AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 16 juli 2016-30 agustus 2016
1. 1
DAFTAR ISI
TAHUN PELAJARAN BARU: KEMBALI KE K-13
Sukemi 4
DUNIA MAYA DAN UJIAN KEINDONESIAAN KITA
Indra Gunawan 8
MAKNA HIDUP
Sarlito Wirawan Sarwono 11
BAKDA(N) DAN LEBAR(AN)
Bandung Mawardi 13
MAKANAN BERFORMALIN, VAKSIN PALSU, DAN DEMORALISASI
Posman Sibuea 15
TUHAN PASCA-RAMADAN
Faisal Ismail 18
PREDATOR BALITA DI BALIK SKANDAL LAYANAN MEDIS
Bambang Soesatyo 21
LAGI-LAGI PALSU
Rhenald Kasali 24
DI BALIK DEMAM GAME POKEMON GO
Rahma Sugihartati 27
MACET
Komaruddin Hidayat 30
POKEMON GO
Sarlito Wirawan Sarwono 32
TEROR DAN MASYARAKAT ILMU
Benni Setiawan 35
AKHIRI KEKERASAN PADA ANAK
Rita Pranawati 37
PSIKOLOGI KEMATIAN
Komaruddin Hidayat 40
MENTERI YANG BIJAK DAN JENAKA
Mohamad Sobary 42
JAM KARET
2. 2
Sarlito Wirawan Sarwono 45
UPAYA MENGELOLA INTOLERANSI
Bagong Suyanto 48
KEBUDAYAAN SEBAGAI RUANG HIDUP
Mudji Sutrisno 51
VAKSIN PALSU KEJAHATAN NON-KONVENSIONAL
Reza Indragiri Amriel 54
JADILAH AIR YANG JERNIH
Komaruddin Hidayat 57
CATATAN DARI PENGGANTIAN ANIES
Syafiq Basri Assegaff 59
DOA DI MUSIM PANEN
Mohamad Sobary 62
HARAM DAN HALAL
Sarlito Wirawan Sarwono 65
GIZI ANAK SEKOLAH
Arif Satria 67
MENGUNGKIT BUDAYA RISET
Ali Khomsan 70
MEDIA SOSIAL DAN KERUSUHAN SOSIAL
Iswandi Syahputra 73
SEKOLAH MEMBELENGGU ATAU MENCERAHKAN?
Rakhmat Hidayat 76
FULL DAY SCHOOL
Rhenald Kasali 79
FULL DAY SCHOOL
Komaruddin Hidayat 83
MENCIPTAKAN PARA EMPU KEHIDUPAN
Mohamad Sobary 85
GURU MAIN TANGAN, PIDANA TURUN TANGAN
Reza Indragiri Amriel 88
SEKOLAH SEHARI PENUH
Benni Setiawan 91
3. 3
INSYA ALLAH
Sarlito Wirawan Sarwono 93
HIDUP MERDEKA MEMBAWA BERKAH
Eddy Soeparno 95
KEMERDEKAAN DI TAPAL BATAS
Hendrik Kawilarang Luntungan 98
HARI KEMERDEKAAN KITA
Mohamad Sobary 101
PUISI DAN BIOGRAFI
Bandung Mawardi 104
TIGA DARA
Sarlito Wirawan Sarwono 107
AGUSTUSAN DAN MULTIKULTURALISME
Biyanto 110
MERDEKA DARI KEMALASAN
Rita Pranawati 113
MERDEKA MENDIDIK SISWA
Jejen Musfah 116
MENGENANG TOKOH ‘66
Komaruddin Hidayat 119
SCOPUS, KAPITALISME, DAN GURU BESAR
Tirta N Mursitama 121
BERSEKUTU DENGAN TANAH SABRANG
Mohamad Sobary 124
JALAN ILEGAL KE TANAH SAKRAL
Faisal Ismail 127
“PERSELISIHAN” DI SEKITAR KAKBAH
Sururi Alfaruq 130
DILEMA STATUS RSUD
Dewi Aryani 132
PREDATOR DIKEBIRI, KORBAN DIAPAKAN?
Reza Indragiri Amriel 135
PERLINDUNGAN ANAK DARI KEJAHATAN SEKSUAL
Asrorun Ni’am Sholeh 138
4. 4
Tahun Pelajaran Baru: Kembali ke K-13
16-07-2016
Senin (18/7), dalam kalender akademik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
dinyatakan sebagai dimulainya tahun pelajaran baru 2016-2017 bagi peserta didik. Baik di
jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan anak usia dini atau lebih akrab
dikenal sekolah taman kanak-kanak.
Dalam tiap kali memasuki tahun pelajaran baru dapat dipastikan ada sesuatu hal baru yang
menyertainya. Minimal suasana kelas dan seragam sekolah yang mungkin berganti dengan
yang baru. Tapi pada tahun pelajaran baru kali ini tidak hanya itu yang baru.
Dilaksanakannya kembali Kurikulum 2013 (K-13), kiranya perlu dicatat sebagai sesuatu yang
baru pula, dan menjadi momentum atas apa yang selama ini menjadi perdebatan panjang di
dunia pendidikan.
Disebut sebagai momentum, karena di awal Menteri Anies Baswedan menerima amanah
sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud), telah diputuskan untuk
menghentikan implementasi K-13 secara menyeluruh di sekolah. Implementasi hanya
dilakukan pada enam ribuan sekolah saat itu. Itu pun, sekolah yang merasa keberatan boleh
kembali ke Kurikulum 2006 (KTSP).
Karena itu, jika kini kembali pada K-13, tentu sebagian masyarakat bertanya-tanya, apa yang
melatarbelakanginya sehingga keputusan penghentian secara menyeluruh itu dibatalkan dan
kembali kepada K-13, yang dibahasakan sebagai kurikulum nasional? Menjadi benarkah
terkait dengan konsep K-13 yang sebelumnya diperdebatkan itu?
Tentu sederet pertanyaan bisa muncul. Tapi tulisan berikut tidak hendak memberi jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Melainkan lebih pada mengulas sedikit terhadap konsep
K-13 sekaligus memaparkan tentang hasil evaluasi terkait dengan K-13 dan perubahan
signifikan yang menyertainya, sehingga K-13 mengalami beberapa penyempurnaan.
Substansi Tetap
Memang diberlakukannya K-13 pada tahun pelajaran ini tidak menyeluruh pada tiap satuan
pendidikan atau sekolah. Melainkan baru pada 19% dari populasi sekolah yang berada di
kelas 1, 4, 7, dan 10, serta 6% dari populasi sekolah pada semua kelas, dengan total sekitar
38.453 sekolah di jenjang SD, SMP, SMA, SMK, dan PKLK (sumber: Paparan Kabalitbang
Kemendikbud ”Dinamika Perkembangan Kurikulum 2013” ). Dengan kriteria sekolah
terakreditasi A, minimal B bagi kabupaten/kota yang tidak memiliki berakreditasi A, tersedia
5. 5
guru untuk semua kelas/mata pelajaran, dan jumlah ruang kelas sesuai dengan jumlah
rombongan belajar, serta representasi wilayah pada kabupaten/kota.
Harus diakui, dalam hal mengalami beberapa penyempurnaan, secara substantif K-13
sesungguhnya tidak berubah. Artinya, pendekatan pembelajaran yang menekankan pada
kemampuan belajar dan berinovasi pada peserta didik seperti, kemampuan berpikir kritis dan
penyelesaian masalah; kreatif dan inovatif; komunikasi; dan kolaborasi, tetap menjadi pijakan
utama K-13. Demikian juga yang terkait dengan pendidikan karakter, tetap melekat pada
hasil evaluasi K-13.
Apa artinya? Saya menerjemahkannya bahwa pertentangan sebelumnya yang begitu tajam
dan bahkan ada upaya untuk melakukan penolakan, ternyata menemui pembenar dan pijakan
yang diambil dalam memutuskan K-13 di awal dahulu benar adanya. Lebih dari itu,
pendekatan mata pelajaran tematik-terpadu yang sebelumnya menjadi perdebatan
berkepanjangan, juga tetap dipertahankan pada jenjang kurikulum SD. Dan konon kabarnya,
Finlandia yang sering dijadikan contoh sebagai salah satu negara dengan pendidikan terbaik
di dunia, perkembangan terbaru telah pula mengubah pendekatan mata pelajarannya menjadi
tematik-terpadu.
Dalam hal pembelajaran tematik-terpadu di tingkat SD, untuk menyebutkan sekadar contoh
begitu amat penting. Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa anak melihat dunia sebagai
suatu keutuhan yang terhubung, bukannya penggalan-penggalan lepas dan terpisah. Itu
sebabnya mata pelajaran (mapel) sekolah dasar dengan definisi kompetensi berbeda
menghasilkan banyak keluaran yang sama.
Ke depan keterkaitan satu sama lain antarmapelmapel SD akan menyebabkan keterpaduan
konten pada berbagai mapel. Dan ke depannya lagi, siswa akan terbiasa mengaitkan antar
mapel untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa, sebagai modal membangun
masyarakat.
Penyempurnaan yang dirasakan paling signifikan ada pada cara penilaian. Jika sebelumnya
menggunakan skala angka satu sampai empat, kini penilaian menggunakan angka nol hingga
seratus. Sedangkan penilaian terhadap sikap yang terdiri atas sikap spiritual dan sikap sosial
yang sebelumnya menjadi beban semua guru mata pelajaran, kini penilaian sikap itu hanya
pada mata pelajaran Pendidikan Agama-Budi Pekerti dan mata pelajaran PPKn, yang
penilaian terhadap sikap spiritual dan sosial dilaksanakan melalui pembelajaran langsung dan
tidak langsung. Sedangkan pada mata pelajaran selain mata pelajaran Pendidikan Agama-
Budi Pekerti dan mata pelajaran PPKn, pembelajaran sikap spiritual dan sosial dilaksanakan
melalui pembelajaran tidak langsung.
Perlu Disambut Gembira
Tapi apa pun penyempurnaan terhadap K-13, kiranya perlu disambut gembira. Harus
disadari, kondisi bangsa ini dengan segala kekiniannya, membutuhkan ”kendaraan”
6. 6
Kurikulum 2013 untuk menata berbagai aspek melalui sektor pendidikan. Karena begitu
pentingnya K-13, kurikulum ini sesungguhnya bukan kurikulum program kementerian, tapi
kurikulum yang menjadi program pemerintah.
Kurikulum yang bukan hanya untuk menyiapkan dan membangun secara personal peserta
didik dalam tiga aspek yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, melainkan kurikulum
yang disiapkan untuk membangun masyarakat dan membangun peradaban, sehingga menjadi
bangsa yang efektif di dalam menghindari tiga penyakit sosial; kemiskinan, ketidaktahuan,
dan keterbelakangan peradaban.
Itu sebabnya, K-13 juga menekankan betapa pentingnya penerapan pendidikan karakter,
dalam kerangka membentuk insan yang bermartabat dan berwibawa. Kondisi aktual berkait
dengan kekerasan seksual terhadap anak usia sekolah dan kenakalan remaja, serta maraknya
praktik ketidakjujuran, telah mendorong K-13 untuk memberikan perhatian lebih terhadap
pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti.
Karena tiap mata pelajaran memberikan kontribusi terhadap sikap, pengetahuan, dan
keterampilan, maka pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti bukan
menjadi tanggung jawab guru pengampu mata pelajaran itu, tapi tanggung jawab
bersama. Artinya, pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti tidak
hanya diajarkan secara normatif, tetapi lebih ke fungsional dan implementatif, yang dalam
hasil evaluasi didefinisikan sebagai ”dilaksanakan melalui pembelajaran tidak langsung”.
Yang jelas, K-13 telah disiapkan sedemikian rupa untuk mengantisipasi perubahan-perubahan
terhadap kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan perkembangan masyarakat, ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni budaya pada tataran lokal, nasional, regional, dan global di
masa depan.
Jenlink (1995) mengungkapkan bahwa the future will be dramatically different from the
present, and it is already calling us into preparation for major changes being brought to life
by forces of change that will require us to transcend current mindsets of the world we know --
masa depan akan berbeda secara dramatis dari masa sekarang, dan itu sudah menuntut kita
mempersiapkan untuk perubahan penting yang sedang terjadi pada kehidupan kita dengan
kekuatan perubahan yang akan memerlukan kita mengalihkan pola pikir kita sekarang
tentang dunia yang kita ketahui.
Pendidikan dan dalam hal ini kurikulum sebagai the heart of education (Klein, 1992) harus
mempersiapkan generasi bangsa yang mampu hidup dan berperan aktif dalam kehidupan
lokal, nasional, dan lokal yang mengalami perubahan dengan cepat tersebut.
Sebagaimana diungkapkan oleh Oliva (1982), kurikulum perlu memperhatikan perubahan-
perubahan yang terjadi di masyarakat, ilmu pengetahuan, kepemimpinan, dan politik. Di
sinilah sesungguhnya desain Kurikulum 2013. Fakta-fakta inilah yang harus dijadikan
momentum perubahan dalam implementasi Kurikulum 2013. Semoga!
8. 8
Dunia Maya dan Ujian Keindonesiaan Kita
16-07-2016
Belakangan ini di kalangan netizen, isu mengenai kemajemukan Indonesia memanas pasca-
kasus razia terhadap sejumlah warung makan di berbagai daerah pada Ramadan. Serupa tapi
tak sama, kemajemukan Indonesia juga dibombardir dengan isu politik identitas yang
mengangkat perbedaan SARA dalam proses perebutan kursi DKI 1.
Terlepas dari pro-kontra mengenai perda yang menjadi dasar razia warung makan, serta siapa
yang tepat untuk menduduki kursi DKI 1, sesungguhnya tampak ada gelombang opini yang
ingin menggiring pandangan kita bahwa kian lama Indonesia dipahami, meski secara tersirat,
sebagai suatu kumpulan ”federasi agama atau etnis” yang dengan sendirinya mereduksi
semangat keindonesiaan. Hal ini merupakan ujian bagi keindonesiaan kita sebagai bangsa
yang majemuk.
Pandangan sempit yang memilah penduduk Indonesia berdasarkan etnis dan agama
melahirkan suatu pendekatan yang soliteris sekaligus ahistoris terhadap identitas
keindonesiaan kita, yaitu pandangan kerdil yang menganggap bahwa penduduk Indonesia
hanya sebagai sekumpulan orang yang berbeda agama, etnis, atau pun golongan sosial lain.
Pendekatan di atas tidak hanya berlawanan dengan slogan yang seringkali didengungkan
bahwa ”kita umat manusia semuanya sama”, namun juga bertentangan dengan pandangan
yang jauh lebih masuk akal, dan secara historis menjadi semboyan keindonesiaan kita, yaitu
Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetap satu juga.
Politik Identitas dalam Kemajemukan
Bagi kemajemukan bangsa Indonesia, pandangan reduksionis ini rentan menjadi embrio bagi
lahirnya tindak kekerasan atas nama agama atau etnis. Amartya Sen (2006) melihat bahwa
rasa keterikatan yang kuat (dan seringkali eksklusif) pada suatu identitas kelompok juga
mengandung sebuah persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari identitas kelompok
lain. Sehingga, kekerasan dapat dipicu dengan ada pandangan sempit penuh permusuhan
yang digelorakan oleh para provokator dalam masyarakat majemuk. Sebagaimana saat ini
merupakan gejala yang marak mengiringi perdebatan netizen Indonesia di dunia maya.
Pada sudut pandang yang lain, Robert D Putnamm (2000) melihat bahwa kuatnya identitas
komunal dalam suatu komunitas dapat membuat kehidupan di komunitas tersebut menjadi
lebih baik, yang kemudian dipandang sebagai sebuah modal sosial. Meski demikian, pada
bangsa Indonesia yang majemuk, pandangan ini harus dipahami lebih dalam bahwa suatu
komunitas yang terintegrasi dengan baik, yang di dalamnya para anggotanya bergotong-
9. 9
royong dengan tingkat solidaritas yang tinggi, kerapkali merupakan komunitas yang
melemparkan pandangan kebencian kepada komunitas di luar mereka. Alhasil, manfaat yang
timbul dari sikap inklusif dapat bergandengan tangan dengan permusuhan yang timbul dari
sikap eksklusif.
Dalam pembahasan ini, penting kiranya untuk menyimak pemikiran Clifford Geertz (1996),
seorang ilmuwan yang banyak melakukan penelitian di Indonesia, mengenai primordial
sentiment, yaitu proses bagaimana identitas komunal diaktifkan untuk memperoleh kekuasaan
dalam bangsa majemuk, terutama identitas yang berkaitan dengan etnis, agama, ras, dan
golongan sosial lainnya.
Fenomena politik identitas dalam bangsa majemuk juga dibahas oleh Jack Snyder (2003),
dalam penelitiannya di negara-negara Asia Tenggara, mengembangkan konsep mengenai
nasionalisme SARA, yaitu solidaritas yang dibangkitkan berdasarkan persamaan agama,
etnis, budaya, bahasa, sejarah, dan lainnya dalam era demokratisasi di negara-negara Asia
Tenggara.
Senada dengan Geertz dan Snyder, Ghosal (2004) menyatakan bahwa proses demokratisasi di
Indonesia diwarnai dengan munculnya fenomena kebangkitan identitas etnis, agama, dan
sentimen primordialisme lain. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa proses ini ibarat membuka
kotak pandora yang membawa serangkaian peristiwa konflik komunal bernuansa etnis dan
agama di berbagai daerah di Indonesia seperti di Ambon, Poso, Sambas, dan Sampit. Hingga
upaya separatisme Aceh dan Papua.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat disepakati bahwa hakikat politik identitas
adalah politics of different, yang didasarkan pada pencarian perbedaan identitas SARA. Serta,
dalam era demokratisasi, politik identitas mengalami kebangkitannya yang seringkali
digunakan untuk mengukuhkan perbedaan etnis, agama, dan golongan sosial lain.
Jika dicermati, gejala politik identitas ini masih sangat relevan mewarnai kehidupan bangsa
Indonesia. Khususnya pada dunia maya, yang menjadi lahan luas untuk menebar isu
kebencian SARA yang dapat mengancam kebinekaan bangsa Indonesia.
Upaya Cyber Patrol
Meskipun gejala kebencian SARA secara dominan muncul di dunia maya, gejala ini tidak
dapat diabaikan begitu saja. Dalam pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini,
Shapiro dan Kulik (2004) mengembangkan konsep mengenai the growth of cyber disputing
untuk menangkap fenomena munculnya konflik komunal yang dibentuk dan dibangun
melalui dunia maya.
Penelitian tersebut menegaskan bahwa dalam dunia maya muncul pihak atau aktor anonim
”tidak berwajah” (faceless disputant) yang berupaya memprovokasi dan menyebarluaskan
opini (disffused voice) kebencian SARA. Lebih lanjut, Shapiro dan Kulik (2004) menyatakan
10. 10
bahwa cyber disputing mempunyai tingkat efektivitas yang luar biasa dalam menimbulkan
ketegangan hingga ancaman konflik komunal yang dapat mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, hal ini tentu perlu diwaspadai dan dideteksi secara
dini oleh aparat kepolisian sebagai penegak hukum, serta pemelihara keamanan dan
ketertiban di masyarakat. Karena itu, tepat kiranya Kepolisian Republik Indonesia merespons
gejala ini melalui Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 pada 8 Oktober 2015 tentang
penanganan ujaran kebencian (hate speech) di dunia maya. Sekalipun dalam Pasal 28 ayat (2)
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai
larangan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Meski demikian, surat edaran kapolri tersebut bertujuan membangun pemahaman, kepekaan,
serta prosedur penanganan bagi aparat kepolisian untuk merespons bentuk, aspek, dan media
ujaran kebencian yang digunakan oleh pihak-pihak dalam menyulut kebencian, diskriminasi,
kekerasan, hingga konflik komunal melalui dunia maya.
Dalam cakupan yang lebih luas, lebih dari satu dekade lalu Kepolisian Republik Indonesia
telah membentuk satuan khusus yang menangani cyber crime, yaitu bentuk kejahatan yang
ditimbulkan karena pemanfaatan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transaksi
elektronik. Dalam perkembangannya, cyber crime tidak hanya berwujud dalam kasus-kasus
penipuan, perjudian, dan bentuk kejahatan di dunia maya lain yang berhasil diungkap melalui
cyber patrol. Namun, juga terkait dengan ujaran kebencian yang bernuansa SARA yang
marak di kalangan netizen.
Karena itu, saat ini upaya cyber patrol juga diarahkan untuk memonitor dan mendeteksi
secara dini hal tersebut. Upaya ini merupakan respons adaptif dari Kepolisian Republik
Indonesia terhadap pesatnya perkembangan teknologi informasi, serta maraknya provokasi
isu kebencian SARA yang dapat mereduksi semangat keindonesiaan kita sebagai bangsa
yang majemuk.
KOMISARIS POLISI INDRA GUNAWAN SIK MH
Pasis Sespimen Angkatan 56
11. 11
Makna Hidup
17-07-2016
Tasbih adalah salah satu aksesoris untuk beribadah. Beberapa agama mengenal tasbih yang
gunanya untuk menghitung berapa kali kita sudah berdoa.
Dalam Islam, paling sering tasbih digunakan untuk berzikir. Karena yang dibaca dan diulang
dalam zikir adalah sebutan sebutan tertentu sebanyak 33 kali, tasbih yang berupa kalung yang
terdiri dari rangkaian manik-manik itu untuk agama Islam dibuat terdiri atas 33 manik-manik.
Ada juga yang terdiri atas 100 manik-manik, tetapi setiap manik-manik yang ke-33 dibuat
lebih besar atau bentuknya berbeda sebagai penanda untuk setiap putaran.
Sedangkan manik yang ke-100 dibuat lebih berbeda lagi sehingga dengan mata terpejam pun
si pendoa bisa mengetahui sudah mencapai tiga kali putaran (99 kali) untuk lanjut dengan
putaran berikut dan seterusnya.
Tetapi, zaman sekarang orang tidak selalu memerlukan tasbih lagi karena bisa dihitung
dengan alat penghitung-mekanik-genggam, yang biasa dipakai pramugari untuk menghitung
penumpang pesawat yang sudah boarding (saya menamakannya cekrekan karena bunyinya
”cekrek, cekrek, ...”). Atau bisa juga menggunakan tasbih digital, yang khusus atau pun yang
hanya memanfaatkan kalkulator di ponsel.
Sebagian besar muslim kalau salat bahkan tidak membawa-bawa tasbih (zikir biasanya
dilakukan sesudah salat). Hanya alim ulama atau yang sok alim membawa-bawa tasbih ke
mana-mana untuk menunjukkan identitasnya. Beberapa orang yang kaya raya, seperti
pangeran-pangeran dari Arab, membawa-bawa tasbih yang terbuat dari intan berlian, atau
emas murni, karena manik-manik tasbih biasa bisa dibuat dari sembarang bahan seperti kayu,
biji-biji kering, atau maksimal batu mulia. Orang biasa bahkan cukup menggunakan kuku jari
tangannya untuk menghitung. Tiga puluh tiga kali di tangan kiri, 33 kali pindah ke tangan
kanan dan seterusnya.
Di sisi lain, tasbih itu sendiri bisa diberi fungsi lain di antaranya sebagai aksesoris mobil.
Digantung di kaca spion mobil, bukan untuk dipakai kalau sewaktu-waktu salat Jumat di
jalan, tetapi sebagai hiasan saja atau sebagai penunjuk identitas diri pemilik mobil bahwa I
am a moslem.
Namun, yang paling ajaib, sepanjang pengetahuan saya, adalah ketika manik-manik tasbih
dilepas dari untaiannya dan disisipkan di lapisan bawah kulit penis (tentunya melalui
penyayatan yang sakit dan penuh risiko) dan dibiarkan di situ sehingga di bagian itu ada
12. 12
benjolan kecil, yang dipercaya bisa memberi kepuasan maksimal kepada lawan berhubungan
seks dan membuat si pemakai merasa dirinya lebih macho.
Gejala tasbih dalam penis ini ditemukan oleh rekan saya, Baby Jim Aditya, psikolog, aktivis,
relawan, dan peneliti masalah-masalah HIV/AIDS dan narkoba. Kamis pada 14 Juli 2016 dia
dipromosikan sebagai Doktor Psikologi di UI dengan saya sebagai promotornya.
Penelitiannya adalah tentang narapidana penderita HIV/AIDS yang rata-rata sekaligus
penyalahguna narkoba.
Dia mewawancara 12 narapidana seperti itu dan menemukan bahwa tujuh di antara mereka
berhasil membebaskan diri dari narkoba dan sekarang hidup bebas di luar penjara dan tidak
kembali ke penjara. Sedangkan yang lima lagi tetap bergantung pada narkoba dan keluar-
masuk penjara karena setiap kali bebas mereka melakukan tindak kriminal lagi demi
mendapatkan obat.
Pertanyaan Baby kemudian, faktor apa yang membedakan antara narapidana yang berhasil
membebaskan diri dari narkoba dan yang tidak? Temuan Baby Jim adalah makna hidup.
”Makna hidup” adalah sebuah teori psikologi yang dikembangkan oleh psikiater Yahudi
bernama Viktor Frankl ketika dia ditawan di kamp konsentrasi Nazi.
Dia belum dieksekusi di kamar gas ketika Perang Dunia II selesai dan melaporkan hasil
pengamatannya di dalam kamp, yaitu bahwa kebanyakan tawanan mati merana karena
perlakuan yang sangat tidak berperikemanusiaan. Tetapi, beberapa tawanan yang lain bisa
tetap bersemangat, bahkan bernyanyi sambil berbaris ke ruang gas.
Menurut Frankl, faktor yang memberi semangat itu adalah makna hidup (karena itu, buku
Frankl berjudul Mencari Makna Hidup). Makna hidup buat para tawanan Yahudi itu bisa
bermacam-macam seperti nasionalisme, iman pada Tuhan, harapan akan kebebasan, dan
sebagainya.
Makna hidup buat narapidana dalam penelitian Baby, yang berhasil bebas dari narkoba antara
lain, mau membahagiakan orang tua, ingin anak-istrinya terbebas dari HIV/AIDS yang
menular, atau bahkan sekadar ingin bisa bangun pagi dengan segar dan mencari sarapan,
tidak terus-terusan tergolek ketiduran sampai siang setiap hari. Tetapi, yang penting mereka
bekerja keras untuk mewujudkan makna hidupnya itu.
Lain halnya dengan para pecundang, mereka gagal karena malas mewujudkan mimpi mereka,
atau mereka sudah telanjur terlena dengan comfort zone mereka di dalam penjara (segala
sesuatu bisa di-”beli” di dalam penjara, termasuk seks dan narkoba tanpa perlu takut dikejar-
kejar polisi), Tak mengherankan buat mereka makna hidup yang paling kuat adalah manik-
manik tasbih di balik kulit penisnya dan mereka tidak pernah mau melepaskan itu.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Psikologi UI dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI
13. 13
Bakda(n) dan Lebar(an)
17-07-2016
”Dina prepegan, jaikoe koerang sedina saka bakda pasare rame banget. Akeh wong tetoekoe
pangan, sandangan,” dua kalimat di buku berjudul Tataran (1950) garapan R
Wignjadisastra.
Kita tak pernah mengetahui permulaan orang-orang di Jawa membuat sebutan “bakda” untuk
hari setelah menjalani puasa pada bulan Ramadan. Orang Jawa telah mahir melakukan
pemaknaan peristiwa agama menggunakan ungkapan-ungkapan berasal dari pelbagai bahasa.
Bakda itu Idul Fitri. Kita pun biasa memberi sebutan Lebaran. Tiga sebutan biasa digunakan
bergantian tanpa perlu ada sengketa makna dan tawuran definisi.
Di Baoesastra Melajoe-Djawa (1916) susunan Raden Sastrasoeganda, ”babada” berarti
”lebar”. Sebutan itu berasal dari bahasa Arab dengan pembuktian ke contoh: ”babada
soeboeh” berarti ”lebar soeboeh.” Sastrasoeganda tak memberi contoh berkaitan puasa atau
Idul Fitri. Contoh hari peringatan agama: ”babada hadji” berarti ”lebar moenggah hadji.”
Hari suci setelah sebulan berpuasa tak diterangkan atau dicantumkan sebagai contoh.
Di Jawa bakda atau babada sering digunakan untuk peringatan hari kemenangan setelah
puasa sebulan. Sebutan tambahan adalah Lebaran. Penerimaan sebutan bentukan “lebar”
menjadi Lebaran mungkin terjadi agak belakangan.
Orang Jawa mengartikan “lebar” itu setelah. Tahun demi tahun berlalu, lebar mengalami
proses kebahasaan, menjadi sebutan khas: Lebaran. Kita mengetahui sufiks “-an” itu
pembentuk nomina kegiatan berkenaan dengan pelaku atau tindakan oleh sekian orang.
Lebar berasal dari bahasa Jawa Kuna atau Kawi. S Wojowasito dalam Kamus Kawi-
Indonesia (1977) mengartikan lebar adalah habis, bubar, dan pergi. Penggunaan “lebar”
lazim jika berkaitan ibadah puasa selama sebulan. Ramadan selesai, orang-orang
memperingati hari suci: ”lebar.” Sebutan itu masuk ke kamus bahasa Indonesia tanpa ada
keterangan serius.
WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) tiba-tiba
mencantumkan lema “Lebaran” di halaman 401, berarti ”hari raja habis puasa.” Kita tak
menemukan keterangan asal kata atau proses pembentukan kata, dari “lebar” menjadi
“Lebaran”.
Definisi dari Poerwadarminta sesuai dengan sebutan di buku otobiografi Amiroeddin (1919)
garapan Amiroeddin. Di buku kita tak membaca sebutan “bakda” atau “Lebaran”. Di halaman
14. 14
4: ”Pada hari raja sehari boelan Sjawal akoe lihat bapakoe memasang petasan, diseboetnja
mertjoen tikoesan .”Di halaman 5: ”Amir! Esok hari raja, boleh engkau berganti kain badjoe
baroe.” Sebutan ”hari raja” bisa disamakan dengan bakda atau Lebaran.
Pengertian di Kamus Umum Bahasa Indonesia berbeda dengan pengertian di Kamus
Moderen Bahasa Indonesia (1952) susunan Sutan Mohammad Zain. Lema “lebar” tercantum
di halaman 428, berarti ”habis, selesai, hari raja habis puasa.” Kata itu disebutkan berasal
dari bahasa Jawa. Di Kamus Indonesia Ketjik (1954) susunan E Harahap tercantum lema
“lebar” di halaman 175. Harahap mengartikan Lebaran adalah ”hari raja” atau ”habis puasa”.
Harahap seperti Poerwadarminta, tak memuat keterangan proses “lebar” menjadi “Lebaran”.
Sikap sama juga dapat ditemukan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994) garapan JS
Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Di halaman 784, dimuat lema “Lebaran” berarti ”hari
raya Idul Fitri pada 1 Syawal selesai berpuasa sebulan bulan Ramadan.”
Pada 1939, Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa sudah memuat dua lema: “bakda” dan
“lebaran”. Bakda berarti ”sawise, rampoeng, boebar”. Ungkapan itu jika ditulis dengan ejaan
”bakdan” memiliki arti ”rijaja lebaran (sawise pasa, 1 Sawal).” Bakda itu setelah dan selesai
menjalankan puasa pada bulan Ramadan. Dua pilihan dalam penulisan: bakda atau bakdan.
Di Jawa, bakda atau bakdan tak terlalu menimbulkan masalah kebahasaan. Pengucapan
berubah untuk dua kata. Bakda biasa diucapkan ”bakdo”. Bakdan tetap diucapkan ”bakdan.”
Dua kata mengandung masalah fonologi meski tak diributkan oleh pengguna bahasa di Jawa.
Pemberian arti Lebaran untuk bakda bisa kita lengkapi dengan membaca pengertian di
halaman 268. Lebaran berarti ”rijaja bakda pasa (tanggal 1 Sawal).”
Pada masa 1930-an, orang-orang sudah biasa memberi sebutan bakda, bakdan, dan Lebaran.
Kini, kita terbiasa mendapatkan sebutan Lebaran atau Idul Fitri dalam berita, iklan, dan
tulisan-tulisan di spanduk. Bakda atau bakdan cuma milik pengguna bahasa di Jawa dengan
kesadaran kata itu berasal dari bahasa Arab. Lebaran sudah lumrah digunakan oleh publik di
Indonesia, bermula dari bahasa Jawa. Lebaran pun resmi masuk Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Lebaran berarti ”hari raya umat Islam yang jatuh pada 1 Syawal setelah selesai
menjalankan ibadah puasa selama sebulan.”
Lebaran memiliki sinonim Idul Fitri. Keterangan asal bahasa atau pembentukan kata tak
pernah dicantumkan. Pengguna kamus tak perlu repot mengusut dengan tuntutan-tuntutan
berlebihan. Di Indonesia, kata atau bahasa biasa kehilangan sejarah. Begitu.
BANDUNG MAWARDI
Kritikus Sastra
15. 15
Makanan Berformalin, Vaksin Palsu, dan
Demoralisasi
18-07-2016
Di negeri yang dibangun dengan dasar Pancasila ini seringkali terjadi praktik-praktik yang
berlawanan dengan nilai-nilai luhur ideologi negara ini. Betapa tidak, masyarakatnya yang
dikenal sangat religius kerap melakukan teror terhadap orang lain yakni dengan sengaja
memproduksi makanan berformalin dan vaksin palsu.
Fenomena itu bukan rahasia lagi. Pemalsuan vaksin balita yang kini diributkan diduga sudah
berlangsung sejak 2003 tanpa bisa terdeteksi. Suatu ”prestasi” luar biasa. Di sisi lain,
makanan berformalin terus diproduksi, padahal tidak aman untuk dikonsumsi. Praktik tidak
terpuji (moral hazard) ini pada akhirnya akan bermetamorfosa menjadi monster pencabut
nyawa.
Kelalaian Negara
Terungkapnya kasus peredaran vaksin palsu dan berbagai makanan yang tidak memenuhi
ketentuan keamanan pangan merupakan bagian dari kelalaian pemerintah. Negara tidak hadir
melindungi warganya dari teror formalin dan vaksin palsu. Keseharian kita dikepung oleh mi
basah mengandung formalin, bakso dicampur boraks, dan beragam obat palsu.
Selain itu, daging sapi gelonggongan, ayam tiren (mati kemaren), makanan dengan pewarna
dan pengawet yang dilarang, daging celeng (babi hutan) yang dioplos dengan daging sapi,
hingga parsel berisi produk makanan kedaluwarsa peredarannya kian masif seakan tidak ada
yang bisa melarang. Pertanyaannya, apa masalah sesungguhnya yang terjadi di tengah bangsa
ini?
Meski aparat keamanan selalu melakukan razia peredaran makanan yang tidak aman
dikonsumsi dan obat palsu, persoalan ini selalu berulang dengan satu tujuan ingin meraup
keuntungan besar dengan cara-cara yang melanggar hukum dan aturan. Sistem pengawasan
perdagangan makanan ilegal dan berbagai obat palsu belum dapat melindungi konsumen
secara baik. Kita telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen, UU Pangan,
dan sejumlah peraturan lain. Namun, itu seakan tidak cukup. Kasus keracunan makanan yang
kerap terjadi dan makin maraknya perdagangan obat palsu menjadi bukti pemerintah kian
toleran dengan beragam produk ilegal.
Satu hal lain yang patut diwaspadai ialah berlakunya pasar tunggal Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), produk pangan dan obat ilegal akan lebih mudah masuk ke wilayah
16. 16
Indonesia melalui pelabuhan tak resmi di sejumlah daerah. Dengan jumlah penduduk sekitar
250 juta jiwa, Indonesia menjadi pangsa pasar yang menggiurkan. Produk pangan ilegal
dengan harga lebih murah, kehadirannya akan selalu ditunggu sebagian besar warga.
Pengawasan menjadi amat penting dilakukan untuk melindungi konsumen. Mereka
mempunyai hak atas keamanan untuk produk pangan dan obat seperti diatur dalam Pasal 4
UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Produk pangan dan obat yang aman
merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi. Setiap orang yang memproduksi untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan yang dinyatakan terlarang dan diancam
hukuman berat.
Namun, setiap kali mutu produk pangan dan obat berbenturan dengan akal-akalan pelaku
industri, kita selalu tersentak karena pengalaman tidak pernah kita jadikan pelajaran. Tragedi
biskuit beracun 1989, kasus mi instan beracun 1994, dan tragedi mi basah dan tahu
berformalin 2005 tampaknya tak cukup menjadi ”lampu kuning” bagi pemerintah untuk
menata kembali sistem penjaminan mutu produk makanan dan obat secara berkelanjutan.
Kebiasaan masyarakat menggunakan formalin untuk mengawetkan makanan dan
perdagangan vaksin palsu sesungguhnya menunjukkan persoalan kita yang kian kompleks.
Ancaman formalin dan vaksin palsu barulah sebagian dari masalah besar yang dihadapi
bangsa ini. Kenaikan harga kebutuhan sehari-hari seperti daging sapi, bawang merah, gula,
dan obat-obatan merupakan persoalan lain yang membawa rakyat ke dalam proses
pemiskinan.
Semakin Buram
Jika ingin digali lebih dalam, sambil berkontemplasi, di balik kasus peredaran makanan
berformalin dan vaksin palsu, ada persoalan besar yakni perapuhan moral. Mesin
demoralisasi kian cepat berputar di tengah kehidupan anak bangsa. Wajah peradaban tampak
semakin buram sebab nafsu memburu uang mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Tipisnya kepekaan etika karena tergerus nafsu kekayaan materi merupakan representasi dari
bangsa yang mengalami kemerosotan moral. Masyarakat telah kehilangan sistem nilai dan
kurang memedulikan keselamatan orang lain. Pedagang memilih formalin sebagai jalan
pintas agar dagangannya lebih awet menunjukkan ada ketimpangan pembangunan karakter di
tengah masyarakat. Ketimpangan itu menyebabkan ketidakseimbangan antara kemampuan
kognisi dengan afeksi yang mendorong sistem nilai kian rapuh.
Membangun karakter bangsa harus terus dilakukan untuk mengatasi persoalan demoralisasi
yang menimpa anak negeri. Thomas Lickona (1991), penulis buku Educating for Character:
How Our School Can Teach Respect and Responsibility, menyebutkan sebuah bangsa sedang
menuju jurang kehancuran jika warganya kerap membudayakan ketidakjujuran; semakin
kaburnya jarak antara moral baik dan buruk; rendahnya rasa tanggung jawab sebagai warga
negara; menurunnya etos kerja; adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara
17. 17
sesama. Hipotesis Thomas Lickona ini berimplikasi pada kemampuan kognisi yang tidak
diimbangi dengan karakter yang positif mengakibatkan munculnya pribadi-pribadi yang cacat
secara nilai.
Indikasi perilaku demoralisasi seperti yang dipetakan Thomas Lickona ini berpeluang besar
terjadi di Indonesia. Sebab itu, tugas lembaga pendidikan harus dikembalikan pada tujuan
awalnya yang tidak hanya sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai
lembaga pembentuk karakter bangsa dan internalisasi nilai-nilai moral bagi masyarakat.
Solusi serius makanan berformalin dan vaksin palsu bukanlah melulu soal teknis. Akar
persoalannya berada pada tataran moralitas dan etika berbisnis. Ketika kualitas moral
semakin rendah, segala aturan teknis bisa diterabas dengan akal licik. Fenomena ini menjadi
sebuah permenungan, jika kita menghendaki Indonesia menjadi bangsa besar, ajaran moral
patut diyakini menjadi lokomotif penghasil energi yang mendorong kemajuan peradaban.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Ilmu Pangan di Unika Santo Thomas SU Medan; Ketua Perhimpunan Ahli
Teknologi Pangan Indonesia Sumut
18. 18
Tuhan Pasca-Ramadan
19-07-2016
Selama bulan suci Ramadan berlangsung, kaum muslimin tak henti-hentinya mengingat,
menyebut, dan mengagungkan nama Tuhan dan sifat-sifat kebesaran dan kemuliaan-
Nya. Dari pagi, siang, sore, petang, malam, dini hari, sampai fajar, nama Tuhan dan sifat-sifat
agung-Nya selalu terus diingat, disebut, dan diresapi dalam setiap riak perasaan, relung hati,
gerak pikiran, dan tindak perbuatan.
Diskusi dan wacana keagamaan diselenggarakan di kampus-kampus perguruan tinggi demi
memuliakan bulan Ramadan, mendalami ilmu pengetahuan keagamaan, dan membesarkan
nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pesantren kilat pun dilaksanakan di
banyak sekolah atau pondok pesantren sehingga kesemarakan Ramadan dan pemuliaan nama
Tuhan terasa begitu berdenyut.
Setiap saat pada bulan suci Ramadan, nama Tuhan diingat, disebut, dan dimuliakan dalam
prosesi zikir, wirid, itikaf, dan tadarus Alquran baik di rumah, surau, langgar, musala,
maupun di masjid. Kemahabesaran, Kemahasucian, dan Kemahaagungan Tuhan disebut
dalam berbagai khutbah salat Jumat, kultum, mauizah hasanah, tausiah, dan ceramah yang
diselenggarakan sebelum salat tarawih dan sesudah salat subuh selama bulan Ramadan.
Semua televisi di Tanah Air bahkan menayangkan program spesial Ramadan dengan
menyajikan kultum, tausiah, ceramah, atau pun tayangan sinetron yang di dalamnya selalu
menyebut nama Tuhan dan sifat-sifat-Nya yang Maha Suci, Maha Mulia, dan Maha Agung.
Para ustad dan dai kondang ditampilkan dalam acara keagamaan di semua stasiun televisi
untuk mengisi program spesial Ramadan. Ustad Solmed, Guntur Bumi, Zacky Mirza,
Wijayanto, Jujun Junaidi, dan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) misalnya menyampaikan
tausiah, siraman rohani, atau ceramah Ramadan di televisi.
Rekaman tausiah atau ceramah Ramadan yang pernah disampaikan oleh dai sejuta umat
almarhum KH Zainuddin MZ, almarhum Ustad Jefri Al Buchori, dan almarhum Munzir Al-
Musawa juga ditayangkan ulang karena isinya tetap menarik dan sangat relevan dengan
suasana Ramadan. Tiga dai kondang ini disebut sebagai ”Yang Tak Terlupakan.” Kajian
Tafsir Al-Misbah oleh Prof Dr Quraish Shihab juga dijadikan salah satu program spesial
Ramadan.
Sinetron ”Tukang Bubur Naik Haji” diprogram begitu rupa sehingga dialog, lakon, dan
adegannya disesuaikan dengan momentum dan suasana Ramadan. Para artis muslimah yang
di luar Ramadan berbusana tidak menutup aurat, pada bulan suci Ramadan mereka menutup
aurat atau berbusana muslimah. Program ”Jejak Islam,” ”Khazanah Islam” dan ”Ramadan di
19. 19
Berbagai Negara” yang ditayangkan di beberapa televisi juga tidak lepas dari upaya untuk
menyemarakkan dan memuliakan bulan suci Ramadan dan sekaligus membesarkan nama
Tuhan.
