1. 1
PRESENTASI KASUS KECIL
“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK”
Oleh :
Yulandita Debi Widiyaningtyas G4A017037
Pembimbing :
dr. Wisuda Moniqa, Sp. P
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
2. 2
LEMBAR PENGESAHAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Disusun oleh :
Yulandita Debi Widiyaningtyas G4A017037
Telah disetujui
Pada Tanggal, Oktober 2018
Mengetahui
Pembimbing :
dr.Wisuda Moniqa, Sp. P
3. 3
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : RT02/RW01 Kalibagor
Tanggal Masuk : 14 Oktober 2018
Tanggal Anamnesis : 14 Oktober 2018
No. CM : 02056895
Bangsal : Cendana
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama : sesak napas
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Tn. B datang ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
pada hari Selasa, 14 Oktober 2018 dengan keluhan sesak napas yang telah
dirasakan kurang lebih 6 bulan yang lalu dan semakin memberat sejak 1
hari sebelum masuk ke RSMS. Sesak nafas dirasakan terus-menerus dan
sangat mengganggu aktivitas pasien. Saat pasien melakukan aktivitas
seperti menyapu halaman rumah, nafas pasien sering tersengal-sengal dan
terdapat bunyi mengi saat pasien menarik nafas. Sesak nafas dirasakan
semakin memberat saat beraktivitas seperti berjalan jalan, memancing.
Sesak berkurang jika pasien diberikan sungkup oksigen dan obat inhaler
seperti Berotex, Spiriva atau Seretide.
Selain sesak, pasien juga mengalami batuk berdahak kurang lebih
sudah 6 bulan yang lalu sebelum masuk ke RSMS. Dahak berwarna putih
kental tidak ada darah. Sebelum dan selama sakit, keluhan keringat
malam, demam, nyeri dada, berat badan menurun, serta mual muntah
disangkal pasien.
4. 4
Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat di RSMS pada tanggal
10 Agustus 2018 sampai 13 Agustus 2018 dengan keluhan yang sama.
Dua bulan setelah dirawat di RSMS, pasien kembali mengeluhkan sesak
nafas yang semakin memberat, batuk berdahak sehingga pasien dibawa ke
IGD RSMS kembali.
Pasien mengakui mengkonsumsi rokok sejak pasien masih
berusia muda dan berhenti sekitar 3 tahun yang lalu. Pasien mengaku biasa
merokok 1 bunngkus perhari. Riwayat konsumsi alkohol disangkal.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat alergi ` : disangkal
f. Riwayat sakit kuning : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : diakui (rutin control ke poli paru
RSMS tiap 1 bulan sekali)
2. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi ` : disangkal
3. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang tidak terlalu padat penduduk.
Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.
b. Home
5. 5
Pasien tinggal bersama istri dan dua anaknya. Rumah tersebut
berdinding tembok, berlantai ubin. Rumah memiliki jendela dan
ventilasi yang memadai. Pencahayaan rumah juga memadai.
c. Occupational
Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Namun semenjak sakit pasien
sudah berhenti bekerja dan hanya beristirahat di rumah.
d. Personal Habbit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali. Pasien mempunyai riwayat
merokok yang setiap harinya dapat menghabiskan 1 bungkus rokok.
Pasien telah merokok sejak usia muda sehingga lama pasien merokok
sudah puluhan tahun.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : Compos mentis.
Vital sign : T : 130/80 mmHg
N : 94 x/mnt
RR : 28 x/mnt
S : 36.5°C
Status Generalis
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)
Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
terdistribusi merata
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil
lidah (-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5 ±
2 cm
6. 6
Pulmo
Anterior
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (+/+)
Posterior
Inspeksi : Dinding punggung simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan
vertebre (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (+/+),
wheezing (+/+)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal
(-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
7. 7
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah RSMS tgl 14/8/18
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 14.6 11.7-15.5 g/dL
Leukosit 18490 (H) 3.600-11.000 U/L
Hematokrit 44 35-47 %
Eritrosit 4.9 3.8-5.2 ^6/uL
Trombosit 275000 150.000– 440.000 /uL
MCV 89.7 80-100 fL
MCH 28.0 26-34 Pg/cell
MCHC 31.3 L 32 – 36 %
RDW 13.7 11.5 – 14.5 %
MPV 9.8 9.4-12.3 fL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.6 0 – 1 %
Eosinofil 0.1 L 2 – 4 %
Batang 1.4 L 3 – 5 %
Segmen 86.9 H 50 – 70 %
Limfosit 3.5 L 25 – 40 %
Monosit 7.6 2 – 8 %
8. 8
2. Ro Thorax
Gambar 1. Ro Thorax
V. DIAGNOSIS KERJA
CAP, PPOK eksaserbasi akut
VI. TERAPI
A. Farmakologi :
a. Nebul Combivent/ 8 jam
b. IVFD RL 20 tpm
c. Inj Ceftriakson 1 gr/12 jam
Kimia Klinik
Ureum darah 68. 70 H 14.98-38.52
Kreatinin darah 1.53 H 0.70-1.30
GDS 91 <= 200
TCM Not Detected
9. 9
d. Inj MP 62,5 mg/ 12 jam
e. Paracetamol 3 x 1 tab KP
f. Tabas 3 x 1 c
g. Seretide dilanjutkan
h. Spiriva dilanjutkan
i. Berotec MFI KP
B. Non-Farmakologi :
a. O2 3 l/menit
b. Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi pencetus,
terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit.
VII. PROGNOSIS :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ada sanationam : dubia ad malam
10. 10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan
keterbatasan aliran udara karena kelainan saluran napas dan / atau alveolar
biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan partikel berbahaya atau gas.
Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi pada pasien (GOLD, 2018).
Sedangkan berdasarkan PDPI 2015 PPOK didefinisikan sebagai penyakit
paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang
bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
B. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) (2008) PPOK merupakan
salah satu penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-
tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Pada tahun 2002, 2004 dan
2005 ProportionalMortality Ratio (PMR) akibat PPOK di beberapa negara
maju masing-masing sebesar 3,9%, 3,5% dan 3,9% Di negara berkembang
masing-masing sebesar 7,6%, 7,45% dan 8,1serta di negara miskin masing-
masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%. Angka - angka tersebut menunjukkan
semakin meningkatnya kematian akibat PPOK di dunia (WHO, 2008).
Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa sebanyak 201 juta manusia
mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat PPOK pada
tahun 2005. Diperkirakan pada tahu 2030, PPOK akan menjadi penyebab ke-
tiga kematian di seluruh dunia (WHO, 2008). Sedangkan data di Indonesia
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK
adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan
bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan(3,3%).
11. 11
C. Faktor Resiko
Penentuan langkah untuk pencegahan dan penatalaksanaan PPOK dimulai
dari identifikasi faktor risiko. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko
PPOK dalam banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman
interaksi dan hubungan antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan
investigasi lebih lanjut. Menurut GOLD (2018), faktor risiko terjadinya PPOK
meliputi :
1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok merupakan penyebab paling penting untuk
diidentifikasi, sebab asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai
penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa
penelitian dilaporkan bahwa asap rokok menyebabkan penurunan rerata
VEP1.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap,
usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok
(Indeks Brinkman )
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : > 600
2. Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel
akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya
12. 12
PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara
terbagi menjadi (WHO, 2016):
a. Polusi di dalam ruangan
Asap rokok
Asap kompor
b. Polusi di luar ruangan
Gas buang kendaraan bermotor
Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
3. Stres Oksidatif
Terdapat 2 jenis oksidan yaitu oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok.
Jika terdapat ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan,
misalnya peningkatan jumlah oksidan dan atau deplesi antioksidan akan
menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek
kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai
awal inflamasi paru.
4. Infeksi Saluran Nafas Bawah Berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan
secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat
pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan
gejala respirasi pada saat dewasa.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab
keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai
penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko pada PPOK.
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan,
pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang
13. 13
berhubungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat
menjelaskan hal ini.
6. Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi
paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalisis
menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological
Study” didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko
terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok.
Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan
ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.
8. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah
kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan
penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok
dengan kekurangan alfa-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu
dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.
Meskipun kekurangan alfa-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari
populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran diatas
menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap
timbulnya PPOK.
D. Patologi
Perubahan patologis yang khas dari PPOK ditemukan di saluran udara,
parenkim paru, dan pembuluh darah pulmonal. Perubahan patologis yang
14. 14
diamati pada PPOK termasuk peradangan kronis, dengan peningkatan jumlah
jenis sel inflamasi spesifik di berbagai bagian paru-paru, dan perubahan
struktural yang dihasilkan dari cedera dan perbaikan berulang. Secara umum,
perubahan inflamasi dan struktural pada saluran udara meningkat dengan
tingkat keparahan penyakit dan bertahan pada penghentian merokok.
Peradangan sistemik mungkin ada dan bisa berperan beberapa kondisi
komorbiditas yang ditemukan pada pasien dengan PPOK (GOLD 2018)
E. Patogenesis
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada
pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidati dan
kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik
perubahan patologis PPOK.
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yan melibatkan
neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi
dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim
paru-paru.
1. Sel Inflamasi PPOK :
a. Neutrofil: meningkat dalam dahak perokok. Peningkatan neutrofil pada
PPOK sesuai dengan beratnya penyakit. Neutrofil ditemukan sedikit pada
jaringan. Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi lendir
dan pelepasan protease.
b. Makrofag: banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim paru
dan cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Berasal dari monosit yang
mengalami diferensiasi di jaringan paru. Makrofag meningkatkan
mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK sebagai respon
terhadap asap rokok dan menunjukkan fagositosis yang tidak sempurna.
c. Limfosit T: sel CD4+ dan CD8+ meningkat pada dinding saluran napas
dan parenkim paru, dengan peningkatan rasio CD8+: CD4+. Peningkatan
15. 15
sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan interferon-g dan
mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel
sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan
alveolar. Limfosit B meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel
limfoid sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran
napas Eosinofil meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas
selama eksaserbasi. Sel epitel: mungkin diaktifkan oleh asap rokok
sehingga menghasilkan mediator inflamasi
2. Mediator inflamasi
Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat
pada pasien PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik)
menguatkan proses inflamasi (sitokin pro inflamasi), dan mendorong
perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Tabel 1. Mediator Inflamasi dalam PPOK
3. Stres oksidatif
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam
PPOK Biomarker stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8-
isoprostan meningkat dalam dahak, kondensat hembusan napas dan
sirkulas sistemik pada pasien PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat
pad eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat
yang dihiru lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi ( seperti
makrofag da neutrophil ) diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan
antioksidan endogen pada pasien PPOK.
16. 16
Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di
paru termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi
sekres lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat. Banyak dari efe
samping dimediasi oleh peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaks
antara anion superoksida dan oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilka
oleh sintase oksida nitrat induktif, terdapat pada saluran udara perifer da
parenkim paru pasien PPOK. Stres oksidatif juga dapat mencaku
pengurangan dalam kegiatan histone deacetylase pada jaringan paru dar
pasien PPOK, yang dapat menyebabkan peningkatan ekspresi ge inflamasi
dan juga pengurangan tindakan anti-inflamasi glukokortikosteroid.
4. Ketidakseimbangan protease-Antiprotease
Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan
antiproteas pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen
jaringan ikat da antiproteases yang melindunginya. Beberapa protease,
berasal dari sel inflamasi dan sel epitel, yang meningkat pada pasien
PPOK. Proteasemediate perusakan elastin, komponen jaringan utama
penghubung dala parenkim paru-paru, adalah faktor penting dari
emphysema dan kemungkinan tidak dapat diubah
F. Klasifikasi
Tabel 2. Klasifikasi derajat keparahan PPOK (GOLD, 2018)
Derajat Klinis Faal Paru
Derajat 0 Gejala kronik (batuk, dahak).
Terpajan faktor risiko
Normal
Derajat I :
PPOK
Ringan
Gejala batuk kronik dan
produksi sputum ada tetapi tidak
sering. Pada derajat ini pasien
sering tidak menyadari bahwa
fungsi paru mulai menurun
VEP1 / KVP < 70 %.
VEP1 > 80% prediksi
Derajat II :
PPOK
Gejala sesak mulai dirasakan
saat aktivitas dan kadang
VEP1 /KVP < 70 %
50% < VEP1 < 80%
17. 17
Sedang ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Pada derajat
ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya
Prediksi
Derajat III
PPOK
Berat
Gejala sesak lebih berat,
penurunan aktivitas, rasa lelah
dan serangan eksaserbasi
semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien
VEP1 /KVP < 70 %
30% < VEP1 < 50%
Prediksi
Derajat IV:
PPOK
Sangat
Berat
Gejala di atas ditambah tanda-
tanda
gagal napas atau gagal
jantung kanan dan
ketergantungan oksigen. Pada
derajat ini kulitas hidup pasien
memburuk dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa
VEP1/ KVP < 70 %
VEP1< 30% prediksi atau
VEP1 < 50% prediksi
disertai gagal napas
kronik
1. Klasifikasi berdasarkan penilaian gejala
Pada masa lampau, PPOK dikenal dengan gejala khasnya yakni
kesulitan bernafas. Penilaian singkat dalam menentukan derajat beratnya
sesak nafas dapat menggunakan kuesioner mMRC (modified British
Medical research Council) dan dapat menggunakan CAT (COPD
assessment test) untuk penilaian gejala secara keseluruhan (GOLD,2018)
19. 19
2.Kombinasi penilaian PPOK
Klasifikasi ABCD merupakan alat penilaian dari update GOLD
tahun 2011 yang menggunakan spirometri sederhana dan kombinasi gejala
pada pasien terutama pelaporan adanya eksaserbasi untuk sistem klasifikasi
sehingga mempengaruhi strategi terapi. Misalkan, grup D pada kelompok
ABCD dimodifikasi oleh 2 parameter, fungsi paru dengan riwayat
eksaserbasi lebih dari 2 atau 1 yang membuat pasien perlu ditangani di
rumah sakit.
Sebagai contoh, pasien dengan FEV1<30%, dan skoring pada CAT
adalah 18 dengan satu atau tanpa adanya riwayat kekambuhan pada tahun
sebelumnya dilabelkan pada grup B, GOLD 4. Sedangkan pasien dengan
20. 20
kondisi yang sama namun memiliki riwayat kekambuhan hingga 3 kali
dalam satu tahun terakhir, masuk dalam kelompok D, GOLD 4.
G. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejal
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelaina sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan pada
tabel 5 berikut :
21. 21
Tabel 3. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK
1. Anamnesis
a) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
b) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
e) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
22. 22
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing (pink puffer)
atau Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru,
sianosis sentral dan perifer (blue bloater).
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d) Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Faal Paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%
Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Keparahan Berdasarkan Pengukuran
Spirometri
23. 23
b) Laboratorium
Darah rutin, Analisis Gas Darah
c) Rontgen Thoraks
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen,
ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar dan jantung
menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance).
Sedangkan pada bronkitis kronik ditemukan gambaran corakan
bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus.
Algoritma penegakkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut :
Tahap 1 – Apakah pasien memiliki penyakit saluran pernapasan
kronis?
Langkah pertama dalam mendiagnosis kondisi ini adalah
untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko, atau dengan
kemungkinan besar memiliki penyakit saluran napas kronis dan untuk
mengecualikan penyebab potensial lain dari gejala pernapasan. Hal
ini didasarkan pada rinci riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan
investigasi (GINA, 2018).
a. Clinical history
Pertimbangkan penyakit saluran napas kronis bila (GINA, 2018):
- Batuk kronis / kekambuhan, sputum, dispnea/wheezing/infeksi sal
napas bawah akut berulang
- Didiagnosa asma / COPD
- Pengobatan sebelumnya dengan obat inhalasi
- Riwayat merokok
- Paparan polutan
24. 24
b. Physical examination
Pemeriksaan fisik meliputi (GINA, 2018):
– Mungkin normal
– Hiperinflasi / insufisiensi pernapasan
– Wheeze dan atau crackle
c. Radiology
Pemeriksaan radiologi umumnya didapatkan hasil (GINA, 2018):
Mungkin normal, terutama dalam tahap awal
Abnormalitas Foto rontgen thorak atau CT scan (digunakan
untuk skrining tumor paru) termasuk hiper inflasi, penebalan
diniding pernapasan, udara yang terjebak, bulla atau gambaran
lain dari emphysema.
Mungkin diidentifikasi sebagai diagnosis alternatif, termasuk
bronkiektasis, pembuktian infeksi paru sebgaimana TBC,
penyakit intersisial paru atau gagal jantung.
Tahap 2. Diagnosa gejala Asma, COPD dan ACOS pada pasien
dewasa
Adanya gambaran tumpang tindih antara asma dan COPD, maka
pendekatan yang diusulkan berfokus pada gambaran yang paling
membantu dalam mengidentifikasi dan membedakan tipikal asma dan
COPD khas (GINA, 2018).
a. Kumpulkan gambaran yang mendukung diagnosis
Mulai dari riwayat yang cermat yang mempertimbangkan
usia, gejala (khususnya onset dan progresi, variabilitas, musim atau
periodisitas dan persistensi), riwayat masa lalu, faktor risiko sosial
dan pekerjaan termasuk riwayat merokok, sebelumnya telah
didiagnosa asma atau COPD dan pengobatan dan respon terhadap
pengobatan, fungsi paru-paru, gambaran yang mendukung
diagnostik profil asma atau COPD dapat ditegakkan. Kotak
centang di gambar 5 dapat digunakan untuk mengidentifikasi
gambaran yang paling konsisten dengan asma dan / atau COPD.
25. 25
Perhatikan bahwa tidak semua gambaan asma dan COPD terdaftar,
tetapi hanya mereka yang paling mudah membedakan antara asma
dan COPD dalam praktek klinis (GINA, 2018).
b. Bandingkan jumlah gambaran yang mendukung diagnosis
Dari Kotak di gambar 5, hitung jumlah kotak yang
dicentang di setiap kolom. Jumlah yang memiliki beberapa (tiga
atau lebih) gambaan yang terdaftar baik untuk asma atau untuk
COPD, dengan tidak adanya gambaran untuk diagnosis alternatif,
memberikan kemungkinan kuat diagnosis yang benar untuk asma
atau COPD. Riwayat alergi meningkatkan kemungkinan bahwa
gejala pernapasan disebabkan asma, tetapi tidak penting untuk
diagnosis asma karena asma non-alergi adalah fenotipe asma yang
diakui; dan atopi adalah hal umum pada populasi termasuk pada
pasien yang mengalami perkembangan menjadi COPD di tahun-
tahun berikutnya. Ketika jumlah gambaan serupa pada asma dan
COPD, diagnosis ACOS harus dipertimbangkan (GINA, 2018).
c. Pertimbangkan tingkat kepastian seputar diagnosis asma atau
COPD, atau gambaan keduanya yang menunjukkan ACOS
Dalam praktek klinis, ketika suatu kondisi tidak memiliki
gambaan patognomonik, dokter mengakui bahwa diagnosis dibuat
berdasarkan berat bukti, asalkan tidak ada gambaan yang jelas
membuat diagnosis tidak bisa dipertahankan. Dokter bisa
memberikan perkiraan tingkat kepastiannya dan memasukkannya
ke dalam keputusan mereka untuk diobati. Jika ada keraguan yang
signifikan, mungkin dapat mengarahkan terapi ke pilihan teraman -
yaitu, pengobatan untuk kondisi yang tidak boleh dilewatkan dan
tidak ditangani. Semakin tinggi tingkat kepastian tentang diagnosis
asma atau COPD, lebih banyak perhatian harus diberikan pada
keamanan dan kemanjuran dari pilihan perawatan awal (GINA,
2018).
26. 26
Gambar 4. Perbedaan Asma, COPD dan ACOS (GINA, 2018).
Gambar 5. Diagnosis Sindrom penyakit pernapasan (GINA, 2018).
27. 27
Cara menggunakan kotak Diagnosis Sindrom penyakit
pernapasan diatas, caranya adalah dengan mencentang pada kolom
yang ada pada daftar pernyataan yang sesuai dengan pasien yang
diidentifikasi. Pada pasien yang jumlah centangnya 3 atau lebih pada
daftar Asma atau COPD, maka pasien memamng menderita penyakit
tersebut. Jika ada jumlah centang yang sama pada kotak Asma dan
kotak COPD, diagnosis ACOS perlu dipertimbangkan (GINA, 2018).
Tahap 3. Spirometry
Spirometri merupakan hal penting untuk penilaian penderita
dengan penyakit kronis saluran napas. Spirometri harus dilakukan baik
pada awal atau kunjungan berikutnya. Spirometri menegaskan
pembatasan aliran udara kronis tetapi nilai lebih terbatas dalam
membedakan antara asma dengan tetap aliran udara obstruksi, COPD
dan ACOS (GINA, 2018).
Pengukuran arus puncak ekspirasi / PEF (Peak Expiratory Flow),
meskipun bukan alternatif untuk spirometri, jika dilakukan berulang
kali selama 1-2 minggu dapat membantu untuk memastikan diagnosis
asma, tapi PEF normal tidak mengesampingkan baik asma atau COPD.
Parameter untuk menentukan fungsi paru yaitu dengan menguji volume
dinamis paru, FVC (Forced Vital Capacity) dan FEV1 (Forced Expired
Volume in one second). FCV yaitu volume udara maksimum yang
dihembuskan secara paksa. Umumnya dicapai dalam 3 detik dan nilai
normalnya adalah 4 liter. FEV1 yaitu volume udara yang dapat
dihembuskan paksa dalam satu detik pertama. Normalnya adalah 3,2
liter (GINA, 2018).
Setelah hasil spirometri dan investigasi lainnya tersedia, penegakan
diagnosis dari sindrom berdasarkan penilaian perlu dilakukan penilikan
ulang atau jika perlu dilakukan revisi. Spirometri sebagai penemuan
tunggal tidak selalu mengkonfirmasi diagnosis, dan hasilnya perlu
disesuaikan dnegan konteks penemuan klinis. ICS (Inhaled Cortico
Steroid) dan bronkodilator kerja lama mempengaruhi hasil (GINA,
2018).
28. 28
Gambar 6. Pengukuran menggunakan Spirometri pada pasien Asma,
COPD dan ACOS (GOLD, 2018)
Tahap 4. Pelaksanaan terapi awal
Jika penilaian sindrom asma mendukung asma sebagai diagnosis
tunggal, Mulai pengobatan farmakoterapi yang didasarkan pada ICS,
dengan tambahan perawatan jika diperlukan, misalnya tambahkan long-
acting beta2-agonist (LABA) dan / atau long-acting muscarinic
antagonist (LAMA). Jika penilaian sindromik mendukung COPD
sebagai penyakit tunggal, mulai pengobatan farmakoterapi yang
dimulai dengan pengobatan simptomatik dengan bronkodilator (LABA
dan / atau LAMA) atau terapi kombinasi, tetapi bukan hanya ICS
(sebagai monoterapi) (GINA, 2018).
Jika penilaian sindrom menunjukkan ACOS, atau diagnosis
differensial seimbang antara Asma dan COPD, maka mulai pengobatan
untuk asma. Pengobatan mencakup ICS (dalam dosis rendah atau
sedang, tergantung pada tingkat gejala). Biasanya ditambahkan Long
acting muscarinic antagonist (LAMA) dan atau long-acting beta2-
agonist (LABA). Namun, pasien tidak diperkenankan diberikan LABA
tanpa ICS (LABA sebagai monoterapi). Semua pasien dengan
keterbatasan hambatan saluran napas kronik perlu diberikan nasihat dan
29. 29
edukasi mengenai; pengobatan untuk faktor resiko yang dapata diubah
termasuk pemberhentian merokok, mengobati komorbiditas, strategi
nonfarmakologi yang meliputi olahraga, rehabilitasi serta vaksinasi,
strategi pengaturan diri yang tepat, serta rutin kontrol (GINA, 2018).
H. Diagnosis Banding
Tabel 5. Diagnosis Banding PPOK
I. Penatalaksanaan
Terapi farmakologi berdasarkan sistem grading GOD menggunakan grup
ABCD adalah sebagai berikut (GOLD,2018) :
31. 31
a) Farmakologis (PDPI, 2015)
a) Bronkodilator
Pasien dengan PPOK mendapatkan terapi berupa bronkodilator yang
dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, sedangkan
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting). Macam - macam
bronkodilator (Wedzicha, 2011):
(1) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari). Obat yang termasuk golongan antikolinergik di antaranya
yaitu atrovent. Efek samping obat ini yaitu sifatnya yang
mengentalkan dahak dan dapat pula menyebabkan takikardia.
Selain itu, dapat pula menyebabkan mulut kering, obstipasi, sukar
berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan akomodasi.
Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.
(2) Golongan agonis beta -2 (adrenergik)
Mekanisme kerjanya adalah dengan menstimulasi reseptor b2 di
trakea dan bronkus yang kemudian menyebabkan aktivasi enzim
adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat
(ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin monophosphat
(cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-
proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel
menghasilkan efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan
mediator oleh sel mast.Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk injeksi
32. 32
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Contoh obat
yang termasuk golongan ini yaitu salbutamol.
(3) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh
obat yang termasuk golongan ini adalah aminofilin dan teofilin.
Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.
c) Ekspektoran
Gunakan obat batuk hitam (OBH)
d) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein).
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
e) Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan iritatif.
b) Non Farmakologis (PDPI, 2015)
a) Edukasi
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
Pengetahuan dasar tentang PPOK
33. 33
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari faktor pencetus
Penyesuaian aktivitas
b) Pengurangan pajanan faktor risiko
Pengurangan paparan asap rokok, debu pekerjaan, bahan kimia
dan polusi udara indoor maupun outdoor, termasuk asap dari memasak
merupakan tujuan penting untuk mencegah timbul dan perburukan
PPOK.
c) Berhenti Merokok
Berhenti Merokok merupakan intervensi yang paling efektif untuk
mengurangi risiko pengembangan PPOK, maka nasihat berhenti
merokok dari para profesional bidang kesehatan membuat pasien lebih
yakin untuk berhenti merokok.
d) Nutrisi
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat diberikan
dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan
meningkatnya derajat sesak.
e) Rehabilitasi
Latihan bernapas dengan pursed-lips
Latihan ekspektorasi
Latihan otot pernapasan dan ektremitas
c) Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi (PDPI, 2015)
Eksaserbasi PPOK terbagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan derajat ringan diatasi di poliklinik rawat jalan. Derajat
sedang dapat diberikan obat-obatan perinjeksi kemudian dilanjutkan
dengan peroral. Sedangkan pada eksaserbasi derajat berat obat-obatan
diberikan intra vena untuk kemudian bila memungkinkan dirujuk ke
rumah sakit yang lebih memadai setelah kondisi daruratnya teratasi.
Gejala eksaserbasi :
a) Sesak bertambah
b) Produksi sputum meningkat
34. 34
c) Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
a) Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b) Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c) Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
Penyebab eksaserbasi akut
1. Primer :
a. Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
2. Sekunder :
a. Pnemonia
b. Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
c. Emboli paru
d. Pneumotoraks spontan
e. Penggunaan oksigen yang tidak tepat
f. Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak
tepat
g. Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
h. Nutrisi buruk
i. Lingkunagn memburuk/polusi udara
j. Aspirasi berulang
k. Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang
dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah
oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara :
1. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk
nebuliser
2. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
35. 35
3. Menambahkan mukolitik
4. Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke
dokter. Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan
secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU
Penatalaksanaan di poliklinik rawat jalan
Indikasi :
1. Eksaserbasi ringan sampai sedang
2. Gagal napas kronik
3. Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik
4. Sebagai evaluasi rutin meliputi :
a. Pemberian obat-obatan yang optimal
b. Evaluasi progresifiti penyakit
c. Edukasi
Penatalaksanaan rawat inap
Indikasi rawat :
1. Esaserbasi sedang dan berat
2. Terdapat komplikasi
3. infeksi saluran napas berat
4. gagal napas akut pada gagal napas kronik
5. gagal jantung kanan
Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :
1. Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara
evaluasi klinis yang tepat dan terapi adekuat
2. Terapi oksigen dengan cara yang tepat
3. Obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intrvena dan nebuliser
4. Perhatikan keseimbangan asam basa
5. Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang
36. 36
6. Rehabilitasi awal
7. Edukasi untuk pasca rawat
Penanganan di gawat darurat
1. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya
- Infeksi saluran napas
- Gangguan keseimbangan asam basa
- Gawat napas
2. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU
Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum
memerlukan ventilasi mekanik)
1. Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser
2. Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask
3. Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
4. Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik
Indikasi perawatan ICU:
1. Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang
rawat
2. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi
3. Setelah pemberian osigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan
4. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)
Tujuan perawatan ICU
1. Pengawasan dan terapi intemsif
2. Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi
mekanik yang tepat
3. Mencegah kematian
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah
mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal
napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah
kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
37. 37
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat,
ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg
atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup
dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau
32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat
mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan
Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil
ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasiantibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide,
bila ringan dapat diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan
dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator
lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai
38. 38
oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter
untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan
xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena
mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser,
dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari
selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena.
Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih
baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan
mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom.
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan
ventilasi mekanik dengan intubasi
6. Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera
dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan
ventilasi mekanik.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :
- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
39. 39
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma,
efusi pleura dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
J. Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan
secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal
dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi
oleh karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung atau emboli paru
(Kusumawati, 2013).
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal nafas :akut atau kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonale
4. Pnuemothorax
40. 40
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013, Riset Kesehatan Dasar
2013, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention ofchronic
obstructive pulmonary disease. National Institutes of Health. National Heart,
Lung and Blood Insitute.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2013. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di
IndonesiaJakarta : PDPI.
World Health Organization (WHO). 2008. Chronic obstructive pulmonary disease
(COPD).
Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir
Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65