kita bisa hijrah
atau pindah kost ke tempat yang mendukung. Kalau sulit untuk pindah kost, maka
kita bisa melakukan hijrah melalui perobahan sikap dan pikiran.
Untuk memperoleh hidayah, kita bisa menemukan guru-guru dalam
kehidupan. Guru tersebut adalah orang-orang yang akan memberi kita inspirasi
agar bisa bangkit setelah kita terjatuh. Sang inspirator kita tidak harus jago dalam
ngomong, orang tersebut bisa jadi sedikit bicara, namun karya dan prilakunya
membuat kita termotivasi.
2) Emotional power
13
20. Kekuatan ini (kekuatan emosi) juga dapat kita sebut dengan istilah
kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan ini juga sebagai penentu kesuksesan
seseorang. Di dunia ini ada banyak orang-orang cerdas atau jenius dengan IQ di atas
rata-rata namun pekerjaanya selalu pada level bawah. Itu terjadi karena
kepribadiannya yang kurang disukai atau sulit bersosialisasi. Kecerdasan emosional
bisa berkembang, karena ia merupakan akumulasi dari karakter individu, dan
dukungan dari faktor lingkungan. Sikap atau karakter sangat penting dalam
membentuk kecerdasan emosi seseorang. Apakah ia berkarakter ramah, gigih dan
ulet- adalah contoh dari bentuk emosional power.
Karakter adalah ibarat sebuah perjalanan yang panjang. Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa karakter adalah akumulasi dari bentuk pikiran, ide yang kita
ekspresikan lewat ucapan dan tindakan, kemudian dipoles dengan suasana emosi.
Orang lainlah yang akan melihat kualitas emosional kita tadi- apakah disana ada
unsur “ jujur, peduli, ikhlas, disiplin, dan berani”, atau malah yang terlihat banyak
unsure “suka berkhianat, angkuh, boros, cepat bosan dan malas”.
Emosi itu sendiri dapat dilatih. Beberapa cara untuk melatihnya adalah
seperti : tersenyum dengan tulus, bila berjumpa teman ya jabat tangannya dengan
penuh antusias. Kalau ngobrol mari kita biasakan untuk mendengar orang terlebih
dahulu. Kita perlu ingat bahwa tidak bijak untuk membuat orang tersinggung.
Kalau kita sedang ngobrol maka kita usahakan untuk menatap mata lawan bicara
sebagai tanda bahwa kita sedang serius dan ia juga akan merasa dihargai. Kita juga
harus ingat dan tahu dengan nama lawan bicara kita.
3) Financial power
Financial power berarti kekuatan dalam hal keuangan. Bahwa kita harus
memiliki kekuatan keuangan agar bisa sukses dalam studi. Namun banyak orang
menganggap bahwa uang bukanlah hal yang utama- mereka takut dikatakan
sebagai orang yang matre (mata duitan). Paling kurang ada dua karakter orang
berdasarkan pendekatan ekonomi atau keauangan. Ada orang bermental miskin
dan orang bermental kaya.
Karakter orang bermental miskin adalah mereka yang menginginkan hasil
sesuatu yang serba instan, lebih banyak membeli barang yang konsumtif, tidak mau
14
21. berubah, dan senang mengandalkan bantuan orang lain. Mereka juga berkarakter
suka menerima,dan kalau belajar hanya untuk mengejar nilai yang bagus.
Sementara itu orang yang bermental kaya adalah mereka yang karakter terbiasa
menyukai proses. Dalam shopping ya lebih suka membeli barang yang produktif.
Selanjutnya ia (mereka) bersifat kreatif, mandiri, senang memberi, dan dalam
belajar/ kuliah bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
4) Intelectual Power
Kemudian lain yang harus kita miliki adalah “intelektual power”. Bahwa otak
kita sedikit banyak juga harus memahami tentang keberadaan otak. Otak kita
membutuhkan waktu istirahat yang cukup agar ia bisa beroperasi secara optimal.
Maka kita perlu untuk bisa memperoleh tidur yang nyenyak, karena sangat
berguna untuk kesehatan otak. Salah satu fungsi otak adalah membantu kita dalam
memahami apa yang kita amati dan yang kita tiru.
5) Actional Power
Ini berarti kekuatan bertindak. Seorang pemuda (siswa atau mahasiswa) yang
menjadi atlit sepak bola menghabiskan puluhan jam untuk membaca buku sepak
bola, tentu saja susah baginya untuk menjadi sepak bola yang sejati. Kecuali kalau ia
memang sangat rajin dalam latihan menendang bola. Karena praktek menendang
bola lebih berarti dari pada hanya membaca buku teori tentang bermain sepak bola.
Dikatakan bahwa orang Jepang bisa menjadi cerdas karena punya kebiasaan
mengamati, meniru dan memodifikasi. Bangsa Jepang bukanlah bangsa yang mula-
mula menemukan kendaraan roda dua dan roda empat. Namun mereka adalah
bangsa yang gigih dalam meniru-melakukan atau karena memiliki action power- dan
memodifikasi penemuan bangsa lain. Budaya senang meniru dan senang
memodifikasi tersebut telah membuat Jepang sebagai negara produsen mobil
terbesar di dunia. Negara Jepang pada mulanya mengamati dan meniru serta
memodifikasi mobil Ford buatan Amerika dan mobil buatan negara lainnya. Jepang
memodifikasinya hingga bisa menjadi mobil yang cantik, seksi dan hemat bahan
bakar.
Jadi dapat dikatakan bahwa sekarang kita perlu menjadi cerdas, cerdas dalam
belajar dan juga cerdas dalam hidup. Untuk bisa cerdas atau berhasil dalam hidup
15
22. ini maka kita memiliki dan memperdayakan lima kekuatan yaitu action power,
financial power, spiritual power, intellectual power, dan emotional power. Dengan
demikian pelajar dan mahasiswa yang bakal sukses itu adalah mereka yang
memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosi, kecerdasan
dalam bersikap/ aksi dan memiliki dukungan keuangan- biar pas-pasan namun bisa
menunjang studi.
16
23. 3. Pentingnya Menjadi Siswa Yang Smart Book dan Smart Street
Kata “smart” sudah begitu familiar pada banyak orang. Karena banyak tempat
kegiatan sosial yang memakai kata smart seperti: smart kid, smart group, smart house,
smart mom. Kegiatan yang menggunakan kata smart akhirnya digemari dan diburu
oleh para orang tua. Mengapa demikian? Karena mereka ingin memilki anak-anak
juga bisa untuk menjadi smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat
yang memburu tempat kursus yang punya label “smart”, seperti: smart English, smart
math, smart dance, smart music, dll.
“Ya....kata smart lagi menjadi sebuah fenomena bisnis atau fenomena sosial,
hingga bermunculan frase lain seperti: smart book, smart phone dan smart street”.
Kita sudah tahu bahwa kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas
dengan buku. Maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua
buku teks dengan tuntas. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam
pikirannya. Sementara itu, smart street berarti cerdas di jalanan, maksudnya seorang
siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri. Orang yang smart street adalah
orang yang memiliki life skill (kecerdasan hidup).