Pendek kata, Tuhan dan sifat-sifat-Nya yang Maha Agung, Maha Mulia, dan Maha Suci terus
menerus disebut, diingat, dan dimuliakan pada bulan suci Ramadan. Suasana ketuhanan yang
sangat intens dan momentum kesucian Ramadan sangat terasa merengkuh relung jiwa dan
lubuk hati yang paling dalam.
Setiap saat, nama Tuhan, dan kesucian Ramadan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
pernik-pernik ingatan individual dan ingatan kolektif umat Islam pada bulan yang penuh
berkah, rahmah, dan maghfirah ini. Semua jajaran pemerintah (dari pusat sampai ke daerah),
aparat keamanan, dan masyarakat pada umumnya sangat menghormati dan memuliakan nama
Tuhan dan kesucian bulan Ramadan. Situasi atau perilaku yang bertentangan, mengganggu,
dan merusak citra kemuliaan Tuhan dan nilai-nilai kesucian Ramadan dihindari dan
dihentikan.
Nama agung Tuhan dan nilai-nilai kesucian Ramadan benar-benar dihormati, disemarakkan,
dimuliakan, dan dijunjung tinggi di segala ruang dan waktu. Penghormatan dan pemuliaan
terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya yang Maha Terpuji dan Maha Agung, dan kesucian Ramadan
dibuktikan dengan penutupan tempat-tempat hiburan malam selama bulan penuh berkah
ini. Polisi sibuk memantau dan menjaga agar tempat-tempat hiburan malam itu benar-benar
ditutup demi menghormati bulan suci Ramadan. Kebijakan pemerintah ini didukung oleh
Majelis Ulama Indonesia dan umat Islam secara keseluruhan.
Untuk menghormati dan memuliakan Tuhan dan kesucian Ramadan, polisi bertindak tegas
dengan menyita dan memusnahkan ribuan botol minuman keras. Aparat keamanan juga tak
segan-segan merazia dan menghentikan praktik-praktik para pekerja seks komersial demi
menghormati dan memuliakan bulan suci Ramadan. Praktik perjudian ditindak dan
dihentikan demi menghormati dan memuliakan bulan suci Ramadan, yaitu bulan di mana
Tuhan dan asma-Nya sangat dipuji dan diagungkan. Segala bentuk kriminalitas ditekan dan
dicoba diberantas pada bulan suci ini demi menghormati dan memuliakan Ramadan dan
menegakkan amar makruf ajaran Tuhan. Intensitas momentum ilahiah, suasana khusyuk
peribadatan, dan kesucian bulan Ramadan benar-benar sangat dihormati dan dimuliakan.
Demikianlah penghormatan terhadap bulan suci Ramadan dan pemuliaan terhadap Tuhan di
bulan suci Ramadan. Semua tampak saleh, serbaagamawi, dan beraroma surgawi. Serba
ilahiah, ber-akhlakul karimah, sopan, etis, dan moralis. Tuhan terasa begitu dekat dan hadir
secara akrab dan fungsional dalam segala rangkaian ritual ilahiah dan amal ubudiah.
Yang mampu dan berkelebihan harta berbagi rezeki dengan kaum yang tidak mampu dalam
bentuk pemberian zakat mal, zakat fitrah, infak, dan sedekah. Kesalehan individual tampak
dikombinasi dengan kesalehan sosial. Kesalehan individual terintegrasi secara serasi dengan
kesalehan sosial dalam bingkai ketuhanan. Suasana ketuhanan, iklim keberimanan, atmosfer
20. 20
keberagamaan, dan kesemarakan bulan suci Ramadan sangat terasa berdenyut selama
sebulan. Nama Tuhan dengan segala sifat-Nya yang Maha Agung dan Maha Terpuji serta
kesucian Ramadan sangat diapresiasi, dihormati, dan dimuliakan.
Atmosfer seperti ini terlihat lain pada pasca-Ramadan. Pada pasca-Ramadan, pemuliaan
terhadap Tuhan dan ajaran-Nya mudah tergerus. Setelah Ramadan, penjualan miras tidak
terkontrol lagi, prostitusi dan komersialisasi seks kambuh lagi, sebagian artis muslimah (yang
pada Ramadan berbusana muslimah) tidak berbusana muslimah lagi, pergunjingan, gosip,
dan grasani dilakukan lagi, suap, gratifikasi, korupsi, perjudian, dan kriminalitas lainnya
muncul lagi.
Pemuliaan terhadap Tuhan dan ajaran-Nya yang pada bulan suci Ramadan diapresiasi dan
diagungkan tampak ”meredup” pasca-Ramadan. Memuliakan Tuhan dan menaati ajaran-Nya
seharusnya tidak berbeda antara di bulan Ramadan dan di luar Ramadan.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
21. 21
Predator Balita di Balik Skandal Layanan
Medis
20-07-2016
Kasus pemberian vaksin palsu untuk bayi di bawah lima tahun (balita) harus dilihat sebagai
skandal layanan medis paling mengerikan yang pernah terjadi di negara ini. Polri wajib
menyelidiki skandal ini mulai dari awal karena pemberian vaksin palsu untuk balita yang
berlangsung sejak 2003 baru terkuak pada paruh pertama 2016 ini.
Ada sekumpulan predator balita di balik skandal layanan medis ini. Hingga pekan kedua Juni
2016, Mabes Polri sudah menetapkan tiga dokter sebagai tersangka dari total puluhan
tersangka. Dalam rapat dengan Komisi IX DPR, Menteri Kesehatan Nila Moeloek
mengungkap identitas 14 rumah sakit pengguna vaksin palsu dan delapan bidan pemberi
vaksin palsu. Jelas bahwa skandal ini patut dikategorikan mengerikan karena sebagian besar
tersangka justru memiliki keahlian di bidang pelayanan kesehatan. Selama belasan tahun,
para predator balita itu menyuntikkan vaksin palsu kepada ribuan balita di belasan provinsi.
Jumlah tersangka seharusnya memang terus bertambah karena pengusutan kasus ini belum
tuntas. Apalagi, produksi, distribusi, dan pemberian vaksin palsu kepada balita sudah
berlangsung sejak 2003. Rentang waktu tiga belas tahun dari sebuah kejahatan yang
terkoordinasi. Mengungkap peran dan keterlibatan para tersangka saja tidak cukup. Untuk
kejahatan yang satu ini, penyelidikan polisi harus komprehensif.
Menurut Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, proses
pengungkapan kasus ini berawal langkah polisi mendalami laporan masyarakat tentang
kematian sejumlah bayi setelah diimunisasi. Untuk memberi gambaran kepada publik tentang
dampak kejahatan ini, Bareskrim Polri layak mengungkap jumlah korban selama ini, dampak
lain bagi balita yang menerima vaksin palsu, termasuk jumlah rumah sakit dan tenaga medis
yang terlibat. Wilayah peredarannya bisa saja mencapai lebih dari 17 provinsi.
Presiden Joko Widodo sudah menggambarkan kasus ini sebagai kejahatan luar biasa. Maka
itu, penyelidikan oleh Polri tidak boleh setengah-setengah. Kasus-kasus vaksin palsu
terdahulu yang proses hukumnya tidak wajar harus dibuka kembali.
Kasus vaksin palsu pernah diungkap pada 2008 ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) menemukan vaksin antitetanus serum (ATS) palsu. Kasus itu ditutup dengan alasan
yang tidak jelas. Pada 2013 terungkap lagi kasus vaksin palsu dengan dua tersangka, tetapi
satu tersangka bisa melarikan diri. Pelaku yang tertangkap pun hanya dikenai hukuman denda
22. 22
Rp1 juta. Para vaksinolog melihat ada kejanggalan pada proses hukum dua kasus vaksin
palsu terdahulu itu.
Antara kasus 2008, kasus 2013, hingga para tersangka kasus vaksin palsu yang dijerat dalam
operasi tahun ini kemungkinan besar memiliki kaitan. Karena itu, sangat relevan jika
penelusuran kasus vaksin palsu hendaknya dimulai dari temuan tahun-tahun terdahulu.
Seperti diketahui, dalam penyelidikan tahun ini, Bareskrim Polri menyita ratusan vaksin
palsu jenis hepatitis B, pediacel, campak kering, polio, dan antisnake. Vaksin palsu itu
diperuntukkan untuk balita. Vaksin palsu yang dibuat predator balita itu diracik dari cairan
infus dan vaksin tetanus. Proses produksi vaksin palsu pada lingkungan yang tidak steril
menghadirkan risiko terkontaminasi kuman, virus, atau bakteri lain. Risiko bagi balita yang
menerima vaksin palsu adalah infeksi karena tubuhnya tidak terproteksi.
Balita berusia dua bulan wajib menerima vaksin BCG. Kalau vaksin BCG palsu yang
disuntikkan, si balita rentan terhadap kuman TBC. Vaksin yang lazim diberikan kepada anak-
anak bermuatan bahan antigen. Bahan ini bermanfaat untuk memperkuat sistem imun atau
kekebalan terhadap suatu penyakit.
Anak-anak di bawah usia lima tahun (balita) butuh bahan antigen untuk memperkuat daya
tahan mereka selama masa pertumbuhan. Dengan begitu, bahan antigen untuk anak-anak
harus dibuat dengan benar, mengikuti standar dan prosedur produksi yang menjadi
kesepakatan universal.
Redam Kecemasan
Polri memang baru mengungkap kejahatan ini di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, hingga Banten. Segera setelah Polri dan Kementerian Kesehatan mengumumkan data
dan fakta kejahatan ini, masyarakat di Jakarta dan sekitarnya panik. Para orang tua yang
menduga anak bayinya menerima vaksin palsu mendatangi semua rumah sakit yang diketahui
menggunakan vaksin palsu. Entah seperti apa derajat kepanikan masyarakat jika Mabes Polri
nanti mengumumkan data dan fakta kejahatan yang sama pada belasan provinsi lain.
Media massa telah melaporkan dampak pemberian vaksin palsu terhadap balita. Tetapi,
penjelasan versi media massa itu rupanya tidak cukup. Di Bekasi sejumlah orang tua yang
panik dan cemas nyaris melakukan tindak kekerasan terhadap pengelola rumah sakit.
Agar tindak kekerasan terhadap pengelola rumah sakit tidak tereskalasi, Kementerian
Kesehatan perlu beraksi lebih sistematis memberi penjelasan kepada masyarakat tentang
dampak pemberian vaksin palsu. Janji untuk vaksin ulang kepada anak korban vaksin palsu
belum cukup untuk menenangkan para orang tua. Karena keawamannya, wajar jika mereka
mencemaskan masa depan kesehatan anak-anak mereka. Sementara itu, Bareskrim Mabes
Polri pun diharapkan terus menyelidiki kasus ini, termasuk mendapatkan data tentang jumlah
korban.
23. 23
Belakangan ini ruang publik sarat dengan kisah tentang kejahatan terhadap anak di bawah
umur. Setelah pengungkapan rangkaian kejahatan seksual terhadap anak, giliran kejahatan
vaksin palsu yang menyasar balita. Kejahatan seksual dilakukan oleh para predator anak
karena gangguan kejiwaan atau masalah psikis. Dalam kasus vaksin palsu, pelaku kejahatan
terhadap balita justru orang-orang normal dengan tingkat pendidikan yang mumpuni. Mereka
tega menjadikan balita sebagai sasaran kejahatan mereka.
Maka itu, mereka layak disebut predator balita. Mereka tidak menyediakan dan memberikan
vaksin gratis yang telah disediakan pemerintah. Padahal, pemerintah biasanya menyediakan
sembilan jenis vaksin setiap tahun. Kumpulan predator balita itu membohongi para orang tua
dengan mengatakan bahwa vaksin gratis yang disediakan pemerintah sudah habis. Pada saat
bersamaan, para oknum pelayan medis itu sebenarnya telah menyediakan vaksin palsu.
Mereka kemudian menawarkan dan memaksakan pemberian vaksin palsu yang harganya
lebih mahal.
Dalam konteks perlindungan anak, kejahatan ini sungguh mengerikan. Karena itu, semua
yang terlibat dalam pemberian vaksin palsu harus diganjar dengan sanksi hukum yang
maksimal. Tidak boleh ada toleransi sedikit pun. Para tersangka yang berlatar belakang ahli
atau pelayan medis bahkan patut diganjar dengan sanksi ekstrakeras. Kalau perlu, identitas
mereka diumumkan kepada publik dan hak untuk melakukan praktik dicabut.
Mabes Polri diharapkan terus mendalami kasus ini hingga tuntas. Industri farmasi pun harus
proaktif mencegah kejahatan dengan modus seperti kasus vaksin palsu ini. Masyarakat,
terutama anak-anak Indonesia, harus mendapatkan perlindungan maksimal. Kebutuhan
masyarakat akan layanan medis tidak boleh diselewengkan untuk menyelenggarakan bisnis
ilegal.
Kasus vaksin palsu hendaknya menjadi faktor yang mengingatkan Kementerian Kesehatan
RI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta semua pihak terkait lain untuk
meningkatkan efektivitas pengawasan, termasuk pengawasan terhadap rumah sakit. Vaksin
palsu adalah kejahatan sangat serius yang tidak boleh terjadi lagi di kemudian hari.
BAMBANG SOESATYO
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
24. 24
Lagi-lagi Palsu
21-07-2016
Heboh kasus vaksin palsu membuat saya terkenang dengan perjalanan ke New York,
Amerika Serikat, beberapa tahun lalu. Kolega saya penderita asam urat. Jadi, ia harus secara
reguler mengonsumsi obat.
Celakanya, sekitar 45 menit sebelum pesawat yang kami tumpangi tinggal landas dari
Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, ia baru sadar kalau obatnya ternyata tertinggal di
rumah. Ia resah. Meski begitu, ia mengeraskan hati untuk tetap berangkat.
Kerepotan pun mulai datang. Untuk mencegah serangan asam urat di pesawat, selama
penerbangan ia harus minum berbotol-botol air mineral. Akibatnya ia harus sering bolak-
balik ke kamar kecil. Perjalanan panjang ke AS betul-betul membuatnya tidak nyaman.
Sesampai di New York, ia langsung mencari apotek untuk membeli obat asam urat. Saya
menemani. Sesampai di apotek, petugas di sana menolak menjual obat asam urat kepada
kolega saya. Padahal, dia sudah menyebut mereknya dan produknya juga ada di situ.
Meski kolega saya memohon dengan sangat dan menjelaskan alasannya, sang petugas di
counter tetap bersikukuh menolak. Mengapa? Sederhana saja, tak memiliki resep dokter.
