(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
1. 1
DAFTAR ISI
BANDUL POLITIK PARTAI GOLKAR
Idil Akbar 4
FENOMENA SADIQ KHAN DAN TANTANGAN LONDON
Vishnu Juwono 7
DEMOKRASI PASCA-REFORMASI
Dinna Wisnu 10
MOMENTUM KRUSIAL GOLKAR
Bambang Soesatyo 13
PILGUB DKI DUA PUTARAN?
Andi Syafrani 16
PELAJARAN DARI KEMENANGAN SADIQ KHAN
Firman Noor 19
SOLUSI PENCEGAHAN OVERKAPASITAS DI LAPAS
Romli Atmasasmita 22
PELAJARAN DARI PENCULIKAN DI FILIPINA
Shofwan Al Banna Choiruzzad 25
SANKSI ADMINISTRASI POLITIK UANG
Titi Anggraini 28
MENGAPA MESTI GOLKAR?
Hendri Satrio 31
KOHESIVITAS (SEMU) GOLKAR
Iding Rosyidin 33
SEKULARISME TURKI
Komaruddin Hidayat 36
MISTERI PEMIMPIN POLITIK
M Alfan Alfian 39
POSISI TAP MPR SEKARANG
Moh Mahfud MD 42
KONGSI BARU GOLKAR
Gun Gun Heryanto 45
SETYA NOVANTO, JOKOWI, DAN PILPRES 2019
2. 2
Eko Ardiyanto 48
ADA APA DENGAN GOLKAR, MR. SETNOV?
Ramadhan Pohan 50
TEROWONGAN PENETAPAN TERSANGKA
Reza Indragiri Amriel 53
ASPEK HUKUM KEBIJAKAN PENYELENGGARA NEGARA
Romli Atmasasmita 56
GOLKAR DAN PARTAI PRESIDEN
Aditya Perdana 59
KEPEMIMPINAN POLITIK DALAM WACANA
Hasan Asy’ari 62
KOALISI PEMERINTAH PASCA-SUKSESI GOLKAR
Airlangga Pribadi Kusman 66
TEGAR MEMERANGI KEJAHATAN NARKOBA
Bambang Soesatyo 69
DI BALIK JATUHNYA EGYPTAIR
M Bambang Pranowo 72
USUL GERAM IMPOR HAKIM
Moh Mahfud MD 75
KORUPSI PERADILAN
Marwan Mas 78
MENIMBANG NASIB OPOSISI
Adi Prayitno 82
DAYA SAING PARPOL BARU
Ramdansyah 85
MENANTI EKSEKUSI MATI
Amzulian Rifai 88
KEMBALI KE PANCASILA DAN UUD 1945
Hendardji Soepandji 92
MASA DEPAN PARPOL
Janedjri M Gaffar 95
PERPANJANGAN JABATAN KAPOLRI
Trimedya Panjaitan 98
3. 3
PANCASILA HEBAT, DIPUJI ORANG
Moh Mahfud MD 101
DUTERTE
Dinna Wisnu 104
PERDAMAIAN PALESTINA-ISRAEL DAN PERAN INDONESIA
Tantowi Yahya 108
RASIONALISASI 1 JUTA PNS
Amzulian Rifai 111
DIPLOMASI PERTAHANAN DAN AASAM 2016
Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang 115
GRAND CORRUPTION DI NEGARA DRAKULA
Moh Mahfud MD 118
PEMIMPIN YANG ASERTIF DI LINGKUNGAN KEPOLISIAN
Safi’i Nafsikin 121
PEMASYARAKATAN: MASALAH ATAU SOLUSI
Romli Atmasasmita 124
MEMBONGKAR MAFIA PERADILAN
Aradila Caesar Ifmaini Idris 127
PROSPEK DAN TANTANGAN PARPOL BARU
M Alfan Alfian 130
100 TAHUN ZELFBESTUUR HOS TJOKROAMINOTO (1916-2016)
Valina Singka Subekti 133
MENEMUKAN KEWARASAN KASUS SUMBER WARAS
Hery Firmansyah 136
KISRUH HUKUM PEMBATALAN PERDA
Moh Mahfud MD 139
BISING KOMUNIKASI JELANG PILKADA DKI
Lely Arrianie 142
JENDERAL TITO: A POLICE OF FORTUNE
M Nasir Djamil 145
KOMPLIKASI YURIDIS RUU TERORISME
Dave Akbarshah Fikarno Laksono 148
KAPOLRI BARU DAN AKSELERASI REFORMASI HUKUM
Bambang Soesatyo 151
4. 4
Bandul Politik Partai Golkar
10-05-2016
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar hanya tinggal menghitung hari.
Sebuah babak ”baru” tentang masa depan politik Golkar akan ditentukan pada saat itu.
Pilihannya memang hanya ada dua, menyelesaikan polemik dualisme kepemimpinan melalui
musyawarah-mufakat di munaslub atau mempertentangkan kembali dengan menguatkan
kubu-kubuan dari ketua umum (ketum) lama. Pilihan ini disinyalir akan bergulir dan
berdinamika dalam munaslub nanti.
Delapan nama yang muncul sebagai calon ketum Golkar baru dalam munaslub merefleksikan
semangat baru akan ada kebersamaan di Partai Golkar nanti. Jelas delapan nama tersebut ada
usaha yang lebih akomodatif untuk mewadahi dua kubu yang saling silang sengketa
sebelumnya.
Semangat yang mungkin bisa dinilai sebagai usaha bersama menyelamatkan Golkar dari
kekandasan berpolitik, terlebih setelah cukup lama mendominasi kekuasaan negara. Atau,
minimal setidaknya berupaya menyelamatkan muka Golkar sebagai partai senior yang
memiliki rekam jejak politik paling berpengalaman di Indonesia.
Hanya, delapan nama yang bertarung bukan tak memunculkan pesimisme. Ada dugaan
mereka hanyalah ”titipan” ketum lama untuk tetap terus mengendalikan Golkar. Atau, dengan
kata lain, substansi munaslub diduga lebih mengedepankan politik akomodatif terhadap dua
ketum lama yang sama-sama mengklaim sebagai pihak yang sah memimpin Golkar.
Jika dugaan ini memang terjadi, orientasi ”islah politik” untuk menyelamatkan Golkar akan
terganjal karena terbentur pada dominasi politik kubu-kubuan. Keikhlasan politik menerima
siapa pun yang terpilih juga akan digugat. Ujungnya sudah bisa ditebak, pemilihan akan
berakhir deadlock dan mengundang pemerintah untuk melakukan intervensi.
Agaknya para petinggi Golkar harus melihat ini sebagai satu persoalan yang serius. Jika
berorientasi pada upaya melibatkan kembali Golkar dalam arena politik, kepentingan kubu
wajib didegradasi. Deadlock hanya akan menghasilkan intervensi pemerintah yang lebih
besar, terutama di dalam menentukan siapa yang lebih berwenang memimpin Golkar. Energi
pun akan terbuang dalam polemik dan perselisihan hanya untuk memastikan diri sebagai
pihak yang sah secara hukum sebagai pengurus Golkar.
Tak hanya itu, Golkar juga bisa terancam tak bisa ambil bagian dalam Pilkada Serentak 2017.
Sebagaimana pada 2015 Golkar juga sudah tak bisa ikut. Jika terus berlanjut, Pilkada 2018
5. 5
pun Golkar akan terancam tak bisa terlibat. Jika masih berakhir antiklimaks, Pemilu 2019
nama Golkar akan juga terancam terhapus dari peta politik. Sekali lagi, munaslub menjadi
pertaruhan hidup-mati (sudden death) Partai Golkar.
Integrasi Kepentingan
Menyelamatkan Golkar hanya satu cara. Para pihak harus bisa mengintegrasikan kepentingan
yaitu kepentingan Golkar dan masa depan politik Golkar. Hanya, menurunkan tensi dan
egoisme personal di masing-masing kubu bukanlah perkara mudah. Tetapi, demi kepentingan
dan eksistensi Golkar, egoisme tersebut harus dibenamkan lebih dahulu. Inilah sesungguhnya
ujian bagi Golkar, bagaimana mengintegrasikan kepentingan Golkar sebagai sebuah lembaga
politik di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Mengintegrasikan kepentingan berarti harus mampu membentuk frekuensi yang sama oleh
setiap kader Golkar. Frekuensi yang membangun persepsi politik akan orientasi Golkar pada
masa yang akan datang. Mengintegrasikan kepentingan juga berarti harus bisa menyelaraskan
setiap elemen pendukung Golkar agar bisa terus menjaga kondusivitas politik di internal
Golkar.
Mengintegrasikan kepentingan juga tak mesti berakhir aklamasi dalam menentukan calon
ketumnya. Debat-debat politik yang melahirkan kemufakatan akan jauh lebih bermakna
ketimbang terlalu memaksakan diri untuk mengambil keputusan yang bersifat aklamatif.
Musyawarah tetap perlu dibangun dengan membuka ruang-ruang dialog antarpeserta forum
sehingga tetap memberi kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi di internal
Golkar. Mengintegrasikan kepentingan tak akan memberi banyak makna tanpa menghadirkan
demokratisasi pelembagaan di dalamnya.
Mengintegrasikan kepentingan pada dasarnya juga (semestinya) bisa membuka kesadaran
bersama seluruh kader Golkar atas potensi kegagalan dan perpecahan yang lebih besar. Sudah
ada beberapa kader strategis Golkar yang akhirnya membentuk partai baru, yang sudah pasti
sangat merugikan Golkar secara politik. Upaya menghimpun kekuatan yang lebih solid sudah
menjadi kelemahan Golkar saat ini, yang memang sudah tak seperti dulu yang sangat
dominan karena kekuatan figur Soeharto sebagai penyatu. Kini Golkar harus menghadapi
realitas politik, ditinggal kader-kader strategis dan terus mengalami penurunan perolehan
suara pada pemilu sejak 1999 hingga sekarang.
Jika seluruh kader Golkar tak mampu memastikan munaslub berjalan lebih dinamis dengan
orientasi lebih untuk menyelamatkan Golkar dari ketiadaan, Golkar akan semakin ditinggal
pemilihnya. Bagi rakyat mayoritas, tentu tidak akan mempermasalahkan apakah Golkar
masih bertarung atau tidak dalam pemilu-pemilu berikutnya. Tapi, bagi seluruh kader Golkar,
ketidakikutsertaan dalam pemilu hanya akan menjadi titik nadir keterlibatan mereka lebih
jauh dalam Golkar. Kecuali bagi kader yang sudah teruji militansinya, mereka tidak akan
meninggalkan Golkar.
6. 6
Bandul politik Golkar akan terus bergulir dalam munaslub pertengahan Mei nanti, dan baru
berhenti jika sudah terpilih (dengan segala kerelaan politik yang ada) ketum Golkar yang
baru. Namun, bandul akan terus bergerak liar jika seluruh kader Golkar tak mampu
mengintegrasikan kepentingan dalam orientasi politik yang sama. Golkar tentu tidak mau
mengalami hal yang sama kembali karena terlalu larut dalam dilema kekuasaan ketum lama
yang pada akhirnya memecah kesolidan yang sedang dirajut bersama lagi.
IDIL AKBAR
Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran
7. 7
Fenomena Sadiq Khan dan Tantangan
London
11-05-2016
Saat Sadiq Khan memenangkan pemilihan sebagai Walikota London minggu lalu dengan
mengalahkan lawannya Zac Goldsmith (keluarga bangsawan dari Partai Konservatif) dengan
meraup suara lebih dari 1,2 juta suara, banyak media internasional dan nasional yang
mengangkat berita ini.
Tentu saja fokus dari pemberitaan tersebut adalah London untuk pertama kalinya mempunyai
wali kota yang tidak hanya seorang muslim, tapi keturunan Asia. Tentu saja ini merupakan
sebuah peristiwa yang sangat unik. Karena London dengan 12,8 juta penduduk adalah kota
global nomor dua paling kompetitif menurut the Economist. London juga menyumbang 22%
pendapatan domestik bruto (PDB) Inggris dan memiliki skala ekonomi setara dengan Swedia
atau Iran.
Sebagai wali kota London, bisa dikatakan Sadiq adalah politisi muslim turunan Asia yang
paling mempunyai pengaruh di kawasan Eropa Barat, bahkan global.
Latar Belakang Keluarga Sadiq
Sadiq bersama tujuh saudaranya dibawa oleh ayahnya dari Pakistan ke London pada tahun
1970-an untuk memperoleh harapan hidup yang lebih baik. Dengan bekerja sebagai sopir bus
selama 25 tahun, ayah Sadiq, Amanullah, membiayai kehidupan anak-anaknya, hingga dapat
menyekolahkan Sadiq untuk dapat mengenyam pendidikan tingkat universitas.
Sebagai keluarga kelas menengah di London, Sadiq bersama tujuh adik-kakaknya tinggal di
apartemen sederhana yang disewa oleh orang tuanya di Earsfield, daerah barat daya London.
Sadiq tinggal bersama orang tuanya, sebelum hidup mandiri di umur 20 tahun. Atas anjuran
guru SMA-nya --karena dianggap senang berargumen--, maka Sadiq mengambil jurusan
hukum di Universitas North London (sekarang London Metropolitan University).
Selain itu, Sadiq melihat ayahnya bekerja sebagai supir bis dan bergabung dalam kelompok
buruh. Melalui kelompok buruh, ayah Sadiq dijamin hak-haknya untuk memperoleh
kehidupan yang layak dengan perlindungan upah minimum dan standar kehidupan yang
cukup. Selanjutnya, Sadiq muda terinspirasi untuk terlibat lebih jauh dunia aktivis
perburuhan.
Karier Politik Sadiq
8. 8
Keterlibatan dalam politik dimulai dalam usia yang sangat muda. Pada usia 15 tahun Sadiq
sudah terdaftar sebagai anggota Partai Buruh. Selama menjadi pengacara yang fokus pada
pembelaan hak asasi manusia, beberapa kasus terkemuka yang ditangani adalah staf salon
yang salah ditangkap, serta dianiaya oleh polisi, guru, serta pengacara yang mendapat
perlakuan rasis serta dan polisi senior dengan ras kulit hitam yang dituduh korupsi.