Anak anak kita yang belajar di sekolah favorit yang hanya sekedar fokus
dengan urusan akademik pada umumnya juga hanya memiliki karakter smart book,
sekedar jago dengan buku-buku. Pengalaman seorang pemandu (tour leader) yang
mengajak tour satu grup siswa yang mana mereka hanya sekedar cerdas akademis
atau smart book pergi tour melintasi berbagai kota di pulau Jawa dan suatu ketika
mereka berhenti di rest area dan pergi shopping ke sebuah mall megah- bangunan
besar berlantai enam .
Namun para siswa yang hanya sekedar smart book tersesat dalam mall yang
gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang
telah menunggu cukup lama. Mereka terlihat kehilangan akal, tentu saja tour leader
butuh waktu cukup lama buat membantu mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ya
karena mereka punya nyali yang kecil, minim dengan pengalaman di luar rumah,
kurang memahami liku-liku jalan di alam ini atau kurang paham dengan smart street
sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata.
17
24. Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah biasa-biasa saja.
Sekolah mereka pun juga nggak punya label label unggul atau label smart juga
pernah dibawa tour leader yang sama yang bekerja sama dengan sekolah mereka.
Mereka juga berhenti dan dilepaskan ke sebuah mall sangat besar tersebut. Namun
tidak satu orang pun yang menelpon karena merasa tersesat jalan.
Mengapa mereka tidak tersesat saat keluar mall tersebut? Ya karena mereka
punya nyali yang besar dan sudah terbiasa menjelajah lingkungan dan alam yang
lebih luas. Dengan demikian mereka telah menjadi siswa yang smart street. Dan
negara kita yang sangat luas ini tidak hanya membutuhkan generasi muda yang
smart book namun juga harus smart street.
Pendidikan negara maju (seperti Amerika Serikat) dan pendidikan negara
berkembang (seperti Indonesia) proses pembelajarannya juga berbeda. Perbedaan
tersebut bisa terbentuk oleh kultur. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan
perbedaan kultur 2 bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat umum yang
sudah digeneralisasi. Orang Amerika diajar untuk berkepala dingin, roman muka
keras dan pikiran tenang. Dalam belajar di Amerika para siswa/ mahasiswa
menghormati dosen (guru) mereka, namun mereka boleh memiliki pikiran sendiri,
malah kadang- kadang juga berdebat dengan dosen untuk menguji gagasannya.
Namun dalam pergaulan bersikap santai dan ramah.
Sementara di Indonesia yang orang-orangnya cenderung menggunakan
visualisasi dan indirect language- bahasa yang tidak langsung ke pokok
permasalahan. Dalam proses belajar mereka menghormati dosen/guru, mereka
tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan
mahasiswa/ siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin.
Kedua negara ini jadi berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, kualitas
SDM masyarakatnya, budayanya, dan dalam banyak hal. Praktek pelaksaan
pendidikan di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sebagian sekolah di
Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan bermaksud untuk menyanjung
Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang
selalu kita cintai.
18
25. Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan
membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian
campur tangan orang tua dalam mendidik yang mana mereka hanya sekedar pintar
memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan
berpangku tangan setelah itu. Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat
memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka juga harus
menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan
kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus.
Di sebagian sekolah kita banyak anak yang hanya belajar dan terbelenggu
oleh urusan kognitif semata. Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif
(sikap) dan praktek, tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya perhatian pada
pengembangan kecakapan hidup dan kecakapan sosial anak didik tidak begitu
banyak tersah.
Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam
tiga sore- hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu anak- anak
cerdas tadi dikirim lagi oleh orang tua ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak keluh seorang anak. Namun orang tua selalu
memaksa agar saya bisa memperoleh passing grade yang tinggi. Agar saya kelak bisa
jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan tinggi favorit”.
Ya begitulah sebahagian anak mengeluh karena cukup lama mereka
dibelenggu atau terpenjara dalam kamar akademik. Hingga mereka pulang ke
rumah dengan rasa letih dan lesu menjelang senja tiba. Dan seperti itulah fenomena
konsep belajar anak-anak cerdas di seputar kita.
Memang belajar pada Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-
anak cerdas, utamanya bagi orang tua mereka yang punya duit cukup. Bimbel itu
sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dibikn dalam
franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal
memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
Saat saya berusia remaja ekitar 30 tahun yang lalu, saya sering melihat orang
pergi les/ kursus. Bukan untuk mengikuti kursus mata pelajaran seperti yang
dilakukan oleh para pelajar sekarang, namun dalam bentuk les menjahit, les
19
26. memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa. Juga les otomotif, les
merangkai elektronik, hingga les main piano, biola, gitar, dan lain-lain. Les atau
kursus seperti itu membuat para remaja lebih cerdas secara non akademik. Namun
les- les seperti itu sudah sangat langka, yang menjamur adalah les mengolah soal-
soal mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional. Les ini dikemas dalam bentuk
“bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah
dan coraknya monoton yaitu sekedar les buat tujuan akademik melulu.
Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam
memperebutkan anak anak cerdas. Agar bisa meraih siswa sebanyak mungkin maka
pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Pakai
spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan
mentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya bisa
belajar dengan mentor pilihan.
Para mentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering
lebih mereka idolakan dari guru- guru mereka sendiri di sekolah mereka yang
kadang kala berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah
fenomena, bahwa pribadi mentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah
mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang kadang-kadang ada
yang nggak bersahabat.
Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa
menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. Mereka sangat percaya bahwa
pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini
adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak
mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah
dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah,
dan banjir dengan duit.
Orang tua di rumah hanya sekedar memahami bahwa anak perlu belajar kuat
dan bersemangat untuk meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu
memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di
sekolah favorit. Orang tua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka.
20
27. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah
percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
Memang jadi fenomena dalam masyarakat bahwa mereka senang dengan
merek atau label. Mereka selalu mencari pakaian atau hal-hal yang berlabel yang
hebat. Sebagai contoh bahwa sehelai baju kaos berharga 50 ribu perak yang ada
merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos
berharga “seratus ribu perak dan kapan perlu berharga satu juta perak” namun
pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”, ya tulisan yang
labelnya tidak begitu ngetop.
Seorang pelajar salah satu SMA Negeri di kota Bukittinggi, yang baru saja
pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES-
Youth Exchange Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik
tentang way of life orang Amerika dan way of life kita. Ia mengatakan bahwa program
pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari
sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi, juga siswa-siswa di
Indonesia secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak
pada bersitungkin (semata- mata terfokus pada satu tujuan saja) untuk melahap
rumus- rumus pelajaran. Dari pagi hingga awal sore mereka belajar di sekolah dan
setelah itu dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat
dan pulang bimbel juga sudah malam semua membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena damprat oleh
mama dan papa karena dianggap malas”. Juga mana ada waktu lagi buat ikut
bersosial dengan tetangga di seputar rumah.
Sebagian siswa merasakan badan mereka yang lesu karena asupan gizi yang
salah dan tidak berimbang. Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai
warga modern dengan mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman
yang kaya dengan zat kimia atau adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi
minuman langsung dari show-case, minumah dalam label mewah namun tidak
menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak sehat dan juga
21
28. mengadoppsi life style yang mereka anggap mewah. Pokoknya asupan gizi yang
kurang berimbang membuat mereka juga kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan pikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan
life style seperti itu”.
“Ya demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi
sekarang mereka. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas
akademik setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik”
Di negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara
alami saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada namun
tidah ada fenomena deman bimbel setiap akhir tahun akademik. Belajar di sekolah
saja itu mereka rasakan sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi harus ikut
bimbel.
Guru-guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan
menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara
menyajikannya dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan
lingkungan sekolah penuh dengan iklim layanan prima: look smile, greed, serve, and
thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita,
atau malah lebih lagi.
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel
memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang ke rumah dan selanjutnya
pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke
lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main
cricket, juga ada yang menekuni badminton, hingga main karate, dan judo, dll .
Mereka menekuninya bersungguh-sungguh dan sangat menikmati hobinya.
Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional, bahkan juga menjadi
atlit internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada bidang music dan seni, mereka pada menyerbu theater.
Ada yang mendalami music jazz, music pop, biola, key board, mendalami ballet hingga
seni lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh
22
29. dewasa- mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan
theater professional yang berkelas nasional hingga berkelas internasional.
Bagaimana dengan urusan akademik? Ya mereka juga selalu memahami dan
menekuni. Walau mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka
berbuat sesuai dengan konsep agama Islam “man jadda wa jadda- barang siapa yang
bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas
bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan
seorang anak. Sebagian orang tua di negara kita- sekali lagi- hanya sekedar
memahami bahwa anak perlu menaklukan semua mata pelajaran, jago dengan
akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak yang telah menghabiskan banyak
waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang
tinggi agar kelak mereka bisa kuliah di tempat yang favorit (?). Setelah itu, seperti
ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang bisa datang dengan mudah.
Jadinya para orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup
lelah oleh urusan akademik. Mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Mereka
berfikir bahwa anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang
rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau
perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang
bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Jadinya anak tidak kenal dengan
pengalaman memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka
berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang-
senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut
dengan facebook, twitter, bbm, dan media sosial lainnya. Karena sudah terlanjur
suka dengan aktifitas sendiri, kurang meleburkan diri dengan tetangga atau
lingkungan sosial maka sekarang lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan
sosial.
23
30. Kita mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan,
hingga rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas
akademik namun buta dengan lingkungan- tidak punya life skill- kurang mampu
dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak-anak yang sekedar
“rancak di labuah- sekedar bagus pada penampilan” yang sekedar cakep pada
penampilan, smart book but poor life skill.
Hal yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk
memuji bangsa Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep
parenting. Rumahtangga di sana sangat peduli dengan ilmu parenting malah
pernikahan di sana punya persyasaratan bahwa semua calon pengantin sebelum
menikah musti mengikuti kursus parenting- bagaimana menjadi orang tua yang
ideal. Orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan
anak- anak yang berkualitas.
Hampir semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua
sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai the teacher. Educator berarti pendidik
dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai educator punya peran dalam
menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik
adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian
tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing-
masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan
mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah-rumah
di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak-anak di negara kita berlomba-lomba buat belajar ya hanya sekedar
menjadi smart-book agar kelak mereka mampu menuju perguruan tinggi terbaik.
Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga
mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan
membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu
menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses
perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak
24
31. memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana
baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip
nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang hanya sekedar tahu dengan akademik namun
tidak begitu smart street dan kurang punya life skill. Mereka kemudian akan dilanda
oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Tidak banyak yang dapat mereka
lakukan setelah menyandang status sarjana, kecuali sekedar berusaha bertahan buat
menunggu datangnya “job- fair” seiap saat. Atau mengirim lamaran demi lamaran
ke perusahaan, kantor-kantor dan ke daerah yang jauh dari kampung halaman. Mau
pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan waktu hingga usia
merangkak tua.
Anak-anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya self-
determination (tujuan hidup sendiri) dan punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan
dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak
secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan
sekedar ikut-ikutan atau gengsi-gengsian. Di sana tidak ada fenomena
memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah
menggiring anak-anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua
orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi
anak-anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang
cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa
tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul,
apalagi di sekolah biasa-biasa saja juga bertujuan untuk mendidik anak menjadi
cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah,
tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi
apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju
lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak-anak belajar untuk menjadi
generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat
internasional.
25
32. 4. Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas
Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering
didengungkan di perguruan tinggi. Saya juga menerima kata-kata ini saat menuntut
ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah
kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan perguruan tinggi yang lain?. Tentu
saja iya, bahwa kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar
menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education” sebagai sarana
untuk meningkatkan kualitas hidup kita.
Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia-
Unesco (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Unesco
memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat
mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi
dengan ilmu pengetahuan. Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life
education sebagaimana ungkapan seperti:
“Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke
liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi
setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal
dan amal akan mengikutinya”
Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara
maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Saya membuka
diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya
berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga
warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka
sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan
secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya dalam mempelajari Bahasa
Perancis secara otodidak bagi saya.
Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah
Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di
Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung,
26
33. Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari mereka adalah konsep
hidupnya sesuai dengan “long life education” sebagai kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan
tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument
penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang
orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang
Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang
speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Saya
juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie
mereka.
Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa
menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga
memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan
ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di
negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat
baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse.
Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing”
hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat
anak balita saya menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa
Indonesia yang mudah dimengerti.
Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia
mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis
Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Saya melihat Anne
Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa
melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut
hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
“Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang
bersarang dalam jambu?”
27
34. “Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua
semut”.
Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan saya secara
kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun-tahun berikutnya ia sering
mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam
hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah
Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang
alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca
yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan saya juga jadi suka
membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
“See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku,
perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014, Craig Pentland membawa
buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca
novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar
Pelangi”. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat saya di
Batusangkar, di Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu membawa
beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah
menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan
perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat
memuaskan spiritual atau pikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat
membaca berarti mereka telah membiarkan selalu pikiran mereka dalam keadaan
lapar.
Saya dan seorang teman, namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris
setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah
dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering
mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau
Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah
Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
28
35. Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan
biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model
penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias
menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru
internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer
yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang
bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home
stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi
kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”.
Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan
home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat,
kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat
senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading.
Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan
bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka
berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil
di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat
tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan
membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca.
Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas
seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk
mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’
bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah
dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan
saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah
agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama
mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya
29
36. bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu,
banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education sebagai kebutuhan hidup
dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya
hidup orang Australia? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari
California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan
Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang
saya jumpai menghabiskan waktu belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau
Samosir, di Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa
Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar
melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di
Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long
life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk
mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3
bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca.
Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri
buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu
kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca.
Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca
buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana
fenomena guru-guru di Indonesia?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi
membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu
istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan
istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life
education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa
meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan
30
37. kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar
dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar,
pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan
sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari
kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat.
Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam sistem
pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya
membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas
utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah,
maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada
membaca. Jadinya ada jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak
tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh
sejarah yang berguna buat cermin kehidupan untuk memacu kualitas SDM
merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik
untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru
hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah
sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori
para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik? Karena mereka
diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari
keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif
yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan
long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang
mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan
prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal
dan menerapkan semboyan long life educationsebagai kebutuhan hidup, dalam hidup.
Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu
31
38. peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya
kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia
ini.
32
39. 5. Hidup Butuh Proses dan Bukan Sekedar Berteori
Membaca buku biografi bermanfaat untuk memperkaya pengalaman jiwa
kita. Misalnya membaca biografi para tokoh politik, pendidikan, wirausaha, dll.
Saya juga menyenangi buku biografi- salah satunya saya membaca biografi tentang
Ciputra. St. Sularto (2010), memamparkan biografi Ciputra dengan gaya bahasa
yang mudah buat dicerna. Dia memaparkan biografinya secara ringkas.
Ciputra memulai hidupnya dengan sebuah mimpi yang kecil, dan kemudian
dia punya mimpi yang lebih besar. Persisnya di awal usianya 30 tahun dia mampu
mewujudkan mimpinya menjadi nyata- dream come true. Yaitu sebagai direktur
sebuah perusahaan Pt. Pembangunan Jaya. Buat ukuran anak-anak zaman sekarang
perjalanan hidup Ciputra untuk menapak karirnya sungguh sangat impossible-
sangat sulit- dan juga mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka.
Mengapa demikian?
Ciputra betul-betul mengawali hidupnya dari kondisi uncomfort zone- suasana
rumah yang memang jauh dari suasana nyaman. Memasuki masa remaja sekitar
zaman perang dunia ke-2, saat tinggal di Sulawesi Tengah, ia kehilangan ayahnya
yang tercinta. Ia menyaksikan tentara Jepang menyeret ayahnya dan memisahkan
dari keluarga. Ayahnya dituduh sebagai mata-mata Belanda dan dijebloskan ke
dalam penjara. Ayahnya meninggal dalam tahanan Jepang, namun hingga sekarang
dia tidak mengetahui kuburan ayahnya.
Ia tidak saja kehilangan ayah, namun juga kehilangan mata pencarian. Toko
kelontong sebagai sumber rezki/ sumber keuangan buat menghidpi keluarga juga
hancur. Sejak itu mereka (ia dan keluarganya) jatuh miskin. Masa remaja yang
seharusnya ceria ia lalui dengan penuh suasana suram.
Fenomena umum adalah bahwa orang miskin jarang diperhitungkan
keberadaanya. Mereka sering dilihat sebelah mata. Itu sangat dirasakan oleh
Ciputra. Ia merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang miskin karena tidak
pernah/ jarang dihargai eksistensinya oleh orang lain. Inilah pemicunya bagi
Ciputra untuk segera bangkit dan mematrikan tekad “Aku harus menjadi orang
kaya dan sukses”.
33
40. Untuk menjadi kaya dan sukses harus melalui jenjang prestasi. Makanya ia
ingin berprestasi dan juga ingin independent (mandiri). Ia juga ingin bisa membantu
orang lain. Tentu saja itu bisa dilakukan melalui strategi. Apa strategi yang
ditempuh Ciputra?
“Yaitu dengan meninggalkan kampung halaman, dengan cara merantau atau
hijrah”.
Maka dia memutuskan untuk merantau ke pulau Jawa, pulau yang SDM-nya
lebih baik dari pulau-pulau lain di Indonesia sejak dahulu. Niat utamanya ia pergi
ke pulau Jawa adalah untuk menuntut ilmu, yaitu ingin masuk ke ITB.
Apa mustahil untuk bisa kuliah di ITB saat itu? Transportasi menuju pulau
Jawa di tahun 1940-an dan 1950-an belum lagi semudah dan senyaman zaman
dirgantara sekarang. Saat itu orang-orang hanya mengandalkan kapal laut dengan
jarak tempuh hitungan minggu. Begitu pula masuk ITB di tahun-tahun tersebut juga
tidak semudah di zaman cyber sekarang, yang kadang kala juga banyak program-
program yang membuat calon mahasiswa memperoleh kemudahan.
Dengan berbagai tantangan dan keterbatasan maka Ciputra berhasil menjadi
mahasiswa ITB. Namun kehidupannya sebagai mahasiswa ITB tidak senyaman
teman-temannya yang lain. Ketika duduk di tingkat dua ITB kiriman keuangan dari
ibunya sudah terputus. Akibat kesulitan ekonomi, jadinya Ciputra memutar otaknya
bagaimana untuk bisa mencari duit agar mampu membantu diri sendiri- menopang
kehidupan sebagai seorang mahasiswa yang lagi dilanda kesulitan hidup.
Sebagian teman-temannya mempunyai kecukupan uang dan mereka bisa
hang-out, mengikuti kegiata ekskul, menekun hobby di bidang kesenian dan
olahraga, atau meluangkan waktu untuk memadu janji dengan kekasihnya. Maka
hal seperti itu sangat mustahil bagi Ciputra.
Ia mencari kerja serabutan sambil kuliah. Ia pernah menjadi pedagang batik.
Ia bukan menggelar dagangannya di pasar kakilima di kota Bandung. Namun ia
mencari batik ke Bandung dan menjualnya sampai ke Medan. Selain itu ia juga
sempat menjual meubel. Ia merancang gambar meubel dan membayar tukang
meubel untuk membuatkannya.
34
41. Fenomena yang kita lihat dan dengar bahwa banyak orang yang baru
merintis usaha- bisnis- setelah mereka wisuda, menjadi seorang sarjana. Sehingga
merasa kesulitan untuk eksis. Namun Ciputra malah memulai usaha bisnis saat
masih kuliah, itu karena desakan ekonomi- kesulitan biaya hidup. Maka bersama
dengan temannya mereka mendirikan konsultan yang mereka beri nama “PT
Perentjanaan Djaja”. Betul-betul kesulitan hidup- suasana uncomfort zone- memberi
dampak motivasi yang dahsyat. Perusahaan yang mereka rancang tersebut masih
beroperasi hingga sekarang. Agar kuliah tidak terganggu, maka Ciputra sangat ketat
dengan pengelolaan waktu- time management yang bagus.
Mengapa Ciputra memulai kemandirian hidup dan semangat entrepreneur
sedini mungkin? Sekali lagi, bahwa itu karena faktor kesusahan hidup. Derita
kemiskinan dan merasa tidak nyaman diremehkan orang akibat faktor kemiskinan
dan juga faktor kesulitan keuangan saat kuliah di ITB telah menjadi bahan bakar
buat menyalakan semangan juangnya.
Semangat entrepreneurnya muncul karena ia lahir di tengah keluarga
pedagang. Tidak heran kalau sejak kecil ia bisa bermain dan bergerak di antara
barang dagangaan. Ia bertemu dan berkomunikasi dengan pelanggan toko sejak
masa kanak-kanak. Orangtuanya telah berhasil menciptakan lingkungan
enterpreneur buatnya. Nilai-nilai enterpreneurship tertanam sejak kecil, hingga
remaja dan juga hingga dewasa.
Seorang enterpreneur harus menghormati dan menghargai pelanggannya.
Ciputra tahu dari ayah dan ibunya, bahwa seorang pedagang/ enterpreneur harus
menghargai pelanggannya. Keunggulan dalam pelayanan terwujud dalam
bagaimana cara memuaskan pelanggan.
“Apa saja yang dijual Ciputra pada waktu kecilnya?”
Ia juga harus mampu menjual hasil pertanian untuk kehidupan keluarga
sehari-hari. Ia juga terbiasa membuat topi dari pandan dan menjual ke masyarakat.
Ia tidak merasa malu atau enggan melakukannya. Begitulah cara Ciputra dalam
mengisi masa remajanya, dan sekali lagi kebiasaan ini menubuhkan jiwa
enterpreneur dalam dirinya.
35
42. Bagaimana dengan orang sekarang dalam menumbuhkan jiwa
enterpreneurnya? Ya utamanya dalam bentuk membaca buku-buku tentang
wirausaha, juga menghadiri seminar tentar kewirausahaan hingga yang diperoleh
hanya sebatas teori demi teori tentang cara berwirausaha. Mereka umumnya buta
untuk melangkah, atau juga belum kuat percaya dirinya untuk terjun sebagai
seorang wirausahawan muda. Tetapi that is oke dari nggak pernah tahu tentang
kewirausahaan sama sekali.
Paling kurang sejak usia anak-anak hingga remaja, seseorang yang ingin
berwirausaha musti rajin-rajin untuk bertandang/ berkunjung ke pusat-pusat
wirausaha agar mereka keciprat semangat wirausaha. Membangun wirausaha saat
masih kuliah , ini adalah awal sukses bisnisnya Ciputra. Ya saat para temannya
asyik menggeluti hobby, maka Ciputra telah memulai merajut mimpinya dengan
serius. Yakni untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dibelit kesusahan
finansial.
“Saya harus menjadi arsitek yang berjiwa enterpreneurial. Hasrat inilah yang
akhirnya membawa keputusan saya untuk mendirikan PT Penbangunan Jaya
bersama pemerintah DKI Jakarta dan beberapa pengusaha nasional. Saya bukan
pasif lagi menunggu pekerjaan, tetapi aktif menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain”. Demikian papar Ciputra dalam meneguhkan dirinya.
Hidup perlu punya visi dan kita harus selalu bermimpi. Itulah prinsip hidup
Ciputra. Dalam tahun 1960-an ia mendirikan Jaya Group, dan selanjutnya tahun
1970-an ia mendirikan perusahaan Metropolitan Group bersama kawan-kawannya
dari ITB. Kemudian pada tahun 1980-an ia mendirikan Ciputa Group, bukan
bersama teman-temannya, namun bersama anak-anaknya sendiri.
Saya yang lagi menulis artikel ini lagi merasa bersimpati kepada seseorang
yang baru saja meraih gelar sarjananya dari jurusan teknik. Ia lulusan universitas
terkemuka dengan nilai sangat bagus yang telah membuat bahagia orangtuanya.
Namun setelah itu ia terlihat kebingungan hendak bagaimana lagi dan hendak mau
diapakan ijazah sarjananya.
Terasa kalau hanya bangga dengan nilai yang tinggi itu adalah kebanggaan
yang semu. Nilai yang tinggi tak lebih hanylah sebagai hiasan pada selembar ijazah.
36
43. Sarjana baru ini terlihat sangat tidak berdaya dan barangkali sarjana baru ini adalah
gambaran dari sebagian sarjana baru di Indonesia yang hanya sekedar jago atau
cerdas dengan kertas. Setiap hari waktunya habis dengan merunduk mengotak atik
gadgetnya dan ia tidak jauh berbeda dengan anak-anak SMP dan juga anak SMA
yang sedang mabuk dengan gadgetnya.
Ya sarjana baru ini hanya sebatas cerdas kertas, cerdas dengan teori. Ibarat
orang yang ingin pintar main bola maka dia sudah terlalu banyak membaca buku
teori bagaimana cara main bola. Yang dia butuhkan bukan teori tetapi dia butuh
langsung berlatih menendang bola. Semakin banyak ia berlatih menendang bola
makaakan semakin hebat ia untuk menjadi pemain profesional. Jadi yang
dibutuhkan mahasiswa baru ini adalah sebuah action.
“Sarjana baru yang bermental penakut ini tidak perlu lagi pendidikan,
dengan arti kata kata belajar sebatas teori, belajar sebatas mencari perhatian dosen
agar bisa memperoleh nilai yang tinggi. Yang dia butuhkan adalah latihan demi
latihan. Ia membutuhkan ratusan kali latihan di lapangan kerja yang nyata.
Berinteraksi dengan banyak orang, tidak perlu merasa alergi atau merasa lebih hebat
dengan orang-orang yang bukan tamatan universitas, karena bisa jadi mereka lebih
hebat lewat pengalaman lapangannya. Indonesia sangat membutuhkan sarjana yang
rajin melakukan proses, berevolusi untuk meningkatkan kualitas, dan tidak
membutuhkan sarjana yang banyak berteori untuk menghadapi hidup.
Semua anak muda dan terutama para sarjana harus banyak melakukan
proses bukan sekedar terpaku pada teori. Sekarang pekerjaan amat sulit, namun
kesempatan buat berwirausaha sangat terbuka lebar. Ciputra menyatakan bahwa
wirausaha harus dimulai dari pendidikan yang bukan asal-asalan. Karena kunci
utama perubahan manusia ada pada diri manusia itu sendiri. Dengan kata lain
kunci utama mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan adalah dengan
mendidik dan “melatih diri, pratek langsung sebanyak mungkin”.
Maka manusia seperti inilah yang kita sebut sebagai manusia enterpreneur.
Manusia enterpreneur tidak akan jadi beban masyarakat, ia malah bisa menciptakan
pekerjaan bagi orang lain. Ia akan mampu mengubah kekayaan alam dan budaya
Indonesia menjadi produk yang dibutuhkan dunia. Kalau boleh jiwa enterpreneur
37
44. harus dimulai lebih dini agar tumbuhnya dalam jiwa lebih kuat, kalau
diperkenalkan saat sudah dewasa maka dampaknya sedikit membekas. Pendidikan
Amerika Serikat meberikan latihan enterpreneurship lebih dini yakni sejak dari
pendidikan dasar, dan enterpreneur memperkaya kurikulum mereka. Jadinya
enterpreneur mereka lebih sukses. Kita di Indonesia juga harus lebih sukses, semoga.
38
45. 6. Keterampilan Dan Keberanian Buat Kehidupan
Skill and experiences ring more louder than theory- keterampilan dan pengalaman
lebih nyaring bunyinya dari hanya sekedar teori. Kalimat ini bisa kita buktikan
dalam pengalaman hidup ini. Misanya sebuah warna kehidupan yang terjadi pada
seorang lelaki muda, sebut saja namanya Abdel Jalil, seorang immigran Mesir.
Abdel Jalil seorang lelaki muda asal Mesir berwajah tampan, berkulit
sawomatang dan wajah tampan dengan kumis dan jambang yang digunting rapi.
Tinggi sekitar 180 cm dan berambut ikal. Ia mampu berkomunikasi dalam empat
bahasa yaitu bahasa Arab, Perancis, Inggris dan bahasa Indonesia.
Pastilah ia seorang lelaki yang terbilang yang sangat tampan dan cerdas di
negeri asalnya. Kemampuan polyglotnya- menguasai banyak bahasa- juga
dibuktikan dengan kemampuannya menulis dalam huruf Arab dan huruf latin buat
bahasa Indonesia, Perancis dan Inggris. Saya sendiri merasa susah payah untuk
menguasai tata-bahasa Arab dan Perancis serta menulis dalam huruf Arab.
Sementara bagi Abdel Jalil keempat bahasa ini sudah terdengar amat fasih dan amat
mudah bagi lidahnya. Sekali lagi bahwa pastilah ia seorang lelaki muda yang amat
cerdas, dan kecerdasanya ini akan mampu mendatangkan banyak keberuntungan
baginya, semisal kekayaan dan uang yang jumlahnya lebih dari cukup. Apakah
benar seperti itu?
Wah ternyata itu tidak. Malah tiap hari ia hidup dalam kondisi yang sangat
bersahaja dan mungkin juga dalam kondisi kekurangan. Saya sering menjumpainya
merokok yang tidak putus-putusnya, ini sebagai indikasi bahwa ia lagi dilanda
stress akibat tidak punya uang. Ya baginya uang susah buat mampir. Mengapa hal
ini terjadi?
Saya yakin bahwa saat masih berada di Mesir, Abdel Jalil pasti seorang siswa
yang sangat cerdas dan sangat berbakat. Huruf bahasa Arab dan tatabahasa Arab
sangat jauh berbeda dengan tatabahasa Perancis dan Inggris dan perbedaan antara
huruf Arab dan huruf Latin. Namun itu semua sangat dikuasai oleh Abdel Jalil.
Sehingga suatu ketika ia menjumpai situs Darmasiswa yaitu “an Indonesia
scholarship program” yang boleh dilamar oleh mahasiswa dari 83 negara di dunia.
39
46. Beberapa tahun lalu saya sempat berjumpa dengan para mahasiswa asal
Eropa Tengah (Rumania dan Bulgaria) yang tengah belajar di Sekolah Tinggi Seni di
Padang-Panjang, Sumatera Barat melalui program beasiswa Darmasiswa dari Dikti.
Juga saya berjumpa sangat banyak mahasiswa asing yang terdaftar sebagai
mahasiswa di Universitas Gunadarma juga melalui program beasiswa Darmasiswa
dari pemerintah Indonesia, saat saya sama-sama menginap di Hotel Millennium
Sirih, Jakarta .
Setelah membaca informasi tentang kuliah beasiswa di Indonesia dan
membaca profil beasiswa Darmasiswa, maka Abdel Jalil menjatuhkan pilihan untuk
kuliah di Indonesia dengan pilihan jurusan Bahasa Indonesia. Tentu saja sebelum
menjadi mahasiswa di Indonesia, dia telah bergiat untuk menguasai dasar-dasar
bahasa Indonesia secara self learning. Ini dibantu dengan teknologi google language
dan juga situs-situs belajar bahasa lainnya. Utamanya dia menguasai cara
pengucapan bahasa Indonesia, kosakata dan tatabahasa dasar bahasa Indonesia.
Akhirnya Abdel Jalil berangkat menuju Indonesia setelah lulus seleksi,
mengurus dokumen keimigrasian dan visa belajar di Indonesia dari kantor
Kedutaan Indonesia di Kairo. Abdel Jalil memilih jurusan bahasa Indonesia dan
kuliah di UGM Yogyakarta. Tentu saja ada visi dan misi mengapa dia tertarik buat
belajar bahasa Indonesia, mungkin juga ingin menikah dengan orang Indonesia?
Keputusan menikah di Indonesia memang beda dari Mesir. Pernikahan di
Indonesia bisa dibikin lebih sederhana dan juga bisa dibikin sumper rumit dan
super mewah. Bagi yang belum mampu biaya menikah bisa dicicil ada pinjam uang
sana-sini. Tidak demikian halnya dengan pernikahan di Mesir. Bisa jadi sepasang
anak muda yang saling jatuh cinta begitu mendalam, namun ketika mau menikah
cinta mereka bisa berantakan.
Di Mesir menikah tidak cukup sekedar bermodalkan cinta saja. Banyak
pemuda Mesir merasa kesusahan buat menikahi kekasih mereka karena mahalnya
harga mahar. Orangtua akan meminta mahar dengan nilai sekitar 150.000 EGP atau
setara dengan 225 juta Rupiah. Cukup banyak yang merasa tidak mungkin bisa
punya tabungan sebanyak itu. Khusus bagi laki-laki yang masih muda, yang tidak
punya uang, jadinya cinta mereka harus. Selain biaya mahar yang tinggi, biaya pesta
40
47. perkawinan juga cukup tinggi yaitu sekitar 50.000- 100.000 EGP, atau sekitar 75 juta
hingga 150 juta rupiah.
Ada juga yang mengatakan bahwa bukan mahalnya biaya mahar, namun
seorang laki-laki Mesir yang mau menikah harus mampu menyediakan terlebih
dahulu sebuah rumah atau apartemen buat istri, begitu mereka setelah menikah.
Harga sebuah apartemen tipe dan ukuran yang standar sekitar 225 juta Rupiah, ya
setara dengan harga sebuah rumah perumnas ukuran sederhana di Indonesia.
Namun tidak semua lelaki muda yang mau menikah bisa menyediakan rumah,
jadinya banyak laki-laki Mesir yang telat menikah, yaitu mendekati usia 40 tahun.
Hal yang demikian juga dialami oleh Abdel Jalil. Mahalnya harga pernikahan
membuat laki-laki ini tetap single sampai usia di atas 30-an, hingga ia punya
kesempatan untuk memperoleh beasiswa kuliah di Yogyakarta. Dengan kemudahan
media sosial, utamanya Facebook, dia mulai rajin berselancar- browsing- untuk
mendapatkan gadis idamannya yang mampu mengisi kekosongan hatinya.
Akhirnya yang beruntung adalah seorang gadis di Sumatera Barat. Mereka saling
kontak dengan intens dan berjanji, malah sempat saling ketemuan di Jakarta dan
Yogyakarta beberapa kali.
Gadis lembut dari Sumatera Barat tersebut sangat merespon cinta lelaki
ganteng ini. Kualitas cinta mereka semakin meningkat saban hari. Akhirnya Abdel
Jalil memutuskan untuk datang menemui calon mertua, meminang secara sederhana
dan menikah dengan proses yang sangat ringan, kontra dengan proses pernikahan
di Mesir yang terasa mahal.
Tentu saja dengan menikah maka terjadi perpaduan kasih sayang dua pribadi
dan kemudian akan terasa persamaan dan perbedaan. Rasa cinta yang tinggi dan
persamaan dalam keyakinan- yaitu agama Islam- menjadi perekat perkawinan yang
cukut kuat. Setahun setelah menikah, perkawinan mereka membuahkan seorang
momongan mungil yang tampan. Dan sekarang bayi mereka sudah menjadi balita-
aktif dan sangat memikat hati ayah dan bundanya.
Balita mereka dengan perpaduan wajah Indonesia dan Mesir terlihat sangat
tampan, membuat keluarga besar mereka menjadi terhibur. Balita mereka bisa
tumbuh sempurna, apalagi Abdel Jalil dalam usia yang cukup telat buat berumah
41
48. tangga (menikah) membuat dia betul-betul mendambakan kehadiran seorang anak,
hingga dia cukup rajin mendalami ilmu parenting secara on-line. Orangtua dengan
ilmu parenting yang mantap sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan
buah hati mereka. Namun Abdel Jalil tetap ada masalah yang mengganjal.
Mereka memutuskan buat menyewa rumah kecil sendiri. Dan kendala baru
bahwa dapur rumah tangga mereka kadang tidak berasap. Anak dan istrinya butuh
makan. Dalam realita bahwa kecerdasan berbahasa Abdel Jalil- menguasai 4 bahasa-
belum mampu mengusir rasa lapar keluarga. Dalam kondisi begini yang diperlukan
oleh keluarga Abdel Jalil adalah pengalaman dan keterampilannya untuk mencari
nafkah. Ternyata Abdel Jalil yang cerdas kurang bisa beradaptasi dengan
lingkungan kampung istrinya sehingga ia belum mampu buat pencari nafkah.
Sebagai seorang ayah dan suami ternyata Abdel Jalil baru sebatas cerdas
akademik (kognitif) yaitu cerdas di atas kertas, atau cerdas dengan teori. Sementara
anak dan istrinya tidak butuh teori atau ceramah namun mereka butuh rupiah atau
dollar dan sangat berharap agar dia punya life skill- kecerdasan dan keterampilan
buat mencari nafkah, mungkin menjadi pekerja tukang, pedagang kecil, jual rujak,
jual nasi Padang atau membuka warung kecil ala Mesir di Sumatra Barat- namun itu
belum ada.
Sebenarnya Abdel Jalil bukan lelaki yang pemalas. Ia pun sempat berdagang
kecil-kecilan, seperti berdagang kurma, namun kurma bukan kebutuhan utama
orang di Sumatra jadinya keberuntungan masih agak jauh darinya. Buat sementara
mereka membuat alternatif, yaitu sang istri sebagai pencari nafkah part-time, tentu
saja dengan nominal upah dan gaji yang kecil untuk menopang ekonomi mereka.
Sementara Abdel Jalil sebagai pengasuh balita di rumah.
Perkawinan mereka cukup bagus namun Abdel Jalil masih kebingungan,
mau bagaimana lagi. Mau membawa keluarga ke Mesir, biaya pesawat dan
kebutuhan lain begitu mahal. Laki-laki yang mau menikah, sebagai pemimpin
rumah tangga, memang memikirkan secara matang dan menyiapkan keuangan
yang cukup buat mendukung perkawinan mereka.
Perkawinan tidak hanya sebatas kata cinta. Karena ungkapan “I love you”
hanya sebagai hiasan pada hati namun tidak bisa membuat perut kenyang.
42
49. Kehidupan perkawinan butuh uang dan makan. Makan laki-laki harus terampil
buat mencari rezeki. Kalau istri mampu mencari tambahan rezeki, tentu itu berguna
buat meringankan beban suami.
Dalam membangun relasi dengan seseorang dan juga buat menjaga
kelanggengan keluarga sangat diperlukan teori yang relevan. Namun untuk
memenuhi kebutuhan dasar- makan, pakaian, perumahan- diperlukan proses
kehidupan. Proses kehidupan yang memerlukan keterampilan dan pengalaman
yang luas.
Hal ini juga terbukti pada kisah sukses seseorang yang tinggal di pulau Bali.
Saya jadi hanyut dalam emosi saat membaca biografi Gusti Ngurah Anom- Ajik
Cok, seorang raja pendiri galeri oleh-oleh khas Bali. A.Bobby (2015) memaparkan
kisah sukses Ajik Cok dengan apik, sekali lagi, saya terbawa emosi membaca
biografinya.
Gusti Anom, panggilannya Ajik Cok, waktu kecil dikenal sebagai anak yang
bodoh, miskin, dan nakal. Namun setelah dewasa ia mampu keluar dari jerat
kemiskinan. Ayahnya seorang petani penggarap, jadi sangat miskin dan ia pun
punya dua istri. Ibunya Ajik Cok adalah istri kedua. Untuk mendukung ekonomi
keluarga, ibunya berjualan kue kecil-kecilan.
Ajik Cok terakhir sempat masuk sekolah pariwisata, namun karena
keterbatasan dana buat beli buku, pakaian dan kebutuhan sekolah lainnya maka
Ajik Cok memutuskan buat drop out dari sekolah. Saat sekolah ia pun sering
menunggak spp (uang sekolah).
Didera oleh kemiskinan yang tidak berkesudahan akhirnya ia memutuskan
meninggalkan rumah hanya berbekal pakaian yang melekat di badan. Ia merantau
menuju kota Denpasar dengan harapan moga-moga ada perubahan pada
kehidupannya. Dia mau mengerjakan apa saja jenis pekerjaan. Tidak pilih-pilih
pekerjaan. Pekerjaan pertama yang ia geluti adalah sebagai tukang cuci mobil para
tamu hotel dan ia pun tidur di emperan.
Beberapa waktu kemudian ia melamar menjadi buruh garmen- pakaian jadi.
Profesi ini ia tekuni dengan bersemangat dan penuh hati-hati. Sehingga ia menjadi
kesayangan bos. Karena karakternya yang rajin dan bekerja penuh semngat. Ia pun
43
50. menjadi orang kepercayaan bosnya. Dan ia pun mengembangkan dan
menumbuhkan perusahaan garmen milik bosnya.
Seiring waktu ia pun pamit sebagai buruh garmen dan memberanikan diri
pula untuk membuka usaha garmen sendiri. Tentu saja secara kecil-kecilan dan ia
pun langsung menjajakan produk konveksinya ke pantai, lokasi wisata, tanpa malu-
malu. Ia pun belajar mengatasi beberapa kelemahan. Usaha garmennya pun
tumbuh. Tidak puas hanya dengan usaha konveksi maka ia juga membuka toko
oleh-oleh yang diberi nama toko krisna.
Ia tidak punya ilmu formal dari bangku sekolah yang bayak. Kecuali ia suka
menimba pengalaman yang berharga dari banyak orang. Ia suka sekali learning by
doing. Dengan metode bisnis- lihat, tiru, kembangkan- maka bisnis garment dan
bisnis toko oleh-oleh berkembangkan pesat. Ia sekarang punya toko oleh-oleh krisna
1 hingga toko krisna 5. Sekarang banyak supplier yang tertarik untuk bergabung
dengan Ajik Cok.
Saya tetap percaya bahwa proses kehidupan melalui keterampilan an
keberanian lebih dahsyat hasilnya daripada hanya sekedar tahu teori. Tahun 1986
saat saya kuliah saya sempat membaca sebuah buku biografi Hasyim Ning dan
hingga sekarang isi buku itu masih berkesan. Makanya apa yang kita pelajari saat
masih kecil- anak anakdan remaja akan berkesan seumur hidup.
Hasyim Ning adalah seorang pengusaha sukse kelahiran Padang. Pendidikan
formalnya tidak tinggi, ia hanya sekolah di SD Adabiah Padang dan juga Mulo di
Padang. Mulo adalah sekolah Belanda setingkat dengan SMP yang kepanjangannya
“Meer Uitgebried Larger”. Karena kesulitan hidup maka ia merantau ke Jakarta dan
bekerja menjadi tukang cuci mobil. Kemudian ia dipercaya menjadi perwakilan
motorcars. Karena bergelut dengan bisnis maka ia mengambil kursus pembukuan,
sejenis ilmu akutansi.
Karena faktor dorongan hidup ia hijrah ke Tanjung Karang. Ia menjadi
pemborong tambang batubara di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Ia kemudian
pindah lagi ke Jakarta dan bekerja sebagai aministrasi kebun teh.
Hidup ini butuh keberanian dan juga butuh ilmu praktis yang langsung
terpakai di lapangan. Kemampuan bergaul dan kemampuan berkomunikasi,
44
51. kemampuan membaca peluang hidup, serta izin Allah Swt telah mengantarkannya
menjadi Presiden Direktur Jakarta Motor Company.
Ada lagi tokoh kehidupan yang tumbuh sukses bukan karena otaknya penuh
dengan teori, namun karena proses kehidupan yang ia alami mengantarkan dia dari
kegelapan hidup menjadi kegemilangan masa dewasanya. Dia adalah Bazrizal Koto.
Dekat kampus UNP Padang ada plaza Basko. Saya baru tahu kalau Basko itu
singkatan dari Basrizal Koto. Basko adalah pengusaha sukses yang tidak tamat SD.
Proses kehidupannya adalah menggeluti bisnis yang menyentuh kebutuhan orang
banyak yaitu seperti: media, percetakan, pertambangan, peternakan, perhotelan dan
properti. Basrizal Koto mengawali proses hidupnya tanpa modal, dan pendidikan
yang rendah, namun punya pengalaman hidup yang tinggi.
Awal proses kehidupannya adalah setelah putus sekolah ia merantau ke
Riau. Namun ibunya menitip nasehat, bukan uang karena hidup miskin, yaitu agar:
pandai-pandai dalam berkomunikasi, carilah segala kemungkinan/ peluang hidup,
dan manfaatkan kesempatan. Sampai di Pekanbaru untuk bisa hidup, maka ia
sempat menjual pisang dan petai, menjadi kenek oplet (kondektur oplet) dan ini
kesempatan buat belajar berkomunikasi, melayani orang atau penumpang.
Kemudian ia menjadi sopir dan ia juga menjadi makelar kendaraan. Setelah itu baru
ia menekuni bisnis yang lebih berarti yaitu pada usaha properti dan juga
pertambangan.
Pesan artikel ini kepada anak muda bahwa selain tekun dalam studi,
mendalami teori ilmu dan bidang studi, juga perlu memiliki pengalaman hidup
yang diperoleh melalui proses beraktivitas. Harus membuang jauh budaya instan
seperti ingin cepat kaya dan cepat pintar. Ini adalah nonsense atau omong kosong.
Bahwa pintar dan kaya yang berkualitas harus dipakai melalui proses, bukan
melalui proses yang instan, namun proses yang punya target capaian, yang
didukung dengan keberanian, tidak gengsi-gengsian, mampu berkomunikasi,
mampu membaca peluang dan juga dekat dengan manusia dan dekat dengan Allah
Swt.
45
52. 7. Melejitkan Kecerdasan Yang Berimbang
Lebih dari sepuluh tahun lalu, sekitar tahun 2000-an, dunia pendidikan kita
mengenal istilah quantum quotient atau kecerdasan quantum. Maka saya juga sempat
menemukan literatur yang relevan. Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002)
menjelaskan tentang quantum learning, yaitu bagaimana membiasakan belajar
dengan nyaman dan menyenangkan. Dimakah sekolah yang menyenangkan dalam
hidup ini bisa kita jumpai?
Bagi saya pribadi, sekolah utama yang menyenangkan ada di Taman Kanak-
kanak. Karena taman kanak-kanak adalah sebuah taman pendidikan yang indah.
Kemudian di tempat bimbel yang dikondisikan. Selanjutnya bahwa sekolah yang
menyenangkan tersebut pada beberapa sekolah dasar, SLTP dan SLTA.
Fokus belajar pada taman kanak-kanak juga meliputi tiga ranah, yaitu
kognitif, psikomotorik dan afektif. Tujuan pembelajarannya adalah agar anak
menguasai gerak kasar dan gerak halus dan juga dasar-dasar keterampilan sosial.
Adapun metode pembelajaran di taman kanak-kanak adalah dalam bentuk learning
by doing, learning by playing, learning by imitating and learning by exploring. Karena
merasa nyaman dan begitu menyenangkan belajar di taman kanak-kanak, maka
cukup umum anak-anak TK yang sangat mengidolakan guru mereka dan lebih
mendengar apa yang diucapkan dan dikomentari oleh guru-guru mereka.
Juga banyak siswa yang merasa nyaman dan senang belajar pada beberapa
SD, SLTP dan SLTA. Juga ada rasa nyaman dalam belajar terjadi pada beberapa
bimbingan belajar. Mengapa ini terjadi?
Yang diperlukan oleh anak-anak untuk belajar adalah memang lingkungan
yang menyenangkan, kemampuan berkomunikasi, keterampilan belajar dan
menumbuhkan rasa percaya diri. Dorothy Law Nolte menulis puisi edukasi yang
berjudul “children learn what they live- anak anak belajar dari lingkungan”,
sebagaimana saya baca pada buku SEFT- Spiritual Emotional Freedom Technique
(Ahmad Faiz Zainuddin, 2009). Beberapa cuplikan puisinya mengenai suasana
pendidikan dengan lingkungan positif, yaitu sebagai berikut:
- Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh toleransi, ia belajar untuk
46