Padahal, sesuai aturan, obat asam urat termasuk jenis obat yang harus dibeli dengan resep
dokter.
Begitulah di AS, dan banyak negara maju lainnya, peraturan dibuat untuk dipatuhi, bukan
dilanggar. Akhirnya teman saya pun menyerah. Ia meninggalkan apotek dengan perasaan
kecewa dan sekaligus resah, sebab kami akan berada di New York untuk sekurang-kurangnya
lima hari.
Naluri Primitif
Baiklah kita tinggalkan cerita tentang kolega saya tadi. Kini saya ajak Anda untuk melihat
kondisi yang terjadi di negara kita—terlebih setelah meledaknya kasus vaksin palsu. Di
negeri ini, bahkan untuk jenis obat yang tergolong daftar G (asal kata “gevaarlijk” yang
artinya berbahaya) sekalipun—yang mestinya hanya bisa diperoleh dengan resep dokter—
kalau Anda tahu mereknya, petugas di apotek akan dengan senang hati melayani.
Bahkan jika Anda tidak tahu mereknya sekalipun, asal bisa menyebutkan perkiraan jenis obat
yang dibutuhkan, sang petugas masih mau mencarikan. Hanya kalau obatnya betul-betul
25. 25
keras dan mempunyai efek samping yang membahayakan, baru petugas akan menanyakan
resep dokter.
Bagaimana kalau Anda sama sekali tidak punya resep dokter? Mudah saja, pergilah ke toko-
toko obat yang banyak bertebaran di mana-mana. Di sana sang pemilik toko akan dengan
senang hati melayani, bahkan kadang dia kerap bertindak layaknya dokter. Menanyakan apa
sakitnya, bagaimana gejala-gejalanya, lalu merekomendasikan jenis obatnya.
Apa jadinya kalau obat yang Anda cari tidak ada di toko-toko obat di sekitar rumah Anda?
Bagi warga Jakarta, masih ada pilihan lain. Pergilah ke pasar obat Pramuka atau Kramatjati,
keduanya di Jakarta Timur. Di sana banyak dijual obat-obatan yang mestinya baru bisa Anda
peroleh kalau memiliki resep dokter. Risikonya sudah tentu harus Anda tanggung sendiri.
Baik Pasar Pramuka maupun Kramatjati sudah lama dikenal sebagai pusat grosir untuk obat-
obatan dan alat-alat kesehatan. Pasarnya pun tidak gelap-gelapan, tetapi terang-terangan. Itu
terjadi bukan hanya dua atau tiga tahun belakangan ini, tetapi sudah belasan dan bahkan
puluhan tahun. Pasar Pramuka, misalnya, sudah berdiri sejak 1975.
Berkembangnya pasar-pasar obat tersebut menggambarkan betapa longgarnya pengawasan
dan terlalu bebasnya distribusi obat-obatan di negara kita. Maka saya tak heran kalau kasus
vaksin palsu, mungkin juga kelak obat palsu, menjadi ramai belakangan ini. Buat saya,
lemahnya pengawasan dan bebasnya distribusi obat-obatan ibarat bom waktu. Persoalannya
tinggal kapan meledaknya.
Dan mengapa kita begitu murka dengan kasus vaksin palsu? Sebab ini melibatkan anak-anak.
Anda tahu kalau sudah bicara soal anak, apalagi bayi dan balita, yang muncul adalah naluri
primitif. Persis seperti harimau yang marah dan siap menyabung nyawa kalau anak-anaknya
diganggu, begitu pulalah kita.
Silakan kalau Anda ingin menambahkan analisis yang lain. Misalnya mungkin sebagai
bangsa, kita berpotensi gagal memetik bonus demografi pada 2020-2030, karena anak-anak
yang kelak menjadi penyangga utamanya ternyata bermasalah. Kondisi kesehatannya tidak
prima dan tingkat imunitasnya rendah. Itu, antara lain, akibat vaksin palsu.
Kita Penciptanya
Sesungguhnya bangsa kita sudah biasa menghadapi soal yang palsu-palsu semacam ini.
Kasusnya mudah ditemukan di mana-mana dan Anda pasti pernah dengar. Misalnya kasus
ijazah palsu, SIM atau STNK palsu, surat nikah palsu, dan paspor palsu. Itu yang terkait
dokumen negara. Masih banyak produk palsu lainnya. Misalnya dokter palsu, sarjana atau
doktor palsu, polisi atau TNI palsu, dan hakim palsu. Bahkan, vonis atau putusan pengadilan
pun dipalsukan. Belum lagi laki-laki atau perempuan palsu yang baru diketahui setelah
pasangan menikah. Mulai biasa kita dengar juga.
26. 26
Kalau bicara barang, ada sepatu bermerek yang palsu, tas palsu, fashion palsu, parfum palsu,
jam tangan, ponsel, bahkan alat-alat dapur dan masih banyak lagi. Ada juga buku bajakan,
CD dan DVD bajakan, software bajakan dan sebagainya. Bicara jasa, ada investasi
bodong. Kalau soal hiburan, cobalah tengok sinetron atau acara yang tayang di stasiun-
stasiun TV kita. Nyaris semuanya menebar mimpi. Membuai masyarakat kita dengan
kebohongan.
Kita juga sering mendengar ungkapan yang menyiratkan kepalsuan. Maka muncullah
ungkapan, senyum palsu, tawa palsu, seringai palsu, sampai rayuan gombal dan air mata
buaya.
Di kancah politik, masyarakat kita betul-betul kenyang dibohongi. Semasa kampanye
janjinya A, B, C ... Z, setelah terpilih nol besar. Bahkan banyak sidang di parlemen kita yang
kelihatannya saja serius, tapi isinya sebetulnya bagi-bagi proyek. Kita dibohongi oleh janji-
janji palsu.
Bicara barang atau jasa, sulitkah kita untuk tahu kalau itu palsu? Sama sekali tidak. ”If the
price is very cheap then its almost certainly a fake.” Kalau murah, hampir pasti itu palsu, kata
David Russell, musikus asal Skotlandia. Saya sengaja mengutip pernyataan David Russell,
orang bule, untuk menggambarkan bahwa ini adalah fenomena yang terjadi di mana-mana di
dunia. Jadi bukan khas Indonesia.
Begitulah, banyak yang palsu di seputar hidup kita. Maka tak heran kalau kita pun kerap
bersikap dan berperilaku palsu. Persis kata penulis novel Dearly Devoted Dexter, Jeff
Lindsay, ”Since I am not actually a real human being, my emotional responses are generally
limited to what I have learned to fake.”
Jadi, nikmatilah amarah orang tua pada kasus vaksin palsu ini. Tapi apakah kita sudah kapok?
Rasanya kok belum. Masih banyak yang harus dibenahi. Alih-alih menertibkan pasar obat-
obatan ilegal, kita memilih berkelahi dan saling menunjuk pihak lain. Padahal momentumnya
dapat saat ini. Dan—mestinya—kita mulai menaruh perhatian untuk bangun jati diri kita
yang sesungguhnya dari segala kepalsuan.
Misalnya, jangan cuma mempersoalkan apakah yang kita makan itu haram atau halal, tapi
persoalkan jugalah apakah uang untuk membelinya benar-benar halal? Itu tentu hanya yang
punya uang yang tahu, bukan yang menjual atau yang menyaksikan. Jadi apakah kita sudah
kapok?
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
27. 27
Di Balik Demam Game Pokemon Go
22-07-2016
Demam game Pokemon Go kini melanda masyarakat di berbagai negara. Tidak hanya di
Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan sejumlah negara maju lain, di Indonesia game
yang ditawarkan publisher Pokemon Company International, Niantic Inc dan Nitendo Co Ltd
ini juga menjadi viral dan digemari berbagai kalangan.
Permainan virtual yang mengandalkan kamera telepon seluler dan global positioning system
ini belum resmi diluncurkan di Indonesia. Namun, di Tanah Air para penggemar game ini
sudah bisa memakai aplikasinya untuk bermain di telepon seluler bersistem Android atau
iOS.
Sensasi yang ditawarkan permainan berbasis realitas berimbuhan (augment reality) yang
diluncurkan pada 6 Juli 2016 ini, bukan hanya romantisme untuk mengenang kembali
Pokemon—singkatan dari Pocket Monster—yang dirilis Nitendo tahun 1990-an, tetapi juga
fantasi, kesenangan, dan hiburan yang ditawarkan bagi para pemainnya.
Sebagai bagian dari produk industri budaya populer global, Pokemon Go adalah jenis
permainan di era digital yang menyajikan sensasi avatar, yang memungkinkan para
pemainnya masuk dalam pusaran sensasi virtual yang melahirkan perilaku keranjingan—
tanpa mereka sadari.
Keranjingan
Berbeda dengan game-game daring sebelumnya yang lebih identik dengan kegemaran anak
muda, Pokemon Go adalah jenis permainan digital yang memiliki penggemar lintas kelas, tak
dibatasi jenis kelamin, dan lintas usia. Artinya, siapa pun bisa saja menjadi penggemar game
ini, karena apa yang ditawarkan memang sensasi yang merepresentasikan cara penggemar
melawan alienasi dan situasi anomie kehidupan masyarakat posmodern.
Mulai dari anak-anak, remaja belasan tahun hingga orang dewasa, semua bisa menjadi bagian
dari kelompok penggemar game Pokemon Go ini. Mereka bukan hanya sekadar mengisi
waktu luang (leissure time) untuk bermain, tetapi juga—meminjam istilah Jean
Baudraillard—tersimulakra dalam situasi antara dunia nyata dan dunia virtual yang nyaris
tidak bisa lagi dibedakan.
Bagi para pemain yang sudah benar-benar keranjingan, mereka tidak hanya berburu Pokemon
di sekitar rumah, sekolah atau kantornya, tetapi mereka tak segan menjelalah daerah lain,
masuk ke makam hingga puluhan atau ratusan kilometer hanya untuk mengejar Pokemon
28. 28
yang termasuk varian langka. Berbeda dengan gaya biasa (fad), bagi pemain yang sudah
benar-benar keranjingan, keinginan untuk terus berburu monster-monster Pokemon acap
menjadi obsesi bagi para pelakunya.
Kajian yang dilakukan John Storey (2003), seorang ahli cultural studies telah membuktikan
bahwa kehadiran produk-produk industri budaya populer global dan strategi pemasaran
kreatif yang dikembangkan, senantiasa mendorong munculnya banyak ragam gaya dan
perilaku keranjingan. Seorang penggemar yang terobsesi atau tergila-gila pada game
Pokemon Go, jangan heran jika di setiap kesempatan ia selalu meluangkan waktu memburu
Pokemon dan membelanjakan uang miliknya untuk membeli berbagai aplikasi serta
merchandise yang ada kaitannya dengan produk budaya populer yang mereka gemari.
Bagi para penggemar, ketika mereka menyukai sebuah game seperti Pokemon Go dan
menjadi penggemar yang fanatik, hingga sesekali terjebak dalam perilaku yang adiktif, hal itu
bukanlah sekadar sebagai bentuk perilaku yang irasional dan emosional, melainkan hal itu
merupakan cara mereka untuk ”mengada” (way of being) atau ”menjadi ada” di dunia.
Di mata orang lain, perilaku penggemar yang rela berburu Pokemon hingga ke kota lain atau
berburu hingga dini hari, memang kemungkinan besar akan dinilai menyimpang dan tidak
rasional. Tetapi, bagi para penggemar budaya populer itu sendiri, apa yang mereka lakukan
justru menjadi cara mereka untuk memperlihatkan kebanggaan mereka akan identitas
sosialnya sebagai penggemar. Seorang penggemar yang berhasil menangkap Pokemon varian
langka, misalnya, jangan heran jika ia dengan bangga akan memperlihatkan kepada orang
lain.
Herbert Marcuse (1968), menyatakan yang disebut budaya populer—termasuk di dalamnya
game Pokemon Go—ibaratnya adalah narkotika jangka pendek. Meski dari waktu ke waktu
kelangsungan berbagai produk industri budaya yang dipasarkan acap hanya sesaat layaknya
mode, tetapi bagi para penggemar apa yang mereka konsumsi dan lakukan berkaitan dengan
tawaran-tawaran yang diciptakan. Kekuatan industri budaya menjadi pengalih perhatian yang
manjur dari berbagai masalah riil yang mereka hadapi dan mengidealisasikan masa kini
dengan menjadikan pengalaman representasi yang menyenangkan.
Seorang anak muda yang jenuh mengerjakan PR dan ingin lari sejenak dari rutinitas beban
belajar, maka salah satu kegiatan yang dengan cepat akan menjadikan mereka lupa diri adalah
memanfaatkan berbagai produk industri budaya yang menghibur dan membangun imajinasi.
Terhegemoni
Bagi kekuatan kapitalis, perilaku keranjingan yang dikembangkan para penggemar game
Pokemon Go sesungguhnya adalah penopang atau penyokong utama kelangsungan pasar bagi
produk-produk budaya populer. Seorang penggemar yang berganti handphone yang canggih
demi bisa memainkan game Pokemon Go, bagi sebagian orang mungkin terkesan tidak
masuk akal dan boros. Tetapi, bagi kekuatan industri budaya apa yang dilakukan penggemar
29. 29
itu adalah ”cetak biru” perilaku yang memang mereka sengaja terus kembangkan, baik lewat
iklan maupun melalui hegemoni budaya konsumsi yang sengaja mereka bangun melalui
media massa.
Terlepas apakah produk budaya populer yang ditawarkan kekuatan kapitalis dalam bentuk
game, novel fiksi, merchandise, atau yang lain, tetapi sebagai bagian dari budaya populer
maka produk-produk budaya massa seperti game Pokemon Go, dan lain sebagainya pada
dasarnya merupakan budaya yang menyenangkan dan banyak disukai orang karena cirinya
yang menghibur, menyenangkan dan mampu mengembangkan imajinasi atau fantasi.
Sebagai bagian dari budaya massa, di mata para penggemar kehadiran budaya populer acap
dianggap sebagai dunia impian kolektif, memberi ruang bagi eskapisme yang bukan hanya
lari dari atau ke tempat tertentu, tetapi pelarian dari utopia kita sendiri. Jadi, sepanjang
masyarakat posmodern masih teralienasi dan anomie dengan perubahan sosial yang
berlangsung di sekitarnya, maka sepanjang itu pula kemungkinan mereka terhegemoni oleh
produk budaya populer akan tetap terjadi.
Dalam hitungan bulan atau tahun, game Pokemon Go bisa saja akan kehilangan pamornya.
Tetapi, sebagai gantinya bisa dipastikan akan muncul game-game lain yang memang
diciptakan kapitalis untuk mengejar keuntungan dan menghegemoni konsumen.
DR RAHMA SUGIHARTATI
Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Unair; menulis disertasi
tentang fandom budaya populer global
30. 30
Macet
22-07-2016
Kemacetan di Jakarta semakin parah. Tetapi sesungguhnya yang lebih bahaya adalah jika
terjadi kemacetan kreativitas di kalangan anak-anak bangsa.
Terdapat kemiripan antara jaringan lalu lintas kota Jakarta dan jaringan saraf di kepala kita.
Semakin banyak jumlah mobil, maka semakin macet Kota Jakarta. Tak ubahnya terminal
raksasa, ribuan kendaraan berjejer tak bergerak, karena panjang dan luas jalan yang ada tidak
mampu menampung jumlah mobil yang hendak turun dan lewat.
Seruwet-ruwet jaringan jalan, tak sebanding dengan jumlah jaringan saraf di kepala, yang
populer disebut neuron. Setiap neuron terdapat inti sel, yang memiliki serabut saraf yang
disebut dendrit dan neurit yang berfungsi mengirim impuls ke saraf lain. Jika dianalogikan
dengan jaringan jalan raya, saluran air, kabel listrik dan berbagai jaringan infrastruktur
Jakarta, maka jaringan neuron yang ada di otak manusia jumlahnya mencapai triliunan.
Kompleksitas infrastruktur Jakarta yang semrawut dan macet ini tak seberapa dibanding
kompleksitas jaringan saraf manusia. Setiap dendrit yang jumlahnya ratusan miliar itu
membentuk simpul yang disebut synapse yang jumlahnya triliunan. Synapse itu berfungsi
menyimpan semua ide yang muncul atau informasi yang dilihat oleh mata atau didengar oleh
telinga yang kesemuanya tersimpan dan tak akan hilang di dalam rekaman otak kita. Yang
terjadi adalah lupa untuk memanggilnya kembali.
Sungguh ajaib keunikan dan kehebatan otak manusia, yang manusia sendiri tak sanggup
mengetahuinya secara detail, tuntas dan akurat, bagaimana otak bekerja dan di mana batas
akhir kapasitas intelegensi manusia. Diperkirakan, manusia yang dianggap jenius seperti
Albert Einstein atau Stephen Hawking pun belum sampai 9% menggunakan kapasitas dan
potensi kecerdasan otaknya. Jadi, secanggih-canggih komputer dan mesin supermodern yang
diciptakan manusia, tetap tak akan mampu menyaingi kehebatan otak manusia.
Itu baru otak. Belum lagi keajaiban organ lain seperti sel-sel jantung. Subhanallah. Maha
Suci Allah yang Maha Kreatif dan Maha Cerdas yang kita tak mampu memahami kehebatan
ciptaan-Nya. Terlebih lagi memahami zat Sang Penciptanya. Nalar menyerah.
Lalu, apa hubungannya dengan judul macet di atas? Jakarta atau kota besar lain macet
dikarenakan sarana jalan yang kurang, dibanding jumlah kendaraan yang terus bertambah.
Situasi sebaliknya terjadi pada kinerja otak. Sebanyak apa pun ide muncul atau informasi
masuk, sel-sel otak manusia tak akan pernah menyempit. Sebanyak apa pun manusia melahap
31. 31
dan menyimpan informasi, berat kepala tak akan bertambah. Sel-sel neuron itu justru akan
tumbuh subur bagaikan rumput ketika gizi cukup dan pikiran selalu kreatif.
Oleh karenanya gizi dan stimulasi berpikir kreatif sangat diperlukan pada pertumbuhan anak.
Jika tidak, serabut jaringan sel otak tidak tumbuh subur, dan membuat kecerdasan dan
kreativitasnya macet.
Semua informasi ilmu, pengetahuan dan pengalaman hidup itu bertempat tinggal di rumah
synapse, di korteks kepala kita, dan mereka saling berhubungan dan berdiskusi. Mereka
layaknya penduduk dalam kota yang sangat besar yang jaringannya mencapai triliunan, kota
itu tak lain adalah kepala kita semua yang oleh Sang Penciptanya diberi pengaman tulang
batok, lalu dilengkapi antena terutama mata, telinga, dan hidung untuk menerima informasi
dan pengalaman dari luar.
Semakin otak digunakan untuk berpikir, berimajinasi, dan berkreasi, maka lalu lintasnya
semakin lancar. Jalanan berupa sel akan membesar dan terhubung dengan yang lain sehingga
pikiran jadi produktif.
Saya khawatir bangsa ini tidak saja mengalami kemacetan dalam lalu lintas kendaraan mobil
dan aliran sungai, tetapi juga kemacetan berpikir. Kemacetan berinovasi. Ini bisa disebabkan
oleh sistem pendidikan yang menekankan hafalan dan suasana birokrasi yang rutin serta sarat
dengan aturan sepele namun menghambat kreativitas. Penekanan pada loyalitas, taat aturan,
taat hukum, tanpa diberi ruang untuk berkreasi maka pikiran cenderung tumpul.
Setiap kreasi dan eksperimentasi pasti diiringi kemungkinan salah dan gagal. Tapi pendidikan
kita kurang menghargai sebuah kegagalan sebagai bagian dari inovasi dan kreativitas. Mereka
yang bekerja mencari sumber gas alam sangat paham dan siap mental ketika mengalami
kegagalan. Ketika menggali sepuluh sumur minyak, misalnya, jika yang berhasil ditemukan
hanya satu atau dua sumur saja, itu hal yang biasa.
Salah satu cara untuk menjaga agar tidak terjadi kemacetan otak adalah membaca, menulis,
mengajar dan melakukan riset. Atau bahkan mengisi teka-teki silang. Di situ berlangsung
brain game, senam otak.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
32. 32
Pokemon Go
24-07-2016
Saya bukan orang yang hobi video game. Tetapi saya memang ingat bahwa dulu pernah ada
game yang namanya Pokemon. Namun, setelah sekian lama berlalu tiba-tiba kok sepertinya
semua orang tergila-gila pada Pokemon yang versi sekarangnya disebut Pokemon Go!
(karena pemainnya benar-benar harus berjalan untuk mencari dan menangkap Pokemon).
Semula saya tidak mau ambil pusing. Bukan urusan saya, apalagi di musim ujian yang sudah
menghabiskan waktu saya untuk membaca puluhan tesis dan disertasi. Tetapi beberapa hari
lalu Rudiantara, Menkominfo, menelepon langsung ke ponsel saya.
Saya terkejut juga ketika nama Rudiantara tiba-tiba muncul di layar monitor ponsel saya.
Walaupun saya sudah mengenal Rudiantara jauh sebelum beliau jadi menteri, ketika beliau
menelepon sesudah jadi menteri cukup menjadi kejutan buat saya. “Ini pasti ada sesuatu yang
serius,” pikir saya.
Ternyata yang beliau tanyakan adalah bagaimana pendapat saya tentang game Pokemon
Go. Saya jadi lebih kaget lagi. Kalau seorang menteri sudah menelepon saya untuk
menanyakan soal apa saja, pastinya yang ditanyakan itu soal penting yang gawat darurat.
Benar saja, pertanyaan Menkominfo adalah apakah perlu aplikasi Pokemon diblokir?
***
Bagaimana Menkominfo tidak galau? Isu yang berkembang di luar sana seolah-olah game
Pokemon ini adalah permainan yang sangat berbahaya. Anak bisa tersesat kalau keasyikan
mengejar Pokemon sehingga ketika dia sadar sudah sampai ke daerah yang tidak dia kenal.
Atau orang bisa terperosok kakinya dan terjatuh kalau sambil terus melangkah matanya asyik
mengikuti arah yang ditunjukkan oleh gawai (gadget).
Para pakar, pengamat, bahkan ahli psikologi anak dihadirkan di televisi untuk membahas
bagaimana berbahayanya permainan Pokemon ini, dan bagaimana Pokemon membuat anak
tidak bisa belajar dan tidak bisa berkonsentrasi dan seterusnya.
Bahkan tidak kurang Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso pun menyatakan bahwa
seorang pemain Pokemon, dalam rangka memburu Pokemon, bisa memasuki instalasi negara
seperti asrama tentara dan asrama polisi yang bersifat rahasia, dan melalui aplikasi permainan
Pokemon informasi rahasia itu bisa saja dikirim ke negara-negara tertentu sebagai informasi
intelijen untuk sewaktu-waktu digunakan untuk menyerang Indonesia.
33. 33
***
Helo.... Jangan lebay, deh! Jauh sebelum hadirnya permainan Pokemon GO, yaitu sejak
ditemukannya teknologi Global Positioning Sytem (GPS), setiap orang (bukan hanya para
intelijen) bisa menggunakannya untuk memetakan titik di mana pun di dunia. Saya biasa
menggunakannya untuk memetakan lorong-lorong kecil di sekitar rumah saya, sebagai
petunjuk jalan kalau saya berolah raga jalan-jalan pagi. Atau untuk mencari alamat jika saya
harus pergi ke suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi. Bukan hanya di Indonesia,
tetapi di seluruh dunia.
Itu saya lakukan hanya dari komputer di meja kerja saya di rumah sambil menonton televisi.
Kalau saya bisa melakukannya, tentu agen-agen intelijen negara mana saja bisa
melakukannya juga untuk memantau Istana Negara atau Mabes TNI di Cilangkap, tanpa
bantuan Pokemon.
Juga jauh sebelum orang heboh dengan Pokemon, sudah ada meme tentang gawai yang
membuat orang jadi autis. Sibuk main ponsel sambil jalan di kaki lima, tahu-tahu menabrak
tiang listrik, atau menabrak nenek-nenek yang sama-sama sedang main ponsel. Atau pacaran
duduk berduaan tapi yang cowok dan yang cewek sama-sama asyik dengan ponsel masing-
masing sehingga kita tidak tahu apakah mereka sedang pacaran atau marahan.
Bukan itu saja. Waktu saya SMP ada masanya semua anak sekolah senang membaca komik.
Komik apa saja, dari komik wayang sampai komik silat dan Mickey Mouse. Waktu itu boro-
boro ada ponsel, pesawat televisi saja belum ada di Indonesia. Nah, pada waktu itu kalau
ketahuan guru atau orang tua bahwa kami sedang membaca komik, komik itu langsung
dirampas, bahkan di sekolah sering dilakukan razia tas untuk mencari komik di dalamnya.
Alasan para guru dan orang tua adalah komik bisa membahayakan jiwa anak. Anak jadi
malas belajar, malas membaca buku karena lebih suka melihat gambar, dan yang paling
bahaya anak bisa rusak moralnya. Padahal, saya dulu penggemar berat komik, akhirnya jadi
profesor juga kok.
***
Latah, ikut-ikutan, dan tidak mau berpikir kritis, itulah yang menyebabkan masyarakat kita
cepat panik. Histeria Pokemon hanya gejala sesaat, yang nanti juga akan hilang sendiri.
Bahayanya pun semu karena tanpa Pokemon orang tetap kejedot atau tersesat kalau meleng
waktu pakai ponsel. Tanpa Pokemon orang bisa mengunggah pornografi atau memasarkan
narkoba melalui ponsel dan tanpa Pokemon rahasia instalasi vital negara bisa direkam
melalui teknologi GPS.
Jadi, teknologinya yang merupakan potensi ancaman, bukan Pokemon. Akan tetapi, justru
teknologi itulah yang membuat hidup kita lebih nyaman dan ilmu kita maju pesat. Sekarang
kita bisa bersuratan dengan orang lain di mana pun di pelosok dunia hanya dalam hitungan
34. 34
detik melalui e-mail. Anak-anak sekolah di pelosok bisa belajar dan mengunduh informasi
melalui laptop dan jaringan internet yang disiapkan oleh Kemendikbud dan polisi bisa
melacak keberadaan teroris atau pembunuh sadis melalui pelacakan panggilan telepon
genggam. Semua itu karena kecanggihan teknologi informasi zaman sekarang.
Jadi, jangan suka latah. Dengar apa kata pepatah, “Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tak
berguna”.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Psikologi UI dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI
35. 35
Teror dan Masyarakat Ilmu
24-07-2016
Sehari menjelang Idul Fitri, Mapolresta Solo dikejutkan oleh teror bom bunuh diri. Adalah
NR, warga Solo, yang meledakkan diri bersama sebuah sepeda motor yang melukai seorang
polisi.
Teror di Solo ini seakan menjadi rentetan teror internasional sejak dari Turki, Madinah, dan
Indonesia. Walaupun masih perlu pembuktian keterkaitan itu, teror bom bukanlah perilaku
yang dapat dibenarkan. Teror itu seakan menguatkan pandangan bahwa kehidupan penuh
keriuhan. Hampir seluruh lini kehidupan masyarakat tidak afdal jika tidak didahului oleh
manajemen teror.
Manajemen Teror
Teror seakan menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan alam bawah sadar dan ruang gerak
masyarakat. Saat teror meluncur secara masif, kesadaran masyarakat didorong membenarkan
kondisi itu. Saat kesadaran telah lumpuh, maka menjalankan agenda kerja lebih mudah.
Pasalnya, ketertundukan dan pembenaran telah menyatu.
Manajemen teror pun seakan membenarkan paradigma masyarakat. Yaitu, saat seseorang
telah dilukai, baik fisik maupun psikis maka ia akan mengurungkan niatnya melawan
berbagai kebijakan yang tidak memihak. Teror menjadi sarana yang paling ampuh untuk
mematikan niat dan keberanian seseorang untuk mengungkapkan kebenaran. Inilah mental
feodal yang kita warisi dari pemerintah kolonial Belanda.
Mental lemah ini perlu dilawan dengan nalar kritis. Nalar kritis akan menuntun manusia
menemukan kemanusiaannya. Ia akan mampu membaca secara benar dan jernih apa yang
terjadi.
Nalar kritis terbangun dari remah-remah pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan dan
kebudayaan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Meminjam bahasa Driyarkara,
pembudayaan merupakan kerja intelektual yang mengantarkan seseorang menuju taraf insani.
Budayawan
Lebih lanjut Daoed Joesoef menilai, melalui proses itu ruang publik akan semakin dipenuhi
oleh ”budayawan” (man of culture), bukan ”man of science”. Pemimpin negeri akan berpikir
maju untuk menyelamatkan bangsa dengan paradigma ”budayawan”, bukan sekadar hitungan
angka matematis yang akhirnya menimbulkan keresahan.
36. 36
Teror bukanlah budaya negeri beradab. Teror merupakan sisa zaman purba masyarakat tak
berpendidikan dan berakal sehat. Teror hanya akan menimbulkan keresahan dan kemandekan
berpikir. Sudah saatnya manajemen teror dihentikan.
Keadilan
Teror perlu dilawan dengan kesadaran menegakkan keadilan. Keadilan merupakan roh dalam
kehidupan. Berlaku adil pun menjadi perintah Tuhan.
Berlaku adil perlu dimulai sejak dalam pikiran. Saat pikiran sudah adil, maka laku seseorang
akan berada dalam koridor peradaban. Pikiran menggerakkan alam bawah sadar dan tindakan
seseorang. Membangun pikiran adil perlu dipupuk dalam model pendidikan yang beradab.
Pendidikan yang memanusiakan manusia dan menjadi ilmu sebagai ”lampu penunjuk”. Ilmu
perlu diarahkan untuk peradaban, bukan sekadar ilmu untuk ilmu.
Sebagaimana kritik Daoed Joesoef di atas, saat ilmu hanya melayani ilmu maka manusia akan
terkungkung pada rutinitas. Manusia pun terjebak pada pengulangan kegiatan yang
menjemukan. Ilmu pun tidak bertumbuh. Ilmu sekadar memenuhi ruang pustaka tanpa
pengaruh berarti bagi peradaban. Ilmu perlu dikembalikan kepada khitahnya sebagai obor dan
pelita kehidupan.
Maka tidak aneh jika seseorang mudah digerakkan oleh nalar sempit. Mereka rela
menyerahkan diri dalam mati sia-sia demi membela kebenaran yang absurd. Mereka seakan
membela panji-panji dan nama Tuhan, namun pada dasarnya semua adalah kesia-siaan. Ilmu
perlu dikembalikan pada maqam sebagai penyuluh dan pemantik peradaban.
Menciptakan banyak manusia berperadaban dapat mengantarkan seseorang meraih posisi
mulia dalam kehidupan, yaitu manusia yang senantiasa bertindak atas kesadaran penuh dan
menegakkan keadilan. Inilah yang meminjam bahasa Kuntowijoyo sebagai potret masyarakat
ilmu. Masyarakat yang telah melampaui batas mitos dan ideologi. Mereka senantiasa berpikir
maju untuk keadaban.
Masyarakat ilmu senantiasa dianugerahi cinta dalam diri dan lakunya sehingga peradaban ini
penuh dengan kedamaian. Cinta pun menjadi penyokong kehidupan yang luhur. Saat manusia
telah dipenuhi cinta, maka teror atas nama apa pun akan sirna dari muka bumi.
BENNI SETIAWAN
Dosen Ilmu Komunikasi dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta; Peneliti Maarif
Institute for Culture and Humanity
37. 37
Akhiri Kekerasan Pada Anak
25-07-2016
Judul di atas merupakan tema pekan peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2016. Tahun ini
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak mengangkat tema tersebut sebagai sebuah
upaya kerja keras melawan kekerasan pada anak.
Sebagaimana kita ketahui, kekerasan pada anak setahun terakhir cukup menyita perhatian
masyarakat. Kondisi ini sungguh memilukan di tengah jumlah anak di Indonesia yang
mencapai 1/3 dari jumlah penduduk Indonesia.
Banyaknya anak di Indonesia membutuhkan upaya dan langkah cerdas dan bijak untuk
menyelamatkan generasi emas bangsa ini. Langkah ini penting karena masa anak tidak akan
pernah kembali. Salah dalam penanganan dan pengasuhan pada periode anak, maka akan
mengancam eksistensi sebuah bangsa.
Kekerasan yang muncul di Indonesia dalam setahun terakhir menjadi sebuah penanda bangsa
generasi masa depan dalam ancaman. Anak bangsa dalam posisi yang rawan. Pasalnya, ia
lebih banyak mendapatkan kekerasan daripada buaian lembut dari orang tua dan keluarga
terdekat. Saat mereka tak mendapatkan apa yang menjadi haknya, maka anak-anak Indonesia
mudah stres. Mereka akan sulit konsentrasi dan belajar. Kondisi itu kemudian merapuhkan
potensi yang hebat.
Seorang Pemenang
Anak telah menjadi sunnatullah dilahirkan dalam kondisi sempurna dengan segala potensi
yang luar biasa. Hal ini mengingat, dalam proses penciptaan, mereka telah mengalahkan
jutaan sel sperma. Anak dengan demikian terlahir sebagai seorang pemenang. Pemenang
dengan segala potensi yang melekat dalam dirinya.
Potensi inilah yang perlu dikembangkan dan digali oleh orang tua. Mereka mempunyai
tanggung jawab penuh untuk mendidik dan membesarkan mereka berdasarkan potensi yang
telah dimiliki. Namun, sering kali orang tua, guru, dan orang-orang terdekat belum mampu
menjadikan anugerah Tuhan ini sebagaimana mestinya.
Mereka sering kali memperlakukan anak sebagai objek sasaran kemarahan dan pelampiasan
kekesalan. Kekerasan fisik dan psikis pun sering kali menjadi menu harian anak-anak
Indonesia. Padahal kekerasan apa pun akan mengganggu tumbuh kembang anak. Orang tua
perlu menyadari ini agar tidak menyesal kelak di kemudian hari.
38. 38
Pengarusutamaan Perlindungan Anak
Oleh karena itu, masalah ini perlu disikapi dengan tindakan yang integratif. Artinya perlu
sejumlah langkah agar masa depan bangsa tetap lestari. Di antara langkah itu adalah
pengarusutamaan perlindungan anak. Perlindungan anak menjadi kata kunci yang perlu
dipahami oleh seluruh elemen bangsa.
Bangsa perlu sadar bahwa keberlangsungan hidup sebuah peradaban tergantung pada
bagaimana menyiapkan generasi tangguh untuk masa depan. Generasi masa depan perlu
dipersiapkan mulai saat ini. Saat mereka kuat maka bangsa akan menuai kejayaan.
Sebaliknya, saat mereka lemah maka bangsa ini hanya menjadi ”sapi perah” kekuatan lain.
Maka dibutuhkan sebuah aturan yang jelas dan implementatif. Misalnya perda perlindungan
anak dan rancangan kota ramah anak perlu diarahkan pada pengembangan ruang bermain dan
berkreasi bagi anak. Perda bukan sekadar aturan tertulis, namun perlu diwujudkan dengan
menggandeng desa sebagai basis utamanya.
Guna menggerakkan itu, pemerintah daerah perlu mencari pos anggaran yang sesuai dan
layak. Sebuah daerah yang berkomitmen terhadap masa depan anak, perlu mencarikan dana
agar kegiatan yang melibatkan anak semakin banyak dan meriah. Inisiasi pendanaan dari
daerah akan menggerakkan praktisi sektor riil masalah anak semakin tumbuh.
Anak-anak akan semakin mendapatkan ruang belajar dan bermain lebih dekat dan mudah.
Orang tua mereka pun tidak lagi perlu disibukkan pergi jauh meninggalkan rumah untuk
sekadar memberi liburan atau suasana baru bagi anak. Cukup di dekat rumah telah tersedia
Rumah Ramah Anak, yang terdiri dari ruang kreativitas bagi seluruh anak.
Pengarusutamaan perlindungan anak pun perlu mencontoh misalnya pesan dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Beliau menyatakan bahwa pendidikan itu
tanggung jawab orang tua dan guru. Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak memerlukan
pola kelembagaan pengasuhan yang sungguh-sungguh. Orang tua dan guru perlu menyadari
bahwa mereka menjadi ujung tombak perlindungan terhadap anak. Saat mereka telah mampu
bertindak atas nama ”pengasuh”, maka akan muncul kesadaran bersama tentang pentingnya
anak bagi sebuah peradaban.
Lebih lanjut, pada pengawasan misalnya. Ke depan kehadiran Komisi Perlindungan Anak
Daerah (KPAD) wajib ada di provinsi. KPAD dapat membantu KPAI pusat untuk mengurai
masalah anak. Melalui KPAD, masyarakat tidak perlu jauh-jauh untuk mengadu dan
memohon perlindungan dalam masalah anak.
Selain itu, pusat-pusat layanan keluarga harus berfungsi secara baik. Posyandu selayaknya
tidak hanya menjadi ajang menimbang berat badan, tetapi juga sebagai ruang dialog tukar
pemikiran dan pengalaman dalam mengasuh anak.
39. 39
Peran Keluarga
Lebih dari itu, untuk mengurangi angka kekerasan pada anak, penguatan peran dan fungsi
keluarga sangatlah penting. Pasalnya, 70% orang tua hanya copy paste dalam pola
pengasuhan. Indeks Pengasuhan di Indonesia misalnya menunjukkan lemahnya pengetahuan
awal, komunikasi, serta pengawasan alat digital.
Orang tua ini tidak memiliki bekal yang cukup untuk mengasuh anak di tengah dunia yang
terus berubah. Mereka masih mengacu pada pola asuh lama yang sering kali kurang mampu
menjadi benteng dalam hubungan sosial.
Minimnya pengetahuan ini menunjukkan negara harus serius memperbaiki isu tersebut.
Negara perlu turun tangan dan bergandengan tangan memberi penyadaran bahwa isu anak
bukanlah masalah ringan dan sederhana.
Masalah anak adalah potret masa depan bangsa. Saat anak mendapatkan hak dasarnya
sebagai sebuah manusia utuh, peradaban bangsa ini akan gemilang di masa
depan. Sebaliknya, saat negara dan seluruh elemen bangsa tak sanggup mengelola potensi
dan anugerah Tuhan ini serta malah cenderung mengabaikannya—melakukan kekerasan pada
anak—maka peradaban ini dalam masalah besar.
RITA PRANAWATI
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
40. 40
Psikologi Kematian
29-07-2016
Dari sekian buku yang pernah saya tulis dan diterbitkan, buku Psikologi Kematian yang
paling banyak peminatnya. Dicetak ulang lebih dari 20 kali dan sudah ganti cover sebanyak
tiga kali. Terbit pertama kali tahun 1998.
Berdasarkan hasil survei Media Indonesia, Psikologi Kematian masuk daftar 45 buku yang
paling berpengaruh pada pembacanya. Saya tidak kaget dengan hasil survei itu karena saya
sendiri sering kali menerima telepon, SMS, dan apresiasi langsung dari pembacanya ketika
bertemu tatap muka. Mereka menyatakan berubah cara pandang terhadap mati setelah
membaca buku itu.
Yang juga unik, sudah lima kali buku itu dicetak khusus sebagai kenangan ketika sebuah
keluarga memperingati wafatnya anggota keluarganya, dibagi pada tamu yang hadir. Ada
yang dibagi pada peringatan hari ke-7, ke-40 atau ke-100 hari. Di sampul buku dicetak foto
almarhum/almarhumah dan lembaran sambutan serta kenangan keluarga atas
almarhum/almarhumah. Pada kesempatan itu, saya diminta mengulas singkat isi buku seputar
makna kematian.
Pada 26 Juli lalu, saya menemui salah satu pembaca buku itu, Eyang Sardjoeno, 93 tahun,
tinggal di Kompleks AL Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Sehabis membaca buku itu, Eyang
Sardjoeno ingin sekali ketemu saya sebagai penulisnya. Maka dengan senang hati, saya yang
datang ke rumahnya.
Seorang pensiunan marsekal muda AL, punya empat anak yang semuanya sudah berkeluarga.
Istri telah meninggal, lalu salah satu anaknya tinggal bersamanya dan ditemani pekerja rumah
tangga. Dia kadang merasa sepi sendiri karena pagi-pagi anaknya sudah berangkat kerja dan
pulang pukul 9 malam. Beruntung penglihatannya masih bagus sehingga bisa baca buku,
mengisi TTS, dan menonton TV, sekalipun pendengaran sudah berkurang.
Terbayang di benakku, berapa banyak orang tua yang posisinya seperti dia. Ketika muda
bekerja keras mengejar karier dan membesarkan anak-anaknya tercinta, tetapi setelah usia
lanjut anak-anaknya sibuk dengan keluarga dan pekerjaan masing-masing.
Eyang Sardjoeno bercerita, buku itu mengingatkan dan menimbulkan imajinasi kehidupan
setelah mati serta bekal apa yang mesti dibawa. Maka dia seperti melihat layar film yang
menayangkan perjalanan hidupnya di masa lalu yang nanti akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Tuhan. Dengan detail dan semangat, Eyang Sardjoeno bercerita perjalanan
41. 41
kariernya. Dia merasa beruntung selamat dari berbagai godaan korupsi yang selalu
membuntuti, misalnya ketika menjadi kepala Koperasi Inkopal.
Dengan antusias dia bercerita, bagaimana rakyat pernah sangat berjasa membantu tentara
dalam bergerilya memperjuangkan kemerdekaan RI. Rakyat dengan sukarela dan siap dengan
risikonya memberi makan dan perlindungan pada tentara pejuang. Rakyat dan tentara waktu
itu melebur sehingga musuh sulit membedakan.
Oleh karena itu, tutur selanjutnya, siapa pun yang duduk dalam jajaran pemerintahan mesti
menyadari dan pegang komitmen untuk melayani dan melindungi rakyat Indonesia. Yang
memiliki dan menjadi majikan negara ini adalah rakyat. Jangan dibalik posisinya.
Layaknya seorang wartawan atau mahasiswa, saya jadi pendengar yang baik sambil mencatat
pitutur-nya. Hidup itu agar selamat mesti mengikuti GBHT, Garis Besar Haluan Tuhan.
Buanglah pikiran dan perasaan negatif yang hanya memberatkan hidup. Menambah bagasi
yang tak ada gunanya.
Eyang heran dan kecewa dengan perilaku politisi saat ini yang lebih senang berdebat
ketimbang bermusyawarah untuk mencari mufakat. Kalau debat, ada yang kalah dan ada
yang menang. Padahal, masing-masing pihak memiliki kebenaran dan keunggulan. Dalam
musyawarah, yang dicari kebaikan dan keunggulan bersama. Itulah yang namanya gotong
royong, silaturahmi.
Menurutnya, tanpa korupsi pun sesungguhnya para pejabat itu cukup memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tetapi sekarang ini, rasanya berita korupsi terus saja muncul dan tiada hari tanpa
bicara bohong. Ingat, semua itu nanti akan kembali pada diri kita sendiri.
Lebih dari satu jam saya serasa mendapat kuliah dari Eyang Sardjoeno, ditemani oleh Anto,
putra pertamanya.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
42. 42
Menteri yang Bijak dan Jenaka
30-07-2016
Pejabat itu orang penting di dalam masyarakat kita. Tempatnya di lapisan atas dan tak
tersentuh orang biasa.
Posisi istimewa para pejabat itu di zaman Orde Baru dulu dilindungi oleh berlapis-lapis
prosedur protokoler dalam birokrasi yang ganas. Apalagi di lingkungan aparatur militer. Tapi
di zaman itu ada seorang menteri yang bijaksana dan jenaka. Dia tak membutuhkan aturan
protokoler yang serba menakutkan itu.
Di zaman ini, zaman Reformasi yang menuntut perubahan pola-pola perilaku dan sikap hidup
pejabat, membuat sejumlah pejabat tinggi seperti kehilangan pedoman hidup yang sehat.
Selebihnya, diam-diam masih banyak pejabat tinggi ingin diperlakukan istimewa oleh warga
masyarakat seperti para pejabat di zaman Orde Baru dulu.
Tapi masyarakat kita sekarang jauh lebih berani, lebih terbuka dan lebih kritis melihat
tingkah laku pejabat tinggi. Pejabat yang sok populis menyapu di bandara, membuka pintu
tol, sama sekali tidak dikagumi publik. Orang tak terpesona. Tapi sebaliknya, tingkah laku
seperti itu disindir halus dengan ungkapan: “digeguyu pitik“, ditertawakan oleh ayam. Ini
sikap populis buatan, tidak tulus, dan ada maunya. Sikap hidup sehari-harinya tidak semulia
itu. Begitu pula bila pejabat ingin tampil sok serba berwibawa.
Kedua hal itu kelihatannya hanya menjadi gosip politik yang mengundang rasa belas kasihan.
Rakyat paham apa yang murni apa yang palsu. Tapi pejabat tinggi diketahui sifat dan
wataknya oleh publik, terutama oleh orang-orang media. Ada gubernur yang sok merasa lebih
tinggi derajatnya daripada wartawan. Tapi wartawan hanya tersenyum.
Ada menteri yang mau tampil sok hebat, bicaranya sok akademis. Tapi rakyat, yaitu media,
LSM, aktivis, pengamat dan para akademisi, bukan hanya tidak terpesona, tetapi mereka
mesem –senyum-- pun enggan. Rakyat juga bisa bersikap sok hebat, kalau mau. Kelihatannya
menteri seperti itu dianggap kanak-kanak yang tak layak dikomentari.
Dan kalau kira-kira ada rakyat biasa yang status sosialnya di bawah, harus berkomentar, dia
menyatakannya dengan sedikit menohok: lihat saja akan kujawab. Biarlah dia menjadi satrio
kewirangan. Maksudnya biarlah dia menjadi kalangan atas yang dipermalukan. Di sini,
dipermalukan dan menjadi malu bukan karena salah orang lain, melainkan karena ulahnya
sendiri. Orang dulu berkata: bukan salah bunda mengandung, buruk suratan tangan sendiri.
Satrio kewirangan itu fenomena memalukan. Harmoni kulturalnya hancur luluh. Orang akan
43. 43
merasa lebih baik “digebuki” daripada menderita malu sebesar itu. Pejabat yang sok disiplin,
sok “strength“, sok cepat mengambil tindakan atau mengancam sebelum meninjau secara
cermat persoalan yang dihadapinya, bisa membuat dia terjerumus ke dalam idiom “satrio
kewirangan” yang disebut di atas.
Tapi mungkin perlu dicatat bahwa hanya orang-orang yang lembut jiwanya, yang menjaga
rasa malu lebih dari banyak jenis persoalan lain yang bisa membuat kita “kewirangan” tadi.
Pendeknya, hanya orang yang berjiwa satria yang bisa mengalami gejala psikologis seperti
itu. Orang kasar, yang mementingkan jabatan daripada kehormatan diri, tak peduli sama
sekali dengan persoalan itu.
***
Syahdan, ada suatu peristiwa politik yang mendapat perhatian serius dari kalangan
masyarakat. Dalam Info Guru edisi Minggu, 29 Mei 2016, Menteri Pendidikan Nasional
mengeluarkan sebuah maklumat yang meresahkan di kalangan guru. Bunyinya: “Guru yang
ketahuan merokok di lingkungan sekolah akan dimutasi”. Alasannya, merokok dianggap
pintu masuk gerbang narkoba.
Maklumat yang mengandung “ancaman” ini ditanggapi seorang guru SMP K keluarga di
Kudus, Jawa Tengah, M. Basuki Sugita. Guru ini menilai, memutasikan guru yang merokok
di lingkungan sekolah tidak bijaksana. Dan kalau karena merokok seorang guru dimutasikan,
maka Pak Guru satu ini meminta agar sikap sang Menteri konsisten menghadapi persoalan
lain yang berhubungan dengan rokok. Dengan begitu maka Menteri juga harus tegas menolak
beasiswa dari pabrik rokok kepada anak-anak sekolah seluruh Indonesia.
Menurut Pak Guru tersebut, dalam 10 tahun terakhir ini saja mahasiswa penerima beasiswa
dari pabrik rokok memperoleh Rp750.000 per bulan. Kita tidak diberi tahu berapa jumlah
mahasiswa penerima beasiswa tersebut. Berapa pula jumlah keseluruhan anak-anak penerima
beasiswa tadi dari SD hingga SLA.
Kalau menteri tersebut benar-benar konsisten sehingga pabrik rokok dilarang memberikan
beasiswa yang besar sekali manfaatnya itu, apa kira-kira akibatnya? Mungkin Tuan Menteri
tak akan melakukannya. Tapi mengapa hal ini tak dipikirkan lebih dulu dengan seksama
sebelum Tuan Menteri mengeluarkan ancaman meresahkan itu?
Dari sini kelihatan, M. Basuki Sugita memang seorang guru yang layak “digugu lan ditiru“
dipercayai kata-katanya dan diteladani tindakannya. Dan Tuan Menteri? Apakah beliau juga
layak “digugu lan ditiru“? Kita tanya dulu pada Pak Guru Basuki Sugita bagaimana
sebaiknya menjawab pertanyaan itu.
Bagi Pak Guru Sugita, merokok di sekolah memang bagus kalau harus diatur. Dia tak
menaruh sedikit pun keberatan menerima aturan tadi. Dia bilang: aturlah. Tapi mohon
diketahui, perokok bukan penjahat yang harus disingkirkan. Para guru di SD, SMP, SMA dan
44. 44
perguruan tinggi yang gemar merokok tidak ada yang menjadi pencandu narkoba. Kenapa
guru merokok harus disingkirkan? Begitu argumen Pak Guru Sugita dalam surat terbuka
kepada menterinya yang terburu nafsu mengancam tadi.
Menteri tidak hanya dia seorang. Di negeri kita ini juga punya Menteri Pendidikan yang lain,
yang bijaksana dan begitu jenaka menghadapi anak-anak dan dunia pendidikan pada
umumnya. Beliau ini lebih senior dan lebih dahulu menjabat. Pak Menteri ini seorang ahli
psikologi, dan memahami dunia filsafat dan pendidikan, dan perokok berat.
Pada suatu hari beliau menerima anak-anak sekolah dalam suatu acara resmi di aula
kantornya di Senayan, sambil secara rileks merokok. Ada konon salah seorang anak yang
bertanya, yang esensinya merupakan kritik pada Bapak Menteri. “Pak Menteri, katanya anak-
anak dilarang merokok. Mengapa Pak Menteri sendiri merokok?”
Apa jawab Pak Menteri? Marah, dan mengancam anak itu untuk dikeluarkan dari sekolah?
Oh, tidak. Orang bijak itu menjawab dengan bijak dan jenaka: “Anak-anak memang tidak
boleh merokok. Tapi kalau sudah menjadi menteri boleh,” katanya sambil mendekati anak
itu, lalu dipeluknya, sesudah rokoknya dimatikan dan ditinggalkan bersama abu dan puntung-
puntung di asbaknya.
Anak-anak sekolah --dan juga para guru mereka yang hadir pada hari itu-- tahu bahwa Pak
Menteri hanya bergurau. Mereka tahu, itu gurau orang bijak, yang jenaka.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. E-mail:
dandanggula@hotmail.com
45. 45
Jam Karet
31-07-2016
“Jam karet” adalah ungkapan (idiom) dalam bahasa Indonesia yang maksudnya adalah
kebiasaan terlambat. Rapat terlambat dimulai, kereta api (dulu) terlambat datang (atau
berangkat), janji sama orang terlambat, dan sebagainya.
Saking sudah membudayanya jam karet, seringkali kalau mau bikin suatu acara jam 10.00
WIB, di undangan ditulis jam 09.00. Maksudnya biar hadirin yang jam karet sudah lengkap
hadir jam 10.00. Tetapi, buat hadirin yang tepat waktu, malah panitianya yang dianggap jam
karet.
Kebiasaan jam karet seringkali kita baca juga dalam surat-surat undangan resmi (instansi
pemerintah, perusahaan swasta, organisasi sosial, LSM, rapat RT/RW, bahkan rapat keluarga
panitia pernikahan): Undangan rapat, hari apa, tanggal berapa, “jam 10.00 sampai
selesai”. Maksudnya adalah rapat itu bisa selesai kapan saja. Seakan-akan semua orang punya
waktu seharian untuk rapat. Tentu saja ini sangat membingungkan buat mereka yang ada
keperluan lain setelah rapat, entah mau jemput anak di sekolah, atau ada janji dengan klien,
atau ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, dan sebagainya. Susah sekali bagi orang
sibuk yang banyak kegiatannya (di kota-kota besar seperti Jakarta, hampir semua orang
sibuk) untuk mengatur jadwal acaranya.
Karena itu, kalau saya yang mengundang rapat, selalu saya cantumkan jam berakhirnya rapat
misalnya jam 10.00-12.00, dilanjutkan dengan makan siang. Dengan demikian, yang
diundang bisa memperkirakan apakah dia mau makan siang dulu atau langsung
meninggalkan lokasi rapat untuk melaksanakan hal lain.
Dampak dari konsep jam karet ini sangat besar. Mengurus KTP (dulu), yang seharusnya
selesai 1-2 hari, bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, tetapi bisa dipercepat
dengan pungli (pungutan liar, atau sogokan atau suap, atau istilah zaman sekarang
“gratifikasi”), kalau perlu hari itu juga selesai. Begitu juga membuat surat izin mengemudi
(SIM), atau surat-surat izin apa pun.
Tetapi, itu dulu. Sekarang mulai membaik, setelah segala sesuatu dielektronikkan. Bukan saja
KTP, SIM, dan STNK, tetapi juga pelayanan bank, pembayaran listrik atau air PAM, uang
kuliah, dan lainnya, yang dulu mesti antre atau menunggu lama (walaupun tidak selalu perlu
gratifikasi), sekarang bisa dilakukan hanya dalam beberapa menit dari ATM, atau kalau kita
punya internet-banking atau m-banking, kita bisa melakukan pembayaran dari mana saja
melalui laptop atau HP kita. Pasalnya, komputer atau internet tidak bisa ngomong, jadi
mereka tidak tahu istilah “jam karet”.
46. 46
***
Istilah “jam karet” tidak dikenal dalam bahasa Inggris (rubber time) dan saya kira juga tidak
dikenal di hampir semua bahasa yang budayanya tepat waktu. Yang jelas, walaupun saya
tidak mengerti bahasa Jepang, bahasa Jepang tidak mengenal frasa “jam karet”.
Kebetulan waktu saya menulis artikel saya ini, saya sedang di Yokohama, mengikuti sebuah
Konferensi Internasional Psikologi. Di sini semua serbakilat dan tepat waktu walaupun
mereka tetap ramah dan sangat sopan. Selama beberapa hari di sini saya merasa diperlakukan
seperti presiden atau pangeran karena setiap panitia (yang hampir semua mahasiswa atau
orang Jepang) membungkuk sekitar 45o setiap kali berbicara dengan saya (dan tamu delegasi
dari negara lain), dan kalau melihat ada delegasi yang sedang bingung atau ragu, tiba-tiba
salah satu panitia sudah mendekati dan menyampaikan dalam bahasa Inggris yang patah-
patah, “Apakah yang bisa dibantu?”.
Kalau dia tidak tahu apa jawaban terhadap pertanyaan itu, dia akan minta kita menunggu
sebentar, sementara dia menanyakannya ke petugas lain. Kalau Anda menanyakan tempat
dan dia tidak bisa menjelaskan (karena keterbatasan bahasa Inggris), dia akan mengantarkan
kita sampai ke tempat yang kita cari. Ini bukan di lingkungan konferensi saja, tetapi di semua
tempat lain yang saya datangi selama di Jepang, sekarang ini dan beberapa kali ketika saya ke
Jepang sebelum ini. Orang Indonesia, kata orang, sudah ramah, tetapi orang Jepang, kata
saya, lebih ramah lagi.
Walaupun begitu, kembali ke “jam karet”, suatu kejadian yang menarik di Konferensi
Internasional Psikologi di Yokohama ini adalah ketika seorang anggota panitia muncul ke
panggung untuk membisikkan kepada pembicara utama (keynote speaker) bahwa waktunya
sudah habis. Padahal, si pembicara, seorang profesor Jepang, pembuat robot yang seperti
manusia, sedang asyik ngobrol dengan robot buatannya sendiri, seperti dua teman sedang
bercakap-cakap.
Coba kalau di Indonesia, moderator biasanya tidak berani menghentikan pembicara yang
sedang paparan. Apalagi, kalau pembicaranya bos, pejabat, atau VIP. Paling-paling
moderator cuma kirim secarik kertas bertuliskan “Lima menit lagi” dan lima menit itu bisa
jadi 15 menit. Ini juga yang menyebabkan bahwa di Indonesia, kalau menyangkut waktu,
tidak ada yang bisa diperkirakan.
***
Tetapi, sekarang jam karet sudah mulai banyak berkurang. Sejak kereta api selalu tepat waktu
seperti pesawat terbang, tidak lagi orang berlambat-lambat kalau tidak mau ketinggalan
kereta.
47. 47
Ternyata mudah saja membuat orang Indonesia tepat waktu. Hari pertama pasca-Lebaran,
kunci saja pintu pagar kantor pas jam apel dimulai, PNS berlarian mengejar pintu selagi
masih buka. Yang tertinggal, boleh pulang saja.
Mau mahasiswa disiplin masuk kelas? Kunci saja pintu ruang kuliah setelah Anda (dosen)
masuk kelas, atau usir ke luar mahasiswa yang baru mau masuk kelas sesudah Anda di dalam
kelas. Pasti lain kali semua mahasiswa sudah lengkap di kelas sebelum Anda masuk kelas.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Psikologi UI dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI