Tinjauan pustaka mendiskusikan definisi, etiologi, dan faktor risiko infark miokard dengan ST elevasi (STEMI). STEMI terjadi karena ruptur atau diseksi plak aterosklerosis yang mengurangi aliran darah ke jantung. Faktor risiko termasuk usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, lipid tinggi, hipertensi, merokok, dan diabetes. Merokok meningkatkan risiko STEMI 50%.
1. Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
CASE REPORT
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) Anteroseptal
Oleh :
Defi Nurlia Erdian
Ellys Shinta Safitri
Pembimbing :
dr. Ronald David Martua Nababan, Sp. PD
2. SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD JENDERAL AHMAD YANI METRO
SEPTEMBER 2012
3. BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA
RSUD JENDERAL AHMAD YANI KOTA METRO
PRESENTASI KASUS
ST Elevasi Miokard Infark
September 2012
Oleh :
Defi Nurlia Erdian, S. Ked
Ellys Shinta Safitri, S. Ked
Pembimbing : dr. Ronald David Martua Nababan, Sp.PD
A. Pendahuluan
Laporan kasus ini mengenai seorang laki-laki usia 63 tahun yang datang ke RSUD
Jenderal Ahmad Yani dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada
dirasakan seperti ditusuk benda tajam, kemudian mengeluh sesak napas dengan
diagnosa ST Elevasi Miokard Infark (STEMI). Kasus ini membahas kemungkinan
suatu ST Elevasi Miokard Infark dan penatalaksanaan yang seharusnya.
B. Laporan Kasus
1. Anamnesis
Seorang laki-laki, 63 tahun sudah menikah datang ke unit gawat darurat
(UGD) RSUD Jenderal Ahmad Yani dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri.
Nyeri dada tidak menjalar ke pundak ataupun lengan. Menurut pasien nyeri
4. dada dirasakan saat beraktivitas, nyeri dada baru pertama kali, seperti ditusuk
benda tajam dan nyeri dada berlangsung kurang lebih selama 30 menit.
Pasien mengatakan nyeri dada berkurang setelah diberikan isosorrbid dinitrat.
Selain itu pasien mengeluh sesak napas yang berlangsung sepanjang hari,
pasien juga mengatakan sering terbangun malam hari karena sesak napas.
Sesak napas dirasakan sudah lama, kurang sebih selama 1 tahun terakhir.
Pasien mengatakan saat tidur lebih suka menggunakan bantal yang tinggi
karena terasa lebih nyaman. Beberapa minggu ini pasien mengatakan dirinya
menjadi cepat capek, terutama saat naik tangga dan berjalan jauh.
Sebelumnya pasien pernah dirawat dirumah sakit karena sesak napas dan
batuk-batuk kurang lebih 3 tahun lalu. Riwayat pengobatan OAT disangkal
pasien. Selain itu pasien pernah dioperasi karena apendisitis pada tahun 1996.
Pasien tergolong perokok berat, pasien memilki riwayat merokok sejak tahun
1962 hingga sekarang, setiap harinya pasien dapat menghabiskan 3 bungkus
rokok. Pasien memiliki alergi obat antibiotik amoxcicilin dan antalgin.
Riwayat asma, hipertensi, dan diabetes melitus disangkal pasien. Pasien juga
menyangkal dikeluarganya terdapat yang memiliki penyakit seperti pasien,
hipertensi dan diabetes melitus.
2. Pemeriksaan Fisilk
Status Present
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Status Gizi : baik
5. Tanda Vital
Takanan darah : 120/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 132 x/mnt
Frekuensi Napas : 24 x/mnt
Suhu : 37 0 C
Status Generalis
Kepala
Rambut : kotor dan berminyak
Mata : konjungtiva ananemis, sklera anikterik
Hidung : napas cuping hidung (-)
Telinga : serumen (+)
Mulut : sianosis bibir (+) dan lidah kotor
Leher
Trakea : letak ditengah
KGB : tidak ditemukan pembesaran KGB
JPV : tidak ditemukan peningkatan JPV
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : gerakan simetris kanan dan kiri, retraksi intercostal
(+), pelebaran sela iga (+), dan penggunaan otot bantu
pernapasan
Palpasi : hemithoraks (-) flail chest (-)
Perkusi : sonor
6. Auskultasi : ronki +/+
+/+
+/+
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat
Palpasi : ictus cordis teaba di ICS V midclavikula
Perkusi : redup, tidak didapatkan pembesaran jantung
Batas jantung kanan terdapat di linea midsternalis
Batas Jantung kiri 2 jari medial linea midclavikularis
Batas Jantung atas terdapat di ICS 2 linea sternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II murni reguler, bunyi jantung terdengar
menjauh, mur-mur (+)
Abdomen
Inspeksi : cembung (+), terdapat luka bekas jahitan operasi di
inguinal kanan
Palpasi : nyeri tekan (+) di epigastrium, hipokondrium dektra dan
sinistra serta suprapubik, hepatosplenomegali (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) normal
Genitalia : laki-laki
Ekstremitas
Superior : edema -/-
Inferior : edema -/-
Kulit : sianosis (-)
7. 3. Pemeriksaan Penunjang
Saat di unit gawat darurat dilakukan pemeriksaaan :
Hematologi
WBC : 11.900/mm3
RBC : 6.810.000/ mm3
HB : 18,9 g/dl
HT : 62,7 %
PLT : 114.000/mm3
GDS : 76 mg/dl
Rontgent Thorax
Bronkopneumonia dan emfisematous paru, besar jantung dalam batas normal.
8. EKG
STEMI anteroseptal
Gambar 1. Lead I II II AVR AVF AVL
Gambar 2. Lead V1 V2 V3 V4 V5 V6
Gambar 3. Lead I II III AVF AVL AVR
Gambar 4. Lead V1 V2 V3 V4 V5 V6
9. 4. Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
STEMI anteroseptal Killip II dengan faktor risiko merokok dan usia dengan
dd/ angina pectoris, ppok dan gagal jantung kiri
5. Penatalaksanaan
Saat di unit gawat darurat mendapatkan terapi O2 2-4 L/mnt, infus RL 20
tetes per menit, ceftriaxon 2x1 1 gram (IV), Ranitidin 2x1 ampul (IV), B19
3x1 (PO), OBH 3x1C (PO), Ketorolac 3x30 (IV), Aspilet 1x80 mg (PO),
ISDN 3x5 mg, CPG 1x1.
6. Follow up
Hari rawat ke-2, tanggal 30 Agustus 2012
Pada perawatan hari ke-2 keadaan umum sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, Frekuensi nadi 100 x/mnt, frekuensi
napas 24 x/mnt, suhu 37,3 0 C. Pasien mengeluh nyeri dada berkurang, sesak
napas, lemas, sulit tidur. Dari pemeriksaan fisik ditemukan rambut
berminyak, JPV tidak meningkat, bibir sianosis, lidah kotor, ronki pada kedua
lapang paru-paru, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran
sela iga. Diagnosis CAD STEMI anteroseptal Killip III fr. Merokok dan usia.
Penatalaksanaan O2 3L/mnt, Infus D5 % 20 tetes/mnt, ceftriaxon 2x1 gr (IV),
aspilet 1x2 tab (PO) selanjutnya 1x1 tab (PO), ISDN 3x10 gr (PO), ISDN 5 gr
(SL) kalau nyeri, bisoprolol, alprazolam 2x0,3, laxadin 1x15 cc (PO),
Rontgent thorax PA, Pemeriksaan profil lipid.
10. Hari rawat ke-3, tanggal 31 Agustus 2012
Pada perawatan hari ke-3 sulit tidur, pinggang sakit, sesak (+), nyeri dada (+)
menjalar (-). Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg,
frekuensi nadi 112 x/mnt, frekuensi napas 32 x/mnt, suhu 37,1 0C, JPV tidak
meningkat, bibir pucat, napas vesikuler +/+ ronki -/-, retraksi interkostal,
penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga. Terapi lanutkan dan konsul
dokter spesialis paru.
Hasil konsul dr. Andreas I, Sp.P
Diagnosa : Kronik Bronkitis – Early PPOK
Saran : Pemeriksaan SPS dan kultur sputum
Terapi : O2 2 L/mnt, chest fisiotheraphy, D5 % + aminofushcin 15
tetes/mnt, Nebulizer Farbivex /8 jam, ceftriaxon 2x1 gr (IV),
terapi lain teruskan.
Hari rawat ke-4, tanggal 1 September 2012
Pada perawatan hari ke-4 sulit tidur karena pinggang sakit dan sesak napas,
nyeri dada berkurang. Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/80
mmHg, frekuensi nadi 100x/mnt, frekuensi napas 32x/mnt, suhu 36,5 0 C,
lidah kotor, bibir sianosis, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas,
pelebaran sela iga.
Penatalaksanaan : lanjutkan terapi seperti kemarin.
Penatalaksanaan dari paru-paru :nebulisasi, D 5% : NaCl 0,9 % 15 tetes/mnt,
ceftriaxon 2x1 gr (IV), gentamisin 1x150 mg (IV), Nebulizer Farbivex /8 jam,
mucogard 3x1C lain-lain teruskan.
11. C. Resume
Laki-laki, 63 tahun datang dengan keluhan nyeri dada tidak menjalar ke pundak
ataupun lengan, nyeri dada dirasakan saat beraktivitas, nyeri dada baru pertama
kali, seperti ditusuk benda tajam dan nyeri dada berlangsung kurang lebih selama
30 menit. Keluhan disertai sesak napas yang berlangsung sepanjang hari.
Diagnosa awal : STEMI anteroseptal Killip III dengan DD angina pectoris, PPOK
dan gagal jantung kiri.
Dalam perjalanan penyakitnya penderita
Pada hari ke-2 sesak napas (+), nyeri dada(-), lemas, sulit tidur, sianosis, lidah
kotor, ronki pada kedua lapang paru-paru, retraksi interkostal, penggunaan
otot bantu napas, pelebaran sela iga.
Pada hari ke-3 sulit tidur, pinggang sakit, sesak (+), nyeri dada (+) menjalar (-
),, bibir pucat, napas vesikuler +/+ ronki -/-, retraksi interkostal, penggunaan
otot bantu napas, pelebaran sela iga.
Pada hari ke-4 sulit tidur karena pinggang sakit dan sesak napas, nyeri dada
berkurang, , lidah kotor, bibir sianosis, retraksi interkostal, penggunaan otot
bantu napas, pelebaran sela iga.
Diagnosa Akhir : STEMI anteroseptal
12. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
STEMI (ST elevation myocardial infarction) adalah bagian dari spectrum sindrom
koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tidak stabil, IMA tanpa
elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.1
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen,
antara lain :
1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi
plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan
oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-
hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri
menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini
disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal
sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.
13. 4. Infark miokard tipe 4
Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin)
3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary
intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian
infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner. Ada
empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu
usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner
meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi
sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik.3
Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi,
merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan
alkohol, dan aktivitas fisik. Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit
jantung kororner sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena
infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit
kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. Obesitas meningkatkan resiko terkena
penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara
berkembang dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight
14. didefinisikan sebagai IMT >25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2.
Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen.
Biasanya keadaan ini juga berhubungan kelainan metabolik seperti peninggian
trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik,
resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II. Faktor psikososial seperti
peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak
ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis.4
C. Patofisiologi
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal,
disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena thrombus
atau embolus.5
Infark miokard biasanya terjadi dengan penurunan dengan penurunan
mendadak pada aliran darah koroner yang mengikuti oklusi trombotik dari arteri
koronaria yang sebelumnya menyempit oleh aterosklerosis.6
Cedera ini dihasilkan atau dipercepat oleh factor seperti merokok sigaret,
hipertensi, dan akumulasi lipid. Dalam sebagian besar kasus, infark terjadi jika
plak aterosklerosis menjadi fisur, rupture, atau mengalami ulserasi dan dengan
kondisi yang baik bagi trombogenesis; trombus mural yang terbentuk
menyebabkan oklusi arteri koroner. Pada kasus yang jarang, infark dapat terjadi
karena oklusi koroner sekunder terhadap emboli koroner, abnormalitas congenital,
spasme koroner, dan variasi yang luas dari penyakit sistemik, terutama yang
bersifat radang.6
15. Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian
leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Disini
makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL.
Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa
(foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos
dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini
mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit
ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau
ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma
menyebabkan oklusi arteri.7
Penyempitan arteri koroner segmental banyak oleh formasi plak. Kejadian
tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan
aliran darah dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi
berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis
penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri
koroner desendens kiri berbahaya Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar
oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam
fungsi mekanis, biokimia dan miokard. Perfusi yang buruk subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang
disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. Selama kejadian iskemia,
terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel (Selwyn,
2005).
16. Gambar 5. Patofisiologi IMA
Diambil dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia tahun 2007
Pada akhirnya, besarnya kerusakan miokard yang disebabkan oleh oklusi
koroner tergantung dari daerah yang disuplai oleh pembuluh yang terkena, baik
pembuluh itu tertutup seluruhnya ataupun tidak, faktor asli yang dapat
menghasilkan lisis spontan dini dari trombus oklusif, jumlah darah yang disuplai
oleh pembuluh kolateral ke jaringan yang terkena, dan besarnya kebutuhan
oksigen miokard yang suplai darah nya menjadi terbatas. Pasien dengan resiko
meningkat untuk menderita infark miokard akut termasuk pasien dengan angina
tidak stabil, faktor resiko koroner multiple.7
17. D. Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥ 2mm, minimal pada 2
sandapan prekordial yang berdampingan atau ≥ 1mm pada 2 sandapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,
memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak
perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.1
1. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar
jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan
apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko
antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada sebagian kasus, terdapat
factor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress
emosi, penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang
hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa
jam setelah bangun tidur.1
Nyeri Dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Sifat
nyeri dada seperti berikut :
Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, tertindih benda berat
18. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung, perut, dan dapat juga lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI adalah : perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada
tidak selalu dijumpai pada STEMI, bila pada diabetes mellitus dan lanjut usia
tidak menimbulkan STEMI.1
2. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat dan dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien
infark aanterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan atau hipotensi) sedangkan pada pasien infark inferior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan atau hipotensi).1
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikuler adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal
yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan
19. pericardial friction rub. Penigkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dalam
minggu pertama pasca STEMI.1
3. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus
dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG
di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti
kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasikan
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan
terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.-1
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina
pectoris tidak stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST
berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
20. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard
transmural digunakan jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi
gambaran patologis EKG dengan lokasi infark sehingga terminology IMA
gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.1
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi
segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usia 0 tahun, STEMI
ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm
bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi
dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih 2 minggu
(Antman, 2005).
4. Laboratorium
Pertanda (Biomarker) pertanda jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac
specific troponin (cTn) atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker.1
21. Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).1
CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn : ada 2 jenis yaitu : cTn I dan cTn T. enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari.1
Pemeriksaan enzim jantung yang lain :
Mioglobin
dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinin Kinase (CK)
Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH)
Meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-
6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri
dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000 – 15.000 /ul.1
22. E. Tatalaksana
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST ini bertujuan untuk diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian
obat penunjan dan tatalaksana komplikasi IMA.1
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu : komplikasi elektrikal (aritmia), dan komplikasi mekanik (pump
failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain :
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis,
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi,
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICU,
Melakukan terapi reperfusi.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana
STEMI dan kendali komando medis yang bertanggung jawab dalam pemberian
terapi.1
1. Tatalaksana Umum
Oksigen
23. Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.1
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan
NTG intravena. NTG intravena juga dapat mengendalikan hipertensi atau
edema paru.1
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan. Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phospodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.1
Morfin
Morfin sangat efektif menggurangi nyeri dada dan merupakan analgesic
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai
dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian
morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis
24. sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan
tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai
dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dan NaCl
0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark
posterior. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropine 0,5 mg IV.1
PCI primer
PCI primer adalah memasukkan kateter (melalui arteri femoral) ke dalam
arteri koroner. Visualisasi dilakukan dengan sinar‐X dengan bantuan
injeksi medium kontras radio‐opaque melalui kateter. Ketika pembuluh
darah koroner sudah dapat dilihat, identifikasi definitif arteri yang
trombosis dapat dilakukan dan arteri dapat dibuka menggunakan balon
pada ujung kateter sehingga terjadi reperfusi miokard yang mengalami
infark. Stent kemudian disisipkan untuk menjaga patensi pembuluh darah.1
Teknik ini memungkinkan pembukaan arteri yang dikehendaki
dengan lebih tepat, tidak seperti jika digunakan obat trombolisis sistemik.
Sebelum dilakukan PCI primer platelet harus dihambat sepenuhnya,
dimaksudkan untuk mengurangi resiko trombosis periprosedur yang
disebabkan oleh lepasnya plak atau trombosis pada stent. Hal ini dapat
dicapai dengan pemberian clopidogrel(300‐600 mg) bersama dengan
terapi standard aspirin. Pemberian harus dilakukan secepatnya, sebelum
25. PCI. Penghambatan platelet periprosedural tambahan dapat dilakukan
dengan abciximab (inhibitor glikoprotein Iib/Iia) atau bivalirudin.
(inhibitor lansung trombin). PCI primer merupakan pilihan yang lebih baik
untuk pasien MI akut yang dapat dilakukan dalam waktu 90 menit sejak
kontak medik pertama (“door‐to‐balloon” time kurang dari 90menit).1
Jika lebih dari 90 menit , PCI primer masih merupakan terapi
pilihan apabila terapi trombolisis dikontraindikasikan atau jika pasien
beresiko tinggi mengalami perdarahan, syok kardiogenik atau dengan
faktor resiko tinggi lainnya. Lebih dari 90% pasien yang mendapat PCI
kembali normal secara angiografi, dibanding dengan 60% pasien yang
mendapat trombolisis (dimana arteri yang tersumbat berhasil dialiri
kembali).1
Keuntungan lain PCI:
• Tidak ada efek samping serius (misalnya hemoragik intrakranial)
• Waktu tinggal rawat inap lebih pendek
• Resiko reinfark berkurang.
Jika pasien alergi terhadap medium kontras yang digunakan untuk
angiografi, maka trombolisis merupakan pilahan terapi satusatunya.
1
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai stemi dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
26. absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergency.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.1
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan
addalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung > 60 menit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg,
interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma.
Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol
oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100mg
tiap 12 jam.1
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan
pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventricular yang maligna.1
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle
(atau medical contact to balloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit.1
Reperfusi, dengan trombolisis atau PCI primer, diindikasikan dalam
waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien MI
yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut :
27. • ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor ECG di dada yang
berturutan,
• ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berturutan,
• Left bundle branch block baru.
Terdapat beberapa metode reperfusi dengan keuntungan dan kerugian
masingmasing. PCI primer merupakan terapi pilihan jika pasien dapat
segera dibawa ke pusat kesehatan yang menyediakan prosedur PCI.1
Terapi Farmakologik
Antitrombotik
Penggunaan antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai
peran penting dalam pathogenesis.1
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan
sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi thrombosis. Aspirin
merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama
aspirin pada STEMI dapat dilihat pada antiplatelets trialists collaboration.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI (Percutaneous
Coronary Intervention). Obat antitrombin standar yang digunakan dalam
praktek klinis adalah unfractional heparin. Pemberian UFH IV segera
sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik
28. fibrin relative, membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg dilanjutkan infuse inisial 12
U/kg/jam. Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.1
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low molecular
weight heparin (LMWH). Pasien dengan infark anterior, disfungsi
ventrikel kiri berat. Gagal jantung kongestif, riwayat emobil, thrombus
mural pada ekokardiografi 2 sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat
terapi antitrombin kadar terapeutik penuh selama di rawat, dilanjutkan
terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.1
Manfaat trombolisis dini ditunjukkan pada studi GISSI‐1.
Trombolisis dipilih jika pasien segera dirawat dalam 3 jam pertama setelah
onset (idealnya dalam 1 jam). Trombolisis dalam 1 jam pertama sejak
gejala muncul menghasilkan penrunan mortalitas 50%, jika lebih lambat
(dalam 12 jam setelah onset gejala) maka angka penurunan resiko
mortalitas turun (<50%). Jika lebih dari 12 jam, tidak ada perbedaan antara
terapi trombolosis dan terapi konvensional walaupun masih cenderung
menurunkan kematian.1
Oleh karena itu pengenalan dini gejala dan pemberian terapi
trombolisis sangat penting, sehingga kebijakan National Service
Framework for Coronary Heart Disease menyatakan agar sedapat mungkin
„call to needle” time 60 menit (semua pasien harus menerima trombolisis
dalam waktu 1 jam sejak kontak pertama dengan petugas kesehatan). Data
29. dari laporan Proyek Nasional Audit Infark Miokard UK pada tahun
2006/07 64% pasien menerima trombolisis dalam waktu 1 jam dihitung
dari pertamakali kontak engan petugas kesehatan untuk pertolongan
medik, 84% bahkan dalam 30 menit pertama (data Indonesia belum ada).1
Streptokinase merupakan terapi pertama untuk mengembalikan
aliran darah ke arteri koroner yang mengalami trombosis. Merupakan
protein yang diperoleh dari streptococci yang mengubah plasminogen
menjadi plasmin, juga merupakan protein antigenik dan sering dikaitkan
dengan kejadian hipotensi dan reaksi alergi. Sekali diberikan, pemberian
berikutnya mungkin tidak efektif karena telah terbentuk antibodi yang
menetralkan dalam tubuh. Trombolitik lainnya adalah tissue Plaminogen
Activator (tPA, misalnya alteplase dan yang lebih baru tenecteplase). tPA
yang lebih baru memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga
memudahkan untuk pemberian sebagai injeksi bolus, dibanding infus yang
harus dilakukan untuk streptokinase dan alteplase. Trombolisis tidak
diberikan jika :
• Perdarahan aktif (misalnya ulkus peptic, perdarahan gastrointestinal,
varises esofagus),
• Resiko tinggi perdarahan (misalnya pasien usia >75 tahun),
• Gangguan koagulasi,
• Hipertensi berat,
• Riwayat stroke/transient ischemic attacks,
• Bedah atau trauma dalam 3 bulan terakhir,
• Kehamilan,
30. • Sebelumnya mendapat trombolisis streptokinase (dimana
streptokinase dikontraindikasikan)
Dari semua pasien infark miokard akut yang dapat diberi trombolisis,
hanya 60% yang akhirnya benar‐benar mendapat trombolisis.
Komplikasi obat trombolisis antara lain reaksi alergi yang bisa
bersifat minor sampai mayor anafilaksis (anafilaksis terjadi pada 0,1%
pasien). Hemoragik yang memerlukan transfuse jarang terjadi, tetapi
perdarahan pada lokasi suntikan merupakan komplikasi yang sering
dijumpai. Juga terdapat peningkatan resiko stroke hemoragik, terutama
pada pasien lanjut usia. Hipotensi juga sering dijumpai, terutama jika
digunakan streptokinase.1
Antagonis Aldosteron
Pedoman NICE menyatakan untuk pasien dengan gejala gagal jantung dan
LVSD antagonis aldosteron (eplerenone) dilisensikan sebagai terapi
pasca‐MI yang dimulai dalam 3‐14 hari MI, lebih disukai setelah terapi
ACEi. Studi EPHESUS menunjukkan penurunan 43% resiko 30‐hari untuk
semua mortalitas. Setelah maksimum terapi eplerenone 12 bulan, pasien
LVSD dapat diterapi dengan spironolakton sesuai dengan pedoman NICE
untuk gagal jantung. Kadar potasium/kalium dan fungsi ginjal harus
dimonitor.1
31. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi : yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam
jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark dan menurunkan resiko kejadian aritmia ventrikel yang
serius. Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil.
Studi ISIS‐1 menunjukkan pemberian dini beta‐blocker bermanfaat
menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam setelah MI, dengan cara
menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi ukuran infark.1
Juga mengurangi resiko pecahnya pembuluh darah jantung dengan
menurunkan tekanan darah, juga mengurangi resiko ventrikular dan
aritmia supraventrikular yang disebabkan aktivasi simpatetik. Jika tidak
ada kontraindikasi, pasien diberi beta‐blocker kardioselektif misalnya
metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin
di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi terapi
beta‐blocker adalah:
• Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg,
• Bradikardi <50 denyut/menit,
• Adanya heart block,
• Riwayat penyakit saluran nafas yang reversibel.
32. Beta‐blocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang dapat
ditoleransi. Jika terdapat left ventricular systolic dysfunction (LVSD,
disfungsi sistolik ventrikel kiri), beta blocker yang dilisensikan untuk
gagal jantung harus diberikan (misalnya bisoprolol atau carvedilol).
Pemberian dimulai dengan dosis terkecil dan dititrasi naik sesuai dengan
interval yang disarankan sampai tercapai dosis maksimum yang dapat
ditoleransi.1
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien
dengan kontraindikasi ( pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik
ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau
riwayat asma).1
Terapi Penurun Lipid
Manfaat HMG Co‐A reductase inhibitor (statin) jelas ditunjukkan pada
beberapa studi termasuk Heart Protection Study, yaitu dengan simvastatin
40 mg/hari, terjadi perbaikan outcome dan penurunan angka kematian
untuk semua pasien kardiovaskuler. Manfaat ini tidak tergantung pada
kadar awal kolesterol/LDL.1
Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan resiko tinggi ( pasien usia
33. lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/ atau fungsi
ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka
pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik
>100mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan resiko gagal jantung. Kejadian
infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor
ACE menahun pasca infark.1
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien
dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan
imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.1
F. PROGNOSIS
Klasifikasi kilip pada Imfark Miokard Akut
Tabel 1. Klasifikasi Killip Pada Infark Miokard
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan/ atau ronkhi basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Diambil dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia
34. ANALISIS KASUS
1. Bagaimana pendekatan diagnosis pada kasus?
Berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan pendekatan diagnosis sebagai berikut :
Anamnesis
Nyeri dada sebelah kiri,
Nyeri seperti di tusuk-tusuk benda tajam,
Cetusan nyeri terjadi saat beraktivitas,
Nyeri berlangsung + 30 menit,
Nyeri dada berkurang setelah diberikan isosorbid dinitrat,
Sesak napas yang menganggu aktivitas,
Pasien merupakan perokok berat, hal ini sesuai dengan Indeks
Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang
dihisap per hari dikalikan dengan lamanya merokok dalam tahun.
Pada pasien ini lama merokok sudah 50 tahun dan banyaknya rokok
sekitar 36 batang.
IB = 50 x 36
= 1800
Perokok ringan IB < 200
Perokok sedang IB 200 – 600
Perokok berat IB >600
35. Pemeriksaan Fisik
Sianosis bibir
Berkeringat banyak
Takikardi
Gallop (-)
Mur-mur (+)
Ronki Basah (-)
Pemeriksaan penunjang
ST elevasi anteroseptal
Untuk menegakan diagnosis infark miokard dapat dilakukan dengan
anamnesis dan EKG. Dari anamnesis seperti telah diketahui diatas ditemukan
adanya nyeri dada sebelah kiri yang berlangsung selama + 30 menit.
Sedangkan dari hasil EKG ditemukan adanya ST elevasi > 2mm minimal di 2
sadapan prekordial yang berdampingan atau > 1 mm pada 2 sadapan
ekstremitas. Adanya riwaya merokok dan usia yang lanjut merupakan faktor
risiko yang memungkinkan terjadinya STEMI pada penderita.
Maka dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan dapat disimpulkan Tn. S menderita CAD
STEMI anteroseptal Killip II dengan faktor risiko merokok dan usia.
36. 2. Apakah penatalaksanaan pada kasus sudah tepat?
Penatalaksanaan pada kasus ini kurang tepat karena :
O2 , suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
Oksigen < 90%. Namum pada semua pasien STEMI baik dengan
komplikasi ataupun tidak dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
Infus Ringer Laktat, untuk memenuhi kebutuhan cairan harian yaitu
dengan memberikan cairan isotonik,
Ceftriaxon, tingginya tingkat infeksi nosokomial yang dapat terjadi di
rumah sakit menyebabkan pemberian antibiotik profilaksis diperlukan
untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien yang dapat memperberat
penyakit pasien. Namun pola dari jenis mikroorganisme patogen yang
ada di setiap rumah sakit berbeda-beda sehingga setiap rumah sakit
seharusnya memiliki protab antibiotik yang dapat digunakan sebagai
antibiotik profilksis,
Ranitidin, berfungsi untuk mengurangi produksi asam lambung yang
dirangsang oleh pemberian CPG, bila produksi asam lambung terlalu
banyak dapat menyebabkan kerusakat pada dinding lambung,
B19, pemberian B 19 dirasakan kurang bermanfaat pada kasus ini.
Namun, pemberian B 1 dapat dipertimbangkan karena dapat membantu
metabolisme karbohidrat sehingga tidak terjadi penumpukan asam
piruvat pada metabolisme yang tidak sempurna yang dapat menganggu
kontraksi dari otot jantung,
OBH, dirasakan kurang tepat karena pasien tidak mengeluh batuk,
37. Ketorolac, selain dengan memberikan nitogliserin, dengan pemberian
ketorolac diharapkan dapat membantu mengurangi nyeri yang akut
sedang ataupun berat,
Aspilet, apabila embolus yang beredar di sirkulasi sistemik mencapai
otak, dikhawatirkan dapat terjadinya iskemik pada otak yang
selanjutnya dapat meyebabkan stoke. Hal ini semakin memperberat
keadaan pasien, sehingga dengan pemberian aspilet difungsikan untuk
menurunkan agregasi trombosit sehingga pembentukan trombis
berkurang dan efek antikoagulasi.
ISDN, menyebabkan relaksasi otot polos dan vasodilatasi vaskular
sehingga mengurangi tekanan pengisian dan meningkatkan curah
jantung pada arteriol kecil serta menurunkan bendungan paru-paru,
Clopidogrel, dapat mengurangi progresivitas terjadinya aterosklerosis
dan infark pada pembuluh darah koroner.
38. DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W. 2007., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus
Simadibrata K, & Seiti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid
III. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Alpert. Effect of Exercise Training On Health Status In Patients With Chronic
Heart Failure. Journal American Medical Association 2010.
3. Santoso. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.
4. Ramrakha, Punit dan Jonathan Hill. 2006. Oxford Handbook of Cardiology :
Coronary Artery Disease 1st. USA : Oxford University Press.
5. Dorland, W A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi ke-29.
Jakrta : EGC.
6. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, & Kasper. 2008. Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3. Jakarta : EGC.
7. Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2006. Patoisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC
8. Royal College of Physicians, the Healthcare Commision, Univesity College
London. 2007. Myocardial Infarction National Audit Project (MINAP) 6th
public report. How the NHS manages Heart attacks. London Royal College of
Physicians.
9. Keeley EC Hilis LD. 2007. Primary PCI for myocardial infarction with
ST‐segment elevation. New England Journal of Medicine;356:47‐54.
10. COMMIT collaborative group. 2005. Addition of clopidogrel to aspirin in
45,852 patients with acute myocardial infarction: a placebo‐controlled trial.
Lancet ;366: 1607‐21.
11. Heart Protection Study Collaborative Group. Heart protection study of
cholesterol lowering with simvastatinin 20,536 individuals: a randomized
placebocontrolled trial. Lancet 2002 : 360;7‐22.
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
39. Math homework help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Algebra Help
https://www.homeworkping.com/
Calculus Help
https://www.homeworkping.com/
Accounting help
https://www.homeworkping.com/
Paper Help
https://www.homeworkping.com/
Writing Help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutor
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/