Dokumen ini membahas tentang analisis Fourier dan wavelet. Materi kuliah dibagi menjadi dua bagian, yaitu deret dan transformasi Fourier serta penggunaannya, dan wavelet."
IMC Campaign - Integrated Marketing Communication Bingo
Analisis fourier 2014
1. Analisis Fourier dan Wavelet 1
Catatan Kuliah
Analisis Fourier dan Wavelet
Oleh
Hendra Gunawan
KK Analisis & Geometri
FMIPA-ITB
Bandung, Maret 2001
[Edisi Revisi II: Mei 2014]
1
2. 2 Hendra Gunawan
Daftar Isi
Kata Pengantar 4
0 Pendahuluan 7
0.1 Notasi dan istilah, bilangan kompleks 7
0.2 Ruang Hilbert 9
0.3 Ukuran Lebesgue di R 11
1 Mengapa Deret Fourier 13
1.1 Persamaan panas untuk kawat lurus 13
1.2 Persamaan panas untuk kawat melingkar 15
1.3 Soal latihan 16
2 Deret Fourier 19
2.1 Deret Fourier dari fungsi periodik 19
2.2 Contoh dan Ketaksamaan Bessel 21
2.3 Soal latihan 24
3 Kekonvergenan Deret Fourier 25
3.1 Jumlah parsial dan intuisi melalui kernel Dirichlet 25
3.2 Kekonvergenan titik demi titik dan seragam 27
3.3 Soal latihan 29
4 Deret Fourier pada Interval Sembarang dan Aplikasinya 31
4.1 Deret Fourier pada interval sembarang 31
4.2 Contoh aplikasi 34
4.3 Soal latihan 36
5 Beberapa Catatan Mengenai Deret Fourier 37
5.1 Turunan dan integral deret Fourier 37
5.2 Deret Fourier sebagai transformasi 38
2
3. Analisis Fourier dan Wavelet 3
5.3 Perbandingan dengan deret Taylor 38
5.4 Fenomena Gibbs 39
5.5 Soal latihan 40
6 Himpunan Fungsi Ortogonal 41
6.1 Himpunan fungsi ortogonal 41
6.2 Ruang PC(a; b) sebagai ruang hasilkali dalam 42
6.3 Kekonvergenan di ruang PC(a; b) 44
6.4 Soal latihan 45
7 Ruang L2(a; b) 46
7.1 Topologi di L2(a; b) 46
7.2 Ketaksamaan Bessel 48
7.3 Basis ortonormal di L2(a; b) 49
7.4 Soal latihan 50
8 Deret Fourier yang Diperumum dan Hampiran Terbaik
di L2(a; b) 51
8.1 Deret Fourier yang diperumum 51
8.2 Hampiran terbaik di L2(a; b) 52
8.3 Masalah Sturm-Liouville reguler 53
8.4 Soal latihan 56
9 Polinom Legendre, Basis Haar, dan Basis Walsh 57
9.1 Himpunan polinom ortogonal 57
9.2 Polinom Legendre 58
9.3 Basis Haar dan Basis Walsh 59
9.4 Soal latihan 62
10 Transformasi Fourier 63
10.1 Motivasi 63
10.2 Ruang L1(R) dan L2(R) 64
10.3 Transformasi Fourier 66
10.4 Soal latihan 68
11 Konvolusi 69
3
4. 4 Hendra Gunawan
11.1 Konvolusi dan sifat-sifat dasarnya 69
11.2 Identitas hampiran 71
11.3 Fungsi Gauss dan Teorema Aproksimasi Weierstrass 73
11.4 Soal latihan 75
12 Teorema Inversi Fourier 76
12.1 Teorema Inversi Fourier 76
12.2 Transformasi Fourier di L2 78
12.3 Soal latihan 80
13 Aplikasi Transformasi Fourier 81
13.1 Aplikasi pada persamaan panas 81
13.2 Persamaan Laplace pada setengah bidang 83
13.3 Teorema Sampling Shannon 84
13.4 Ketaksamaan Heisenberg 85
13.5 Soal latihan 87
14 Transformasi Fourier dan Masalah Sturm-Lioville 88
14.1 Masalah Sturm-Liouville 88
14.2 Transformsi cosinus Fourier dan transformasi sinus Fourier 90
14.3 Aplikasi pada persamaan panas 91
14.4 Soal latihan 92
15 Wavelet 93
15.1 Menengok kembali basis Haar 93
15.2 Wavelet ortonormal 94
15.3 Basis yang dibangun oleh sebuah fungsi 97
15.4 Soal latihan 98
16 Analisis Multi-Resolusi 99
16.1 Analisis Multi-Resolusi 99
16.2 Konstruksi wavelet 101
16.3 Wavelet bertumpuan kompak dan kemulusannya 102
16.4 Teorema sampling 104
16.5 Soal latihan 105
4
5. Analisis Fourier dan Wavelet 5
17 Transformasi Wavelet Kontinu 107
17.1 Transformasi wavelet kontinu dan kesamaan resolusi 107
17.2 Diskritisasi dan frame 110
17.3 Syarat perlu dan syarat cukup untuk membentuk frame 113
17.4 Soal latihan 114
18 Lebih jauh tentang `Frame' 116
18.1 Operator frame 116
18.2 Frame dual 117
18.3 Skema rekonstruksi 118
18.4 Soal latihan 121
19 Penutup 122
19.1 Pemrosesan signal 1D 122
19.2 Pemrosesan citra 2D 124
Daftar Pustaka 126
5
6. 6 Hendra Gunawan
Kata Pengantar (untuk Edisi Revisi I)
Catatan kuliah ini merupakan pengembangan materi kuliah Analisis Fourier dan
Wavelet yang pernah penulis ajarkan kepada mahasiswa S2 Matematika ITB pada tahun
1997/1998. Sebagian materi, terutama bagian awal, pernah pula dicobakan dalam ku-liah
Pengantar Analisis Fourier untuk mahasiswa S1 Matematika ITB pada tahun 1999
dan 2000. Beberapa bagian diantaranya merupakan tambahan, yang penulis anggap
berguna bagi pembaca yang belum pernah mengambil kedua matakuliah yang dise-butkan
di atas. Untuk mengukur pemahaman pembaca terhadap materi yang dibahas,
tiap bab diakhiri dengan sejumlah soal latihan.
Penyusunan catatan kuliah ini dimulai di Bandung dan dilanjutkan serta diperbaiki
di Sydney ketika penulis berkunjung ke School of Mathematics, Univerisity of New South
Wales di Sydney pada tahun 2000/2001 sebagai Merdeka Fellow 2000. Sebagai upaya
perbaikan, edisi revisi pertama diterbitkan pada tahun 2006.
Menyadari bahwa catatan kuliah ini masih jauh dari sempurna, penulis dengan
senang hati akan menerima segala masukan atau usulan perbaikan dari para pembaca
sekalian. Masukan atau usulan perbaikan, bila ada, dapat disampaikan langsung atau
via e-mail ke hgunawan@math.itb.ac.id.
H.G., Januari 2006
Catatan tambahan (untuk Edisi Revisi II): Pada awal tahun 2014, ketika penulis
memberikan kuliah Analisis Fourier lagi, revisi besar-besaran dilakukan dan sebagai
hasilnya edisi revisi kedua ini diterbitkan pada bulan Mei 2014.
6
7. Analisis Fourier dan Wavelet 7
0. Pendahuluan
Analisis Fourier mempelajari berbagai teknik untuk menganalisis sebuah fungsi
dengan menguraikannya sebagai deret atau integral fungsi tertentu (yang sifat-sifatnya
telah kita kenal dengan baik, seperti fungsi polinom atau fungsi trigonometri). Analisis
Fourier merupakan alat yang ampuh untuk memecahkan berbagai masalah, khususnya
masalah yang berbentuk persamaan diferensial parsial yang muncul dalam sains dan
ilmu rekayasa, dan tentunya untuk menganalisis signal seperti signal suara dan citra.
Materi kuliah terbagi atas dua bagian. Bagian pertama akan meliputi deret dan
transformasi Fourier serta penggunaannya, yang merupakan materi klasik, sebagaimana
dibahas dalam buku Fourier Analysis and Its Applications" karangan G.B. Folland
(Wadsworth, 1992). Sementara itu pada bagian kedua kita akan berkenalan dengan
wavelet, materi yang relatif baru dan sedang `in' dewasa ini. Bagian kedua akan meny-inggung
pula dasar-dasar pemrosesan signal dan penggunaan wavelet dalam bidang
tersebut.
Untuk memahami materi kuliah ini, Anda diasumsikan telah mengambil mataku-liah
Analisis Real (yang membahas konsep himpunan, bilangan real, fungsi, barisan,
turunan, dan integral Riemann) dan Aljabar Linear Elementer (yang membahas ruang
vektor, hasilkali skalar, dan lain-lain). Akan lebih menguntungkan bila Anda telah pula
mengambil matakuliah Fungsi Kompleks, namun ini bukan suatu keharusan.
0.1 Notasi dan istilah, bilangan kompleks
Sebelum kita masuk ke materi kuliah, ada baiknya kita sepakati terlebih dahulu
sejumlah notasi dan istilah yang akan kita pakai berulang-ulang.
Himpunan semua bilangan asli f1; 2; 3 : : :g dinyatakan sebagai N, sementara him-punan
semua bilangan bulat f: : : ;2;1; 0; 1; 2; : : :g dituliskan sebagai Z. Himpunan
7
8. 8 Hendra Gunawan
semua bilangan real dinyatakan sebagai R, sementara himpunan semua bilangan kom-pleks
dituliskan sebagai C. Notasi berikut menyatakan interval di R:
[a; b] := fx 2 R : a x bg; (a; b) := fx 2 R : a x bg;
[a; b) := fx 2 R : a x bg; (a; b] := fx 2 R : a x bg:
Pada umumnya kita akan bekerja dengan fungsi dari R ke C, yakni fungsi yang
terde
9. nisi di R (biasanya pada suatu interval di R) dan bernilai kompleks. Namun
sesekali kita akan membahas pula fungsi peubah banyak yang terde
10. nisi di Rd (d 2 N)
dan bernilai kompleks. Di sini Rd menyatakan himpunan semua titik x = (x1; : : : ; xd)
dengan xj 2 R; j = 1; : : : ; d.
Mengingat bahwa kita akan senantiasa berhadapan dengan fungsi yang bernilai
kompleks, di bawah ini kita tinjau kembali sejumlah sifat dasar bilangan kompleks,
yang mungkin telah Anda pelajari dalam kuliah Fungsi Kompleks.
Bilangan kompleks dapat disajikan sebagai z = a+bi dengan a; b 2 R dan i adalah
bilangan imajiner yang memenuhi i2 = 1. Dalam hal ini a disebut bagian real dari
z, ditulis Re(z) := a; sementara b disebut bagian imajiner dari z, ditulis Im(z) := b.
Penjumlahan dan perkalian dua buah bilangan kompleks dapat dilakukan seperti halnya
terhadap dua buah bilangan real:
(a + bi) + (c + di) := (a + c) + (b + d)i;
(a + bi)(c + di) := (ac bd) + (bc + ad)i:
Himpunan semua bilangan kompleks C dapat dipandang sebagai bidang R2 (li-hat
Gambar 0.1). Modulus bilangan kompleks z = a + bi, ditulis jzj, diberikan oleh
jzj :=
p
a2 + b2; yang menyatakan jarak Euclid dari z ke 0. Sebagaimana di R, kita
mempunyai Ketaksamaan Segitiga di C: untuk setiap z1; z2 2 C berlaku
jz1 + z2j jz1j + jz2j:
Diberikan bilangan kompleks z, kita mempunyai z, yang menyatakan konjugasi
atau kawan dari z, yakni z := a bi: Untuk setiap z 2 C, berlaku
Re(z) =
1
2
(z + z); Im(z) =
1
2
(z z);
8
11. Analisis Fourier dan Wavelet 9
jzj2 = zz; z real jhj z = z:
(Catatan: Di sini `jhj' merupakan singkatan dari `jika dan hanya jika'.)
Gambar 0.1: Bidang Kompleks
Sebagai alternatif, bilangan kompleks sering pula dituliskan dalam bentuk polar:
z := rei;
dengan r = jzj dan = arg(z) = sudut yang dibentuk vektor z dengan sumbu real
positif. Kita mempunyai rumus Euler:
ei = cos + i sin :
Sebagai contoh, untuk = , kita mempunyai ei = 1, sebuah persamaan yang
melibatkan empat bilangan penting yaitu 1; i; e, dan serta tanda minus.
Berbeda dari polinom real, setiap polinom kompleks senantiasa mempunyai akar,
sebagaimana dijamin oleh teorema berikut:
Teorema A (Teorema Dasar Ajabar). Misalkan P(z) := a0 + a1z + + anzn dengan
an6= 0 dan n 2 N. Maka, terdapat bilangan 2 C sedemikian sehingga P() = 0.
9
12. 10 Hendra Gunawan
0.2 Ruang Hilbert
Ruang Hilbert merupakan abstraksi alami dari R3, yang memiliki struktur linear
vektor, hasilkali dalam, dan sifat kelengkapan.
Misalkan H ruang vektor atas C. Pemetaan h; i : H H ! C yang memenuhi
(i) hx +
15. 2 C,
(ii) hx; yi = hy; xi 8 x; y 2 H,
(iii) hx; xi 0 8 x 2 H,
(iv) hx; xi = 0 jhj x = 0,
disebut hasilkali dalam pada H. Ruang vektor H atas C yang dilengkapi dengan hasil-kali
dalam h; i disebut ruang hasilkali dalam.
Pada ruang hasilkali dalam H dengan hasilkali dalam h; i, kita dapat mende
16. n-isikan
norma
kxk := hx; xi1=2;
yang memenuhi keempat sifat berikut:
(i) kxk 0 8 x 2 H,
(ii) kxk = 0 jhj x = 0,
(iii) kxk = jj kxk 8 x 2 H; 2 C,
(iv) kx + yk kxk + kyk 8 x; y 2 H (Ketaksamaan Segitiga).
Selanjutnya, untuk setiap x; y 2 H, berlaku
Ketaksamaan Cauchy-Schwarz: jhx; yij kxk kyk;
Hukum Jajarangenjang: kx + yk2 + kx yk2 = 2(kxk2 + kyk2);
Kesamaan Polarisasi: hx; yi = 1
4
kx + yk2 kx yk2 + ikx + iyk2 ikx iyk2
.
Pada ruang hasilkali dalam H yang telah dilengkapi dengan norma k k kita dapat
pula mende
17. nisikan metrik
d(x; y) := kx yk;
yang memenuhi keempat sifat berikut:
(i) d(x; y) 0 8 x; y 2 H,
(ii) d(x; y) = 0 jhj x = y,
10
18. Analisis Fourier dan Wavelet 11
(iii) d(x; y) = d(y; x) 8 x; y 2 H,
(iv) d(x; z) d(x; y) + d(y; z) 8 x; y; z 2 H (Ketaksamaan Segitiga).
Sebagai ruang metrik atau ruang bernorma, H dikatakan lengkap apabila setiap
barisan Cauchy (xn) di H, yang memenuhi d(xm; xn) ! 0 (m; n ! 1), konvergen
dalam norma ke suatu titik x 2 H, yakni d(xn; x) = kxn xk ! 0 (n ! 1). Ruang
bernorma yang lengkap disebut ruang Banach. Ruang hasilkali H disebut ruang Hilbert
apabila ia, sebagai ruang bernorma, merupakan ruang Banach. Contoh klasik ruang
Hilbert adalah Cd, himpunan semua titik (z1; : : : ; zd) dengan zj 2 C; j = 1; : : : ; d,
Pyang dilengkapi dengan hasilkali dalam baku hz;wi :=
d
j=1 zj wj .
Pembahasan tentang ruang Hilbert yang lebih mendalam dapat pula ditemui mis-alnya
dalam buku An Introduction to Hilbert Space karangan N. Young (Cambridge
Univ. Press, 1988).
0.3 Ukuran Lebesgue di R
Dalam Analisis Real, Anda telah mempelajari konsep integral Riemann. Dalam ku-liah
ini kita akan bekerja dengan integral Lebesgue, yang merupakan suatu perumuman
dari integral Riemann. Walaupun Anda tidak akan dituntut untuk memahami kon-sep
integral Lebesgue secara mendalam, ada baiknya Anda berkenalan dengan konsep
ukuran Lebesgue yang mendasarinya pada kesempatan ini.
Panjang interval terbatas I R yang mempunyai titik ujung a dan b dide
20. nisikan sebagai 1. Sekarang
misalkan A suatu himpunan di R. Keluarga terbilang interval fIjg dikatakan meliputi
S
A apabila A
j Ij . Ukuran luar A kemudian dide
21. nisikan sebagai
P
m(A) := inff
j jIj j : fIjg meliputi Ag:
Jelas bahwa ukuran luar sebuah interval sama dengan panjangnya, yakni m(I) = jIj.
Tidak tertutup kemungkinan terjadi m(A) = 1 untuk suatu A R. Secara umum,
m(A) 2 [0;1].
Himpunan A R dikatakan terukur apabila untuk setiap 0 terdapat himpunan
tertutup F A dan himpunan terbuka G A sedemikian sehingga m(G n F) .
11
22. 12 Hendra Gunawan
(Himpunan H dikatakan terbuka di R apabila untuk setiap x 2 H terdapat 0
sedemikian sehingga (x ; x + ) H; dan H dikatakan tertutup apabila R n H
terbuka.)
Tidak terlalu sukar untuk memeriksa bahwa jika A terukur, maka A0 juga terukur;
jika A dan B terukur, maka A B juga terukur; dan jika Ak terukur untuk setiap
S
k 2 N, maka
k2N Ak juga terukur. Keluarga himpunan M = fA R : A terukurg
merupakan suatu aljabar-, yakni memenuhi:
(i) A 2M) A0 2M,
(ii) A;B 2M) A B 2M,
S
(iii) Ak 2M; k 2 N )
k2N Ak 2M:
Keluarga M memuat semua himpunan terbuka, himpunan tertutup, himpunan F
(gabungan sejumlah terbilang himpunan tertutup), dan himpunan G (irisan sejumlah
terbilang himpunan terbuka) di R. Fungsi m yang dibatasi pada M dikenal sebagai
ukuran Lebesgue pada R, biasa dilambangkan dengan m.
Himpunan A R dikatakan berukuran nol apabila m(A) = 0. Himpunan beruku-ran
nol jelas terukur, dengan m(A) = m(A) = 0. Setiap himpunan terbilang jelas
merupakan himpunan berukuran nol.
Suatu sifat atau pernyataan P pada R dikatakan berlaku hampir di mana-mana
(h.d.m.) apabila P berlaku pada seluruh R kecuali pada suatu himpunan berukuran
nol. Sebagai contoh, fungsi f : R ! R yang dide
23. nisikan oleh f(x) := 0 jika x irasional
dan f(x) := 1 jika x rasional, dapat dikatakan sama dengan nol hampir di mana-mana.
Himpunan berukuran nol mempunyai peran yang cukup penting dalam teori inte-gral.
Misalnya kita mempunyai teorema berikut:
Teorema B (Kriteria keterintegralan Riemann). Misalkan f : [a; b] ! R terbatas.
Maka, f terintegralkan Riemann pada [a; b] jika dan hanya jika f kontinu pada [a; b]
kecuali pada suatu himpunan berukuran nol.
Dengan konsep ukuran Lebesgue, integral Riemann dapat diperumum menjadi in-tegral
Lebesgue | namun kita tidak akan membahasnya di sini. Pada umumnya kita
akan bekerja dengan fungsi yang kontinu hampir di mana-mana, dan dalam hal ini in-tegral
Lebesgue dapat dianggap sebagai integral Riemann. Beberapa teorema, seperti
12
24. Analisis Fourier dan Wavelet 13
halnya teorema Fubini dan teorema Lebesgue tentang kekonvergenan barisan fungsi
yang terdominasi, akan kita pakai begitu saja bilamana diperlukan. Bila pembaca ingin
memahami konsep ukuran dan integral Lebesgue lebih jauh, silakan lihat buku Real
Analysis karangan H.L. Royden (Prentice Hall, 1988), Real and Complex Analysis
karangan W. Rudin (McGraw- Hill, 1986), atau buku lain yang membahas hal ini.
13
25. 14 Hendra Gunawan
1. Mengapa Deret Fourier
Di bawah ini diberikan dua contoh pemicu materi deret Fourier. Kedua contoh yang
dipilih untuk dikemukakan di sini berkaitan dengan persamaan difusi atau persamaan
panas untuk seutas kawat yang mengalami perubahan panas.
1.1 Persamaan panas untuk kawat lurus
Misalkan kita mempunyai seutas kawat yang panjangnya L dan penampangnya ber-bentuk
lingkaran, terinsulasi pada permukaannya (sehingga suhu dapat keluar/masuk
hanya melalui kedua ujungnya), dan suhu pada kedua ujungnya dipertahankan tetap
sama dengan nol.
||||||||||
0 L
Gambar 1.1: Kawat [0;L]
Bila kawat tersebut kemudian mengalami perubahan panas (katakan karena di-panasi),
maka suhu pada kawat tersebut akan memenuhi persamaan panas atau per-samaan
difusi
ut = kuxx
dengan syarat batas
u(0; t) = u(L; t) = 0:
Di sini u(x; t) menyatakan suhu kawat pada posisi x 2 [0;L] dan saat t 0, ut turunan
parsial terhadap t, dan uxx turunan parsial kedua terhadap x; sementara k adalah
konstanta difusi.
14
26. Analisis Fourier dan Wavelet 15
Dengan pemisahan peubah, kita misalkan u(x; t) = X(x)T(t). Maka, kita akan
peroleh
X(x)T0(t) = kX00(x)T(t)
X(0) = X(L) = 0:
Dengan membagi kedua ruas persamaan dengan kX(x)T(t), kita dapatkan
T0(t)
kT(t)
=
X00(x)
X(x)
:
Karena ruas kiri hanya bergantung pada t, sementara ruas kanan hanya bergantung
pada k, maka kedua ruas mestilah sama dengan suatu konstanta A, sehingga kita peroleh
T0(t) = AkT(t) (1)
X00(x) = AX(x) (2):
Solusi umum dari (1) adalah
T(t) = C0eAkt; t 0;
sementara solusi umum dari (2) adalah
X(x) = C1 cos x + C2 sin x; 0 x L:
(Secara umum A merupakan konstanta kompleks; =
p
A adalah bilangan kompleks
yang memenuhi 2 + A = 0.)
Persyaratan X(0) = 0 memaksa C1 = 0, dan X(L) = 0 memberikan C2 sin L = 0.
Dengan menganggap C26= 0, kita peroleh sin L = 0 yang berarti bahwa L = n dan
karenanya A =
n
L
2
, dengan n 2 Z. Namun kita di sini cukup mengambil n 2 N
mengingat kasus n = 0 hanya menghasilkan solusi nol dan mengganti n dengan n
sama saja dengan mengganti C2 dengan C2. Dengan demikian kita peroleh solusi
L )2kt sin
un(x; t) = e( n
nx
L
; 0 x L; t 0;
untuk setiap n 2 N. Dengan mengambil kombinasi linearnya dan dengan proses limit,
kita mempunyai solusi yang berbentuk deret
u(x; t) =
1X
n=1
L )2kt sin
ane( n
nx
L
; 0 x L; t 0;
15
27. 16 Hendra Gunawan
dengan an 2 R untuk setiap n 2 N.
Misalkan, sebagai informasi tambahan, diketahui syarat awal u(x; 0) = f(x); x 2
[0;L]. Solusi di atas akan memenuhi syarat ini jika dan hanya jika koe
28. sien an memenuhi
f(x) =
1X
n=1
an sin
nx
L
; 0 x L:
Masalahnya kemudian adalah adakah an yang memenuhi persamaan ini dan, bila ada,
bagaimana menentukannya.
1.2 Persamaan panas untuk kawat melingkar
Misalkan kawat tadi ditekuk sehingga membentuk lingkaran (dengan kedua ujung-nya
bertemu) dan kita ingin mengetahui distribusi panas pada kawat bila kawat tersebut
dipanasi. Di sini posisi setiap titik ditentukan oleh sudut (yang diukur terhadap sumbu
acuan) dan suhu di titik tersebut pada saat t adalah u(; t).
Gambar 1.2: Kawat Melingkar
Karena jarak linear pada lingkaran sebanding dengan jarak sudut (x = r, dengan
r = jejari lingkaran), persamaan difusi ut = kuxx menjadi
ut = k0u
dengan k0 = k
r2 . Dengan menuliskan u(; t) = ()T(t), kita peroleh (seperti sebelum-nya)
T(t) = C0eAk0t; t 0;
16
29. Analisis Fourier dan Wavelet 17
() = C1 cos
p
A + C2 sin
p
A; 2 R;
untuk suatu konstanta kompleks A.
Sekarang kita tidak mempunyai persyaratan batas karena lingkaran tidak berujung.
Namun, mengingat dan + 2n menyatakan sebuah titik yang sama, fungsi ()
mestilah periodik dengan periode 2:
( + 2n) = () 8 2 [0; 2); n 2 Z:
Syarat ini tidak `membunuh' C1 ataupun C2, tetapi memaksa
p
A = n 2 N [ f0g,
sehingga pada akhirnya kita dapatkan solusi yang berbentuk
u(; t) =
1X
(an cos n + bn sin n)en2k0t; 2 R; t 0:
n=0
Jika diketahui syarat awal u(; 0) = f(), maka kita peroleh
f() =
1X
(an cos n + bn sin n); 2 R:
n=0
Masalahnya lagi-lagi adalah apakah f, yang merupakan fungsi periodik dengan periode
2, dapat dinyatakan sebagai deret seperti di atas dan, bila dapat, bagaimana menen-tukan
koe
30. sien an dan bn yang memenuhi persamaan tersebut.
Deret trigonometri pada ruas kanan persamaan di atas kelak disebut sebagai deret
Fourier, sementara bilangan-bilangan an dan bn (yang bergantung pada fungsi f yang
diberikan) disebut sebagai koe
31. sien Fourier. Tanda = pada persamaan tersebut
berarti bahwa deret pada ruas kanan konvergen ke nilai fungsi f di titik . Secara
umum, kekonvergenan ini hanya berlaku hampir di mana-mana, tidak `titik demi titik'.
1.3 Soal latihan
1. Tinjau persamaan gelombang utt = c2uxx untuk seutas kawat yang panjangnya L,
dengan syarat batas
u(0; t) = u(L; t) = 0
dan syarat awal
u(x; 0) = f(x) dan ut(x; 0) = g(x):
17
32. 18 Hendra Gunawan
Dengan pemisahan peubah, peroleh solusi berupa deret
u(x; t) =
1X
n=1
sin
nx
L
an cos
nct
L
+ bn sin
nct
L
; 0 x L; t 0;
dengan an memenuhi
f(x) =
1X
n=1
an sin
nx
L
; 0 x L;
dan bn memenuhi
g(x) =
1X
n=1
nc
L
bn sin
nx
L
; 0 x L:
18
33. Analisis Fourier dan Wavelet 19
2. Deret Fourier
Pada bab ini kita akan membahas deret Fourier dari fungsi periodik. Pendekatan
yang dipilih dalam diktat ini sama dengan pendekatan dalam buku Fourier Analysis
and Its Applications karangan G.B. Folland (Wadsworth, 1992).
Untuk kemudahan kita akan lebih banyak bekerja dengan fungsi eksponensial kom-pleks
ei daripada fungsi trigonometri cos dan sin . Ingat bahwa fungsi-fungsi ini
terkait oleh rumus
ei = cos + i sin ;
cos =
1
2
(ei + ei) dan sin =
1
2i
(ei ei):
Kelebihan fungsi cosinus dan sinus adalah bahwa mereka bernilai real dan mempunyai
sifat simetri, sementara kelebihan fungsi eksponensial adalah rumus turunan (ei)0 =
iei dan rumus jumlah ei(+) = eiei yang relatif lebih sederhana.
2.1 Deret Fourier dari fungsi periodik
Misalkan f() adalah sebuah fungsi bernilai kompleks yang terde
34. nisi pada R se-demikian
sehingga
f( + 2) = f() 8 2 R;
yakni f periodik dengan periode 2. Asumsikan pula bahwa f terintegralkan Riemann
pada sebarang interval terbatas (ini dipenuhi bila, misalnya, f terbatas dan kontinu
kecuali di sejumlah terhingga titik pada sembarang interval terbatas).
Kita ingin mengetahui kapankah f dapat diuraikan sebagai deret
f() =
1
2
a0 +
1X
(an cos n + bn sin n):
n=1
Di sini 1
2a0 merupakan koe
35. sien fungsi konstan 1 = cos 0, dan faktor 1
2 sengaja diikut-sertakan
untuk kemudahan yang akan kita lihat nanti. Tidak ada b0 karena sin 0 = 0.
19
36. 20 Hendra Gunawan
Menggunakan rumus di atas, persamaan tadi dapat dituliskan sebagai
f() =
1X
n=1
cnein
dengan
c0 =
1
2
a0; cn =
1
2
(an ibn) dan cn =
1
2
(an + ibn); n 2 N
atau
a0 = 2c0; an = cn + cn dan bn = i(cn cn); n 2 N:
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita mencoba terlebih dahulu mencari syarat
perlunya. Jika kita mempunyai persamaan di atas, bagaimana koe
37. sien cn dapat di-hitung
dalam f? Dengan mengalikan kedua ruas dengan eik (k 2 Z), kemudian
integralkan dari sampai , kita peroleh (dengan menganggap bahwa integral deret
sama dengan deret integral)
Z
f()eik =
1X
n=1
cn
Z
ei(nk)d:
Tetapi untuk n6= k
Z
ei(nk)d =
1
i(n k)
ei(nk)
38.
39.
40. = 0;
sementara untuk n = k Z
ei(nk) =
Z
d = 2:
Jadi satu-satunya suku yang bertahan dalam deret tadi adalah suku ke-k, sehingga kita
dapatkan Z
f()eikd = 2ck:
Dengan menamai kembali k sebagai n, kita peroleh rumus untuk koe
41. sien cn, yakni
cn =
1
2
Z
f()eind; n 2 Z:
Dari sini kita peroleh
a0 = 2c0 =
1
Z
f()d
20
42. Analisis Fourier dan Wavelet 21
dan untuk n = 1; 2; 3; : : :
an = cn + cn =
1
Z
f() cos nd
bn = i(cn cn) =
1
Z
f() sin nd:
Perhatikan bahwa rumus untuk an berlaku pula untuk n = 0 karena faktor 1
2 yang
sengaja telah kita ikutsertakan sejak awal.
Selanjutnya, jika f periodik dengan periode 2 dan terintegralkan pada [; ],
maka bilangan cn, atau an dan bn, sebagaimana dirumuskan di atas, disebut sebagai
koe
43. sien Fourier dari f, sementara deret
1X
n=1
cnein atau
1
2
a0 +
1X
(an cos n + bn sin n)
n=1
disebut sebagai deret Fourier dari f.
Catat bahwa yang telah kita dapatkan saat ini baru syarat perlunya saja, belum
syarat cukup. Yakni, jika kita mempunyai sebuah fungsi f yang periodik dengan periode
2 dan terintegralkan pada [; ], maka kita dapat menghitung koe
45. sien
Fourier dan deret Fourier dari fungsi tersebut. Namun pertanyaan apakah f sama
dengan deret Fouriernya, atau apakah deret Fourier dari f konvergen (titik demi titik)
ke f, sama sekali belum terjawab.
2.2 Contoh dan Ketaksamaan Bessel
Sebelum kita menjawab pertanyaan penting tadi, kita tinjau terlebih dahulu dua
buah contoh berikut.
Contoh 1. Misalkan f periodik dengan periode 2 dan
f() := jj; :
Maka, dengan mengingat bahwa f merupakan fungsi genap, kita peroleh a0 = , an =
2
(1)n1
dan bn = 0 untuk setiap n 2 N. Perhatikan bahwa (1)n 1 = 0 bila n
n2 genap, dan (1)n 1 = 2 bila n ganjil. Dengan demikian deret Fourier dari f adalah
2
4
X
n=1;3;5;:::
1
n2 cos n:
21
46. 22 Hendra Gunawan
Gambar2.2a: Fungsi f dan deret Fouriernya (Sumber: Folland)
Gambar di atas mengindikasikan bahwa deret Fourier dari f konvergen ke fungsi f
secara `titik demi titik'. Hal ini akan kita justi
47. kasi pada bab berikutnya.
Contoh 2. Misalkan g periodik dengan periode 2 dan
g() := ; :
Maka c0 = 0 dan cn = (1)n+1
in untuk setiap n6= 0. Jadi deret Fourier dari g adalah
X
n6=0
(1)n+1
in
ein
atau, mengingat (1)n = (1)n dan ein
in + ein
in = 2
n sin n,
2
1X
n=1
(1)n+1
n
sin n:
22
48. Analisis Fourier dan Wavelet 23
Gambar 2.2b: Fungsi g dan deret Fouriernya (Sumber: Folland)
Perhatikan bagaimana deret Fourier dari g menghampiri fungsi g, khususnya di
titik-titik diskontinuitas g. Apa yang sebenarnya terjadi akan dijelaskan pada bab
berikutnya. (Pelajari pula tentang fenomena Gibbs pada x5.4.)
Ketaksamaan berikut memberikan suatu hampiran untuk koe
49. sien Fourier, yang
kelak diperlukan dalam pembahasan kekonvergenan deret Fourier.
Teorema A (Ketaksamaan Bessel). Jika f periodik dengan periode 2 dan terinte-
gralkan Riemann pada [; ], maka koe
50. sien Fourier cn yang ditentukan oleh rumus
di atas memenuhi ketaksamaan
1X
n=1
jcnj2
1
2
Z
jf()j2d:
23
51. 24 Hendra Gunawan
Catatan. Mengingat ja0j2 = 4jc0j2 dan janj2 + jbnj2 = 2(jcnj2 + jcnj2) untuk n 1,
kita peroleh
1
4
ja0j2 +
1
2
1X
(janj2 + jbnj2) =
n=1
1X
n=1
jcnj2
1
2
Z
jf()j2d:
Bukti. Karena jzj2 = zz, maka untuk setiap 2 [; ] dan N 2 N berlaku
jf()
XN
n=N
cneinj2 = jf()j2
XN
n=N
[cn
f()eincnf()ein]+
XN
m;n=N
cmcnei(mn):
Bagi kedua ruas dengan 2 dan integralkan pada [; ], dengan mengingat rumus
koe
52. sien cn pada x2.1:
1
2
Z
jf()
XN
n=N
cneinj2d =
1
2
Z
jf()j2d
XN
n=N
jcnj2:
Karena integral di ruas kiri tak mungkin negatif, maka
1
2
Z
jf()j2d
XN
n=N
jcnj2;
dan ini berlaku untuk setiap n 2 N. [QED]
Akibat B (Lemma Riemann-Lebesgue). Koe
54. sien Fourier an dan bn menuju 0 bila n ! 1.
Bukti. janj2; jbnj2, dan jcnj2 merupakan suku ke-n deret yang konvergen, dan karenanya
mereka menuju 0 dan demikian pula halnya dengan an; bn, dan cn. [QED]
2.3 Soal latihan
1. Veri
55. kasi hubungan antara an; bn, dan cn yang dibahas pada x2.1, yakni
c0 =
1
2
a0; cn =
1
2
(an ibn) dan cn =
1
2
(an + ibn); n 2 N
atau
a0 = 2c0; an = cn + cn dan bn = i(cn cn); n 2 N:
2. (a) Veri
60. kasi hubungan antara janj; jbnj, dan jcnj yang dinyatakan sebagai Catatan di
bawah Teorema A.
24
61. Analisis Fourier dan Wavelet 25
3. Kekonvergenan Deret Fourier
Sekarang kita akan membahas kekonvergenan deret Fourier, khususnya kekonverge-
nan titik demi titik. Melalui Contoh 2 yang dibahas pada bab sebelumnya kita menge-tahui
bahwa secara umum deret Fourier dari suatu fungsi tidak selalu konvergen titik
demi titik ke fungsi semula, khususnya di titik di mana fungsi tersebut diskontinu. Na-mun,
kita akan melihat bila fungsi tersebut memenuhi sejumlah hipotesis tertentu, maka
deret Fourier-nya akan konvergen titik demi titik.
3.1 Jumlah parsial dan intuisi melalui kernel Dirichlet
Untuk menjawab pertanyaan apakah deret
1
2
a0 +
1X
(an cos n + bn sin n)
n=1
atau deret
1X
n=1
cnein;
dengan an; bn, dan cn sebagaimana diberikan sebelumnya, konvergen ke f(), kita tinjau
jumlah parsialnya, yakni
Sf
N() :=
XN
n=N
cnein =
1
2
a0 +
XN
(an cos n + bn sin n):
n=1
(Ketika kita bekerja dengan bentuk eksponensial, kita sepakat bahwa kita senantiasa
menyatukan suku ein dan ein. Itu sebabnya kita harus menyelidiki jumlah parsial
`simetris' di atas.)
Jika kita substitusikan rumus untuk cn ke dalam jumlah parsial tadi, maka kita
akan mendapatkan
Sf
N() =
1
2
XN
n=N
Z
f( )ein( )d =
1
2
XN
n=N
Z
f( )ein( )d :
25
62. 26 Hendra Gunawan
Selanjutnya, dengan substitusi peubah := dan mengingat bahwa f periodik
dengan periode 2, kita peroleh
Sf
N() =
1
2
XN
N
Z +
+
f( + )eind =
1
2
XN
N
Z
f( + )eind:
Karena
PN
N
R
: : : =
R
PN
n=N : : :, kita dapat menuliskan
Sf
N() =
Z
f( + )DN()d;
dengan DN() := 1
2
PN
n=N ein.
Fungsi DN() dikenal sebagai kernel Dirichlet. Dengan mengenalinya sebagai deret
geometri, dengan suku pertama eiN dan rasio ei, kita dapat menyederhanakannya
sebagai
DN() =
1
2
ei(N+1) eiN
ei 1
:
Selanjutnya, dengan mengalikan pembilang dan penyebut dengan ei=2, kita peroleh
DN() =
1
2
ei(N+1=2) ei(N+1=2)
ei=2 ei=2 =
1
2
sin(N + 1=2)
sin =2
:
Gra
63. k DN() untuk N = 25 kurang lebih berbentuk seperti di bawah ini.
Gambar 3.1: Gra
64. k D25() (Sumber: Folland)
Intuisi yang mendorong kita untuk menyimpulkan bahwa Sf
N() ! f() adalah
sebagai berikut: titik puncak DN() yang terjadi di = 0 `memetik' nilai f() pada
26
65. Analisis Fourier dan Wavelet 27
Sf
N(); sementara osilasi cepat yang terjadi pada DN() untuk jauh dari 0 `membunuh'
bagian lainnya karena adanya pencoretan antara nilai positif dan negatif.
3.2 Kekonvergenan titik demi titik dan seragam
Untuk membuktikan kekonvergenan titik demi titik deret Fourier, kita memerlukan
lemma berikut mengenai kernel Dirichet dan sejumlah peristilahan.
Lemma A (Kernel Dirichlet). Untuk setiap N 2 N berlaku
Z 0
DN()d =
Z
0
DN()d =
1
2
:
Bukti. Dari rumus untuk DN, kita mempunyai
DN() =
1
2
+
1
XN
n=1
cos n;
sehingga
Z
0
DN()d =
h
2
+
1
XN
n=1
sin n
n
i
0
=
1
2
:
Serupa dengan itu, Z 0
DN()d =
1
2
;
sebagaimana diharapkan. [QED]
Misalkan 1 a b 1. Kita katakan bahwa f kontinu bagian demi bagian
pada [a; b] apabila f kontinu pada [a; b] kecuali mungkin di sejumlah terhingga titik,
sebutlah x1; : : : ; xk, dan di titik-titik ini f mempunyai limit kiri dan limit kanan. [Jika
titik a atau b termasuk salah satu titik tersebut, maka f hanya dipersyaratkan mem-punyai
limit kanan saja (di a) atau limit kiri saja (di b).]
Lalu, kita katakan bahwa f mulus bagian demi bagian pada [a; b] apabila f dan
turunan pertamanya, yaitu f0, kontinu bagian demi bagian pada [a; b]. Dalam hal ini
fungsi yang mempunyai diskontinuitas tak terhingga (seperti f(x) = 1=x di x = 0) dan
fungsi yang mempunyai patahan `vertikal' (dengan turunan kiri atau turunan kanan tak
terhingga) tidak termasuk fungsi yang mulus bagian demi bagian.
27
66. 28 Hendra Gunawan
Sebagai ilustrasi, fungsi yang kontinu bagian demi bagian dapat berbentuk seperti
pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.2a: Fungsi kontinu bagian demi bagian
Fungsi pada gambar di atas juga mulus bagian demi bagian. Contoh fungsi yang
tidak mulus bagian demi bagian misalnya fungsi seperti di bawah ini:
Gambar 3.2b: Bukan fungsi mulus bagian demi bagian
Selanjutnya, f dikatakan kontinu (mulus) bagian demi bagian pada R apabila ia
kontinu (mulus) bagian demi bagian pada sebarang selang terbatas [a; b].
Teorema B (Kekonvergenan Titik Demi Titik). Jika f periodik dengan periode 2
dan mulus bagian demi bagian, maka
lim
N!1
Sf
N() =
1
2
[f() + f(+)];
dengan f() := lim
h!0
f( + h) dan f(+) := lim
h!0+
f( + h):
28
67. Analisis Fourier dan Wavelet 29
Bukti. Menurut Lemma Kernel Dirichlet, kita mempunyai
1
2
f() = f()
Z 0
DN()d;
1
2
f(+) = f(+)
Z
0
DN()d;
sehingga
Sf
N()
1
2
[f() + f(+)] =
1
2
Z
g()[ei(N+1) eiN]d;
dengan
g() =
f( + ) f()
ei 1
; 0; g() =
f( + ) f(+)
ei 1
; 0 :
Di sini g terde
68. nisi dengan baik pada [; ] dan sama mulusnya dengan f, kecuali
di dekat = 0. Namun, berdasarkan Aturan L'Hopital, g mempunyai limit kanan dan
limit kiri di 0, sehingga g kontinu bagian demi bagian pada [; ]. Akibatnya, menurut
Ketaksamaan Bessel, koe
69. sien Fourier dari g, sebutlah Cn, akan menuju 0 bila n ! 1.
Sebagai selisih dua koe
70. sien Fourier dari g, ekspresi di atas akan menuju 0 bila N ! 1.
[QED]
Teorema di atas memberitahu kita bahwa deret Fourier dari f konvergen titik demi
titik ke f, kecuali mungkin di titik-titik diskontinuitas f. Bila kita de
71. nisikan ulang nilai
f di titik-titik diskontinuitasnya sebagai nilai rata-rata limit kiri dan limit kanannya,
maka deret Fourier dari f yang mulus bagian demi bagian pada [; ] akan konvergen
titik demi titik pada [; ]. Lebih jauh, jika f juga kontinu pada [; ], maka kita
mempunyai teorema berikut.
Teorema C (Kekonvergenan Seragam). Jika f periodik dengan periode 2, kontinu
dan mulus bagian demi bagian, maka deret Fourier f konvergen mutlak dan secara
seragam pada R.
3.3 Soal latihan
1. Misalkan f dan g periodik dengan periode 2 dan mulus bagian demi bagian.
Buktikan jika f dan g mempunyai koe
73. 30 Hendra Gunawan
2. Gunakan deret Fourier pada Contoh 2 yang dibahas pada Bab 2 dan teorema
kekonvergenan titik demi titik di atas untuk membuktikan kesamaan
1X
k=1
1
(2k 1)2 =
2
8
dengan meninjau nilai deret Fourier dan fungsi tersebut di = 0.
3. Buktikan bahwa
1X
n=1
1
n2 =
2
6
dengan menggunakan deret Fourier dari fungsi tertentu.
30
74. Analisis Fourier dan Wavelet 31
4. Deret Fourier pada Interval Sembarang dan Aplikasinya
Kita telah mempelajari bagaimana menguraikan fungsi periodik dengan periode 2
yang terde
75. nisi pada R sebagai deret Fourier. Deret trigonometri tersebut sebetulnya
dapat pula dipakai sebagai representasi fungsi yang terde
76. nisi pada interval sembarang
yang panjangnya 2. Pada bab ini kita akan membahas deret Fourier dari suatu fungsi
yang dide
77. nisikan pada interval sembarang dan aplikasinya.
4.1 Deret Fourier pada interval sembarang
Misalkan kita mempunyai sebuah fungsi f yang terde
78. nisi pada [; ], dengan
asumsi f() = f(). (Asumsi ini dapat dipenuhi dengan cara mende
79. nisikan ulang,
bila perlu, nilai f di salah satu titik ujungnya. Asumsi ini dapat pula dihapuskan
dengan menganggap f terde
80. nisi hanya pada (; ].) Selanjutnya misalkan f terbatas
dan terintegralkan pada [; ]. Kita perluas f pada R sedemikian sehingga f periodik
dengan periode 2, melalui
f( + 2n) = f() 8 2 (; ]; n 2 Z:
Sebagai contoh, fungsi periodik f yang dibahas pada Bab 2, Contoh 1, dapat dipandang
sebagai perluasan periodik fungsi f() = jj dari interval (; ] ke seluruh R.
Jika f mulus bagian demi bagian pada (; ], maka kita dapat menguraikannya
sebagai deret Fourier. Dengan membatasi kembali peubah pada [; ], kita peroleh
deret Fourier dari fungsi semula. Sekarang misalkan f terde
81. nisi hanya pada [0; ].
Kita dapat memperluas f pada R sedemikian sehingga ia merupakan fungsi periodik
dengan periode 2, dan kemudian kita peroleh deret Fouriernya. Untuk memperluas f
pada R, pertama kita perluas f pada [; ].
Ada dua cara yang baku untuk hal ini, yakni dengan membuatnya menjadi fungsi
31
82. 32 Hendra Gunawan
genap atau ganjil. Perluasan genap fgenap pada [; ] dapat diperoleh melalui
fgenap() = f() 8 2 [0; ];
sementara perluasan ganjil fganjil dapat diperoleh melalui
fganjil() = f() 8 2 (0; ]; fganjil(0) = 0;
Untuk ilustrasi, lihat gambar berikut.
Gambar 4.1: Fungsi beserta perluasan ganjil dan perluasan genap
Keuntungan menggunakan fgenap dan fganjil adalah bahwa koe
84. sien sinusnya akan sama dengan nol (karena
sin n merupakan fungsi ganjil). Untuk fganjil, koe
85. sien cosinusnya akan sama dengan
nol (karena cos n merupakan fungsi genap). Jadi, deret Fourier dari fgenap hanya
melibatkan fungsi cosinus, sementara deret Fourier dari fganjil hanya melibatkan fungsi
32
87. sien lainnya juga menjadi lebih mudah:
Z
fgenap() cos n d = 2
Z
0
f() cos n d;
Z
fganjil() sin n d = 2
Z
0
f() sin n d:
Perhatikan bahwa pada akhirnya fungsi f yang semula terde
88. nisi pada [0; ] muncul
kembali dalam perhitungan koe
89. sien Fourier di atas.
Selanjutnya, misalkan f terintegralkan pada [0; ]. Deret
1
2
a0 +
Xn
n=1
an cos n; dengan an =
2
Z
0
f() cos n d;
disebut deret Fourier cosinus dari f.
Sementara itu, deret
Xn
n=1
bn sin n; dengan bn =
2
Z
0
f() sin n d;
disebut deret Fourier sinus dari f.
Teorema A. Misalkan f mulus bagian demi bagian pada [0; ]. Maka, deret Fourier
cosinus dan deret Fourier sinus dari f konvergen ke 1
2 [f()+f(+)] di setiap 2 (0; ).
Khususnya, mereka konvergen ke f() jika f kontinu di 2 (0; ). Deret Fourier cosinus
dari f konvergen ke f(0+) di = 0 dan ke f() di = ; deret Fourier sinus dari f
konvergen ke 0 di kedua titik tersebut.
Sekarang misalkan f(x) adalah fungsi periodik dengan periode 2L. Dengan substi-tusi
peubah x := L
, kita peroleh fungsi baru
g() := f
L
= f(x):
Perhatikan bahwa g merupakan fungsi periodik dengan periode 2, dan karenanya dapat
diuraikan sebagai deret Fourier
g() =
1X
n=1
cnein; cn =
1
2
Z
g()eind;
33
90. 34 Hendra Gunawan
asalkan g mulus bagian demi bagian. Jika kita subtitusikan kembali = x
L ke dalam
rumus di atas, maka kita dapatkan deret Fourier periodik dengan periode 2L dari fungsi
f semula:
f(x) =
1X
n=1
cneinx=L; cn =
1
2L
Z L
L
f(x)einx=Ldx:
Dinyatakan dalam cosinus dan sinus, deret ini menjadi
f(x) =
1
2
a0 +
1X
an cos
n=1
nx
L
+ bn sin
nx
L
;
dengan
an =
1
L
Z L
L
f(x) cos
nx
L
dx; bn =
1
L
Z L
L
f(x) sin
nx
L
dx:
Dengan cara yang serupa seperti sebelumnya kita dapat memperoleh deret Fourier
cosinus dan deret Fourier sinus dari fungsi f yang mulus bagian demi bagian pada [0;L],
yakni
f(x) =
1
2
a0 +
1X
n=1
an cos
nx
L
; an =
2
L
Z L
0
f(x) cos
nx
L
dx;
dan
f(x) =
1X
n=1
bn sin
nx
L
; bn =
2
L
Z L
0
f(x) sin
nx
L
dx:
Contoh 1. Deret Fourier cosinus dari fungsi f(x) := x; x 2 [0; 1], adalah
1
2
4
2
1X
n=1
1
(2n 1)2 cos(2n 1)x;
sementara deret Fourier sinusnya adalah
2
1X
n=1
(1)n+1
n
sin nx:
4.2 Contoh aplikasi
Pada Bab 1 kita telah membahas persamaan panas untuk sepotong kawat lurus
yang panjangnya L, yakni
uu = kuxx
34
91. Analisis Fourier dan Wavelet 35
dengan syarat batas
u(0; t) = u(L; t) = 0; t 0;
dan syarat awal
u(x; 0) = f(x); 0 x L:
Kandidat solusi masalah ini adalah
u(x; t) =
1X
n=1
bnen22kt=L2
sin
nx
L
; 0 x L; t 0;
dengan koe
92. sien bn memenuhi
f(x) =
1X
n=1
bn sin
nx
L
; 0 x L:
Sekarang kita telah mengetahui bahwa persamaan terakhir di atas dapat dipenuhi
apabila f mulus bagian demi bagian pada [0;L] dan
bn =
2
L
Z L
0
f(x) sin
nx
L
dx; n 2 N:
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah u(x; t) yang diberikan sebagai deret oleh ru-mus
di atas, dengan koe
93. sien bn ini, sungguh merupakan solusi masalah tadi? Jawaban-nya
ya. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Masing-masing suku deret merupakan
solusi persamaan panas. Pada daerah 0 x L; t 0, deret konvergen mutlak dan
seragam. Karena itu, penurunan suku demi suku dapat dilakukan untuk menunjukkan
bahwa u(x; t) merupakan solusi persamaan panas. Syarat batas u(0; t) = u(L; t) = 0
dan u(x; 0) = f(x) mudah diperiksa. Lebih jauh, dengan uji M-Weierstrass, dapat
ditunjukkan bahwa deret konvergen seragam pada daerah 0 x L; t 0, dan
karenanya u kontinu pada daerah ini, sehingga u(x; t) ! u(x; 0) = f(x) bila t ! 0+.
Pertanyaan berikutnya adalah: apakah solusi masalah tersebut tunggal? Jawa-bannya
juga ya. Setiap solusi u(x; t) untuk masalah tersebut mestilah dapat diuraikan
sebagai deret Fourier dalam x untuk setiap t. Substitusikan deret ini ke dalam per-samaan
dan gunakan syarat awal, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa koe
98. kasi ketunggalan solusi persamaan panas dengan syarat batas dan syarat awal
yang dibahas pada x4.2.
3. Tentukan solusi tak homogen dari persamaan diferensial biasa orde 2 berikut:
y00 + 0; 02y0 + 25y = r(t)
dengan r(t) := jtj 1
2 untuk 1 t 1 dan r(t + 2) = r(t) untuk setiap t 2 R.
(Petunjuk: Nyatakan r(t) sebagai deret Fourier terlebih dahulu.)
36
99. Analisis Fourier dan Wavelet 37
5. Beberapa Catatan Mengenai Deret Fourier
Kita telah mempelajari deret Fourier dan aplikasinya, tetapi itu sebetulnya baru
sebagian saja. Berikut adalah beberapa informasi tambahan mengenai deret Fourier
yang mungkin perlu diketahui oleh Anda.
5.1 Turunan dan Integral dari Deret Fourier
Teorema A (Turunan dari deret Fourier). Misalkan f periodik dengan periode 2,
kontinu, dan mulus bagian demi bagian. Misalkan an; bn, dan cn adalah koe
100. sien
Fourier dari f (real dan kompleks). Misalkan a0
n, dan c0
n; b0
n menyatakan koe
101. sien
Fourier dari f0. Maka, untuk setiap n, berlaku
a0
n = nbn; b0
n = nan; dan c0
n = incn:
Teorema B (Integral dari deret Fourier). Misalkan f periodik dengan periode 2, dan
an; bn, dan cn adalah koe
102. sien Fourier dari f. Misalkan F() =
R
0 f()d, anti-turunan
dari f. Jika c0(= 1
2a0) = 0, maka untuk setiap berlaku
F() = C0 +
X
n6=0
cn
in
ein =
1
2
A0 +
1X
an
n
n=1
sin n
bn
n
cos n
;
dengan suku konstanta C0 sama dengan nilai rata-rata F pada [; ], yakni
C0 =
1
2
A0 =
1
2
Z
F()d:
Catatan. Pada Bab 3, kita membahas kekonvergenan deret Fourier, khususnya kekon-vergenan
titik demi titik. Kekonvergenan seragam deret Fourier diperoleh bila f peri-odik
dengan periode 2, kontinu, dan mulus bagian demi bagian pada R. Pembuktian
dalil ini sesungguhnya memerlukan Teorema A yang berkaitan dengan turunan dari
deret Fourier. Bila penasaran, lihat buku G.B. Folland (Wadsworth, 1992).
37
103. 38 Hendra Gunawan
5.2 Deret Fourier sebagai transformasi
Diberikan sebuah fungsi periodik f dengan periode 2L, koe
104. sien Fourier cn dari f
dapat dipandang sebagai suatu pemetaan
n7! cn =
1
2L
Z L
L
f()einx=L dx;
yang terde
105. nisi pada Z. Transformasi f7! fcng memetakan fungsi periodik f yang
terde
114. . Catat bahwa semakin besar L, semakin kerap domain frekuensi f
n
L
115.
116. g.
Invers dari transformasi tersebut memetakan barisan (n) yang terde
117. nisi pada
Z ke fungsi periodik g() :=
1P
n=1
(n)einx=L yang terde
118. nisi pada R. Rumus ini
memberi kita cara untuk merekonstruksi f dari barisan fcng: f() =
1P
n=1
cneinx=L.
Pada prinsipnya, informasi tentang f tersimpan dalam fcng, dan sebaliknya. Na-mun,
terdapat beberapa keuntungan bila kita bekerja dengan fcng dibandingkan de-ngan
f. Sebagai contoh, Teorema A pada x5.1 menunjukkan bahwa transformasi di atas
`mengubah' operasi penurunan (pada f) menjadi perkalian dengan in
L (pada fcng): jika
c0
n menyatakan koe
119. sien Fourier dari f0, maka c0
n = in
L cn.
5.3 Perbandingan dengan deret Taylor
Kita masih ingat bagaimana menguraikan sebuah fungsi f sebagai deret Taylor di
sekitar suatu titik x0 dalam daerah de
120. nisinya:
f(x) =
1X
n=0
f(n)(x0)
n!
(x x0)n; jx x0j r;
asalkan f dapat diturunkan tak hingga kali di x0, dan suku sisa Taylor-nya menuju
0 pada interval tersebut. Kecepatan kekonvergan deret Taylor di x bergantung pada
seberapa jauh x dari x0. Secara umum, jumlah parsial dari deret Taylor dapat mem-berikan
hampiran yang sangat baik di dekat x0 tetapi tidak terlalu baik untuk x yang
jauh dari x0.
38
121. Analisis Fourier dan Wavelet 39
Berbeda dengan deret Taylor, deret Fourier untuk fungsi f yang periodik dengan
periode 2L tidak mengharuskan f mempunyai turunan tiap orde. Bila f cukup mulus
pada [L;L], jumlah parsial dari deret Fourier akan konvergen ke f cukup cepat dan
secara seragam, serta memberikan hampiran yang baik pada [L;L].
Jadi, bila deret Taylor terkait erat dengan perilaku lokal fungsi, maka deret Fourier
terkait erat dengan perilaku global fungsi.
5.4 Fenomena Gibbs
Misalkan f adalah sebuah fungsi periodik. Jika f mempunyai diskontinuitas di x0,
maka deret Fourier dari f tidak mungkin konvergen ke f secara seragam pada interval
yang mengandung x0 (karena limit seragam dari barisan fungsi kontinu haruslah kon-tinu).
Untuk fungsi f yang mulus bagian demi bagian, deret Fourier dari f mengalami
suatu fenomena yang dikenal sebagai fenomena Gibbs, khususnya di titik-titik diskon-tinuitas
fungsi f. Jumlah parsialnya dalam hal ini akan overshoot dan undershoot
f di dekat titik diskontinuitasnya.
Sebagai ilustrasi, tinjau f() := ; untuk 0 2; f(+2n) = f() untuk
setiap n 2 Z. Maka, deret Fourier dari f akan tampak seperti pada gambar di bawah
ini. Perhatikan bahwa ada semacam spike di dekat titik-titik diskontinuitas f.
Gambar 5.4: Fenomena Gibbs (Sumber: Folland)
Untuk mengetahui berapa besar overshoot dan undershoot tersebut, kerjaka
39
122. 40 Hendra Gunawan
soal di bawah ini (yang dicuplik dari buku G.B. Folland Fourier Analysis and Its
Applications (Wadsworth, 1992).
5.5 Soal latihan
1. Diketahui f() := ; untuk 0 2; f(+2n) = f() untuk setiap n 2 Z.
(a) Tunjukkan bahwa f() = 2
P1
n=1
sin n
n untuk 0 2.
(b) Misalkan gN() := 2
PN
n=1
sin n
n (): Tunjukkan bahwa g0N
() = 2DN(),
dengan DN adalah kernel Dirichlet pada x3.
(c) Tunjukkan bahwa titik stasioner pertama di sebelah kanan 0 dari gN() tercapai
di N :=
N+1=2 , dan
gN(N) =
Z N
0
sin(N + 1
2 )
sin 1
2
d :
(d) Tunjukkan bahwa lim
N!1
gN(N) = 2
R
0
sin
d :
40
123. Analisis Fourier dan Wavelet 41
6. Himpunan Fungsi Ortogonal
Misalkan f periodik dengan periode 2, dan mulus bagian demi bagian pada
[; ]. Jika Sf
N() =
PN
n=N cnein; n = 0; 1; 2; : : :, adalah jumlah parsial dari deret
Fourier f, maka kita telah menunjukkan bahwa (Sf
N) konvergen ke f, yakni
lim
N!1
XN
n=N
cnein = f()
hampir di mana-mana. Dalam hal ini kita dapat merekonstruksi f dari koe
125. sien Fourier-nya melalui
f() =
1X
n=1
cnein:
Namun, secara umum, deret Fourier f tidak selalu sama persis dengan fungsi f sem-ula.
Bahkan, dalam kasus ekstrim, deret Fourier f dapat divergen di mana-mana,
sebagaimana ditunjukkan oleh Kolmogorov (1926).
Fungsi yang mulus bagian demi bagian pada [; ] tentunya terintegralkan pada
[; ]. Keterintegralan f pada [; ] merupakan premis yang diasumsikan pada awal
pembahasan deret Fourier. Tetapi, fakta di atas mengindikasikan bahwa mestinya ada
hal lain selain keterintegralan f pada [; ] yang menjamin deret Fourier f konvergen
ke f.
6.1 Himpunan fungsi ortogonal
Deret Fourier dibentuk dari suatu keluarga fungsi ortogonal di suatu ruang fungsi
yang dilengkapi dengan hasilkali dalam tertentu.
Di ruang vektor X yang dilengkapi dengan hasilkali h; i dan norm k k, vektor
u 2 X disebut vektor normal jika kuk = 1. Vektor v6= 0 dapat dinormalkan dengan
membaginya dengan kvk: jika u := v
kvk , maka kuk = 1. Himpunan vektor fu1; : : : ; ung
41
126. 42 Hendra Gunawan
disebut himpunan ortonormal jika kuik = 1 untuk tiap i = 1; : : : ; n dan hui; uji = 0
untuk i6= j; yakni jika
hui; uji = ij ; i; j = 1; : : : ; n:
[Jika vi6= 0 untuk tiap i = 1; : : : ; n dan hvi; vji = 0 untuk i6= j, maka fv1; : : : ; vjg
disebut himpunan ortogonal.]
Jika fu1; : : : ; ukg ortonormal di Ck dan v = 1u1 + + kuk, maka i = hv; uii
untuk tiap i = 1; : : : ; k. Sebaliknya, misalkan v 2 Ck. Jika kita de
127. nisikan i = hv; uii
untuk i = 1; : : : ; n dan tulis v = 1u1 + + kuk, maka w = v v ? ui, karena
hw; uii = hv; uii hv; uii = 0;
untuk tiap i = 1; : : : ; n. Akibatnya w = 0, karena bila tidak, maka fu1; : : : ; uk;wg
merupakan himpunan ortogonal dengan k + 1 anggota di Ck.
Teorema A. Misalkan fu1; : : : ; ukg himpunan ortonormal k vektor di Ck. Maka, untuk
setiap v 2 Ck, berlaku
(a) v = hv; u1iu1 + + hv; ukiuk:
(b) kvk2 = jhv; u1ij2 + + jhv; ukij2:
6.2 Ruang PC(a; b) sebagai ruang hasilkali dalam
Mari kita tinjau ruang PC(a; b), yaitu ruang fungsi kontinu bagian demi bagian
pada [a; b]. Ingat bahwa f dikatakan kontinu bagian demi bagian pada [a; b] apabila
f kontinu pada [a; b] kecuali di sejumlah terhingga titik x1; : : : ; xk, dan di titik-titik
tersebut limit kiri dan limit kanan f ada. Fungsi f di PC(a; b) tidak hanya terinte-gralkan
tetapi juga kuadratnya terintegralkan, yakni jfj2 terintegralkan, pada (a; b).
Pada PC(a; b) kita dapat mende
128. nisikan hasilkali dalam
hf; gi :=
Z b
a
f(x)g(x) dx
dan norm
kfk :=
Z b
a
#1=2
jf(x)j2dx
:
42
129. Analisis Fourier dan Wavelet 43
Ketaksamaan Cauchy-Schwarz, Ketaksamaan Segitiga, dan Hukum Pythagoras berlaku
di PC(a; b) dengan h; i dan k k di atas.
Teorema B (Hukum Pythagoras). Jika ff1; : : : ; fng ortogonal, maka
kf1 + + fnk2 = kf1k2 + + kfnk2:
Diberikan suatu himpunan ortonormal fng di PC(a; b) dan f 2 PC(a; b) sem-barang,
kita ingin tahu apakah f =
P
nhf; nin. Mengingat bahwa PC(a; b) berdi-mensi
tak terhingga, pertanyaan ini tidak dapat segera kita jawab. Jika fng terhingga,
jelas hal tersebut tidak mungkin terjadi. Jika fng tak terhingga, apakah cukup banyak
untuk merentang PC(a; b)?
Sebelum menjawab pertanyaan ini secara rinci, mari kita tinjau keluarga fungsi
n(x) :=
1
p
2
einx; n 2 Z
di ruang PC(; ). Perhatikan bahwa untuk setiap m; n 2 Z berlaku
hm; ni =
1
2
Z
eimxeinx dx =
1
2
Z
ei(mn)x dx = mn:
Jadi fng1
1 merupakan himpunan ortonormal.
Selanjutnya, koe
130. sien Fourier cn dari f 2 PC(; ) diberikan oleh rumus
cn =
1
p
2
Z
f(x)einx dx =
1
p
2
hf; ni; n 2 Z:
Jadi,
1X
n=1
cneinx =
1X
n=1
1
p
2
hf; ni
p
2n(x) =
1X
hf; nin(x):
n=1
Jadi deret Fourier f merupakan uraian terhadap himpunan ortonormal fng.
Demikian pula kita dapat memeriksa bahwa keluarga fungsi f ng10
dengan
0(x) =
1
p
; n(x) =
p
2
p
cos nx; n = 1; 2; 3; : : :
merupakan keluarga fungsi ortonormal di PC(0; ). Selanjutnya, koe
131. sien cosinus
Fourier an dari f 2 PC(0; ) yang diberikan oleh rumus
an =
2
Z
0
f(x) cos nx dx =
( p2
hf; 0i; untuk n = 0,
p
p2
hf; ni; untuk n = 1; 2; 3; : : :,
43
132. 44 Hendra Gunawan
memenuhi
1
2
a0 +
1X
n=1
an cos nx =
1X
hf; ni n(x):
n=0
Hal serupa terjadi untuk deret sinus Fourier dan deret Fourier lengkap (versi real).
Kita sudah tahu bahwa deret Fourier ini konvergen ke f hampir di mana-mana
apabila f mulus bagian demi bagian pada [; ]. Pertanyaannya adalah: bagaimana
bila f 2 PC(; )?
6.3 Kekonvergenan di ruang PC(a; b)
Barisan fungsi ffng di PC(a; b) dikatakan konvergen dalam norm ke f 2 PC(a; b)
apabila kfn fk ! 0 untuk n ! 1, yakni jika
Z b
a
jfn(x) f(x)j2 dx ! 0; untuk n ! 1:
Perlu dicatat bahwa kekonvergenan dalam norm tidak menjamin kekonvergan titik
demi titik. Sebagai contoh, ambil
fn(x) =
1; jika 0 x 1
n,
0; jika x lainnya.
Di sini kfnk2 = 1
n ! 0 bila n ! 1. Jadi ffng konvergen ke f 0 dalam norm. Tetapi
fn(0) = 1 untuk tiap n 2 N, sehingga ffng tidak konvergen ke 0 titik demi titik.
Sebaliknya, misalkan
gn(x) =
n; jika 0 x 1
n,
0; jika x lainnya.
Maka, gn ! 0 titik demi titik, tetapi
kgnk2 =
Z 1
0
jgn(x)j2 =
Z 1=n
0
n2dx = n6! 0
bila n ! 1.
Teorema C. Jika fn ! f secara seragam pada [a; b], maka fn ! f dalam norm.
Bukti. Diberikan 0 sembarang, kita pilih n0 2 N sedemikian sehingga untuk setiap
x 2 [a; b] dan n n0 berlaku jfn(x) f(x)j p
ba
. Akibatnya,
kfn fk2 =
Z b
a
jfn(x) f(x)j2 dx 2:
44
133. Analisis Fourier dan Wavelet 45
Ini menunjukkan bahwa ffng konvergen ke f dalam norm. [QED]
Di satu sisi, dengan adanya hasilkali dalam h; i dan norm k k = h; i1=2, ruang
PC(a; b) sekarang lebih terstruktur (secara geometri). Di sisi lain, ruang ini menjadi
`tidak lengkap', yakni: terdapat barisan Cauchy ffng di PC(a; b) yang tidak konvergen
ke suatu fungsi f 2 PC(a; b). Sebagai contoh, tinjau PC(0; 1) dan ambil barisan ffng
dengan
fn(x) =
x1=4; jika x 1
n,
0; jika x 1
n
:
Jika m n, maka
fm(x) fn(x) =
x1=4; jika 1
m x 1
n,
0; jika x lainnya
;
sehingga
kfm fnk2 =
Z 1
n
1
m
x1
1
p
2 dx = 2
n
1
p
m
! 0;
bila m; n ! 1. Jadi ffng merupakan barisan Cauchy; tetapi limitnya (baik titik demi
titik maupun dalam norm) adalah fungsi
f(x) =
x1=4; jika x 0,
0; jika x = 0,
yang bukan anggota PC(0; 1) karena lim
x!0+
f(x) = 1.
Lalu apa yang harus dilakukan? Sebagaimana lazimnya, yang harus dilakukan
adalah `melengkapi' ruang PC(a; b), dengan menambahkan limit-limit dari semua ba-risan
Cauchy pada PC(a; b). Hasilnya adalah ruang L2(a; b) yang akan dibahas pada
bab selanjutnya.
6.4 Soal latihan
1. Buktikan Teorema A bagian (b).
2. Buktikan Teorema B.
3. Buktikan bahwa keluarga fungsi fng11
dengan n(x) :=
p
p2
sin nx; n = 1; 2; 3; : : :,
merupakan himpunan ortonormal di PC(0; ), dan koe
134. sien sinus Fourier
bn =
2
Z
0
f(x) sin nx dx =
p
2
p
hf; ni;
memenuhi
1X
n=1
bn sin nx =
1X
n=1
hf; nin(x):
45
136. nisikan sebagai ruang semua fungsi f yang kuadratnya terin-tegralkan
pada [a; b], yakni
L2(a; b) := ff :
Z b
a
jf(x)j2 dx 1g:
Ruang ini mencakup fungsi-fungsi f yang tak terbatas pada [a; b] tetapi jfj2 terinte-gralkan,
termasuk dalam pengertian integral tak wajar menurut Riemann.
7.2 Topologi di L2(a; b)
Di ruang L2(a; b), hasilkali dalam h; i yang dide
138. nisi dengan baik, mengingat
jf(x)g(x)j
1
2
jf(x)j2 + jg(x)j2
:
Seperti halnya di PC(a; b), norm k k pada L2(a; b) yang dide
139. nisikan sebagai
kfk :=
Z b
a
1=2
jf(x)j2dx
mempunyai sedikit masalah, yaitu kfk = 0 tidak mengakibatkan f = 0 tetapi f = 0
hampir di mana-mana. Untuk mengatasi masalah ini, dua fungsi di L2(a; b) dianggap
sama bila mereka bernilai sama hampir di mana-mana. Dengan kata lain, anggota
L2(a; b) sekarang adalah kelas-kelas ekuivalen fungsi. Namun, dalam prakteknya, kita
sering mengaburkan kelas ekuivalen dan fungsi yang mewakili kelas ekuivalen tersebut.
Teorema berikut tidak akan dibuktikan, tapi akan menjadi rujukan kita ke depan.
46
140. Analisis Fourier dan Wavelet 47
Teorema A. (a) L2(a; b) lengkap terhadap kekonvergenan dalam norm.
(b) Untuk setiap f 2 L2(a; b) terdapat barisan fungsi kontinu pada [a; b], sebutlah ffng,
sedemikian sehingga fn ! f dalam norm.
Catatan. Bagian (b) menyatakan bahwa himpunan fungsi kontinu pada [a; b] `padat'
di L2(a; b). Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, ruang L2(a; b) da-pat
dipandang sebagai `lengkapan' dari ruang fungsi C(a; b) yang beranggotakan semua
fungsi f yang kontinu pada [a; b]. Terhadap norma kfk =
R 1
1=2
0 jf(x)j2dx
, ruang
fungsi C(a; b) tidak lengkap. Bila kita tambahkan semua limitnya, maka kita peroleh
ruang L2(a; b). Lebih jauh, setiap fungsi f 2 L2(a; b) dapat dihampiri oleh fungsi fn
yang merupakan pembatasan pada [a; b] dari fungsi f
n yang terde
141. nisi pada R dan mem-punyai
turunan setiap orde di setiap titik. Fungsi f
n bisa merupakan fungsi periodik
dengan periode b a ataupun mempunyai tumpuan kompak.
Berikut adalah bukti Teorema A bagian (a) saja. [Bukti bagian (b) di luar jang-kauan,
jadi tidak diberikan di sini.]
Bukti. (a) Misalkan (fn) barisan Cauchy di L2(a; b), yakni kfm fnk ! 0; m; n ! 1.
Pilih subbarisan indeks (nk) sedemikian sehingga
kfnk fnk+1k (b a)1=21
2
k
; k 2 N:
Maka, menurut Ketaksamaan Cauchy-Schwarz, kita mempunyai
Z 1
0
jfnk (x) fnk+1(x)j dx k1k kfnk fnk+1k
1
2
k
;
untuk setiap k 2 N. Dengan demikian,
1X
k=1
Z 1
0
jfnk (x) fnk+1(x)j dx
1X
1
2
k=1
k
= 1:
Menurut Lemma Fatou (lihat misalnya H.L. Royden Real Analysis),
P1
k=1 jfnk (x)
fnk+1(x)j, dan karenanya juga jfn1 (x)j +
P1
k=1 jfnk (x) fnk+1(x)j, konvergen hampir
untuk setiap titik x 2 [0; 1]. Akibatnya,
fn1 (x) +
1X
(fnk (x) fnk+1(x))
k=1
47
142. 48 Hendra Gunawan
konvergen ke suatu fungsi f(x) = lim
k!1
fnk hampir untuk setiap titik x 2 [a; b]. Jadi,
(fn) mempunyai subbarisan yang konvergen.
Selanjutnya akan kita tunjukkan bahwa fungsi f di atas merupakan anggota L2(a; b)
dan bahwa kfn fk ! 0; n ! 1. Ambil 0 sebarang. Maka, kita dapat memilih k
dan l cukup besar sedemikian sehingga
R 1
0 (fnk (x)fnl (x))2dx . Dengan mengambil
l ! 1, kita peroleh Z 1
0
(fnk (x) f(x))2dx :
Jadi mestilah f 2 L2(a; b) dan (fnk ) ! f. Namun kekonvergenan subbarisan dari suatu
barisan Cauchy mengakibatkan barisan itu sendiri konvergen ke limit yang sama. Ini
mengakhiri pembuktian. [QED]
7.2 Ketaksamaan Bessel
Teorema B (Ketaksamaan Bessel). Jika fng1n
=1 adalah himpunan ortonormal di
L2(a; b) dan f 2 L2(a; b), maka
1X
n=1
jhf; nij2 kfk2:
Bukti. Perhatikan bahwa untuk setiap n 2 N berlaku
hf; hf; nini = hf; nihf; ni = jhf; nij2;
dan menurut Teorema Pythagoras,
XN
hf; nin
n=1
2
=
XN
n=1
jhf; nij2:
Akibatnya, untuk setiap N 2 N,
0
f
XN
i=1
hf; nin
2
= kfk2
XN
n=1
jhf; nij2;
yang mengakibatkan
XN
n=1
jhf; nij2 kfk2:
48
143. Analisis Fourier dan Wavelet 49
Dengan mengambil N ! 1, kita dapatkan ketaksamaan yang diinginkan. [QED]
Selanjutnya, diberikan suatu himpunan ortonormal fng11
di L2(a; b), apakah
f =
1X
hf; nin
n=1
untuk setiap f 2 L2(a; b)? Lemma berikut memberitahu kita bahwa deret di ruas kanan
merupakan deret yang konvergen.
Lemma C. Jika f 2 L2(a; b) dan fng11
ortonormal di L2(a; b), maka
P1
n=1hf; nin
konvergen dalam norm dan
P1
n=1hf; nin
kfk.
Bukti. Menurut Ketaksamaan Bessel,
P1
n=1 jhf; nij2 konvergen. Karena itu, menurut
Hukum Pythagoras,
XN
n=M
hf; nin
=
XN
n=M
jhf; nij2 ! 0;
bila M;N ! 1. Jadi jumlah parsial dari
P1
n=1hf; nin membentuk barisan Cauchy
di L2(a; b). Karena L2(a; b) lengkap, deret ini konvergen dalam norm. Selanjutnya,
karena k k kontinu, kita peroleh
1X
hf; nin
n=1
2
= lim
N!1
XN
hf; nin
n=1
2
= lim
N!1
XN
n=1
jhf; nij2 =
1X
n=1
jhf; nij2 kfk2:
Selanjutnya tinggal mengambil akar kuadrat dari kedua ruas. [QED]
7.3 Basis ortonormal di L2(a; b)
Teorema D. Misal fng11
adalah suatu himpunan ortonormal di L2(a; b). Ketiga
pernyataan berikut ekuivalen:
(a) Jika hf; ni = 0 untuk tiap n 2 N, maka f = 0.
P(b) Untuk setiap f 2 L2(a; b) berlaku f =
1
n=1hf; nin (dalam norm).
(c) Untuk setiap f 2 L2(a; b) berlaku kfk2 =
P1
n=1 jhf; nij2 (Kesamaan Parseval).
Bukti. Akan dibuktikan (a) ) (b) ) (c) ) (a). Pertama, misal (a) berlaku. Telah
Pdibuktikan pada lemma sebelumnya bahwa
1
n=1hf; nin konvergen dalam norm. Un-tuk
menunjukkan bahwa jumlahnya adalah f, kita tinjau g := f
P1
n=1hf; nin.
49
144. 50 Hendra Gunawan
Perhatikan bahwa
hg; mi = hf; mi
1X
hf; nihn; mi = 0;
n=1
untuk tiap m 2 N. Menurut hipotesis, kita peroleh g = 0. Jadi f =
P1
n=1hf; nin.
Sekarang, misalkan (b) berlaku. Menurut Hukum Pythagoras dan fakta bahwa kk
kontinu,
kfk2 = lim
N!1
XN
hf; nin
n=1
2
= lim
N!1
XN
n=1
jhf; nij2 =
1X
n=1
jhf; nij2:
Akhirnya, misalkan (c) berlaku, dan hf; ni = 0 untuk tiap n 2 N. Maka, kfk = 0,
dan karena itu f = 0. [QED]
Selanjutnya, himpunan ortonormal fng11
yang memenuhi (a), atau (b), atau (c),
pada teorema di atas, disebut himpunan ortonormal lengkap atau basis ortonormal un-tuk
L2(a; b). Bila persyaratan ortonormal diganti dengan ortogonal, maka kita peroleh
basis ortogonal untuk L2(a; b).
7.4 Soal Latihan
1. Buktikan bahwa k k merupakan pemetaan yang kontinu, yakni jika fn ! f dalam
norm, maka kfnk ! kfk (bila n ! 1).
2. Buktikan bahwa h; i merupakan pemetaan yang kontinu terhadap masing-masing
komponen, khususnya jika fn ! f dalam norm, maka hfn; gi ! hf; gi untuk setiap
g 2 L2(a; b).
3. Misalkan fng11
basis ortonormal untuk L2(a; b). Buktikan bahwa untuk setiap
f; g 2 L2(a; b) berlaku hf; gi =
P1
n=1hf; nihg; ni.
4. Hitung jumlah deret berikut dengan menerapkan Kesamaan Parseval untuk fungsi
f tertentu:
P(a)
1
n=1
1
n4 .
(b)
P1
n=1
1
(2n1)6 .
50
145. Analisis Fourier dan Wavelet 51
8. Deret Fourier yang Diperumum
dan Hampiran Terbaik di L2(a; b)
Pada Bab 6 kita telah melihat bahwa deret Fourier klasik dari f dapat dinyatakan
sebagai
1P
n=1
hf; nin(x); dengan n(x) = p1
2
einx; n 2 Z. Ini terjadi antara lain
karena fng1
1 merupakan himpunan ortonormal. Di L2(; ), kekonvergenan deret
di atas dalam norm merupakan konsekuensi dari kelengkapan fng1
1.
8.1 Deret Fourier yang diperumum
Jika fng11
adalah basis ortonormal untuk L2(a; b) dan f 2 L2(a; b), maka hf; ni
disebut koe
146. sien Fourier yang diperumum dari f terhadap fng11
, dan
1P
hf; nin
n=1
disebut deret Fourier yang diperumum dari f terhadap fng11
.
Pertanyaan kita adalah: apakah himpunan ortonormal pada pembahasan deret
Fourier klasik merupakan basis ortonormal, yakni apakah f =
P1
n=1hf; nin untuk
setiap f 2 L2(; )? Ingat bahwa kita baru membuktikan ini untuk fungsi di PS(a; b).
Teorema A. (a) Himpunan feinxg1
1 dan fcos nxg11
[ fsin nxg11
merupakan basis
ortogonal untuk L2(; ).
(b) Himpunan fcos nxg10
dan fsin nxg11
merupakan basis ortogonal untuk L2(0; ).
Bukti. Akan dibuktikan (a) bagian pertama saja, yang berkenaan dengan himpunan
feinxg1
1. Bagian lainnya dapat dibuktikan secara serupa.
Misalkan f 2 L2(; ) dan 0. Berdasarkan teorema tentang topologi ruang
L2(a; b) secara umum, terdapat fungsi ~ f yang kontinu dan mulus bagian demi bagian
pada [; ] sedemikian sehingga kf ~ fk
3 . Misalkan cn = 1
2 hf; ni dan ~cn =
1
2 h ~ f; ni, dengan n(x) = einx; n 2 Z, adalah koe
147. sien Fourier dari f dan ~ f, berturut-turut.
Menurut teorema kekonvergenan seragam deret Fourier,
P1
n=1 ~cn n konvergen
51
148. 52 Hendra Gunawan
seragam ke ~ f. Akibatnya, jika N cukup besar, maka
~ f
XN
n=N
~cn n
3
:
Selanjutnya, menurut Teorema Pythagoras dan Ketaksamaan Bessel,
XN
n=N
~cn n
XN
n=N
cn n
2
=
XN
n=N
j~cn cnj2
1X
n=1
j~cn cnj2 k ~ f fk2
3
2
:
Jadi, jika kita tulis
f
XN
n=N
cn n = (f ~ f) +
~ f
XN
n=N
~cn n
+
XN
n=N
~cn n
XN
n=N
cn n
;
dan gunakan Ketaksamaan Segitiga, maka kita peroleh
f
XN
n=N
cn n
3
+
3
+
3
= :
Jadi f = lim
N!1
PN
n=N cn n =
P1
n=1 cn n dalam norm, dan ini membuktikan bahwa
himpunan fungsi f ng1
1 merupakan basis ortonormal untuk L2(; ). [QED]
Sebagai rangkuman, sejauh ini kita telah membahas: jika f periodik, maka deret
Fourier dari f akan konvergen ke f
(i) secara seragam, mutlak, dan dalam norm, untuk f yang kontinu dan mulus bagian
demi bagian pada [a; b];
(ii) secara titik demi titik, untuk f yang mulus bagian demi bagian pada [a; b];
(iii) dalam norm, untuk f 2 L2(a; b).
8.2 Hampiran terbaik di L2(a; b)
Teorema berikut menyatakan bahwa deret dengan koe
149. sien Fourier untuk f (ter-hadap
suatu himpunan ortonormal di L2(a; b)) merupakan hampiran terbaik untuk f
di antara semua uraian deret yang mungkin (terhadap himpunan ortonormal tersebut).
Teorema B. Misalkan fng adalah suatu himpunan fungsi ortonormal, yang terhingga
atau terbilang banyaknya, di L2(a; b). Maka
f
X
hf; nin
f
X
cnn
52
150. Analisis Fourier dan Wavelet 53
untuk sembarang pilihan fcng dengan
P
jcnj2 1. Lebih jauh, kesamaan dipenuhi
jika dan hanya jika cn = hf; ni untuk setiap indeks n.
Bukti. Kita tulis
f
X
cnn =
f
X
hf; nin
+
X
hf; ni cn
n:
Perhatikan bahwa g := f
P
hf; nin ? m atau hg; mi = 0, untuk setiap m. Jadi,
g ?
P
hf; ni cn
n, sehingga menurut Teorema Pythagoras,
f
X
cnn
2
=
f
X
hf; nin
2
+
X
jhf; ni cnj2
f
X
hf; nin
2
;
dan kesamaan dipenuhi jika dan hanya cn = hf; ni untuk setiap n. [QED]
Contoh 1. Misalkan kita ingin menentukan hampiran terbaik untuk f(x) := sin x di
antara semua kombinasi linear c1 + c2 cos x di L2(0; ). Dalam hal ini, kita mencatat
bahwa fp1
;
p
p2
cos xg merupakan himpunan ortonormal di L2(0; ). Sekarang kita hi-tung
f;
1
p
=
1
p
Z
0
sin x dx =
2
p
;
dan
f;
p
2
p
cos x
=
p
2
p
Z
0
sin x cos x dx = 0:
Jadi hampiran terbaik yang dicari adalah sin x p2
. Tentu saja ini merupakan ham-piran
yang masih kasar, karena kita hanya menggunakan f1; cos xg sebagai ruang ham-pirannya.
8.3 Masalah Sturm-Liouville reguler
Himpunan fungsi ortogonal fcos nxg10
dan fsin nxg11
di L2(0; ) diperoleh dari
masalah nilai batas
u00(x) + 2u(x) = 0; u0(0) = u0() = 0
dan
u00(x) + 2u(x) = 0; u(0) = u() = 0:
53
151. 54 Hendra Gunawan
Demikian juga himpunan fungsi ortogonal feinxg di L2(; ) dapat diperoleh dari
masalah nilai batas
u00(x) + 2u(x) = 0; u() = u(); u0() = u0():
Pada bagian ini kita akan melihat bahwa ada (banyak) masalah nilai batas yang beru-jung
pada himpunan fungsi ortogonal du L2(a; b).
Secara khusus, kita akan membahas masalah Sturm-Liouville reguler, yang berben-tuk
(rf0)0 + pf + wf = 0;
dengan syarat batas B1(f) = 0 dan B2(f) = 0. Di sini r; r0 dan p bernilai real dan
kontinu pada [a; b], r 0 pada [a; b], dan w 0 dan kontinu pada [a; b]. Sementara
itu, B1 dan B2 merupakan fungsional yang self-adjoint. Lebih khusus lagi, kita akan
meninjau masalah Sturm-Liouville berikut pada [0;L]:
f00 + f = 0; f0(0) = f(0); f0(L) =
152. f(L): []
Di sini merupakan nilai eigen dari operator T, dengan Tf = f00. Dapat ditunjukkan
bahwa nilai eigen dari masalah ini senantiasa bernilai real.
Perhatikan jika = 0, maka f00 = 0 memberikan f(x) = c1 + c2x, dan dari syarat
batas kita peroleh c2 = c1 dan c2 =
154. =
1+L. Tentu saja kita tidak menghendaki solusi trivial f = 0, karena itu kita
penuhi
155. =
1+L dan ambil c1 = 1; c2 = .
Selanjutnya, kita asumsikan 6= 0, katakan = 2 dengan 0 atau =
i; 0 (tergantung apakah 0 atau 0). Solusi umum dari (*) adalah
f(x) = c1 cos x + c2 sin x:
Karena f(0) = c1 dan f0(0) = c2, syarat batas di 0 memberikan c2 = c1. Dalam hal
ini, ambil c1 = dan c2 = , sehingga
f(x) = cos x + sin x: [1]
54
156. Analisis Fourier dan Wavelet 55
Sekarang syarat batas di L akan memberikan
2 sin L + cos L =
163. 2 : [2b]
Dalam kedua kasus, kita hanya perlu meninjau nilai dan positif karena nilai eigen
dari operator T adalah 2 atau 2.
Jika memenuhi [2a], maka fungsi f yang memenuhi [1] merupakan fungsi eigen
untuk masalah (*). Secara umum, f tidak normal, namun kita dapat menormalisasi f
bila dikehendaki.
Untuk memberikan gambaran fungsi eigen seperti apa yang diperoleh, tinjau kasus
= 1;
164. = 1; L = . Dalam hal ini, persamaan [2a] menjadi
tan =
2
2 1
; [2c]
sementara persamaan [2b] menjadi
tanh =
2
2 + 1
: [2d]
Ada banyak solusi persamaan [2c]: 0 1 2 3 dengan n n 1 untuk
n besar, namun tidak ada satupun solusi positif persamaan [2d]. Jadi, terdapat tak
terhingga banyak nilai eigen n = 2n
untuk (*), dengan n (n 1)2 untuk n besar.
Fungsi eigen yang berpadanan dengan n adalah
fn(x) = n cos nx + sin nx:
55
165. 56 Hendra Gunawan
Dapat diperiksa bahwa himpunan fungsi eigen ini membentuk himpunan ortogonal di
L2
w(0; ) yang dilengkapi dengan hasilkali dalam hf; giw :=
R
0 f(x)g(x)w(x) dx. Namun
dalam contoh yang kita bahas di sini w 1, sehingga L2
w(0; ) = L2(0; ).
8.4 Soal Latihan
1. Diketahui f(x) = x; x 2 [0; ]. Tentukan hampiran terbaik (dalam norm) untuk f
di L2(0; ), di antara fungsi-fungsi yang berbentuk
(a) a0 + a1 cos x + a2 cos 2x.
(b) b1 sin x + b2 sin 2x.
(c) a cos x + b sin x.
2. Buktikan bahwa himpunan fungsi eigen ffng pada x8.3 merupakan himpunan orto-gonal
di L2(0; ).
56
166. Analisis Fourier dan Wavelet 57
9. Polinom Legendre, Basis Haar, dan Basis Walsh
Beberapa basis ortogonal untuk L2(a; b) merupakan himpunan polinom. Selain itu,
terdapat pula basis ortogonal lainnya yang menarik.
9.1 Himpunan Polinom Ortogonal
Misalkan (a; b) suatu selang terbuka di R dan w(x) fungsi bernilai positif pada
(a; b) sehingga
R b
a xnw(x) dx konvergen mutlak untuk n = 0; 1; 2; : : :. Maka, terdapat
tepat satu barisan polinom fpng10
yang berbentuk
p0(x) = 1
p1(x) = x + a0
p2(x) = x2 + b1x + b0
p3(x) = x3 + c2x2 + c1x + c0
...
yang saling ortogonal terhadap bobot w pada (a; b), yakni
hpi; pjiw =
Z b
a
pi(x)pj(x)w(x) dx = 0; i6= j:
Dalam hal ini, konstanta a0 dapat diperoleh dari hp1; p0iw = 0, yaitu
a0 =
R b
a xw(x) dx
R b
a w(x) dx
:
Selanjutnya, konstanta b0 dan b1 dapat diperoleh dari hp2; p0iw = 0 dan hp2; p1iw = 0.
Bila diteruskan, maka pada langkah ke-n, terdapat n persamaan dan n konstanta yang
hendak dicari nilainya.
Secara umum, kita mempunyai lemma berikut tentang polinom sembarang.
57
167. 58 Hendra Gunawan
Lemma A. Misalkan fpng10
barisan polinom dengan pn berderajat n untuk tiap n =
0; 1; 2; : : :. Maka, setiap polinom berderajat k (k = 0; 1; 2; : : :) merupakan kombinasi
linear dari p0; p1; : : : ; pk.
Sebagai akibat dari Lemma A, himpunan polinom yang dibahas di atas merentang
ruang polinom pada (a; b). Kekhususan himpunan polinom tersebut adalah keortogo-nalannya
terhadap hasilkali dalam h; iw. Pada subbab selanjutnya, kita akan berke-nalan
dengan himpunan polinom yang mempunyai kekhususan berbeda.
9.2 Polinom Legendre
Himpunan polinom yang akan dipelajari berikut ini merupakan himpunan fungsi
eigen dari suatu Masalah Sturm-Liouville singular, namun kita tidak akan membahasnya
melalui masalah nilai batas seperti pada bab sebelumnya, melainkan melalui Rumus
Rodrigues
pn(x) =
Cn
w(x)
dn
dxn [w(x)Q(x)n]
dengan Cn konstanta normalisasi, w(x) fungsi bobot (sehingga pi ? pj terhadap w),
dan Q(x) adalah suatu polinom tertentu. Dari rumus ini, kita dapat membuktikan
keortogonalan di antara pi dan pj untuk i6= j terhadap w, menurunkan persamaan
diferensial yang dipenuhi oleh pn, dan menentukan konstanta normalisasinya.
Untuk n = 0; 1; 2; : : : ; polinom Legendre dide
168. nisikan sebagai
Pn(x) =
1
2nn!
dn
dxn (x2 1)n:
Catat bahwa (x2 1)n adalah polinom berderajat 2n, sehingga Pn merupakan polinom
berderajat n. Di sini, w(x) 1. Untuk beberapa nilai n pertama, kita dapatkan rumus
untuk Pn:
P0(x) = 1
P1(x) = x
P2(x)
1
2
(3x2 1)
P3(x) =
1
2
(5x3 3x)
...
58
169. Analisis Fourier dan Wavelet 59
Secara umum,
Pn(x) =
(2n)!
2n(n!)2 xn + :
Teorema B. Himpunan polinom Legendre fPng10
ortogonal di L2(0; 1) dengan kPnk2 =
2
2n+1 untuk tiap n 2 N.
Bukti. Jika f adalah fungsi C(n) pada [1; 1], maka (dengan pengintegralan parsial
sebanyak n kali)
2nn!hf; Pni =
Z 1
1
f(x)
dn
dxn (x2 1)n dx = (1)n
Z 1
1
f(n)(x)(x2 1)ndx:
Akibatnya, untuk m n, kita peroleh hPm; Pni = 0. Dengan menukar peran m dan n,
jika juga peroleh hPm; Pni = 0 untuk m n.
Selanjutnya, dengan mengambil f = Pn, kita dapatkan
kPnk2 =
2n)!
22n(n!)2
Z 1
1
(1 x2)n =
2
n + 1
;
sesuai dengan yang diharapkan. [QED]
Kedua teorema di bawah ini dinyatakan tanpa bukti. Bila anda tertarik untuk
mempelajari buktinya, lihat buku G.B. Folland Fourier Analysis and Its Applications.
(Sebagai catatan, bukti Teorema D menggunakan Teorema Aproksimasi Weierstrass
yang akan dibahas pada Bab 11.)
Teorema C. Polinom Pn memenuhi persamaan diferensial
[(1 x2)P0n
(x)]0 + n(n + 1)Pn(x) = 0:
Teorema D. Himpunan fPng10
merupakan basis ortogonal untuk L2(1; 1).
9.3 Basis Haar dan Basis Walsh
Selain himpunan polinom, terdapat basis ortonormal lainnya untuk L2(0; 1) yang
menarik, khususnya basis Haar dan basis Walsh.
Basis Haar adalah himpunan fungsi H := fh0g[fhjk : j 0; 0 k 2jg, dengan
h0(x) =
1; jika 0 x 1,
0; jika x lainnya;
59
170. 60 Hendra Gunawan
dan
hjk(x) =
8
:
2j=2; jika 2jk x 2j(k + 1=2),
2j=2; jika 2j(k + 1=2) x 2j(k + 1),
0; jika x lainnya.
Gambar 9.3a: Beberapa Fungsi Haar (Sumber: Folland)
Catat bahwa fungsi h00 berbeda dari fungsi h0.
Teorema E. Himpunan fungsi H ortonormal dan lengkap di L2(0; 1).
Selanjutnya, de
171. nisikan fungsi Rademacher ri sebagai `fungsi tangga sinusoidal'
berperiode 2i+1, i = 0; 1; 2; : : :; yakni ri(x) = (1)dn(x) dengan dn(x) adalah dijit ke-n
dari representasi biner x = [0:d1d2 : : :]2. (Di sini x 2 [0; 1].)
Gambar 9.3b: Beberapa Fungsi Rademacher (Sumber: Folland)
60
173. nisikan sebagai berikut:
w0(x) := r0(x)
dan untuk n = 1; 2; 3; : : :
wn(x) := r1(x)b1 rk(x)bk
dengan n = [bk b1]2 menyatakan representasi biner dari n. Jadi, sebagai contoh,
w1(x) = r1(x); w2(x) = r2(x); w3(x) = r1(x)r2(x), dan seterusnya.
Gambar 9.3c: Beberapa Fungsi Walsh (Sumber: Folland)
Teorema F. Himpunan fungsi Walsh W := fwng10
merupakan basis ortonormal untuk
L2(0; 1).
Keortonormalan himpunan fungsi Haar dan himpunan fungsi Walsh dapat diperik-sa
dengan relatif mudah, namun untuk membuktikan kelengkapannya perlu pengamatan
yang lebih mendalam mengenai sifat-sifat kedua himpunan ini. Sebagai contoh, him-punan
bagian yang terdiri dari 2i pertama fungsi Haar (atau fungsi Walsh) merentang
subruang fungsi tangga dengan `lebar tangga' 2i.
61
174. 62 Hendra Gunawan
9.4 Soal Latihan
1. Buktikan bahwa himpunan polinom Legendre fP2ng10
dan fP2n+1g10
merupakan
basis ortogonal untuk L2(0; 1).
2. Buktikan bahwa himpunan fungsi Haar ortonormal.
3. Buktikan bahwa himpunan fungsi Walsh ortonormal.
4. Buktikan bahwa himpunan fh0; h00; h10; h11g merentang subruang fungsi tangga
dengan lebar tangga 1
4 .
5. Buktikan bahwa himpunan fw0;w1;w2;w3g merentang subruang fungsi tangga de-ngan
lebar tangga 1
4 .
62
175. Analisis Fourier dan Wavelet 63
10. Transformasi Fourier
Dalam beberapa bab ke depan, kita akan membahas transformasi Fourier serta
sifat-sifat dan aplikasinya. Seperti halnya pada pembahasan deret Fourier, pendekatan
yang diambil dalam pembahasan transformasi Fourier di sini sama dengan pendekatan
dalam buku Fourier Analysis and Its Applications karangan G.B. Folland (Wads-worth,
1992).
10.1 Motivasi
Pada Bab 4, kita telah membahas deret Fourier pada interval [L;L] sembarang,
yakni
f(x) =
1X
n=1
cneinx=L; jxj L;
dengan
cn =
1
2L
Z L
L
f(x)einx=Ldx; n 2 N:
Dalam hal ini, cn menyimpan informasi tentang f dengan frekuensi
179. . Semakin besar
nilai L, semakin kerap domain frekuensinya.
Bagaimana bila L ! 1? Dengan sedikit modi
180. kasi, kita dapat menuliskan ulang
rumus di atas sebagai
f(x) =
1
2L
1X
n=1
cn;Leinx=L;
dengan
cn;L =
Z L
L
f(x)einx=Ldx:
Selanjutnya misalkan :=
L dan n := n = n
L . Maka
f(x) =
1
2
1X
n=1
cn;Leinx;
63
181. 64 Hendra Gunawan
dengan
cn;L =
Z L
L
f(x)einxdx:
Jika f(x) ! 0 cukup cepat untuk jxj ! 1, maka cn;L tidak akan berbeda banyak
apabila daerah pengintegralannya diperluas dari [L;L] ke (1;1), yakni
cn;L
Z 1
1
f(x)einxdx = b f(n); n 2 N:
Dalam hal ini,
f(x)
1
2
1X
n=1
b f(n)einx; jxj L:
Ini mirip dengan jumlah Riemann dari b f pada (1;1).
Jika L ! 1, maka ! 0 dan n semakin memadati R, sehingga dapat
digantikan dengan = dan rumus di atas menjadi
f(x) =
1
2
Z 1
1
b f()eixd; x 2 R; (1)
dengan
b f() =
Z 1
1
f(x)eixdx; 2 R: (2)
Kalkulasi ini tentu saja masih merupakan kalkulasi kasar, namun untuk f tertentu
kalkulasi ini berlaku. Rumus (2) disebut transformasi Fourier dari f, dan rumus (1)
merupakan rumus inversi Fourier, yang merupakan cara untuk memperoleh f kembali
dari b f { yang akan kita buktikan kelak secara cermat.
10.2 Ruang L1(R) dan L2(R)
Untuk merapikan de
182. nisi transformasi Fourier dan mempelajari sifat-sifatnya, kita
perlu beberapa asumsi, istilah dan notasi. Pertama, fungsi yang akan kita bahas sel-njutnya
adalah fungsi yang terde
184. nisikan deret
Fourier, kita asumsikan bahwa f terintegralkan (mutlak) pada R. Untuk itu, kita de
185. n-isikan
ruang L1 = L1(R) sebagai ruang semua fungsi f yang terintegralkan mutlak pada
R, yakni
L1 :=
n
f :
Z 1
1
jf(x)j dx 1
o
:
64
186. Analisis Fourier dan Wavelet 65
Ruang L1 dilengkapi dengan norm k k1 yang rumusnya adalah
kfk1 :=
Z 1
1
jf(x)j dx:
Sebagai perluasan dari L2(a; b), kita juga mende
187. nisikan ruang L2 = L2(R) sebagai
ruang semua fungsi f yang kuadratnya terintegralkan, yakni
L2 :=
n
f :
Z 1
1
jf(x)j2 dx 1
o
:
Ruang L2 dilengkapi dengan norm k k2 yang rumusnya adalah
kfk2 :=
hZ 1
1
i1=2
jf(x)j2dx
:
Catat bahwa tidak ada hubungan `urutan' di antara L1 dan L2. Sebagai contoh,
tinjau
f(x) =
x2=3; jika 0 x 1,
0; jika x lainnya
dan
g(x) =
x2=3; jika x 1,
0; jika x lainnya.
Maka f 2 L1 tetapi f =2 L2, sementara g 2 L2 tetapi g =2 L1.
Walaupun demikian, ada dua fakta yang kelak berguna bagi kita mengenai kedua
ruang ini, yaitu:
(1) Jika f 2 L1 dan f terbatas pada R, maka f 2 L2. Persisnya
jfj M ) jfj2 Mjfj )
Z 1
1
jf(x)j2dx M
Z 1
1
jf(x)j dx 1:
(2) Jika f 2 L2 dan f bernilai 0 di luar suatu interval [a; b], maka f 2 L1. Persisnya
Z 1
1
jf(x)j dx =
Z b
a
1 jf(x)j dx (b a)1=2
hZ b
a
jf(x)j2dx
i1=2
1:
Catatan. Ruang L1 dan L2 merupakan kasus khusus dari ruang Lebesgue Lp = Lp(R),
1 p 1 yang beranggotakan semua fungsi f sedemikian sehingga
R1
1 jf(x)jpdx
1. (Untuk p = 1, integral ini digantikan dengan nilai supremum esensial dari fjf(x)j :
x 2 Rg.)
65
188. 66 Hendra Gunawan
10.3 Transformasi Fourier
Misalkan f 2 L1, yakni kfk1 =
R1
1 jf(x)j dx 1. Transformasi Fourier dari f,
yang kita tuliskan sebagai b f, dide
189. nisikan oleh
b f() =
Z
R
f(x)eixdx; 2 R:
Seperti halnya dalam pembahasan deret Fourier, pertanyaan kita adalah bagaimana
kita dapat memperoleh f kembali dari b f. Kesamaan (1) menyarankan kita untuk
mende
190. nisikan invers transformasi Fourier dari g, yang dituliskan sebagai g, sebagai
g(x) =
1
2
Z
R
g()eixd; x 2 R:
Teorema inversi Fourier, yang akan kita bahas nanti, menyatakan bahwa
( b f)(x) = f(x); h:d:m:
asalkan f dan b f terintegralkan.
Sebelum sampai ke sana, kita pelajari dahulu sifat-sifat dasar transformasi Fourier.
Teorema A. Jika f 2 L1, maka b f terbatas pada R.
Bukti. Perhatikan bahwa untuk setiap 2 R berlaku
j b f()j
Z 1
1
je2ixf(x)j dx =
Z 1
1
jf(x)j dx = kfk1:
Jadi b f terbatas pada R, dengan k b fk1 := ess supx2R jf(x)j kfk1. [QED]
Teorema B. Jika f 2 L1, maka b f kontinu pada R.
Bukti. Untuk setiap dan h 2 R,
b f( + h) b f() =
Z 1
1
eix(eihx 1)f(x) dx;
sehingga
j b f( + h) b f()j
Z 1
1
jeihx 1j jf(x)j dx:
Integran di ruas kanan didominasi oleh 2jf(x)j dan menuju 0 apabila h ! 0. Jadi,
menurut Teorema Kekonvergenan Terdominasi Lebesgue, ruas kanan mestilah menuju
0 apabila h ! 0, dan akibatnya ruas kiri juga menuju 0 apabila h ! 0. [QED]
66
191. Analisis Fourier dan Wavelet 67
Teorema C (Riemann-Lebesgue). Jika f 2 L1, maka lim
jj!1
b f() = 0.
Bukti. Perhatikan bahwa b f() =
R1
1 f(x)ei(x+
)dx =
R1
1 f(x
)eixdx.
Karena itu
2 b f() = b f() (b f()) =
Z 1
1
f(x) f
x
eixdx;
sehingga
2j b f()j
Z 1
1
197. dx:
Karena f 2 L1, maka (menggunakan kekontinuan dalam norma di L1) ruas kanan akan
menuju 0 apabila jj ! 1. Dengan demikian ruas kiri pun mestilah menuju 0 apabila
jj ! 1. [QED]
Akibat D. Transformasi Fourier F memetakan fungsi f di L1 ke fungsi Ff = b f di
C0(R).
Catatan. C0(R) adalah ruang fungsi kontinu dan terbatas pada R dengan limit nol
di 1. Notasi Ff akan kita gunakan secara bergantian dengan notasi b f untuk meny-atakan
transformasi Fourier dari f.
Berkenaan dengan translasi dan dilasi, transformasi Fourier mempunyai sifat seba-gai
berikut.
Teorema E. Misalkan f 2 L1 dan a 2 R.
(i) Jika g(x) := f(x a), maka bg() = eia b f();
(ii) Jika g(x) := eiaxf(x), maka bg() = b f( a).
Selanjutnya, misalkan 0.
(iii) Jika g(x) := 1f(x=), maka bg() = b f();
(iv) Jika g(x) = f(x), maka bg() = 1 b f(=):
Berkenaan dengan operasi turunan dan perkalian dengan peubah bebasnya, trans-formasi
Fourier mempunyai sifat sebagai berikut.
Teorema F. Misalkan f 2 L1. Jika f kontinu dan mulus bagian demi bagian pada R,
dan f0 2 L1, maka
(f0)b() = i b f():
67
198. 68 Hendra Gunawan
Sebaliknya, jika g(x) := xf(x) terintegralkan mutlak pada R, maka bg() = i( b f)0().
Berikut ini adalah beberapa contoh transformasi Fourier dari fungsi-fungsi tertentu.
Contoh 1. Jika f = [a;a] (a 0), maka b f() = 2sin a
.
x2+a2 (a 0), maka b f() =
a eajj.
Contoh 2. Jika f(x) = 1
Contoh 3. Jika f(x) = eax2
(a 0), maka b f() =
q
2
a e2
2a .
Contoh 1 dapat dihitung langsung, sementara Contoh 2 memerlukan teorema residu
(untuk suatu integral fungsi kompleks yang berpadanan). Untuk Contoh 3, perhatikan
bahwa f memenuhi persamaan diferensial f0(x) + axf(x) = 0. Kenakan transformasi
Fourier pada persamaan ini, kita peroleh persamaan diferensial yang dipenuhi oleh b f,
dan akhirnya kita peroleh rumus untuk b f.
10.4 Soal Latihan
1. Buktikan Teorema E.
2. Buktikan Teorema F.
3. Buktikan tiga contoh transformasi Fourier di atas.
68
199. Analisis Fourier dan Wavelet 69
11. Konvolusi
Operasi konvolusi yang akan kita bahas di sini sebetulnya pernah kita jumpai
pada pembahasan deret Fourier (ketika membuktikan kekonvergenan jumlah parsial-nya).
Operasi konvolusi merupakan pengganti operasi perkalian yang `berjodoh' dengan
transformasi Fourier (seperti halnya operasi komposisi berjodoh dengan turunan).
11.1 Konvolusi dan sifat-sifat dasarnya
Misalkan f dan g fungsi yang terde
200. nisi pada R. Konvolusi dari f dan g adalah
fungsi f g yang dide
201. nisikan sebagai
f g(x) :=
Z 1
1
f(x y)g(y) dy;
asalkan integral ini konvergen.
Perhatikan jika f 2 L1 dan g terbatas, misalkan jg(x)j M hampir di mana-mana,
maka Z 1
1
jf(x y)g(y)j dy M
Z 1
1
jf(x y)j dy 1:
Hal serupa terjadi jika f terbatas dan g 2 L1. Selanjutnya, kita amati pula jika f; g 2
L2, maka
Z 1
1
jf(x y)g(y)j dy
hZ 1
1
jf(x y)j2dy
i1=2hZ 1
1
jg(y)j2dy
i1=2
= kfk2kgk2 1:
Jadi konvolusi dari f dan g terde
202. nisi dengan baik setidaknya untuk beberapa kasus di
atas. Lebih jauh, kita mempunyai teorema berikut.
Teorema A. Jika f; g 2 L1, maka fungsi y7! f(x y)g(y) ada di L1 untuk hampir
setiap x 2 R, f g 2 L1, dan
kf gk1 kfk1kgk1:
69
203. 70 Hendra Gunawan
Bukti. Fungsi (x; y)7! f(x y)g(y) merupakan fungsi terukur pada R2. Selanjutnya,
Z 1
1
Z 1
1
jf(x y)g(y)j dx dy =
Z 1
1
jg(y)j
Z 1
1
jf(x y)j dx dy = kfk1kgk1 1:
Jadi, hipotesis Teorema Fubini dipenuhi, dan karena itu fungsi y7! f(x y)g(y) ada
di L1 untuk hampir setiap x 2 R, f g 2 L1, dan
kf gk1 =
Z 1
1
209. dx
Z 1
1
Z 1
1
jf(x y)g(y)j dy dx
= kfk1kgk1 1;
sebagaimana yang diharapkan. [QED]
Teorema B (Sifat-sifat konvolusi). Misalkan f; g; h 2 L1 dan a; b 2 R. Maka
(i) a(f g) = (af g) = f (ag);
(ii) f (ag + bh) = a(f g) + b(f h);
(iii) f g = g f;
(iv) f (g h) = (f g) h.
Bukti. Latihan.
Teorema C. Misalkan f mempunyai turunan dan konvolusi f g dan f0 g terde
210. nisi
dengan baik. Maka f g mempunyai turunan dan (f g)0 = f0 g.
Bukti. Latihan.
Walaupun operasi konvolusi itu komutatif, kita dapat memandang salah satu fungsi,
sebutlah g, sebagai konvolutor dalam f g. Diberikan fungsi f, kira- kira apa yang di-lakukan
oleh konvolutor g terhadap f? Sebagai gambaran, perhatikan contoh berikut.
Misalkan a 0 dan
g(x) =
1
2a ; jika a x a,
0; jika x lainnya.
Maka,
f g(x) =
1
2a
Z a
a
f(x y) dy =
1
2a
Z x+a
xa
f(y) dy:
70
211. Analisis Fourier dan Wavelet 71
Di sini f g(x) dapat diinterpretasikan sebagai proses perataan di sekitar x. Tetapi x
berjalan; sehingga f g dapat dipandang sebagai proses `perataan berjalan' terhadap
f. Secara umum, hasilnya adalah suatu fungsi yang lebih mulus daripada f semula.
11.2 Identitas hampiran
Operasi konvolusi tidak mempunyai unsur identitas. Andaikan ada unsur identitas,
misalnya e, maka f e = f untuk setiap f 2 L1. Ini mustahil, karena kita mempunyai
teorema berikut.
Teorema D. Misalkan f; g 2 L1. Maka, (f g)b = b f bg.
Bukti. Berdasarkan de
212. nisi, Teorema Fubini, dan substitusi peubah z = x y, kita
peroleh
(f g)b() =
Z 1
1
Z 1
1
f(x y)g(y)eixdy dx
=
Z 1
1
Z 1
1
f(x y)ei(xy)g(y)eiydx dy
=
Z 1
1
Z 1
1
f(z)eizdz g(y)eiydy
= b f()bg():
Dengan demikian teorema terbukti. [QED]
Akibat E. Tidak terdapat fungsi e 2 L1 yang memenuhi f e = f untuk setiap f 2 L1.
Bukti. Andaikan ada fungsi e 2 L1 sedemikian sehingga f e = f untuk setiap f 2 L1,
maka be() = 1 untuk setiap 2 R. Ini bertentangan dengan Teorema Riemann-
Lebesgue yang mengharuskan be() ! 0 untuk jj ! 1. [QED]
Walau tidak ada unsur identitas terhadap operasi konvolusi, terdapat identitas
hampiran | yang akan dide
214. nisikan
(x) =
1
x
; x 2 R:
Perhatikan bahwa
Z 1
1
(x) =
Z 1
1
x
d
x
=
Z 1
1
(y) dy:
71
215. 72 Hendra Gunawan
Lebih jauh, untuk a b sembarang, kita mempunyai
Z b
a
(x) dx =
Z b=
a=
(y) dy;
yang menghampiri
R1
1 (y) dy apabila 0.
Teorema F. Misal 2 L1 sedemikian sehingga
R1
1 (y) dy = 1, :=
R 0
1 (y) dy dan
219. nisikan untuk 0, seperti di atas. Maka
lim
!0
f (x) = f(x+) +
220. f(x); x 2 R:
Khususnya, jika f kontinu di x, maka
lim
!0
f (x) = f(x):
Lebih jauh, jika f kontinu di setiap titik pada [a; b], maka kekonvergenan di atas meru-
pakan kekonvergenan seragam pada [a; b].
Catatan. Keluarga fungsi fg disebut identitas hampiran, karena operasi konvolusi
dengan memberikan hampiran terhadap operator identitas bila ! 0.
Bukti. Untuk setiap x 2 R dan 0, tuliskan
f (x) (f(x+) +
221. f(x)) =
Z 0
1
[f(x y) f(x+)](y) dy +
+
Z 1
0
[f(x y) f(x)](y) dy:
Akan dibuktikan bahwa kedua integral di ruas kanan dapat dibuat sekecil-kecilnya den-gan
cara memilih cukup kecil. Karena mirip, kita hanya akan menggarap integral
kedua. Diberikan 0, pilih c 0 cukup kecil sehingga jf(x y) f(x)j untuk
0 y c. Di sini, c mungkin bergantung pada x, selain pada . Sekarang tuliskan
RR R1
1
: : : =
c
: : : +
: : :. Maka
0 0 c
234. 2M
Z
c
j(y)j dy = 2M
Z 1
c=
j(y)j dy;
yang dapat dibuat lebih kecil daripada dengan cara memilih cukup kecil (karena
2 L1). Jika yang diketahui adalah bernilai nol di luar suatu interval [R;R], maka
(x) = 0 untuk jxj R. Dalam hal ini, kita pilih c
R sehingga (x) = 0 untuk
x c (karena c R). Akibatnya,
Z 1
c
[f(x y) f(x)](y) dy = 0:
Jadi, sebagai kesimpulan, kita peroleh bahwa
Z 1
0
[f(x y) f(x)](y) dy ! 0;
bila ! 0. Ini membuktikan bagian pertama dari teorema.
Selanjutnya, jika f kontinu di x, maka
lim
!0
f (x) = f(x) +
235. f(x) = f(x):
Akhirnya, jika f kontinu pada [a; b], maka f kontinu seragam pada [a; b] sehingga pemil-ihan
c (dan konsekuensinya juga pemilihan ) dapat dibuat bebas dari x 2 [a; b]. Dalam
hal ini, f (x) ! f(x) secara seragam pada [a; b]. [QED]
Teorema G. Misalkan 0 dan
R
R (x) dx = 1. Untuk setiap 0, de
236. nisikan
(x) = 1
x
. Maka, untuk setiap f 2 Lp, kita mempunyai
k f fkp ! 0; ! 0:
Bukti. Tidak dibahas. (Lihat Hewitt Stromberg, Teorema 21.37, bila penasaran.)
11.3 Fungsi Gauss dan Teorema Aproksimasi Weierstrass
Salah satu fungsi yang sering digunakan untuk identitas hampiran adalah fungsi
Gauss G(y) := 1=2ey2
. Perhatikan bahwa
hZ 1
1
ey2
dy
i2
=
Z 1
1
Z 1
1
e(x2+y2)dx dy = :
73
237. 74 Hendra Gunawan
Jadi
R1
1 ey2
dy =
p
dan
R1
1 G(y) dy = 1. Selain itu, fungsi G genap, sehingga
=
R1
1 G(y) dy = 1
2 dan
238. =
R1
0 G(y) dy = 1
2 . Lebih jauh, G(k)(y) = Pk(y)ey2
untuk
suatu polinom Pk berderajat k, sehingga jG(k)(y)j Ckejyj. Jadi, jika f terbatas,
maka f G merupakan fungsi C(1) yang menghampiri f bila 0.
Teorema H (Aproksimasi Weierstrass). Jika f kontinu pada interval terhingga [a; b],
maka f merupakan limit seragam dari polinom pada [a; b], yakni untuk setiap 0
terdapat polinom P sedemikian sehingga
sup
axb
jf(x) P(x)j :
Bukti. Perluas f ke seluruh R sehingga f kontinu dan bernilai nol di luar interval
[a 1; b + 1]. Maka, menurut teorema sebelumnya, f G ! f secara seragam pada
[a; b], dengan G(y) = 1=2ey2
. Selanjutnya, diberikan 0, dapat dipilih 0
cukup kecil sehingga
sup
axb
244. 2
:
Sekarang, untuk x 2 [a; b] dan y 2 [a1; b+1], kita mempunyai xy
2
ab1
; ba+1
,
dan deret Taylor
P1
n=0(1)n t2n
n! konvergen seragam ke et2
pada selang tersebut.
Karena itu kita dapat menghampiri e(xy)2=2
dengan suatu polinom Taylor, yaitu
XN
n=0
(1)n
n!
x y
2n
:
Di sini N 2 N dapat kita pilih cukup besar sehingga
sup
axb
jf(x) P(x)j ;
dengan
P(x) =
1
p
XN
n=0
Z b+1
a1
(1)n
n!
x y
2n
f(y) dy:
Dalam hal ini P merupakan polinom (berderajat 2N) yang kita cari. [QED]
74
245. Analisis Fourier dan Wavelet 75
11.4 Soal latihan
1. Diketahui = [1;1]. Tentukan
(i) .
(ii) .
2. Misalkan = [1;1] dan (x) = 1
x
. Misalkan f(x) = x3x. Hitunglah f
dan periksa bahwa f ! 2f bila ! 0. [Catat bahwa
R1
1 (y) dy = 2.]
75
246. 76 Hendra Gunawan
12. Teorema Inversi Fourier dan Transformasi Fourier di L2(R)
12.1 Teorema Inversi Fourier
Dari hasil hitung-hitungan kasar di awal Bab 10, kita ingin membuktikan bahwa,
dalam kondisi tertentu, kita mempunyai
f(x) =
1
2
Z 1
1
b f()eixd = ( b f)(x);
untuk (hampir) setiap x 2 R. Melalui kesamaan inilah kita dapat memperoleh f
kembali dari b f. Tetapi kapankah kesamaan ini berlaku?
Teorema A (Teorema Inversi Fourier). Misalkan f 2 L1, kontinu bagian demi bagian,
dan b f 2 L1. Maka f kontinu dan
f(x) =
1
2
Z 1
1
b f()eixd;
untuk setiap x 2 R.
Bukti. Misalkan (x) := p1
2
ex2=2 dan (x) := 1
x
. Maka
R1
1 (x) dx = 1,
sehingga menurut Tereoma 11-E, f (x) ! 1
2 [f(x) + f(x+)] untuk setiap x 2 R.
Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa f (x) ! 1
2
R1
1
b f()eixd untuk setiap x 2 R.
Untuk itu, perhatikan bahwa untuk setiap x 2 R kita mempunyai
f (x) =
1
p
2
Z 1
1
f(y)e1
2
xy
2
dy =
1
2
Z 1
1
b f()eixe22
2 d;
mengingat
e1
2
xy
2
=
p
2
F
22
e2
(y x) =
p
2
Z 1
1
e22
2 ei(xy)d:
Sekarang jika ! 0, maka e22
2 ! 1; sehingga b f()eixe22
2 ! b f()eix untuk setiap
2 R. Selain itu, untuk setiap 0, kita mempunyai