Jual Obat Aborsi Sorong, Wa : 0822/2310/9953 Apotik Jual Obat Cytotec Di Sorong
Optimisme pemerintah lepas dari resesi
1. OPTIMISME PEMERINTAH MAMPU MENCEGAH RESESI EKONOMI
(Sebuah Analisis Sederhana), oleh: Muhardi Karijanto, SE MM.
PERMASALAHAN
Menurut release Badan Pusat Statistik (Rabu (5/8/2020), PDB triwulan II (Q2
2020) atas dasar harga berlaku Rp 3.687,7 triliun, yg berarti pertumbuhan
ekonomi Indonesia kuartal II mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen year on
year (yoy). Angka ini memburuk dari Q1 2020 yang mencapai 2,97 persen dan
Q2 2019 yang mencapai 5,05 persen.
Kontraksi sebesar 5,32% itu merupakan yang terendah sejak triwulan I tahun
1999. Ketika itu, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 6,13%.
Pertumbuhan ekonomi Q2 2020 ini juga yang terburuk sejak krisis 1998. Waktu
itu pertumbuhan Indonesia minus 16,5 persen sepanjang 1998. Sementara itu
pada Q2 2008 lalu, saat krisis finansial global melanda, Indonesia masih
sanggup tumbuh 2,4 persen. Lalu secara keseluruhan sepanjang tahun pada
krisis 2008, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6,1 persen.
Pengumuman BPS ini juga mengonfirmasi kontraksi Q2 2020 lebih dalam dari
prediksi Kemenkeu dan BI di kisaran minus 3,8 - 5,1 persen. Meski demikian,
secara teknikal Indonesia belum mengalami resesi karena pada Q1 2020 PDB
Indonesia masih mengalami pertumbuhan positif 2,97 persen.
Dibandingkan 9 negara lain yg telah terkonfirmasi resesi, yaitu: Amerika Serikat
(minus 32,9 persen), Korea Selatan (minus 4,6 persen), Singapura (minus 41,2
persen), Hongkong (minus 9 persen dalam 4 kuartal berturut-turut), Filipina
(minus 16,5 persen), Jerman (minus 12,3 persen), Jepang (minus 10,6 persen
dalam 2 kuartal berturut-turut), Perancis (minus 5,8 persen), Italia (minus 4,7
persen) kondisi perekonomian Indonesia masih jauh lebih baik.
Di kawasan Asean, selain Singapura dan Filipina, diramalkan oleh para
pengamat ekonomi Thailand dan Malaysia juga akan segera menyusul
memasuki resesi
Dilihat dari sisi pengeluaran, terjadinya kontraksi Q2 2020 terutama
disebabkan oleh:
1. Konsumsi rumah tangga (C) yang memiliki porsi 57,85 persen dari PDB
tumbuh minus 5,51 persen;
2. 2. Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) atau indikator investasi (I) yang
menyumbang 30,61 persen dari PDB juga minus 8,61 persen.
3. Konsumsi pemerintah (G) dengan porsi 8,67 persen dari PDB tumbuh
minus 6,9 persen.
4. Konsumsi Lembaga Non-Profit (C) yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT)
dengan porsi 1,36 persen tumbuh minus 7,76 persen.
5. Sebagian besar sektor-sektor lain juga mencatat mengalami
pertumbuhan negatif, rata-rata 1 persen.
Alhamdulilah, pada Q2 2020 ini, dilihat dari sisi lapangan usaha, masih ada
beberapa lapangan usaha yg mengalami pertumbuhan positif, antara lain
informasi dan komunikasi, jasa keuangan, pertanian, real estate, jasa
pendidikan, jasa kesehatan, dan pengadaan air. Meskipun lapangan-lapangan
usaha tersebut kontribusinya sangat kecil dalam pembentukan PDB, namun
membuktikan perekonomian kita masih memiliki secercah cahaya untuk
banhkit kembali (rebound) pada Q3 2020.
Ekspor yang memegang porsi 15,69 persen PDB tumbuh minus 11,66 persen.