Setelah kurang dari sepuluh tahun, Sadiq berkeinginan menjadi anggota parlemen. Walaupun
sebagai pengacara ia bisa membela ratusan klien terkait hak asasi manusia, Sadiq merasa
dengan menjadi anggota parlemen bisa membuat undang-undang yang mempengaruhi jutaan
penduduk. Untuk itu, Sadiq maju menjadi kandidat anggota parlemen di London untuk
wilayah Tooting yang merupakan daerah konstituen kuat dari Partai Buruh. Ia memenangkan
pemilihan umum parlemen dan menjadi satu dari sedikit anggota parlemen dengan latar
belakang etnis minoritas.
Melalui manuver politik cerdiknya, ia bersama-sama 47 anggota parlemen Partai Buruh
lainnya melakukan pembangkangan terhadap pemerintah Tony Blair. Tindakan tersebut
membuat ia dekat dengan Menteri Keuangan Gordon Brown yang kemudian menggantikan
Tony Blair. Akibatnya selama pemerintahan tiga tahun Gordon Brown, Sadiq mendapat
kesempatan menjadi muslim pertama yang menjadi anggota kabinet, di antaranya dengan
menjadi Menteri Transportasi di tahun 2009.
Pada pemilihan umum tahun 2010 saat Gordon Brown dikalahkan oleh David Cameron,
karier politik Sadiq nyaris terhenti, karena hanya mampu terpilih dengan selisih 2.500
suara. Namun Sadiq kembali dikenal setelah sebagai manajer kampanyenya berhasil
membawa Ed Milliband mengalahkan kakaknya yang lebih favorit, David Milliband, dalam
kontestasi ketua Partai Buruh dan sekaligus menjadi pimpinan oposisi di tahun 2010. Selama
tahun 2010-2015 Sadiq membantu pimpinan oposisi parlemen Inggris Ed Milliband dengan
menjadi anggota kabinet bayangan.
Menuju Singgasana London
Lagi-lagi kematangan berpolitik Sadiq diperlihatkan dalam perjalanan kariernya menjadi wali
kota London. Dengan kekalahan telak dari partai oposisi baru pada pemilihan legislatif tahun
2015 yang memaksa Ed Milliband mengundurkan diri dari pimpinan Partai Buruh, Sadiq
dapat lolos mempertahankan kursi parlemennya.
Selain itu ia juga sudah membidik kursi walikota yang akan segera ditinggalkan oleh Boris
Johnson pada tahun ini. Namun, Sadiq kurang didukung oleh media massa Inggris yang lebih
memfavoritkan mantan Menteri Media, Budaya dan Olahraga, Tessa Jowell, yang
mempunyai peran besar bagi suksesnya persiapan London dalam menyelenggarakan
Olimpiade 2012. Lagi-lagi dengan dukungan konstituen pemilih Partai Buruh yang kuat,
melalui pemilihan lima tahap akhirnya Sadiq mengalahkan Tessa secara telak yakni dengan
58,9%-41,1%.
9. 9
Tantangan Memperbaiki London
Apabila kita melihat karier politik dari Sadiq Khan --terlepas dari figur Islam dan Asianya--,
beliau adalah politisi mumpuni dengan pengalaman panjang di pemerintah, maupun sebagai
oposisi di parlemen Inggris selama lebih dari 10 tahun. Dengan kata lain, ia adalah politisi
dengan substansi bukan hanya dipilih untuk sekedar memenuhi kuota ras atau agama.
Sekarang yang menjadi tantangan bagi Sadiq adalah, bagaimana mewujudkan janji-janji
kampanyenya untuk membawa perbaikan bagi Kota London. Salah satunya adalah masalah
perumahan, di mana harga properti menjadi sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh
warga kelas menengah London. Tidak heran, properti di daerah pusat kota hanya investor
kaya seperti dari negara Timur Tengah, Rusia dan Cina, yang mampu membeli properti
dengan harga selangit yakni di atas 500.000 pound.
Tantangan lain bagi Sadiq bagaimana mencari keseimbangan yang pas untuk mengurangi
ketimpangan pendapatan, dengan menambah lapangan pekerjaan bagi kelas
menengah. Namun, tetap mempertahankan London sebagai pusat finansial global, motor
utama pertumbuhan ekonomi Inggris, serta pusat budaya dan hiburan dunia.
Apabila dalam lima tahun mendatang Sadiq dapat mengelola masalah-masalah tersebut
dengan baik, dan berhasil meningkatkan profil politiknya, ia tidak hanya akan terpilih
kembali sebagai walikota London. Akan tetapi, dapat mencatat sejarah baru dengan menjadi
kandidat Perdana Menteri Inggris pertama yang merupakan muslim keturunan Asia.
VISHNU JUWONO
Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia; Pernah
Menjadi Warga London pada 2011-2016
10. 10
Demokrasi Pasca-Reformasi
11-05-2016
Sampai saat ini, saya dan mungkin orang-orang lain masih bingung dengan ”hantu” komunis
yang sering disebut hadir dalam pertemuan-pertemuan, mulai dari pertemuan korban tahun
1965. Demikian besarnya rasa takut hingga aparat keamanan perlu membubarkan atau tidak
memberikan izin segala macam kegiatan kritis yang disimpulkan setali tiga uang dengan
gerakan komunis.
Saya mencoba memahami fenomena ini tidak dalam konteks teori konspirasi yang meyakini
terjadinya ketegangan di antara faksi-faksi elite di dalam pemerintahan Presiden Joko
Widodo dan Jusuf Kalla, tetapi lebih mencoba memahami sejauh mana propaganda tersebut
menjadi ancaman serius terhadap konsolidasi demokrasi yang menjadi syarat pertumbuhan
dan distribusi ekonomi di tengah masyarakat.
Ancaman terhadap demokrasi tampaknya lebih nyata daripada bahaya komunis itu
sendiri. Ancaman itu adalah menguatnya paradigma yang percaya bahwa bahaya yang
bersifat ideologis hanya dapat dituntaskan dengan kekerasan.
Apabila kita memang memiliki keinginan untuk membangun sistem politik yang demokratis,
tidak ada pilihan untuk membiasakan diri berpikir dan bertindak secara rasional dan
mendasarkan kepada ilmu pengetahuan. Ideologi komunis sebagaimana halnya ideologi
kapitalis harus ditinjau, dikritik, atau dievaluasi dengan kegiatan keilmuan dan tidak bisa
dengan kekerasan, apalagi menggunakan aparat keamanan sebagai alat negara. Kita tidak
boleh lupa bahwa menguatnya paham teroris disebabkan oleh salah satunya yaitu daya kritis
yang menumpul.
Salah satu isu yang terkait dengan membiasakan diri untuk berpikir kritis adalah hak
menyatakan pendapat. Dalam semua konvensi-konvensi hak asasi manusia mulai
perlindungan terhadap hak sipil hingga konvensi yang mengatur perburuhan, hak untuk
menyatakan pendapat adalah hak yang sifatnya universal dan tidak dapat ditawar.
Mengapa hak menyatakan pendapat memiliki kedudukan tinggi? Alasan sederhananya tidak
lain karena perlu mekanisme untuk mengontrol produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
negara. Negara dan pihak-pihak lain terkait dapat membuat undang-undang atau peraturan
yang ideal dan bagus, tetapi bila tidak ada kebebasan untuk menyatakan pendapat maka tidak
ada yang dapat mengevaluasi sejauh mana undang-undang atau peraturan dilaksanakan atau
dapat diterapkan.
Kenyataannya, implementasi hak kebebasan berpendapat dan berkumpul terhambat oleh
11. 11
paradigma yang lebih membungkam daya kritis. Hal seperti itu bisa menjadi penyakit kanker
yang terus menggerogoti sistem yang secara prosedural demokratis. Di Tanah Air telah
terjadi rangkaian upaya ”penertiban demonstrasi”, mulai dari penentuan di mana boleh
berdemonstrasi sampai hal-hal teknis pelaksanaan demonstrasi.
Lebih lanjut, ternyata bukan hanya demonstrasi yang ditertibkan tetapi juga ragam kegiatan
dialog, pameran, pertunjukan seni bahkan seminar. Telah terjadi di beberapa tempat di mana
dikabarkan ada unsur masyarakat yang resah atau curiga dengan intensi suatu acara sehingga
meminta aparat keamanan untuk mengambil tindakan tegas membatalkan acara.
Mengapa sebagai warga negara kita perlu membela hak kebebasan berpendapat (freedom of
expression) untuk dilakukan secara penuh di Indonesia? Alasan praktisnya karena sebagai
negara yang telah terintegrasi dengan sistem pasar, kita juga tidak ingin ada pembatasan
untuk menggunakan hak kita berpendapat apabila ada hak-hak kita yang dilanggar atau
dizalimi. Kita sebagai warga negara dunia yang mobilitasnya telah melampaui batas-batas
tradisional kedaulatan negara kita sendiri mengharapkan hak ini berlaku secara universal
sehingga kepentingan kita juga terlindungi.
Deklarasi Universal HAM, khususnya Pasal 19, menyatakan tiap individu berhak mempunyai
dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan, termasuk untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan keterangan dan ide-ide dengan cara apa pun dan tidak
memandang batas-batas. Masih relevan dengan hak tersebut, ada pula Pasal 20 dalam
Deklarasi Universal HAM, di mana disebutkan bahwa tiap individu berhak untuk berkumpul
dan berserikat secara damai dan tidak boleh dilarang untuk menjadi anggota suatu
perserikatan.
Dalam praktiknya, hak-hak yang diakui secara internasional itu diperdebatkan di tingkat
nasional, khususnya dalam konteks hak kelompok lain dan hak atas ketertiban
publik. Kebanyakan perdebatan muncul dengan suatu argumen yang bersandar pada sejumlah
asumsi atas tindakan kelompok lain dan sejumlah kekhawatiran akan dampak-dampak sosial
yang tidak terkendali. Itu sebabnya kemudian lahir sensor dan peraturan-peraturan.
Belakangan di tingkat praktis muncul spontanitas dari kelompok-kelompok yang vokal dan
aktif mengatur ini dan itu dalam masyarakat.
Problemnya: bila asumsi terhadap kelompok lain dan kekhawatiran akan dampak-dampak
sosial tidak dikaji secara hati-hati, dan tidak dikembangkan secara cermat berdasarkan data
yang sahih dan disepakati di parlemen, maka yang terjadi adalah pembungkaman kebebasan
berekspresi.
Di seluruh dunia juga dikenal pula batasan-batasan untuk kebebasan berpendapat, contohnya
larangan untuk membicarakan hal-hal cabul yang melukai moralitas yang berlaku pada suatu
zaman, fitnah dan pencemaran nama baik serta sumpah palsu, hak atas privacy, political
correctness (kepatutan politis), ketertiban umum, keamanan publik, dan sebagainya.
12. 12
Kita tidak perlu takut untuk bicara tentang apa saja hal-hal yang patut diatur dan yang bisa
dibebaskan sebagai bagian dari pembangunan wacana yang sehat. Pendapat atau ideologi
yang akan mengancam ruang demokrasi seperti ideologi yang dianut oleh para teroris adalah
termasuk kebebasan yang harus dibatasi dan jangan sebaliknya, ideologi yang mengancam
demokrasi justru diberi keleluasaan untuk bergerak.
Pemerintah harus dapat membedakan kegiatan mana yang mengancam demokrasi dan yang
mana justru menguatkan demokrasi. Dalam beberapa kasus seperti kasus penangkapan 23
buruh dan aktivis HAM yang kini telah masuk masa persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dapat dirasakan kerancuan tersebut.
Sebagai sebuah sarana demokrasi, aksi unjuk rasa adalah salah satu cara demokratis yang
dilakukan oleh gerakan reformasi mahasiswa dan masyarakat. Mei 18 tahun lalu hal ini
berhasil mendobrak rezim otoriter Orde Baru namun sarana itu yang kini justru mulai ikut
”direformasi” juga.
Ada beberapa alasan, di antaranya saat ini kita memasuki pembangunan dan aksi-aksi unjuk
rasa dan demonstrasi yang dianggap menghalangi pembangunan harus dicegah. Di situ kita
harus meyakini bahwa perencanaan dan distribusi hasil pembangunan ekonomi yang adil dan
baik adalah mekanisme yang secara alamiah akan mengurangi unjuk rasa, namun
pengurangan dan pembatasan unjuk rasa secara sengaja tidak akan menjamin adanya
pembangunan dan distribusi hasil ekonomi yang adil dan baik.
Oleh sebab itu, apabila kita ingin melindungi kebebasan berpendapat sebagai pengawal
pembangunan, kita sepatutnya tidak mengizinkan pembungkaman daya kritis baik di dalam
kegiatan unjuk rasa maupun kegiatan akademis, kecuali bila kita ingin kembali mendirikan
negara yang otoriter dan tertutup.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
13. 13
Momentum Krusial Golkar
11-05-2016
Produk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016 menjadi potret
yang akan menggambarkan profil masa depan partai; tetap besar dan makin kuat atau
sebaliknya, menjadi semakin kecil dan lemah. Inilah tantangan sekaligus persoalan yang
patut dipertimbangkan semua DPD, DPD I, dan DPD II Partai Golkar saat memasuki forum
Munaslub yang mulai digelar 15 Mei 2016.
Benar bahwa Partai Golkar sekarang ini masih tercatat sebagai kekuatan politik besar. Tetapi,
harus diakui pula bahwa kebesaran Golkar saat ini adalah sisa-sisa kejayaan masa lalu.
Kebesaran Golkar masa lalu telah direduksi oleh beberapa partai politik (parpol) baru yang
justru didirikan dan dibesarkan oleh mantan kader unggulan Partai Golkar. Parpol-parpol
baru itu kini bahkan mampu menghadirkan perwakilan mereka di DPR RI. Kalau saja
kedigdayaan masa lalu itu tak direduksi, Partai Golkar saat ini pastilah masih sangat
powerful. Setidaknya bisa ikut mengendalikan dan memengaruhi jalannya pemerintahan.
Sebagai kekuatan politik yang besar, apakah Golkar masih punya daya atau posisi tawar yang
kuat? Semua kader Partai Golkar pasti bisa menjawab pertanyaan ini. Tentu saja jawaban itu
harus realistis dan mengacu pada fakta. Faktanya, alih-alih punya posisi tawar, Partai Golkar
justru menghadapi masalah serius karena belasan bulan terperangkap dalam kepengurusan
ganda.
Lalu, jika awalnya berani mengambil posisi sebagai oposisi yang kritis, Partai Golkar
kemudian justru mengubah sikapnya menjadi partai pendukung pemerintahan Presiden Joko
Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla. Inkonsistensi sikap dan posisi politik yang demikian
memudahkan publik untuk mengukur kuat-lemahnya daya tawar Partai Golkar.
Sekadar diketahui saja, beberapa jam setelah penetapan jadwal final Munaslub yang
diumumkan pada Selasa (3/5) lalu beredar isu di kalangan elite bahwa pemerintah
mendukung penuh seorang calon ketua umum (caketum) Partai Golkar yang akan bertarung
di forum Munaslub. Isu ini menjadi aneh dan cenderung menyesatkan karena inisial sosok
caketum yang konon dijagokan pemerintah itu bermasalah dari aspek latar belakangnya.
Sosok ini dijagokan pemerintah karena asumsi dan kalkulasi politiknya praktis saja. Jika yang
bersangkutan menjadi ketua umum, Partai Golkar akan mudah dikendalikan karena sang
ketua umum punya masalah yang setiap saat bisa dibuka kembali.
Namanya juga isu, tentu saja tidak layak untuk dipercayai. Tetapi, isu seperti ini patut
digarisbawahi oleh semua peserta Munaslub Golkar. Pertama, pasti selalu saja ada kekuatan
politik lain yang ingin melihat Golkar tetap lemah. Golkar yang rapuh hanya akan
14. 14
menguntungkan parpol lain. Dalam jangka dekat, semua parpol harus melakukan persiapan
maksimal untuk menghadapi agenda Pilkada 2017. Kalau Golkar gagal mewujudkan
soliditasnya sepanjang sisa tahun ini, parpol lain yang akan memetik kemenangan di ajang
pesta demokrasi pada tahun mendatang itu.
Kedua, menuju pelaksanaan Munaslub, semua kader harus bertekad untuk menjadikan Golkar
sebagai sarana bersama untuk pengabdian dan perjuangan demi kepentingan rakyat dan
negara. Golkar harus dibangun kembali agar menjadi kekuatan politik besar yang kuat dan
powerful. Semua peserta Munaslub harus gigih menjaga marwah kekaryaan partai agar
Golkar jangan sampai dijadikan alat oleh segelintir orang untuk berlindung atau sekadar
tameng.
Selama belasan bulan belakangan ini, kader dan simpatisan Golkar sudah merasakan pahit
akibat rapuhnya organisasi partai ini.Karena itu, forum Munaslub menjadi momen yang
sangat krusial. Jika peserta Munaslub keliru atau salah memanfaatkan momentum Munaslub,
produk Munaslub itu justru akan membuat Golkar semakin lemah, minus daya tawar. Golkar
mungkin akan tetap menjadi kekuatan politik yang besar, tapi keropos. Dan, karena keropos,
Golkar berpotensi digunakan sebagai alat saja untuk melegitimasi berbagai kebijakan politik
penguasa, tanpa sedikit pun daya tawar. Tidak ada manfaat sedikit pun yang bisa didapatkan
Partai Golkar dan para kadernya.
Regenerasi dan Pemersatu
Bertempat di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Sabtu (7/5), Komite Pemilihan
Munaslub telah mengumumkan delapan caketum Partai Golkar, meliputi Ade Komaruddin,
Aziz Syamsuddin, Mahyudin, Setya Novanto, Airlangga Hartarto, Priyo Budi Santoso,
Syahrul Yasin Limpo, dan Indra Bambang Utoyo. Setelah beberapa kali mengalami
perubahan jadwal, Munaslub Golkar akhirnya akan dilaksanakan pada 15-17 Mei 2016 di
Nusa Dua, Bali, dan akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo.
Setelah bebas dari masalah internal yang berkepanjangan, persoalan atau isu utama bagi
internal Partai Golkar adalah konsolidasi untuk mewujudkan soliditas partai guna
menghadapi sejumlah agenda politik, utamanya pilkada serentak pada awal 2017. Tetapi,
publik biasanya tidak terlalu peduli program-program internal Golkar mewujudkan soliditas
partai. Seperti forum musyawarah nasional lain, isu tentang pemilihan ketua umum lebih
seksi di mata publik. Karena itu, tidak mengherankan jika pergunjingan tentang bakal ketua
umum Golkar yang baru lebih ramai dibanding program para caketum.
Aspek strategis yang patut digarisbawahi para peserta Munaslub adalah regenerasi. Suka atau
tidak suka, regenerasi kepemimpinan Partai Golkar praktis menjadi kewajiban yang tidak bisa
dihindari lagi. Ibarat arus kuat, regenerasi kepemimpinan pada berbagai aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara sudah tidak bisa dibendung lagi, termasuk kepemimpinan di parpol.
Mantan Presiden BJ Habibie sudah berulangkali mengingatkan hal ini. Dia menyarankan agar
15. 15
sosok pemimpin parpol atau pemerintahan berusia di bawah 60 tahun. Beberapa parpol sudah
berani melakukan regenerasi itu dengan menghadirkan orang muda pada jabatan ketua
umum.
Partai Golkar pun ditantang untuk melakukan hal yang sama, menghadirkan pemimpin muda
yang memenuhi prinsip prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela (PDLT). Orang muda
yang kepribadian dan latar belakangnya tidak bermasalah, dengan intelektualitas yang
mumpuni, serta rekam aktivitas politik yang panjang dan teruji.
Munaslub menjadi pilihan setelah Partai Golkar dirundung masalah internal yang cukup lama
dan menghabiskan banyak energi. Golkar pun nyaris berkeping-keping. Maka itu, semangat
menyatukan kembali semua elemen Golkar harus menjadi arus utama Munaslub. Sekadar
memilih ketua umum saja menjadi tidak bermakna apa-apa jika tidak mampu merajut
persatuan elemen partai.
Tak bisa ditutup-tutupi lagi bahwa saat ini Partai Golkar sangat membutuhkan tokoh
pemersatu sebagai pemimpin. Kebutuhan akan sosok pemersatu ini sangat mendasar. Sosok
pemersatu yang melekat pada diri ketua umum Golkar dibutuhkan karena dia harus mampu
mengharmonisasi semua faksi di internal Partai Golkar menjadi kesatuan yang utuh. Jika
harmonisasi internal terwujud, itulah kekuatan utama untuk membangun Golkar menjadi
partai besar yang kuat dengan daya tawar yang mumpuni.
Sudah barang tentu sosok ketua umum Golkar pun harus bersih dari persoalan etika dan
moral, serta tidak terlibat persoalan hukum. Faktor ini sangat penting untuk mendongkrak
citra Golkar yang belakangan ini terpuruk. Perbaikan citra harus terus dilakukan dari waktu
ke waktu karena semua insan Golkar pun akhirnya ingin daya elektoral partai semakin kuat.
Mudah-mudahan, catatan singkat ini dapat menginspirasi peserta Munaslub Partai Golkar
2016 di Bali.
BAMBANG SOESATYO
Bendahara Umum DPP Partai Golkar/Ketua Komisi III DPR RI
16. 16
Pilgub DKI Dua Putaran?
12-05-2016
Sampai saat ini mayoritas kalangan ahli hukum dan penyelenggara pemilihan berpendapat,
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 diselenggarakan dua
putaran.
Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah ketentuan Pasal 11 (2) Undang-Undang (UU)
Nomor 29/2007, yang diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-
X/2012. Dua dasar hukum itu menegaskan kekhususan DKI Jakarta sebagai daerah istimewa
yang salah satu keistimewaannya adalah menyaratkan pemenang pilgub memperoleh suara
50% lebih.
Apakah dasar hukum tersebut masih dapat dipertahankan dengan situasi pelaksanaan pilkada
serentak yang pada 2020 berlaku secara nasional? Penulis berkeyakinan bahwa ketentuan
tersebut sudah tidak relevan dan mestinya dipertimbangkan untuk diubah oleh pembuat UU
saat ini yang sedang melakukan revisi terhadap ketentuan UU Nomor 1/2015 dan UU Nomor
8/2015 dengan beberapa alasan.
Pertama, kesepakatan nasional yang telah menjadi open legal policy saat ini menetapkan
bahwa pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia dilangsungkan satu putaran. Pembuat hukum
telah memilih model majority system menggantikan model plurality system dengan
pertimbangan efisiensi waktu dan biaya.
Lagipula dengan model penurunan tingkat partisipasi pemilih dari waktu ke waktu dan tidak
ada pengaruh signifikan antara minimal perolehan suara 30% atau 50%, dengan legitimasi
kepemimpinan politik kepala daerah, semakin memperkuat argumen pilihan legal policy
tersebut. Hasilnya, aturan yang menetapkan syarat minimal perolehan suara di dalam UU
Pilkada dihapus. Policy sistem ini harusnya berlaku untuk seluruh pelaksanaan pilkada tanpa
kecuali.
Perubahan kebijakan sistem dari majority ke plurality yang dimulai dengan pemberlakuan
UU Nomor 8/2015 (vide Pasal 107) harusnya diikuti oleh UU Nomor 29/2007. Ini bukan
sekadar berbicara soal posisi dan dasar kekhususan, melainkan pada konsistensi perubahan
kebijakan dari satu model sistem ke sistem lain. Di mana kebijakan tersebut (open legal
policy) merupakan ratio legis (Arab: illat) dari sebuah produk hukum yang oleh MK sering
dijadikan sebagai dasar penetapan konstitusionalitas sebuah norma UU.
Mengikuti prinsip yang dikenal dalam ilmu Ushul Fiqh (jurisprudensi hukum Islam), hukum
itu berlaku dan berubah sesuai dengan keberadaan illat-nya (al hukmu aduru maal hukmu
17. 17
aduru maa illatihi). Ketika illat-nya (kebijakan) berubah, sudah seharusnya ketentuan
hukumnya juga berubah. Illat yang menjadi dasar hukum ini adalah hukum itu sendiri
sehingga dengan datangnya belakangan, ketentuan asas dari legal maxim ”lex posterior
derogat legi priori” patut dipertimbangkan dalam memahami situasi hukum ini.
Singkatnya, open legal policy para pembuat UU yang memilih sistem plurality untuk pilkada
saat ini telah me-naskh (membatalkan) open legal policy lama yang memilih sistem majority.
Perubahan kebijakan inilah yang harus dipahami secara kontekstual dan holistik oleh
penyelenggara pemilihan dan juga aparat hukum lain. Khususnya, dalam melaksanakan
Pilgub DKI Jakarta tahun depan yang merupakan bagian dari rangkaian pilkada serentak
dengan daerah lain di Indonesia.
***
Konsisten dan sebagai turunan dari argumen di atas, sebagai alasan kedua, pilkada serentak
dapat dimaknai tidak hanya serentak waktunya, tapi juga serentak dan seragam perangkat
hukumnya.
Dari aspek waktu, jika pilgub di Ibu Kota tetap mungkin dilaksanakan dua putaran,
keserentakan itu menjadi tiada. Pada saat seluruh pilkada di daerah lain pada 2017 dan pada
2020 telah usai, masih ada kemungkinan akan tersisa satu lagi pilkada yang dilaksanakan
terpisah yaitu pilgub putaran kedua di Ibu Kota. Di mana aspek serentaknya jika KPU DKI
Jakarta masih dibebani lagi dengan satu putaran pada saat seluruh KPU lain sudah selesai
menjalankan tugasnya?
”Ketidakserentakan” Pilgub DKI Jakarta karena ketidakselarasan hukumnya dengan daerah
lain harus ”diluruskan” dengan memahami konteks perubahan kebijakan yang telah diuraikan
di atas. Karena, kekhususan ini sangat berbeda secara prinsip dan fundamental dengan
perubahan open legal policy para pembuat undang-undang. Berbeda halnya dengan
kekhususan Pilkada Aceh dan Papua yang hanya masuk pada aspek syarat calon yakni harus
bisa membaca Alquran untuk Aceh dan harus orang asli untuk Papua. Kekhususan pada dua
wilayah terakhir ini tidak bertentangan dengan open legal policy pada aspek perubahan model
sistem pemilihan, tapi lebih pada aspek assesoir yang tidak berhubungan dengan
sistem/model dan visi serta tujuan dari diinginkannya pelaksanaan pilkada serentak secara
nasional.
Di sini terlihat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 29/2007 tidak lagi sesuai
dengan kehendak para pembuat UU saat ini dan juga tidak sejalan dengan visi dan kehendak
nasional untuk melaksanakan pilkada serentak secara nasional. Apakah hanya dengan
berdalih tentang kekhususan Ibu Kota, kehendak nasional ini harus tetap mendapatkan
pengecualian?
Para pakar hukum tata negara dan pastinya para pembuat hukum itu sendiri harus
memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hal ini. Karena, ini menyangkut visi politik
18. 18
kepemiluan nasional yang harus diintegrasikan perangkat dan kebijakannya secara
komprehensif.
***
Ketiga, kekhususan Ibu Kota sebagaimana telah ditegaskan oleh MK pada dasarnya
menyangkut aspek bestuurvoering (pemerintahan). Meski MK mengakui ada korelasi antara
aspek pemerintahan tersebut dengan aspek pemilihan kepala daerah, secara khusus pemilihan
tidak menyangkut wilayah pemerintahan semata, tapi juga menyangkut hak individual warga
negara (right to vote).
Dengan tetap memungkinkan ada putaran kedua dalam pilgub, secara langsung negara telah
memberikan privilese kepada warga pemilih Ibu Kota. Pada saat seluruh warga di luar Ibu
Kota hanya diberikan hak memilih satu kali dalam pilkada karena perubahan legal policy dan
sistem pemilihan, warga Ibu Kota tetap memegang hak memilih lebih dari satu kali jika
ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 29/2007 diterapkan.
Ketentuan tersebut dahulu tidak dianggap diskriminatif dan masih dianggap sesuai dengan
konstitusi. Pada saat yang sama warga negara Indonesia di luar Ibu Kota pun masih diberikan
hak serupa karena model dan sistem pemilihan yang berlaku juga sama. Perbedaannya hanya
pada aspek persentase angka mayoritas untuk dapat digunakannya hak memilih putaran
kedua. Tetapi, kini dasar fundamental hak tersebut telah dihilangkan oleh pembuat hukum
untuk warga pemilih di luar Ibu Kota. Jika hak putaran kedua pilkada ini hanya diberikan
kepada warga negara pemilih di Ibu Kota, di manakah kemudian letak persamaan hukum bagi
setiap warga negara dalam konteks ini?
Dengan beberapa argumen dan pertanyaan di atas, sudah seharusnya para pembuat hukum
memperhatikan aspek hukum berlangsungnya pemilu secara lebih komprehensif dan
integratif sehingga tidak menyisakan ada ruang pembedaan yang berdampak fundamental
terhadap visi dan misi kenegaraan yang lebih besar.
Dalam pembahasan revisi UU Pilkada yang berlangsung di parlemen, diharapkan pemerintah
dan DPR dapat membuat kepastian dan konsistensi kebijakan dengan menetapkan Pilgub
DKI Jakarta seperti wilayah lain di Indonesia, tanpa menghilangkan aspek kekhususan Ibu
Kota dalam aspek pemerintahan.
ANDI SYAFRANI
Dosen UIN Jakarta dan Praktisi Hukum
19. 19
Pelajaran dari Kemenangan Sadiq Khan
12-05-2016
”Congratulations @SadiqKhan. Can’t wait to work with you to create a London that is fair
for all! #YesWeKhan”
Demikian pesan singkat yang disampaikan Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh, kepada Sadiq
Khan sesaat dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan wali kota London. Pesan singkat
itu mencerminkan ikut bergembiranya ketua Partai Buruh yang terpilih tahun lalu di tengah
kemunduran perolehan suara partainya pada pemilihan lokal 2016 yang dilakukan serempak
di beberapa wilayah Inggris baru-baru ini.
Dapat dikatakan, kemenangan Khan adalah pelipur lara bagi Corbyn, bahkan menurut Maajid
Nawaz—seorang kolumnis The Daily Beast, satu-satunya yang bisa dirayakan oleh Corbyn
dari hasil yang tidak memuaskan dalam pemilihan kali ini.
Hubungan Khan dan Corbyn sendiri sebenarnya tidak begitu erat. Berbeda dengan
pesaingnya dari Partai Konservatif Zac Goldsmith yang memiliki hubungan cukup harmonis
dengan Perdana Menteri David Cameron dan Wali Kota London Boris Johnson, Khan
cenderung membangun jarak dengan Corbyn. Salah satu alasannya, agar citra Corbyn yang
kekiri-kirian dan (dikesankan) cenderung menganut anti-Semitism tidak mengena kepadanya.
Hubungan yang kurang harmonis inilah yang mungkin menjadi jawaban dari ketidakhadiran
Corbyn saat perayaan kemenangan Khan. Kendati demikian, hubungan dingin itu tidak
sampai pula mendorong Corbyn sebagai pimpinan partai untuk melakukan langkah-langkah
destruktif pencalonan Khan.
Hal ini karena mekanisme pemilihan internal partai yang baku, yang menyebabkan potensi
seorang politisi terlindungi dari intervensi pimpinan partai. Atas dasar mekanisme yang
ditaati itu, seorang pimpinan partai seperti Corbyn tidak dapat mendikte apa yang harus
dilakukan Khan yang dikenal memiliki ide-ide cemerlang dan brilian.
Tampak jelas bahwa dalam kasus Khan ini kekuatan ide dan pesona individu berada di atas
kekuasaan pimpinan partai, yang tidak bisa tidak, akhirnya harus mengakomodasinya.
Kekuatan ide ini pulalah yang menyebabkan Khan dapat diterima oleh mayoritas masyarakat
London atau kerap disebut Londoners.
Kemenangan 44% pada perhitungan pertama dan 57% pada perhitungan kedua, yang berarti
sekitar 1,3 juta pemilih, mengindikasikan mengenanya pilihan isu dan alternatif kebijakan
yang dikedepankan Khan. Sejak awal Khan memfokuskan diri pada penciptaan lebih banyak
20. 20
lagi perumahan (termasuk menyediakan 80.000 rumah per tahun dan penyewaan rumah layak
tinggal yang murah) bagi masyarakat London. Sebuah program yang akan, yang memang
amat, dinanti oleh masyarakat London pada masa-masa belakangan ini, di samping tentu saja
persoalan keamanan, lingkungan, pengurangan pengangguran, dan transportasi.
Selain program yang tepat, Khan juga berhasil menjelmakan dirinya sebagai sosok yang
seutuhnya Londoners. Dia mencitrakan dirinya sebagai bagian dari kaum pekerja yang
dibesarkan dari keluarga menengah (ayahnya adalah imigran yang bekerja sebagai supir bus
dan ibunya adalah tukang jahit) dan tinggal di perumahan yang disediakan
pemerintah. Kondisi ini adalah kondisi umum masyarakat London, yang sekitar 37% (sensus
2011) adalah mereka yang lahir di luar Inggris, dengan tingkat pendapatan yang sedang-
sedang saja.
Khan memang ”diuntungkan” dengan situasi London yang memang kota pekerja dan secara
tradisi memiliki pendukung Partai Buruh yang kuat. Di berbagai kesempatan dia menekankan
bagaimana dia bangga kepada London, kota yang telah memberikan banyak kebahagiaan dan
kesempatan. Karena itu, Khan mengatakan akan terus menciptakan kesempatan untuk dapat
hidup lebih baik itu bagi semua kalangan.
Selain itu, Khan juga menyadari hakikat London sebagai melting pot atau kota untuk semua
ras dan penganut beragam latar belakang agama. Karena itu, dia menghormati keberagaman,
yang terakhir terlihat dengan kesediaannya menghadiri acara peringatan Holocaust beberapa
hari setelah dilantik. Sebagai seorang muslim yang mengaku menjalankan salat dan puasa
secara tertib, dia juga seorang pengacara yang banyak berkutat dengan persoalan hak-hak
minoritas. Dengan demikian, instingnya sebagai pembela masyarakat tertindas sudah relatif
teruji.
Pelajaran dari Khan oleh karenanya adalah kemampuannya menjadi bagian dari rakyat yang
diwakili dan dipimpinnya. Dia tidak mencoba menarik garis permusuhan kepada siapa pun,
melainkan menghormatinya dengan tulus. Setidaknya itu yang dirasakan para pendukungnya.
Dia, sekali lagi, ingin menjadi wali kota bagi seluruh Londoners. Tidak heran jika kemudian
banyak kalangan dari berbagai latar belakang agama, ras, status sosial, bahkan orientasi
seksual mendukungnya.
Tepat jika dikatakan bahwa dia terpilih bukan karena statusnya sebagai seorang muslim,
melainkan karena program-programnya dan sosok dirinya tidak memiliki jarak psikologis
dengan kebanyakan masyarakat London. Kecuali, bagi kalangan yang cenderung islamofobia
atau mereka yang termakan dengan pencitraan negatif Khan sebagai sosok ekstremis.
Kemenangan mutlak ini juga ditopang oleh kegagalan Partai Konservatif dalam mencari
sosok yang tepat bagi para Londoners. Meski berusaha mati-matian mendekati masyarakat
menengah bawah, citra Zac sebagai orang mapan tidak cukup menarik perhatian Londoners.
Tidak itu saja, Zac dan timnya juga gagal mengembangkan strategi kampanye yang tepat.
Ketika Khan sibuk membangun argumentasi yang solid tentang akan seperti apa London pada
21. 21
masa-masa datang, pada saat yang sama Zac dan timnya sibuk melakukan serangan personal
(black campaign) kepada Khan dengan terus-menerus mengulik latar belakangnya sebagai
seorang muslim.
Zac misalnya terus mengingatkan potensi anti-Yahudi kepada komunitas Yahudi dari sosok
Khan, selain juga figur yang tidak menguntungkan bagi kalangan keturunan India, mengingat
dirinya seorang Pakistani-Brit yang juga kelihatannya akan menaikkan pajak bagi barang-
barang berharga dan termasuk perhiasan yang banyak dikelola oleh orang-orang India. Khan
juga dicitrakan sebagai muslim moderat yang bersedia bekerja sama dengan kalangan
fundamentalis Islam dan teroris.
Uniknya, dalam konteks pemilihan kali ini banyak kalangan konservatif sendiri yang kecewa
dan muak dengan strategi kampanye yang dipilih Zac. Sebagian elite Konservatif, termasuk
mantan pimpinan Partai Konservatif Lady Sayeeda Warsi mengutuk dikedepankannya
kampanye negatif yang berpotensi memecah-belah masyarakat London. Bahkan ada beberapa
Konservatif yang terang-terangan tidak memilih Zac. Tidak kurang Jemima Goldsmith, adik
Zac, menyayangkan model kampanye abangnya dengan mengatakan tidak mencerminkan
Zac yang dia tahu selama ini.
Situasi ini memberikan pelajaran lain bagi kita semua bahwa tema-tema yang
mengedepankan sentimen-primordial selalu ada dalam momen-momen pemilihan politik,
bahkan di negara Barat sekalipun. Ingat juga kasus Barack Obama yang pernah dipersoalkan
karena latar belakang keluarganya.
Kendati demikian, setidaknya dalam kasus terpilihnya Khan dan Obama, pengedepanan
sentimen semacam itu gagal total. Baik Khan maupun Obama sekali lagi memperlihatkan
kekuatan ide, pesona, dan daya tarik pribadi mampu mengungguli kampanye negatif
berlandaskan primordial.
Kemenangan Khan mengisyaratkan dan memberikan pelajaran lagi kepada kita bahwa setiap
orang hendaknya dilihat dan dinilai dari kemampuannya (termasuk apa yang telah dibuatnya),
bukan dari warna kulit, keturunan, status sosial, dan hal lain yang tidak relevan.
Ini berarti pula seorang pemilih harus mampu dengan cerdas melihat calon pemimpinnya atas
dasar kapabilitasnya, bukan primordialitas. Apalagi, terhipnosis oleh aksi-aksi sensasional
hasil rekayasa tanpa makna. Saya percaya pada masa-masa datang kita semua sebagai
makhluk rasional dapat melakukan itu. Yes we Khan.
FIRMAN NOOR, Ph.D
Peneliti Puslit Politik LIPI dan Dosen FISIP UI; Saat ini Bermukim London
22. 22
Solusi Pencegahan Overkapasitas di Lapas
14-05-2016
Menambah jumlah bangunan lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk mencegah overkapasitas
penghuni narapidana bukan solusi satu-satunya dan komprehensif.
Overkapasitas penghuni di lapas yang mencapai lebih dari 50% di seluruh Indonesia
merupakan benih huru-hara (prison riots) karena sudah tidak memadai lagi. Baik dari aspek
keamanan, kenyamanan, ketertiban maupun dari aspek kesehatan dan nutrisi para narapidana
(napi). Yang pasti terjadi adalah penyakit menular dan perilaku homoseksual, yang dibentuk
karena kondisi kehidupan dalam lapas yang sudah tidak manusiawi.
Contohnya di Rutan/Lapas Cipinang, narapidana/tahanan tidur sambil berdiri sudah
merupakan pemandangan biasa. Begitu pula jatah biaya makan narapidana, 1 orang hanya
Rp15.000 (rata-rata), tidak lagi dapat memenuhi syarat hidup sehat. Bayangkan overkapasitas
penghuni yang mencapai lebih dari 50, jatah biaya makan napi Rp15.000 harus dibagi untuk
3 sampai dengan 5 napi.
Atau terpaksa lapas berutang kepada rekanan, yang kemudian dilunasi dengan dana tahun
anggaran berjalan berikutnya. Alhasil pada tahun anggaran berikutnya lapas sudah tidak
memiliki dana yang cukup atau sama sekali nol dan berutang lagi kepada rekanan.
Sementara itu mesin hukum pidana bekerja sangat cepat dan tidak ada jalur lambat atau pun
pemberhentian di tengah jalan. Karena atas dasar undang-undang (KUHAP), diskresi tidak
dimiliki penyidik dan penuntut untuk menghentikan perkara di tengah proses, kecuali surat
penghentian penyidikan perkara (SP3) atau surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2)
yang persentasenya sangat kecil (0,005%) dari total perkara yang masuk ke dalam sistem
peradilan pidana. Sebanyak 99% perkara berlanjut ke pengadilan dan berakhir di lapas,
termasuk perkara tipiring (tindak pidana ringan) dan perkara penipuan atau penggelapan yang
bisa diperdamaikan oleh para pihak.
Jika dalam satu tahun total perkara tipiring 100.000 perkara, akan terjadi mekanisme sistem
peradilan pidana yang berlaku. Sebanyak 100.000 perkara masing-masing dengan 2 atau 3
pelaku/narapidana, total mencapai 200.000 atau 300.000 narapidana. Bisa dihitung biaya
negara untuk narapidana yang bersangkutan selama dalam lapas. Andai saja rata-rata
dihukum 1 tahun, biaya negara menjadi 200.000 x Rp15.000 x 365 hari =
Rp1.095.000.000.000 per tahun. Untuk 300.000 napi, total biaya negara bertambah. Biaya
negara untuk bahan makanan napi tersebut belum dihitung dengan sarana fisik dan biaya
pemeliharaan, termasuk kesehatan. Seingat saya, anggaran Kementerian Hukum dan HAM
23. 23
untuk Ditjen Pemasyarakatan dan lapas di seluruh Indonesia mencapai 75% anggaran
kementerian tersebut.
***
Ibaratnya, proses pemasyarakatan di lapas merupakan bagian hilir, maka sistem peradilan
pidana sejak proses penyidikan sampai sidang pengadilan bagian hulunya. Karena itu bagian
hilir akan terus-menerus terbebani oleh bagian hulu sistem peradilan pidana. Solusi satu-
satunya dan bersifat mendasar adalah orientasi penegakan hukum pidana berujung di lapas
harus diubah. Karena secara historis dan teoretik kejahatan tidak dapat dihilangkan kecuali
hanya dikurangi seminimal mungkin.
Untuk tujuan tersebut diperlukan mekanisme hukum untuk memulai dengan pendekatan
restoratif, lawan dari retributif (penjeraan). Pendekatan restoratif dapat dilaksanakan untuk
tindak pidana ringan atau tindak pidana yang merupakan perselisihan yang bersifat
individual. Penjeraan harus didayagunakan sebagai ultimum remedium dan perdamaian
melalui mekanisme restoratif yang merupakan primum remedium.
Tujuan ini dapat dicapai jika perubahan mendasar dalam jenis pidana sebagaimana telah
diatur dalam RUU KUHP, pidana kerja sosial, pidana denda, dan pidana bersyarat
ditingkatkan. Adapun pidana penjara hanya untuk perkara serius dan berdampak luas seperti
pembunuhan, pemerkosaan dan kejahatan terorganisasi. Pola pendekatan baru dalam
bekerjanya sistem peradilan pidana yang saya sebut pendekatan analisis ekonomi mikro
dipastikan akan menghemat biaya negara secara signifikan dan mengurangi beban anggaran
negara (termasuk untuk Kementerian Hukum dan HAM).
Perubahan mendasar yang saya usulkan adalah perubahan asas tentang kesalahan, tiada
pidana tanpa kesalahan diganti dengan “asas tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan
tanpa kemanfaatan”. Asas baru ini untuk mencegah negara secara tidak rasional dan tidak
efisien selalu memenjarakan tiap kejahatan sekalipun kejahatan ringan.
Contoh kasus, Minah mencuri buah semangka. Tentu pencurian melanggar Pasal 362 KUHP
dengan ancaman paling lama 5 tahun. Perbuatan Minah termasuk kejahatan dan
bersalah. Akan tetapi apakah karena kesalahan Minah dia harus mendekam di dalam penjara
paling singkat satu hari atau paling lama lima tahun untuk satu buah semangka?
Asas baru ini juga akan memberikan keadilan dan kemaslahatan serta menjauhkan kita dari
ketidakadilan dan kemudaratan dalam upaya negara menerapkan hukum dalam kehidupan
masyarakat, yang belum terbebas dari himpitan sosial ekonomi dan kemiskinan.
Apakah asas baru ini dapat diterapkan pada semua kejahatan? Tentu tidak hanya terbatas
pada tindak pidana ringan saja. Dapat juga diterapkan pada kejahatan lain dengan nilai
kerugian yang tidak signifikan dan tergantung juga dari pihak korban. Gagasan asas baru ini
dapat diwujudkan jika ada perubahan KUHAP dan KUHP, khususnya mengenai jenis
24. 24
pidana.
Jenis pidana yang cocok dengan asas baru ini adalah pidana denda, pidana bersyarat, pidana
kerja sosial dan pidana penjara merupakan ultimum remedium. Akan tetapi untuk kejahatan
serius ancaman di atas empat tahun pidana penjara, hal itu difungsikan sebagai primum
remedium.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Universitas Padjajaran
25. 25
Pelajaran dari Penculikan di Filipina
14-05-2016
Sepuluh anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang diculik di Filipina Selatan akhirnya
dibebaskan pada Minggu (1/5).
Sebagaimana telah diketahui, sepuluh ABK kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang
Anand 12 tersebut dirompak dan diculik saat melintasi perairan Tawi-Tawi di Filipina
Selatan menuju pelabuhan Batangan di Pulau Luzon. Setelah dibawa berpindah-pindah
selama satu bulan oleh para penculik, mereka akhirnya dibebaskan dan kembali ke keluarga
masing-masing di Tanah Air.
Kemarin kembali empat sandera lain dalam kasus yang berbeda sampai ke Tanah Air setelah
dibebaskan kelompok Abu Sayyaf. Publik Indonesia pun ikut bernafas lega. Sayangnya,
kelegaan itu dengan segera disusul dengan perdebatan seru tentang siapa yang sebenarnya
berjasa dalam proses pembebasan para ABK tersebut. Daripada memperdebatkan tentang
siapa yang sebenarnya berjasa, lebih penting bagi kita untuk mulai mengambil pelajaran dari
penculikan ini.
Mengingat pentingnya jalur perairan di Filipina Selatan serta minimnya kapasitas dari
Filipina untuk mengawasi perairan yang luas tersebut, penculikan ini mungkin bukan yang
terakhir. Kawasan perairan Filipina Selatan salah satu hotspot penting insiden penculikan
yang ditujukan untuk memperoleh uang tebusan (kidnapping for ransom).
Jumlah penculikan meningkat dengan pesat setelah kematian pemimpin Abu Sayyaf
Abdurajak Abubakar Janjalani pada 1998. Kelompok ini terpecah menjadi beragam faksi
dengan ikatan ideologi dan komando yang relatif renggang. Hal ini membuat sebagian
faksinya mengandalkan penculikan sebagai sumber pendanaannya. Sejak 1992 hingga 2008
saja kelompok ini diperkirakan memperoleh USD35 juta dari uang tebusan (O’Brien, 2010).
Indonesia juga bukan kali pertama menjadi korban penculikan di kawasan tersebut. Pada
2004 seorang ABK berkewarganegaraan Indonesia diculik bersama dua orang warga
Malaysia. Tiga orang tersebut akhirnya ditemukan tewas pada Januari 2005. Pada 2005 tiga
orang pelaut Indonesia diculik di wilayah yang sama. Dua sandera dibebaskan melalui
operasi militer tentara Filipina, sementara satu sandera lagi dibebaskan melalui negosiasi
yang memakan waktu lebih dari tiga bulan.
Untuk mencegah peristiwa yang sama terulang serta menanggulanginya dengan efektif jika
hal tersebut terjadi, pelajaran apa saja yang bisa kita ambil dari penculikan kali ini? Pelajaran
pertama, Indonesia tidak dapat mengandalkan Filipina untuk menanggulangi permasalahan
26. 26
penculikan di Filipina Selatan. Tentu saja hal ini tidak mengurangi nilai penting kerja sama
keamanan di antara dua negara dan koordinasi yang baik jika peristiwa serupa kembali
terjadi. Meski demikian, penting untuk memahami bahwa Filipina memiliki keterbatasan
untuk dapat menyelesaikan persoalan ini dengan efektif. Beberapa faktor menyumbangkan
keterbatasan ini.
Secara ekonomi kawasan ini tertinggal dibandingkan dengan Filipina bagian utara. Mindanao
merupakan salah satu dari kawasan termiskin di Filipina. Sulu, Masbate, dan Tawi-Tawi
merupakan tiga provinsi termiskin dengan lebih dari separuh penduduknya berada di bawah
garis kemiskinan. Ditambah dengan sejarah penguasaan tanah yang didorong pemerintah
kolonial Amerika Serikat dan dilanjutkan oleh Manila, yang mengubah komposisi penduduk
Mindanao dan Sulu.
Banyak faktor struktural yang membuat warga Filipina Selatan merasa diperlakukan tidak
adil. Wajar jika simpati kepada kelompok-kelompok seperti Abu Sayyaf tidak juga
menyusut. Hal ini membuat berbagai milisi tersebut dapat bergerak dengan lebih leluasa di
kawasan ini dibandingkan militer Filipina Selatan. Selain itu, spekulasi tentang elite militer
yang berkepentingan untuk memelihara konflik di Filipina Selatan dengan berbagai
kepentingan pun santer terdengar.
Faktor-faktor tersebut membuat Filipina selama puluhan tahun tidak memiliki kendali yang
efektif atas kawasan ini. Ditambah lagi, secara geopolitik, dapat dikatakan bahwa kawasan
Filipina Selatan merupakan hinterland (halaman belakang) bagi Filipina sehingga menduduki
prioritas sekunder bagi Manila. Seiring peningkatan kekuatan Cina dan pembangunan
fasilitas militer oleh Beijing di pulau-pulau yang dipersengketakan di Laut Cina Selatan,
Manila melihat bahwa masalah utamanya ada di utara.
Pelajaran kedua, pentingnya untuk berinvestasi di diplomasi budaya. Pengalaman
pembebasan korban penculikan pada 2005 dan 2016 ini menunjukkan bahwa kedekatan
budaya merupakan salah satu faktor penting yang dapat memperlancar proses negosiasi
dengan kelompok-kelompok yang melakukan penculikan sebagai salah satu sumber
pendanaan utamanya. Jeda waktu yang cukup lama (15 tahun) antara penculikan terakhir
pada 2005 dan peristiwa terakhir ini juga mengindikasikan bahwa kelompok-kelompok
tersebut sebenarnya tidak menjadikan WNI sebagai target utama karena kedekatan budaya.
Jika melihat penuturan dari media massa, para penculik yang menculik ABK kapal tunda
Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 juga melakukannya tanpa terencana. Awalnya
mereka ingin menculik pengusaha kaya Filipina, namun gagal. Kemudian dalam perjalanan
pulang mereka berpapasan dengan kapal-kapal yang membawa WNI tersebut.
Upaya ini dapat dilakukan dengan mendorong inisiatif-inisiatif sosial baik yang dilakukan
institusi Pemerintah Indonesia maupun masyarakat sipil untuk meningkatkan kondisi
masyarakat di Filipina Selatan. Pengiriman guru-guru, misi budaya, pelayanan kesehatan, dan
berbagai inisiatif lain dapat didorong untuk memperkuat citra positif Indonesia di wilayah
27. 27
yang termarginalkan tersebut. Dengan demikian, milisi-milisi penculik diharapkan tidak akan
menjadikan WNI sebagai target. Jika tetap ada WNI yang diculik pun, Indonesia akan
memiliki banyak jalur untuk meminta pembebasan tanpa syarat.
Pelajaran ketiga, pentingnya multi-track diplomacy. Proses pembebasan WNI kali ini
melibatkan berbagai pihak dari beragam latar belakang. Hal ini menunjukkan bahwa
diplomasi tidak lagi menjadi domain eksklusif dari Kementerian Luar Negeri. Ke depan perlu
dipikirkan mekanisme untuk membuat kerja sama dari beragam aktor di berbagai track
diplomasi ini dapat terjadi dengan lebih harmonis dan terkoordinasi.
SHOFWAN AL BANNA CHOIRUZZAD
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
28. 28
Sanksi Administrasi Politik Uang
16-05-2016
Instrumen dan penegakan hukum pemilu harus menjamin keadilan pemilu (electoral justice).
Istilah “keadilan pemilu” muncul sebagai paradigma untuk menegakkan kemurnian hak pilih
warga negara. Jika hak pilih warga negara termanipulasi oleh peserta pemilu, sistem keadilan
pemilu harus mampu mengembalikannya. Jika penyelenggara pemilu telah lalai
mengakomodasi hak pilih, bahkan tidak ada alasan untuk tidak mengembalikan hak pilih itu
sendiri (International IDEA, 2011).
Keadilan pemilu bukan semata soal memastikan setiap warga negara yang memenuhi syarat
terdaftar sebagai pemilih dan bisa menggunakan hak pilihnya di hari-H pemilihan. Namun,
juga soal bagaimana hak pilih itu disalurkan sesuai kehendak bebas pemilih, tanpa intervensi,
pengaruh materi, iming-iming, atau pun intimidasi. Inilah yang acapkali gagal diwujudkan
pemilu kita. Dan, ini terjadi salah satunya karena praktik politik uang yang hari ke hari makin
jadi momok dan virus mematikan bagi praktik berpemilu.
Uang menjadi faktor dominan nan ampuh sebagai alat dan cara memenangkan
pemilihan. Kaderisasi yang tidak berjalan, rekrutmen yang elitis, dominasi oligarki pemilik
modal di struktur partai, dan ongkos kampanye yang mahal membuat uang dipilih sebagai
jalan pintas untuk menang pemilu. Politik uang menjadi kejahatan luar biasa yang dilaknat,
tapi tetap diminati oknum politik sebagai ”solusi” dalam pemilu. Ini menjadi kegelisahan
yang mendesak dicarikan solusinya.
Kegelisahan yang juga jadi tantangan pembuat undang-undang saat melakukan revisi atas
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Terkait ini, diberitakan bahwa
Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) DPR dalam Revisi UU Pilkada menyepakati untuk
menguatkan kewenangan Bawaslu.
Dengan kewenangan yang baru, Bawaslu bisa memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan
sanksi administrasi kepada pelaku politik uang. Penindakan pelanggaran hukum selama
pilkada bisa lebih cepat dan tak seperti pilkada sebelumnya yang menunggu lama (KORAN
SINDO, 27/4).
Pembatalan Calon
Dalam pengaturan sebelumnya bukan tidak ada sanksi administrasi atas praktik politik uang.
Pasal 47 ayat (5) UU No. 1 Tahun 2015 menyatakan, setiap orang atau lembaga yang terbukti
memberi imbalan pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil
bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, maka penetapan sebagai calon, pasangan calon
29. 29
terpilih, atau sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil
wali kota dibatalkan.
Selanjutnya Pasal 73 ayat (1) undang-undang yang sama mengatur bahwa calon dan/atau tim
kampanye yang terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk
memengaruhi pemilih dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota. Namun, ketentuan tersebut tidak pernah efektif dan berhasil ditegakkan
sebab pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Bawaslu sebagai pengawas juga penerima laporan pelanggaran pemilu/pilkada tidak otonom
dalam menegakkan ketentuan di atas. Alih-alih mencapai kesepahaman soal proses pidana
atas laporan politik uang, Bawaslu seringkali berbeda pendapat dengan pihak kepolisian dan
kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Jika
tidak tercapai kesepahaman, otomatis laporan tidak bisa dilimpahkan ke pengadilan. Artinya,
sanksi administrasi politik uang juga tidak mungkin untuk diterapkan.
Menjadi keinsyafan bahwa efek jera atas praktik politik uang tak cukup hanya dengan
menghukum si pemberi dan penerima (sebagaimana pengaturan dalam draf revisi UU Pilkada
usulan pemerintah saat ini). Sanksi pidana badan (kurungan/penjara) atau denda tak akan
pernah memberi dampak jera kepada para pelaku.
Mengutip pernyataan yang sering dilontarkan Ramlan Surbakti, guru besar ilmu politik
Universitas Airlangga, peserta pemilihan hanya takut pada dua hal, yaitu tidak bisa menjadi
peserta pemilu (entah tidak lolos atau dibatalkan) dan ditinggalkan oleh pemilih. Peserta
pemilihan, calon, juga tim kampanye, akan jera kalau hukum secara tegas bisa mengeliminasi
mereka dari proses kompetisi dan melarang mereka menjadi/mengusung calon di
pemilu/pilkada berikutnya.
Agar sanksi administratif ini bisa efektif ditegakkan, penjatuhannya tidak perlu menunggu
ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana selama ini dipraktikkan.
Mekanismenya, sanksi administrasi diputuskan oleh Bawaslu RI berdasar temuan langsung di
lapangan atau atas rekomendasi Bawaslu provinsi. Mengapa sanksi administrasi ini hanya
bisa diputuskan oleh Bawaslu RI adalah untuk betul-betul memastikan agar sanksi ini
dijatuhkan tidak asal-asalan, tidak mudah diintervensi oleh aktor lokal, dan menjaga
konsistensi dalam penerapannya di seluruh wilayah.
Rekomendasi dibuat berdasar alat bukti yang sangat kuat dan cukup, terang-benderang, dan
nyata-nyata tidak dapat dibantah bahwa telah terjadi praktik politik uang yang dilakukan
calon, partai pengusung, dan/atau tim kampanye (resmi atau pun tidak resmi) yang bisa
dibuktikan terhubung dengan pasangan calon/partai politik pengusung. Atas rekomendasi
Bawaslu ini, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti dan
melaksanakan karena sifatnya final dan mengikat.
30. 30
Kompetensi dan Sumber Daya
Kewenangan eksekutorial ini penguatan paling konkret atas eksistensi Bawaslu sebagai badan
pemutus yang sejak lama diminta. Namun, penguatan kewenangan saja tidak cukup.
Kewenangan baru ini harus diperkuat dengan kemampuan pengusutan dan pengkajian
perkara oleh Bawaslu dan akses pada lembaga lain yang mampu menelusuri aliran uang dan
transaksi ilegal pilkada.
Untuk optimalisasi, kewenangan baru Bawaslu harus diikuti dengan pembenahan kompetensi
dan sumber daya. Kompetensi berkaitan antara lain dengan seberapa besar kewenangan
Bawaslu bisa memaksa kepatuhan pihak lain. Seberapa besar aksesnya pada data perbankan
dan transaksi keuangan. Lalu, seberapa mampu dia melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan
seperti pendidikan, penyuluhan, atau pun penyitaan. Tak kalah pentingnya, seberapa banyak
staf dan dana yang tersedia.
Berkaitan dengan kemampuan memaksa kepatuhan dan dimensi pencegahan, India bisa jadi
contoh. KPU India misalnya boleh menyita uang tunai lebih dari USD1.000 yang dipegang
seseorang tanpa alasan yang jelas selama masa kampanye pemilu. Sejauh ini (sejak 4 Maret),
lebih dari USD100 juta telah disita di lima negara bagian yang sedang menyelenggarakan
pemilu (Adhy Aman, 2016).
Selain itu, untuk efektivitas penegakan hukum, pengaturan politik uang mestinya tidak
sekadar mencakup praktik jual-beli suara (vote buying). Definisi politik uang juga harus
mencakup praktik jual-beli tiket pencalonan/mahar politik pencalonan (candidacy buying)
dan praktik menyuap penyelenggara/hakim pemutus sengketa dalam rangka memanipulasi
proses/hasil pilkada. Dengan pengaturan politik uang yang semakin komprehensif,
diharapkan keadilan pemilu benar-benar bisa terwujud.
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
31. 31
Mengapa Mesti Golkar?
17-05-2016
Partai Golongan Karya atau biasa disebut Golkar memang fenomenal. Partai politik yang
dianggap paling dewasa di Indonesia lantaran semua kadernya berpeluang menjadi ketua
umum ini pernah merasakan pahitnya berada di luar kekuasaan, yang bukan merupakan jalur
politiknya selama puluhan tahun. Tapi, itu sudah berlalu. Sabtu (14/5) lalu dalam acara
pembukaan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) di Bali, Ketua Umum Partai Golkar
Aburizal Bakrie di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan posisi Golkar
yang mendukung pemerintahan.
Nusa Dua Bali ikut menjadi saksi kebesaran partai politik yang nyaris terbonsai akibat
dualisme kepengurusan. Warna kuning mendominasi Nusa Dua. Bila kita masuk ke
lingkungan munaslub, aroma lingkar kekuasaan sangat kuat di situ. Wajah akrab khas pejabat
pemerintah mudah ditemui di tempat yang menentukan nasib partai beringin kelak.
Mengapa Golkar?
Selain fenomenal, Golkar juga kokoh. Masih jelas di ingatan saya ketika banyak orang
menyuarakan lantang untuk membubarkan Golkar. Tapi, kekuatan itu tidak cukup
meruntuhkan Golkar, hingga akhirnya ormas ini resmi mencantumkan kata ”Partai” dan
tercatat sebagai partai politik.
Sejak Pemilu 1999 hingga 2014, posisi Golkar hanya di dua tempat, nomor satu atau nomor
dua. Padahal, guncangan terhadap partai ini begitu kencang. Golkar bahkan kembali jaya
pada Pemilu 2004. Golkar memiliki simpatisan loyalis yang kuat. Pada beberapa kali pemilu
angka hasil pemilu, Golkar berkutat di 14%-15%, sebuah angka yang fantastis bagi sebuah
parpol yang kerap dihantam ujian.
Namun, ada catatan tidak sedap. Sejak Reformasi, Golkar belum bisa menempatkan kader
terbaiknya menjadi presiden. Hal terbaik bagi Golkar adalah posisi wakil presiden dua kali
(yang diraih oleh Jusuf Kalla). Tapi, Jusuf Kalla saat memberikan sambutan pada perayaan
ulang tahun Golkar 2015 di Jakarta pernah berseloroh bahwa dirinya selalu menduduki
jabatan wapres justru pada saat tidak menduduki posisi ketua di Golkar.
Sebetulnya kondisi Golkar yang belum mampu mendorong kadernya menuju kursi presiden
sudah terbaca oleh Gary Cox dan Mathew Mc Cubbins dalam buku Setting the Agenda
(2005) yang diterbitkan Universitas Cambridge, New York, Amerika Serikat. Dalam buku itu
menyebutkan bahwa ada partai politik yang kadernya hanya mampu mengontrol agenda
parlemen dan masing-masing bertujuan sendiri untuk terpilih kembali. John Aldrich dalam
32. 32
buku Why Parties (2011) menyampaikan penjelasan politik yang juga memperkuat kondisi
Golkar saat ini. Dia mengatakan bahwa sebuah partai politik yang besar berisi banyak politisi
sekaligus aktivis yang mencari tempat kerja dan pengakuan.
Berdasarkan dua pendapat tadi dalam munaslub, Golkar harus memiliki ketua umum yang
mampu menemukan kader atau minimal anak bangsa terbaik. Tentu dengan kepemimpinan
kelas nasional yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadinya, untuk dapat
diajukan sebagai calon pemimpin negara.
Golkar harus mampu meyakinkan kadernya untuk tidak melulu fokus ke diri sendiri. Bila
sang ketua umum baru memiliki kemampuan itu, pada 2019 Golkar dapat mempertahankan
(bahkan melebihi) angka 14%-15% pada pemilu legislatif.
Golkar dan Jokowi
Mayoritas presiden negeri ini menikmati layanan Golkar sebagai pendukung pemerintah.
Presiden Jokowi pun sebentar lagi akan dengan nyata menerima layanan itu. Patut kita tunggu
bagaimana presiden cerdas seperti Jokowi memainkan peran politiknya dalam koalisi yang
gemuk. Jangan lupa, dalam koalisinya Jokowi sudah memiliki PDIP yang memiliki sejarah
kurang baik dengan Golkar. Bila berhasil, untuk kesekian kali Jokowi akan menciptakan
sejarah karena mampu membuat PDIP dan Golkar seirama. Dalam munaslub, Jokowi cukup
mampu memainkan peran netral dan tidak berpihak ke salah satu calon walau bawahannya
sibuk dicitrakan sebagai orang yang mencatut nama Presiden karena memberikan dukungan
(pada calon tertentu).
Kehadiran Golkar akan banyak membantu Jokowi di pemerintahan. Pengalaman Golkar
mendukung pemerintah adalah yang paling lama di antara parpol yang ada. Jokowi juga
dicitrakan akan memberi hadiah kursi menteri kepada Golkar seusai munaslub
digelar. Sebuah langkah berani dan strategis yang mungkin dapat dikatakan sebuah investasi
jangka panjang. Investasi untuk 2019 pada saat Jokowi membutuhkan dukungan sangat besar
untuk pilpres. Golkar bersama PDIP dapat jadi kendaraan politik yang kuat dan mewah bagi
Jokowi yang dapat membuat dirinya hampir pasti terpilih lagi untuk periode kedua.
Nah, bila sudah begini, semua ada di tangan seseorang yang terpilih menjadi ketua umum
Golkar hingga tiga tahun ke depan. Ketua umum yang baru harus mampu bekerja sama
dengan Jokowi sehingga Jokowi kelak juga memilih Golkar menjadi kendaraan politiknya.
Walau bukan kader asli, mengusung Jokowi dapat mengubah sejarah peruntungan Golkar
dalam pilpres bahwa tokoh usungannya menjadi presiden RI. Hal yang sejak Reformasi
belum bisa diwujudkan Golkar. Selamat bekerja ketua umum Golkar yang baru.
HENDRI SATRIO
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Founder Lembaga Survei KedaiKOPI
@satriohendri
33. 33
Kohesivitas (Semu) Golkar
18-05-2016
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar telah usai. Meski sempat
memanas dan diwarnai saling serang antar calon ketua umum (caketum), akhirnya munaslub
berakhir dengan damai. Setya Novanto (Setnov) terpilih menjadi ketua umum Golkar
menggantikan Aburizal Bakrie (ARB). ARB sendiri sebelumnya telah didaulat menjadi ketua
dewan pembina.
Kemenangan Setnov tampaknya sudah dapat diprediksi sebelumnya. Kekuatan finansialnya
yang jauh di atas caketum lainnya, dan ditambah dengan dukungan pemerintah Joko Widodo
(Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) yang secara kasatmata ditunjukkan oleh Menko Luhut Panjaitan,
menjadi modal politik besar yang mengantarnya menjadi orang nomor satu di tubuh
beringin.
Tidak aneh kalau Setnov kemudian melenggang sendiri seolah tanpa perlawanan. Hanya Ade
Komarudin (Akom) saja yang agaknya memberikan perlawanan cukup berarti, meski pada
akhirnya ia pun mundur juga dari arena kontestasi.
Kohesivitas Semu?
Salah satu hal yang menarik dianalisis pasca-gelaran munas/munaslub atau kongres sebuah
partai politik adalah persoalan kohesivitas. Pasalnya, setiap kali acara semacam itu
diselenggarakan, kecenderungan terjadi polarisasi dalam organisasi sangat kuat. Dalam
sejumlah kasus, polarisasi tersebut terkadang berakhir dengan konflik dan perpecahan partai.
Pengalaman Golkar sendiri dapat dijadikan bukti sahih. Berdirinya Partai Nasdem dan
Gerindra adalah wujud dari perpecahan Golkar pasca-gelaran munas. Munaslub Bali yang
baru saja usai juga tidak terlepas dari potensi perpecahan. Munaslub sendiri diselenggarakan
justru akibat dari adanya konflik internal yang cukup panjang. Golkar terpecah menjadi dua
kubu: kubu Bali yang dipimpin ARB dan kubu Ancol yang digawangi Agung
Laksono. Diharapkan melalui munaslub ini pihak-pihak yang bertikai dapat berislah atau
berekonsiliasi sehingga bisa bergandengan tangan kembali memajukan Golkar.
Mungkinkah Setnov sebagai ketum terpilih di munaslub mampu merekatkan kembali
soliditas Golkar yang sempat terpecah-pecah itu? Kalaupun misalnya berhasil, akankah
kohesivitas beringin yang terbangun itu bisa bersifat utuh ataukah hanya bersifat semu
belaka? Inilah yang menarik dianalisis pada Golkar pasca-munaslub.
34. 34
Menurut Festinger et al (1950), kohesivitas kelompok atau organisasi akan mudah terjadi
ketika ada seorang individu yang memiliki atraksi positif terhadap rekan-rekan kelompok
atau organisasi tersebut. Apalagi jika yang memiliki atraksi positif itu adalah pemimpinnya,
maka peluang untuk membangun kohesivitas yang lebih kuat sangat besar.
Sayangnya, terpilihnya Setnov sebagai ketua umum Golkar tidak mencerminkan atraksi
positifnya sebagai tokoh Golkar. Bahkan kasus Setnov bisa disebutkan sebagai kasus
anomali. Bagaimana tidak, seorang yang dianggap kontroversial karena diduga memiliki
cacat moral dan hukum, tetapi justru tampil sangat dominan. Semua rivalnya mundur dari
pencalonan seolah memberikan jalan lempeng pada Setnov untuk menduduki singgasana
Golkar.
Tetapi kenyataan tersebut tidak dapat serta-merta disimpulkan bahwa semua kader Golkar
berada di belakang Setnov. Boleh jadi mundurnya caketum yang tentu memiliki
pendukungnya masing-masing merupakan strategi untuk ”menyelamatkan” diri. Akom yang
sebenarnya meraih 30% suara sebagai syarat minimal untuk maju ke babak selanjutnya,
ternyata lebih memilih mundur ketimbang terus melaju. Sebab, kalau dia terus maju dan
kemudian kalah, mungkin jabatannya sebagai Ketua DPR terancam. Dengan mundur
setidaknya Akom bisa melakukan bargaining dengan Setnov.
Barangkali publik juga dapat menduga bahwa di internal Golkar sendiri banyak yang
sebenarnya tidak menghendaki Setnov menjadi nakhoda baru, terutama kalangan muda yang
lebih menghendaki partai beringin yang reformis. Bagaimana pun, mereka menyadari bahwa
nasib Golkar di bawah pimpinan Setnov sangat dipertaruhkan, terutama terkait dengan
citranya di mata publik. Tetapi suara mereka tergerus oleh gemuruh suara pendukung Setnov.
Pada sisi lain, keberadaan ARB sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar juga ikut
memperkuat posisi Setnov dan pada saat yang sama membuat kalangan yang berseberangan
dengannya kian sulit untuk bergerak. Dalam perspektif teori groupthink Irving Janis (1972),
kemungkinan yang bakal terjadi di tubuh Golkar di bawah duet Setnov-ARB dapat
dijelaskan. Para kader Golkar akan lebih mengikuti konsensus kelompoknya setidaknya
untuk jangka pendek demi kohesivitas Golkar.
Situasi seperti ini dapat bertahan lama atau sebaliknya cepat berubah bergantung pada
sejumlah hal. Pertama, kepiawaian pemimpin untuk menjadi daya rekat yang kuat bagi
organisasinya. Dengan kata lain, pemimpin yang bisa menjadi simbol pemersatu di kalangan
anggota-anggotanya akan memiliki kans besar untuk sukses melakukan
kohesivitas. Pertanyaan besar dalam hal ini patut dialamatkan pada Setnov yang secara sosok
kepemimpinan sebenarnya belum teruji apalagi ia dianggap kontroversial.
Kedua, basis untuk membangun kohesivitas yang kuat adalah adanya komitmen bersama dari
seluruh anggota untuk bersama-sama memajukan organisasi dan menjadi bagian tak
terpisahkan sehingga rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi sangat kuat.
35. 35
Berhasilnya Setnov menjadi nakhoda baru Golkar sebenarnya lebih banyak didasarkan pada
kecenderungan politik transaksional daripada komitmen untuk memajukan organisasi.
Dengan modal dana politik yang paling besar dari semua caketum Golkar, Setnov berhasil
meyakinkan kader-kader beringin yang memiliki hak pilih untuk mendukungnya sebagai
ketua umum. Namun, sebenarnya ikatan yang terbangun antara Setnov dan para kader Golkar
yang lebih beraroma transaksional tersebut tidaklah sekuat jika ikatan tersebut didasarkan
pada sebuah komitmen.
Apa yang terjadi pada ARB saat memimpin Golkar bukan tidak mungkin akan terjadi pula
pada Setnov. Ikatan keorganisasian ARB hanya tampak kuat di permukaan, itu pun lebih
banyak terlihat pada level pengurus pusat. Oleh karena itu, ikatan tersebut sangat rapuh
sehingga rentan pecah. Faktanya di masa-masa akhir kepemimpinan ARB, Golkar terpecah
menjadi dua kubu.
Mengingat modus terpilihnya Setnov hampir sama dengan ARB, maka nasib Setnov pun
bukan tidak mungkin akan sama. Kalau ingin kohesivitas organisasi Golkar terbangun dengan
kuat, Setnov mau tidak mau harus belajar dari masa lalu, meskipun berat. Kalau tidak,
kohesivitas yang ada di Golkar di bawah kepemimpinannya tidak lebih daripada sebuah
kohesivitas semu.
IDING ROSYIDIN
Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36. 36
Sekularisme Turki
20-05-2016
Istilah “sekuler” dan “sekularisasi” memiliki banyak dimensi. Dalam politik, artinya
terjadinya pemisahan antara negara dan agama. Agama adalah urusan pribadi, simbol-simbol
agama tidak boleh masuk ke ruang negara. Tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu.
Misalnya Amerika Serikat atau Eropa yang menganut paham sekularisme politik,
penguasanya tidak bisa netral terhadap sentimen dan sikap keberagamaannya. Terlebih
masyarakat dan pemerintah Turki yang masih kuat tradisi keislamannya, maka kita sering
salah paham terhadap konsep dan praktik sekularisme Turki.
Adalagi istilah “secularization of consciousness”. Yaitu sebuah sekularisasi kesadaran, di
mana rasa dan komitmen kebertuhanan semakin menghilang, terlepas apakah seseorang
hidup di negara sekuler atau bukan. Sebuah penelitian menyebutkan, masyarakat Amerika
lebih religius dibandingkan masyarakat Eropa, sekalipun secara politik AS lebih konsekuen
menerapkan sistem sekuler.
Selama ini sosok Mustofa Kemal, tokoh sentral pendiri dan presiden pertama Republik Turki,
diposisikan sebagai anti-Islam setelah menggulingkan Imperium Usmani (Ottoman Empire),
lalu mendirikan republik sekuler Turki.Tentu saja berakhirnya Imperium Usmani ini tidak
semata kehebatan Mustofa Kemal. Sekitar enam abad Usmani berjaya malang melintang,
kekuasaan dan pengaruhnya menjangkau seluruh dunia Islam, termasuk Aceh, bahkan sampai
Eropa. Jadi terlalu hebat menempatkan Mustofa Kemal sebagai sosok sentral yang
mengakhiri eksistensi Imperium Usmani.
Jika disebut Imperium Usmani, di dalamnya terkandung tiga ideologi, yaitu satu, paham
dinastisme yang berpusat pada keturunan Usman. Dua, ideologi turkisme yang berakar pada
semangat dan solidaritas bangsa Turk yang berasal dari Asia Tengah. Tiga, ideologi
islamisme yang dianut oleh sultan keturunan keluarga Usman.
Benih-benih kerapuhan Kaisar Usmani sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum Perang
Dunia Pertama, yang puncaknya ketika Kesultanan Usmani bersama Jerman dikalahkan oleh
Inggris dan sekutunya. Pada awal abad ke-19 ekonomi dan teknologi Eropa mulai bangkit,
dunia Islam masih terlalu yakin dirinya tak tertandingi karena selalu melihat kehebatan masa
lalunya dan yakin sekali Allah berada di pihaknya. Inggris dan Prancis dengan kecerdikannya
berusaha meracuni tokoh-tokoh kabilah Arab untuk melakukan pembangkangan terhadap
kekuasaan Istanbul, dengan janji mau diberi wilayah sendiri sebagai sultan.
Makanya ketika meletus PD I, Jerman telah melakukan salah kalkulasi. Semula dia
bayangkan Kesultanan Usmani sangat perkasa dan mampu mengerahkan dunia Islam untuk
37. 37
ikut melawan Sekutu, tetapi ternyata dugaan dan harapan Jerman meleset. Bersama Jerman,
Kesultanan Usmani kalah. Wilayah Arab yang semula di bawah kekuasaan Istanbul beralih
tangan ke Inggris dan Prancis yang pada urutannya bermunculanlah kesultanan-kesultanan
Arab dalam bayang-bayang Inggris, Prancis, dan Amerika. Namun, sebagian lalu mendekat
ke poros blok Uni Soviet. Jadi, jika di Indonesia dulu banyak kesultanan yang ikut berperang
melawan penjajah dan setelah merdeka lalu melebur ke pangkuan Republik, maka genealogi
kesultanan di Arab ceritanya sangat berbeda.
Melihat kekuatan Usmani sudah rapuh tak mampu menguasai dunia Islam dan menghadapi
kekuatan Barat, Mustofa Kemal tampil mengobarkan semangat nasionalisme-turkisme. Dia
yakin bahwa hanya ideologi nasionalisme turkisme yang bisa menyelamatkan bangsa Turki
di tengah gencarnya agresivisme-imperialisme Barat. Di saat Kesultanan Usmani runtuh tak
berdaya menghadapi serangan sekutu, Mustofa Kemal tampil memimpin gerakan
nasionalisme-turkisme dan menggusur Islam politik, lalu menggantinya dengan ideologi
sekuler. Ideologi kemalisme ini merupakan antitesis terhadap kekuatan sultanisme-islamisme
yang dianggap tak mampu menyelamatkan bangsa Turki, lalu dimunculkanlah ideologi
republikanisme.
Beberapa pengamat menyebutkan bahwa Mustofa Kemal sesungguhnya merupakan
eksekutor dari pemikiran Ziya Gokalp yang merupakan pengagum Emile Durkheim. Gokalp
mengatakan bahwa Islam tetap diperlukan bangsa dan negara Turki sebagai identitas dan
kekuatan pengikat sosial, namun sistem kesultanan dan kekhalifahan mesti diganti dengan
ideologi nasionalisme yang lebih powerful untuk membangun Turki ke depan. Oleh karena
itu, pada awal-awal pendirian Republik Turki terjadi perpecahan di kalangan ulama, ada yang
pro dan anti-republikanisme. Dan ternyata Mustofa Kemal menang.
Sejarah mencatat, Mustofa Kemal jelas-jelas anti-Kesultanan Usmani. Tapi ada yang melihat
dari sisi lain, kalau waktu itu tak ada gerakan republikanisme di bawah Mustofa Kemal
mungkin sekali Istanbul hari ini sudah menjadi wilayahnya Eropa.
Kritik yang sering dialamatkan kepada Kemal Attaturk adalah terlalu drastis melakukan de-
arabisasi yang pada urutannya menggusur tradisi dan khasanah intelektual Islam, mengingat
kala itu Islam dan budaya Arab sulit dipisahkan. Attaturk artinya bapak bangsaTurki, sebuah
nama yang melekat pada Mustofa Kemal.
Turki hari ini tengah membangun keseimbangan baru dengan menghubungkan dan
menghargai khasanah Islam semasa kejayaan Usmani dengan spirit kemodernan dalam sistem
republik sekuler. Sebuah negara dengan mayoritas warganya 99% muslim. Mereka
menyadari bahwa dirinya bukan Arab dan bukan pula Barat. Namun anehnya, bagi dunia
Islam, Turki dianggap saudara yang nakal karena terlalu berorientasi ke Barat, sementara di
mata Barat, Turki adalah negara muslim dengan tradisi Islamnya yang kental dan kekuatan
militernya yang disegani. Hari-hari ini Turki sedang memainkan posisi strategisnya dengan
menampung eksodus korban perang Suriah sebagai kekuatan tawar agar Turki bisa masuk
menjadi anggota MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa).
38. 38
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
39. 39
Misteri Pemimpin Politik
20-05-2016
Dalam beberapa hari belakangan kita membaca berbagai peristiwa kepemimpinan politik. Di
Filipina Rodrigo Duterte (71 tahun) personalitasnya mengalahkan yang lain dalam kontestasi
presiden.
Di Brasil, Presiden Dilma Rousseff (69 tahun) di ambang kejatuhannya di mana Senat sudah
memutuskan memberhentikan sementara. Di Inggris, Sadiq Khan (45 tahun) terpilih sebagai
wali kota muslim pertama kali Kota London. Di Amerika Serikat (AS) mengemuka fenomena
calon presiden dari Partai Republik Donald Trump (70 tahun) yang kerap berkata-kata vulgar
dan kontroversial.
Apa yang bias kita catat dari fenomena mereka? Dari segi usia hanya Sadiq Khan yang paling
muda. Yang lain rata-rata 70 tahun. Di AS, Bernard ”Bernie” Sanders, kandidat dari Partai
Demokrat, lebih tua lagi ketimbang Trump, 75 tahun. Ia bersaing ketat dengan Hillary
Clinton, 69 tahun. Rupanya, di Amerika kini calon tualah yang menjadi tren. Juga di Filipina,
Duterte tentu tak muda lagi. Tapi, begitulah politik, usia tua atau muda tergantung
konteksnya. Pasar politiklah yang menentukan.
Melihat nama-nama di atas, rupanya personalitas menjadi kata kunci yang tak terpungkiri.
Duterte di Filipina dijuluki ”Donald Trump” dari Timur. Personalitasnya menarik perhatian,
justru karena kontroversial. Dari rekam jejaknya, publik Filipina menempatkannya sebagai
sosok yang unik.
Sebagaimana Jokowi di Indonesia, Duterte mampu memanfaatkan keberhasilannya sebagai
wali kota. Duterte sebelumnya wali Kota Davao, kota terbesar di Pulau Mindanao. Duterte
mampu menjadikan fenomena Davao sebagai daya tarik pemilih. Dalam kampanyenya ia
secara hiperbolis mengatakan telah menjadikan Davao dari kota yang dihantui pembunuh-
pembunuh jalanan menjadi kota yang bersih dan teratur, bak Singapura. Dalam isu ekonomi,
layaknya politisi populis, ia menjanjikan pemerataan pembangunan dan anti-kemiskinan.
Menangnya Duterte sesungguhnya mengingatkan kita pada Presiden Estrada masa lalu.
Keduanya sama-sama mengesankan dirinya sebagai jagoan pemberantas kejahatan.
Menjelaskan kemenangan Duterte karenanya sangat lekat dengan perspektif populisme
politik. Ia menambah daftar panjang tren populisme politik di Asia Tenggara pasca-Thaksin
Shinawatra di Thailand dan Joko Widodo di Indonesia.
Hadirnya Rousseff di Brasil pun tak lepas dari perspektif tersebut. Ia politisi perempuan yang
populis. Ia punya massa riil yang cukup fanatik. Ia terpilih sebagai presiden sejak 2011.
40. 40
Popularitasnya terawat hingga mengemukanya protes besar-besaran skandal Petrosbras yang
menyeret namanya. Kalaupun Rousseff jatuh dalam arti bukan lagi diberhentikan sementara,
tapi diberhentikan secara formal, apakah pemerintaha nbaru kelak akan lebih baik?
Tergantung kebijakan yang diambil dan dukungan publik terhadapnya.
Publik yang terpecah mungkin akan memengaruhi jalannya pemerintahan, sebagaimana
Thailand pasca-Thaksin yang sempat menggejolak. Ini penting, untuk dilihat ke depan karena
massa Rousseff berjanji tidak akan membuat pemerintah baru tenang dalam menjalankan
pemerintahannya. Mereka belum bisa benar-benar ”legawa”.
Bagaimana dengan Sadiq Khan? Sebagaimana Duterte, ia juga mengejutkan. Hanya,
konteksnya lain. Khan lebih banyak diberitakan sebagai fenomena ”minoritas” yang
memimpin ”mayoritas”. Khan seorang muslim, bagian minoritas dari warga London. Ia
segera mengingatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sosok Tionghoa beragama Kristen
yang memimpin Jakarta. Kendatipun demikian, konteksnya masing-masing, bagaimana Khan
dan Ahok berproses, tak lepas dari dinamika masyarakatnya.
Khan, menariknya, terpilih justru di tengah fenomena ”muslim jadi sorotan” di Barat.
Negara-negara Eropa tengah kebanjiran pengungsi muslim dari berbagai ”negara gagal” di
Timur Tengah dan Afrika Utara. Jauh sebelumnya, mereka sensitif dengan isu terorisme
pasca-berbagai serangan bom, termasuk yang terjadi di Paris sebagai jantung Eropa. Khan
ialah perkecualian. Ia memosisikan diri sebagai, apa yang ditulis majalah Time (edisi 23 Mei
2016), ”antidote” atau penangkal ekstremisme Islam.
***
Para sosok yang terpilih itu tak lepas dari lingkungan politik dan tantangannya. Mereka
semua dihadapkan pada proses menjadi pemimpin. Ada yang belum tentu terpilih dan masih
dalam tahap bertanding sebagaimana dialami Trump, Clinton, hingga Sanders di Amerika.
Ada pula yang secara fenomenal telah terpilih seperti Duterte dan Khan. Ada yang tinggal
”menunggu hari kejatuhannya”, sebagaimana dialami oleh Rousseff. Begitulah ”cakra
manggilingan” alias putaran roda kepemimpinan politik. Pemimpin datang dan pergi silih
berganti, memang demikianlah yang menghiasi lembaran-lembaran berita di surat kabar.
Dalam perspektif kepemimpinan politik, sering ada yang mengaitkan faktor adikodrati bahwa
hadirnya mereka tak sekadar ditentukan oleh pasar politik, tetapi juga faktor ”di luar
kekuasaan manusia”. Konsep karisma dalam pandangan Max Weber mengakomodasi konteks
adikodrati itu. Personalitas barangkali bisa dipermak di lembaga-lembaga pencitraan, tetapi
isu sekadar untuk memunculkan ”karisma buatan”, bukan otentik.
Karisma otentik lebih dekat dengan dimensi adikodrati tersebut. Namun, di alam realitas
apakah pemimpin berkarisma buatan atau otentik, ia akan diuji oleh kebijakan, termasuk di
dalamnya masalah integritas. Kasus Rousseff mengingatkan semua pihak.
42. 42
Posisi Tap MPR Sekarang
21-05-2016
Masih saja banyak yang kaget ketika dikatakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Tap MPR) yang berlaku sekarang ini tidak bisa dicabut oleh MPR sendiri. Padahal
kedudukan dan wewenang MPR sudah berubah seiring dengan amendemen UUD 1945
(1999-2002). Tegasnya, MPR sekarang tidak bisa lagi mengeluarkan atau mencabut Tap
MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD dan di atas
UU.
Itulah sebabnya, ketika ada ide untuk menghidupkan GBHN melalui Tap MPR, masalahnya
menjadi sulit. Ini karena MPR tidak bisa lagi mengeluarkan Tap seperti dulu. Itu pulalah
sebabnya, ketika ada ide agar Tap MPR tertentu dicabut, maka jawabannya, ”Sekarang secara
konstitusional MPR tidak bisa mencabut Tap MPR”. Mengapa begitu? Mengapa pula di
dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih
disebutkan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua? Inilah yang harus
dipahami.
Menyusul reformasi tahun 1998 yang spektakuler itu muncul gagasan bahwa UUD 1945
harus diubah (diamendemen). Alasannya, banyak lope holes atau lubang-lubang di dalam
UUD 1945 itu yang menjadi pintu masuk terjadinya otoriterisme. Buktinya, setiap
pemerintahan yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 selalu menjadi otoritarian.
Terlepas dari persoalan, apakah alasan itu benar atau tidak dan apakah ide itu rasional atau
emosional, terjadilah perubahan UUD 1945 melalui mekanisme konstitusional yang sah.
Yang melakukan perubahan adalah MPR periode 1999-2004 yang, demi demokratisasi,
berani mengamputasi kekuasaan dan kewenangannya sendiri.
Dari antara sekian banyak perubahan, yang sangat mendasar adalah perubahan struktur
ketatanegaraan dari yang semula vertikal-struktural menjadi horizontal-fungsional. Kalau
dulu, menurut Angka III Penjelasan UUD 1945, MPR merupakan lembaga tertinggi negara
maka sekarang ia disejajarkan dengan lembaga negara yang lain dalam poros-poros hasta as
politika (delapan poros kekuasaan).
Kalau dulu, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat, sekarang kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, tidak lagi
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Kalau dulu, menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR diberi
wewenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
sekarang ia hanya diberi wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Itu pun dengan
mekanisme yang sulit.
43. 43
Dengan sistem ketatanegaraan yang demikian, MPR tidak bisa lagi membuat atau mencabut
Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua di bawah UUD atau satu
tingkat di atas UU. Itulah sebabnya ketika mengatur tentang wewenang Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam Pasal 24C, UUD hanya memberi kewenangan kepada MK untuk
menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD, bukan menguji UU terhadap Tap MPR atau
menguji Tap MPR terhadap UUD. Tepatnya, sejak amendemen UUD 1945, MPR tidak boleh
lagi membuat Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada
UU.
Soalnya: bagaimana nasib Tap-Tap MPR yang sudah ada dan berlaku sejak sebelum
amendemen? Untuk menyelesaikan ini maka di dalam Pasal I Aturan Tambahan UUD
ditegaskan bahwa MPR ditugasi untuk meninjau kembali dan memosisikan ulang semua Tap
MPR(S) yang sudah ada dalam ke dalam tata hukum baru pada Sidang MPR tahun 2003.
Berdasar itu MPR membuat Tap MPR No. I/MPR/2003 yang memosisikan semua Tap
MPR(S) yang masih ada ke dalam tata hukum Indonesia. Tap No. I/MPR/2003 adalah Tap
terakhir MPR yang masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pelaku
sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Di dalam Tap No. I/MPR/2003 semua Tap MPR(S), sejumlah lebih dari 130 Tap, yang sudah
ada berdasar UUD sebelumnya ditentukan nasibnya. Ada yang dinyatakan masih tetap
berlaku permanen, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu atau keadaan tertentu, dan
yang terbanyak (104 Tap) dinyatakan tak berlaku lagi. Ada dua Tap MPR yang dinyatakan
tetap berlaku penuh yakni Tap No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI dan
larangan penyebaran komunis/marxisme-leninisme dan Tap MPR No. XVI/MPR/1998 berisi
Politik Ekonomi.
Setelah keluarnya Tap MPR No. I/MPR/2003 maka tugas MPR lama, yakni MPR yang masih
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi berakhir dalam membuat Tap
MPR. Itulah sebabnya Tap MPR No. I/MPR/2003 sering disebut sebagai Tap Sapujagat,
yakni Tap terakhir yang menyapu (memosisikan lagi) Tap-tap MPR produk MPR model
lama. MPR tidak bisa lagi membuat Tap baru atau mencabut Tap lama yang sudah
diposisikan menurut tata hukum baru itu. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tidak lagi mencantumkan Tap MPR(S) sebagai peraturan
perundang-undangan.
Tetapi karena berdasar Tap No. I/MPR/2003 ternyata masih ada Tap-Tap MPR yang
dinyatakan tetap berlaku maka pada tahun 2011 diundangkanlah No. 12 Tahun 2011 yang
memasukkan lagi Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua. Penempatan
Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua menurut UU No. 12 Tahun
2011 hanya dimaksudkan untuk memberi posisi pada Tap MPR yang sudah ”telanjur” ada
dan masih diberlakukan berdasar konstitusi yang baru.
Artinya, MPR tetap tidak boleh membuat Tap MPR baru dan mencabut Tap MPR yang sudah
44. 44
ada. Ibaratnya, pemberlakuan Tap MPR No. I/MPR/2003 merupakan langkah konstitusional
untuk memasukkan semua Tap MPR ke dalam satu lemari besi untuk kemudian kuncinya
dibuang sehingga tak bisa dibuka lagi.
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-
HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
45. 45
Kongsi Baru Golkar
21-05-2016
Bandul politik Golkar berubah! Secara eksplisit Golkar di bawah nakhoda baru Setya
Novanto mendeklarasikan dukungan kepada Joko Widodo (Jokowi).
Tak hanya kesiapan menyokong pemerintahan Kabinet Kerja, lebih dari itu Golkar bahkan
bermanuver siap mengusung Jokowi pada Pemilu 2019. Partai berlambang beringin ini
berupaya bangkit memainkan peran dan membangun kongsi baru dengan Jokowi. Semua itu
bermula dari dramaturgi rekonsiliasi di Munaslub Bali. Ibarat sebuah narasi, plot cerita
berjalan happy ending dan konflik seolah bisa diatasi dengan model politik akomodasi.
Lagi, untuk kesekian kalinya, pengalaman politik seorang Setya Novanto sebagai pelobi
ulung terkonfirmasi. Di tengah beragam peristiwa yang menghimpit citra dan reputasinya,
Setnov (panggilan akrab Setya Novanto) sangat licin memandu strategi dan memenangi
kontestasi.
Babak Baru
Keterpilihan Setnov menjadi ketua umum Partai Golkar yang baru bermakna dua hal.
Pertama, arus besar kekuatan rujukan dari kekuasaan masih menjadi faktor menentukan
dalam keterpilihan siapa pun ketua umum Golkar. Hal ini sejak awal terbaca dari intensnya
dorongan verbal yang eksplisit dan konteks kehadiran dari dekat Menko Polhukam Luhut
Binsar Panjaitan di lokasi munaslub. Dalam berbagai kesempatan, Luhut memberi sinyal
dukungan kepada Setnov.
Tentu secara formal dan retoris Jokowi menyatakan tak mau ikut-ikutan dalam gelanggang
permainan di Munaslub Bali. Tapi aroma ”restu Istana” ini kental terasa mengarah ke
Setnov. Bukan karena Setnov merupakan figur terbaik yang dibaca Istana dalam kapasitasnya
membesarkan partai, tetapi lebih karena potensi titik temu dalam hubungan kuasa pemerintah
dengan sikap dan orientasi politik Golkar di masa mendatang. Jika kata kuncinya berkongsi,
Setnov merupakan representasi figur yang dianggap lebih aman berkolaborasi oleh Jokowi,
karena sejumlah kerentanan yang melekat padanya. Singkatnya, dari model pengendalian
elite, strategi Jokowi ini bisa disebut sebagai bentuk korporatisme politik atas kuasa yang
dimiliki Golkar saat ini.
Tak perlu menunggu lama, selesai perhelatan munas, Golkar pun berikrar keluar dari Koalisi
Merah Putih (KMP) dan masuk barisan partai pendukung pemerintah. Jokowi akhirnya bisa
mengendalikan DPR dengan memastikan 7 dari 10 partai yang punya kursi di DPR kini
menjadi bagian dari penyokong kekuasaan Kabinet Kerja.
46. 46
Kedua, keterpilihan Setnov sesungguhnya lebih bermakna instrumental conditioning bagi
lingkup internal Golkar. Konflik akibat dualisme kepengurusan yang eksesif berpotensi
meluas dan mendalam jika munaslub gagal menghadirkan pemahaman bersama di antara para
elite Golkar yang bertikai. Kekhawatiran ini secara nyata dimanfaatkan benar oleh Setnov
dan tim suksesnya untuk memperbesar persuasi politik melalui kebutuhan figur akomodatif
dalam membangun jejaring politik. Faktor piawai ”menyenangkan banyak orang ini”-lah
yang lantas dimaknai sebagai ”nilai jual” jangka pendek Setnov di pentas munaslub.
Sebagai politisi senior di Golkar, Setnov sangat sadar benar habitus politik Golkar dalam
kekuasaan. Kekuatan rujukan (reference power) dari kekuasaan ”dijual” sebagai langkah
persuasi, di saat bersamaan dia juga memasarkan diri sebagai ”kolaborator” paling mumpuni
untuk bisa menjembatani semua kepentingan berbeda yang mengemuka saat konflik terbuka
di tubuh Golkar.
Dalam perspektif komunikasi, pendekatan Social Judgment Theory dari Muzafer Sherif dan
Carolyn Sherif (1967) dimanfaatkan benar oleh Setnov. Proses ”mempertimbangkan” isu atau
objek sosial biasanya berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki.
Kerangka rujukan inilah yang pada gilirannya menjadi ”jangkar” untuk menentukan
bagaimana seseorang memosisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya.
Setnov mendorong dua hal. Pertama, latitude of acceptance atau zona penerimaan.
Strateginya meyakinkan kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan kubu Agung Laksono sama-sama
merasa aman karena dia memosisikan diri bukan sebagai hardliner dari pertarungan kubu-
kubuan yang ada.
Merangkul semua pihak dan memastikan arus besar elite, termasuk ARB, akan aman
sehingga memudahkan Golkar ”berganti kulit”. Hal ini terlihat dari pemberian posisi
terhormat untuk ARB sebagai ketua Dewan Pembina dan Idrus Marham sebagai sekjen
partai. Demikian pula Setnov piawai merangkul orang-orang dari kubu Agung Laksono di
jajaran elite Golkar yang dipimpinnya.
Di saat bersamaan (kedua), Setnov juga menyentuh ego-involvement pemilik suara di
munaslub dengan memastikan tawaran tentang seberapa penting posisinya untuk membawa
Golkar kembali menjadi bagian kekuasaan. Di titik inilah Setnov sangat terbantu dengan
dukungan demonstratif yang ditunjukkan Luhut Panjaitan.
Mengelola Kerentanan
Dalam jangka pendek, Golkar mungkin bisa bernapas lega karena munaslub tak berujung
ricuh. Kepiawaian mengendalikan panggung megah Munaslub Bali menjadi catatan
manajemen konflik yang menarik. Tapi ini awal langkah panjang Golkar ke depan mengelola
kerentanan.
Pertama, Golkar rentan tersubordinasi dalam kongsinya dengan Jokowi. Sosok Setnov
47. 47
menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Dia bisa diterima karena teramat pandai
menyenangkan orang, tapi dia juga punya potensi menjadi ”kartu truf” yang bisa dimainkan
Jokowi untuk mengendalikan Golkar hari ini dan ke depan. Meski Golkar tentu bukan hanya
Setnov, langkah dan arah kebijakan partai akan sangat dipengaruhi sikap, orientasi,
kepentingan, sekaligus ”dosa politik” yang melekat pada nakhodanya.
Kedua, rentan dalam mengelola fragmentasi kekuatan politik dalam jangka panjang.
Keterpilihan Setnov tidak berarti faksi-faksi sepenuhnya mengamini. Ibarat ”jeda
peperangan”, munaslub masih membutuhkan langkah lanjutan. Kohesi politik dan sosial
belum utuh benar dan akan sangat ditentukan variabel cara mengelola konflik internal di era
Setnov.
Daya tahan mengelola kebersamaan tak cukup mengandalkan uang atau iming-iming terus-
menerus. Butuh kapasitas di beberapa momentum yang bisa menjadi indikator kepiawaian
memimpin gerbong besar Golkar. Misalnya daya tahan Golkar di Pilkada Serentak 2017 dan
2018, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Jika di momentum-momentum tersebut
Golkar terpuruk dan tak mampu mengendalikan fragmentasi kekuatan yang bertarung di
lingkup internal, potensi konflik akan kembali menghebat.
Terakhir, Golkar juga punya kerentanan dalam mengelola kepercayaan publik. Masalah nyata
Golkar hari ini adalah mengatasi jarak dengan rakyat, terlebih jika mereka tak percaya
dengan sosok utama yang menjadi pewajahan partainya. Dengan siapa pun berkongsi, Golkar
biasanya mampu menemukan ritmenya dan lantas menabuh gendang sendiri. Akankah itu
terjadi di era Setnov? Pilihannya, Golkar bangkit mandiri atau merunduk sempurna di depan
kekuasaan.
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta