Dokumen tersebut membahas tentang umat Islam yang merayakan Idul Adha dengan menunaikan ibadah kurban serta menyaksikan jamaah haji di Mekkah. Dokumen juga menekankan pesan-pesan tentang kesetaraan manusia di hadapan Allah serta pentingnya solidaritas dan empati antar umat manusia.
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
KHUTBAH.docx
1. (3)ء ا
َللهُ اَكهبَرهُ ا
َللهُ اَكهبَرهُ ا
َللهُ اَكهبَرهُ
ا
َللهُ اَكهبَرهُ ََُكيْبهر َََلهحَمُ هُ ا
ْلل ََُكيْرهر ُسهاهحَبَن هُ ا
ِْ ا
َك هكَةًَ ا
َأَي ْ
يهُ هُ، ا
هإمْه ه
َ ا
َِْه ا
َِ ا
َحهََه هُ، دهاهَهي ا
َحهََه هُ اهكهصهر هُ ا
َحهََبهه اِأهههُ هُ ا
َحهََهَُ اهههأهم هُ
اهُأأهَهه َ ُ ا
َحهََه هُ، ا
هإمْههَ ا
َِْه ا
َِ ا
َِ هُ اَكهبَرهُ، ا
َللهُ اَكهبَرهُ ا
ْلل هُ َََلهحمَُ.
َََلهحَمهُ ا
ْلل اَُْْْهَِمُ (ا
ْلل هُ عهلهه اْ
ُنِهُم اِج ْه اَْْيهبَمُ اْنهِ ا
هُْهطهاَنُ اْإَيهمْه ا
َأَيْبهن)، ََهََْهُ هُ اَسُ ا
هإمْه ه
َ ا
َِْه ا
َِ ا
َحهََه هُ ا
هَ َرهاي ْهكْ َإهم ، اهََُهََْهُ اِسهُ
ُههِيْبهر ََُِلهحَِ ا
َحَََبهه َإَم ََُن هُ هُ ، ا
َكهأِصُم هُ اَههأِالُم هُ عهلهه ُهرَْْيهن اَُِلهحَِ عهلهه هُ اْإْمِ اْإًُْهحَيهُ هُ َنهايْاًُِْاُم هُ اَنهِ هُ اَبََهاْبهْ اُُسهالَهْنًْ عهمْه اْه َُهي
اَْنيَُْم.
(ُِِهُ َََاهً).
ُهيها ا
هبُهبْه ا
ِْ، اْ
ي ََُُاَبَةَي اَنْالَسهر هُ ب هَُِهاًْ ا
ِْ ََهِها ُاهاها سها ََُِِاَلَمُ اَبَةِرهههُ هُ عهلهه اْإْاههُهِ اَبَةِلهاهم سها ََُلههَكَْ.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia
Umat Islam yang berada di tanah air menyambut hari raya Idul Adha yang mulia dengan
takbir, tahlil, dan tahmid sebagai ungkapan rasa syukur, sedangkan jutaan umat Islam di
tanah suci Makkah, Arafah dan Mina sedang berkonsentrasi menunaikan manasik haji.
Mereka datang dari berbagai pelosok dunia, dari berbagai bangsa dan suku, dari latar
belakang yang berbeda, menyatu dalam kepasrahan kepada Allah SWT. Mereka
menanggalkan segala atribut duniawi, meninggalkan berbagai aktivitas sehari-hari untuk
menghadap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan penuh khusyu dan
keikhlasan. Secara serentak, mereka mengumandangkan kalimat talbiyah:
َرهايِبهم اِبََُمل َرهايِبهم، َرهايِبهم َرهاي ْهكْهَ رهاهم َرهايِبهم، اِسْه ا
هََلهحَمُ ا
هاهلَاُْمه هُ رهاهم رهاَلَلَمُ هُ َرهاي ْهكْهَ رهاهم.
“Kamiا penuhiا panggilan-Mu wahai Allah, wahai Allah kami datang memenuhi seruan-Mu,
tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan karunia hanyalah milik-Mu,
milik-Mu segala kekuasaan dan kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu”.
Pada momen ini pula umat Islam yang mampu ditekankan untuk melaksanakan ibadah
kurban. Berbagi daging dan kebahagiaan kepada sesama. Menyembelih sebagian harta kita
untuk diberikan kepada orang lain, terutama yang membutuhkan.
Dari sinilah kita semua belajar tentang kesetaraan manusia di hadapan Allah, tanpa
memandang jabatan, status sosial, latar belakang pendidikan, suku, bangsa, serta kelas
ekonomi. Ibadah kurban memberikan pesan kepada umat Islam tentang pentingnya
solidaritas, empati terhadap orang lain, serta menyembelih ego pribadi untuk kemanfaatan
bersama.
Hadirin yang berbahagia,
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
SAW:ا“Ajaranا Islamا apakahاyangا baik?”اNabiاSAWاmenjawab,ا
اَبْاَطَْ اههُهاِطُم، ا
َُهكَِهْ هُ اهههأِالُم عهلهه اَنهِ ْهاَاهكهه اَنهِ هُ اَبهم اَع ْكَاهْ (ُُُح بخُُي ُم لب ال ُِ)
“Memberiا makananا danاmengucapkanا salamا kepadaاorangا yangا kamuاkenalا danاkepadaا
orangاyangا tidakاkamuاkenal.”ا (HR.اBukhari,ا No:ا28,اMuslim,ا No:ا126).
Dari hadis di atas, sepintas kita menyaksikan betapa agungnya nilai-nilai Islam yang sejalan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Tidak hanya masalah ibadah saja yang
diajarkan Islam, tetapi masalah-masalah kehidupan sosial pun menjadi sorotan. Hadis
2. tersebut mengajak umat Islam, bahkan umat manusia secara keseluruhan untuk
memperhatikan nasib masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab untuk menyantuni orang-
orang lemah, fakir miskin, yatim piatu, para manula, dan mereka yang membutuhkan, tidak
hanya dilimpahkan kepada para pemimpin. Tetapi itu semua merupakan tanggung jawab
setiap orang yang mengaku dirinya sebagai muslim.
Jawaban Rasulullah ketika ditanya seorang sahabatnya tentang amalan Islam apakah yang
paling baik, beliau langsung mengarahkan orang itu untuk memberikan bantuan dan
memasyarakatkan salam kepada siapa saja, baik pada orang yang dikenal maupun pada orang
yang belum dikenal sebelumnya. Bantuan tersebut bukan hanya berupa dana atau makanan,
tetapi juga meyangkut segala kebutuhan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
memberikan ilmu, pengalaman, nasihat, kebijaksanaan dan sebaginya. Sedangkan menebar
salam maksudnya memasyarakatkan suasana yang damai dan saling mencintai antara sesama
umat manusia.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Ketika seorang muslim mendapatkan rezeki berupa harta yang cukup, ia harus ingat saudara-
saudaranya yang lain. Dengan kata lain, ia harus merasa empati pada mereka. Islam
memandang bahwa rezeki yang barakah adalah rezeki yang cukup untuk diri sendiri dan
orang lain, bukan rezeki yang banyak dan berlimpah tetapi tidak barakah. Diriwayatkan dari
Jabir bin Abdillah, Nabi SAW bersabda:
اَهُهاهِ اَْنيههَْ ْ
َُ نْاُهر اْاهْهأِرُم، اَهُهاهِ هُ اْاهْهأِرُم نْاُهر اْاهاهًَُه ُ (ُُُح بخُُي ُم لب ال ُِ)
“Makananا satuاorangا cukupاuntukا duaاorang,اdanاmakananا duaاorangا cukupاuntukا empatا
orang”.ا (HR.اBukhari,ا No:ا5392,اMuslim,ا No:ا2058).
Pengertian hadis di atas menyebutkan bahwa makanan untuk satu orang dapat mencukupi dua
orang, makanan untuk dua orang dapat mencukupi empat orang, dan seterusnya. Hadis ini
mengarahkan supaya setiap orang muslim memiliki kepedulian kepada mereka yang lemah
dan miskin, sehingga dapat mengantarkan mereka pada kehidupan yang layak. Selain dari itu,
hadis ini mengisyaratkan juga agar setiap orang, mengonsumsi makanan secara sederhana
dan tidak berlebihan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pola hidup sederhana dan
kesehatan fisik maupun mental manusia. Mengonsumsi makanan secara berlebihan akan
mengantarkan seseorang untuk menggali kuburnya sendiri. Makan berlebihan dapat
menyebabkan berbagai penyakit yang membinasakan dan merusak terhadap fisik dan rohani
umat manusia.
Seorang muslim yang senantiasa menginfakkan sebagian rezekinya pada orang-orang yang
membutuhkan, akan merasa cukup dengan segala karunia Allah kepadanya. Meskipun
rezekinya tidak banyak, tetapi itu dirasakan sebagai suatu kecukupan yang tetap ia syukuri.
Hatinya selalu tentram dan hidupnya pun nyaman. Dengan kedermawanannya, banyak orang
yang bersimpati kepadanya, dan berdoa untuk kebaikan orang tersebut dalam segala
kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan keberkahan. Dalam hal memperoleh rezeki,
umat Islam diarahkan agar meraih keberkahan dari rezeki tersebut, bukan meraih banyak
jumlahnya. Karena harta yang banyak dan berlimpah kalau tidak disertai keberhakan akan
menjadi sia-sia dan bahkan akan menjerumuskan orang tersebut dalam prilaku yang tercela.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd,
3. Berbeda halnya dengan orang yang kikir, tidak memiliki rasa empati terhadap sesama,
meskipun hartanya banyak dan berlimpah ruah, tetapi ia merasa hal itu masih kurang dan
tidak cukup baginya. Sehingga ia merasa berat untuk mengeluarkan sebahagian rezekinya
pada mereka yang membutuhkan. Hidupnya selalu dikejar-kejar oleh nafsu duniawi, seolah-
olah ia ingin mencengkeram seisi dunia ini dengan jari-jari tangannya. Akibatnya, ia hidup
dengan prinsip semua orang harus melayaninya bukan aku yang harus melayani mereka.
Sikap demikian inilah yang membuat hidupnya tidak barakah dan tidak pernah merasa cukup
atas rezeki yang ia dapatkan. Manusia seperti ini, digambarkan seperti orang yang meminum
air laut, semakin banyak diminum, merasa semakin haus dan dahaga.
Manusia muslim harus memperhatikan nasib masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan yang lebih sulit dan menderita dari dirinya. Ia harus empati dan iba untuk
menolong dan meringankan beban mereka. Jika hal itu terwujud, maka jurang kemiskinan
pun bisa diminimalisir dan angka gejolak sosial pun dapat ditekan. Dengan demikian,
masyarakat muslim akan sejahtera sesuai dengan tatanan dan tuntunan agamanya. Alangkah
agungnya ajaran Islam yang memandang semua umatnya adalah bersaudara yang harus saling
membantu dan menolong antara satu dengan yang lain. Bahkan, lebih jauh lagi, Islam melalui
sabda Rasulullah SAW memandang bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
ا
هَ اَنََِْني اَبَرََهههُ، عِاهه اِح َْحي اْإي ْيه ْ ُهِ اِح َْحي اْإْالَسههْم (ُُُح بخُُي ُم لب ال ُِ)
“Tidakا sempurnaا imanا seseorangا sehinggaا iaاmencintaiا saudaranyaا sepertiا ia mencintai
dirinyaا sendiri.”ا (HR.اBukhari,ا No:ا13,اMuslim,ا No:ا45).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Kaum Muslimin dan Muslimat yang kami cintai,
Selain menyerukan untuk empati atau solidaritas pada sesama, pengarahan berikutnya dari
hadis di atas adalah menyebarkan salam. Ia merupakan pesan yang sangat tinggi bagi
kemanusiaan berupa tegur sapa yang mengandung arti perdamaian dan kesejahteraan. Karena
mengandung nilai perdamaian dan kesejahteraan itulah, ucapan tersebut harus disebarluaskan
pada setiap orang, baik orang yang dikenal maupun tidak. Hidup yang damai dan sejahtera
adalah dambaan semua manusia yang beradab. Tidak ada seorang pun yang menginginkan
adanya kekerasan, dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan mengenai dirinya. Oleh
karena itu, Islam sebagai agama yang membawa rahmat untuk semesta alam (rahmatan lil
alamin), sesuai namanya, juga menyerukan umatnya untuk menebarkan perdamaian dan
saling mencintai antar sesama manusia.Cinta kasih adalah modal utama untuk mewujudkan
hidup rukun, aman, dan tentram. Tetapi jika ada pihak atau sekelompok manusia yang
menginginkan untuk mencabik nilai-nilai yang tinggi itu, maka Islam melalui sabda Nabi
Muhammad SAW, dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan memperoleh
kesuksesan di dunia dan akhirat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Demikianlah, ajaran Islam yang paripurna dan senantiasa relavan untuk diamalkan umat
manusia sampai akhir masa, demi mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Bangsa yang
berkeadaban adalah umat yang selalu memperhatikan nasib masyarakat sekitarnya. Mereka
dapat hidup tenang dan damai, jika masyarakatnya berkecukupan. Sebaliknya mereka merasa
4. gundah dan gelisah, jika masyarakatnya hidup susah. Hal ini digambarkan Nabi SAW
sebagaimanaا hadisاdariاNu’manا bin Basyir:
بهكهْ ينهاْهَِْنَلُم نْا اَبَْْلَهُهكهْ اَبْمُْب هُهْ هُ اَبَْْسَُِهاهْ هُ، اْْهرهلهر اَْهالهدُم، ُهذْه عهةهاَُْ ُ ََُوَه عههُهَهْ َإهم اَكَُْهن ا
ْحَْهالهُ اْكهَِالُمًْ عِلَحُم هُ (ُُُح
بخُُي ُم لب ال ُِ)
“Kamuا melihatا kaumا mukmininا dalamا halاsayangا menyayangi,ا cinta mencintai, dan kasih
mengasihi, bagaikan satu tubuh, jika ada salah satu anggota tubuh yang mengeluh (sakit),
maka anggota-anggota tubuh lainnya ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan merasa
demam”.ا (HR. Bukhari, No 6011; Muslim, No 2586).
Sikap dan cara pandang itulah yang harus kita usung bersama, yaitu solidaritas terhadap
sesama. Dalam nuansa Idul Adha ini, di balik merayakan kegembiraan dan kemenangan kita
dengan takbir, tahlil, dan tahmid, kita pun harus menengok saudara-saudara kita yang masih
hidup dalam garis kemiskinan. Kepada mereka, kita ulurkan tangan. Untuk mereka, kita
hentikan gaya hidup yang berlebihan. Marilah kita berbagi dan empati dalam kerangka
solidaritas sosial untuk bahu membahu mewujudkan masyarakat yang mapan dan sejahtera.
Berkaitan dengan hal inilah maka pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12,
13 Dzul Hijjah), diperintahkan kepada kita agar melaksanakan ibadah kurban. Kurban itu
diarahkan agar dilakukan secara ikhlas, semata-mata mengharap keridhaan Allah SWT.
Ibadah itu dilaksanakan karena Allah, dan mengahrap keridhaan-Nya. Sedangkan daging
kurbannya adalah diperuntukkan bagi mereka yang hidup dalam kekurangan dan amat
membutuhkan protein hewani. Tidaklah akan sampai kepada Allah darah dan daging kurban
itu, yang sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari mereka yang melakukan kurban
tersebut.
اَنهم اهنُهههي ا
ه ُِه ُهَََُِحَم َ هُ ُهمَُاهِْب اَنْةهم هُ َإَمُهههي ب هَُِِاُم اَبَةَهِْ رهاْمهكهر ُهمهكِخهن اَبَةهم َُُكْبهةَاْم ا
ه ُِه عهلهه ُهِ اَبَرُهَهم اْكْ هً هُ ينهاْهْالَحَلَمُ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah
menundukkannya untukmu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepadamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orangا yangا berbuatاbaik”.ا (QS.اAl-Haj,
22:37).
ا
ِْهبُهبْه اَبَةَي ْ
ي ََُُ اَنْالَسهر هُ ب هَُِهاًْ ا
ِْ نْا ُهكم اََْيْاَمُ اََْيْاِالُم اَبَةِرهههُ هُ عهلهه اْإْاههُهِ، اَنهلها َإههُهِهُ اهََُها َيْاِالَُمَ اَنهِ هُ اهع هكَههُ عِم هُهْ هُ
اهََُها نْا اْنهأِوُم اََْيْاهبَمُ، اَن ََُلهُ اَنْم َُهل ُهكم اَكْسَتهاَنهُ هُ ا
هِ اهبَيِْهاَمُ نْم اَبَةهم هُ ا
َْليْلهدْم هُ َنهايْلْلَالَلَمُ َإِرْه اهَُم اَُ ََُسهتَمُ اَبَي ْهُِمك.
Khutbah II
(7x) ا
َللهُ اَكهبَرهُ
َََلهحَمهُ ا
ْلل ا
ْأهُ َنهايْلهمُهاَمُ ََهََْهُ اَسهُ ا
هإمْه ه
َ ا
َِْه ا
َِ ََهََْهُ هُ اِسهُ ََُِلهحَِ ا
َحَََبهه َإَم ََُن هُ هُ، َإهلهن َُهُ ا
َاهلَههُ َنهايْلهمُهاَلْم، اِبََملهُ اْْهي عهلهه ُهرَْْيهن
اَُِلهحَِ عهلهه هُ اْإْمِ اْإًُْهحَيهُ هُ َنهايْاهلَُهُ، ُهي ُهَِيهُ َنهايْكِمُ ا
َههُِِ َُ ُ ََُُِِْ ا
هِ اِقهه اْإُْْهَِْ ا
هَ هُ اِنَْ ََُلهْ ا
َِْه اَبَاَرهُ هُ سها ََُلْلَالَِ اهنُهل ا
َِ عهمُهاهْ نْا
اْإًُْهاْر اَْبي ْكهةَمُ: ُهي ُهَِيهُ اَُنِهُم ا
ََََُُبَهُ اَبَةًِهُ يْكِمُ اَبَةهِهلهي ينهاْكِمُ هُ نِْ اَبَةْلَبهل اَبَةِلهاهم ُسهاَِِاهْ اهنُهل هُ اهُاَن ََُن ا
ِْ عِلهي ا
َِ اْإَيهلهه اهبِلهن هُ: اْقُِْ
ا
ه ُِه ُهلَرَيهه ْهاَهَر ا
ْلْبَْهُ هُ ا
هاهيْيِالُم ا
هاهههالهحَمُ ُهََحَلهْ اْقْمُهي هُ اهُنِهُم اُقَلَخًْ اُنهالهه. اِبََملهُ اهع َُُ اْنهه اُْءهسهلَخَمُ َنهايَُُِْْْمك اَنهه هُ ا
َْليْلهُ اْاهًُهحِصُم
َنهايْاًُِْاُم هُ اَنهِ هُ اَبََهاْبهْ اُُسهالَهْنًْ عهمْه اْه َُهي اَْنيَُْم، اِبََملهُ ُِرْه رهاَمهلَالهر َُرُهلَيْه اَ
أُِْهر َُهَيِْهي هُ َُلْبُهي َُبَلهل هُ َُاُْْهي َُرُهالْم هُ َُكْرُهذ ا
َاهً َُهْ هُ
َُه ََُصهر، اِبََملهُ اَكْسَ ُ َنهايْهَِْنَلَلْم اْاُههَِْنَلَمُ هُ َنهايْلْلَالَلَمُ هُ اْاُهلْلَالَلَمُ هُ اُْءهيَهه هُ اَبَََهِْ اْاُ هَُِه َ ُ هُ رهاِرْه اَلَيْلهن اََحي ْكهل اََحي ْدَِ اْاُ هُههَُِم،
اِبََملهُ ا
ْصْلَيهُ ا
هكُههَُمك ا
هاِيْهُِمك هُ اَْهاَُُ هُ ُِيْالَيْر ََََُرْه اهُُهيْب هُ َنهايْلْلَالَلَمُ ا
َاههِِْ ا
َاِي ْيهُ، ُههًِهُ ُههِْْ عْا ُهيَرَُِم ا
هالهها
َاهه عْا هُ ا
ْك هك ْي َ ُ ا
َاهههالهه ُههْل هُ
اهُأهكهه اُُِْهُم. ا
هبُهبْه ا
ِْ اَبَةَي ْ
ي ََُُ اَنْالَسهر هُ ب هَُِهاًْ ا
ِْ اْاع اْكُْمال اْنهلهاَمُ هُ ُ ََُبْرُهُ هُ اهْ ُْه هُهسَمُ ُهِ اهكهَهَ ُهََهِْ ُهِ هُ نهاهطهً، اِسْه ا
هِ اَكََِلهي
اْنََهاَمًُْ اُْسهالَهْ َ
ُا هُ اُْءهاَيْه هُ اَيْذ عهًَكََِمُ عهََههي هُ اْنهه اْهُء َحهسَمُ اْكهةَهَلَمُ هُ ا
ْنَتهبَمُ هُ اَبَةَِْاهي اَبَةِلهاهم سها ََُكِرهكهْ، اَكَرْكهم هُ ا
ِْ اَكهبَرهُ، ا
َللهُ اَكهبَرهُ
ا
ْللُ َََلهحَمُ.
5. َََلهحَمهُ ا
ْلل، َََلهحَمهُ ا
ْلل اَبْكِمُ اهْهاهُ اهه ه
أَن ْ َ
َُ ََُِي ْكهِ َُيُْهن، اهُا
هَهه هُ َنهايْةْالهلهاَلَلْم اْإًْ سها َُهََههي هُ ا
هبُهالهسَمُ َُرُهةهِ َُيْلهه. ََهََْهُ اَسهُ ا
هَ ا
هإهمُْ ا
َُِْ ا
َِ
ا
َحهََه هُ َرهاي ْهكْ ه
َ َإهم، ا
هكهبُهَهْ اَنهِ اهَُم اََكيهي َُُِهِِِ اَنهالَههُ هُ َُيَْهر. ََهََْهُ هُ اِسهُ ُهرهَْيهن ََُِلهه ا
َحَََبهه َإَم ََُن هُ هُ اَْ ْ
صِاَلَمُ اْه ُُْهةهلَمًُْ َُُُهبْر
َُيْبهي هُ. اِبََِلمهُ اْْهصها اَبْلهن هُ عهلهه ُهرَْْيهن اَُِلهحَِ ُسهاهر دهاْبُهي اََْه هَُمُ ُسهاهر هُ ا
ََ ََُن هُ َُيْبهر، عهلهه هُ اْإْمِ اْإْبَحهي هُ َنهايْكِمُ سها ََُهْالَحَي اَبََهِهأَنْه
اَبهم هُ ُ ََُلهاَسهي َُيَيهْ اَي ْكها،ُ ُِِهُ َََاهً، ُهيها ُهَِيهُ سها ََُك ْ
ُرهحَمُ اَبَةهل ْههُ ا
َِ، اَنْهَي ْ
ي ََُُ اَعْالَسهر اَبَرُِيْه هُ ب هَُِهاًْ ا
ِْ، ََهِها ُاهاها سها ََُِِاَلَمُ.
اهنُهل ا
َِ عهمُهاهْ : اْبَالًْ ا
ِْ اْنهلَهُِمك اَْبي ْهُِمك، ُهي ُهَِيهُ َنهايْكِمُ ُ ََُههِِ ُ ََُُِِْ ا
هِ اِقهه اْإُْْهَِْ ا
هَ هُ اِنَْ ََُلهْ ا
َِْه اَبَاَرهُ هُ سها ََُلْلَالَِ
Perayaan Idul Adha selalu menjadi momen spesial bagi umat Islam sedunia. Setidaknya ada
dua hal pokok yang selalu menonjol dalam momen tersebut; pertama, ibadah haji. Jutaan
Mulim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci untuk memenuhi rukun Islam
yang kelima. Kedua, pelaksanaan kurban atau penyembelihan sejumlah binatang ternak.
Kesempatan ini sebagai bentuk solidaritas pelaksana kurban kepada kaum fakir, miskin,
kerabat, dan tetangga sekitar dengan berbagi daging sesembelihan.
Kedua pelaksanaan ibadah tersebut tak bisa dilepaskan dari sejarah dan ajaran Nabi Ibrahim
dan keluarganya. Meski tiap tahun Idul Adha dirayakan, sepertinya hanya sebagian kecil saja
dari kita meneladani Nabi Ibrahim dalam kehidupan sehari-hari. Kita seperti selalu baru ingat
keteladanan tersebut menjelang Idul Adha. Sehingga ajarannya pun dilaksanakan hanya tiap
tahun. Padahal, esensi ajaran beliau, terutama soal berkurban, memiliki makna yang luas dan
bisa diterapkan dalam jangka waktu tak terbatas.
Jamaahا shalatا Jum’atا hadâkumullâh,
Seperti sering diceramahkan di panggung-panggung dakwah dan mimbar-mimbar khutbah,
peristiwa hari raya kurban merujuk pada kisah diperintahkannya Nabi Ibrahim untuk
menyembelih putra semata wayangnya, Ismail. Bisa dibayangkan seandainya Nabi Ibrahim
seperti ayah-ayah kebanyakan di dunia ini, betapa pedih dan teririsnya hati beliau saat hendak
menggorok sang buah hati yang sekian lama ia damba-dambakan.
Bagi Ibrahim, Ismail tentu adalah anugerah paling mahal. Lebih dari sekadar menghapus
dugaan kemandulan istri beliau selama ini, melainkan sang putra adalah pribadi yang cerdas,
sabar juga bijaksana. Ada masa depan gemilang dari dalam diri Ismail ‘alaihis salâm. Tapi,
Nabi Ibrahim bukan seperti ayah-ayah kebanyakan. Kecintaannya kepada Allah subhânahu
wata‘âlâا yangا memuncakا mengalahkanا segalanya.ا Melaluiا musyawarahا danاpersetujuanا
(tanpa paksaan) putranya itu, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah penyembelihan itu,
meskipun pada akhirnya ritual itu batal ditunaikan atas kehendak Allah.
Larangan Allah terhadap penyembelihan darah manusia (Ismail) oleh Nabi Ibrahim
membuktikan bahwa perintah yang didapat dari mimpin tersebut sebatas ujian dan bahwa
ritual pengorbanan nyawa manusia—sebagaimana tradisi biadab sejumlah kaum terhadulu—
adalah hal yang dikecam keras. Nabi Ibrahim lulus dari ujian super berat, dan objek
penyembelihan pun digantikan dengan domba yang besar.
Jamaahا shalatا Jum’atا hadâkumullâh,
Ada pesan menarik dalam kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya ini. Cerita tersebut
menunjukkan bahwa tak ada harta paling sejati dan paling mahal disbanding ketundukan
secara total kepada Allah subhâahu wata‘âlâ. Nabi Ibrahim mampu meruntuhkan seluruh
6. cara pandang hidup yang mengatakan kekayaan duniawi, termasuk anak, adalah hal yang
paling utama. Dalam Al-Qur’anا sendiriا dikatakan:
ُهلِرْه اَبَةَمُ هَُِهُ اَبَرَبَ َُهُ هُ ا
َاههَاْا ا
َِ هُ ا
َحهََهْه اَكَُهُ اَبيِْهه
“Sesungguhnyaا hartamuا danاanak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah
pahalaا yangا besar.”ا(QSاat-Taghabun: 15)
Kurban berasal dari bahasa Arab qurbân yangا artinyaا “pendekatanا diri”.ا Maksudnyaا adalahا
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ajaran formal Islam, kurban dilaksanakan tiap tahun
dengan menyembelih sejumlah hewan ternak tertentu. Oleh karenanya, kurban berhubungan
eratاdenganا korbanا(pakaiا‘o')اdalamا bahasaاIndonesia.ا Sebab,اseorangا pelaksanaا kurbanا
tengah mengorbankan sebagian hartanya berupa hewan ternak untuk dibagikan kepada
sesama.
Nabi Ibrahim yang menjadi teladan dalam ritual tahunan tersebut mengajarkan bahwa
seorang hamba janganlah tertipu daya dengan kekayaan yang sifatnya sesaat saja. Ada
kehidupan yang lebih hakiki dan perlu diperjuangkan ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Karena itu, mengorbankan sebagian harta lillâhi ta‘âlâ tidak akan ada ruginya. Sikap
semacam inilah yang ditunjukkan Nabi Ibrahim, yang juga diikuti putranya, Ismail, yang
begitu patuh dan saleh. Dengan bahasa lain, pengorbanan adalah bentuk cara pandang
manusia yang jauh ke depan menuju kehidupan bahagia di akhirat kelak secara abadi.
ُهِ هُ ا
َكُهيهحَمُ ُهيَرَُِم اِ
َْه اَحْاهم اَََُهم هُ اََُُِلهم هُ ا
َك هك ْي َ ُ اََكيهي ينهاْكِلْم ُسهاَِِاهي اه
أهاهُ ُسهاَلَِْاهْ
“Sesungguhnyaا kehidupanا duniaا iniا hanyalahا bermain-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah
kamuا memahaminya?”ا (QSاAl-An'am: 32)
Kita yang sering mengaku meneladani Nabi Ibrahim dengan berkurban, sudahkah sebanding
dengan pengorbanan beliau? Sebandingkah dengan semangat pengorbanan Ismail yang masih
bocah? Sebandingkah dengan semangat pengorbanan istri beliau, Siti Hajar?
Jamaahا shalatا Jum’atا hadâkumullâh,
Untuk membeli hewan kurban saja, kita kadang masih bersiasat untuk mendapatkan harga
paling murah, jika perlu membelinya jauh pada bulan-bulan sebelumnya. Kita masih memilih
uang paling kecil ketika kotak amal lewat di hadapan kita. Kita juga, misalnya, sering tak
sudi berkorban sedikit tempat saat menaiki kendaaan umum, berkorban sedikit tenaga untuk
membantu mereka yang membutuhkan. Di manakah semangat kurban yang mewujud dalam
kehidupan sehari-hari?
Kadang pula, karena kita mendapat sedikit pengetahuan agama, kita tak mau berkorban
mendengarkan pendapat kelompok lain. Karena dianugerahi sedikit kedudukan, kita ogah
mendengarkan unek-unek dan aspirasi orang lain.
Berkurban adalah tentang melawan kecenderungan materialisme untuk senantiasa
mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah, serta meraih kebahagiaan yang lebih hakiki.
Semoga al-faqir dan jamaah sekalian dapat menghayati dan menerjemahkan pesan kurban
dalam kehidupan sehari-hari secara maksimal. Wallahu a’lam bish-shawâb.
Khutbah II