Impor dengan porsi 15,52 persen tumbuh minus 16,96 persen. Atau dengan
kata lain (X-M) tumbuh positif 5,3 persen
KEBIJAKAN
Sesuai UU No. 2/2020, Presiden sudah menandatangani Perpres 72/2020,
Jumat (26/6/2020), tentang Perubahan Kedua APBN 2020, dimana
komposisinya diubah dengan perkiraan
defisit anggaran ditetapkan sebesar 6,34% atau setara Rp 1.039,2 triliun
terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka defisit didapat lantaran
pemerintah menetapkan target pendapatan negara sebesar Rp 1.699,9 triliun
dan belanja negara sebesar Rp 2.739,1 triliun, dimana di dalamnya termasuk
Rp 695,2 triliun untuk penanganan Covid-19.
Target pendapatan negara yang mencapai Rp 1.699,9 triliun ini mengalami
penurunan 3,46% dari target yang tertera pada Perpres 54/2020 yang sebesar
Rp 1.760,9 triliun. Sedangkan anggaran belanja yang sebesar Rp 2.739,1 triliun
mengalami peningkatan 5% dibandingkan dengan target di Perpres 54/2020.
3. PELAKSANAAN KEBIJAKAN
Berdasarkan evaluasi baik terhadap realisasi anggaran K/L dan dana khusus
covid 19 sampai kuartal II dirasa sangat menyedihkan. Dimana dari dana
alokasi K/L dan Dana Transfer ke Daerah yg sebesar Rp 2.043,9 triliun baru
berkisar 22% atau sebesar Rp. 449,66 triliun, sedangkan dana covid lebih
menyedihkan lagi, yaitu baru 20,19% atau sebesar Rp. 140,36 triliun. Itu
artinya, sampai dengan berakhirnya kjuartal II 2020, masih terdapat dana
sebesar Rp 1.596,24 triliun di K/L/Pemda, dan Rp 554,84 triliun dana khusus
covid 19 yg belum didisbursment.
Lambannya pencairan dana khusus covid 19 dan juga alokasi anggaran
K/L/Pemda dipercaya menjadi salah satu BIANG KEROK terjadinya kontraksi
pada perekonomian Q2 2020.
Menyadari kelambanan tsb Presiden menerbitkan Perpres no.82/2020 ttg
Komite Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yg
mensinergikan upaya penanganan Covid 19 berjalan parallel dengan
pemulihan ekonomi.
Diharapkan keterpaduan penanganan Covid 19 dengan pemulihan ekonomi ini
mampu menyalakan sinergi yg kuat di antara 18 sektor yg tercakup dalam
Komite, mampu melenyapkan ego sektoral sehingga akhirnya mampu
menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi.
ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH
Untuk mencegah terjadinya resesi ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi Q3
2020 harus positif. Dengan kata lain PDB Q3 2020 nilainya harus sama atau
lebih besar dari PDB Q3 2019 seb Rp 4.067,8 triliun atas harga yg berlaku.
Menurut Hukum Pareto Optimum, komponen PDB dari sisi pengeluaran yg
harus didorong peningkatannya secara optimal adalah:
1. Konsumsi rumah tangga (C) 57,85
2. Investasi (I) 30,61%
3. Belanja Pemerintah (G) 8,67%
4. Karena C + I + G ini kontribusinya terhadap PDB 97,13% sehingga peningkatan
pengeluaran di tiga komponen tsb akan berdampak sangat signifikan sekali
terhadap pertumbuhan PDB.
Pemerintah dapat mendorong C dan G dengan cara melecut K/L/Pemda dan
Komite Covid 19/PEN agar pada Q3 2020 ini membelanjakan anggaran nya
seoptimal mungkin, dari seluruh sisa dana yg masih ada dalam APBN, yaitu seb
Rp 1.596,24 triliun di K/L/Pemda, dan Rp 554,84 dana khusus Covid 19 atau
total sebesar Rp. 2.151,08 triliun.
Karena dengan G yg bersifat stimulus kepada golongan miskin dan jaring
pengaman sosial akan memiliki multiplier effect yg dapat melipatgandakan
konsumsi rumah tangga (C). Sebagai Negara yg sudah menuju lepas landas,
perekonomian Indonesia sebagian besar didorong oleh konsumsi rumah
tangga (Consumption Driven Economic) Sektor Konsumsi Rumah Tangga (C) ini
memiliki kontribusi yg signifikan terhadap PDB disamping menjadi katalisator
sektor-sektor lainnya.
Maka pemerintah harus berkonsentrasi penuh dan sungguh-sungguh untuk
meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini dari -5,51% menjadi
tumbuh positif atau minimal 0% agar menyamai nilai PDB Q3 2019 sebesar Rp
4.067,8 triliun atau lebih.
Rendahnya penyerapan APBN pada triwulan II 2020 memberikan hikmah
sendiri, karena dengan demikian kita masih memiliki ruang fiskal yg longgar
untuk menggelontorkan berbagai pengeluaran yg bersifat stimulus baik ke sisi
demand agar masyarakat tetap memiliki daya beli, maupun insentif korporasi
ke sisi supply sehingga dunia usaha tetap bisa berproduksi dan ekonomi sektor
riil tetap bisa bertumbuh. Kedua sisi harus dilakukan treatment secara
seimbang, karena ketidakseimbangan justru dapat mengakibatkan inflasi
ataupun deflasi.
Keseimbangan antara bertambahnya uang yg beredar di masyarakat sebagai
akibat pemberian berbagai stimulus berupa bantuan sosial, padat karya, kartu
prakerja, tambahan penghasilan kepada karyawan yg bergaji rendah, gaji ke-13
buat PNS/pensiunan dll harus juga diikuti dengan insentif korporasi berupa
pemberian hibah kepada usaha mini mikro, dan subsisi barang modal, subsidi
bunga, restrukturisasi pinjaman, pengurangan/penundaan pembayaran pajak
dll kepada UMKM agar dunia usaha kecil dan menengah dapat memulai
berproduksi kembali.
5. Ketika perekonomian mengalami proses adaptasi dan penyesuaian ekonomi
terhadap kondisi kenormalan baru akibat pandemic covid 19, tentu
berpengaruh terhadap faktor-faktor produksi, pola konsumsi, dan rantai
distribusi yang eksisting. Maka respons kebijakan serta aturan baru yang
dikeluarkan oleh Otoritas fiskal maupun moneter harus sama sekali berubah
dan lain dari biasanya. Dalam ilmu ekonomi makro untuk memulihkan
perekonomian yg menghadapi lingkungan strategis yg berubah harus dilakukan
upaya extra ordinary adalah merupakan elemen standar, seluruh respons
kebijakan untuk menanggulangi resesi harus sama sekali berbeda dari kondisi
business as usual.
Seluruh Menteri, Komite Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi
Nasional bersama masyarakat dan dunia usaha harus bekerja keras mengelola
aspek tenaga kerja, barang modal, dan sumber daya produktif lainnya seaman
mungkin mengikuti kaidah-kaidah yg berlaku dalam kenormalan baru dengan
disiplin yg ketat agar pelaksanaan proses produksi, konsumsi dan distribusi
tidak justru memperparah upaya percepatan penanganan pandemic covid 19
yg sedang berlangsung.
Pertanyaannya sekarang adalah berapa besar dana yang harus digelontorkan
pemerintah (G) pada Q3 2020 agar dapat menyamai capaian PDB Q32019
sebesar Rp 4.067,8 triliun.
Jawabannya tergantung kepada berapa besar angka pengganda fiskal (Fiscal
Multiplier Effect) yg berjalan pada saat itu. Dengan asumsi angka pengganda
fiskal triwulan III ini tidak berubah (citeris paribus) yaitu mengacu pada Q2
2020 yg sebesar 6,25, maka untuk mendapatkan PDB sebesar Rp 4.067,8
triliun, government spending pada triwulan III 2020 ini minimal sebesar Rp
650,85 triliun, yaitu diperoleh dari 4.067,8 triliun dibagi 6,25 (angka pengganda
fiskal).
Dengan sisa pagu dana APBN sebesar lebih dari Rp 2.150 triliun, maka jika
Pemerintah mampu menyerap 50% saja, meski jika turn over transaksi barang
dan jasa pada triwulan III 2020 lemah dan angka pengganda fiskal pada Q3
2020 ini turun menjadi hanya sebesar 4, maka Pemerintah tetap dapat optimis
pertumbuhan PDB pada Q3 2020 ini akan tumbuh positif sebesar 5,7%. Yaitu 4
x (50% dari Rp. 2.150 triliun) = Rp 4.300 triliun. Itu artinya PDB mampu tumbuh
sebesar Rp 232,2 triliun dibandingkan Q3 2019 atau sebesar 5,7%.
6. Semoga semua Kementerian dan Lembaga Pemerintah beserta segenap
komponen bangsa mendukung pekerjaan Komite Penanganan Covid 19 dan
Pemulihan Ekonomi Nasional sehingga negara kita selamat dari resesi
ekonomI.